Anda di halaman 1dari 4

Di Balik Lagu-Lagu yang Kita Nyanyikan

Dalam tulisan saya yang terdahulu, sempat dibahas betapa pentingnya seorang Accompanist atau
pengiring musik (pianis/organis) memiliki pengertian tentang latar belakang lagu-lagu yang mereka
mainkan. Tujuannya adalah supaya jemaat yang mereka iringi itu dapat menaikkan doa-doa bermelodi
dengan sepenuh hati dan mencurahkan perasaan mereka dalam nyanyian tersebut.

Untuk itu saya merencanakan dalam waktu mendatang akan membagikan sepenggal informasi mengenai
beberapa lagu-lagu hymnal yang sering kita nyanyikan dalam ibadah gereja, agar kita – sesama pengiring
– lebih memahami penghayatan lagu-lagu tersebut dengan benar sehingga tidak melakukan kesalahan
interpretasi terhadap lagu-lagu tersebut. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Isi tulisan saya kali
ini adalah hasil rangkuman informasi yang saya dapatkan dari koleksi buku pribadi serta sumber-sumber
lainnya. Saya bahkan beruntung karena sebagian informasi ini saya dapatkan langsung dari sang
komponis yaitu Pdt H.A. van Dop (HA Pandopo) serta anak dari (alm) bapak J.M. Malessy, yaitu Erika
Malessy. Terima kasih banyak kepada pak van Dop dan Erika atas kerjasama ini.

Kidung Jemaat 2 – Suci, Suci, Suci (Holy, Holy, Holy)

Pencipta syair lagu ini, Reginald Heber (1783-1826) adalah seorang pemusik di gereja Anglikan di Hodnet,
Inggris. Reginald Heber mengabdikan dirinya sebagai pelayan di sana selama 16 tahun sebelum ia hijrah
ke Calcutta, India. Ia menghabiskan waktunya selama 3 tahun di sana sebelum wafat pada usia 43 tahun.
Semasa hidupnya di Inggris maupun di India, ia menyadari bahwa banyak penyimpangan tentang
pemahaman akan kehadiran dan kuasa Tuhan di dunia. Di lain pihak, ia begitu meyakini dan meninggikan
kebesaran Tuhan. “Hanya Tuhanlah yang Maha Suci”, katanya yang ia tuangkan dalam lagu untuk
menyatakan keyakinannya atas keagungan dan kesucian Tuhan. Lagu yang dipakai untuk membawakan
syair ini biasanya disebut “Nicaea”, ciptaan John Bacchus Dykes – yang diambil dari nama sebuah Dewan
Gereja yang bersidang pada tahun 325 dan merumuskan Pengakuan Iman Nicea yang mengakui doktrin
Tritunggal.

Lagu yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa ini merupakan sebuah pengakuan bahwa
hanya Tuhanlah yang Maha Suci, Maha Kuasa dan Maha Agung. Jemaat harus menyanyikannya dengan
penuh keyakinan. Dan oleh karena itu patutlah kita – para accompanist – mengiringi nyanyian jemaat ini
dengan kemantapan hati pula. Saya pernah mengikuti sebuah ibadah dimana jemaat yang hadir adalah
umat dari berbagai bangsa dan dari segala penjuru dunia yang berkesempatan menyanyikan lagu ini
dalam bahasa masing-masing pada saat yang bersamaan dalam sebuah ibadah di sebuah kapel, dimana
pemandangan yang saya lihat melalui jendela kapel tersebut adalah suasana pagi saat salju turun pada
musim dingin. Buat saya ini merupakan kesempatan yang langka namun sangat menggetarkan hati. “Suci,
Suci, Suci” dinyanyikan dengan penuh keyakinan dalam berbagai bahasa, kami semua dapat meyakini
bahwa benar hanya Tuhanlah yang Maha Suci.

Kidung Jemaat 44 – Tuhan Kasihanilah (Kyrie)

Pak van Dop membuat lagu ini pada tahun 1982 untuk Pesta Paduan Suara Gerejawi (PESPARAWI),
bagian ‘Kelompok Khusus’ (vokal dengan iringan instrumental, terutama gitar). Dalam liturgi yang biasanya
kita dihadapkan kepada unsur-unsur liturgi, termasuk nyanyian Kyrie dan Gloria. Di dalam buku Kidung
Jemaat hanya Kyrie-nya yang dimuat (‘Tuhan, kasihanilah’), sedangkan Gloria-nya tidak dimuat, karena
dianggap terlalu ruwet bagi jemaat. Namun, kita bersyukur bahwa 30 tahun kemudian, lagu Gloria
diterbitkan juga, yakni dalam buku Gita Bakti (nomor 11: ‘Gloria, gloria diberi kepada Allah’).

Kedua unsur ini, Kyrie dan Gloria, merupakan satu kesatuan dan seyogianya dilagukan berturut-turut,
sebagaimana lazimnya dalam liturgi. Tentunya, kedua-duanya dapat saja dinyanyikan tersendiri, apalagi
karena masing-masing dilengkapi dengan kata-kata yang tidak terdapat dalam lagu Kyrie dan Gloria yang
asli.

Secara historis, lagu Kyrie malah tidak diperpanjang sama sekali: cukuplah ‘Kyrie eleison, Christe eleison,
Kyrie eleison!’ (kata-kata Yunani ini dapat dilagukan dengan melodi yang dibuat untuk refreinnya KJ 44;
bandingkan dengan KJ 156). Dengan seruan ini kita mengakui Mesias Yesus sebagai Raja, Anak Daud,
yang mampu menolong (Matius 20: 30).

Dengan lagu Gloria, kita langsung melanjutkan lagu Kyrie untuk mengungkapkan keyakinan kita. Lagu
Gloria memang panjang. Isi teksnya dari abad ke-3 terdapat dalam buku Gita Bakti nomor 381, yang  
sebaiknya dinyanyikan lengkap. Karena panjangnya, nyanyian itu sering disebut Gloria Besar, yakni untuk
membedakannya dari Gloria Kecil (KJ 48) yang adalah puji-pujian kepada Allah Tritunggal – biasanya
dilagukan sebagai penutup Mazmur. KJ 48 ini sebaiknya jangan dipakai sebagai pengganti dari Gloria
Besar. Sedangkan kata-kata tambahan dari KJ 44 dan GB 11 menghubungkan kedua unsur liturgi tersebut
dengan keadaan  dunia dewasa ini.

Refrein dari KJ 44 boleh saja dinyanyikan tersendiri, lepas dari tambahannya. Namun ada baiknya jika
kelima bait tambahannya sewaktu-waktu dinyanyikan juga, misalnya oleh seorang solis atau oleh paduan
suara,  seperti juga GB 11.

Sebuah catatan teknis yang ditekankan oleh pak van Dop yaitu kita perlu menjaga agar tempo KJ 44 tidak
menjadi lambat dan berat. Jangan juga biramanya dianggap sama dengan tiga ketuk yang akan
membawanya menjadi berirama Waltz. “2 x 3 ketuk” berarti bahwa keenam ketuknya dipimpin dengan dua
hitungan/pukulan: ke bawah (1 x 3) dan ke atas (1 x 3), sehingga arus geraknya menjadi ringan mengalir,
tidak menyeret.

Kidung Jemaat 64 – Bila Kulihat Bintang Gemerlapan ( How Great Thou Art)

Tahun 1885, seorang pendeta muda berumur 26 tahun bernama Carl Boberg menuliskan sebuah puisi
dalam bahasa Swedia ”O Store Gud” (Allah yang Mahabesar). Saat itu ia tidak pernah berpikir bahwa
puisinya itu akan menjadi sebuah hymn dan beberapa tahun kemudian ia terkejut ketika puisinya itu
dijadikan syair dari sebuah melodi tradisional Swedia.

Tahun 1920an, seorang misionaris asal Inggris Stuart Hine (1899-1989) dan istrinya sedang menunaikan
misinya di Polandia. Ketika itu mereka mendengarkan puisi  Carl Boberg tersebut dibawakan dalam
bahasa Rusia dan menggunakan melodi Swedia itu. Terinspirasi dari hal tersebut, Stuart Hine menuliskan
versi bahasa Inggris dari puisi tersebut dan menyesuaikan melodi Swedia itu untuk menyanyikannya.

Ada 3 bait syair yang ditulis oleh Stuart Hine. Pada 2 bait pertama, ia melukiskan situasi tempat ia
melakukan pelayanan di pegunungan Carpathian dimana bunyi guruh riuh terdengar jelas. Namun ia juga
mengagumi keindahan pegunungan dan hutan serta kicauan burung di alam bebas dalam syairnya
tersebut. Sedangkan bait ketiga tercipta setelah ia kembali ke Inggris dimana ia tetap konsisten
mengagungkan kebesaran Tuhan.

Lagu ini kemudian menjadi terkenal di Amerika Serikat pada tahun 1950an. Dan yang mempopulerkannya
ialah Billy Graham melalui  misi penginjilannya di seluruh dunia. Kemudian juga banyak penyanyi terkenal
membawakan lagu ini dalam album rohani mereka, seperti Elvis Presley dan beberapa penyanyi besar
lainnya.

Kidung Jemaat 329 – Tinggal Sertaku (Abide With Me)

Pencipta syair lagu ini Henry Francis Lyte (1793-1847) adalah seorang pendeta dari sebuah gereja yang
miskin di perkampungan nelayan di Devonshire, Inggris. Kondisi di sana saat itu sangat tidak mendukung
misi pelayanannya, namun ia tidak berkecil hati dan tetap teguh melanjutkan tugas-tugasnya. Ketika ia
menulis syair lagu ini, ia tahu bahwa hidupnya tidak lama lagi. Penyakit tuberkulosis dan asma yang ia
derita telah membuatnya merasa kesepian. Henry Lyte terpinspirasi dari bacaan Alkitab dalam kitab Lukas
24 ayat 29 (Yesus menampakan diri kepada dua orang murid yang berjalan ke Emaus) yang berbunyi:
Tetapi mereka sangat mendesakNya , katanya: “Tinggalah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah
menjelang malam dan matahari hampir terbenam”. Lalu masuklah Ia untuk tinggal bersama-sama dengan
mereka; bahwa mereka bertemu Yesus pada hari kebangkitanNya dan mereka mengundang Yesus untuk
tinggal karena hari telah senja.
Kemudian pendeta yang telah lanjut usia ini tahu bahwa hidupnya pun telah “senja” namun ia bertekad
kuat untuk menggunakan hidupnya sebaik-baiknya walaupun dalam kesakitan dan kesepiannya. Tak lama
setelah ia menuliskan hymn ini, ia berkhotbah untuk terakhir kalinya. Saat itu Henry Lyte berada dalam
kondisi yang sangat lemah sampai ia harus bersusah payah untuk mencapai mimbar khotbah.

Syair lagu ini begitu indah: “In life, in death, O Lord, abide with me” (dalam hidup dan mati, ya Tuhan
tinggallah sertaku), dan berpadu dengan melodi ciptaan William Henry Monk (1861) yang dikenal dengan
nama “Eventide” membuat  lagu Tinggal Sertaku semakin populer pada masa Perang Dunia I. Bahkan
seorang perawat berama Edit Cavell menyanyikan lagu ini pada malam sebelum ia dihukum mati karena
menolong tentara Inggris melarikan diri dari wilayah Belgia yang telah dikuasai oleh pasukan Jerman.

Tidak ketinggalan pula keluarga Kerajaan Inggris sangat menyukainya. Lagu “Abide With Me” ini adalah
salah satu yang dinyanyikan dalam misa pernikahan Ratu Elizabeth II dengan Pangeran Philip.

Dalam syair KJ 329, bait 1 adalah sebuah doa permohonan kepada Tuhan untuk tetap tinggal bersama
kita. Bait 2 menggambarkan hidup kita di dunia yang penuh tantangan dan rintangan. Bait 3 adalah
pengakuan akan  ketidaksanggupan kita tanpa penyertaan Tuhan. Bait 4 merupakan keyakinan kita hidup
dekat dengan Tuhan. Dan bait 5 menyatakan Tuhan sebagai kompas kehidupan kita yang dapat
menghalau segala kabut dan mendung.

Tahukah Anda bahwa melodi yang dipergunakan dalam lagu Eventide ini hanya memakai 6 nada (do-re-
mi-fa-sol-la)? Sangat sederhana! Dan kesederhanaan ini adalah identitas yang sejati – mudah untuk
diingat dan dinyanyikan. Karena sebuah lagu belum tentu menjadi menarik kalau jumlah nadanya semakin
banyak.

Jika  Anda tidak percaya, silakan lihat dan pelajari kembali pada buku Kidung Jemaat nomor 329.

Kidung Jemaat 339 – Maju Laskar Kristus (Onward Christian Soldiers)

Rasul Paulus dalam kitab Efesus 6 mengatakan kita harus mengenakan perlengkapan senjata Allah. Dan
karena itulah penyair-penyair Kristiani menggunakan simbol-simbol keprajuritan sebagai lambang
kesiapan dan keberanian. Tetapi ketika Sabine Baring-Gould, seorang pendeta dan guru berumur 31
tahun menulis “Onward Christian Soldiers” (Maju Laskar Kristus), ia tidak bermaksud demikian. Ia hanya
bermaksud menulis sebuah lagu untuk digunakan murid-muridnya bernyanyi sambil berjalan berbaris
beriringan. Beberapa waktu sesudahnya, ia menyadari dan  menyampaikan permohonan maaf atas lagu
yang ia ciptakan ini, “Lagu itu diciptakan tergesa-gesa dan saya kuatir ada beberapa kekeliruan dalam
syairnya.”

Berhubung diselenggarakannya sebuah festival bagi para siswa-siswa yang dinamakan Whitmonday di
Yorkshire, murid-murid Sabine Baring-Gould yang berada di kota Horbury harus berjalan kaki ke Yorkshire
untuk berpartisipasi bersama anak-anak lainnya dalam perayaan tersebut. “Saya hanya ingin anak-anak
ini bernyanyi bersama ketika berjalan kaki dari satu desa ke desa lainnya.” “Jadi saya terbangun di suatu
malam dan bermaksud menuliskan sesuatu.”

Sejak saat itu jemaat-jemaat gereja di seluruh dunia pun menyanyikan lagu ini hingga kini.

Kidung Jemaat 428 – Lihatlah Sekelilingmu

Pada tahun 1984 Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STT-J) menyelenggarakan sayembara untuk pengadaan
hymne dan mars STT. Dari sejumlah karya yang terkumpul, terpilihlah mars karangan Romo A. Soetanta
SJ berjudul ‘Jadikan kami tangan-Mu’. Sedangkan karya Jerry T. Silangit  berjudul ‘Dalam amanat Tuhan’
dipilih menjadi hymne STT.

Dua lagu lain di dalam kumpulan hasil sayembara kemudian dimuat dalam buku Pelengkap Kidung
Jemaat (PKJ) 273, ‘Ladang menguning’, karangan Mangapul P. Simanjuntak dan Kidung Jemaat (KJ) 428,
‘Lihatlah sekelilingmu’, karya pak van Dop.
Tema KJ 428 ditentukan oleh para mahasiswa STT-J tingkat 6 pada tahun 1984 menjelang tanggalnya
hasil-hasil sayembara tersebut harus masuk. Tentunya ada hubungan dengan tugas panggilan murid-
murid Yesus yang harus membuka mata untuk melihat sesama manusia di dunia dalam terang kerajaan
Allah –  seumpama padi di sawah-sawah, yang sedang ‘menguning dan sudah matang untuk dituai’
(Yohanes 4: 35). Itulah tugas Gereja – bukan demi kepentingan diri sendiri, melainkan demi kepentingan
seisi dunia yang menderita, takluk kepada kesia-siaan, sehingga ‘seluruh makhluk dengan sangat rindu
menantikan saatnya anak-anak Allah dinyatakan’ (Roma 8: 19). Demikian tujuan pembinaan anggota-
anggota Gereja menjadi pelayan-pelayan di ladang Tuhan, yakni dunia ini (Matius 13: 38). Oleh karena
anak-anak Allah biasanya masih kurang nyata, sekalipun ‘tuaian memang banyak’, maka ternyata para
‘pekerja terlalu sedikit’ (Mat. 9: 37-38), yaitu mereka yang betul-betul melihat sekeliling mereka dan
memandang ladang dunia dengan makhluk yang berharga, tetapi yang kurang dihargai karena umat
Tuhan terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. ‘Apa kita pun terpilih’ untuk menabur dan menuai?
Jawabannya: ‘ya’ dan ‘amin’ – tidak hanya bagi para mahasiswa perguruan teologi, tetapi bagi semua
orang yang membuka mata dan hati.

Kita bersukacita karena lagu KJ 428 ini sudah diterjemahkan dengan amat bagus ke dalam bahasa Inggris
oleh Andrew Donaldson (Canada): ‘Lift your eyes and look around you. See! The fields are ripe and
golden.’  ‘Ripe and golden’: demikianlah ladang dunia apabila kita melihatnya dalam terang Kerajaan Allah.

Melodi KJ 428 bersifat pentatonik (panca nada) – memakai hanya lima nada, dalam hal ini do – re – mi,
sol – la. Tangganada pentatonik ini dikenal di hampir semua kebudayaan. Di Indonesia tangganada ini
disebut ‘selisir’. Lagu-lagu yang menggunakannya bisa berakhir dengan nada do (mayor), tetapi juga
dengan nada la (minor). KJ 428 menggunakan kedua-duanya. Ini langsung kedengaran dalam baris-baris
pertama. Melodi dari awal kalimat ‘Lihatlah sekelilingmu’ bersifat mayor, sedangkan lanjutannya,
‘pandanglah ke ladang-ladang’ bersifat minor. Dengan demikian melodi KJ 428 mirip dengan musik dari
Amerika Latin.

Kidung Jemaat 450 – Hidup Kita Yang Benar

Tentu lagu ini sudah tidak asing lagi bagi jemaat gereja-gereja di Indonesia, karena lagu ini merupakan
karya komponis asli Indonesia asal Maluku, bapak J.M. Malessy (1942-2011). Menurut sahabat saya Erika
Malessy, waktu kecil ayahnya adalah seorang anak yang nakal dan sering mendapat hukuman dari sang
kakek dengan berdiri di pojok ruangan yang kebetulan tidak jauh dari letak sebuah gramofon. Alhasil,
telinga seorang Oom Moos – panggilan beliau – menjadi akrab dengan musik-musik karya J.S. Bach,
Handel, Mendelssohn, Palestrina dll. Karya musik beliau – menurut sang anak – sangat dipengaruhi oleh
komponis-komponis besar itu sehingga suasana musik yang tercipta di rumah beliau sangat kental dengan
musik-musik asal Eropa Barat itu.

Lagu “Hidup Kita Yang Benar” ini diciptakannya saat hidupnya dalam keadaan terpuruk dan kehilangan
pekerjaan. Walaupun demikian, lagu ini juga yang menjadi titik balik dan tonggak sejarah kehidupannya
sebagai pemusik yang mendedikasikan hidup sepenuhnya bagi perkembangan musik gereja di Indonesia.
Pada saat itulah ia menyadari bahwa “ dalam susah pun senang dan dalam segala hal kita harus
bermazmur dan mengucap syukur.”

Saya juga teringat akan sebuah percakapan singkat saya dengan Oom Moos beberapa tahun sebelum
beliau wafat, bahwa melodi dari refrain lagu ini ia ciptakan dengan menempatkan nada-nada dalam
interval oktaf yang berbeda guna melukiskan perbedaan di saat susah dan di saat senang dalam
kehidupan kita sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai