Anda di halaman 1dari 10

PENINGKATAN SKOR INDEKS BARTHEL SEBAGAI ACUAN PEMULANGAN PASIEN STROKE

ISKEMIK DARI RUMAH SAKIT


DEWIYANA
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang Penelitian

Stroke (sesuai definisi WHO) adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi

serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat,

berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan kematian, tanpa ditemukannya

penyebab selain daripada gangguan vaskular.

Stroke adalah salah satu sindroma neurologi yang merupakan ancaman terbesar

menimbulkan kecacatan jangka panjang dalam kehidupan manusia, di Indonesia

menunjukkan dari seluruh pasien stroke yang dirawat di Bangsal Saraf kurang lebih

5% meninggal (Lamsudin, 1998) dan penyebab kematian yang ketiga setelah

penyakit jantung dan kanker di Amerika Serikat dan banyak negara industri di Eropa

(Ahmed et al., 2004; Jauch, 2013). Pasien stroke yang dirawat di 5 rumah sakit di

Yogyakarta dilaporkan sebanyak 1053 pasien, dengan 298 (28,30%) diantaranya

meninggal dunia.

Kematian karena stroke di RSUP Dr. Sardjito menduduki urutan ketiga setelah

penyakit keganasan dan kardiovaskuler. Sinta dan Sutarni (1997) melaporkan

mortalitas stroke di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta antara 1 Januari 1994 sampai 31

Desember 1995 didapatkan 190 dari 594 (31,99%) pasien stroke yang dirawat, terdiri

dari 58,95% laki-laki dan 41,05% perempuan, dengan umur terbanyak >65 tahun

(58,95%). Meskipun mortalitas stroke menunjukkan kecenderungan mengalami

penurunan secara bermakna, tetapi 30-60% pasien stroke yang bertahan hidup

1
PENINGKATAN SKOR INDEKS BARTHEL SEBAGAI ACUAN PEMULANGAN PASIEN STROKE
ISKEMIK DARI RUMAH SAKIT
DEWIYANA
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

menjadi tergantung dalam beberapa aspek dari aktivitas hidup sehari-hari (Kojima et

al., 1990; Duncan et al., 1992). Stroke juga menimbulkan dampak yang besar dari

segi sosial ekonomi, karena biaya pengobatan yang relatif mahal dan akibat kecacatan

yang ditimbulkan pada pasien pasca stroke mengakibatkan berkurangnya kemampuan

untuk bekerja seperti semula dan menjadi beban sosial di masyarakat. Bila dapat

diselamatkan, kadang-kadang pasien mengalami kelumpuhan di anggota badannya,

hilangnya sebagian ingatan atau kemampuan bicaranya.

Pantauan ketat untuk perubahan fisiologis, defisit neurologis dan pemulihan

fungsi otak agar kualitas hidup seseorang pasca stroke tetap baik merupakan tujuan

akhir dari tatalaksana stroke. Minggu pertama setelah onset adalah saat di mana bila

kita cepat memperbaiki perfusinya maka daerah yang nekrotik dapat diselamatkan.

Pasien stroke hemoragik menunjukkan perbaikan yang lebih cepat dan mempunyai

kesempatan yang lebih baik untuk terjadi perbaikan komplet dibandingkan kelompok

yang iskemik (Chandan, 2011). Jeng et al. (2008) dalam penelitiannya dikatakan

bahwa yang mempengaruhi perburukan keluaran klinis pada pasien stroke iskemik

adalah umur dan adanya infark total di sirkulasi anterior, sedangkan pada stroke

hemoragik yang berpengaruh adalah umur, body mass index, dan adanya perdarahan

intraventrikel. Beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur defisit

neurologis pada pasien stroke antara lain: National Institutes of Health Stroke Scale

(NIHSS), Scandinavian Stroke Scale (SSS), Canadian Neurological Stroke Scale

(CNS), Orgogozo Scale, Modified Rankin Scale. Salah satu yang digunakan di

Indonesia yaitu Skala Stroke Gadjah Mada (SSGM) (Lamsudin, 1998). National

2
PENINGKATAN SKOR INDEKS BARTHEL SEBAGAI ACUAN PEMULANGAN PASIEN STROKE
ISKEMIK DARI RUMAH SAKIT
DEWIYANA
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) untuk melihat kemajuan hasil perawatan

fase akut. Untuk pengukuran keterbatasan (disability) dipergunakan Indeks Barthel

dan untuk pengukuran keterbatasan stroke yang lebih global, dipergunakan Skala

Rankin yang dimodifikasi. Disability adalah hambatan atau ketidakmampuan akibat

impairment untuk melakukan suatu aktivitas dalam rentang waktu tertentu yang

biasanya waktu itu sudah cukup bagi orang normal untuk melakukan aktivitas

tersebut.

Sulter et al. (1999) dalam penelitiannya mengatakan bahwa kita harus hati-hati

dalam menentukan definisi dependence (ketergantungan) karena banyak faktor yang

tidak berhubungan dengan intervensi yang kita lakukan pada pasien stroke, seperti

faktor psikologis dan sosialekonomi yang berpengaruh terhadap ketergantungan ini.

Sebagai contoh pasien stroke yang mempunyai tingkat sosialekonomi yang baik dapat

menggunakan kursi roda untuk membantu aktivitas kesehariannya sehingga tingkat

ketergantungan dengan orang lain lebih ringan dibandingkan pasien stroke yang tidak

mempunyai kursi roda.

Indeks Barthel diperkenalkan oleh Mahoney dan Barthel tahun 1965 untuk

memeriksa status fungsional dan kemampuan pergerakan otot/ekstremitas pada

pasien penyakit kronik. Item Indeks Barthel dibagi menjadi 2 kelompok yaitu

kelompok yang berhubungan dengan perawatan diri sendiri (makan, berhias, mandi,

berpakaian, buang air kecil dan besar, dan penggunaan toilet) dan kelompok yang

berhubungan dengan mobilitas (berjalan, berpindah tempat, dan naik tangga), dengan

maksimal skor 100. Wade tahun 1988, mempergunakan Indeks Barthel ini untuk

3
PENINGKATAN SKOR INDEKS BARTHEL SEBAGAI ACUAN PEMULANGAN PASIEN STROKE
ISKEMIK DARI RUMAH SAKIT
DEWIYANA
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

mengevaluasi keterbatasan/ketidakmampuan melakukan aktivitas tertentu saat pasien

akan keluar dari rumah sakit. Indeks ini direkomendasikan sebagai salah satu

instrumen yang sering dipakai untuk menilai keterbatasan aktivitas sehari-hari.

Keunggulan Indeks Barthel ini mempunyai reliabilitas dan validitas yang tinggi,

mudah dan cukup sensitif untuk mengukur perubahan fungsi serta keberhasilan

rehabilitasi. Kelemahannya indeks ini tidak merupakan skala ordinat dan tiap

penilaiannya tidak menunjukkan berat atau ringannya fungsi aktivitas sehari-hari.

Indeks Barthel ada dua versi, yaitu versi Wade dan Collin (1988) memuat 10

penilaian dengan total nilai antara 0 (ketergantungan total) sampai 100 (normal) dan

versi Granger (1982) memuat 15 penilaian dengan nilai 0-100. Versi Indeks Barthel

yang banyak dipakai karena cukup sederhana adalah versi Wade dan Collin.

Barthel Index dan Modified Rankin Scale adalah skala yang umum digunakan

untuk mengukur kemampuan dan ketergantungan aktivitas sehari-hari pada pasien

stroke. Skala Indeks Barthel lebih umum digunakan untuk menilai aktivitas harian.

Akan tetapi kriteria untuk mengklasifikasikan pasien dengan keluaran klinis yang

baik secara substansi bervariasi; ada yang menggunakan skor ≥50 sampai ≥95.

Kenyataannya banyak pilihan batasan skor yang bervariasi dan belum divalidasi.

Meskipun Indeks Barthel lebih luas digunakan, hanya sedikit penelitian yang

dilakukan untuk melihat relevansi klinis dengan jumlah skor. Granger dan kawan-

kawan mengatakan bahwa skor 60 adalah skor yang sangat penting di mana pasien

dapat berubah dari ketergantungan pada orang lain menjadi mandiri. Batasan pada

pelaksanaannya, dengan skor ≥60 banyak pasien mandiri untuk kehidupan pribadi,

4
PENINGKATAN SKOR INDEKS BARTHEL SEBAGAI ACUAN PEMULANGAN PASIEN STROKE
ISKEMIK DARI RUMAH SAKIT
DEWIYANA
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

seperti berjalan, mengontrol buang air besar/kecil, makan, dan ke toilet. Skor 85

berarti mandiri dengan bantuan minimal, seperti dapat memakai baju dan pindah dari

tempat duduk ke tempat tidur tanpa dibantu. Kay dan kawan-kawan serta Dennis dan

kawan-kawan juga mengatakan bahwa skor <85 pasien membutuhkan bantuan untuk

aktivitas kesehariannya, dengan sensitivitas 94-95% dan spesifikasi 80-86% (Sulter et

al., 1999).

Kashihara et al. (2011), menyatakan bahwa pada kasus stroke yang berat status

ADL (dengan skor Indeks Barthel <40) saat keluar dari rumah sakit tidak dapat

digunakan sebagai prediktor long-term outcome, sehingga dikatakan pada kasus

stroke yang berat faktor ADL ini tidak akurat digunakan untuk prediksi outcome.

Oleh karena itu masih adanya harapan untuk penyembuhan yang baik pada pasien

stroke yang berat jika mendapat rehabilitasi dalam waktu 3 sampai 6 bulan pertama

setelah serangan. Rehabilitasi sebaiknya dilakukan tidak terlalu lama setelah masuk

rumah sakit. Kwakkel et al. (2011), dalam penelitiannya menggunakan cut of score

≥19 diklasifikasikan sebagai tingkat kemandirian dalam ADL berdasarkan the

Cochrane Stroke Unit Trialists.

Nakao et al. (2010), menggunakan cut of score ≥60 (mandiri), 40-60 (dengan

bantuan), ≤40 (tergantung). Sedangkan Thijs et al. (2000), menggunakan cut of score

<85 (ketergantungan) dan ≥85 (mandiri). Jeng et al. (2008), membagi dalam 3

kategori yaitu status fungsional yang jelek (indeks Barthel 0-40), moderate (indeks

Barthel 41-80), baik (indeks Barthel ≥80), selain itu disebutkan bahwa perawatan di

unit stroke menurunkan kematian 21%. Panicker et al. (2003), membagi severely

5
PENINGKATAN SKOR INDEKS BARTHEL SEBAGAI ACUAN PEMULANGAN PASIEN STROKE
ISKEMIK DARI RUMAH SAKIT
DEWIYANA
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

disable <41, moderately disable 41-60, dan mildly disable >60. Keberadaan prediktor

awal untuk prognosis dan outcome terapi dapat membantu kita sebagai petugas medis

untuk memberikan edukasi pada pasien dan anggota keluarga dan untuk rencana

manajemen. Selanjutnya Duncan et al. (1992), mengatakan bahwa menganalisa

gambaran recovery itu penting untuk memperkirakan apa yang dibutuhkan untuk

perawatan pasien dan membuat rencana terapi. Pengukuran dengan Indeks Barthel

untuk mengetahui kemajuan kegiatan fisik sehari-hari dan melihat keberhasilan

pengobatan penderita stroke di Indonesia menggunakan modifikasi Indeks Barthel

karena menyesuaikan kondisi masyarakatnya dengan nilai kesepakatan yang besar

yaitu nilai Kappa >0,71 (Supraptiningsih et al., 1993).

Tujuan pasien stroke dirawat inap adalah kepentingan diagnostik, intervensi

terapi, mencegah stroke baru, mengatasi masalah vaskuler, mengatasi masalah

kesehatan yang lain selama fase akut, mobilisasi dan rehabilitasi untuk

mengoptimalkan pemulihan fungsional. Lamanya pasien stroke dirawat inap dapat

diatasi dengan meningkatkan kualitas pelayanan dan efisiensi prosedur discharge

planning. Menurut Van Straten et al. (1997), terdapat beberapa faktor yang

menyebabkan pasien stroke lama dirawat inap yaitu berhubungan dengan penegakan

diagnostik, manajemen konservatif di mana tenaga medis cenderung mengobservasi

pemulihan untuk beberapa waktu yang sebenarnya dapat dilakukan setelah keluar dari

rumah sakit, membatasi kapasitas fasilitas pelayanan jangka panjang, serta adanya

inefisiensi prosedur discharge planning. Peningkatan skor Indeks Barthel ≥20%

6
PENINGKATAN SKOR INDEKS BARTHEL SEBAGAI ACUAN PEMULANGAN PASIEN STROKE
ISKEMIK DARI RUMAH SAKIT
DEWIYANA
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dikatakan signifikan secara klinis dan merupakan ambang batas pasti yang

mengindikasikan perubahan yang penting (Dromerick et al., 2003).

Nastiti et al., 2012 dalam penelitiannya mendapatkan lama perawatan pada stroke

iskemik 5-10 hari, dari 152 pasien stroke rawat inap di RS Krakatau Medika Jakarta

tahun 2011, sebanyak 82 pasien (54%) dirawat selama 5-10 hari. Sedangkan

sebanyak 35 pasien (23%) dirawat selama kurang dari 5 hari, 24 pasien (16%)

dirawat selama 11-16 hari, 6 pasien (4%) dirawat selama 17-21 hari, dan sisanya 5

pasien (3%) dirawat lebih dari 21 hari. Pada penelitian di RS Kariadi Semarang

didapatkan sebagian besar pasien stroke menjalani perawatan selama 8-28 hari

sebanyak 135 pasien (Thaib, 2012). Dalam laporan audit penatalaksanaan stroke

iskemik pasien rawat inap di RS Surakarta, didapatkan lama perawatan dari hasil

penelitian di 28 rumah sakit, selama rata-rata 10,9±9,6 hari dengan kisaran antara 1-

96 hari. Bagi yang hidup, rata-rata 11 hari pada stroke iskemik dan 17 hari untuk

stroke hemoragik. Sebagian besar (88,9%), rata-rata hari rawat kurang dari 21 hari.

Kriteria pulang pasien Stroke iskemik apabila keadaan umum pasien membaik,

melewati masa akut selama 7 hari, komplikasi teratasi. Sedangkan dalam Clinical

Pathway Unit Stroke RSUP DR Sardjito untuk pasien Stroke iskemik lama rawat

adalah sampai hari keenam. Basri 2003 menyebutkan mean length of stay Stroke

iskemik 7,5 hari. Pada beberapa penelitian sebelumnya didapatkan lama rawat yang

bervariasi, sehingga diperlukan suatu penelitian yang dapat menghasilkan suatu acuan

untuk dapat membantu pemulangan pasien stroke iskemik dengan melihat

peningkatan skor Indeks Barthel pada hari ketujuh onset.

7
PENINGKATAN SKOR INDEKS BARTHEL SEBAGAI ACUAN PEMULANGAN PASIEN STROKE
ISKEMIK DARI RUMAH SAKIT
DEWIYANA
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan

beberapa masalah, yaitu:

1) Stroke merupakan penyebab utama kecacatan yang menyebabkan terganggunya

aktivitas hidup sehari-hari, di mana memerlukan waktu yang lama dan biaya

yang besar untuk upaya pengobatan dan rehabilitasi.

2) Skor Indeks Barthel lebih umum digunakan untuk menilai aktivitas harian

kehidupan. Akan tetapi, kriteria untuk mengklasifikasikan pasien dengan

keluaran klinis yang baik secara substansi bervariasi.

3) Lama rawat pasien Stroke iskemik sangat bervariasi.

4) Pada pasien stroke iskemik selain setelah fase akut banyak faktor yang

menentukan discharge planning yang akan mempengaruhi lamanya rawat inap

di rumah sakit, sampai saat ini belum ada penelitian tentang peningkatan skor

Indeks Barthel ≥20% pada hari ketujuh onset yang dapat digunakan sebagai

acuan para dokter untuk memulangkan pasien stroke iskemik dari rumah sakit.

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas timbul pertanyaan penelitian; yaitu apakah

peningkatan skor Indeks Barthel ≥20% pada hari ketujuh onset dapat sebagai acuan

para dokter untuk memulangkan pasien stroke iskemik dari rumah sakit?

8
PENINGKATAN SKOR INDEKS BARTHEL SEBAGAI ACUAN PEMULANGAN PASIEN STROKE
ISKEMIK DARI RUMAH SAKIT
DEWIYANA
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan peningkatan skor Indeks Barthel ≥20%

pada hari ketujuh onset dapat sebagai acuan para dokter untuk memulangkan pasien

stroke iskemik dari rumah sakit.

E. Manfaat Penelitian

1) Pemahaman peran skor Indeks Barthel terhadap keluaran klinis stroke iskemik

akut.

2) Melengkapi acuan tindakan di rumah sakit mengenai penentuan peningkatan

skor Indeks Barthel terhadap keluaran klinis stroke iskemik akut sehingga dapat

digunakan sebagai dasar penentuan pasien dapat dipulangkan.

3) Memberikan data bagi institusi pendidikan dan penelitian mengenai peran skor

Indeks Barthel terhadap keluaran klinis stroke iskemik akut, sehingga dapat

digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut, dan memberi kontribusi

kemajuan ilmu kedokteran, khususnya ilmu penyakit saraf.

4) Membantu para klinisi menentukan lamanya rawat inap pasien stroke iskemik

berdasarkan fase akut dan peningkatan skor Indeks Barthel.

5) Membantu pasien dan keluarganya untuk efisiensi dana.

F. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran yang berasal dari beberapa jurnal ilmiah, peneliti

tidak mendapatkan penelitian mengenai peningkatan relatif skor Indeks Barthel pada

hari ketujuh onset pada pasien stroke iskemik sebagai acuan para dokter untuk

memulangkan dari rumah sakit. Penelitian-penelitian yang ada menggunakan skor

9
PENINGKATAN SKOR INDEKS BARTHEL SEBAGAI ACUAN PEMULANGAN PASIEN STROKE
ISKEMIK DARI RUMAH SAKIT
DEWIYANA
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Indeks Barthel saat keluar rumah sakit untuk memprediksi outcome pasien stroke

iskemik, tidak membahas tentang peningkatan relatif skor Indeks Barthel saat masuk

dan keluar rumah sakit sebagai acuan untuk memulangkan dari rumah sakit.

Tabel 1. Keaslian Penelitian


Peneliti Judul Metode Hasil
Sanusi et al., 1999 Defisit Neurologik Awal Kohort Defisit neurologik awal sebagai
Sebagai Prediktor Prospektif prediktor paling penting dalam
Aktivitas hidup Sehari- prognosis aktivitas hidup sehari-
hari Pasca Stroke hari pasca stroke.
Thursina et al., Nilai Skala Stroke Gadjah Kohort SSGM <23 mempunyai
2003 Mada saat masuk rumah Observasional prognosis defisit neurologis lebih
sakit sebagai Prediktor buruk dibandingkan pasien yang
outcome Defisit datang dengan nilai SSGM ≥23
neurologis pada Pasien (p=0,03).
Stroke
Ahmed et al., 2004 Stroke Scale Score and Kohort NIHSS dapat menjadi prediktor
Early Prediction of prospektif outcome yang baik pasca stroke
Outcome After Stroke iskemik (p<0,001)
Budiyono et al., Hubungan Derajat Berat Kohort NIHSS sangat ringan-ringan
2005 Stroke Non Hemoragik Prospektif mencapai perbaikan ADL pada
Pada Saat Masuk Rumah minggu ke-7 dan NIHSS sedang-
Sakit Dengan Waktu berat mencapai perbaikan ADL
Pencapaian Maksimal di atas 12 minggu
Aktivitas Kehidupan
Sehari-hari
Nakao et al., 2010 Relationship between Kohort BI ≥40 saat masuk rumah sakit,
Barthel Index Scores Prospektif mempunyai kemandirian yang
During The Acute Phase baik 6 bulan setelah fase akut.
of Rehabilitation and
Subsequent ADL in Stroke
Patients
Kashihara et al., Long-term Outcome of Retrospective Pada kasus stroke yang berat
2011 Severe Stroke Patients: Is observational status ADL saat keluar dari
The ADL Status at study rumah sakit bukan merupakan
Discharge from A Stroke prediktor long-term outcome.
Center Indicative of The
Long-term Outcome?
Penelitian ini Peningkatan Skor Indeks Kohort Peningkatan skor Indeks Barthel
Barthel sebagai Acuan Prospektif ≥20% merupakan faktor
pemulangan pasien stroke independen terhadap outcome
iskemik Dari Rumah kepulangan pasien stroke iskemik
Sakit dari rumah sakit.

10

Anda mungkin juga menyukai