Anda di halaman 1dari 9

KUASA PEREMPUAN DALAM SEJARAH INDONESIA KUNA1

Ufi Saraswati
Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Semarang

Abstrak. Tulisan-tulisan tentang perempuan pada masa Jawa Kuna pada umumnya bersifat
fragmentaris, sehingga dapat disampaikan bahwa sampai saat ini belum banyak dijumpai adanya
tulisan yang mengaji perempuan secara mendalam dan komprehensif, khususnya yang
membahas kuasa mereka dalam perannya sebagai perempuan. Kesetaraan kedudukan dan
peranan perempuan dalam masyarakat Jawa Kuna hampir mencakup dalam pelbagai aspek
kehidupan. Data tekstual maupun artefaktual di bidang politik, dapat diketahui bahwa perempuan
dapat menduduki jabatan mulai dari jabatan pada struktur birokrasi yang paling rendah di
pedesaan sampai kepada jabatan tertinggi. Meskipun dari segi kuantitas tidak sebanyak laki-laki,
namun berdasarkan fakta yang tersampaikan dari kedua jenis data tersebut dapat disimpulkan
bahwa laki-laki maupun perempuan pada masa Jawa Kuna mempunyai kesempatan yang sama
untuk meraih jabatan publik. Kaum perempuan pada masa Jawa Kuna dalam bidang sosial sudah
terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial, baik sebagai pendamping suami maupun sebagai diri
sendiri. Data tekstual maupun artefaktual menggambarkan adanya istri-istri yang mendampingi
suaminya berkaitan dengan kedudukan dan peranannya sebagai istri, terutama di kalangan
bangsawan dimana kaum perempuan mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan suami yang
sesuai melalui pendidikan etika, seni, satra dan bahasa, seperti tercermin dalam teks-teks sastra
pada masa Jawa Kuna.

Kata-kata kunci: kuasa perempuan, data tekstual & konstektual, Indonesia kuna

Abstract. The works on woman in the ancient period are generally fragmentaric works.
Therefore, there is no paper which could elaborate the women history in-depth and
comprehensively, especially discussing their power in the role as the women. The egality of
position and role in the ancient Javanese society is almost comprising all aspects of life. Based
on textual and contextual data in political aspect, it could be known that women could reach the
position started from the lowest bureaucracy in village to the highest position like a queen.
However, the men are more than women in term of quantity but based on the facts, between men
and women have the same opportunity to gain political position. Women in the ancient Javanese
in social aspect have already engaged in the social activities. Between textual and contextual
data describe that the women accompany their husbands related to the position and role as the
wifes, mainly in the aristocratic class when the women preparing themselves to gain the proper
husband through th ethical, art, literature, and language education; as reflected in the textual
soucres in the ancient Javanese.

Keywords: the power of women, textual and contextual data, ancient Indonesia

Sejarah mencatat adanya peran wanita di awal kerajaan-kerajaan Jawa. Salah


bidang politik. Wanita Indonesia sudah satunya terdapat dalam kisah Wangsa
berperan dalam bidang politik jauh Isyana dan keturunannya mendirikan
sebelum kolonialisme Barat. Nama-nama kerajaan Singasari dan kerajaan Majapahit.
yang patut dicatat diantaranya adalah Ratu Ken Dedes seorang tokoh dalam kerajaan
Sima, Sanggramavijaya, Dharma Prasada Singasari merupakan salah satu contoh
Tunggadewi (tangan kanan Erlangga) dan bagaimana seorang wanita menjadi dalang
sederet lainnya yang merupakan nama- bagi peralihan kekuasaan dari Tunggul
nama yang sangat dikenal di seluruh Ametung ke Ken Arok.
Indonesia. Kesaksian tentang peranan Kesetaraan jender antara kaum
wanita banyak dijumpai dalam periode perempuan dan kaum laki-laki dalam

1
Artikel ini merupakan pengembangan dari makalah yang pernah disajikan dalam Seminar Nasional Perempuan
dalam Arus Sejarah tanggal 21 April 2016 di Universitas Negeri Malang

105
106 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kesepuluh, Nomor 1, Juni 2016

perspektif sejarah sesungguhnya bukan hal diantaranya menggunakan arca, dan relief
baru. Perempuan Indonesia pada masa yang menempel pada candi atau stupa.
Mataram Kuna sampai masa Majapahit Kesetaraan kedudukan dan peranan
sudah memperoleh kedudukan dan peranan antara perempuan dan laki laki sejak masa
setara dengan laki-laki dalam berbagai Mataram Kuna sampai masa Majapahit
aspek kehidupan. Pada masa Jawa Kuna, berakar pada budaya yang tidak
Titi Surti Nastiti dalam disertasinya yang membedakan hak waris di semua kalangan.
berjudul ”Kedudukan dan Peran Tidak adanya perbedaan hak waris tersebut
Perempuan dalam Masyarakat Jawa Kuna mempengaruhi konsep domestik dan
Abad 8-15 Masehi” menyampaikan bahwa publik sehingga laki-laki maupun
pada masa Jawa Kuna kaum perempuan perempuan dapat menjabat jabatan publik
dan laki-laki mempunyai kesempatan sama asalkan mengikuti ketentuan. Ada aturan
walaupun dari segi kuantitas tidak tertentu yang harus diikuti dalam hal ini,
sebanyak kaum laki-laki. Menurut Nastiti misalnya untuk menduduki posisi putra
selanjutnya dinyatakan bahwa kesetaraan atau putri mahkota harus anak pertama dari
dapat dicapai dalam meraih jabatan publik, permaisuri, contohnya Sri
kegiatan sosial, ekonomi, dunia kesenian, Rajasawarddhani yang dalam prasasti
dan lainnya. Kancana atau yang disebut prasasti Bunur
Di bidang pemerintahan, istri bisa B menyebutkan, ia anak bungsu Hayam
mempunyai kekuasaan lebih tinggi Wuruk. Dari kakawin Nagarakrtagama
daripada suaminya. Contohnya, diketahui yang disebut sebagai
Wikramawarddhana ketika mengeluarkan Kusumawarddhani adalah putri mahkota.
prasasti Patapan II (1385 M) dan prasasti Putra pertama Hayam Wuruk seperti
Tirah atau Karang Bogem (1387 M) yang disebutkan teks Pararaton adalah Bhre
menggunakan lambang daerah Lasem, Wirabhumi, karena bukan putra dari
daerah kekuasaan Kusumawarddhani, permaisuri, ia tidak dapat menjadi putra
istrinya. Pada saat itu, Wikramawarddhana mahkota
belum menjadi raja. Penggunaan lambang
tersebut mencerminkan kekuasaan WANITA DALAM PANDANGAN
Kusumawarddhani lebih besar daripada MASYARAKAT JAWA
Wikramawarddhana. Hal sama terjadi pada
Bhre Wirabhumi yang mendapat gelar dari Wanita Jawa sangat identik dengan
istrinya, Nagarawarddhani. Bhre kultur Jawa, seperti bertutur kata halus,
Wirabhumi sebelum menjabat sebagai tenang, diam (kalem), tidak suka konflik,
penguasa Lasem, Nagarawarddhani mementingkan harmoni, menjunjung
menjabat penguasa daerah Wirabhumi. tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan
Nastiti melakukan kajian memahami orang lain, sopan, pengendalian
berdasarkan data tekstual dan artefaktual. diri tinggi atau terkontrol, dan daya tahan
Data tekstual berupa prasasti dari masa untuk menderita tinggi. Bila ada
Mataram Kuna sampai masa Majapahit perselisihan ia lebih baik mengalah, tidak
dalam bentuk teks sastra dan kumpulan gegabah, tidak grusa-grusu, dan dalam
teks, tertua seperti Ramayana dari masa mengambil langkah mencari penyelesaian
Rakai Watukura Dyah Balitung sampai dengan cara halus. Dalam konsep budaya
teks sastra dan hukum dari masa Jawa terdapat beberapa istilah tentang
Majapahit. Data artefaktual yang sezaman wanita, yaitu : wadon, pawèstri, putri,
wanodya, retna, kusuma, memanis, juwita,
Ufi Saraswati, Kuasa Perempuan dalam Sejarah Indonesia Kuna 107

wanita, dan dayita, masing-masing istilah sementara itu dari bahasa asalnya yaitu
ini mempunyai arti tersendiri yang bahasa Sansekerta sangat berbeda dengan
menunjukkan bahwa wanita dalam apa yang ada di KBBI. Perempuan berasal
pandangan masyarakat Jawa memiliki dari kata per-empu-an. Per itu berarti
peran istimewa (Basuki, 2005:5). makhluk, Empu berasal dari kata
Kata wanita dalam etimologi Jawa Sansekerta yang berarti mulia, berilmu
itu berasal dari wani ditoto alias berani tinggi, pembuat suatu karya agung. Leluhur
diatur. Menurut Old Javanese-English bangsa ini pun sudah memberikan makna
Dictionary (Zoetmulder, 1982), dalam kata perempuan sebagai bentuk
kata wanita berarti ‘yang diinginkan’. Dari penghormatan tinggi kepada kaum wanita.
sudut pandang feminis, tentu saja pe-label- Masyarakat Indonesia dikenal
an ‘wanita’ ini adalah jejak-jejak dengan sistemnya yang Patriarkis
peninggalan kultur Patriarki yang meskipun sebenarnya terdapat variasi
tertinggal dalam tatanan bahasa Indonesia. corak Patriarki antar budaya. Salah satu
Wanita jadi diukur lewat seberapa besar masyarakat yang dikenal dengan
tingkat kesetiaannya kepada lawan kebudayaannya yang Patriarkis adalah
jenisnya, walaupun ternyata dalam Kamus Jawa. Dalam budaya Jawa yang cenderung
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun paternalistik laki-laki memiliki kedudukan
berpihak kepada wanita sebagai ameliorasi yang istimewa (Handayani dan Novianto,
dari perempuan: 2004: 65).
pe.rem.pu.an [n] (1) orang Istilah wanita itu sendiri berasal dari
(manusia) yg mempunyai puki, bahasa Jawa yang berarti wani ditata
dapat menstruasi, hamil, (berani ditata). Pengertian ini telah
melahirkan anak, dan menyusui; mencirikan adanya tuntutan kepasifan pada
wanita; (2) istri; bini: — nya perempuan Jawa. Selain itu istilah putra
sedang hamil; (3) betina (khusus mahkota (bukan putri mahkota), kawin
untuk hewan). paksa, dan babakan pingitan yang
wa.ni.ta [n] perempuan dewasa:
diberlakukan kepada perempuan yang akan
kaum — , kaum putri (dewasa)
menikah, menurut Widyastuti sebagai
Perempuan diasosiasikan tanpa
nilai, sementara wanita lebih persoalan gender yang dihadapi perempuan
mengarah kepada kedewasaan. Jawa. (Widyastuti, 2007: 67).
Terang saja karena definisi Mulai dari awal pemilihan pasangan
dewasa di sini adalah sebuah hidup, laki-laki Jawa biasanya disarankan
pengabdian yang tersirat. Karena untuk tidak memilih perempuan yang
itu wanita dinilai tinggi ketika memiliki status sosial dan ekonomi yang
bisa mengabdi sehingga lebih tinggi. Selanjutnya dalam
diinginkan oleh lelaki. Kesetiaan perkawinan, istilah kanca wingking, yakni
jadi lebih baik dari kemandirian.
bahwa perempuan adalah teman di dapur
akan mewarnai kehidupan perkawinan
Ternyata nilai wanita yang lebih
pasutri Jawa. Istilah konco wingking pun
tinggi dalam bahasa Indonesia ini menurut
tidak selalu lebih rendah, tergantung
Ben Anderson (1966) adalah karena bahasa
bagaimana perempuan Jawa
Indonesia mengalami “jawanisasi” atau
memaknainya.
“kramanisasi”, kulitnya saja bahasa
Jika perempuan selalu diidentikkan
Melayu yang egaliter, tapi rohnya bahasa
sebagai kanca wingking (teman di dapur)
Jawa yang feodal. Arti kata perempuan
yang sering ditafsirkan oleh masyarakat
108 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kesepuluh, Nomor 1, Juni 2016

Jawa pada umumnya sebagai kepasifan terpenuhi tanpa mengacaukan harmoni


perempuan dan tugasnya hanya pada dengan keluar dari tatanan budaya.
urusan rumah tangga, tidak demikian
halnya dengan uraian dari berita Cina abad KUASA PEREMPUAN DALAM
7-8 M tentang keberadaan Ratu Sima dari SEJARAH INDONESIA KUNA
Kerajaan Kalingga (Keling) sebagai raja
wanita pertama yang memerintah pada Masa sejarah di Indonesia dibagi
abad 6-7 M di Jawa. Berita Cina dari lagi atas sejarah kuna dan sejarah modern.
Dinasti Tang mengatakan bahwa kerajaan Sejarah kuna ialah masa sejarah yang
Holing (Kalingga) di Pulau Jawa ini sangat dimulai sejak adanya pengaruh India yang
kuat. Orang Ta-Shih pada tahun 674 M berupa tulisan sampai masa kolonial,
mengurungkan niatnya untuk menyerang sedangkan sejarah modern mengacu pada
Negara ini disebabkan oleh keperkasaan masa kolonial yang ditandai dengan
Kalingga. Diberitakan pula bahwa di datangnya bangsa Eropa ke Nusantara
bawah pemerintahan Ratu Sima, Kerajaan sampai sekarang. Sepanjang sejarah
Kalingga menjadi pemerintahan negara kebudayaan Indonesia, terdapat tiga
yang sangat menjunjung tinggi hukum, gelombang kebudayaan besar yang datang
bahkan, pernah saudara ratu sendiri ke Indonesia yaitu kebudayaan India,
terpaksa harus dihukum karena berani kebudayaan Islam, dan kebudayaan Eropa.
melanggar peraturan. Kedatangan ketiga kebudayaan tersebut
Kepemimpinan Ratu Sima ini menyebabkan terjadinya Akulturasi antara
menunjukkan bahwa kepemimpinan kebudayaan Indonesia dengan ketiga
sebuah negara dalam pengambilan kebudayaan itu.
keputusan sekalipun di bawah kendali Dalam kajian ini yang berjudul
seorang perempuan tidak berarti akan Kuasa Perempuan dalam Sejarah
mendorong pada kemunduran dan Indonesia Kuna. maka yang menjadi topik
kegagalan. Dengan demikian, dapat pembahasannya adalah segala kegiatan
dikatakan bahwa dengan tidak adanya perempuan yang didapatkan dari data
protes atas kepemimpinan Ratu Sima tekstual maupun data artefaktual dengan
tersebut juga menunjukkan bahwa memakai kategori analisis gender yang
masyarakat jawa kala itu sebenarnya sudah berlaku pada masa Sejarah Indonesia
memberikan ruang yang besar pada Kuna. Gender adalah prinsip dasar dari
perempuan untuk tidak hanya bergelut hubungan sosial manusia yang didasarkan
dengan urusan rumah tangga tapi juga pada perbedaan dan persamaan laki-laki
dapat turut campur dalam urursan dan perempuan yang dibentuk secara
kenegaraan. kultural (Conkey dan Gero 1994:8; Preucel
Adanya konsep istri sebagai dan Hodder 1996:418; Gilrischt 1997:8;
sigaraning nyawa, bukan sekedar konco Hays-Gilpin dan Whitley, 1998:xv).
wingking juga memberikan gambaran Rentangan masa dalam kajian yang
posisi yang sejajar dan lebih egaliter cukup panjang (kurang lebih 7 abad) yaitu
terhadap perempuan Jawa. Selain itu mulai dari masa Matarām Kuna sampai
Handayani & Novianto juga berpendapat akhir Majapahit karena data tekstual
bahwa perempuan Jawa bukannya tidak (prasasti, teks sastra/hukum, berita asing)
memiliki otoritas pribadi. Hanya saja ia yang menuliskan mengenai perempuan
harus mencari cara agar kehendaknya sangat sedikit dan fragmentaris, sehingga
apabila hanya mengkaji dalam satu masa
Ufi Saraswati, Kuasa Perempuan dalam Sejarah Indonesia Kuna 109

saja sangat sulit untuk mendapat gambaran biasa. Mereka membantu perekonomian
mengenai kedudukan dan peranan keluarga dengan membantu suami
perempuan pada masa Jawa Kuna yang menggarap sawah atau ladang. Di sela-sela
utuh. kesibukan bekerja di sawah/ladang,
Bukti Tekstual menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga,
Dalam data prasasti, baik laki-laki mereka membuat barang-barang kerajinan
maupun perempuan banyak menduduki seperti kain, barang-barang anyaman,
jabatan pemerintahan sebagaimana barang-barang dari tanah liat, gula, minyak,
dijumpai pada prasasti Juruűan (876 M) dan sebagainya, yang digunakan untuk
dan prasasti Wariűin Pitu (1477 keperluan sendiri dan dijual. Selain itu,
M). Perempuan pada masa itu juga sudah kaum perempuan pun handal dalam
melibatkan diri dalam kegiatan sosial berniaga, yang dibuktikan dengan adanya
sebagai pendamping suami maupun pedagang-pedagang di tingkat eceran
sebagai diri sendiri. Dalam prasasti Wulig sampai saudagar (bańigramī) yang
(935 M), Rakai Mangibil, selir Mpu melakukan perdagangan tidak hanya di
Sindok, meresmikan tiga bendungan. tingkat desa tapi mungkin sampai tingkat
Sedangkan pada relief candi sering regional dan internasional.
ditampilkan raja atau bangsawan ditemani Pada masa Jawa Kuna, masalah-
perempuan. masalah hukum diselesaikan oleh pejabat-
Perempuan bukan sebagai alat pejabat kehakiman. Tidak banyak data
hiburan semata, tetapi juga menjadi sumber tekstual yang menuliskan tentang masalah
penghasilan keluarga dan ada perempuan hukum. Satu-satunya prasasti yang isinya
profesional dalam bidang seni berkaitan dengan perempuan yang
pertunjukan. Namun, walaupun kaum mempunyai kaitan dengan hukum adalah
perempuan pada masa itu sudah menikmati prasasti Guntur (907 M.). Prasasti ini
kesetaraan hampir di semua aspek menyebutkan adanya perempuan yang
kehidupan, dalam hal tertentu, terutama di menjadi saksi (tatra sākśī) dan pemutus
bidang keagamaan, perannya masih lebih suatu perkara (pinariccheda guńadośa).
rendah dari kaum laki-laki dalam bela dan Pada masa Majapahit selain pejabat
sati tukon. Perempuan tidak dapat kehakiman yang disebut
menjabat sebagai pejabat tertinggi i)t)dharmmopapat, ada semacam Dewan
keagamaan atau menjadi Kawi. Pertimbangan Kerajaan (āra saptaprabhu)
Selain prasasti, teks-teks sastra pun yang beranggotakan keluarga kerajaan.
banyak menuliskan kegiatan yang Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan memerintah, yang menjabat sebagai
terutama dari kalangan bangsawan. Dalam Dewan Pertimbangan Kerajaan adalah raja,
Teks sastra digambarkan bagaimana kaum permaisuri, ayah-bunda raja paman raja,
perempuan menghabiskan waktunya untuk dua adik perempuan raja beserta suaminya.
menulis puisi atau kegiatan lainnya, dan Apabila anggota Dewan Pertimbangan
bagaimana gambaran laki-laki yang Kerajaan ini terdiri dari laki-laki dan
berangkat ke medan perang, dan perempuan, maka pejabat kehakiman di
sebagainya. tingkat pusat tidak pernah dijabat oleh
Kedudukan dan peranan perempuan perempuan.
pada masa Jawa Kuna dalam bidang Meskipun tidak pernah disebutkan
ekonomi tidak perlu diragukan lagi, adanya pejabat keagamaan perempuan,
terutama perempuan dari kalangan rakyat tidak berarti bahwa kaum perempuan tidak
110 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kesepuluh, Nomor 1, Juni 2016

mempunyai peranan dalam bidang agama. Jawa Kuna telah mempertunjukkan


Dalam beberapa prasasti disebutkan keahliannya di depan penonton. Dari data
adanya pasangan suami istri yang artefaktual diketahui bahwa keahliannya
membebaskan atau membeli tanah untuk ini tidak hanya dipertunjukkan di dalam
keperluan suatu bangunan suci sebagai ruangan seperti yang dilakukan dalam
dharmma mereka. Selain itu prasasti Taji pesta-pesta yang dilakukan oleh kaum
(901 M.) menyebutkan adanya warga desa bangsawan, tetapi juga ada kesenian yang
laki-laki dan perempuan yang membeli dipertunjukkan di jalan. Bentuk-bentuk
tanah bagi sīma suatu bangunan suci. pertunjukan yang dipertontonkan selain
Teks Mānawadharmaśāstra, tari-tarian juga sulap seperti yang
Agastyaparwa, dan Kŕśńayana menuliskan digambarkan dalam relief Stupa
bahwa perkawinan yang baik adalah Borobudur. Bagi perempuan pada Jawa
perkawinan di antara orang yang sederajat. Kuna, seni bukan hanya sebagai alat
Pada masa Jawa Kuna, terutama masa hiburan saja akan tetapi juga sebagai
Majapahit banyak perkawinan yang sumber penghasilan. Pada masa itu telah
dilakukan di antara saudara sepupu ada kaum perempuan profesional dalam
Bukti Artefaktual bidang seni pertunjukan.
Data artefaktual, terutama dijumpai
pada relief-relief candi, baik candi-candi di PENUTUP
Jawa Tengah maupun di Jawa Timur.
Banyak adegan yang menggambarkan Menarik untuk diungkapkan adalah
kegiatan laki-laki maupun perempuan baik adanya perbedaaan gambaran mengenai
di lingkungan kerajaan maupun di kedudukan dan peranan perempuan dalam
lingkungan masyarakat biasa. Kegiatan di masyarakat Jawa Kuna antara apa yang
lingkungan istana biasanya digambarkan ditulis dalam prasasti dan teks-teks sastra
dalam adegan-adegan paseban, sedangkan terutama kakawin. Data prasasti
kegiatan di lingkungan masyarakat pada menunjukkan bahwa perempuan telah
umumnya menggambarkan kehidupan memegang peranan penting dalam
sehari-hari, seperti bertani dan berladang masyarakat (van Setten van der Meer,
sebagaimana yang terdapat di beberapa 1979; Ayatrohaédi, 1986; Lombard, 1990;
relief di Stupa Borobudur. Nastiti 1998, 2001). Sebaliknya dengan
Di samping itu ada beberapa relief kakawin yang menggambarkan perempuan
yang menggambarkan laki-laki dan masa lalu stereotip sebagai orang yang
perempuan yang sedang melakukan lemah dan subordinat dari laki-laki.
upacara keagamaan atau ada juga yang Apabila diamati adanya perbedaan
menggambarkan mereka sedang menari perspektif itu dikarenakan sumber-sumber
atau memainkan musik. Pada relief-relief yang dipakai berbeda.
candi banyak adegan yang memahatkan Beberapa Sarjana dan sumber
adegan-adegan orang yang sedang memuja Prasasti yang menuliskan bahwa
candi, baik perseorangan, pasangan suami kedudukan dan peranan perempuan setara
istri maupun kelompok. Satu di antaranya dengan laki-laki didasarkan pada cerita
dipahatkan di Stupa Borobudur yang rakyat asli dari Indonesia dan peristiwa
menggambarkan pasangan suami-istri dari yang pernah terjadi di Jawa. Helen Creese
kalangan bangsawan yang memuja stūpa. (2001), sementara sarjana yang menuliskan
Di dalam dunia seni, terutama seni bahwa perempuan adalah subordinat laki-
pertunjukan, kaum perempuan pada masa laki didasarkan pada uraian kakawin yang
Ufi Saraswati, Kuasa Perempuan dalam Sejarah Indonesia Kuna 111

ceritanya berasal dari India dimana laki yang sedang memasak dalam
budayanya sangat androsentris. Maka kesempatan-kesempatan tertentu.
dengan demikian jelas bahwa meskipun Pekerjaan-pekerjaan seperti telah
prasasti maupun kakawin sama-sama disebutkan di atas masih dapat ditemukan
ditulis di Jawa, akan tetapi karena latar di dalam kehidupan masyarakat Jawa dan
belakang budaya yang berbeda maka Bali sekarang, meskipun ada beberapa
penggambaran mengenai kedudukan dan pekerjaan yang sudah mulai berangsur-
peranan perempuan pun berbeda. angsur hilang bahkan ada yang sudah
Dalam pembagian pekerjaan lenyap sama sekali. Adanya pembagian
berdasarkan jenis kelamin yang didasarkan pekerjaan tersebut bukan berarti kelompok
pada maskulinitas dan feminitas seseorang yang satu mendominasi yang lain, akan
sesuai dengan jenis kelaminnya, dapat tetapi justru saling melengkapi karena
diamati dalam kehidupan sehari-hari mereka sadar akan adanya perbedaan fisik
mayarakat Jawa Kuna. Pertama adalah antara laki-laki dan perempuan.
pekerjaan-pekerjaan yang membedakan Tidak semua peranan dan
pekerjaan antara laki-laki dan perempuan, kedudukan perempuan dalam kehidupan
terutama pekerjaan yang menyangkut fisik masyarakat Jawa Kuna setara dengan laki-
dan umumnya terdapat di dalam laki. Ada beberapa aspek yang tidak setara,
masyarakat kalangan bawah. Kedua, baik ketidaksetaraan itu lebih tinggi atau
pekerjaan-pekerjaan yang tidak lebih rendah dari laki-laki. Dapat
membedakan laki-laki atau perempuan, dikemukakan di sini bahwa dalam
terutama berlaku pada pekerjaan-pekerjaan percaturan politik, perempuan tidak saja
yang tidak memakai kekuatan fisik. Jenis dapat tampil di ranah publik karena ia
pekerjaan seperti itu didapatkan di setiap memegang suatu jabatan, tetapi juga
lapisan masyarakat, seperti jabatan-jabatan berperan secara tidak langsung di belakang
yang ada di desa maupun di pusat. suaminya. Berdasarkan data tekstual dapat
Pembagian kerja secara fisik dapat diketahui ada beberapa raja yang diduga
diamati dari data artefaktual yang berupa menjadi raja karena perkawinan. Sebagai
relief misalnya, digambarkan perempuan contoh adalah Rakai Watukura Dyah
menanam padi dan memanen hasil Balitung yang diasumsikan menikah
pertanian, sedang laki-laki mencangkul dan dengan putri mahkota. Seperti diketahui
membajak. Selain itu ada pekerjaan- bahwa ayah Balitung hanyalah seorang raja
pekerjaan lain yang tampaknya dibedakan bawahan (haji). Demikian pula dengan
atas fisik mereka seperti yang tergambar Airlangga dan Raden Wijaya, keduanya
dalam relief-relief. Digambarkan dalam menikahi putri mahkota dan putri-putri raja
relief beberapa pekerjaan laki-laki pendahulunya.
misalnya, keluar rumah untuk menangkap Adapun peranan perempuan yang
ikan, berburu, menggembala, dan lebih rendah dari laki-laki adalah bela atau
sebagainya sementara perempuan sati, tukon, perempuan yang tidak dapat
mengerjakan pekerjaan rumah tangga menjabat sebagai pejabat-pejabat tertinggi
seperti mengasuh anak, memasak, serta keagamaan atau perempuan tidak dapat
membuat produksi rumah tangga seperti menjadi seorang Kawi. Apabila ditelusuri
menenun dan membuat barang-barang dari asal mula dari adat istiadat yang
tanah liat. Tetapi tidak berarti bahwa laki- menyebabkan adanya ketidaksetaraan
laki tidak bisa memasak, karena ada maka dapat diketahui bahwa semua itu
beberapa relief yang menggambarkan laki- berasal dari kebudayaan India. Meskipun
112 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kesepuluh, Nomor 1, Juni 2016

demikian dalam mengadopsi kebudayaan sebagai anugerah raja, maka tidak


India, masyarakat Jawa Kuna tidak sembarang laki-laki terutama dari kalangan
menerapkan langsung ke dalam bangsawan yang dapat melakukan hal-hal
budayanya, tetapi ada hal-hal yang yang melecehkan kaum perempuan
disesuaikan dengan budayanya. Seperti tersebut.
yang disebutkan oleh berita Portugis yang
melakukan bela atau sati ini tidak hanya DAFTAR PUSTAKA
dilakukan oleh perempuan tetapi juga oleh
laki-laki bangsawan yang bunuh diri Ayatrohaédi, ed. 1986. Kepribadian
sebagai tanda setia kepada rajanya. Adanya Budaya Bangsa. Jakarta:
laki-laki yang ikut bela atau sati tidak Pustaka Jaya.
didapatkan di negara asalnya. Selain itu Basuki, A. R. 2005. Perempuan (di mata
dalam melakukan bela atau sati, Budaya Jawa). Bende Media
perempuan tidak langsung menerjunkan Informasi Seni dan Budaya.
diri langsung ke dalam api yang berkobar Surabaya: Dinas Pendidikan
seperti yang terjadi di India, tetapi dan Kebudayaan Jawa
menikam dirinya dulu sebelum jatuh ke Timur.
dalam api. Hal ini mungkin dilakukan Conkey, M.W. dan J. M. Gero. 1994
untuk mengurangi rasa sakit dari “Tensions, Pluralities, and
perempuan yang melakukan bela atau sati Engendering Archaeology:
dan lebih manusiawi daripada yang An Introduction to Women
dilakukan di India. and Prehistory”. Dalam Joan
Dalam masalah hukum pun, M. Gero and Margaret W.
hukuman yang dijatuhkan kepada laki-laki Conkey, ed. Engendeing
yang melakukan pelecehan seksual Archaeology. Women and
(paradāra) lebih berat daripada aturan- Prehistory. Oxford UK &
aturan yang terdapat dalam perundang- Cambridge USA: Blackwell,
undangan di India, meskipun seperti telah page :3–30. Cetak ulang.
dikemukakan bahwa kitab-kitab Creese, H. 2001“Images of Women and
perundangan-undangan yang ada di Jawa Embodiment in Kakawin
bersumber kepada kitab-kitab perundang- Literature”, dalam
undangan India. Perbedaan ini karena Intersections: Gender,
seperti yang disebutkan dalam prasasti History and Culture in the
Bendosari dan Paruŋ adalah karena Asian Context, Issue 5, May
masyarakat Jawa Kuna telah mempunyai 2001,
hukum adat yang dijadikan dasar URL:http:/wwwsshe.murdoc
pertimbangan selain kitab-kitab hukum. h.edu.au/intersection/issue
Adanya anugerah raja kepada 5/creese. html, accessed 22
pejabat yang telah berjasa seperti May 2001.
angjamah rare, angjamah kawula, dan
Gilchrist, R. Gender and Material Culture.
menikahi ůayang, meskipun hal ini
The Archaeology of Religious
tampaknya merendahkan derajat kaum
Women. London dan New
perempuan, tetapi apabila diteliti secara
York: Routledge, 1997.
seksama sebenarnya hal ini merupakan
bentuk perlindungan terhadap perempuan, Handayani, C.S & Novianto, A. 2004.
karena dengan adanya hak-hak istimewa Kuasa Wanita Jawa.
Ufi Saraswati, Kuasa Perempuan dalam Sejarah Indonesia Kuna 113

Yogyakarta: LkiS Pelangi Reformasi Ekonomi Vol. 8,


Aksara No. 1. Januari-Desember
Hays-Gilpin, K dan David S. Whitley. 2007.
1998. Reader in Gender
Archaeology. London:
Routledge, 1998.
Lombard, D. 1990. Nusa Jawa: Silang
Budaya. Penelitian Sejarah
Terpadu Bagian 3: Warisan
Kerajaan-Kerajaan
Konsentris. Jakarta:
Gramedia, 1996. Trans. dari
Le Carrefour Javanais. Essai
d”histore globale. III:
L’heritage des royaumes
concentriques.
Nastiti, T. S. 1998 “Wanita pada Masa
Jawa Abad IX-XV Masehi”.
Dalam Kongres Nasional
Sejarah 1996. Subtema
Pemikiran dan Analisis Teks
Sejarah. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
RI,hal:107–26.
-----------------. 2009. Kedudukan dan
Peranan Perempuan dalam
Masyarakat Jawa Kuna
(Abad VIII - XV Masehi):
Ringkasan Disertasi. Jakarta:
Universitas Indonesia
Preucel, R. dan Hodder, I. 1996.
Contemporary Archaeology
in Theory, ed. Oxford;
Cambridge, Massachusetts:
Blackwell Publisher Ltd.
van Setten van der Meer, 1979.N.C. Sawah
Cultivation in Ancient Java:
Aspect of Development on the
Indo-Javanese Period.
Canberra: Australian
National University Press.
Widyastuti, S.H. .2007 “Perempuan
Menerjang Hambatan
Budaya: Catatan Dari
Lapangan” dalam Jurnal

Anda mungkin juga menyukai