1, Juni 2011
LITERASI
Abstrak
Spivak membuat pernyataan, “Can the subaltern speak?” yang meragukan suara perempuan
bisa didengar untuk melawan sistem patriarkal dan kolonial. Dia juga menyatakan bahwa
perempuan sebagai kelompok subaltern tidak memiliki bahasa konseptual yang mereka
gunakan untuk berbicara dan tak ada telinga kaum lelaki–baik pribumi maupun penjajah–
berkenan mendengar. Artikel ini mendeskripsikan posisi perempuan sebagai kelompok
subaltern dalam mengartikulasikan bahasa melawan patriarki dan sistem kolonial dalam
sastra poskolonial. Posisi inferioritas dan perempuan sebagai kelas bawah, perempuan
sebagai pembantu rumah tangga ataupun perempuan tradisi, bisa bertarung, baik di ruang
publik maupun domestik. Para perempuan mencoba untuk mengartikulasikan suara mereka
agar didengar oleh tatanan patriarkal dan kolonial, meskipun mereka menyadari posisi
mereka sebagai kelas-kedua di dalam masyarakat.
Kata kunci: perempuan, subaltern, resistensi, sastra poskolonial
Abstract
Spivak gives the statement “Can the subaltern speak?”, that he doubted the women’s
voices can be heard to resist the patriarchal and colonial systems. He also stated that women
as a subaltern group do not have a conceptual language that they use to talk and no male’s
ears–colonizers and natives–would listen. This paper describe the position of women as
the subaltern group in articulating language against patriarchy and the colonial system in
postcolonial literature. The position of inferiority and of women as lower class, women as a
housekeeper or a woman of tradition, can take the fight in both public and domestic space.
The women tried to articulate her voices in order to be heard by the patriarchal order and
colonial, even though they realize their position as second-class in society.
Keywords: women, subaltern, resistance, postcolonial literature
16
Perempuan Subaltern dalam Karya Sastra Indonesia Poskolonial
Asep Deni Saputra
17
Vol. 1, No. 1, Juni 2011
didengar oleh perempuan itu sendiri, yang bergantung kepada tiga kepatuhan,
yang mengalami dan menjadi korban yaitu: (1) kalau ia masih bersama orang
sistem-sistem yang menguntungkan tua, ia harus patuh kepada ayahnya; (2)
kaum laki-laki. Perempuan hanya bisa kalau sudah menikah, ia harus patuh
berjuang untuk kehidupannya sendiri kepada suaminya; dan (3) jika menjadi
dan hanya perempuan itu sendiri yang janda, ia harus patuh kepada anak laki-
bisa mempertahankan hak-haknya untuk lakinya (Shidarta, 1994:107). Dalam sistem
menjadi bagian dari sistem itu. perkawinan, jika perempuan menikah,
Perempuan dalam masyarakat kehidupan perempuan dapat terangkat
patriarki sudah tidak memiliki peran untuk statusnya sebagai perempuan. Akan tetapi,
berinteraksi dalam ruang publik. Hak- pernikahan pun tidak selalu membawa
hak perempuan sudah diperjualbelikan kebahagiaan kepada perempuan karena
sehingga kedudukan perempuan sudah beberapa hal sebagai berikut. Pertama,
tidak berharga. Eksistensi perempuan perempuan tidak diberi kesempatan
hanya sebatas pelengkap dan aktivitas memilih suaminya sendiri, bahkan mereka
atau relasinya dengan laki-laki hanya tidak pernah bertemu dengan calon
digunakan sejauh mendukung aktivitas suaminya. Kedua, perempuan dinikahkan
dan proyek laki-laki. Perempuan akan demi hubungan bisnis. Ketiga, seorang
berharga jika kaum perempuan itu sendiri gadis harus membuktikan keperawanannya
memiliki value dan menguntungkan bagi kepada mertuanya. Apabila bukti itu tidak
kehidupan laki-laki. Artinya bahwa kaum ada, ia akan dikembalikan kepada orang
perempuan direpresentasikan sebagai tuanya dan itu merupakan aib yang luar
benda yang bisa dipakai oleh kaum laki- biasa. Artinya, posisi perempuan terkait
laki ketika ia dibutuhkan. Relasi antara dengan relasi kuasa dengan laki-laki menjadi
perempuan dan laki-laki sangat terbatas objek atau golongan subaltern.
dalam kepentingan terbatas pula, seperti Konstruksi budaya masyarakat
yang dikemukakan Sunur (2006) berikut. pribumi selama ini menempatkan
Laki-laki membentuk sebuah relasi perempuan sebagai ‘teman belakang’
terhadap dunianya dengan menggunakan laki-laki yang kehidupannya hanya
perempuan dan aktivitasnya sebagai berkisar pada persoalan; sumur, kasur,
mediator antara laki-laki dan laki-laki, laki- dan dapur (Gandhi, 2006:xvi). Artinya,
laki dan alam, dan laki-laki dan roh. Laki- penempatan perempuan dianggap rendah
laki rupanya mengonstruksi sebuah dunia
untuk hidup bersama bagi laki-laki dan
dalam kehidupan keluarga. Kehidupan
perempuan dengan melihat perempuan perempuan dikuasai oleh kaum laki-
sebagai mediator dan itu berarti perempuan laki atas sistem patriarki yang notabene
menjadi “yang lain” bagi laki-laki. sebagai sistem yang merantai kebebasan
Kekuasaan patriarki menjadi mata perempuan dan mendukung gerak dan
rantai dari kekuatan maskulin laki-laki tindak laki-laki. Patriarki dalam hal ini
yang membentuk satu stigma untuk merupakan suatu jenis istilah keluarga
membelenggu kaum perempuan ketika yang dikuasai oleh kaum laki-laki (Bhasin,
berelasi dengan kaum laki-laki. Penugasan 1996:1). Hal ini dapat dihubungkan dalam
kaum laki-laki terhadap perempuan bidang sosial yang menunjukan interaksi
sebagai mediator adalah wujud kekuasaan antara kaum laki-laki dan perempuan
laki-laki untuk memenuhi kepentingannya sangat berbeda dalam instansi keluarga.
sendiri dan menempatkan perempuan Perbedaan tersebut adalah keterbatasan
berada di luar lingkungannya. Wujud perempuan dalam berinteraksi dengan
perempuan tergantung kepada kekuasaan orang lain karena hanya sebatas interaksi
laki-laki, seperti yang ajaran dalam filsafat dalam keluarga dan mengerjakan pekerjaan
Cina tentang kehidupan perempuan domestik.
18
Perempuan Subaltern dalam Karya Sastra Indonesia Poskolonial
Asep Deni Saputra
1 “Wacana Perempuan: Engkau yang Konkret”, dalam Jurnal Driyarkara Edisi Th. XXVIII No. 3/2006,
Jakarta, hlm. 1.
19
Vol. 1, No. 1, Juni 2011
________________________
2 Sanikem merupakan sebuah nama dari perempuan Jawa yang tidak memiliki status sosial tinggi.
Sanikem setelah dijual oleh ayahnya kepada orang Eropa yang bernama Herman Mellema otomatis
status sosial Sanikem akan berubah menjadi perempuan pribumi yang dipandang sebagai seorang
nyonya besar dari Tuan Administratur perkebunan. Dengan penggantian nama dari Sanikem
menjadi Nyai Ontosoroh supaya Sanikem dihargai sebagai seorang nyai dari orang Eropa. Nama
Nyai Ontosoroh sebagai bukti perubahan status soial Sanikem dari seorang perempuan Jawa dari
golongan rendah menjadi seorang nyai orang Eropa dari golongan kelas sosial tinggi. Hal itu
merupakan kebiasaan dari perempuan-perempuan pribumi yang menjadi seorang nyai Tuan Eropa
atau laki-laki asing lainnya yang berstatus sosial tinggi.
20
Perempuan Subaltern dalam Karya Sastra Indonesia Poskolonial
Asep Deni Saputra
21
Vol. 1, No. 1, Juni 2011
22
Perempuan Subaltern dalam Karya Sastra Indonesia Poskolonial
Asep Deni Saputra
sesuai dengan situasi dan kondisinya. tangga. Anak akan menjadi generasi
Prinses dapat berbicara di hadapan Minke penerus untuk dapat membangun cita-cita
bukan sebagai perempuan yang lemah keluarga. Kelahiran seorang anak, apalagi
meskipun mengembalikan keputusan anak laki-laki menjadi kekuatan baru bagi
kepada Minke. Prinses bersuara dengan keluarga, khusunya bagi seorang suami.
kepala tegak sebagai seorang perempuan Pada kutipan di atas terdapat penarasian
yang menghargai relasinya. Suara Prinses yang menjadi cita-cita seorang suami untuk
sebagai seorang istri pun yang mampu memperoleh anak. Minke memaksakan
memutuskan satu pilihan dapat terlihat kehendaknya untuk berusaha mendapatkan
pada kutipan berikut ini. seorang anak dari Prinses. Prinses sebagai
kepalanya dan aku ciumi setengah mati. seorang perempuan memiliki harga diri
Rasa-rasanya aku seperti gila diburu-buru meskipun ia memiliki kewajiban pula
kebohongan dan kekosongan yang minta isi sebagai seorang istri untuk melayani
ini. Betapa kudambakan anak keturunanku hasrat seksual suaminya. Namun, Prinses
sendiri. melakukan perlawanan ketika ia dipaksa
Prinses meronta melawan.
“Adaapakauini?”protesnya.”Lepaskan.
harus melayani suaminya tanpa ada
Itu ada surat untukmu pribadi.” rasa saling menghargai. Prinses meronta
... untuk keluar dari genggaman kekuasaan
“Apa, Mas?” tanyanya dalam hujan Minke sebagai seorang suami. Dalam
ciuman. masyarakat patriarki, tindakan Prinses
“Beri aku seorang anak, Prinses,” dan merupakan satu kesalahan yang dapat
sekarang aku peluk.
“Habis bertemu dengan siapa kau jadi
merugikan dirinya karena ia dianggap
gila seperti ini?” telah melanggar aturan dalam lembaga
“Beri aku seorang anak,” dan aku tarik perkawinan. Kaum perempuan yang telah
dia masuk ke dalam (Jejak Langkah:564). menjadi istri, ketaatan dan kepatuhan
Prinses dan Minke telah terikat terhadap suami adalah sebuah kewajiban
dalam sebuah perkawinan. Minke telah yang harus dijalani. Bahkan ada pepatah
mendapatkan Prinses sebagai perempuan yang mengatakan hal berikut.
pribumi totok, tetapi ia tetap memiliki “sebejat dan sejahat apapun, dia adalah
watak seperti perempuan Eropa. Minke tetap suamimu yang harus dipatuhi dan
ditaati; pekerjaan apapun yang hendak kau
menjadikan status perkawinannya se-
lakukan, meskipun baik, jangan sampai
bagai bentuk kekuasaan laki-laki dalam suamimu tidak mengetahui dan tidak
masyarakat patriarki. Minke diposisikan memberikan restu, jika tidak sia-sia dan
sebagai suami yang memiliki hak de tanpa pahala di mata Tuhan setiap kebaikan
facto sebagai penguasa di lingkungan yang kau perbuat” (Asep MR., 2003:81).
rumah tangga sehingga posisi istri dapat Artinya bahwa tindakan Minke bukan
dikendalikan oleh dirinya. Namun, Prinses merupakan satu kesalahan, sementara
bukan tipe perempuan tradisional yang tindakan Prinses yang meronta dan
menganut paham atau tradisi sebagai ibu melawan adalah satu kesalahan yang besar.
rumah tangga. Prinses berperan ganda Prinses semestinya menuruti apa yang
sebagai perempuan yang bekerja di luar diinginkan oleh Minke meskipun dengan
rumah sehingga ia pun dapat mengontrol cara memaksakan kehendak. Prinses
keadaan untuk menyetarakan peran de- memiliki kewajiban sebagai seorang istri
ngan suaminya, yaitu Minke. untuk melayani suaminya dengan baik.
Kesempurnaan dalam rumah tangga Oleh sebab itu, sebagai seorang perempuan,
dalam hubungannya sebagai suami-istri Prinses melakukan pembongkaran wacana
adalah dengan kehadiran seorang anak. budaya yang selama ini menempatkan
Tuntutan itu akan sangat memengaruhi perempuan sebagai “teman belakang”
hubungan keharmonisan dalam rumah laki-laki yang kehidupannya hanya
23
Vol. 1, No. 1, Juni 2011
3 Hadist dari Abu Hurairah bahwa Rasul bersabda: “Apabila seorang suami mengajak istrinya ke atas
tempat tidur, kemudian istrinya menolak permintaannya; terus suami itu kesal semalaman, maka
malaikat melaknatnya sampai pagi hari.”
24
Perempuan Subaltern dalam Karya Sastra Indonesia Poskolonial
Asep Deni Saputra
yang tidak bisa melahirkan seorang anak. untuk menyejajarkan diri dengan suami-
Lebih jauh, posisi ibu diartikan sebagai suaminya.
perempuan yang telah menunaikan Paulette sebagai perempuan Eropa
kewajibannya sebagai perempuan sejati. datang ke Hindia mengikuti suaminya.
Artinya, menjadi seorang istri dan ibu Ia terlahir dari budaya sosial Barat,
adalah prestasi kaum perempuan baik-baik tetapi ia perempuan yang memiliki sifat
sebagaimana yang diharapkan oleh suami feminin dan penuh kasih sayang. Paulette
terhadap istrinya atau oleh ibu terhadap mengikuti aturan Pangemanann dalam
anak perempuannya. kehidupan Hindia Belanda, ia tetap tunduk
Kutipan tersebut menggambarkan dalam sistem patriarki yang terkonstruksi
bahwa posisi Prinses yang tertekan karena pada masyarakat Hindia. Namun Paulette
tidak dapat memiliki seorang anak dan tidak sepenuhnya menghilangkan istiadat
tidak bisa menjadi perempuan sejati. Ia dirinya bahwa ia adalah perempuan
menganggap dirinya telah mengecewakan Eropa yang sudah memiliki label sebagai
Minke sebagai suaminya atau bahkan telah perempuan modern. Ia tidak sepenuhnya
mengecewakan keluarganya karena tidak berada dalam kekuasaan Pangemanann
bisa menjadi ibu. Pramoedya menarasikan yang notabene sebagai laki-laki yang
kekurangan Minke sebagai satu kekalahan terlindungi oleh kekuasaan patriarki dan
bagi perempuan untuk dapat bersaing kolonial. Dalam hal ini, Barat dan Timur
dengan laki-laki. Peran perempuan di memiliki pandangan yang sama bahwa
ranah domestik yang sudah menjadi peran laki-laki dan perempuan dalam
kodrat tidak dapat diselesaikan dengan ikatan perkawinan tidak bisa ditukar.
baik oleh Prinses. Prinses mendengar kata Peran tersebut telah terkunci kuat dalam
anak-anak adalah satu harapan yang sangat aturan masyarakat. Seorang suami ber-
besar untuk menciptakan keluarga yang kewajiban memberi nafkah kepada istri
harmonis dan sempurna. Kesuksesan peran dan melindungi keluarganya. Sementara
sebagai perempuan modern di ranah publik peran istri adalah mengurus rumah tangga
tidak bisa dibarengi dengan peran ranah dan mengikuti aturan suami.
privat sebagai seorang istri. Suara Prinses Perombakan istiadat dan perputaran
terbungkam oleh harapan yang belum kebudayaan membuktikan bahwa jika
tercapai. Ia dapat terkalahkan oleh kata perempuan menempatkan diri sebagai
anak-anak yang dianggap menakutkan. pencari nafkah menggantikan tempat
Pada fragmen terakhir Tetralogi laki-laki, atau sebaliknya, kaum laki-laki
menggantikan tugas suci kemasyarakat-
Buru ini, Pramoedya mengalihkan an wanita —yaitu pendidikan anak dan
tokoh protagonis dari Minke kepada pengembangan wataknya, sesuai metode
Jacques Pangemanann yang ditunjuk oleh yang benar— maka tugas suci itu akan
gubermen sebagai pihak yang memiliki terbengkalai disebabkan ketidakmampuan
kendali mengawasi semua aktivis per- kaum laki-laki dalam hal itu. Namun yang
gerakan. Pangemanann adalah seorang perlu digarisbawahi adalah kemaskulinan
laki-laki tidak memengaruhi keadaan
Indo yang memiliki pemikiran kuat untuk ini karena jenis kelamin seseorang tidak
membangun pribumi yang jauh dari membawa kepada penetapan atau
penindasan kolonialisme. Pangemanann penggunaan suatu hukum (Al-Buthi,
memiliki latar belakang keluarga dari 2005:13-14).
golongan elite. Ia berpendidikan dan Pernyataan tersebut menggambarkan
memiliki istri seorang perempuan Eropa bahwa peran perempuan dan laki-laki
bernama Paulette. Artinya, dalam Tetralogi tidak bisa dipertukarkan, kecuali kaum
Buru Pramoedya memosisikan perempuan laki-laki atau perempuan melakukan peran
sebagai istri dari berbagai ras dengan ganda sekaligus. Laki-laki dengan sifat
konsep yang sama; bersikap feminis maskulinitasnya tidak bisa melakukan
25
Vol. 1, No. 1, Juni 2011
peran domestik dengan baik karena laki- untuk menunjukkan eksistensinya bahwa
laki lebih menggunakan pikiran daripada ia adalah seorang laki-laki modern. Namun,
perasaan. Artinya, kaum laki-laki tidak bisa Paulette memandang bahwa Pangemanann
melakukan pekerjaan domestik yang lebih adalah seorang laki-laki yang lemah.
banyak menggunakan perasaan dalam Ia menggunakan sifat maskulinitasnya
pekerjaannya. Begitu pula sebaliknya, ka- dengan sesuatu yang negatif. Relasi dalam
um perempuan dianggap tidak mampu perkawinan antara suami dan istri menjadi
melakukan pekerjaan laki-laki yang notebene tidak sakral jika salah satunya menodai
lebih banyak menggunakan tenaga dan perkawinan tersebut.
pikiran. Salah satu gambaran bahwa kaum Perempuan-perempuan dalam novel
laki-laki lebih lemah dalam perasaan dapat karangan Pramoedya Ananta Toer me-
terlihat pada kutipan berikut ini. miliki permasalahan yang mengakibatkan
“Lupakan, sayang,” kataku.
mereka terpinggirkan oleh situasi di tengah
“Hentikan minum, Jacques, kembalilah masyarakat patriarki. Permasalahan-per-
sebagai Jacques yang kukenal dan selalu masalahan yang kompleks yang dihadapi
kukenal dan kurindukan dulu. Aku pilih oleh tokoh-tokoh perempuan tersebut
kau, aku cinta kau, Jacques, karena kau mengakibatkan mereka menjadi objek
punya kelebihan dari orang Prancis pada dalam situasi sosial dan seksualitas.
umumnya. Dulu kau tak pernah minum,
kau seorang teetotaller. Ingatkah kau dulu
waktu aku bertanya padamu, sebelum kita
2. Njai Dasima Karya G. Francis:
kawin? Mengapa kau tak pernah minum? Negosiasi terhadap Superioritas
Tak sukakah kau bersenang-senang? Dan Kolonialisme
kau menjawab, kami dari Hindia bisa Posisi perempuan dalam ber-
bersenang-senang tanpa minuman keras. bagai bidang, termasuk dalam karya
Sekarang kau tidak puas dengan bols dan sastra diidentikkan sebagai golongan
wiski. Kau terus menerus minum murni
begini.”
terpinggirkan dan stereotip. Selain
Suaranya semakin berduka cita, seakan- karya-karya Pramoedya Ananta Toer,
akan matahari takkan bakal terbit lagi. karya-karya lain yang mewakili kisah
“Jangan aniaya istrimu begini rupa, perempuan yang termarginalkan terdapat
Jacques. Rasa-rasanya sudah sia-sia aku pada novel Tjerita Njai Dasima (1896)
jadi istrimu. Kalau kau sudah mulai karangan G. Francis seorang pengarang
minum, aku dan anak-anakmu sudah tidak
ada, sudah tidak ada artinya lagi bagimu”
Eropa (kolonial). Cerita Nyai Dasima
(Rumah Kaca:307-308). mengisahkan seorang perempuan Jawa
bernama Nyai Dasima yang menjadi nyai
Kutipan tersebut mencerminkan dari laki-laki kebangsaan Inggris bernama
bahwa Jacques sebagai seorang laki- Tuan W. Nyai Dasima memiliki paras
laki dianggap lemah dan tidak bisa cantik dan baik sehingga Tuan W sangat
mengendalikan pikirannya. Jacques Pang- mencintainya. Nyai Dasima dalam hal ini
emanann adalah seorang Indo (Hindia diposisikan sebagai perempuan lemah.
dan Prancis) yang memiliki kekuasaan. Sebagai seorang nyai, Nyai Dasima dapat
Ia seorang golongan elite, berpendidikan memiliki kebahagiaan dan kemewahan,
tinggi, dan jabatan yang tinggi pula, tetapi namun semua itu dirusak oleh laki-laki
kepemilikan tersebut harus bergejolak pribumi bernama Samioen. Samioen telah
dengan batinnya. Kekuasaan yang ia menghasut Nyai Dasima bahwa posisi
miliki telah digunakan dengan keliru nyai memiliki pandangan yang negatif
sehingga ketika sadar ia pun tidak bisa dan Tuan W sebagai kolonial hanya bisa
mengendalikan pikirannya. Pangemanann merampas kekayaan golongan pribumi.
sebagai seorang yang memiliki darah ke- Samioen dengan segala strateginya telah
Timur-an harus tunduk dengan situasi menipu Nyai Dasima untuk meninggalkan
kemodernan. Ia minum minuman keras Tuan W dan menikah dengannya.
26
Perempuan Subaltern dalam Karya Sastra Indonesia Poskolonial
Asep Deni Saputra
27
Vol. 1, No. 1, Juni 2011
________________________
4 Bukak klambu: buka kelambu menunjukkan tahapan hubungan perempuan dan laki-laki seperti suami istri
sebagai salah satu syarat menjadi perempuan penari ronggeng di Dukuh Paruk.
28
Perempuan Subaltern dalam Karya Sastra Indonesia Poskolonial
Asep Deni Saputra
29
Vol. 1, No. 1, Juni 2011
Dominasi dan diskriminasi tersebut di- Ananta Toer, Pramoedya. 1981. Rumah
pertegas dengan ajaran phalocentris, yang Kaca. Jakarta: Hasta Mitra.
didasarkan atas pandangan kebudayaan
yang menganggap bahwa laki-laki menjadi Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata
pusat atau norma dari relasi-relasi sosial Hati. Jakarta: Kompas.
yang ada (Lasar, 2006). Asep MR. 2003. “Perempuan, Kyai, dan
Kitab Kuning,” dalam Srinthil, Jilid
2. Depok: Desantara.
D. Simpulan Beavoir, Simone de. 1988. The Second Sex.
Dengan melihat peristiwa yang London: Picador.
dialami oleh Nyai Ontosoroh, Surati, Bhasin, Kamla. 1996. Menggugat Patriarki.
Prinses van Kasiruta, Pulette (Tetralogi Yogyakarta: Yayasan Bentang
Buru), Nyai Dasima (Njai Dasima), dan Budaya.
Srintil (Ronggeng Dukuh Paruk), po- Francis, G. 1896. Nyai Dasima. Batavia.
sisi perempuan telah termarginalkan Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial:
atau lebih tepatnya menjadi golongan Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.
subaltern, untuk menempati ruang yang Yogyakarta: Qalam.
paling bawah. Kaum perempuan tidak Geertz, Clifford. 1983. Keluarga Jawa.
mampu untuk bangkit dan menunjukkan Jakarta: Grafiti Pers.
eksistensinya. Bahkan kaum perempuan Lasar, Al. Magnus Dafidis Watan. 2006.
tidak berani tampil untuk melakukan ”Wacana Perempuan: Tubuh
perlawanan meskipun mereka menyadari Perempuan Milik Siapa,” dalam
akan menemukan kekalahan. Dalam hal Jurnal Filsafat Driyarkara, Edisi Th.
ini, pernyataan Spivak telah dibenarkan XXVIII No. 3/2006. Jakarta, hlm. 23.
dan dianggap sebagai persoalan yang Morton, Stephen. 2008. Gayatri Spivak:
tidak memerlukan penyelesaian karena Etika, Subaltern, dan Kritik Penalaran
pernyataan Spivak mengenai keraguan Poskolonial. Terjemahan Wiwin
atas golongan subaltern telah menemukan Indiarti. Yogyakarta: Paraton.
jawabannya. Golongan subaltern tidak Redaksi Driyarkara. 2006. “Wacana Pe-
akan dapat berbicara dan menentukan rempuan: Engkau yang Konkret,”
pilihan hidupnya. Mereka akan tetap dalam Jurnal Filsafat Driyarkara,
terbungkam untuk selamanya. Hal tersebut Edisi Th. XXVIII No. 3/2006.
telah dinarasikan oleh Pramoedya Ananta Jakarta, hlm. 1.
Toer, G. Francis, dan Ahmad Tohari Sunur, Effendi Kusuma. 2006. “Kekerasan
sebagai pengarang yang meng-subjek-kan Terhadap Perempuan Suatu Akibat
perempuan dalam novelnya. Cara Pandang ‘Yang Lain’,” dalam
Jurnal Filsafat Driyarkara, Edisi Th.
XXVIII No. 3/2006. Jakarta, hlm. 33.
Daftar Pustaka Supelli, Karlina. 2006. ”Wacana Perempuan:
Menulis tentang Yang Lain,” dalam
Al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan.
Jurnal Filsafat Driyarkara, Edisi Th.
2005. Perempuan dalam Pandangan
XXVIII No. 3/2006, hlm. 6.
Hukum Barat dan Islam. Yogyakarta:
Suryawan, I. Ngurah. 2009. Bali Pascakolonial:
Suluh Press.
Jejak Kekerasan dan Sikap Kajian
Ananta Toer, Pramoedya. 1981. Anak Semua
Budaya. Yogyakarta: Kepel Press.
Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra.
Tohari, Ahmad. 1988. Ronggeng Dukuh Paruk.
Ananta Toer, Pramoedya. 1981. Bumi
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.
Wolf, Naomi. 1994. Mitos Kecantikan: Kala
Ananta Toer, Pramoedya. 1981. Jejak
Kecantikan Menindas Perempuan.
Langkah. Jakarta: Hasta Mitra.
Yogyakarta: Niagara.
30