Anda di halaman 1dari 15

Vol. 1, No.

1, Juni 2011
LITERASI

Volume 1 No. 1, Juni 2011 Halaman 16 - 30

PEREMPUAN SUBALTERN DALAM KARYA SASTRA


INDONESIA POSKOLONIAL

SUBALTERN WOMEN IN INDONESIAN POSTCOLONIAL


LITERARY WORKS

Asep Deni Saputra


Alumni Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta
Pos-el: a_d_saputra@yahoo.com

Abstrak

Spivak membuat pernyataan, “Can the subaltern speak?” yang meragukan suara perempuan
bisa didengar untuk melawan sistem patriarkal dan kolonial. Dia juga menyatakan bahwa
perempuan sebagai kelompok subaltern tidak memiliki bahasa konseptual yang mereka
gunakan untuk berbicara dan tak ada telinga kaum lelaki–baik pribumi maupun penjajah–
berkenan mendengar. Artikel ini mendeskripsikan posisi perempuan sebagai kelompok
subaltern dalam mengartikulasikan bahasa melawan patriarki dan sistem kolonial dalam
sastra poskolonial. Posisi inferioritas dan perempuan sebagai kelas bawah, perempuan
sebagai pembantu rumah tangga ataupun perempuan tradisi, bisa bertarung, baik di ruang
publik maupun domestik. Para perempuan mencoba untuk mengartikulasikan suara mereka
agar didengar oleh tatanan patriarkal dan kolonial, meskipun mereka menyadari posisi
mereka sebagai kelas-kedua di dalam masyarakat.
Kata kunci: perempuan, subaltern, resistensi, sastra poskolonial

Abstract

Spivak gives the statement “Can the subaltern speak?”, that he doubted the women’s
voices can be heard to resist the patriarchal and colonial systems. He also stated that women
as a subaltern group do not have a conceptual language that they use to talk and no male’s
ears–colonizers and natives–would listen. This paper describe the position of women as
the subaltern group in articulating language against patriarchy and the colonial system in
postcolonial literature. The position of inferiority and of women as lower class, women as a
housekeeper or a woman of tradition, can take the fight in both public and domestic space.
The women tried to articulate her voices in order to be heard by the patriarchal order and
colonial, even though they realize their position as second-class in society.
Keywords: women, subaltern, resistance, postcolonial literature

A. Pendahuluan konstruksi yang mengikat perempuan


Perempuan yang sudah menjadi objek dan menyebabkannya tidak bisa memiliki
sejarah menyebabkannya tidak terlepas dimensi lain, yaitu dimensi maskulinitas.
dari permasalahan konstruksi sosial yang Dalam hal ini, perempuan dibentuk sebagai
menyudutkan posisi dan membatasi subordinat dan inferior. Perempuan selalu
ruang gerak perempuan untuk mendapat- menjadi objek dalam ruang lingkup
kan hak-haknya dalam kehidupan ber- patriarki dan diposisikan sebagai manusia
masyarakat. Dimensi femininitas yang kelas kedua setelah laki-laki. Perempuan
menitikberatkan patriarki, merupakan pribumi yang diidentikkan sebagai

16
Perempuan Subaltern dalam Karya Sastra Indonesia Poskolonial
Asep Deni Saputra

perempuan Dunia Ketiga menjadi objek imperialis-maskulin. Perempuan dibentuk


kekuasaan kolonialisme. Perempuan dengan dimensi maskulin sebagai strategi
tidak terlepas dari penindasan dan ke- dalam perlawanan kekuasaan patriarki.
tidakberdayaannya untuk mendapatkan Hal tersebut yang selalu dilakukan kaum
hidup yang lebih baik. Perempuan perempuan sebagai objek sejarah.
diposisikan sebagai golongan subaltern Istilah subaltern digunakan untuk
yang tidak dapat mengartikulasikan merujuk kepada golongan marginal dan
suaranya untuk melawan sistem patriarki golongan yang berkedudukan rendah.
yang sudah menyudutkannya. Dengan subaltern merujuk kepada golongan in-
mengutip pernyataan Spivak, Leela Gandhi ferior, yaitu golongan masyarakat yang
(2006:vii) menyatakan pendapat berikut. menjadi hegemoni kelas-kelas yang
Sebagai golongan subaltern, kaum berkuasa. Dalam hal ini, kaum perempuan
perempuan dalam pelbagai konteks diposisikan sebagai kelas inferior
kolonial tidak memiliki bahasa kon- dalam masyarakat patriarki. Tulisan
septual untuk berbicara karena ini menggambarkan, bagaimana kaum
karena tidak ada telinga dari kaum perempuan dalam memosisikan diri di
laki-laki kolonial maupun pribumi
untuk mendengarkannya. Ini bukan
tengah-tengah masyarakat patriarki yang
berarti bahwa perempuan tidak bisa tidak pernah mendengar suara-suaranya.
berkomunikasi secara literal, tetapi Tulisan ini mendeskripsikan teks dalam
tidak ada posisi subjek dalam wacana novel Tetralogi Buru Karya Pramoedya
kolonialisme yang memungkinkan kaum Ananta Toer, Njai Dasima Karya G.
perempuan untuk mengartikulasikan diri Francis, dan Ronggeng Dukuh Paruk Karya
sebagai pribadi. Mereka “ditakdirkan”
untuk diam.
Ahmad Tohari dengan mendasarkan pada
teori subaltern yang dikemukakan oleh
Spivak ingin mengungkapkan bahwa Gayatri Spivak dalam kaitannya dengan
posisi perempuan sebagai inferior tidak pendekatan posisi kaum perempuan
akan mendapatkan ruang dalam kehidupan poskolonial.
bermasyarakat. Kaum perempuan sebagai Pendeskripsian teks yang meng-
golongan subaltern sudah selayaknya gambarkan posisi perempuan subaltern,
diberi kesempatan dan suara. Hasrat seperti perempuan sebagai nyai yang
Spivak adalah untuk memberikan suara dikonstruksikan pada zaman kolonial, atau
bagi perempuan subaltern dalam sejarah. posisi perempuan tradisi (ronggeng) dalam
Misalnya dalam karya sastra poskolonial, mengartikulasikan suara-suaranya supaya
seperti Tetralogi Buru karya Pramoedya didengar di tengah-tengah masyarakat
Ananta Toer (1981): Bumi Manusia (BM), patriarki dijadikan sebagai data.
Anak Semua Bangsa (ASB), Jejak Langkah
(JL), Rumah Kaca (RK), Njai Dasima karya
G. Francis (1986), dan Ronggeng Dukuh B. Perempuan dalam Masyarakat
Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari (1988). Patriarki
Para pengarang menggambarkan tokoh Pada dasarnya sebagai objek sejarah,
perempuan diposisikan sebagai golongan penindasan terhadap perempuan yang
subaltern. Meskipun terdapat perlawanan dilakukan oleh kekuasaan laki-laki tidak
perempuan subaltern terhadap sistem dapat ditentang pula oleh perempuan
patriarki ataupun kolonialisme, pengarang- itu sendiri. Para perempuan menjadi
pengarang itu menampilkan kekalahan korban dan sudah digariskan menjadi
kaum perempuan dalam membahasakan objek dominasi laki-laki. Oleh sebab itu,
suaranya. Dalam hal ini Spivak (Morton, suara batin perempuan yang menderita
2008:184) memahami bahwa hasratnya untuk tidak akan pernah ada yang mendengar,
memberikan suara bagi subaltern dalam bahkan kepada sesama perempuan itu
sejarah terbentuk oleh formasi ideologis sendiri. Suara tersebut hanya dapat

17
Vol. 1, No. 1, Juni 2011

didengar oleh perempuan itu sendiri, yang bergantung kepada tiga kepatuhan,
yang mengalami dan menjadi korban yaitu: (1) kalau ia masih bersama orang
sistem-sistem yang menguntungkan tua, ia harus patuh kepada ayahnya; (2)
kaum laki-laki. Perempuan hanya bisa kalau sudah menikah, ia harus patuh
berjuang untuk kehidupannya sendiri kepada suaminya; dan (3) jika menjadi
dan hanya perempuan itu sendiri yang janda, ia harus patuh kepada anak laki-
bisa mempertahankan hak-haknya untuk lakinya (Shidarta, 1994:107). Dalam sistem
menjadi bagian dari sistem itu. perkawinan, jika perempuan menikah,
Perempuan dalam masyarakat kehidupan perempuan dapat terangkat
patriarki sudah tidak memiliki peran untuk statusnya sebagai perempuan. Akan tetapi,
berinteraksi dalam ruang publik. Hak- pernikahan pun tidak selalu membawa
hak perempuan sudah diperjualbelikan kebahagiaan kepada perempuan karena
sehingga kedudukan perempuan sudah beberapa hal sebagai berikut. Pertama,
tidak berharga. Eksistensi perempuan perempuan tidak diberi kesempatan
hanya sebatas pelengkap dan aktivitas memilih suaminya sendiri, bahkan mereka
atau relasinya dengan laki-laki hanya tidak pernah bertemu dengan calon
digunakan sejauh mendukung aktivitas suaminya. Kedua, perempuan dinikahkan
dan proyek laki-laki. Perempuan akan demi hubungan bisnis. Ketiga, seorang
berharga jika kaum perempuan itu sendiri gadis harus membuktikan keperawanannya
memiliki value dan menguntungkan bagi kepada mertuanya. Apabila bukti itu tidak
kehidupan laki-laki. Artinya bahwa kaum ada, ia akan dikembalikan kepada orang
perempuan direpresentasikan sebagai tuanya dan itu merupakan aib yang luar
benda yang bisa dipakai oleh kaum laki- biasa. Artinya, posisi perempuan terkait
laki ketika ia dibutuhkan. Relasi antara dengan relasi kuasa dengan laki-laki menjadi
perempuan dan laki-laki sangat terbatas objek atau golongan subaltern.
dalam kepentingan terbatas pula, seperti Konstruksi budaya masyarakat
yang dikemukakan Sunur (2006) berikut. pribumi selama ini menempatkan
Laki-laki membentuk sebuah relasi perempuan sebagai ‘teman belakang’
terhadap dunianya dengan menggunakan laki-laki yang kehidupannya hanya
perempuan dan aktivitasnya sebagai berkisar pada persoalan; sumur, kasur,
mediator antara laki-laki dan laki-laki, laki- dan dapur (Gandhi, 2006:xvi). Artinya,
laki dan alam, dan laki-laki dan roh. Laki- penempatan perempuan dianggap rendah
laki rupanya mengonstruksi sebuah dunia
untuk hidup bersama bagi laki-laki dan
dalam kehidupan keluarga. Kehidupan
perempuan dengan melihat perempuan perempuan dikuasai oleh kaum laki-
sebagai mediator dan itu berarti perempuan laki atas sistem patriarki yang notabene
menjadi “yang lain” bagi laki-laki. sebagai sistem yang merantai kebebasan
Kekuasaan patriarki menjadi mata perempuan dan mendukung gerak dan
rantai dari kekuatan maskulin laki-laki tindak laki-laki. Patriarki dalam hal ini
yang membentuk satu stigma untuk merupakan suatu jenis istilah keluarga
membelenggu kaum perempuan ketika yang dikuasai oleh kaum laki-laki (Bhasin,
berelasi dengan kaum laki-laki. Penugasan 1996:1). Hal ini dapat dihubungkan dalam
kaum laki-laki terhadap perempuan bidang sosial yang menunjukan interaksi
sebagai mediator adalah wujud kekuasaan antara kaum laki-laki dan perempuan
laki-laki untuk memenuhi kepentingannya sangat berbeda dalam instansi keluarga.
sendiri dan menempatkan perempuan Perbedaan tersebut adalah keterbatasan
berada di luar lingkungannya. Wujud perempuan dalam berinteraksi dengan
perempuan tergantung kepada kekuasaan orang lain karena hanya sebatas interaksi
laki-laki, seperti yang ajaran dalam filsafat dalam keluarga dan mengerjakan pekerjaan
Cina tentang kehidupan perempuan domestik.

18
Perempuan Subaltern dalam Karya Sastra Indonesia Poskolonial
Asep Deni Saputra

Permasalahan yang kompleks dalam atau secara sosial. Kaum perempuan


kehidupan masyarakat itu sendiri berasal telah teralienasi sejak mereka terlahir ke
dari ketidakharmonisan relasi sosial antara dunia dalam ruang masyarakat. Tubuh
kaum laki-laki dan kaum perempuan. perempuan sudah termiliki oleh orang
Perempuan selalu menjadi objek yang dapat lain bukan atas milik sendiri. Perempuan
dieksploitasi secara sosial ataupun seksual. lahir telah menjadi kepemilikan orang tua,
Pada kenyataannya, perempuan adalah khususnya ayah. Kemudian perempuan
concrete other. Dalam hal ini gagasan concrete mengalami tahap perkawinan yang
other dapat diartikan sebagai penerimaan otomatis kepemilikannya beralih kepada
atas ‘yang lain’ sebagai individu dengan suaminya.
sejarah, identitas, dan konstitusi efektif- Peralihan kekuasaan laki-laki atas
emosional yang konkret1 Perempuan kepemilikan ‘tubuh’ perempuan ini
terkonstruksi lahir sebagai diri yang lain menjadikan posisi lemah bagi kaum
yang membentuk sejarah dan identitasnya perempuan di tengah ruang sosial. Banyak
sendiri. Meskipun pada dasarnya peran peristiwa yang memosisikan perempuan
perempuan sama pentingnya dengan kaum sebagai kelas kedua dan subordinat
laki-laki, bahkan kemungkinan kaum sehingga kaum perempuan tidak pernah
perempuan memiliki peran vital yang tidak ikut campur atau tidak pernah dilibatkan
bisa digantikan oleh kaum laki-laki. Namun, dalam permasalahan di ruang publik,
masyarakat patriarki telah membungkam meskipun hal itu menyangkut masalah
atau mendiamkan peran tersebut supaya perempuan itu sendiri. Peristiwa dalam
tidak berkembang untuk menyamakan pengambilan keputusan memilih pa-
kedudukan dengan laki-laki. sangan hidup, peristiwa dalam memilih
Perempuan dalam budaya patriarki masa depan seperti pekerjaan (karier)
biasanya mengembangkan apa yang oleh atau pendidikan, perempuan tidak
Belenky disebut sebagai “tipe diam”. berhak menentukan sendiri tetapi semua
Perempuan bukan hanya tidak punya itu ditetapkan oleh keputusan kaum
hak untuk mengemukakan pendapat, laki-laki. Laki-laki telah menganggap
tetapi juga untuk berpikir. Di dalam benak
perempuan, terpateri lambang kebaikan
perempuan sebagai pelengkap dan tidak
yang sudah terukir sepanjang berabad- menjadi vital dalam kehidupannya. Dalam
abad sejarah (Supelli, 2006). perjalanan sejarah telah tercatat bahwa
kaum perempuan adalah kaum kelas
Pernyataan tersebut merupakan
kedua. Posisinya telah termarginalkan dan
kesahihan bentuk perempuan dalam
suaranya telah terbungkam oleh kekuasaan
kehidupan keluarga dan masyarakat.
laki-laki. Akses kaum perempuan dalam
Masyarakat patriarki mengakui bahwa
pelbagai bidang kehidupan belum terasa
kaum perempuan harus dibentuk menjadi
secara signifikan. Bahkan kehadiran dan
perempuan supaya perempuan tidak bisa
eksistensi kaum perempuan dianggap
melawan untuk menjadi seorang laki-
sebelah mata.
laki. Bahkan Simone de Beavoir (1988)
Patriarki dalam konteks ini sebagai
mengatakan bahwa seseorang tidak
kekuasaan laki-laki terhadap kaum pe-
lahir sebagai perempuan, tetapi menjadi
rempuan. Spivak dengan intelektualitas-
perempuan. Artinya, ciri-ciri feminin yang
nya mempertahankan pendapatnya bahwa
menjadi identitas kaum perempuan bukan
golongan subaltern yang tertindas tidak
terlahir sebagai ciri biologis, namun hal itu
mungkin bangkit dan bersuara. Kaum
dibentuk atau dikonstruksi oleh masyarakat
________________________

1 “Wacana Perempuan: Engkau yang Konkret”, dalam Jurnal Driyarkara Edisi Th. XXVIII No. 3/2006,
Jakarta, hlm. 1.

19
Vol. 1, No. 1, Juni 2011

intelektual tidak pernah memperhatikan Bagaimana cara perempuan subaltern


keberadaan subaltern yang sebenarnya dalam karya sastra poskolonial dalam
sehinggatidaktercantumdalamsejarah.Dalam mengartikulasikan suaranya dibahas
contoh peristiwa ‘sati’ di India bukan sebagai dalam artikel ini. Perempuan subaltern
suara subaltern dan bukan perwakilan bagi berusaha mengubah image inferior, baik di
golongan subaltern, namun sebagai sebuah ranah publik maupun domestik, terhadap
kepercayaan. Spivak (dalam Suryawan, 2009) sistem patriarki.
mengatakan sebagai berikut.
Tidak dapat berbicara adalah metafor
karena ia mencoba berbicara sehingga C. Perempuan Terpinggirkan dalam
secara metafor Anda dapat mengatakan Sastra Poskolonial
tidak ada keadilan di dunia. Orang tidak
menaruh perhatian pada ‘cerita’ subaltern. 1. Tetralogi Buru Karya Pramoedya
Para pembaca esai saya sepenuhnya Ananta Toer: Resistensi terhadap
mengabaikan kisah itu. Itu sebabnya Patriarki dan Kolonialisme
mengatakan subaltern tidak bisa bicara
juga sekaligus memberi peringatan kepada
Sanikem atau dalam novel disebut
gerakan intelektual poskolonial tentang Nyai Ontosoroh2 berusia empat belas
bahaya klaim mereka atas suara kelompok- tahun, ia dijual oleh ayahnya kepada
kelompok subaltern sebagai kelompok yang atasan sang ayah, Herman Mellema, Tuan
‘satu’. Administratur sebuah pabrik pengolahan
Pernyataan Spivak di atas telah me- gula. Sanikem memiliki posisi sebagai
nguatkan isi pikirannya tentang kelompok perempuan kelas menengah. Kehidupan
subaltern. Ia dapat memperdebatkan posisi seorang anak perempuan Jawa tidak bisa
subaltern dalam kajian poskolonial sebagai berbuat apa-apa di depan seorang ayah.
subjek sejarah. Spivak memahami posisi Orang tua, terutama seorang ayah, sangat
subaltern karena melihat pengalaman dan berperan dalam menentukan jodoh bagi
persoalan yang dihadapi oleh kelompok anaknya sekaligus memutuskan hari
subaltern yang tidak bisa keluar dari pernikahannya. Dalam adat Jawa, hal
ruang ketertindasan. Suara-suara subaltern tersebut merupakan jalan untuk memasuki
telah tertutup rapat dan tidak bisa perkawinan dan anak diwajibkan
didengarkan atau dibawa ke ruang publik. menyetujui keputusan orang tua. Seorang
Dalam peristiwa ‘sati’ di India, Spivak anak tidak boleh menentang atas hak-
mempersoalkan bahwa eksistensi subaltern hak seorang ayah untuk menentukan
benar-benar hilang ketika kolonialisme nasib anaknya di kemudian hari (Geertz,
dan patriarki bersatu untuk menguasai 1983:59). Artinya, kekuasaan laki-laki telah
dan meminggirkan kelompok subaltern menjadi adat yang harus dipatuhi. Seperti
sehingga akan menyulitkan subaltern dalam kutipan di bawah ini.
dalam mengartikulasikan suaranya.

________________________

2 Sanikem merupakan sebuah nama dari perempuan Jawa yang tidak memiliki status sosial tinggi.
Sanikem setelah dijual oleh ayahnya kepada orang Eropa yang bernama Herman Mellema otomatis
status sosial Sanikem akan berubah menjadi perempuan pribumi yang dipandang sebagai seorang
nyonya besar dari Tuan Administratur perkebunan. Dengan penggantian nama dari Sanikem
menjadi Nyai Ontosoroh supaya Sanikem dihargai sebagai seorang nyai dari orang Eropa. Nama
Nyai Ontosoroh sebagai bukti perubahan status soial Sanikem dari seorang perempuan Jawa dari
golongan rendah menjadi seorang nyai orang Eropa dari golongan kelas sosial tinggi. Hal itu
merupakan kebiasaan dari perempuan-perempuan pribumi yang menjadi seorang nyai Tuan Eropa
atau laki-laki asing lainnya yang berstatus sosial tinggi.

20
Perempuan Subaltern dalam Karya Sastra Indonesia Poskolonial
Asep Deni Saputra

Waktu berumur empatbelas masyarakat dalam praktik pernyaian, tetapi sistem


telah menganggap aku sudah termasuk patriarki pun telah memaksanya untuk
golongan perawan tua. Aku sendiri mengikuti semua aturannya. Hal tersebut
sudah haid dua tahun sebelumnya. Ayah
mempunyai rencana tersendiri tentang
dapat terlihat pada kutipan berikut ini.
diriku. Biar pun ia dibenci, lamaran-lamaran “Surati!” panggil ayahnya.
datang meminang aku. Semua ditolak. Aku
Ia keluar dari kamar dan seperti
sendiri beberapa kali pernah mendengar
patutnya berdiri menunduk melihat lantai
dari kamarku. Ibuku tak punya hak bicara
dengan tangan mengapurancang. Pada
seperti wanita pribumi seumumnya.
saat itu ia makin tahu: ibunya hanya punya
Semua ayah yang menentukan. Pernah ibu
suara keras tanpa arti.
bertanya pada ayah, menantu apa yang
“Jadi, Nduk,” Sastro Kassier mulai
ayah harapkan. Dan ayah tidak pernah
membuka pidato, “tiga hari lagi kau
menjawab (Bumi Manusia: 84).
akan kubawa ke sana, pada Tuan Besar
Sistem patriarki telah merantai kebebasan Kuasa Administratur. Semua Allahlah
perempuan untuk mendapatkan hak-haknya yang membagi-bagikan nasib dan rejeki.
Dialah yang menentukan segala-galanya
dan memosisikan perempuan sebagai kelas
sebagaimana Ia kehendaki.”
kedua. Kekuasaan patriarki direpresentasikan Pada waktu itu juga Surati mengerti ia
oleh Sastrotomo, baik terhadap Sanikem harus menjawab. Dan dengan jawaban dari
maupun istrinya sendiri, telah memengaruhi seorang anak yang takut dan patuh.
jalan kehidupan kaum perempuan. Dengan Ia tahu kepatuhan dan ketakutan-nya
demikian, keadaan perempuan dapat tak lain dari kehancuran untuk dirinya
sendiri. Tiba-tiba ia teringat pada wabah
ditentukan oleh tangan-tangan kuasa laki-laki.
cacar yang sedang mengamuk di selatan.
Kaum perempuan sebagai golongan subaltern Sebentar lagi semua akan didera oleh cacar.
tidak bisa masuk ke ranah terlarang oleh sistem Juga Tulangan. Apa beda kehancuran itu
patriarki. Pramoedya menuturkan wacana dengan keganasan cacar? Sebagaimana
patriarki yang superior dalam bertindak anak yang baik ia takkan mengecewakan
dan memosisikan perempuan sebagai objek. ayahnya.
“Sahaya hanya menurut, Ayah” (Anak
Pramoedya menggambarkan kehidupan
Semua Bangsa:212-213).
perempuan Jawa pada masa kolonial yang
tunduk terhadap adat dan sistem patriarki. Hal Praktik pernyaian muncul karena
tersebut telah terkonstruksi dalam pola pikir adanya proses pemaksaan oleh penguasa
masyarakat Jawa dan umumnya masyarakat terhadap penduduk jajahannya dengan
pribumi terhadap kekuasaan sistem patriarki. dalih menyelamatkan jabatan atau
Oleh sebab itu, Pramoedya menarasikan menaikkan jabatan. Paiman menunjukkan
kehidupan nyata mengenai perempuan- kekuasaannya di ruang domestik sebagai
perempuan Jawa seperti Sanikem pada masa seorang suami dan seorang ayah. Ia mengatur
kolonial yang harus menerima keadaan yang dan menerapkan sistem patriarki terhadap
tersubordinasi baik dalam sistem patriarki anggota keluarga lainnya untuk mengikuti
ataupun sistem kolonial. semua perintahnya. Perkataannya sudah
Cerita Surati tidak jauh beda dengan menjadi mutlak yang wajib untuk dipatuhi.
cerita Nyai Ontosoroh atau Sanikem. Sementara seorang anak hanya bisa pasrah
Kedua tokoh perempuan tersebut telah mengorbankan dirinya demi kebahagiaan
menjadi tumbal bagi kelangsungan orang tuanya meskipun pada ujungnya
hidup keluarganya dalam meningkatkan penderitaan yang akan menimpanya.
status ekonominya. Seorang ayah tetap Dalam masyarakat Jawa hubungan antara
diposisikan sebagai subjek dan berkuasa seorang ayah dan anak terdapat benang
di wilayah domestik. Setiap perintahnya merah yang tidak bisa ditembus. Ayah
adalah pekerjaan yang wajib dilaksanakan. menjadi penguasa dalam penentuan jalan
Bukan hanya sekadar sistem kolonial yang kehidupan anaknya, seorang anak tidak
telah memengaruhi kehidupan Surati bisa bebas memilih nasibnya sendiri. Teks

21
Vol. 1, No. 1, Juni 2011

di atas menjelaskan bahwa Paiman sebagai “Tanpa tandingan” (Bumi Manusia:21).


seorang ayah menegaskan bahwa semua Kutipan di atas memberikan gambaran
yang terjadi pada diri Surati karena Tuhan sikap Annelis Mellema yang tampak
telah mengaturnya. Paiman tidak mau rendah di hadapan Minke seorang laki-
dipersalahkan dan mengundang kebencian laki pribumi yang memuji kecantikan-
Surati atas tindakannya. nya. Perempuan seolah-olah sudah
Stereotip perempuan lainnya yang ter- sepantasnya diposisikan sebagai objek
pinggirkan oleh patriarki telah digambarkan dalam seks. Pujian Minke yang diberikan
pada tokoh Annelis Mellema. Ia diposisikan kepada Annelis mengidentikkan bahwa
sebagai golongan subaltern jika telah perempuan akan senang dan merasa
menyinggung kekuasaan seksualitas yang dihargai jika mendapat perhatian dari
ditunjukkan oleh Minke. Ia hanya bisa seorang laki-laki. Minke sangat menghargai
diam dan menerima kekaguman Minke kecantikan yang dimiliki Annelis Mellema.
atas kecantikannya. Dalam hal ini, Annelis Hal tersebut sangat diharapkan oleh
direpresentasikan menjadi golongan subaltern seorang perempuan yang dianggap
yang tidak dapat bersuara atas kekuasaan memiliki predikat paling berharga dari
sistem patriarki. Ia telah dibisukan oleh seorang laki-laki. Jika seorang lelaki
kearogansian Minke sebagai seorang laki- menghargai wajah dan tubuh perempuan
laki. Minke telah bersikap merendahkan karena itu milik perempuan tersebut, itu
Annelis sebagai perempuan karena telah merupakan sesuatu yang lebih dari sekadar
berani mengatakan kekagumannya dan berharga karena laki-laki tersebut telah
mencium Annelis Mellema. Dengan memiliki mengapresiasikan dirinya untuk menilai
paras yang cantik bagi seorang perempuan kecantikannya (Wolf, 1994:334-335).
merupakan suatu kekuasaan untuk menarik Istri lain dari Minke setelah Annelis
hati laki-laki. Ia mempergunakan seksualitas dan Ang San Mei meninggal adalah
untuk menghegemoni kaum laki-laki supaya Prinses Van Kasiruta. Prinses setelah
mengakui bahwa ia telah terjebak dalam menjadi istri Minke berposisi sebagai
kecantikannya. Kecantikan Annelis Mellema makhluk kelas setara dengan suaminya
hanya sebagian kecil dari perlawanannya Minke. Prinses sebenarnya diberi ruang
terhadap sistem patriarki jika dibandingkan sejajar dengan Minke dalam hal apapun,
dengan posisinya sebagi perempuan tangguh baik di ruang domestik ataupun di ruang
dan mandiri serta bisa bekerja di ruang publik. Namun, Prinses memilih untuk
publik. Wujud hidup dengan kebudayaan menghargai Minke sebagai suaminya
ganda yang dilakukan Annelis Mellema untuk memberi keputusan dalam suatu
dapat terlihat pada kutipan berikut ini. masalah. Pramoedya menarasikan bah-
Keramahannya cukup memesonakan wa Prinses bukan tidak memiliki hak
dan memberanikan. membuat keputusan sendiri, tetapi dengan
“Mengapa? Tidak tahu?” aku kembali cara Prinses berbicara supaya Minke yang
bertanya. “Karena tak pernah menyangka memutuskan adalah satu alasan bahwa
akan bisa berhadapan dengan seorang Prinses memiliki kekuatan untuk membuat
dewi secantik ini.”
keputusan itu sendiri yaitu menyuruh
Ia terdiam dan menatap aku dengan
mata-kejoranya. Aku menyesal telah Minke memutuskan sesuatu. Artinya
mengucapkannya. Ragu dan perlahan ia Prinses dapat bekerja sama dengan Minke
bertanya: baik dalam ranah domestik sebagi suami-
“Siapa kau maksudkan dewi itu?” istri ataupun di ranah publik yang sama-
“Kau,” desauku, juga ragu. sama menjadi pemimpin. Prinses dapat
Ia meneleng. Airmukanya berubah.
menghendaki apa yang diinginkannya
Matanya membeliak.
“Aku? Kau katakan aku cantik?” dan dapat memutuskan yang terbaik,
Aku menjadi berani lagi, menegaskan: baik bagi dirinya ataupun bagi orang lain

22
Perempuan Subaltern dalam Karya Sastra Indonesia Poskolonial
Asep Deni Saputra

sesuai dengan situasi dan kondisinya. tangga. Anak akan menjadi generasi
Prinses dapat berbicara di hadapan Minke penerus untuk dapat membangun cita-cita
bukan sebagai perempuan yang lemah keluarga. Kelahiran seorang anak, apalagi
meskipun mengembalikan keputusan anak laki-laki menjadi kekuatan baru bagi
kepada Minke. Prinses bersuara dengan keluarga, khusunya bagi seorang suami.
kepala tegak sebagai seorang perempuan Pada kutipan di atas terdapat penarasian
yang menghargai relasinya. Suara Prinses yang menjadi cita-cita seorang suami untuk
sebagai seorang istri pun yang mampu memperoleh anak. Minke memaksakan
memutuskan satu pilihan dapat terlihat kehendaknya untuk berusaha mendapatkan
pada kutipan berikut ini. seorang anak dari Prinses. Prinses sebagai
kepalanya dan aku ciumi setengah mati. seorang perempuan memiliki harga diri
Rasa-rasanya aku seperti gila diburu-buru meskipun ia memiliki kewajiban pula
kebohongan dan kekosongan yang minta isi sebagai seorang istri untuk melayani
ini. Betapa kudambakan anak keturunanku hasrat seksual suaminya. Namun, Prinses
sendiri. melakukan perlawanan ketika ia dipaksa
Prinses meronta melawan.
“Adaapakauini?”protesnya.”Lepaskan.
harus melayani suaminya tanpa ada
Itu ada surat untukmu pribadi.” rasa saling menghargai. Prinses meronta
... untuk keluar dari genggaman kekuasaan
“Apa, Mas?” tanyanya dalam hujan Minke sebagai seorang suami. Dalam
ciuman. masyarakat patriarki, tindakan Prinses
“Beri aku seorang anak, Prinses,” dan merupakan satu kesalahan yang dapat
sekarang aku peluk.
“Habis bertemu dengan siapa kau jadi
merugikan dirinya karena ia dianggap
gila seperti ini?” telah melanggar aturan dalam lembaga
“Beri aku seorang anak,” dan aku tarik perkawinan. Kaum perempuan yang telah
dia masuk ke dalam (Jejak Langkah:564). menjadi istri, ketaatan dan kepatuhan
Prinses dan Minke telah terikat terhadap suami adalah sebuah kewajiban
dalam sebuah perkawinan. Minke telah yang harus dijalani. Bahkan ada pepatah
mendapatkan Prinses sebagai perempuan yang mengatakan hal berikut.
pribumi totok, tetapi ia tetap memiliki “sebejat dan sejahat apapun, dia adalah
watak seperti perempuan Eropa. Minke tetap suamimu yang harus dipatuhi dan
ditaati; pekerjaan apapun yang hendak kau
menjadikan status perkawinannya se-
lakukan, meskipun baik, jangan sampai
bagai bentuk kekuasaan laki-laki dalam suamimu tidak mengetahui dan tidak
masyarakat patriarki. Minke diposisikan memberikan restu, jika tidak sia-sia dan
sebagai suami yang memiliki hak de tanpa pahala di mata Tuhan setiap kebaikan
facto sebagai penguasa di lingkungan yang kau perbuat” (Asep MR., 2003:81).
rumah tangga sehingga posisi istri dapat Artinya bahwa tindakan Minke bukan
dikendalikan oleh dirinya. Namun, Prinses merupakan satu kesalahan, sementara
bukan tipe perempuan tradisional yang tindakan Prinses yang meronta dan
menganut paham atau tradisi sebagai ibu melawan adalah satu kesalahan yang besar.
rumah tangga. Prinses berperan ganda Prinses semestinya menuruti apa yang
sebagai perempuan yang bekerja di luar diinginkan oleh Minke meskipun dengan
rumah sehingga ia pun dapat mengontrol cara memaksakan kehendak. Prinses
keadaan untuk menyetarakan peran de- memiliki kewajiban sebagai seorang istri
ngan suaminya, yaitu Minke. untuk melayani suaminya dengan baik.
Kesempurnaan dalam rumah tangga Oleh sebab itu, sebagai seorang perempuan,
dalam hubungannya sebagai suami-istri Prinses melakukan pembongkaran wacana
adalah dengan kehadiran seorang anak. budaya yang selama ini menempatkan
Tuntutan itu akan sangat memengaruhi perempuan sebagai “teman belakang”
hubungan keharmonisan dalam rumah laki-laki yang kehidupannya hanya

23
Vol. 1, No. 1, Juni 2011

berkisar pada persoalan; sumur-kasur- dan Minke merupakan permasalahan yang


dapur. Prinses menarasikan bahwa kaum dihadapi di ranah publik. Kekuasaan laki-
perempuan pun memiliki hak untuk tidak laki telah membungkam peran perempuan
melayani kaum laki-laki tanpa keadaan untuk dapat mengembangkan diri sebagai
yang damai dan bahagia. Namun, tindakan subjek. Kekalahan Prinses di ranah domestik
Prinses tidak dibenarkan oleh masyarakat dapat terlihat pada kutipan berikut ini.
patriarki yang selalu menyubordinasikan “Terima kasih sebelumnya. Anak-anak
perempuan, sementara laki-laki sebagai gadis membutuhkan pendidikan. Mereka
kepala rumah tangga yang berhak perlu bisa mendidik anak-anaknya sendiri
menentukan hitam-putihnya perempuan. di kemudian hari. Bukan saja bisa baca-tulis
Perlawanan Prinses terhadap ke- juga bisa bekerja.”
Prinses nampak memberenggut men-
inginan Minke bukan sekadar penarasian dengar kata yang menakutkan selama ini:
Pramoedya sebagai seorang laki-laki, anak-anak. Kata itu seperti ditujukan pada
tetapi Pramoedya menunjukkan bahwa dirinya, yang belum juga memperlihatkan
kaum perempuan memiliki hak yang sama tanda-tanda mengandung (Jejak Lang-
dalam pemenuhan hasrat sebagai seorang kah:586).
istri. Kutipan di atas telah menggambarkan Prinses menyadari bahwa ke-
kondisi Minke yang sudah ingin memiliki kurangannya sebagai perempuan yang
anak terpaksa memaksakan kehendak tidak dapat memberikan seorang anak
terhadap istrinya.3 Minke menuntut hak untuk Minke. Watak Prinses yang awalnya
sebagai seorang suami yang membutuhkan dapat bersaing dengan maskulinitas laki-
pemenuhan hasrat seksualnya. Hal itu laki telah kalah di ruang domestik dan
digambarkan sebagai suatu kewajaran dan memunculkan sifat femininitasnya yang
bukan sebagai suatu kekerasan. Konstruksi memiliki perasaan lemah dan tidak ber-
wacana yang sudah memberatkan beban daya. Kehadiran seorang anak merupakan
perempuan sebagai seorang istri apalagi masalah yang penting dalam hubungan
dituntut untuk memiliki anak menyebabkan rumah tangga. Menjadi seorang ibu adalah
posisi perempuan pantas berada di ruang harapan bagi semua perempuan yang
domestik. Perempuan diposisikan secara ideal. Identitasnya sebagai seorang ‘istri’
tidak adil oleh sistem yang berlaku. Hume belum mencapai tahap kegemilangan jika
(Arivia, 2006:46) mengargumentasikan ia belum berpengalaman sebagai seorang
bahwa keadilan bagi perempuan tidak dapat ‘ibu’. Meskipun sejak kecil ia dididik
dicapai secara maksimal karena terdapat untuk menjadi perempuan modern, kaum
beberapa alasan. Pertama, memang ada perempuan tidak terlepas dari didikan
fakta yang menunjukkan bahwa perempuan ibunya untuk mendapatkan pengalaman
oleh masyarakat selalu dipinggirkan. dan pengajaran menjadi seorang ‘ibu’
Kedua, perempuan pada dasarnya lemah kelak. Bahkan Gadis Arivia (2006:448)
meskipun bukan karena kodratnya, tetapi mengatakan bahwa identitas ‘ibu’ di
karena situasi sosial yang dihadapinya. dalam masyarakat mana pun merupakan
Pernyataan Hume menggambarkan bahwa posisi yang amat penting karena pada
kaum perempuan sebagai subaltern tidak dasarnya mereka menduduki status
bisa bersuara. Hal itu terbukti dari suara tertentu di mata masyarakat. Perempuan
Prinses yang menolak terhadap keinginan yang telah menjadi ibu akan dipandang
Minke untuk melakukan hubungan seksual lebih positif dibandingkan perempuan
meskipun sebagai suami-istri. Relasi Prinses
________________________

3 Hadist dari Abu Hurairah bahwa Rasul bersabda: “Apabila seorang suami mengajak istrinya ke atas
tempat tidur, kemudian istrinya menolak permintaannya; terus suami itu kesal semalaman, maka
malaikat melaknatnya sampai pagi hari.”

24
Perempuan Subaltern dalam Karya Sastra Indonesia Poskolonial
Asep Deni Saputra

yang tidak bisa melahirkan seorang anak. untuk menyejajarkan diri dengan suami-
Lebih jauh, posisi ibu diartikan sebagai suaminya.
perempuan yang telah menunaikan Paulette sebagai perempuan Eropa
kewajibannya sebagai perempuan sejati. datang ke Hindia mengikuti suaminya.
Artinya, menjadi seorang istri dan ibu Ia terlahir dari budaya sosial Barat,
adalah prestasi kaum perempuan baik-baik tetapi ia perempuan yang memiliki sifat
sebagaimana yang diharapkan oleh suami feminin dan penuh kasih sayang. Paulette
terhadap istrinya atau oleh ibu terhadap mengikuti aturan Pangemanann dalam
anak perempuannya. kehidupan Hindia Belanda, ia tetap tunduk
Kutipan tersebut menggambarkan dalam sistem patriarki yang terkonstruksi
bahwa posisi Prinses yang tertekan karena pada masyarakat Hindia. Namun Paulette
tidak dapat memiliki seorang anak dan tidak sepenuhnya menghilangkan istiadat
tidak bisa menjadi perempuan sejati. Ia dirinya bahwa ia adalah perempuan
menganggap dirinya telah mengecewakan Eropa yang sudah memiliki label sebagai
Minke sebagai suaminya atau bahkan telah perempuan modern. Ia tidak sepenuhnya
mengecewakan keluarganya karena tidak berada dalam kekuasaan Pangemanann
bisa menjadi ibu. Pramoedya menarasikan yang notabene sebagai laki-laki yang
kekurangan Minke sebagai satu kekalahan terlindungi oleh kekuasaan patriarki dan
bagi perempuan untuk dapat bersaing kolonial. Dalam hal ini, Barat dan Timur
dengan laki-laki. Peran perempuan di memiliki pandangan yang sama bahwa
ranah domestik yang sudah menjadi peran laki-laki dan perempuan dalam
kodrat tidak dapat diselesaikan dengan ikatan perkawinan tidak bisa ditukar.
baik oleh Prinses. Prinses mendengar kata Peran tersebut telah terkunci kuat dalam
anak-anak adalah satu harapan yang sangat aturan masyarakat. Seorang suami ber-
besar untuk menciptakan keluarga yang kewajiban memberi nafkah kepada istri
harmonis dan sempurna. Kesuksesan peran dan melindungi keluarganya. Sementara
sebagai perempuan modern di ranah publik peran istri adalah mengurus rumah tangga
tidak bisa dibarengi dengan peran ranah dan mengikuti aturan suami.
privat sebagai seorang istri. Suara Prinses Perombakan istiadat dan perputaran
terbungkam oleh harapan yang belum kebudayaan membuktikan bahwa jika
tercapai. Ia dapat terkalahkan oleh kata perempuan menempatkan diri sebagai
anak-anak yang dianggap menakutkan. pencari nafkah menggantikan tempat
Pada fragmen terakhir Tetralogi laki-laki, atau sebaliknya, kaum laki-laki
menggantikan tugas suci kemasyarakat-
Buru ini, Pramoedya mengalihkan an wanita —yaitu pendidikan anak dan
tokoh protagonis dari Minke kepada pengembangan wataknya, sesuai metode
Jacques Pangemanann yang ditunjuk oleh yang benar— maka tugas suci itu akan
gubermen sebagai pihak yang memiliki terbengkalai disebabkan ketidakmampuan
kendali mengawasi semua aktivis per- kaum laki-laki dalam hal itu. Namun yang
gerakan. Pangemanann adalah seorang perlu digarisbawahi adalah kemaskulinan
laki-laki tidak memengaruhi keadaan
Indo yang memiliki pemikiran kuat untuk ini karena jenis kelamin seseorang tidak
membangun pribumi yang jauh dari membawa kepada penetapan atau
penindasan kolonialisme. Pangemanann penggunaan suatu hukum (Al-Buthi,
memiliki latar belakang keluarga dari 2005:13-14).
golongan elite. Ia berpendidikan dan Pernyataan tersebut menggambarkan
memiliki istri seorang perempuan Eropa bahwa peran perempuan dan laki-laki
bernama Paulette. Artinya, dalam Tetralogi tidak bisa dipertukarkan, kecuali kaum
Buru Pramoedya memosisikan perempuan laki-laki atau perempuan melakukan peran
sebagai istri dari berbagai ras dengan ganda sekaligus. Laki-laki dengan sifat
konsep yang sama; bersikap feminis maskulinitasnya tidak bisa melakukan

25
Vol. 1, No. 1, Juni 2011

peran domestik dengan baik karena laki- untuk menunjukkan eksistensinya bahwa
laki lebih menggunakan pikiran daripada ia adalah seorang laki-laki modern. Namun,
perasaan. Artinya, kaum laki-laki tidak bisa Paulette memandang bahwa Pangemanann
melakukan pekerjaan domestik yang lebih adalah seorang laki-laki yang lemah.
banyak menggunakan perasaan dalam Ia menggunakan sifat maskulinitasnya
pekerjaannya. Begitu pula sebaliknya, ka- dengan sesuatu yang negatif. Relasi dalam
um perempuan dianggap tidak mampu perkawinan antara suami dan istri menjadi
melakukan pekerjaan laki-laki yang notebene tidak sakral jika salah satunya menodai
lebih banyak menggunakan tenaga dan perkawinan tersebut.
pikiran. Salah satu gambaran bahwa kaum Perempuan-perempuan dalam novel
laki-laki lebih lemah dalam perasaan dapat karangan Pramoedya Ananta Toer me-
terlihat pada kutipan berikut ini. miliki permasalahan yang mengakibatkan
“Lupakan, sayang,” kataku.
mereka terpinggirkan oleh situasi di tengah
“Hentikan minum, Jacques, kembalilah masyarakat patriarki. Permasalahan-per-
sebagai Jacques yang kukenal dan selalu masalahan yang kompleks yang dihadapi
kukenal dan kurindukan dulu. Aku pilih oleh tokoh-tokoh perempuan tersebut
kau, aku cinta kau, Jacques, karena kau mengakibatkan mereka menjadi objek
punya kelebihan dari orang Prancis pada dalam situasi sosial dan seksualitas.
umumnya. Dulu kau tak pernah minum,
kau seorang teetotaller. Ingatkah kau dulu
waktu aku bertanya padamu, sebelum kita
2. Njai Dasima Karya G. Francis:
kawin? Mengapa kau tak pernah minum? Negosiasi terhadap Superioritas
Tak sukakah kau bersenang-senang? Dan Kolonialisme
kau menjawab, kami dari Hindia bisa Posisi perempuan dalam ber-
bersenang-senang tanpa minuman keras. bagai bidang, termasuk dalam karya
Sekarang kau tidak puas dengan bols dan sastra diidentikkan sebagai golongan
wiski. Kau terus menerus minum murni
begini.”
terpinggirkan dan stereotip. Selain
Suaranya semakin berduka cita, seakan- karya-karya Pramoedya Ananta Toer,
akan matahari takkan bakal terbit lagi. karya-karya lain yang mewakili kisah
“Jangan aniaya istrimu begini rupa, perempuan yang termarginalkan terdapat
Jacques. Rasa-rasanya sudah sia-sia aku pada novel Tjerita Njai Dasima (1896)
jadi istrimu. Kalau kau sudah mulai karangan G. Francis seorang pengarang
minum, aku dan anak-anakmu sudah tidak
ada, sudah tidak ada artinya lagi bagimu”
Eropa (kolonial). Cerita Nyai Dasima
(Rumah Kaca:307-308). mengisahkan seorang perempuan Jawa
bernama Nyai Dasima yang menjadi nyai
Kutipan tersebut mencerminkan dari laki-laki kebangsaan Inggris bernama
bahwa Jacques sebagai seorang laki- Tuan W. Nyai Dasima memiliki paras
laki dianggap lemah dan tidak bisa cantik dan baik sehingga Tuan W sangat
mengendalikan pikirannya. Jacques Pang- mencintainya. Nyai Dasima dalam hal ini
emanann adalah seorang Indo (Hindia diposisikan sebagai perempuan lemah.
dan Prancis) yang memiliki kekuasaan. Sebagai seorang nyai, Nyai Dasima dapat
Ia seorang golongan elite, berpendidikan memiliki kebahagiaan dan kemewahan,
tinggi, dan jabatan yang tinggi pula, tetapi namun semua itu dirusak oleh laki-laki
kepemilikan tersebut harus bergejolak pribumi bernama Samioen. Samioen telah
dengan batinnya. Kekuasaan yang ia menghasut Nyai Dasima bahwa posisi
miliki telah digunakan dengan keliru nyai memiliki pandangan yang negatif
sehingga ketika sadar ia pun tidak bisa dan Tuan W sebagai kolonial hanya bisa
mengendalikan pikirannya. Pangemanann merampas kekayaan golongan pribumi.
sebagai seorang yang memiliki darah ke- Samioen dengan segala strateginya telah
Timur-an harus tunduk dengan situasi menipu Nyai Dasima untuk meninggalkan
kemodernan. Ia minum minuman keras Tuan W dan menikah dengannya.

26
Perempuan Subaltern dalam Karya Sastra Indonesia Poskolonial
Asep Deni Saputra

Tuan W sebagai laki-laki kolonial tidak nama baiknya menjadi perempuan


memperoleh stereotip yang menindas simpanan laki-laki kolonial meskipun ia
kaum pribumi, sementara Samioen diperlakukan selayaknya seorang istri
sebagai laki-laki pribumi, sebaliknya telah yang hidup mewah di sebuah istana. Nyai
merusak kehidupan kaum pribumi, yaitu Dasima telah terhasut oleh pembicaraan-
Nyai Dasima. Kekuatan patriarki muncul pembicaraan bahwa posisinya menjadi
pada diri Samioen setelah menjadi suami nyai dipandang negatif dan akan berakibat
Nyai Dasima. Ia dapat menyiksa dan buruk pada masa depannya karena
memperlakukan Nyai Dasima sebagai objek Tuan W sebagai laki-laki kolonial akan
nafsu dan emosinya. Nyai Dasima yang kembali ke negaranya dan meninggalkan
memiliki harta kekayaan sebagai seorang Nyai Dasima. Hal itulah yang membuat
nyai telah menutup mata Samioen yang Nyai Dasima dapat mengartikulasikan
memiliki sifat serakah untuk memilikinya. suaranya meninggalkan Tuan W dan ia
Nyai Dasima menyesali tindakannya menikah dengan Samioen meskipun harus
dengan memilih menjadi istri kedua dari menjadi istri keduanya. Perlawanan Nyai
Samioen dan akhirnya ia meminta cerai Dasima ini hanya sebatas pertentangan
dari Samioen. Namun, Samioen yang kebudayaan antara kolonial dan pribumi. Ia
sejak awal menikahi Nyai Dasima hanya memilih menikah dengan Samioen karena
ingin memiliki kekayaan Nyai Dasima, ia menganggap bahwa pernikahannya
akhirnya ia membunuh Nyai Dasima dan sah dan dapat diterima oleh masyarakat.
mengambil semua harta kekayaannya. Sementara ia menjadi nyai Tuan W tidak
Tuan W mengusut pembunuhan itu hingga ada kejelasannya dan dianggap tidak
Samioen dan pembunuh suruhannya sah secara hukum Islam atau norma
ditangkap. masyarakat pribumi.
Peristiwa tersebut menggambarkan Setelah menikah dengan Samioen, Nyai
bahwa posisi perempuan sebagai objek Dasima tidak mendapatkan kebahagiaan
distereotipkan lemah dan tidak berdaya. yang selama ini ia dapatkan dari Tuan
Perempuan dapat diperlakukan sebagai W. Nyai Dasima hanya dianggap sebagai
pelengkap dan tidak memiliki ruang untuk teman belakang Samioen dan pemuas
mempertahankan atau melawan atau nafsu birahi saja. Samioen tidak pernah
bahkan memilih jalan kehidupannya. G. memanjakan dan memberikan kasih
Francis menggambarkan sosok seorang nyai sayang yang tulus kepada Nyai Dasima
yang tidak bisa mengimbangi kekuasaan hingga akhirnya Dasima tidak tahan
kolonial sebagaimana digambarkan dengan tindakan Samioen. Nyai Dasima
Pramoedya Ananta Toer dengan tokohnya dapat menyuarakan pendapatnya bahwa
Nyai Ontosoroh. Nyai Dasima terlalu lembut ia ingin cerai dari Samioen dan kembali
dan lemah sebagai perempuan sehingga ke Tuan W. Nyai Dasima berusaha untuk
dengan mudah dapat dimarginalkan oleh keluar dari lingkaran kekuasaan yang
kekuatan patriarki. Nyai Ontosoroh yang dibentuk Samioen. Namun, usaha Nyai
dinarasikan oleh Pramoedya seolah sebagai Dasima untuk berpisah dengan Samioen
masa kelanjutan dari kisah Nyai Dasima berujung kepada kematiannya. Ia sudah
untuk mempertahankan haknya sebagai mengeluarkan strateginya untuk keluar
perempuan dan mengangkat martabat dari golongan marginal, tetapi ia pun harus
perempuan sebagai seorang nyai. mengorbankan nyawanya.
Nyai Dasima yang dinarasikan oleh
G. Francis telah melewati masa penting 3. Ronggeng Dukuh Paruk KaryaAhmad
untuk mempertahankan harga dirinya Tohari: Seksualitas dan Tradisi
sebagai seorang nyai. Ia keluar dari Lain halnya dengan cerita Ronggeng
wilayah kolonial untuk membersihkan Dukuh Paruk (1981) karya Ahmad Tohari

27
Vol. 1, No. 1, Juni 2011

yang menceritakan seorang perempuan penari ronggeng. Ia membatasi diri menjadi


bernama Srintil yang memiliki wangsit perempuan yang dianggap memiliki
sejak kecil untuk menjadi penari ronggeng. posisi penting bagi masyarakat Dukuh
Dukuh Paruk sebagai daerah yang terkenal Paruk meskipun ia harus menentang
dengan ronggengnya telah kehilangan batinnya untuk menjadi perempuan yang
penari ronggeng selama dua belas bebas. Tokoh Srintil memiliki persamaan
tahun. Dengan kehadiran Srintil sebagai dengan kisah tokoh Midah dalam Midah
penari ronggeng telah membangkitkan Si Manis Bergigi Emas yang dinarasikan
gairah orang-orang Dukuh Paruk. Kisah oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai
Srintil sebagai kaum perempuan telah anak yang patuh terhadap orang tua
dikendalikan oleh ayah angkatnya untuk untuk menunjukkan baktinya meskipun
menjadi seorang ronggeng. Ia harus bertentangan dengan hati nuraninya.
melayani kaum laki-laki dengan istilah Artinya, kisah perempuan selalu
bukak klambu4 sebagai salah satu syarat dinarasikan sebagai objek sejarah dan
menjadi ronggeng. Srintil yang terpilih melengkapi khazanah kehidupan.
menjadi seorang ronggeng dan dapat Namun, kesejarahan perempuan tidak
menghidupkan lagi warga Dukuh Paruk, jauh dari kisahnya yang menyudutkan
harus merelakan tubuhnya disaksikan posisi perempuan dengan dimensi
beribu pasang mata. femininitasnya. Kaum perempuan selalu
Pada akhir kisahnya, Srintil ingin menentang stereotip negatif yang
menemukan cinta dari seorang laki-laki menjadi label dari kekuasaan laki-laki.
bernama Rasus. Srintil memiliki beban Oleh sebab itu, para pengarang karya
batin, di satu sisi ia harus menjadi ronggeng sastra sebenarnya selalu memberikan
dan melayani laki-laki lain dan di sisi satu peristiwa dengan kaum perempuan
lain ia mencintai Rasus dan ingin hidup berusaha keluar dari ikatan patriarki yang
bersamanya sebagai perempuan normal. sudah menyiksanya. Upaya dan usaha
Suara batin Srintil dengan sadar tidak akan kaum perempuan untuk menyuarakan
ada orang yang mau mendengarnya. Ia penderitaannya selalu gagal untuk
harus menanggung beban kehidupannya diekspos dalam hidup bermasyarakat.
seorang diri dan memilih masa depannya Suara-suara perempuan telah dibungkam
tanpa harus melalui keputusan orang sebelum mereka melakukan tindakan dan
lain atau kaum laki-laki. Akhirnya, mengartikulasikannya oleh kekuasaan
ia memutuskan untuk meninggalkan patriarki.
kehidupan sebagai seorang ronggeng demi Dalam kisah tokoh Srintil yang
laki-laki yang dicintainya, yaitu Rasus. dinarasikan oleh Ahmad Tohari berujung
Ahmad Tohari telah menarasikan pada kebahagiaan setelah Srintil melaku-
tokoh perempuan bernama Srintil sebagai kan perlawanan terhadap sistem patriarki
kisah tradisional yang masih dikuasai yang membelenggunya. Srintil setelah
oleh kekuasaan patriarki. Srintil harus dinobatkan sebagai penari ronggeng oleh
mengikuti perintah orang tuanya sebagai masyarakat Dukuh Paruk, maka ia dan
bentuk bakti seorang anak agar sesuai tubuhnya bukan lagi miliknya sendiri. Ia
dengan aturan masyarakat patriarki. Srintil telah teralienasi oleh orang tuanya dan
sebenarnya sudah menjadi golongan masyarakat Dukuh Paruk. Srintil harus
terpinggirkan ketika ia dinobatkan sebagai tunduk dengan semua perintah orang tua

________________________

4 Bukak klambu: buka kelambu menunjukkan tahapan hubungan perempuan dan laki-laki seperti suami istri
sebagai salah satu syarat menjadi perempuan penari ronggeng di Dukuh Paruk.

28
Perempuan Subaltern dalam Karya Sastra Indonesia Poskolonial
Asep Deni Saputra

angkatnya termasuk melewati tahap bukak- dan perempuan berada di bawahnya.


klambu sebagai salah satu syarat menjadi Pernyataan Spivak mengenai golongan
penari ronggeng. Ia harus berhubungan subaltern bahwa mereka tidak mampu untuk
dengan laki-laki yang tidak dicintainya. berbicara sudah terlihat kenyataannya
Ia harus memamerkan tubuhnya untuk dalam setiap peristiwa yang dimunculkan
dilihat oleh beribu pasang mata. Hingga oleh kaum perempuan dalam karya-karya
akhirnya Srintil menyadari bahwa ia harus sastra. Posisi perempuan yang dialami
dapat menentukan pilihan hidupnya oleh Nyai Dasima atau nyai-nyai lainnya
sendiri. yang memiliki beban ganda, selain mereka
Srintil berusaha melakukan perlawan- dipaksa menyerah oleh sistem kolonial,
an untuk keluar dari kekuasaan patriarki. maka mereka pun harus mengalah dalam
Ia ingin mempertahankan hak-haknya sistem patriarki dari kaum pribumi sendiri.
sebagai perempuan. Ia ingin mengikuti Spivak menyatakan bahwa:
hati nurani dan melakukan sesuatu sesuai Selebrasi karya sastra pos-kolonial
dengan pikirannya. Rasus sebagai laki-laki sebagai bersifat radikal secara inheren
yang dicintai Srintil menjadi motivasinya hanya karena sifat representasi masya-
untuk mengartikulasikan suara batinnya, rakat poskolonial mereka juga problem-
meskipun Rasus sendiri belum tentu me- atis karena ia cenderung mengabaikan
kegagalan sejarah banyak gerakan ke-
nerima seutuhnya dan memperlakukan merdekaan nasional antikolonial un-
Srintil sebagai perempuan. Srintil me- tuk meraih kemerdekaan ekonomi dari
maksakan diri untuk hidup bersama Rasus kekuasaan kolonial sebelumnya, atau
sebagai bentuk perlawanan terhadap patri- untuk mengemansipasi-kan kelompok-
arki yang menyuruhnya menjadi seorang kelompok yang tersubordinasikan seperti
penari ronggeng. Ia beranggapan bahwa kaum perempuan, kaum miskin desa
atau penduduk pribumi secara sosial dan
dengan menjadi istri Rasus maka ia tidak ekonomi (Morton, 2008:24).
akan menjadi penari ronggeng lagi. Spivak menyatakan bahwa karya
“Bila kau ingin bertani, aku mampu sastra dapat digunakan sebagai salah satu
membeli satu hektar sawah buat kau tonggak sejarah untuk melihat masyarakat
kerjakan. Bila kau ingin berdagang, akan poskolonial dan hal-hal yang berhubungan
kusediakan uang secukupnya,” pinta Srintil dengan kolonialisme termasuk di dalamnya
di tengah malam yang amat sepi. perjuangan-perjuangan golongan subaltern.
“Srin, aku belum berpikir sedemikian Pada masa kolonial banyak peristiwa yang
jauh. Atau aku takkan pernah memikirkan meninggalkan sejarah untuk dijadikan
hal semacam itu. Lagi pula aku masih objek dan memperlihatkan hal-hal yang
teringat betul kata-katamu dulu bahwa kau dianggap sebagai representasi keburukan
senang menjadi ronggeng,” jawabku. kolonialisme. Kaum perempuan sebagai
“Eh, Rasus. Mengapa kau menyebut golongan subaltern melakukan emansipasi
hal-hal yang sudah lalu? Aku mengajukan untuk keluar dari sistem kolonial, atau
permintaanku itu sekarang. Dengar, Rasus, bahkan sistem patriarki yang menjadi
aku akan berhenti menjadi ronggeng karena strategi kolonial dalam menomorduakan
aku ingin menjadi istri seorang tentara; kaum perempuan. Kaum perempuan
engkaulah orangnya” (RDP:105). didiskriminasikan pada masa kolonial dan
seterusnya pascakolonial sebagai bentuk
Dari peristiwa-peristiwa di atas dapat kesatuan dari budaya patriarki yang terus
disimpulkan bahwa posisi perempuan menancapkan kekuasaannya. Emansipasi
sebagai subordinat dan kelas kedua da- perempuan tidak pernah berkembang
pat dibenarkan. Suara-suara perempuan karena sistem patriarki ataupun kolonial
berusaha mendiamkannya dan tidak
telah didiamkan sebelum mereka ber-
memberi kesempatan atau ruang untuk
bicara dan berpendapat. Sistem patri- kaum perempuan. Eksistensi perempuan
arki telah mendapatkan ruang keabsahan masih dianggap rendah dan pasif sehingga
dari masyarakat untuk membangun kaum laki-laki menggunakan kekuatan
wacana kaum laki-laki sebagai penguasa patriarki dan kolonial untuk menindasnya.

29
Vol. 1, No. 1, Juni 2011

Dominasi dan diskriminasi tersebut di- Ananta Toer, Pramoedya. 1981. Rumah
pertegas dengan ajaran phalocentris, yang Kaca. Jakarta: Hasta Mitra.
didasarkan atas pandangan kebudayaan
yang menganggap bahwa laki-laki menjadi Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata
pusat atau norma dari relasi-relasi sosial Hati. Jakarta: Kompas.
yang ada (Lasar, 2006). Asep MR. 2003. “Perempuan, Kyai, dan
Kitab Kuning,” dalam Srinthil, Jilid
2. Depok: Desantara.
D. Simpulan Beavoir, Simone de. 1988. The Second Sex.
Dengan melihat peristiwa yang London: Picador.
dialami oleh Nyai Ontosoroh, Surati, Bhasin, Kamla. 1996. Menggugat Patriarki.
Prinses van Kasiruta, Pulette (Tetralogi Yogyakarta: Yayasan Bentang
Buru), Nyai Dasima (Njai Dasima), dan Budaya.
Srintil (Ronggeng Dukuh Paruk), po- Francis, G. 1896. Nyai Dasima. Batavia.
sisi perempuan telah termarginalkan Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial:
atau lebih tepatnya menjadi golongan Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.
subaltern, untuk menempati ruang yang Yogyakarta: Qalam.
paling bawah. Kaum perempuan tidak Geertz, Clifford. 1983. Keluarga Jawa.
mampu untuk bangkit dan menunjukkan Jakarta: Grafiti Pers.
eksistensinya. Bahkan kaum perempuan Lasar, Al. Magnus Dafidis Watan. 2006.
tidak berani tampil untuk melakukan ”Wacana Perempuan: Tubuh
perlawanan meskipun mereka menyadari Perempuan Milik Siapa,” dalam
akan menemukan kekalahan. Dalam hal Jurnal Filsafat Driyarkara, Edisi Th.
ini, pernyataan Spivak telah dibenarkan XXVIII No. 3/2006. Jakarta, hlm. 23.
dan dianggap sebagai persoalan yang Morton, Stephen. 2008. Gayatri Spivak:
tidak memerlukan penyelesaian karena Etika, Subaltern, dan Kritik Penalaran
pernyataan Spivak mengenai keraguan Poskolonial. Terjemahan Wiwin
atas golongan subaltern telah menemukan Indiarti. Yogyakarta: Paraton.
jawabannya. Golongan subaltern tidak Redaksi Driyarkara. 2006. “Wacana Pe-
akan dapat berbicara dan menentukan rempuan: Engkau yang Konkret,”
pilihan hidupnya. Mereka akan tetap dalam Jurnal Filsafat Driyarkara,
terbungkam untuk selamanya. Hal tersebut Edisi Th. XXVIII No. 3/2006.
telah dinarasikan oleh Pramoedya Ananta Jakarta, hlm. 1.
Toer, G. Francis, dan Ahmad Tohari Sunur, Effendi Kusuma. 2006. “Kekerasan
sebagai pengarang yang meng-subjek-kan Terhadap Perempuan Suatu Akibat
perempuan dalam novelnya. Cara Pandang ‘Yang Lain’,” dalam
Jurnal Filsafat Driyarkara, Edisi Th.
XXVIII No. 3/2006. Jakarta, hlm. 33.
Daftar Pustaka Supelli, Karlina. 2006. ”Wacana Perempuan:
Menulis tentang Yang Lain,” dalam
Al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan.
Jurnal Filsafat Driyarkara, Edisi Th.
2005. Perempuan dalam Pandangan
XXVIII No. 3/2006, hlm. 6.
Hukum Barat dan Islam. Yogyakarta:
Suryawan, I. Ngurah. 2009. Bali Pascakolonial:
Suluh Press.
Jejak Kekerasan dan Sikap Kajian
Ananta Toer, Pramoedya. 1981. Anak Semua
Budaya. Yogyakarta: Kepel Press.
Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra.
Tohari, Ahmad. 1988. Ronggeng Dukuh Paruk.
Ananta Toer, Pramoedya. 1981. Bumi
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.
Wolf, Naomi. 1994. Mitos Kecantikan: Kala
Ananta Toer, Pramoedya. 1981. Jejak
Kecantikan Menindas Perempuan.
Langkah. Jakarta: Hasta Mitra.
Yogyakarta: Niagara.

30

Anda mungkin juga menyukai