Anda di halaman 1dari 3

Dhika Purnama Putra

Representation of the Subaltern: Spivak and Historiography


Y. T. Vinayaraj

Resensi
Subaltern merupakan kata yang digunakan oleh Gramsci sebagai penunjuk terhadap kelompok kelas
bawah. Subaltern diartikan sebagai kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni dari
kelas-kelas yang berkuasa. Kelas-kelas yang berkuasa tersebut melakukan eksploitasi dan penindasan
terhadap kelompok yang termarjinalkan. Makna “subaltern” yang dimaksud oleh Spivak adalah
mereka yang bukan elite dan kaum yang tidak bisa bicara dalam wacana kolonialisme.
Kaum subaltern adalah mereka yang selalu dalam posisi direpresentasikan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, seperti pemerintah, politisi, birokrat, dan aktivis kemasyarakatan. Mereka tidak
pernah bisa merepresentasikan dirinya karena kurang memiliki akses bicara di arena publik.
Kaum subaltern adalah kelompok yang selama ini selalu dalam posisi tidak
berdaya (disempowered), tidak pernah bisa berbicara di media publik (disenfranchised), dan bersifat
marjinal. Golongan ini dapat meliputi kelompok pekerja, petani, perempuan, difabel, rakyat, wong
cilik. “jika subaltern berbicara, dan itu didengar; maka dia bukan subaltern. "Subaltern berbicara,
tetapi, dia berpendapat," itu tidak terdengar "dan tentu saja" itu tidak bisa didengar ". Maka dalam
kajian ini mempertanyakan keterwakilan suara masyarakat kelas bawah oleh kelas-kelas yang
berkuasa.

Spivak menyebutkan, subaltern merupakan kelompok-kelompok yang mengalami penindasan oleh


kelas penguasa. Spivak menekankan bahwa eksploitasi terhadap kaum tertindas disebabkan adanya
dominasi struktural. Dominasi struktural tersebut muncul dari suatu sistem pembagian kerja
internasional. Dalam sistem pembagian kerja internasional, segala bentuk representasi harus datang
dari posisi istimewa atau kekuasaan. Posisi istimewa atau kekuasaan tersebut muncul karena adanya
kesempatan, pendidikan, kewarganegaraan, kelas, ras, gender dan lokasi. Dalam praktik kolonialisme,
suara masyarakat terjajah dalam menunjukkan eksistensinya sering terbendung oleh kelas penguasa
yang diciptakan rezim penjajah. Posisi subaltern kemudian selalu tersisih karena proyek penjajahan
akan dilanjutkan oleh masyarakat terjajah lainnya yang mewarisi pola pikir kolonial. Oleh sebab itu,
posisi subaltern akan terus ditekan dengan berbagai praktik penjajahan gaya baru yang terus
direproduksi.
Gayatri Spivak mempertanyakan peran intelektual pasca kolonial yang dianggap mewakili masyarakat
yang mengalami penindasan ataupun ketidakadilan. Spivak mengecam dan memperingatkan kepada
intelektual pasca kolonial tentang bahaya klaim mereka atas suara-suara dari kelompok yang
tertindas. Menurut Spivak, seorang yang intelek tidak mungkin dapat mengklaim dan meromantisir
kemapuan intelektual mereka untuk mencari perhatian dari kelompok kelas bawah demi suatu tujuan
pragmatis. Tindakan-tindakan intelektual tersebut bagi Gayatri Spivak justru bersifat kolonial. Seperti
yang dilakukuan oleh para politikus yang berbicara mengenai kesejahtraan untuk rakyat dalam setiap
kontestasi politik. Menurut Spivak, hal tersebut menyamaratakan atau dalam istilah Gramsci
menghegemoni keberagaman kelompok-kelompok yang tertindas.

Spivak menjawab pertanyaan 'worlding' dan 'othering' dalam historiografi untuk mengungkap
hubungan kekuasaan yang tidak setara yang terkandung dalam representasi Barat Lainnya - 'Dunia
Ketiga' dan Dunia Ketiga Lainnya. Mengkritik keterlibatan postkolonial dan poststruktural untuk
mewakili subaltern, Spivak berpendapat bahwa tidak ada subaltern 'esensialis' yang tidak terwakili
yang dapat mengetahui, berbicara, dan mewakili diri mereka sendiri dalam sejarah, budaya dan
politik. Untuk menyuarakan subaltern dalam penulisan kembali sejarah, Spivakian berada di batas
tengah antara yang subjektif dan objektif.

Suara dari para kaum tertindas atau subaltern tidak akan dapat dicari karena para kaum tertindas
tidak bisa bicara. Oleh karena itu, Spivak mengatakan bahwa kaum intelektual harus hadir sebagai
pendamping atau orang yang mewakili kelompok-kelompok yang tertindas tersebut. Peranan kaum
intelektual sangat penting untuk memperjuangkan kelompok-kelompok subaltern dan seharusnya
bertindak secara nyata tanpa harus merasa mewakili mereka. Spivak menolak segala jenis ide
esensialis tentang subjektivitas subaltern dan menegaskan bahwa tidak ada subjek postkolonial
esensialis yang dapat berbicara dan mengetahui kondisi mereka sendiri.

Pertanyaan tentang 'ketidakterwakilan' dari subaltern selanjutnya diperluas ke pertanyaan gender.


Dengan memfokuskan, perempuan sebagai subaltern, Spivak menegaskan, “dalam rencana
perjalanan subaltern yang dihilangkan ini, jejak perbedaan seksual dilipatgandakan. ”Spivak
memperingatkan feminisme dekonstruksionis Barat agar tidak menjadi 'terlibat dengan feminisme
borjuis esensialis.' Spivak mendesak para feminis 'dunia pertama' untuk belajar berhenti merasa
istimewa sebagai seorang wanita. Apa yang ingin dia lakukan dengan feminisme adalah untuk
menemukan kembali subaltern gender / wanita Dunia Ketiga / wanita marginal dan untuk
menekankan lokasi wanita yang berbeda, tersebar, dan heterogen. Wanita di negara dunia ketiga
adalah sebagai subaltern yang direpresi oleh gender mereka sebagai gender kedua dari sistem
patriarki, dan juga oleh rezim penguasa atau penjajah. Seperti cantoh kasus Satī atau terkenal dengan
istilah Pati Obong adalah praktik pemakaman religius di India. Perempuan yang baru saja menjadi
janda secara sukarela, atau dipaksa, untuk membakar dirinya di atas tumpukan kayu api upacara
kremasi suaminya.

Essai
Provinsi Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat yang mengacu
pada ketentuan hukum pidana Islam. Undang-undang yang menerapkannya disebut Qanun Aceh No.
6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Meskipun sebagian besar hukum Indonesia yang sekuler tetap
diterapkan di Aceh, pemerintah provinsi dapat menerapkan beberapa peraturan tambahan yang
bersumber dari hukum pidana Islam. Pemerintah Indonesia secara resmi mengizinkan setiap provinsi
untuk menerapkan peraturan daerah, tetapi Aceh mendapatkan otonomi khusus dengan tambahan
izin untuk menerapkan hukum yang berdasarkan syariat Islam sebagai hukum formal. Contohnya,
salah satu peraturan daerah (Perda) Aceh lainnya mewajibkan semua umat Muslim di Aceh
mengenakan busana Islami, yang didefinisikan sebagai pakaian yang menutupi aurat yang tidak
tembus pandang, dan tidak menunjukkan bentuk tubuh. Meski bentuk Qanun tersebut berlaku pada
laki-laki dan perempuan, pada praktiknya, pengaturan atas berpakaian terhadap perempuan lebih
represif.

Dalam kasus ini perempuan seperti diposisikan sebagai pondasi negara yang harus dikontrol dalam
setiap kegiatannya, termasuk dalam hal berpakaian. Razia-razia yang dilakukan oleh petugas syariat
yang disebut dengan Wilayatul Hisbah (WH) nyatanya lebih banyak menyasar perempuan ketimbang
lelaki. Perempuan Aceh merupakan bentuk struktur kekuasaan patriarki. Perempuan tidak pernah
menjadi agen mereka sendiri. Mereka adalah semacam kepentingan yang dibungkam kebebasan
mereka dan secara seksual dikontrol oleh orang lain. Perempuan Aceh bisa disebut sebagai subaltern
dalam wacana dominasi patriarki yang terjadi di Indonesia sebagai negara dunia ketiga. Kritik yang
dilakukan oleh Spivak dengan pendekatan melalui postkolonialisme adalah upaya dekonstruksi dari
representasi perempuan sebagai subaltern untuk disuarakan.

Anda mungkin juga menyukai