Anda di halaman 1dari 9

FEMINISME

Ratna (2010: 220) mengemukakan, “Apabila emansipasi dan gender cenderung lebih
banyak berkaitan dengan masalah-masalah praktis yang terjadi dalam masayarakat,
feminis lebih bersifat teoretis.” Menurut Ratna, gerakan feminis secara khusus
menyediakan konsep dan teori dalam kaitannya dengan analisis kaum perempuan. 1

Prejudice against Women2

Prasangka terhadap perempuan tertanam dalam kebudayaan Barat. Hal tersebut


terlihat dalam:

-Kisah Alkitabiah yang menyalahkan Hawa atas kejatuhan manusia—bukan Adam

-Penegasan Aristoteles—filsuf dan guru Yunani terkemuka—bahwa secara alamiah


laki-laki ialah superior; pengatur dan perempuan ialah inferior; yang diatur.

-Pernyataan Thomas Aquinas dan St. Augustine—filsuf dan pemimpin religius—bahwa


perempuan ialah manusia tak sempurna dan secara spiritual lemah yang memiliki sifat
sensual yang menggoda laki-laki untuk menjauh dari kebenaran spiritual.

-Penjabaran Darwin dalam bukunya The Descent of Man bahwa karakteristik


perempuan seperti peradaban masa lalu yang rendah. Secara fisik, intelektual dan
artistik perempuan ialah inferior dan laki-laki ialah superior.

Berabad-abad setelahnya diskriminasi gender dipertahankan oleh theolog, filsuf dan


ilmuwan sehingga pendapat laki-laki menjadi mapan dan menentukan peran sosial,
kultural dan personal dari perempuan.

Penentangan Pendapat Laki-Laki3

Pengarang Tahun Judul Buku Pendapat/pikiran

Mary 1792 A Vindication Wollstonecraft menulis buku tersebut berbasis


Wollstonecraft of the Rights keyakinan bahwa perempuan seperti halnya
laki-laki memiliki suara di arena publik.

1
Ratna, Nyoman Kutha, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010)
2 nd
Lihat Bressler, Charles E., Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice, 2 ed (New Jersey: Prentice-
Hall, Inc., 1998), p.180-181
3
Ibid., p.181-185
(British of Women Menurutnya, perempuan harus
philosopher, memperjuangkan haknya dan tidak
writer and mengizinkan masyarakat yang didominasi
advocate of oleh laki-laki untuk mendefinisikan dirinya.
rights of Perempuan harus bertindak layaknya
women) pemimpin, mengartikulasi siapa mereka dan
peran apa yang mereka mainkan dalam
masyarakat. Yang terpenting, mereka harus
menolak asumsi partriarkal bahwa mereka
inferior ketimbang laki-laki.

Selama akhir tahun 1700-an hingga awal


1900-an, perempuan memperoleh hak untuk
memberikan suara (right to vote) dan menjadi
aktivis yang menonjol dalam isu-isu sosial
seperti kesehatan, pendidikan, politik dan
literature. Namun, kesetaraan dengan laki-laki
dalam arena tersebut belum terwujud.

Virginia Woolf 1919 A Room of Woolf mengungkapkan bahwa laki-laki harus


One’s Own dan masih memperlakukan perempuan
(British sebagai bawahan. Menurutnya, laki-laki ialah
scholar,
pihak yang mendefinisi perempuan dan
teacher and mengontrol struktur politik, ekonomi, sosial
feminist) dan literatur.

Selaras dengan Samuel T. Coleridge, Woolf


menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan
sama-sama mempunyai pikiran yang hebat.
Dalam tulisannya, Woolf menyebutkan bahwa
saudara perempuan Shakespeare sama
berbakatnya dengan Shakespeare. Namun
karena bergender perempuan, dia tidak dapat
mengenyam pendidikan dan mendapat
pekerjaan. Bakatnya tidak berkembang
karena dia tidak memiliki ruang sendiri (her
own room). Her own room digunakan oleh
Woolf sebagai simbol otonomi dan
kesendirian perempuan untuk berpikir dan
menulis. Hingga akhir hidupnya, saudara
perempuan Shakespeare tidak mendapat
pengakuan atas kegeniusannya. Bahkan
kuburannya tak bernama, karena dia ialah
perempuan. Hal tersebut dihasilkan oleh opini
masyarakat bahwa perempuan secara
intelektual kalah dari laki-laki.

Oleh karena itu, perempuan harus menolak


konstruksi sosial dan menetapkan
identitasnya sendiri. Perempuan harus
menantang gagasan budaya palsu yang
berlaku dan mengembangkan diskursus
perempuan yang dengan akurat
menggambarkan hubungan perempuan
dengan dunia kenyataan (world of reality)—
bukan dunia laki-laki.

Simone de 1949 The Second Setelah ditangguhkan karena berlangsungnya


Beauvoir Sex Great Depression pada tahun 1930-an dan
Perang Dunia II pada tahun 1940-an,
(French perjuangan untuk mewujudkan cita-cita
scholar and feminis muncul kembali pada tahun 1949
writer) lewat tulisan Beauvoir yang dinyatakan
sebagai karya yang mendasari feminisme
abad ke-20.

Menurutnya, masyarakat Prancis seperti


halnya masyarakat Barat sama-sama
patriarkal; dikontrol oleh laki-laki.
Sebagaimana Woolf, Beauvoir berpendapat
bahwa laki-laki mendefinisikan bagaimana
menjadi manusia, termasuk bagaimana
menjadi perempuan. Karena perempuan
bukanlah laki-laki, perempuan menjadi ‘the
Other’, yakni sebuah objek yang
keberadaannya didefinisikan dan
diinterpretasikan oleh laki-laki selaku makhluk
dominan dalam masyarakat. Tidak
mengherankan apabila perempuan mendapati
dirinya sebagai bawahan laki-laki (subordinate
to the male) atau pemain sekunder
(secondary or nonexistent player) dalam
institusi sosio-kultural seperti pemerintahan,
sistem pendidikan, gereja dan lainnya.

Oleh karena itu, perempuan harus


memutuskan ikatannya dengan konstruksi
masyarakat yang patriarkal dan
mendefinisikan diri sesuai dengan cita-citanya
agar menjadi a significant human being in her
own right. Beauvoir menekankan bahwa
perempuan harus melihat dirinya sebagai
makhluk otonom. Perempuan harus menolak
konstruksi sosial yang menunjukkan bahwa
laki-laki ialah subjek atau sang absolut dan
perempuan ialah ‘the Other’.

Kate Millett 1969 Sexual Menurut Millett, jenis kelamin ditentukan saat
Politics lahir, sedangkan gender dibentuk oleh cita-
cita dan norma kultural. Secara sadar maupun
tidak sadar, perempuan dan laki-laki
menyesuaikan diri dengan cita-cita kultural
yang ditetapkan oleh masyarakat. Misalnya,
laki-laki harus agresif, tegas, dan dominan,
sedangkan perempuan harus pasif, lembut
dan rendah. Cita-cita kultural tersebut
disebarkan melalui televisi, film, lagu dan
literatur. Penyesuaian diri atau kepatuhan
pada cita-cita kultural yang ditentukan
masyarakat bagi manusia yang berjenis
kelamin laki-laki dan perempuan disebut
sexual politics.oleh Millett.

Oleh karena itu, perempuan harus melawan


pusat kekuatan/penyokong kebudayaan, yaitu
dominasi laki-laki. Perempuan harus
membentuk konvensi sosial perempuan lewat
diskursus perempuan, studi sastra dan kritik
feminis.

Feminism in the 1960s and 1970s Para kritikus feminis mengalihkan perhatian
dari arena politik ke arena sastra dengan
memeriksa kanon sastra tradisional. Mereka
menemukan dominasi laki-laki dan prasangka
laki-laki seperti yang dinyatakan Beauvoir dan
Millett bahwa laki-laki menganggap
perempuan ‘the Other’. Secara rinci, mereka
menemukan, (1) stereotip perempuan dalam
kanon sastra; bahwa perempuan ialah maniak
seks, dewi kecantikan, entitas tak berakal
atau perawan tua, (2) „kanoninasi‟ diperoleh
Dickens, Wordsworth, Hawthorne, Thoreau,
Twain dan banyak penulis laki-laki,
sedangkan status tersebut hanya diperoleh
sedikit penulis perempuan, (3) tokoh-tokoh
perempuan memiliki posisi sekunder;
memainkan peran minor dalam cerita, (4)
female scholars seperti Virginia Woolf dan
Simone de Beauvoir diabaikan; tulisan
mereka jarang diacu oleh laki-laki. Menurut
para kritikus feminis, laki-laki yang
menghasilkan kanon berasumsi bahwa
semua pembacanya ialah laki-laki.

Di samping itu, para kritikus feminis pada


tahun 1960-an dan 1970-an mempostulasikan
keberadaan pembaca perempuan yang
terhina dengan prasangka laki-laki yang
terkandung dalam kanon. Mereka
mempertanyakan kualitas literary form, style,
voice and theme yang ditunjukkan laki-laki
dan perempuan. Tidak mengherankan jika
pada akhir 1970-an, buku yang
mendefinisikan tulisan perempuan dalam
bahasa perempuan melimpah.

Bermunculan pula karya sastra yang ditulis


perempuan yang menunjukkan inferioritas
penulis laki-laki dan ketidaklayakannya dalam
kanon. Di universitas dan di lingkungan baca
manapun, pembaca memperhatikan karya
historis dan terbaru yang ditulis oleh
perempuan. Oleh karena itu, fokus kritikus
feminis ialah karya yang memuat imajinasi
perempuan, sejarah sastra perempuan, dan
estetika atau konsep kecantikan menurut
perempuan.

Elaine 1977 A Literature Dalam bukunya, Showalter menunjukkan


Showalter of Their Own bahwa evolusi tulisan perempuan terbagi
menjadi tiga (3) fase, yaitu fase feminin
(feminine phase) (1840-1880), fase feminis
(feminist phase) (1880-1920) dan fase
perempuan (female phase) (1970-sekarang).
Selama fase feminin, penulis perempuan
menerima konstruksi sosio-kultural yang
berlaku. Dengan menggunakan nama
samaran laki-laki, penulis perempuan hendak
menyamai peraihan intelektual dan artistik
laki-laki. Selama fase feminis, penulis
perempuan menggambarkan perlakuan kasar
dan kejam yang diperoleh tokoh perempuan
dari tokoh laki-laki. Adapun selama fase
perempuan, penulis perempuan menolak
imitasi yang dilakukan penulis perempuan
pada fase feminin dan protes yang
ditunjukkan oleh penulis perempuan pada
fase feminis. Menurut Showalter, kritikus
feminis belakangan ini memusatkan perhatian
pada pengalaman perempuan dalam seni,
misalnya dalam menganalisis bentuk dan
teknik sastra atau menyingkap misogyny—
kebencian laki-laki pada perempuan—dalam
tulisan laki-laki.

Bagaimanapun, penulis perempuan


disingkirkan dari kanon sastra dengan
sengaja oleh professor laki-laki sebagai pihak
yang pertama kalinya menetapkan kanon
sastra. Showalter menyatakan bahwa
penyingkiran yang demikian harus dihentikan.
Showalter menciptakan istilah gynocritics
yang merepresentasikan kerangka kerja untuk
menganalisis literatur perempuan
berdasarkan model dan teori perempuan
ketimbang mengadaptasi model dan teori laki-
laki. Melalui gynocritics, Showalter hendak
menyingkap asumsi kultural yang salah
tentang perempuan seperti yang tampak
dalam literatur. Dengan kata lain, Showalter
hendak menetapkan hak perempuan sebagai
pembaca dan penulis.

Gynocriticism dari Showalter merupakan


kajian terhadap tulisan perempuan yang
menawarkan empat (4) model, yaitu model
biologis (biological), linguistik (linguistic),
psikoanalitik (psychoanalytic) dan kultural
(cultural).

Model biologis menitikberatkan bagaimana


tubuh perempuan ditunjukkan oleh penulis
perempuan dalam teks lewat literary images
and a personal, intimate tone. Model linguistik
memenuhi kebutuhan akan diskursus
perempuan. Model linguistik menelusuri
penggunaan bahasa oleh perempuan dan
laki-laki; bahwa perempuan dapat
menciptakan bahasa yang sesuai dengan
mereka yang dapat digunakan dalam tulisan
mereka. Model psikoanalitik—berbasis
analisis terhadap jiwa perempuan dalam
relasinya dengan proses menulis
perempuan—menekankan mengalir dan
cairnya tulisan perempuan sebagai lawan dari
kaku dan terstrukturnya tulisan laki-laki. Model
kultural menyelidiki bagaimana masyarakat—
di mana penulis perempuan berkarya—
membentuk cita-cita, respon dan cara
pandang perempuan.
Metodologi4

Masyarakat di hampir seluruh dunia dikuasai oleh laki-laki. Masyarakat yang patriarkal,
menurut kritikus feminis, meneruskan asumsi yang keliru tentang perempuan dari
generasi ke generasi. Asumsi tersebut berangkat dari relasi perempuan dengan laki-laki
yang mengaitkan perempuan dengan inferioritas dan penindasan.

Keterkaitan perempuan dengan inferioritas dan penindasan diperkuat oleh kanon


sastra. Agar terbebas dari penindasan pula, perempuan, menurut kritikus feminis, harus
memeriksa kembali kanon sastra yang mapan, menunjukkan arti menjadi perempuan
yang sebenarnya dan terlibat dalam teori serta sejumlah pendekatan untuk
menganalisis tulisannya sendiri, tulisan perempuan maupun laki-laki lainnya, posisi
politis, ekonomis dan sosial perempuan dalam masyarakat. Hal tersebut dilakukan
untuk membuktikan bahwa perempuan bukanlah manusia yang incomplete atau
inferior.

Feminisme—yang bertolak dari gynocriticism—memuat model analisis sastra yang


menyangkut aspek-aspek berikut ini.

-Gambaran tubuh perempuan dalam teks. Analisis berkaitan dengan bagian-bagian


tubuh perempuan, misalnya uterus dan payudara yang acapkali menjadi gambaran
penting dalam karya perempuan.

-Bahasa perempuan. Analisis berkenaan dengan konstruksi gramatikal, tema yang


berulang-ulang, dan elemen linguistik lainnya untuk menyingkap bahasa perempuan
dalam masyarakat yang patriarkal.

-Jiwa perempuan dalam relasinya dengan penulisan atau penciptaan karya. Analisis
terhadap karya perempuan dilakukan dengan mengikutsertakan pikiran Freud dan
Lacan bahwa perkembangan psikologis perempuan seperti penis envy—kecemburuan
akan penis, Oedipus Complex—keinginan anak perempuan membunuh ibunya untuk
mengawini ayahnya dan keinginan anak laki-laki membunuh ayahnya untuk mengawini
ibunya—dan tahap psikologis lain terlibat dalam penciptaan karya perempuan.

-Kebudayaan. Analisis menunjukkan bagaimana masyarakat membentuk pemahaman


perempuan akan dirinya sendiri, masyarakat dan dunianya.

Model atau metode analisis yang demikian dapat diaplikasikan pada karya perempuan
untuk menyingkap tema, sejarah, serta style penulisannya dan pada karya laki-laki
dengan mengedepankan sudut pandang perempuan.

4 nd
Lihat Bressler, Charles E., Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice, 2 ed (New Jersey: Prentice-
Hall, Inc., 1998), p.189-191
Pertanyaan untuk Analisis5

Analisis tekstual dimulai dengan pertanyaan berikut ini.

-Apakah penulisnya laki-laki atau perempuan?

-Apakah teks dinarasi oleh laki-laki atau perempuan?

-Peran apakah yang dimainkan perempuan dalam teks?

-Apakah tokoh perempuan merupakan tokoh major atau minor?

-Apakah karakterisasi perempuan yang stereotipikal muncul?

-Seperti apakah perilaku tokoh laki-laki terhadap tokoh perempuan?

-Seperti apakah perilaku penulis terhadap perempuan dalam masyarakat?

-Bagaimana kebudayaan penulis mempengaruhi perilakunya?

-Apakah citra perempuan digunakan? Jika iya, apa pentingnya citra tersebut?

-Apakah tokoh perempuan berbeda dengan tokoh laki-laki saat berbicara?


Bandingkanlah frekwensi tokoh perempuan dan laki-laki dalam berbicara

5 nd
Lihat Bressler, Charles E., Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice, 2 ed (New Jersey: Prentice-
Hall, Inc., 1998), p.191

Anda mungkin juga menyukai