Ratna (2010: 220) mengemukakan, “Apabila emansipasi dan gender cenderung lebih
banyak berkaitan dengan masalah-masalah praktis yang terjadi dalam masayarakat,
feminis lebih bersifat teoretis.” Menurut Ratna, gerakan feminis secara khusus
menyediakan konsep dan teori dalam kaitannya dengan analisis kaum perempuan. 1
1
Ratna, Nyoman Kutha, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010)
2 nd
Lihat Bressler, Charles E., Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice, 2 ed (New Jersey: Prentice-
Hall, Inc., 1998), p.180-181
3
Ibid., p.181-185
(British of Women Menurutnya, perempuan harus
philosopher, memperjuangkan haknya dan tidak
writer and mengizinkan masyarakat yang didominasi
advocate of oleh laki-laki untuk mendefinisikan dirinya.
rights of Perempuan harus bertindak layaknya
women) pemimpin, mengartikulasi siapa mereka dan
peran apa yang mereka mainkan dalam
masyarakat. Yang terpenting, mereka harus
menolak asumsi partriarkal bahwa mereka
inferior ketimbang laki-laki.
Kate Millett 1969 Sexual Menurut Millett, jenis kelamin ditentukan saat
Politics lahir, sedangkan gender dibentuk oleh cita-
cita dan norma kultural. Secara sadar maupun
tidak sadar, perempuan dan laki-laki
menyesuaikan diri dengan cita-cita kultural
yang ditetapkan oleh masyarakat. Misalnya,
laki-laki harus agresif, tegas, dan dominan,
sedangkan perempuan harus pasif, lembut
dan rendah. Cita-cita kultural tersebut
disebarkan melalui televisi, film, lagu dan
literatur. Penyesuaian diri atau kepatuhan
pada cita-cita kultural yang ditentukan
masyarakat bagi manusia yang berjenis
kelamin laki-laki dan perempuan disebut
sexual politics.oleh Millett.
Feminism in the 1960s and 1970s Para kritikus feminis mengalihkan perhatian
dari arena politik ke arena sastra dengan
memeriksa kanon sastra tradisional. Mereka
menemukan dominasi laki-laki dan prasangka
laki-laki seperti yang dinyatakan Beauvoir dan
Millett bahwa laki-laki menganggap
perempuan ‘the Other’. Secara rinci, mereka
menemukan, (1) stereotip perempuan dalam
kanon sastra; bahwa perempuan ialah maniak
seks, dewi kecantikan, entitas tak berakal
atau perawan tua, (2) „kanoninasi‟ diperoleh
Dickens, Wordsworth, Hawthorne, Thoreau,
Twain dan banyak penulis laki-laki,
sedangkan status tersebut hanya diperoleh
sedikit penulis perempuan, (3) tokoh-tokoh
perempuan memiliki posisi sekunder;
memainkan peran minor dalam cerita, (4)
female scholars seperti Virginia Woolf dan
Simone de Beauvoir diabaikan; tulisan
mereka jarang diacu oleh laki-laki. Menurut
para kritikus feminis, laki-laki yang
menghasilkan kanon berasumsi bahwa
semua pembacanya ialah laki-laki.
Masyarakat di hampir seluruh dunia dikuasai oleh laki-laki. Masyarakat yang patriarkal,
menurut kritikus feminis, meneruskan asumsi yang keliru tentang perempuan dari
generasi ke generasi. Asumsi tersebut berangkat dari relasi perempuan dengan laki-laki
yang mengaitkan perempuan dengan inferioritas dan penindasan.
-Jiwa perempuan dalam relasinya dengan penulisan atau penciptaan karya. Analisis
terhadap karya perempuan dilakukan dengan mengikutsertakan pikiran Freud dan
Lacan bahwa perkembangan psikologis perempuan seperti penis envy—kecemburuan
akan penis, Oedipus Complex—keinginan anak perempuan membunuh ibunya untuk
mengawini ayahnya dan keinginan anak laki-laki membunuh ayahnya untuk mengawini
ibunya—dan tahap psikologis lain terlibat dalam penciptaan karya perempuan.
Model atau metode analisis yang demikian dapat diaplikasikan pada karya perempuan
untuk menyingkap tema, sejarah, serta style penulisannya dan pada karya laki-laki
dengan mengedepankan sudut pandang perempuan.
4 nd
Lihat Bressler, Charles E., Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice, 2 ed (New Jersey: Prentice-
Hall, Inc., 1998), p.189-191
Pertanyaan untuk Analisis5
-Apakah citra perempuan digunakan? Jika iya, apa pentingnya citra tersebut?
5 nd
Lihat Bressler, Charles E., Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice, 2 ed (New Jersey: Prentice-
Hall, Inc., 1998), p.191