Anda di halaman 1dari 7

Tahapan kegiatan EPO

1. Menetapkan ruang lingkup


Ruang lingkup yang dimaksud disini adalah ruang lingkupdilakukannya
evaluasi penggunaan obat seperti pada pasien raat inap, raat jalan dan lain
lain.
2. Menetapkan kriteria dan standar , Mendapatkan persetujuan dari pimpinan ,
Sosialisasi kegiatan di depan klinisi,
Ketiga hal ini dilakukan oleh tim evaluasi penggunaan obat yang telah
dibentuk oleh PFT. Criteria ata standar bertujuan agar evaluasi penggunaan
obat yang dilakukan benar benar sesuai standar yang ditetapkan oleh mentri
kesehatan dan kegiatan penggunaan dan pengelolaan obat benar benar sesuai
dengan peraturan. Setelah melakukan berbagai persiapan untuk melakukan
evaluasi pengunaan obat maka apoteker yang bertanggung jab kemudian akan
meminta izin kepada pimpinan dalam hal ini direktur rumah sakit untuk
melaukan evaluasi penggunaan obat dengan memberikan pengajuan secara
tertulis. Sebelum melakukan evaluasi hendaknya melakukan sosialisasi
terlebih dahulu hal ini bertujuan untuk memahamkan kepada tim ataupun
tenaga medis yang ada dirumah sakit mengenai pentingnya evaluasi
penggunaan bat dan hal hal apa saja yang akan dilakukan.
3. Mengumpulkan data
 Data yang dikumpulkan meliputi data umum rumah sakit dan data
item obat yang digunakan setiap bulan selama satu tahun terakhir atau
satu kurun waktu tertentu.
 Data umum untuk EPO di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Rujukan
Tingkat Lanjut (FKRTL) adalah data dasar rumah sakit: nama rumah
sakit, kelas RS, tipe RS, BOR, Kab/kota, propinsi serta kepemilikan
RS, jumlah pasien rawat inap dan rawat jalan, jumlah hari rawat
pasien (length of stay) rawat inap dan daftar sepuluh penyakit
terbanyak di RS.
 Data umum untuk EPO di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP) adalah nama, alamat, jenis pelayanan puskesmas
(rawat jalan /rawat jalan dan rawat inap) dan daftar 10 penyakit
terbanyak di Puskesmas.
 Data penggunaan obat di Puskesmas berasal dari laporan pengiriman
obat ke Puskesmas oleh Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota (Lampiran
2).
 Data dikumpulkan pada lembar pengumpul data yang meliputi nama
obat, bentuk sediaan, kekuatan, kemasan (botol, sachet, dll), jumlah
penggunaan obat baik rawat inap dan rawat jalan.
4. Pengolahan Data
Data yang sudah dikumpulkan kemudian diolah ke dalam tabel
rekapitulasi sesuai dengan variabel yang telah ditentukan sebelumnya.
Berikut adalah langkah-langkah dalam pengerjaan EPO yang meliputi
pengisian 4 kolom baru yaitu kolom nama generik, ATC, DDD dan total
DDD.
a. Kolom nama generik
Membuat kolom nama generik. Kolom ini ditujukan bagi nama obat
bermerk dagang. Nama generik ditulis berdasarkan nama pada Farmakope
Indonesia atau acuan resmi lainnya.
b. Kolom ATC
Mengisi kelas terapi mengacu pada Anatomical Therapeutic
Chemical/Defined Daily Dose (ATC/DDD). Informasi mengenai
ATC/DDD dapat melalui website www.whocc.no/atc_ddd_indexhpx/ .
Misalnya Amoxicillin 500 mg tablet, kode ATC adalah J01CA04.
c. Kolom DDD
Pada kolom DDD diisi jenis satuan yang sesuai dengan informasi yang
terdapat pada website tersebut. Kolom DDD diisi dengan membagi
kuantitas obat dengan nilai DDD yang telah ditetapkan.
d. Kolom total DDD
Total DDD didapatkan dengan menjumlahkan nilai DDD dari beberapa
jenis sediaan obat dan memperhitungkan lamanya hari rawat (untuk obat
pada pasien rawat inap) dan jumlah pasien untuk obat pada pasien rawat
jalan
e. DDD per 100 hari rawat
Untuk data penggunaan obat pada pasien rawat inap, dilakukan
perhitungan DDD per 100 hari rawat,
f. DDD per 1000 pasien
Untuk data penggunaan obat pada pasien rawat jalan atau komunitas,
dilakukan perhitungan DDD per 1000 pasien,
5. Intrepertasi data
Analisis dan Interpretasi Data
Data hasil pengolahan kemudian dianalisis secara statistik dengan analisis
diskriptif dan analisis perbandingan. Berikut analisis data yang dilakukan:
1. Analisis deskriptif
a. Gambaran umum item obat yang mempunyai kode ATC+DDD, yang
hanya memiliki ATC tanpa DDD dan yang tidak memiliki kode ATC
maupun DDD. Hal ini menunjukkan jumlah item obat di fasyankes
yang belum memiliki kode ATC dan DDD sehingga tidak disertakan
dalam analisis, tetapi disertakan berupa catatan dalam laporan. Obat
yang belum memiliki ATC atau DDD dapat diusulkan kepada WHO
untuk diberi kode dan satuan DDD.
b. Kuantitas penggunaan obat (total DDD), DDD per 100 hari rawat inap,
DDD per 1.000 pasien rawat jalan.
 Kuantitas penggunaan obat (total DDD) adalah jumlah seluruh
penggunaan obat di fasilitas kesehatan dalam kurun waktu
tertentu, dalam satuan DDD. Hal ini dapat menunjukkan
pengaruh intervensi/ kebijakan baik dari pemerintah (misalnya
berlakunya JKN), maupun kebijakan internal fasyankes
terhadap penggunaan obat.
 DDD per 100 hari rawat menunjukkan kuantitas obat yang
diterima oleh 100 pasien rawat inap. Misalnya: DDD
gentamisin menurut acuan WHO adalah 240 mg. Hasil
perhitungan: gentamisin digunakan sebanyak 2 DDD per 100
hari rawat. Artinya dari 100 tempat tidur di fasyankes,setiap
harinya terdapat 2 pasien menerima gentamisin sejumlah 240
mg
 DDD per 1.000 pasien rawat jalan menunjukkan kuantitas obat
yang digunakan per 1.000 pasien. Misalnya: DDD metildopa
menurut acuan WHO adalah 1 g. Hasil perhitungan: metildopa
digunakan sebanyak 4 DDD per 1.000 pasien, artinya untuk
setiap 1.000 pasien terdapat 4 orang pasien yang menerima
metildopa dengan kekuatan 1 g
c. Gambaran pola penggunaan 20 obat terbanyak.Pola penggunaan 20
obat terbanyak seharusnya memiliki korelasi dengan pola penyakit di
fasyankes. Jika ada penyimpangan antara pola penggunaan obat dengan
pola penyakit, maka perlu mendapat perhatian khusus.
d. Drug Uses 90% (DU 90%) Untuk menilai kualitas umum penggunaan
obat. Menganalisis jumlah item obat yang digunakan sebanyak 90%
dari total penggunaan obat dan dibandingkan dengan jumlah item obat
yang digunakan 10% sisanya. Bila jumlah item obat yang digunakan
di 10% jauh lebih banyak dibandingkan 90%, maka perlu dicermati
efisiensi penggunaan obat
e. Persentase kesesuaian penggunaan obat dengan Formularium Nasional
atau formularium RS. Obat yang digunakan di fasyankes seharusnya
mengacu pada Fornas atau formularium RS. Nilai persentase ini dapat
dijadikan dasar bagi pemerintah untuk melaksanakan tindak lanjut.
f. Gambaran pola penggunaan obat terbanyak berdasarkan kelas terapi
menurut ATC/DDD. Hal ini menunjukkan kelas terapi obat yang
paling banyak digunakan dan seharusnya sesuai dengan pola penyakit.
g. Pola penggunaan obat khusus: antibiotik, sitostatika dan obat-obat
program (HIV, malaria dan TBC). Penggunaan antibiotik perlu
dikaitkan dengan pola penyakit dan pola kepekaan kuman di masing-
masing fasyankes atau kesesuaian dengan pedoman umum
penggunaan antibiotik yang diterbitkan oleh Kemenkes. Pola
penggunaan obat program dapat digunakan untuk menilai keberhasilan
program.
h. Pola penggunaan obatuntuk penyakit kronis tertentu (contoh: asma,
diabetes dan kardiovaskular). Pola penggunaan obat penyakit kronis
dapat menunjukkan peningkatan atau penurunan prevalensi penyakit
terkait dan kesesuaian dengan pedoman pengobatan penyakit terkait.

2. Analisis komparatif
a. Perbandingan pola penggunaan obat antar fasilitas pelayanan
kesehatan yang setara.Perbandingan ini menunjukkan karakteristik
pelayanan kesehatan dan penggunaan obat di masing-masing
fasyankes
b. Perbandingan pola penggunaan obat antar fasilitas pelayanan
kesehatan yang berbeda tingkatannya. Data yang didapat
menunjukkan kelayakan penggunaan obat.
c. Perbandingan pola penggunaan obat di fasyankes pada periode waktu
yang berbeda. Untuk mendapatkan gambaran perubahan pola
penggunaan obat dari waktu ke waktu.

3. Perbandingan pola penggunaan obat pada tingkat kabupaten/kota dan


propinsi. Perbandingan ini dapat digunakan sebagai masukan dalam
penetapan kebijakan di tingkat nasional.
6. Mengevaluasi hasil
Monitoring pelaksanaan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) di fasyankes
dilaksanakan secara periodik untuk menilai keberhasilan aplikasi metode yang
terdapat dalam petunjuk teknis ini dalam pelaksanaan EPO di masing-masing
fasyankes. Selain itu, monitoring dilakukan untuk melihat sejauh mana hasil
EPO dapat digunakan untuk perbaikan pelayanan kefarmasian.
Evaluasi dilakukan secara periodik berdasarkan hasil monitoring untuk
melakukan tindakan perbaikan dalam pelaksanaan EPO. Keberhasilan
program EPO dapat dinilai dari tingkat partisipasifasyankes dalam
mengirimkan data secara tepat waktu dan kualitas data yang dikirimkan.
Monitoring dan evaluasi EPO dapat dilakukan secara berjenjang dari
kabupaten/kota sampai tingkat pusat.
7. Melakukan tindakan koreksi/perbaikan
Tindakan ini bertujuan agar hal ha yang belum tercapai pada tahap diatas
dilakuka perbaikan lagi sehingga proses evaluasi berjalan dengan lancar
8. Melakukan evaluasi kembali
Evaluasi kembali dilakukan untuk memastikan tahapan tahapan pelaksanaan
evaluasi penggunaan obat dilakukan dengan baik dan benar
9. Merevisi kriteria/standar (jika diperlukan)
Hal ini dilakukan apabila standar yang ditetapkan dirasa tidak sesuai dan
harus diubah.

f. Persiapan
1. Analisis masalah obat berdasarkan kriteria yang ditetapkan sebagai prioritas
Seperti Biaya obat tinggi, Obat dengan pemakaian tinggi, Frekuensi ADR tinggi
,Kurang jelas efektifitasnya, antibiotic, injeksi, Obat baru, Kurang dalam
penggunaan
2. program EPO tahunan
3. pemilihan penelitian/ guidelines /standar sebagai standar pembanding
4. Fasilitas pelayanan kesehatan menunjuk satu orang Apoteker sebagai penanggung
jawab EPO di masing masing unit layanan kesehatan.
5. Penanggung jawab EPO memastikan bahwa data yang tersedia telah sesuai
dengan format EPO (Lampiran 1).
DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes RI, 2007, Petunjuk Teknis Evaluasi Penggunaan Obat Di Fasilitas
Keshatan, Kementrian Kesehatan RI : Jakarta
Kemenkes RI, 2019, Petunujuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah
Sakit, Kementrian Kesehatan RI : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai