Anda di halaman 1dari 41

PATIENT SAFETY DAN K3 DALAM KEPERAWATAN

“Penyebab Terjadinya Adverse Events Terkait Prosedur Invasif


Medication Safety”

Dosen Pengampu : Ns. Faisal Kholid Fahdi, S. Kep M. Kep.


NIDK : 8868950017

Disusun Oleh :
Ika Rahmawandini Maulidia (I1031171011)
Ike (I1031171012)
Vega Yamaha (I1031171016)
Nabila Nur Husaini (I1031171017)
Rahmanadanti Daud (I1031171020)
Suparwati (I1031171024)
Dedi Ismatullah (I1031171036)
Nur An Nissa (I1031171043)
Karlina Ollah Adi (I1031171044)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat-Nya yang telah
melimpahkan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Makalah ini merupakan salah satu tugas kelompok mata kuliah Patient Safety dan K3
dalam Keperawatan tentang penyebab adverse events terkait prosedur invasif medication
safety.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami telah banyak mendapatkan bantuan dan
masukan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami menyampaikan
terima kasih kepada Bapak Ns. Faisal Kholid Fahdi, S.Kep., M. Kep selaku dosen mata
kuliah Patient Safety dan K3 dalam Keperawatan yang telah memberikan bimbingan kepada
kami. Dan kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami.
Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini kedepannya.

Pontianak, 1 Oktober 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................................................2
1.3. Tujuan..........................................................................................................................3
1.4. Manfaat........................................................................................................................3
BAB II TINJAUAN TEORI...............................................................................................4
2.1 Pengertian Adverse Event dan Tindakan Invasif.........................................................4
2.2 Penyebab Terjadinya Adverse Event...........................................................................4
2.3 Jenis-Jenis Adverse Events..........................................................................................8
2.4 Jenis-Jenis Tindakan Invasif........................................................................................8
2.5 Kebijakan Tindakan Invasif.........................................................................................9
2.6 Sumber Tindakan Invasif...........................................................................................10
2.7 Kejadian Tidak Diinginkan........................................................................................11
BAB III PEMBAHASAN.................................................................................................12
3.1 Pengertian High Alert Medications............................................................................12
3.2 Jenis High Alert Medications.....................................................................................12
3.3 Metode untuk Menurunkan Kesalahan.......................................................................25
3.4 Pengelolaan Obat yang Masuk Kategori High Alert Medications.............................26
3.5 Pengelolaan Obat yang Masuk Kategori Nama Obat, Rupa, Ucapan Mirip..............28
3.6 Prinsip dalam Pengurangan Terjadinya High Alert Medication................................29
3.7 SOP Meningkatkan High Alert Medications..............................................................30
BAB IV PENUTUP...........................................................................................................33
4.1 Kesimpulan.................................................................................................................33
4.2 Saran...........................................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................35

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan keperawatan merupakan cerminan utama dari keberhasilan suatu
pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan mengutamakan keselamatan pasien, hal ini
sesuai dengan gagasan Hiprocrates yaitu Primum, non nocere (First, do no harm)
(Departemen Kesehatan RI & Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit, 2008, p.17).
Keselamatan adalah kebutuhan dasar manusia dan kebutuhan prioritas kedua setelah
kebutuhan fisiologis pada hierarki kebutuhan Maslow yang harus terpenuhi (Potter &
Perry, 2008).
Gerakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit (GKP-RS) atau yang dikenal dengan
sebutan patient safety merupakan suatu proses pemberian pelayanan rumah sakit
terhadap pasien yang lebih aman. Proses ini mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil. Tujuan utama penerapan patient safety di rumah
sakit adalah mencegah dan mengurangi terjadinya Insiden Keselamatan Pasien (IKP)
dalam pelayanan kesehatan ( Darliana, Devi. 2016).
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dalam membuat asuhan
pasien lebih aman yang meliputi pengkajian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal
yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden. Insiden
keselamatan pasien adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien
yaitu KTD, KNC, KTC, KPC. KTD adalah insiden yang mengakibatkan cedera pada
pasien. KNC adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien, KTC
adalah insiden yang sudah terpapar tapi tidak cedera, KPC adalah kondisi potensial
cedera (Permenkes RI No 1691, 2011).
Adverse Event atau kejadian tidak diharapkan (KTD), merupakan suatu kejadian
yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan
(Commision) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission) dan
bukan karena “underlying diasease” atau kondisi pasien. Kesalahan tersebut bisa terjadi
dalam tahap diagnostic seperti kesalahan atau keterlambatan diagnose, tidak
menerapkan pemeriksaan yang sesuai, menggunakan cara pemeriksaan yang sudah
tidak dipakai atau tidak bertindak atas hasil pemeriksaan atau observasi. Sedangkan

1
pada tahap pengobatan seperti kesalahan pada prosedur pengobatan, pelaksanaan terapi,
metode penggunaan obat dan keterlambatan merespon hasil pemeriksaan asuhan yang
tidak layak (Hakam, Fahmi. 2015)
Angka kematian akibat KTD atau adverse event rawat inap diseluruh Amerika
serikat 33,6 juta/tahun : 44.000-98.000/tahun (Suparti, Sri, dkk. 2014). Berdasarkan
hasil penelitian di rumah sakit di Amerika, Australia, New Zealand, Canada, dan Eropa
ditemukan KTD dalam rentang 3,2% - 16,6% (WHO, 2004, dalam Utarini, Ehry, &
Hill, 2009). Angka kematian akibat kesalahan medis pada pasien rawat inap di Amerika
berjumlah 33,6 juta pertahun, diantaranya 44.000 sampai 98.000 dilaporkan meninggal
setiap tahun. Angka kematian tersebut lebih tinggi daripada kematian akibat kecelakaan
mobil, kanker payudara, dan AIDS (Utarini, Ehry, & Hill, 2009).
Di Indonesia Laporan Insiden Keselamatan Pasien menemukan adanya pelaporan
kasus KTD (14,41%) dan KNC (18,53%) yang disebabkan karena proses atau prosedur
klinik (9,26 %), medikasi (9,26%), dan Pasien jatuh (5,15%) (KKP RS, 2011).
Penelitian menunjukkan bahwa angka KTD sangat bervariasi, untuk kesalahan
diagnosis yaitu 8,0% hingga 98,2% dan kesalahan pengobatan sebesar 4,1% hingga
91,6%. Terus berkembangnya penelitian tentang keselamatan pasien di berbagai
daerah, namun sampai saat ini belum ada studi nasional (Nasution, Putri Citra Cinta
Asyura. 2018).
Salah satu tujuan keselamatan pasien yaitu menurunnya KTD yang merupakan
bagian dari insiden keselamatan pasien. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
disusunlah sasaran keselamatan pasien yang bertujuan mendorong perbaikan spesifik
dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam
pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari consensus berbasis bukti
dan keahlian atas permasalahan yang ada (Najihah.2018). Oleh karena itu, jika rumah
sakit ingin menurunkan kejadian insiden keselamatan pasien maka rumah sakit harus
menerapkan budaya keselamatan pasien.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang rumusan masalah yang dapat diangkat adalah sebagai
berikut:
1. Apa Pengertian Adverse Event dan tindakan invasif?
2. Bagaimana Penyebab Terjadinya Adverse Event?
3. Bagaimana Jenis-Jenis Adverse Event?
4. Bagaimana Jenis-Jenis Tindakan Invasif?

2
5. Bagaimana Kebijakan Tindakan Invasif
6. Bagaimana sumber tindakan invasif?
7. Bagaimana contoh insiden kejadian tidak diinginkan?
8. Apa pengertian High Alert Medications?
9. Bagaimana jenis dari high alert medications?
10. Bagaimana metode untuk menurunkan kesalahan high alert medications?
11. Bagaimana pengelolaan obat yang masuk kategori high alert medications?
12. Bagaimana pengelolaan obat yang masuk kategori NORUM?
13. Bagaimana prinsip dalam pengurangan terjadinya high alert medications?
14. Bagaimana SOP dalam meningkatkan keamanan high alert medications?
1.3 Tujuan
1. Untuk dapat mengetahui pengertian adverse event dan tindakan invasif
2. Untuk dapat mengetahui penyebab terjadinya adverse event
3. Untuk dapat mengetahui jenis-jenis adverse events
4. Untuk dapat mengetahui jenis-jenis tindakan invasif
5. Untuk dapat mengetahui kebijakan tindakan invasif
6. Untuk dapat mengetahui sumber tindakan invasif
7. Untuk dapat mengetahui contoh insiden kejadian tidak diinginkan?
8. Untuk dapat mengetahui pengertian High Alert Medications?
9. Untuk dapat mengetahui jenis dari high alert medications?
10. Untuk dapat mengetahui metode untuk menurunkan kesalahan high alert
medications?
11. Untuk dapat mengetahui pengelolaan obat yang masuk kategori high alert
medications?
12. Untuk dapat mengetahui pengelolaan obat yang masuk kategori NORUM?
13. Untuk dapat mengetahui prinsip dalam pengurangan terjadinya high alert
medications?
14. Untuk dapat mengetahui SOP dalam meningkatkan keamanan high alert
medications?
1.4 Manfaat
Untuk memberikan informasi kepada para pembaca, utamanya bagi sesama
mahasiswa dan masyarakat umum mengenai penyebab terjadinya adverse event terkait
proses invasif dalam medication safety. Sehingga Informasi ini dapat diketahui dan
berguna bukan hanya di lingkungan kesehatan tapi juga dimasyarakat umum.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Adverse Event dan Tindakan Invasif


Advers event atau yang disebut juga kejadian tidak diinginkan adalah suatu
kejadian yang mengakibatkan cidera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu
tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(omission). (Komalawati,Veronica. 2010)
Kesalahan tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnostic seperti kesalahan atau
keterlambatan diagnose, tidak menerapkan pemeriksaan yang sesuai menggunakan cara
pemeriksaan yang sudah tidak dipakai atau tidak bertindak atas hasil pemeriksaan atau
observasi, tahap pengobatan seperti kesalahan pada prosedur pengobatan, pelaksanaan
terapi, metode penggunaan obat, dan keterlambatan merespon hasil pemerisaan asuhan
yang tidak layak, tahap preventive seperti tidak memberi terapi provilaktik serta
monitor dan follow up yang tidak adekuat, atau pada pada hal teknis yang lain seperti
kegagalan alat atau sistem. (Komalawati,Veronica. 2010)
Advers event juga diartikan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan, atau
memiliki potensi yang dpat menyebabkan hal tidak terduga atau tidak diinginkan
sehingga membahayakan keselamatan pengguna alat (termasuk pasien) atau orang lain.
Kejadian tidak terduga atau tidak diinginkan sebagai akibat negative dari manajemen
dibidang kesehatan, tidak terkait dengan perkembangan alamiah penyakit atau
komplikasi penyakit yang mungkin terjadi. (Komalawati,Veronica. 2010)
Tindakan invasive adalah tindakan medik langsung yang dipengaruhi oleh
keutuhan tubuh yang memiliki banyak resiko yang membahayakan pasien salah satunya
infeksi yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu petugas kesehatan, alat-alat
kesehatan,kondisi pasien, dan lingkungan. (Komalawati,Veronica. 2010)
2.2 Penyebab Kejadian Tidak Diharapkan
Kejadian yang tidak diharapkan terjadi karena beberapa penyebab yaitu
1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri atau komplikasi penyakit, tidak
berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter.
2. Hasil dari suatu resiko yang tidak dapat dihindari.
 Resiko yang tidak dapat diketahui sebelumnya.

4
 Resiko yang mungkin telah diketahui sebelumnya tetapi dianggap dapat
diterima dan telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui oleh
pasiren untuk dilakukan tindakan.
3. Hasil dari suatu kelalaian medis, yang dimaksud dengan kelalian medis adalah
melakukan yang seharusnya tidak dilakukan, atau tidak melakukan yang
seharusnya dilakukan hal ini akan menyebabkan cedera, kerugian pada pasien, atau
bahkan meninggal.
4. Hasil dari suatu kesengajaan, untuk mengetahui penyebab suatu hasil yang tidak
diharapkan perlu dilakukan penelitian mendalam, bahkan bila diperlukan dapat
dlakukan pada pemeriksaan mendalam terhadap pasien.
( Pubati, Aumas. 2011)
1) Alat Kesehatan
Dalam undang-undang kesehatan No 23 tahun 1992 Alat kesehatan adalah
instrument,apparatus,mesin,implant yang tidak mengandung obat yang digunakan
untuk mencegah,mendiagnosis,menyembuhkan dan meringankan penyakit,merwat
orang sakit serta memulihkan kesehtaan pada manusia dan atau untuk membentuk
struktur dan perbaiki fungsi tubuh.Meenurut Permenkes RI No.
220/Men.Kes/Per/IX/1976 ,Alkes adalah barang, instrumen, aparat atau alat
termasuk tiap komponen, bagian atau perlengkapannya yang diproduksi, dijual atau
dimaksud untuk digunakan dalam:
a. Pemeliharaan dan perawatan kesehatan, diagnosa, penyembuhan, peringan/
pencegah penyakit, kelainan keadaan badan atau gejalanya pada manusia.
b. Pemulihan, perbaikan atau perubahan fungsi badan atau struktur badan
manusia.
c. Diagnosa kehamilan pada manusia/ pemeliharaan selama hamil dan setelah
melahirkan termasuk pemeliharaan bayi.
d. Usaha mencegah kehamilan pada manusia dan yang tidak termasuk golongan
obat.
Sedangkan dalam UU RI no 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Alat adalah
instrumen, aparatus, mesin, implant yang mengandung obat, yang digunakan untuk
mencegah, mendiagnosa, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat
orang sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan atau untuk membentuk
struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. Adapun yang terrmasuk dalam alat
kesehatan dalam adverse event yaitu :
5
- Defect (bawaan Pabrik)
- Pemeliharaan yang tidak memadai
- Alat kesehatan dimodifikasi sendiri
- Penyimpanan alat kesehatan yang tidak memadai
- Penggunaan yang tidak sesuai prosedur
- Tidak mengacu SOP alat kesehatan
- Minimnya buku manual dan kurangnya pelatihan
2) Sumber Daya Manusia
Semula SDM merupakan terjemahan darii “human resources “, namun ada
pula ahlii yang menyamakan sumber daya manusia dengan “manpower” (tenaga
kerja). Bahkan sebagian orang menyetarakan pengertian sumber daya manusia
dengan personal (personalia,kepegawaian,dan sebagainya).Sumber daya manusia
merupakan satu-satunya sumber daya yang memiliki akal perasaan, keinginan,
keterampilan, pengetahuan, dorongan, daya, dan karya (rasio, rasa, dan karsa).
Semua potensi SDM tersebut berpengaruh terhadap upaya organisassi dalam
mencapai tujuan.Werther dan Davis (1996), menyatakan bahwa sumber daya
manusia adalah “pegawai yang siap, mampu, dan siaga dalam mencapai tujuan-
tujuan organisasi “.(sutrisno,Edi.2017)
Untuk penyelenggaraan upaya kesehatan sesuai dengan tujuan, kebijakan, dan
strategi yang telah ditetapkan dibutuhkan kebijakan dan manajemen sumber daya
yang efektif dan efisien didukung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan sehingga dapat tercapai pelayanan kesehatan yang merata dan
berkualitas. Sumber daya tersebut terdiri atas sumber daya tenaga, pembiayaan,
fasilitas, ilmu pengetahuan, teknologi, serta informasi. Sumber daya yang
mendukung tercapainya tujuan, kebijakan dan strategi tersebut berasal dari
pemerintah dan masyarakat termasuk swasta. Sasaran yang dicapai oleh program
ini adalah sebagai berikut :
 Terciptanya kebijakan kesehatan yang menjamin tercapainya system
kesehattan yang efisien, efektif, berkualitas, dan berkesinambungan
 Terciptanya kebijakan kesehatan yang mendukung reformasi bidang kesehatan
 Tersedianya sumber daya manusia dibidang kesehatan yang mampu
melakukan berbagai kajian kesehatan

6
 Berjalannya sistem perencanaan kesehatan melalui pendekatan wilayah dan
sektoral dalam mendukung desentralisasi
 Terciptanya organisasi dan tata laksana di berbagai tingkat administrasi sesuai
dengan asas desentralisasi dan penyelenggaraan pemerintaan yang baik.
 Tertatanya administrasi keuangan dan perlengkapan yang efisien dan fleksibel
diseluruh jajaran kesehatan
 Terciptanya mekanisme pengawasan pengendalian diselyruh jajaran kesehatan
 Tersusunnya berbagai perangkat hukumm dibidang kesehatan secara
menyeluruh
 Terlaksananya inventarisasi ,kajian,dan analisis secara akademis seluruh
prangkat hokum yang berkaitan dengan penyelenggaraan uoaya kesehatan.
 Tersedianya perangkat hukum guna dilaksanakannya proses legislasi dan
mitigasi dalam penyelesaian konflik hokum bidang kesehatan.
 Tersdianya informasi kesehatan yanhg akurat,tepat waktu,dan lengkap sebagai
bahan dalam proses oengambilan keputusan dalam pengelolaan pembangunan
kesehatan, serta menyediakan informasi untuk perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi program kesehatan, dan meningkatkan kewasspadaan
disemua tingkat administrasi.
 Tersusunnya kebijakan dan konsep pengelolaan program kesehatan untuk
mendukung desentralisasi.
Interaksi Sumber Daya Manusia dengan teknologi ,dengan sistem,dengan
situasi yang dinamis pada 3 tingkatan :
- Organisasi-budaya,kebijakan dan prosedur, standard
- Tim-pelatihan, komunikasi, kepedulian
- Individu-personal eror control, self awareness, compliance (kepatuhan).
Akibat yang ditimbulkan
1. Diagnosis yang salah,pengobatan yang tidak tepat
2. Memerlukan rawat inap yang berkepanjangan
3. Perlunya intervensi medis atau bedah
4. Menyebabkan kesalahan berkelanjutan
5. Menurunnya kondisi kesehatan atau gangguan permanen fungsi dan struktur
tubuh
6. Menyebabkan cacat perm,anen sampai pada kematian

7
2.3 Jenis-Jenis Advers Events
1) Kejadian sentinel
Kejadian sentinel dalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cidera
serius biasanya dipakai untuk kejadian yang tidak diharapkan atau tidak dapat
diterima seperti operasi pada bagian tubuh yang salah. Pemilihan kata ‘sentinel’
terkait dengan keseriusan cedera yang terjadi (misalnya amputasi kaki yang salah)
sehingga pencarian fakta terhadap kejadian ini mengugkapkan adanya yang serius
pada kebijakan dan prosedur yang berlaku. (Abib, A.Yahya.2014)
2) KTD yang tidak dapat dicegah (Unprevwentabel advers event)
Merupakan salah satu jenis KTD akibat komplikasi yang tidak dapat dicegah
dengan pengetahuan yang muktahir. (Abib, A.Yahya.2014)
3) Kejadian Nyaris Cedera (KNC)
Merupakan suatu insiden yang tidak menyebabkan cedera pada pasien akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
diiambil. (Abib, A.Yahya.2014)
4) Kondisi Potensial cidera
Kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cidera tetapi belum terjadi
insiden. (Abib, A.Yahya.2014)
5) Kejadian tidak cidera
Merupakan insiden yang sudah terpapar pada pasien, tetapi tidak menimbulkan
cedera, dapat terjadi karena ‘keberuntungan’ (misalnya pasien terima obat
kontraindikasi tetapi tidak timbul reaksi obat) atau ‘peringanan’ (suatu obat dengan
reaksi alergi diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotumnya). (Abib,
A.Yahya.2014)
2.4 Jenis-Jenis Tindakan Invasif
Tindakan invasif sebenarnya merupakan bagian dari terapi. Menurut kamus besar
Bahasa Indonesia adalah segala tindakan yang berhubungan dengan suatu teknik yang
dimasukkan di dalam tubuh melalui kebocoran atau pengirisan. Adverse event atau
kejadian tidak diharapkan berdampak secara langsung kepada pasien. Pelayanan
kesehatan yang didampingidengan kejadian tidak diharapkan dapat mempengaruhi
kesehatan pasien seperti menyebabkan cedera/kecatatan dan merugikan pasien. KTD
disebabkan oleh beberapa faktor ketidaktahuan pengetahuan pasien safety, tidak
menerapkan prosedur secara tepat, fasilitas kesehatan kurang memadai, dan kurang
teliti dalam mengerjakan sesuatu.

8
Kejadian tidak diharapkan perlu ditangani dan diselesaikan untuk tercapainya
keamanan pada pasien. Ada bebarapa upaya yang dapat diterapkan sebagai solisi untuk
mengurangi kejadian yang tidak diharapkan di RS. Sebagai upaya untuk mengurangi
adverse event diperlukan pendidikan khususnya kepada tenaga medis dalam melakukan
tidakan invasif kepada pasien serta melakukan tindakan sesuai dengan prosedur yang
ada.
Salah satu peran penting perawat adalah sebagai pemberi asuhan keperawatan
pada klien yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi optimal tubuh. Untuk
melaksanakan perannya tersebut, perawat melakukan berbagai tindakan keperawatan,
baik tindakan invasif maupun non-invasif (Nurachman dan Sudarsono, 2010). Tindakan
invasif memiliki resiiko lebih besar dibandingkan tindakan non-invasif.
2.5 Kebijakan Tindakan Invasif
1. Setiap tindakan invasif yang dilakukan harus ada surat persetujuan tindakan
kedokteran agar tidak muncul gugatan atau tuntutan malpraktik medik.
2. Setiap tindakan invasif yang dilakukan harus dicatat dalam rekam medis pasien.
3. Setiap hasil tindakan invasif harus dicatat dalam rekam medis pasien.
4. Tidak semua tindakan invasif dilakukan oleh dokter, terdapat daftar tindakan
invasif yang didelegasikan kepada tenaga kesehatan yang lain seperti perawat.
5. Ada tindakan invasive yang sifatnya didelegasikan kepeda tenaga kesehatan yang
lain.
6. Setiap pendelegasian yang dilakukan oleh dokter di tulid di catatan terintegrasi.
7. Tindakan invasive yang bisa didelegasikan kepada perawat antara lain :
a. Pasang IV kateter.
b. Lepas IV kateter.
c. Pasang urine kateter.
d. Lepas urine kateter.
e. Pasang NGT.
f. Lepas NGT.
g. Injeksi IM, IC, dan IC.
h. Kumbah Lambung.
i. Tindakan hecting dan lepas hecting.
j. Ekterpasi kuku.
k. Isisi Abses.
l. Cross Insisi.

9
m. Pengambilan corpus alenum tanpa penyulit.
n. Irigasi telinga dan mata.

Hal diatas sangatlah penting untuk dilakukan dengan benar karna tindakan
tersebut sangat berpanguh pada kesehatan pasien. Tetapi masih banyak saja perawat
yang melakukan kesalahan atau lalai dalam mengerjakan tugasnya akibat kecemasan
dan kurangnya pengalaman yang pernah dilakukan dan hal-hal diatas walaupun
dianggap sepele sangat sering sekali terdapat kesalahan pelaksanaan tidakan tersebut.
Oleh karena itu sangat diharuskan atau dianjurkan untuk melakukan tidakan invasif ini
sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditentukan.

2.6 Sumber Infeksi pada Tindakan Invasif


a. Petugas kesehatan
 Tidak memahami teknik yang baik untuk mencegah penularan/penyebaran
kuman pathogen.
 Tidak menyadari tindakan yang dilakukan berpotensi untuk mengkontaminasi
kuman.
 Tidak memperhatikan personal hygiene.
 Menderita/menularkan penyakitnya pada klien.
 Tidak melaksanakan teknik aseptik dengan baik.
 Bekerja ceroboh atau kurang hati-hati.
 Tidak mencuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan klien.
b. Alat-alat kesehatan/ equipment
 Alat-alat yang digunakan dalam keadaan kotor, tidak steril atau korosif.
 Cara penyimpanan tidak baik.
 Digunakan berulang kali tanpa di disinfeksi lagi.
 Kadaluarsa.
c. Kondisi Pasien
 Hygiene personal buruk.
 Status gizi buruk/malnutrisi.
 Menderita penyakit kronis, penyakit infeksi, penyakit menular.
 Mengkonsumsi obat-obatan Imunosupresif (menekan system imun tubuh).
d. Lingkungan
 Ventilasi yang tidak adekuat.

10
 Penerangan/sinar matahari yang kurang.
 Ruangan yang lembab dan kotor.
 Ada air tergenang dan banyak serangga.
2.7 Kejadian Tidak Diinginkan
Terdapat dua sebab kemungkinan terjadinya kecelakaan penanganan medis yang
merupakan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) pada pasien. Pertama, kecelakaan murni
yang disebabkan kesalahan tenaga kesehatan atau kesalahan rumah sakit. Kejadian ini
bisa dikategorikan malpraktik. Sedangkan yang kedua adalah kecelakaan medis yang
bukan disebabkan oleh kelalaian tenaga kesehatan. Penyebab yang kedua ini bisa
dikarenakan komplikasi yang tidak bisa dihindari. Misalnya, pasien terkena sindrom
steven jhoson sehingga kulitnya melepuh karena memang pasien tersebut alergi
terhadap obat tertentu atau bisa juga akiabat pasien tidak mematuhi perintah dokter
sehingga timbul komplikasi lain.
Berikut ini adalah contoh dari beberapa KTD:
1. KTD karena komplikasi dari penyakit
Contoh KTD yang merupakan suatu komplikasi dapat terjadi pada pasien koma yang
dirawat lama, dimana pasien harus bedress tetapi petugas pemberi pelayanan sedikit
lalai dalam memberikan perawatan untuk mencegah kemungkinan terjadinya
gangguan kesehatan kulit pada pasien, seperti ulcus peptikum. atau mungkin
kejadian yang tidak diinginkan bisa saja terjadi pada pasien yang sakitnya telah
mengalami komlikasi dimana tindakan medic untuk mengatasi salah satu
penyakitnya malah dapat berakibat fatal pada penyakit lain.
2. High Alert Medication
High alert medications atau obat yang perlu diwaspai adalah obat yang memiliki
risiko yang lebih tinggi dalam menyebabkan komlikasi, efek samping, atau bahaya.
Insiden yang tinggi terutama disebabkan terjadinya kesalahan: kesalahan
membaca/mendengar instruksi terapi, kesalahan penulisan terapi, kesalahan
pengambilan obat, kesalahan pemberian obat, atau kesalahan penyimpanan obat.

11
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian High-Alert Medication
High alert medications adalah obat yang perlu diwaspadai dimana ada sejumlah
obat yang memiliki resiko tinggi yang dapat menyebabkan bahaya yang besar pada
pasien jika tidak digunakan secara tepat.
High alert medications adalah obat-obatan yang memiliki risiko lebih tinggi dapat
menyebabkan atau menimbulkan adanya komplikasi atau membahayakan pasien secara
signifikan jika terdapat kesalahan penggunaan (dosis, interval, dan pemilihannya).
(Hasri, 2016)
High alert medications adalah obat yang presentasinya tinggi dalam
menyebabkan terjadinya kesalahan/error dan atau kejadian sentinel (sentinel event).
Obat yang beresiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse
outcome) termasuk obat-obatan yang tampak mirip (Nama Obat, Rupa dan Ucapan
Mirip / NORUM atau Look-alike, Sound-alike/LASA), serta elektrolit dengan
konsentrasi yang tinggi.
Jadi high alert medications adalah obat yang memerlukan kewaspadaan tinggi,
terdaftar dalam kategori obat beresiko tinggi, dapat menyebabkan cedera serius pada
pasien jika terjadi kesalahan dalam penggunaan.
3.2 Jenis High Alert Medications :
1. Obat Narkotika dan Psikotropika
Narkotika adalah suatu obat yang merusak pikiran menghilangkan rasa sakit,
menolong untuk dapat tidur dan menimbulkan kecanduan dalam berbagai tingkat.
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sitentis bukan narkotik,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. Narkotika
dan psikotropika merupakan salah satu obat yang dibutuhkan tenaga kesehatan
untuk pengobatan suatu penyakit, tetapi kadang menyebabkan efek samping
misalnya kecanduan, kerusakan organ tubuh, bahkan kematian. ( Wowiling, Reinne
G. 2015)
Pengguaan obat psikotropika dan narkotika dirumah sakit diawasi oleh
pemerintah dalam penggunaannya dan diatur dalam undang-undang No.35 tahun
2009 serta pemenkes No.58 tahun 2014 dan masih banyak lagi peraturan
pemerintah menyangkut obat narkotika. (Wowiling, Reinne G. 2015)

12
Pengolaan obat yang baik obat yang baik merupakan faktor utama yang
mendukung tingkat penyembuhan dari suatu penyakit pasien. Salah satu efek
samping dari pemakaian obat psikotropika yaitu dimana seseorang dapat
mengalami ketergantungan berat terhadap obat jika tidak digunakan secara
rasional. (PerMenKes No 3, 2015) oleh karena itu pengelolaan obat psikotropika
sangat memerlukan penangana dan perhatian lebih, khususnya pada sistem
penyampaian dan distribusi agar dapat terjamin keamanaan dan peredaran sediaan.
(Wowiling, Reinne G. 2015)
Efek samping utama menggunakan dalam menggunakan obat psikotropika dan
narkotika adalah depresi napas, yang dapat menyebab kan seseoran menjadi Apnea
atau tidak bernapas. Selain itu, obat psikotropika dan narkotika juga mengurangi
mortilitas alias kontraksi usus. Hal ini dapat menyebabkan konstipasi. (Wowiling,
Reinne G. 2015)
Contoh-Contoh Penggunaan Narkotika dan Psikotropika dan dosis :
1) Kokain, digunakan sebagai penekan rasa sakit dikulit,digunakan untuk anastesi
(bius) khususnya untuk pembedahan mata, hidung, dan tenggorokan. Dosis
maksimum kokain yang digunakan adalah 0,3 mg/kg. (Lumenta,Jimbrif T.
2015)
2) Kodein merupakan analgesik lemah. Kekuatannya sekitar 1/12 dari morfin.
Oleh karena itu, kodein tidak digunakan sebagai analgesik, tetapi sebagai anti
batuk yang kuat. Dosis kodein pada orang dewasa untuk menghilangkan rasa
nyeri adalah 30 mg setiap 6 jam, untuk mengatasi batuk 15 mg setiai 6 jam
dan mungkin bertambah 20 mg setiap 4 jam. Sedangkan, pada anak-anak 2,5-
5 mg setiap 4-6 jam maksimal 30 mg perhari. (Lumenta,Jimbrif T. 2015)
3) Morfin adalah hasil olahan dari opium atau candu mentah, biasa digunakan
untuuk menghilangkan rasa nyeri yang hebat yang tidak dapat diobati dengan
analgesik non narkotika. Morfin juga digunakan untuk mengurangi rasa tegang
pada penderita yang akan dioperasi. Dosis pada orang dewasa 10-20 mg setiap
4 jam dan dosis pada anak-anak 0,1-0,2 mg per kg sesuai kebutuhan tidak
lebih dari 15 mg per dosis. (Lumenta,Jimbrif T. 2015)
4) Heroin adalah obat bius yang sangat mudah membuat seseorang kecanduan
karena efeknya sangat kuat obat ini bisa ditemukan dalam bentuk pil, bubuk,
dan juga dalam bentuk cairan. Dosis 10-20 mg. (Lumenta,Jimbrif T. 2015)

13
5) Methadone, banyak digunakan orang dalam pengobatan ketergantungan
opium. Dosis yang digunakan pada orang dewasa diberikan 20-30 mg pada
awal penggunaan.Apabila gejala putus obat atau kambuh, dokter akan kembali
memberikan obat ini sebanyak 5-10 mg. obat ini tidak boleh diberikan lebih
dari 40 mg pada hari pertama penggunaan. Sementara untuk menangani rasa
sakit yang parah dosis yang digunakan adalah 2,5 hingga 10 mg dalam 6-8
jam. (Lumenta,Jimbrif T. 2015)
6) Meperidin, digunakan sebagai analgesik. Dosis 50-100 mg dapat diulang 3-4
jam.
7) Asam barbiturat, sering digunakan untuk menghilangkan cemas sebelum
operasi.
8) Amfetamin, digunakan untuk mengurangi depresi, kecanduan alkohol,
mengobati parkison dan keracunan zat tertentu. Dosis dewasa 10 mg setiap
harinya dan pada anak 10 mg setiap satu minggu. (Lumenta,Jimbrif T. 2015)
Efek samping dari obat narkotika dan psikotropika, yaitu :
a) Methadone
Konstipasi, mual, muntah, sakit perut, mengantuk, sakit kepala, hipotensi,
gangguan pengelihatan, impotensi, berkeringat, retensi urin, denyut jantung
yang lambat, dan aritmia.
b) Kokain
Kehilangan napsu makan, Peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan
darah, dan suhu tubuh, kontraksi pembukluh darah, meningkatnya laju
pernapasan, pola tidur yang teranggu,mual, dan hiperstimulasi.
c) Kodein
Pusing, mengantuk, mual muntah, sakit perut, sembeli dan gatal.
d) Morfin
Gatal- gatal, sulit bernapas, pembengkakan wajah, bibir, lidah atau
tengorokan.
e) Heroin
Pernapasan yang tertekan, fungsi mental menurun, rasa mual dan muntah,
gelisah dan hipotermia.
f) Amfetamin
Meningkatkan suhu tubuh, meningkatkan denyut jantung,meningkatkan
tekanan darah, mulut kering, mual dan sakit kepala.

14
g) Meperidin
Pusing, mual, muntah ,lemah dan sedasi.
h) Asam Barbiturat
Mulut kering, mual muntah, diare, sembelit, kram perut, kehilangan napsu
makan, penurunan berat barat, sakit kepala,gelisah dan gugup.
(Lumenta,Jimbrif T. 2015)
Dampak penggunaan yang berlebihan:
1. Kokain
Halusinasi, stroke dan serangan jantung, kerusakan pembuluh darah,
kerusakan hati,paru-paru dan ginjal, kerusakan gigi dan temperamental.
2. Heroin
Gigi rusak, radang gusi, penyakit pernapasan,deperesi, dan kelemahan otot.
3. Kodein
Pusing, demam, meriang dan gemetar, sulit tidur,kulit dan mata menguning,
dan kejang-kejang.
4. Morfin
Sulit buang air kecil, gangguan tidur dan tubuh berkeringat.
5. Methadone
Aritmia, hipotensi dan gangguan pengelihatan
6. Meperidin
Henti napas, hipotensi atau hipertensi, dan koma.
7. Asam Barbiturat
Tidak dapat berpikir, tidak dapat berpikir panjang, napas pendek dan sangat
pelan,lemas dan bicara sangat lemas.
8. Amfetamin
Kelainan psikologis, pusing, perubahan mood mental, kesulitan bernapas,dan
kurang nutrisi. (Lumenta,Jimbrif T. 2015)
2. Obat Tampak Mirip atau Ucapan Mirip (Nama Obat, Rupa, dan Ucapan
Mirip/NORUM atau Look-Alike Sound-Alike (LASA)
Obat LASA yaitu obat yang memiliki bentuk atau penampilan dan pengejaan
yang hampir sama. Selain itu obat-obat LASA termasuk juga obat-obat yang
memiliki kekuatan dosis lebih dari satu. Penyimpanan obat jenis ini tidak
dipisahkan dengan sediaan lainnya, tetapi hanya diberi stiker LASA di bagian

15
depan rak penyimpanannya dan diberi jarak dengan obat pasangannya Utami, Putri
Wahyu. 2013).
Obat LASA ( Look Alike Sound Alike) merupakan obat-obatan yang terlihat
bentuknya mirip atau obat-obatan yang kedengarannya mirip atau dalam istilah
bahasa Indonesia disebut dengan NORUM (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip).
Menurut Permenkes No. 58 tahun 2014 tentang “Pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai”, obat-obat LASA termasuk dalam
kelompok obat-obat yang perlu diwaspadai ( High Alert Medication) karena sering
menyebabkan terjadinya kesalahan/kesalahan serius dan obat yang beresiko tinggi
menyebabkan Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD). Kesalahan karena
LASA dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas (Lestari, Endang. 2015)
Penyimpanan obat digudang pusat juga disusun berdasarkan alfabetis dengan
memperhatikan penyusunan untuk obat yang tergolong Look Alike Sound Alike
(LASA) untuk menghindari kesalahan dispensing. Obat yang tergolong LASA
memiliki bentuk dan pengucapan yang mirip sehingga penyimpanannya dipisah,
walaupun memiliki nama dengan alfabet yang berdekatan. Penyimpanan obat
sudah tertata rapi dan baik dengan pemberian label petunjuk pada setiap kelompok
obat. Hal ini memudahkan dispensing obat mengingat jenis dan jumlah perbekalan
farmasi yang banyak (Utami, Putri Wahyu. 2013)
Rak penyimpanan untu obat-obat high alert ditandai dengan lakban berwarna
merah. Setiap obat high alert ditempeli stiker merah high alert pada wadah
primernya. Selain itu, penyusunan obat yang memiliki tampilan atau nama yang
mirip (look alike sound alike-LASA) diatur dengan cara memisahkan penempatan
obat-obat LASA serta menempelkan stiker dengan tulisan LASA pada rak
penyimpanan obat tersebut. Dengan demikian, dapat menghindari kemungkinan
terjadinya kesalahan dalam pengambilan obat oleh petugas. (Utami, Putri Wahyu.
2013). Penempatan obat-obat LASA harus diperhatikan untuk mengurangi
terjadinya kesalahan saat pengambilan obat, sehingga perlu diberi jeda antara obat
LASA satu dengan lainnya (misal captropil 12,5 mg dan captropil 25 mg tidak
diletakkan berdampingan ataupun dopamine dan dobutamin) (Lestari, Endang.
2015)
A. Solusi
Solusi yang dapat kita terapkan untuk menghindari terjadinya LASA yaitu :
1. Penyusunan obat-obat LASA yang menyesuaikan dengan SPO yang ada.

16
2. Sebisa mungkin menghindari order obat secara lisan terutama melalui
telepon, kemungkinan kesalahan mendengar sangat tinggi. Apabila
dilakukan dengan lisan sebaiknya memberikan penekanan intonasi pada
obat tersebut atau dengan mengeja huruf.
3. Apoteker mengidentifikasi obat yang diresepkan dengan teliti, disesuaikan
nama dagang, nama generik, indikasi, serta kekuatan sediaannya.
4. LASA disimpan dengan jarak yang berjauhan satu sama lain dan diberi
tanda LASA yang jelas dan mudah terbaca. (Lestari, Endang. 2015).

17
(Lestari, Endang, 2015)

B. Bahaya atau Efek Samping Kesalahan Pemberian Obat LASA/SALAD


Kemiripan nama dua jenis obat bisa berisiko tinggi menimbulkan kerancuan
dan kebingungan dalam pemberian obat kepada pasien, sehingga bisa
meningkatkan medication error. Apalagi jika kedua jenis obat SA tersebut
memiliki indikasi yang jauh berbeda. American Journal of Health-System
Pharmacy meneliti kematian yang berhubungan dengan medication errors,
16% dikarenakan pemberian obat yang salah dan 10% dikarenakan kesalahan
pemberian rute obat. Sebagian besar kesalahan tersebut berhubungan dengan
obat-obat LASA. United States Pharmacopoeia (USP) Center for the
Advancement of Patient Safety (CAPS) melaporkan bahwa antara tahun 2003
dan 2006, sekitar 3170 pasang obat generic dan merk dagang membuat
bingung penyedia layanan kesehatan di US. Tahun 2008, merilis data
mengenai detail evaluasi bahwa kesalahan obat-obat LASA sekitar 1,4%
menimbulkan efek yang membahayakan pasien. Sekitar 64,4% dikarenakan
kesalahan dispensing baik oleh tenaga teknis kefarmasian maupun farmasis.
(Lestari, Endang. 2015)
3. Elektrolit Konsentrat

18
Obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah
pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida
2meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari
0,9%, dan magnesium sulfat 50% atau lebih pekat). Kesalahan ini bisa terjadi bila
perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien, atau
bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau
pada keadaan gawat darurat. (Diana, dkk, 2016)
Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian
tersebut adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu
diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien
ke farmasi. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan
atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan
data yang ada di rumah sakit. Kebijakan dan atau prosedur juga mengidentifikasi
area mana saja yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) atau kamar operasi, serta pemberian label secara benar pada
elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi
akses, untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja/kurang hati-hati. (Diana dkk,
2016)
Penanganan untuk obat high alert yang paling efektif adalah dengan cara
mengurangi kesalahan dalam pemberian obat tersebut yaitu dengan meningkatkan
proses penyimpanan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan
elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi. Rumah Sakit secara
kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan atau prosedur untuk membuat daftar
obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di Rumah Sakit.
Kebijakan atau prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan
elektrolit konsentrat, seperti di Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau kamar operasi,
serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimanapenyimpanannya
di area tersebut,untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja atau kurang hati-
hati. (Diana, dkk, 2016)
Rumah Sakit perlu mengembangkan kebijakan pengelolaan Obat untuk
meningkatkan keamanan, Insiden keselamatan pasien mengenai high alert masih
sering terjadi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bayang dkk (2010)
menunjukkan bahwa kesalahan dalam pemberian obat disebabkan oleh prosedur
penyimpanan obat yang kurang tepat khususnya untuk obat LASA (Look Alike

19
Sound Alike) yaitu obat-obatan yang bentuk atau rupanya dan pengucapannya atau
namanya mirip. (Diana dkk, 2016)
Berdasarkan pelayanan medis yang diberikan kepada pasien maka unit yang
dinilai membutuhkan penempatan elektrolit konsentrasi tinggai di unit pelayanan
hanya berada di :
1. Farmasi
2. Instalasi Care Unit (ICU)
3. Kamar neonatal
4. Kamar Bedah
5. Kamar Bersalin
6. Instalasi Gawat Darurat (IGD)
7. Ruang Rawat Inap (khusus emergensi kit)
8. Ruang Rawat Jalan/Poli (khusus emergensi kit)
Elektrolit konsentrat tidak boleh berada di ruang perawatan (terkecuali
emergensi kit), dengan syarat disimpan di tempat terpisah, akses terbatas, jumlah
terbatas dan diberi label yang jelas untuk menghindari penggunaan yang tidak
disengaja.
Penyiapan dan pemberian obat kepada pasien yang perlu diwaspadai termasuk
elektrolit konsentrasi tinggi harus memperhatikan kaidah berikut:
a. Setiap pemberian obat menerapkan prinsip 8 Benar + 1 Waspada (8B+1W).
b. Pemberian elektrolit pekat harus dengan pengenceran dan penggunaan label
khusus.
c. Pastikan pengenceran dan pencampuran obat dilakukan oleh perawat/bidan.
d. Pisahkan atau beri jarak penyimpanan obat dengan kategori LASA.
e. Biasakan mengeja nama obat dengan kategori obat LASA / NORUM.
Cara Pengenceran Obat yang Perlu Diwaspadai (High Alert) di Ruang
Perawatan :
a. NaCl 3 % injeksi intravena diberikan melalui vena sentral dengan kecepatan
infus tidak lebih dari 100mL/jam.
b. Natrium Bicarbonat (Meylon 8.4%) injeksi, harus diencerkan sebelum
digunakan. Untuk penggunaan bolus, diencerkan dengan perbandingan 1 mL
Na. Bicarbonat : 1 mL pelarut Water for Injection, untuk pemberian bolus
dengan kecepatan maksimum 10 mEq/Menit. Untuk penggunaan infus drip,
diencerkan dengan perbandingan 0.5 mL Na. Bicarbonat: 1 mL Dextrose 5%,

20
pemberian drip infus dilakukan dengan kecepatan maksimum 1 mEq/kg
BB/jam.
Setiap penyerahan obat kepada pasien dilakukan verifikasi 8 (delapan) benar
dan 1 (satu) waspada untuk mencapai medication safety :
a. Benar Pasien
b. Benar obat
c. Benar Dosis
d. Benar waktu
e. Benar Cara/ Rute
f. Benar Dokumentasi
g. Benar Expired/kadaluarsa
h. Benar Informasi
i. Waspada Efek Samping

Pemberian obat yang perlu diwaspadai (high-alert) di ruang perawatan


1. Sebelum perawat memberikan obat high alert kepada pasien maka perawat lain
harus melakukan pemeriksaan kembali (double check) menerapkan prinsip 8
Benar + 1 Waspada (8B+1W).
2. Obat high alert infus harus dipastikan :
a. Ketepatan kecepatan pompa infus (infuse pump).
b. Jika obat lebih dari satu, tempelkan label nama obat pada syringe pump dan
disetiap ujung jalur selang.
3. Obat high alert elektrolit konsentrasi tinggi harus diberikan sesuai perhitungan
standar yang telah baku, yang berlaku di semua ruang perawatan.
4. Setiap kali pasien pindah ruang rawat, perawat pengantar menjelaskan kepada
perawat penerima pasien bahwa pasien mendapatkan obat high alert, dan
menyerahkan formulir pencatatan obat (Huruf kapital dan Tulisan berwarna
merah).
5. Dalam keadaan emergensi yang dapat menyebabkan pelabelan dan tindakan
pencegahan terjadinya kesalahan obat high alert dapat mengakibatkan
tertundanya pemberian terapi dan memberikan dampak yang buruk pada pasien,
maka dokter dan perawat harus memastikan terlebih dahulu keadaan klinis
pasien yang membutuhkan terapi segera (cito) sehingga double check dapat
tidak dilakukan, namun sesaat sebelum memberikan obat, perawat harus

21
menyebutkan secara lantang semua jenis obat yang diberikan kepada pasien
sehingga diketahui dan didokumentasikan dengan baik oleh perawat yang
lainnya.

Penyimpanan Elektrolit Konsentrat Tinggi


a. Asisten apoteker (logistik farmasi/pelayanan farmasi) yang menerima obat
segera memisahkan obat yang termasuk kelompok obat yang “High Alert”
sesuai Daftar Obat High Alert RSU. Full Bethesda.
b. Petugas Melakukan identifikasi obat High Alert (Elektrolit Konsentrat Tinggi)
lokasi pelabelan dan penyimpanan di area yang di batasi ketat.
c. Tempelkan stiker merah bertuliskan “High Alert” pada setiap kemasan obat
high alert.
d. Obat high alert disimpan terpisah dari obat lain.

4. Therapeutic Index
Therapeutik index juga disebut sebagai rasio terapeutik adalah perbandingan
jumlah agen terapeutik yang menyebabkan efek terapeutik dengan jumlah yang
menyebabkan toksisitas. Istilah terapeutik merujuk padarentang dosis yang
mengoptimalkan antara efikasi dan toksisitas, mencapai manfaat terapeutik terbesar
tanpa mengakibatkan efek samping atau toksisitas yang tidak dapat diterima.
Secara klasik dalam pengaturan indikasi klinis yang diterapkan dari obat yang
disetujui, TI mengacu pada rasio dosis obat yang menyebabkan efek buruk pada
insiden/keparahan yang tidak sesuai dengan indikasi yang ditargetkan dengan dosis
yang mengarah pada efek farmakologis yang dinginkan, sebaliknya dalam
pengaturan pengenbangan obat, TI dihitung berdasarkan tingkat paparan
plasma.Umumnya obat atau agen terapeutik lain dengan kisaran terapeutik yang
sempit (yaitu memiliki sedikit perbedaan antara dosis beracun dan terapeutik)
mungkin dosisnya disesuaikan menurut pengukuran kadar darah yang sebenarnya
dicapai melalui protocol terapi obat.
1. Indeks Terapi dalam pengembangan obat
Indeks Terapi Tinggi (TI) lebih disukai untuk obat yang memiliki profil
keamanan dan kemanjuran yang menguntungkan. Pada tahap penemuan /
pengembangan awal, TI klinis dari kandidat obat tidak diketahui. Namun,

22
memahami TI awal calon obat adalah yang paling penting sedini mungkin
karena TI merupakan indikator penting dari probabilitas keberhasilan
pengembangan obat. Mengenali kandidat obat dengan TI yang berpotensi
suboptimal pada tahap sedini mungkin membantu untuk memulai mitigasi atau
berpotensi menyebarkan kembali sumber daya.
Dalam pengaturan pengembangan obat, TI adalah hubungan kuantitatif
antara efikasi (farmakologi) dan keamanan (toksikologi), tanpa
mempertimbangkan sifat dari endpoint farmakologi atau toksikologi itu sendiri.
Namun, untuk mengubah TI yang dihitung menjadi sesuatu yang lebih dari
sekadar angka, sifat dan keterbatasan titik akhir farmakologis dan / atau
toksikologi harus dipertimbangkan. Tergantung pada indikasi klinis yang dituju,
kebutuhan medis yang tidak terpenuhi dan / atau situasi kompetitif, kurang lebih
berat badan dapat diberikan baik untuk keamanan atau kemanjuran dari kandidat
obat dengan tujuan untuk menciptakan keamanan indikasi-spesifik yang
seimbang dengan baik vs kemanjuran Profil.
Secara umum, paparan jaringan yang diberikan terhadap obat (yaitu
konsentrasi obat dari waktu ke waktu), daripada dosis, yang mendorong efek
farmakologi dan toksikologi. Sebagai contoh, pada dosis yang sama mungkin
ada variabilitas antar-individu yang ditandai dalam paparan karena
polimorfisme dalam metabolisme, DDI atau perbedaan dalam berat badan atau
faktor lingkungan. Pertimbangan ini menekankan pentingnya menggunakan
paparan daripada dosis untuk menghitung TI. Untuk memperhitungkan
penundaan antara paparan dan toksisitas, TI untuk toksisitas yang terjadi setelah
administrasi dosis ganda harus dihitung menggunakan paparan obat pada
kondisi mapan daripada setelah pemberian dosis tunggal.
2. Rentang indeks terapeutik
Indeks terapeutik sangat bervariasi di antara zat-zat, bahkan dalam
kelompok yang terkait. Misalnya, di antara obat penghilang rasa sakit opioid ,
remifentanil menawarkan indeks terapeutik 33.000: 1, sementara morfin kurang
begitu dengan indeks terapeutik 70: 1. Diazepam , obat penenang otot -hipnotis
dan skeletal benzodiazepine memiliki indeks terapeutik yang kurang
mengampuni dari 100: 1.
Kokain, stimulan dan anestetik lokal, dan etanol, indeks terapeutik untuk
zat ini adalah 15: 1 dan 10: 1, masing-masing. Bahkan yang kurang aman adalah

23
obat-obatan seperti digoksin, glikosida jantung ; indeks terapeutiknya sekitar 2:
1. Contoh lain dari obat dengan kisaran terapeutik yang sempit, yang mungkin
memerlukan pemantauan obat baik untuk mencapai tingkat terapeutik dan untuk
meminimalkan toksisitas, termasuk: parasetamol (asetaminofen), dimerkaprol,
teofilin, warfarin dan lithium karbonat. Beberapa antibiotik memerlukan
pemantauan untuk menyeimbangkan keberhasilan dengan meminimalkan efek
samping, termasuk : gentamisin, vankomisin, amphotericin B, dan polymyxin B.
3. Rasio Keamanan
Kadang-kadang istilah rasio keamanan digunakan sebagai gantinya,
terutama ketika mengacu pada obat psikoaktif yang digunakan untuk tujuan
non-terapeutik, misalnya penggunaan rekreasi.Dalam kasus seperti itu, dosis
efektif adalah jumlah dan frekuensi yang menghasilkan efek yang diinginkan,
yang dapat bervariasi, dan bisa lebih besar atau lebih kecil dari dosis efektif
terapi. Faktor Keamanan Tertentu , juga disebut sebagai Margin of Safety
(MOS) , adalah rasio dari dosis yang mematikan untuk 1% populasi ke dosis
efektif untuk 99% dari populasi (LD1 / ED99).Ini adalah indeks keamanan yang
lebih baik daripada LD 50 untuk bahan yang memiliki efek yang diinginkan dan
tidak diinginkan, karena itu faktor dalam ujung spektrum di mana dosis
mungkin diperlukan untuk menghasilkan respons pada satu orang tetapi dapat,
pada saat yang sama. dosis, menjadi mematikan di lain.
4. Efek sinergis
Indeks terapeutik tidak mempertimbangkan interaksi obat atau efek
sinergis. Misalnya, risiko yang terkait dengan benzodiazepin meningkat secara
signifikan ketika diambil dengan alkohol, opiat, atau stimulan jika dibandingkan
dengan yang diambil sendiri Indeks terapi juga tidak memperhitungkan
kemudahan atau kesulitan mencapai dosis beracun atau mematikan. Ini lebih
merupakan pertimbangan bagi pengguna narkoba, karena kemurniannya bisa
sangat bervariasi.
5. Indeks pelindung
Indeks pelindung adalah konsep yang serupa, kecuali bahwa itu
menggunakan TD 50 (dosis racun median) di tempat LD 50 . Untuk banyak zat,
efek racun dapat terjadi pada tingkat yang jauh di bawah yang diperlukan untuk
menyebabkan kematian, dan dengan demikian indeks pelindung (jika toksisitas
ditentukan dengan tepat) sering lebih informatif tentang keamanan relatif suatu

24
zat. Namun demikian, indeks terapeutik masih berguna karena dapat dianggap
sebagai batas atas untuk indeks pelindung, dan yang pertama juga memiliki
kelebihan objektivitas dan pemahaman yang lebih mudah.
6. Dosis biologis yang optimal
Dosis biologis yang optimal (OBD) adalah jumlah obat yang paling efektif
menghasilkan efek yang diinginkan sambil tetap berada dalam kisaran toksisitas
yang dapat diterima.
7. Dosis maksimum yang ditoleransi
Dosis maksimum yang ditoleransi (MTD) mengacu pada dosis tertinggi dari
perawatan radiologi atau farmakologi yang akan menghasilkan efek yang
diinginkan tanpa toksisitas yang tidak dapat diterima. Tujuan pemberian MTD
adalah untuk menentukan apakah paparan jangka panjang terhadap bahan kimia
dapat menyebabkan efek buruk pada kesehatan yang tidak dapat diterima dalam
suatu populasi, ketika tingkat paparan tidak cukup untuk menyebabkan
kematian dini karena jangka pendek efek beracun . Dosis maksimum digunakan,
daripada dosis yang lebih rendah, untuk mengurangi jumlah subjek tes, untuk
mendeteksi efek yang mungkin jarang terjadi. Jenis analisis ini juga digunakan
dalam menetapkan toleransi residu bahan kimia dalam makanan. Studi dosis
maksimum yang ditoleransi juga dilakukan dalam uji klinis.
MTD adalah aspek penting dari profil obat. Semua sistem perawatan kesehatan
modern mendikte dosis aman maksimum untuk setiap obat, dan umumnya memiliki
banyak perlindungan untuk mencegah resep dan pengeluaran kuantitas melebihi
dosis tertinggi yang telah terbukti aman untuk anggota populasi pasien umum.
Pasien sering tidak dapat mentolerir MTD teoritis obat karena terjadinya efek
samping yang tidak secara bawaan merupakan manifestasi toksisitas (tidak dianggap
sangat mengancam kesehatan pasien) tetapi menyebabkan pasien cukup tertekan dan
/ atau tidak nyaman untuk menghasilkan dalam ketidakpatuhan terhadap pengobatan.
Contoh-contoh tersebut termasuk emosional "menumpulkan" dengan antidepresan,
pruritus dengan opiat , dan penglihatan kabur dengan antikolinergik.

3.3 Metode Untuk Menurunkan Kesalahan


1. Meningkatkan akses mendapatkan informasi obat yang perlu diwaspadai, yaitu
dengan memberikan tabel obat yang harus diwaspadai pada ruang/unit pelayanan
yang diperbolehkan menyimpan obat tersebut.

25
2. Membatasi akses obat yang perlu diwaspadai :
a. Ruangan yang diperbolehkan untuk menyimpan obat, terutama elektrolit
konsentrat, dengan pengawasan yaitu Instalasi Farmasi, UGD, ruang OK dan
ruang rawat inap.
b. Apabila termasuk obat emergensi merupakan pengecualian dan diperbolehkan
berada di kotak emergency di ruang rawat inap dan UGD.
3. Penyimpanan harus dipisahkan dengan obat yang lain, ditempat yang agak tinggi
tetapi harus tetap dapat dijangkau, menggunakan label dan tanda peringatan.
Elektrolit konsentrat yang disimpan di ruang rawat inap harus diberi label yang
jelas dan disimpan pada area yang dibatasi ketat ( retricted ).
4. Menggunakan sistem permintaan, penyimpanan, penyiapan dan pemberian yang
terstandar.
5. Petugas melakukan double check.
6. Komite farmasi dan terapi memantau obat-obat yang masuk kategori obat yang
perlu diwaspadai sesuai dengan formularium dan informasi yang terkini.
3.4 Pengelolaan Obat yang Masuk Kategori Obat yang Perlu diwaspadai
1. Membuat tabel identifikasi obat
Obat dengan rentang terapi sempit

Elektrolit Konsentrat

26
Narkotika Psikotropika

2. Ketentuan penyimpanan obat :


a. Tempat penyimpanan obat oral, infus konsentrat, dan narkotikapsikotropika
dilakukan pada tempat/lemari terpisah, dengan tujuan memudahkan distribusi,
penyimpanan, dan pengawasan.
b. Khusus obat narkotika dan psikotropika disimpan harus memiliki tempat
khusus yang memenuhi persyaratan yaitu ( SPO Pengelolaan Narkotika –
Psikotropika ) :
- Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat.
- Harus mempunyai kunci ganda yang berlainan.
- Dibagi 2 masing-masing dengan kunci yang berlainan. Bagian 1
digunakan untuk menyimpan sediaan narkotika dan sediaan psikotropika.
Bagian 2 digunakan untuk menyimpan sediaan narkotika dan psikotropika
yang digunakan sehari-hari.
- Lemari khusus tersebut berupa lemari dengan ukuran lebih kurang
40x80x100 cm3, lemari tersebut harus dibuat pada tembok atau lantai.
- Lemari khusus, tidak dipergunakan untuk menyimpan bahan lain selain
narkotika.
c. Pada tempat penyimpanan disertai label peringatan :

27
d. Bila obat masih dalam kardus besar, pada kardusnya ditempeli label peringatan
dan disimpan di tempat yang tinggi dan mudah dijangkau.
3. Pelayanan obat di Instalasi Farmasi :
a. Memeriksa dan membaca ulang nama obat dan kekuatan dosis yang tertulis
pada resep.
b. Double check saat mengambil obat pada tempatnya.
c. Double check saat akan menyerahkan kepada dokter, perawat atau pasien.
d. Memberikan label obat yang perlu kewaspadaan tinggi pada obat yang akan
disimpan pada nurse station.
4. Penyiapan Obat yang perlu diwaspadai oleh perawat :
a. Membaca ulang nama obat dan kekuatan dosis sesuai dengan instruksi dokter.
b. Double check saat perawat mengambil obat.
c. Rekonstitusi sesuai tabel rekonstitusi.
d. Double check saat akan diberikan kepada pasien.
5. Setiap sebulan sekali Apoteker/Asisten Apoteker wajib melakukan pengecekan
terhadap obat high alert yang disimpan di Instalasi Farmasi, ruang rawat jalan,
ruang OK, dan ruang rawat inap. Merujuk kepada SPO pengecekan flour stock.
3.5 Pengelolaan Obat yang Masuk Kategori Nama Obat, Rupa dan Ucapan
Mirip/NORUM
1. Membuat tabel obat sesuai kategori peringatan :

28
2. Ketentuan Penyimpanan Obat :
a. Pada tempat penyimpanan disertai dengan label pemberian

b. Obat dengan nama/ucapan mirip ditempatkan pada wadah terpisah. Demikian


juga obat dengan rupa mirip ditempatkan pada wadah tidak berdekatan.
3. Pelayanan obat di Instalasi Farmasi :
a. Double check saat mengambil obat pada tempatnya.
b. Double check saat akan menyerahkan kepada dokter, perawat, atau pasien.
c. Bila obat diserahkan ke perawat untuk disimpan di nurse station diberi label
peringatan sesuai dengan maksud peringatan. ( C.Midriatiled dan C.Efrisel ed
diberi label AWAS !! Rupa Mirip ).
4. Penyiapan Obat yang perlu diwaspadai oleh perawat.
a. Membaca ulang nama obat dan kekuatan dosis sesuai dengan instruksi dokter.
b. Double check saat perawat mengambil obat.
c. Rekonstitusi sesuai tabel rekonstitusi.
d. Double check saat akan diberikan kepada pasien.

29
5. Setiap hari penanggung jawab ruangan wajib melakukan pengecekan terhadap obat
NORUM /LASA yang disimpan di lemari penyimpanan. Merujuk kepada SPO
pengecekan flour stock.
6. Bila terjadi kesalahan pemberian obat yang masuk NORUM terkait kasus
KTD/KNC, petugas kesehatan wajib melaporkan kepada tim keselamatan pasien
Rumah Sakit (merujuk SPO pelaporan insiden).
7. Apoteker harus selalu mengawasi perubahan warna kemasan, model tulisan, model
kemasan yang dilakukan oleh pabrik farmasi untuk dilakukan pendataan ulang
obat-obat NORUM/LASA.
3.6 Prinsip dalam Pengurangan Terjadinya High-Alert Medication
1. Kurangi atau eliminasi kemungkinan terjadinya kesalahan dengan cara:
a. Mengurangi jumlah high alert medications yang disimpan di suatu unit
b. Mengurangi konsentrasi dan volume obat yang tersedia
c. Hindarkan penggunaan high alert medications sebisa mungkin
2. Lakukan pengecekan ganda
3. Minimalisasi konsekuensi kesalahan
a. Misalnya: kesalahan fatal terjadi di mana injeksi vial 50 ml berisi lidokain
2%tertukar dengan manitol (kemasan dan cairan obat serupa).
Solusinya:sediakan lidokain 2% dalam vial 10 ml, sehingga kalaupun terjadi
salah pemberian, jumlah lidokain yang diinjeksikan kurang berdampak fatal
b. Pisahkan obat-obat dengan nama atau label yang mirip (LASA/NORUM)
c. Minimalisasi instruksi verbal dan hindarkan penggunaan singkatan
d. Batasi akses terhadap high alert medications
e. Gunakan tabel dosis standar (daripada menggunakan dosis perhitungan
berdasarkan berat badan/fungsi ginjal, di mana rentan terjadi kesalahan).

3.7 SOP Meningkatkan Keamanan Obat dengan Kewaspadaan Tinggi


MENINGKATKAN KEAMANAN OBAT DENGAN
KEWASPADAAN TINGGI
( HIGH ALERT MEDICATION )
NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN

30
PETUNJUK TANGGAL TERBIT DISETUJUI OLEH
PELAKSANAAN

Obat dengan kewaspadaan tinggi ” High Alert ” adalah obat-obat


PENGERTIAN yang secara signifikan berisiko membahayakan pasien bila digunakan
dengan salah atau pengelolaan yang kurang tepat.

1. Mencegah kesalahan pemberian obat akibat nama obat yang


TUJUAN membingungkan ( Look alike and sound alike drugs ) / LASA/
SALAD.
2. Mengurangi/ menghilangkan kejadian kesalahan pemberian
elektrolit konsentrat.
3. Mengurang resiko medication error akibat obat-obat atau cairan lain
dalam kontainer yang tidak berlabel.
4. Melakukan pemantauan, pengumpulan data medication error akibat
penggunaan dan pengelolaan “high alert medication” analisa data
dan rencana tindak lanjut dari kecendrungan kejadian.
1. Rumah sakit menyusun daftar obat yang bentuknya mirip dan nama
KEBIJAKAN kedengaran mirip LASA/SALAD, dan review minimal setiap 1
tahun.
2. Menetapkan tindakan pencegahan akibat kesalahan karena tertukar/
salah penempatan obat LASA/SALAD
3. Elektrolit konsentrat tidak distok/ disimpan di ruang-ruang rawat#
kecuali untuk kebutuhan klinik boleh di stok dalam jumlah terbatas
di area-area tertentu misalnya kamar operasi, dialysis unit, IGD,
ICU/ICCU, penyimpanan dan pemberian harus sesuai dengan
persyaratan.
4. Untuk memenuhi kebutuhan penggunaan elektrolit konsentrat
pasien - pasien di ruang-ruang rawat terutama potassium chloride,
disiapkan langsung oleh staf bagian farmasi dalam bentuk sediaan
yang sudah di dilusi.
5. Obat dan cairan lain yang ditempatkan dalam kontainer harus diberi
label termasuk bila hanya ada 1 jenis obat yang sedang digunakan.
6. Buang obat atau cairan segera bila ditemukan tidak berlabel.
7. Khusus di kamar operasi atau ruang prosedur vial / ampul / wadah
obat atau cairan jangan dibuang sampai prosedur atau tindakan
selesai.
8. Laporkan setiap insiden “ medication error” menggunakan format
laporan insiden yang baku sesuai kebijakan Rumah Sakit
1.    Penempatan dan penanganan SALAD/LASA
PROSEDUR 1. Semua obat yang masuk dalam daftar SALAD/LASA tidak
ditempatkan di area yang berdekatan. Tempat obat diberi label
khusus dengan huruf cetak, warna jelas dan label cetakan.

31
2. Berikan pencahayaan yang terang pada tempat obat.
3. Melakukan double cek oleh 2 orang petugas yang berbeda pada
setiap melakukan dispensing obat
4. Melakukan pengecekan ulang pada kemasan dan label obat dengan
membandingkan label pada resep/ catatan obat pasien.
5. Bubuhkan tanda tangan petugas yang menyiapkan dan saksi
6. Memastikan benar pasien dengan dua cara identifikasi, benar obat,
benar dosis, benar waktu, dan benar route setiap kali akan
memberikan obat kepada pasien.
7. Khusus obat injeksi dan narkotik lakukan double cek bersama satu
orang perawat lainnya mulai sejak menyiapkan obat sampai
pemberian kepada pasien.
8. Tanda tangan perawat yang memberikan dan saksi pada catatan
pengobatan pasien.

2.    Penyimpanan dan pengelolaan elektrolit konsetrat


1. Resep elektrolit konsentrat (potassium chloride) dikirimkan ke
farmasi untuk disiapkan.
2. Petugas Farmasi menyiapkan elektrolit konsentrat ' potassium
chloride , yang sudah dilarutkan dalam cairan infus dengan volume
sesuai resep dokter untuk sekali pakai.
3. Menerapkan teknik aseptik pada setiap menyiapkan cairan
4. Beri label nama obat, jumlah, kekuatan, dan waktu kadaluarsa.
5. Potassium chloride dikirimkan segera ke ruangan untuk diberikan
kepada pasien yang membutuhkan.
6. Tidak direkomendasikan menyimpan potassium chloride yang
sudah dilarutkan.
7. Potassium chloride disiapkan hanya untuk sekali pakai.

Pelebelan obat dan container


1. Segera beri label pada setiap obat atau cairan yang sudah disiapkan
dalam syringe atau container, termasuk kontainer steril.
2. Label dituliskan nama obat, kekuatan obat, jumlah, tanggal
kadaluarsa dan waktu kadaluarsa bila kadaluarsa terjadi dalam
waktu <24 jam.
3. Gunakan label cetakan dengan huruf dan warna yang jelas.
4. Label pada kontainer steril segera lepaskan/ buang pada setiap
selesai suatu prosedur/tindakan.

Pemantauan dan Pengumpulan data insiden medication error


1. Menentukan definisi kejadian medication error yang harus
dilaporkan dan menetapkan alat pemantauan harian.
2. Melakukan pengumpulan data insiden medication error harian
3. Menghitung data insiden setiap akhir bulan dengan parameter

32
penghitungan;
Numerator X 100%
denominator
Numerator adalah total insiden dalam periode waktu tertentu
denominator adalah total hari rawat pada periode waktu tertentu
UNIT TERKAIT Seluruh area keperawatan, kamar Operasi, ruang Prosedur, rawat
singkat. instalasi farmasi, rehabilitasi Medis. dan ruang pelayanan
lainnya.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Adverse event diartikan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan, atau
memiliki potensi yang dapat menyebabkan hal tidak terduga atau tidak diinginkan
sehingga membahayakan keselamatan pengguna alat (termasuk Pasien) atau orang lain.
Kejadian tidak terduga atau tidak diinginkan sebagai akibat negative dari manajemen

33
dibidang kesehatan, tidak terkait dengan perkembangan alamiah penyakit atau
komplikasi penyakit yang mungkin terjadi.
Advers event atau yang disebut juga kejadian tidak diinginkan adalah suatu
kejadian yang mengakibatkan cidera yang tidak diharapkan pada pasien. Adverse event
dapat dbedakan menjadi beberapa jenis yaitu, kejadian sentinel, kejadian tidak
diharapkan yang tidak dapat dicegah, kejadian nyaris cedera, kondisi potensial cedera,
dan kondisi tidak cidera. Kejadian tidak diharapkan dapat terjadi karena beberapa
penyebab yaitu,hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri atau komplikasi
penyakit,hasil dari suatu resiko yang tidak dapat dihindari, hasil dari suatu kelalaian
medis, ataupun hasil dari suatu kesengajaan.
Tindakan invasif adalah tindakan medik langsung yang dipengaruhi oleh
keutuhan tubuh yang memiliki banyak resiko yang membahayakan pasien salah satunya
infeksi yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu petugas kesehatan, alat-alat
kesehatan, kondisi pasien, dan lingkungan. Dalam permenkes dijelaskan bahawa
tindakan bedah atau tindakan invasif harus dilakukan oleh dokter yang akan melakukan
tindakan, namun dalam keadaan tertentu tindakan invasif juga dapat dilakukan oleh
dokter lain ataupun oleh perawat.
High alert medications adalah obat yang perlu diwaspadai dimana ada sejumlah
obat yang memiliki resiko tinggi yang dapat menyebabkan bahaya yang besar pada
pasien jika tidak digunakan secara tepat.
High alert medications yang harus diwaspadai adalah obat yang memiliki rentang
terapi, obat narkotika dan psikotropika, obat tampak mirip/ucapan mirip (Nama Obat,
Rupa dan Ucapan Miril/NORUM atau Look-Alike Sound-Alike (LASA).
4.2 Saran
Sebagai tenaga kesehatan kita harus mempelajari tentang adverse event dan cara
pencegahannya agar dapat melakukan tindakan dengan baik dan benar sesuai standar
pelayanan kesehatan pada pasien supaya terjaminnya keselamatan pasien dari semua
tindakan yang diberikan.

34
DAFTAR PUSTAKA
Abib,A.Yahya.2014.Pedoman pelaporan insiden keselamatan pasien rumah sakit. Surat
keputusan No: HK.02.04/III.4/0613/2014.
Anggoro Yoga,2007.Undang-undang republic Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang
kesehaatan dan undang-undang Republik Indonesia nomor 29 Tahun 2004 Tentang
praktik kedokteran.Jakarta :Visimedia

35
Bantu, Anggraini, dkk. 2014. Hubungan Pengetahuan Perawat dengan Penerapan Identify
Pasient Correctly di RSUP Kabupaten Minahasa Tenggara. Jurnal Keperawatan Vol 2
No. 2.
Darlina, Devi. 2016. Hubungan Pengetahuan Perawat Dengan Upaya Penerapan Patient
Safety Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh. Idea Nursing Journal. Vol. 7(1): 61-69
Departemen Kesehatan RI & KKP-RS. (2008). Panduan Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (Patient Safety): Utamakan Keselamatan Pasien. Ed.2. Jakarta: Bakti
Husada
Diana, Lisnawaty, dkk. 2016. Kesesuaian Penyimpanan Obat High Alert Di Instalasi
Farmasirsud Ulin Banjarmasin. Academy of Pharmacy ISFI Banjarmasin dan Regional
General Hospital of Ulin, Banjarmasin.
Efendy, Ferry Makhfudli.2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas. Jakarta : Salemba
Medika
Komalawati,Veronica. 2010. Community & Patient Safety dalam prespektif hukum
kesehatan.
Lumenta,Jimbrif T. 2015.Evaluasi Penyimpanan Dan Distribusi Obat Psikotropika.
Lestari, Endang. 2015. Tugas Praktek Kerja Profesi Apoteker Evaluasi Penyimpanan Obat
Lasa Di Apotek Kemoterapi, Icu, Iccu Dan Hcu Rsud Prof. Dr. Margono Soekardjo.
Puwekerto: Rsud Prof. Dr. Margono Soekardjo.
PARMACON. Jurnal ilmiah farmasi-UNSRAT Vol.4 November 2015.
Hakam, Fahmi. 2015. Implementasi Patient Safety di Rumah Sakit. Jakarta: Permata Indah
Muller,Milton.2012.Penentuan dan interpretasi dari indeks terapeutik dalam pengembangan
obat. doi : 10.1038 / nrd3801.
Najihah.2018. Budaya Keselamatan Pasien dan Insiden Keselamatan Pasien di Rumah Sakit:
Literature Review. Journal Of Islamic Nursing. Vol. 3(1):1-7.
Nasution, Putri Citra Cinta Asyura. 2018. Patient Safety. Universitas Sumatera Utara
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011,
Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Bab I, Ps. 1, Ayat;1,2,3,4,5,6,7,8
Panduan Keamanan Obat Yang Perlu Diwaspadai (High Allert Medications). 2015. Rumah
Sakit Umum Full Bethesda. Deli Serdang – Indonesia.
Potter, P.A. & Perry, A.G. (2008). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan
praktik. Jakarta: EGC

36
Pubati, Aumas. 2011. Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Proceedings Of expert lectur of medical student.
Rang, dkk.2015.Farmakokinetik Farmakologi Rang & Dale edisi 8.Churchill Livingstone.
ISBN 978-0-7020-5362-7.
Samiyah, dkk. 2012. Pengembangan Program Patient Safety Berdasarkan Standar Six Goal
International Pasient Safety di RS Onkologi Surabaya Jurnal Administrasi Kebijakan
Kesehatan Vol 10 No. 2.
Sutrisno,Edi.2017.Manajemen sumber Daya Manusia.Jakarta :Kencana
Trevor, dkk.2013.Farmakodinamik Pemeriksaan Farmakologi & Tinjauan Board edisi 10.
New York: McGraw-Hill Medical. ISBN 978-0-07-178923-3.
Utarini, A., Ehry, G.S., & Hill, P. (2009). Hospital Management Training, New Ways To
Improve Services In Indonesia: A Text Book And Guide. (1st Ed.). Jakarta: GTZ Office
Utami, Putri Wahyu. 2013. Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker Di Rumah Sakit Umum
Pusat Nasional (Rsupn) Dr. Cipto Mangunkusumo Periode 1 April – 31 Mei 2013.
Universitas Indonesia
Wowiling, Reinne G. 2015.Analisis penggolahan obat narkotika subuxone Di RS JIMKU,
Suplemen Vol.5,No,2 April 2015.

LAMPIRAN
Pertanyaan
1. Kelompok 1:
Apa yang dimaksud dengan terapi index?
2. Kelompok 2:
Siapa yang membuat table identifikasi obat, perawat atau farmasi?
37
3. Kelompok 3:
Berapa besar pengaruh medication error terhadap KTD?
4. Kelompok 4:
Menurut kelompok, seberapa penting medication safety terhadap pasien dan berikan
rating 1-100 serta alasannya?

Jawab:
1. Kelompok 1
Terapi indeks adalah perbandingan jumlah agen terapeutik yang menyebabkan efek
terapeutik dengan jumlah toksisitas, istilah terapeutik merujuk pada rentang dosis yang
mengoptimalkan antara efiksasi dan toksisitas. Jadi terapi indeks ini mengacu pada rasio
dosis obat yang menyebabkan efek buruk pada insiden/keparahan yang tidak sesuai
dengan indikasiyang ditargetkan dengan dosis yang mengarah pada efek farmakologis
yang diinginkan. Obat terapi indeks ini memiliki sedikit perbedaan antara dosis racun
dan terapeutik sehingga harus sesuai denga perhitungan kadar darah yang sebenarnya
dicapai melalui protocol terapi obat.
2. Kelompok 2
Yang membuat table identifikasi obat adalah farmasi, hal ini dikarenakan farmasi lebih
mengerti tentang obat sedang perawat adalah jembatan atau penyalur kepada pasien
tetapi tidak menutup kemungkinan untuk mengecek obat kembali atau mengetahui
apakah obat itu benar untuk pasien sehinggga perawat juga harus mengetahui sedikit
tentang obat.
3. Kelompok 3
Pengaruh medical error terhadap ktd sangat signifikan. Hal ini karena seperti kita ketahui
ktd adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan oleh pasien maupun perawat. Di ktd ini
terdapatlah medical error, perawat yang tidak mengecek kembali obat yang akan
diberikan kepada pasien dengan 10 benar dapat membuat edverse event (KTD ) itu
sendiri.
4. Kelompok 4
Menurut kelompok kami, rating yang kami berikan adalah 100 karena medication safety
terhadap pasien sangat penting. Hal ini untuk menjauhkan pasien terhadap kejadian –
kejadian yang tidak diinginkan saat perawatan berlangsung terutama KTD itu sendiri.

38

Anda mungkin juga menyukai