@edgarhamas
(disampaikan pada Diskusi Online bersama Forum Studi Ekonomi Islam Banten)
“Saat ini,” ujar Dr. Murad Wilfried Hoffman dalam bukunya Trend Islam 2000, “tidak ada
seorang pun yang berani memprediksi bahwa Islam akan lenyap. Sebaliknya, Islam akan
terus berkembang, bahkan meledak!”
Dunia terus berubah, begitupula perputaran kekuatan. Dulu Romawi mencengkram dunia,
diimbangi dengan Persia penguasa di Timurnya. Islam datang kemudian, memecah sunyi,
“menyelamatkan manusia dari penyembahan manusia pada manusia, menuju penyembahan
manusia kepada Tuhan-nya manusia”, kata Saad bin Abi Waqqash ketika ditanya Rustum,
“Untuk apa kau datang pada kami?”
Membahas Umat Islam, tidak serta merta membahas satu kebangsaan bernama Arab di Timur
Tengah, karena itu terlalu sempit. Tidak juga membahas sekadar di Indonesia, walaupun
ianya adalah negeri dengan jumlah muslim terbesar. Umat Islam adalah sebuah kesatuan
bangsa-bangsa yang majemuk, yang beriman pada Allah dan Nabi Muhammad. Tidak ada
letak geografis yang spesifik untuk menjelaskan dimana posisi umat ini. Umat Islam, ada
dimana-mana. Senada dengan yang Rasulullah sampaikan, “agama ini akan menjangkau apa
yang bisa dijangkau oleh malam dan siang.”
Tidak sepatutnya seorang muslim melupakan sejarah megahnya, namun di saat yang sama tak
layak baginya untuk meronta mengenang masalalu diiringi tangisan sendu tanpa mencoba
mengambil hikmah. “Tak ada harapan bagi Umat yang lalai masalalunya, tidak ada masa
depan bagi Umat yang tak tahu kebesarannya. Namun berhenti saja pada masalalu dengan
tangis duka adalah tanda kemalasan, sebagaimana di saat yang sama, tak peduli dengan
sejarah adalah sebuah kedengkian jua kebodohan”, pesan DR Mustafa As Siba’i dalam Kitab
Min Rawa’i Hadharatina.
Izinkan saya menuliskan beberapa petikan puisi untuk menggambarkan keadaan kita; yang
kaya tak peduli, yang miskin pandai mencaci, yang kuasa malah aniaya, yang bodoh malah
jadi pemberi fatwa :
Umat Islam mengalami apa yang disebut oleh para Sejarawan dan Ahli Peradaban sebagai
‘titik turun peradaban’. Kejatuhan ini ditandai dengan kemunduran pada sektor pendidikan,
ekonomi, sosial-politik, dan kemajuan teknologi. Dengan kekalahan Khalifah Utsmani pada
Perang Dunia I, mengakibatkan dunia Islam terpecah menjadi negara-negara kecil yang
“seperti kue besar dilahap sedikit-demi sedikir oleh para serakah”, kata Badiuzzaman Said
Nursi. (Sumber : Khutbah Asy Syamiyah, Badiuzzaman Said Nursi)
Pada kurun 1920-1980, dunia Islam mengalami efek perang. Dalam kaidah peradaban, pihak
yang kalah selalu mengikuti budaya pihak yang menang. Oleh karena itu, Umat Islam
beramai-ramai meninggalkan Al Quran dan tradisi Islam, untuk kemudian membabi buta
mencintai Barat. “Aku pernah singgah di Alexandria tahun 1950”, kata DR Musa Syarif
seorang Ulama, “dan tidak aku temua satupun wanita Mesir yang berjilbab.” (Referensi : DR
Musa Syarif : Fadhail Mishr wa Mazaya Ahliha)
“Kita sekarang beda di abad-20”, kata Mustafa Kamal yang mengaku pendiri Turki era baru
setelah Kekhalifahan Utsmani runtuh,” dan tidaklah mungkin kita berjalan di belakang kitab
yang membahas buah Tin dan Zaitun!”. Nada-nada seperti itu dilantunkan oleh bangsa-
bangsa yang dulunya menjadi pembawa Islam ke seluruh dunia. Arab diobrak abrik dengan
liberalisme-sosialisme, Turki diguncang dengan sekularisme. (referensi : DR Fathi Zaghrut,
An Nawazil fi Tarikh Al Islam)
Namun pada kurun itu jugalah, banyak sekali gerakan-gerakan masif di dunia Islam untuk
mengajak umat Islam kembali ke ajaran Al Quran. Salah satunya adalah Ikhwanul Muslimin
yang digagas Hasan Al Banna pada tahun 1928 di Kairo, Jemaat Islami pimpinan Abul A’la
Al Maududi di Pakistan. Pun di Indonesia kita mengenal Muhammadiyah (18 November
1912) dan NU (31 Januari 1926) yang berdiri sebagai respon gerakan pembaruan.
Setelah lama dalam keterpurukan, umat Islam bangkit kembali, menggeliat dari berbagai sisi.
Turki dipimpin oleh Necmetin Erbakan, yang kemudian diteruskan oleh Erdogan. Pakistan
sempat dipimpin Zia Ul Haqq dan berhasil menerapkan keadilan. Sudan dipimpin Omar
Basher, sedikit banyak menjadikannya negeri yang mandiri. Pun di Indonesia, gerakan
reformasi 1998 memberikan angin segar bagi Umat Islam untuk kembali bebas beraktivitas
dalam ekonomi dan politik.
DI ASIA TENGGARA, Islam mulai menjadi kekuatan baru yang disegani. Malaysia, Brunei
dan tentu saja Indonesia menjadi trendsetter ekonomi yang punya pengaruh besar. Walau ada
konflik baru-baru ini di Rohingya, Xinjiang dan Kashmir, namun geliat perkembangan Islam
seperti “gelombang yang tidak bisa ditahan”, kata Samuel Huntington mengomentari ini.
DI EROPA, Islam menjadi harapan bagi warganya, sekaligus ancaman bagi beberapa pihak
karena pada tahun 2050 kemungkinan, Islam akan menjadi agama mayoritas di Eropa.
Penelitian ini resmi dilakukan oleh William F Russel dalam bukunya : ‘Islam: A Threat to
Civilization’. Sebagai contoh, Populasi muslim di Inggris meningkat selama 30 tahun
kebelakang dari 82 ribu menjadi 2.5 juta orang. Meningkat 30 kali lipat. Di Belanda, 50%
dari seluruh kelahiran baru adalah dari kaum Muslimin. Diperkirakan dalam 15 tahun,
setengah populasi Belanda adalah Muslim. Di Rusia, 23 juta penduduknya adalah Muslim,
yaitu 1 dari 5 orang Rusia. 40% tentara Rusia akan menjadi Muslim dalam beberapa tahun
singkat.
DI AFRIKA, Islam menjadi hembusan nafas bagi banyak negara di Afrika. *Nigeria
contohnya, dengan jumlah muslim nyaris 100% dari total penduduknya, dilansir dari laman
World Economic Forum akan menjadi calon negara maju yang mewakili Afrika di persaingan
global.* Sebab bonus demografi yang ada, ditambah kekayaan SDA, membuat negeri ini
diperhitungkan sebagaimana Brazil, Maksiko dan India digadang menjadi negara superpower
di masa depan
“Kalau kita amati baik-baik”, tutur Ustadz Anis Matta dalam salah satu Intellectual Talk-nya,
“di zaman modern ini, konferensi-konferensi Umat Islam sedunia berpindah kutub ke Asia
Tenggara. Kalau dulu di rentang 1960-1980, pertemuan internasional itu dilakukan di Jeddah,
Kairo dan Amman, kini kita lebih sering mendengar Jakarta dan Kuala Lumpur menjadi
Ibukotanya.”
“Pusat kekuatan dunia yang berada di Laut Mediterania telah berakhir”, kata Malik Bennabi
seorang Pemikir Islam dari Aljazair” dan sekarang Dunia Islam telah cenderung tertarik pada
gravitasi Jakarta, sebagaimana dulu ia cenderung pada tarikan magnet Kairo dan Damaskus.”
NAMUN, kita tidak bisa selalu bereuforia dengan segala optimisme ini. Perlu kita pahami,
sebuah rahasia umum bahwa banyak sekali pihak yang ingin menghabisi Indonesia, sebagai
sebuah negara, dan sebagai kebudayaan. Sebutlah pihak-pihak ini; China, dan Amerika.
China –Tiongkok dalam ejaan yang benar- kini sedang mengalami kemajuan yang super.
Dengan Uganda juga Zimbabwe di Afrika sudah bertekuk lutut pada China, ia mencari
mangsa lain untuk dijadikan daerah koloni rakyatnya. Mangsa itu bernama Indonesia.
Umat Islam di Indonesia hari ini, adalah 85% dari total penduduk Indonesia. Jumlah sebesar
ini, ternyata sekarang sedang mengalami perpecahan antar kelompok, pergesekan antar
gerakan, bahkan saling tuduh antar Ulama. Yang seperti ini, adalah mangsa empuk untuk
China dan juga AS meremukkan Indonesia.
(Ir. Soekarno)
Katakan pada mereka yang mencoba menyebut kami sektarian atau primordial
Kata itu justru adalah burung hantu yang engkau terbangkan di langit hati kami
Namun kini telah tertembak mati oleh senapan nurani keislaman kami
Kami kembali