Anda di halaman 1dari 113

KONSEP RUKHSAH DALAM IBADAH

(STUDI KOMPARATIF TAFSIR IMAM IBNU KAS|I<R DAN SYEKH

RASYI<D RID{A PADA Q.S AL-BAQARAH [2] AYAT 183-185, Q.S AN-NISA>

[4] AYAT 43, dan Q.S AN-NISA> [4] AYAT 101 )

RISALAH
Diajukan Kepada Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh kelulusan

Oleh:
Ilham Abdul Ganie
NIM: 17080391

PENDIDIKAN ULAMA TARJIH MUHAMMADIYAH (PUTM)


PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2020
i

NOTA DINAS PEMBIMBING

Yogyakarta, 30 Juni 2020

Kepada Yth.
Mudir PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah)
di
Yogyakarta

Assalamu‘alaikum wr. wb.

Sesudah melakukan beberapa kali bimbingan baik dari segi isi, bahasa, maupun
teknik penulisan, dan setelah membaca risalah mahasiswa tersebut di bawah ini:

Nama : Ilham Abdul Ganie


NIM : 17080391
Judul : KONSEP RUKHS{AH DALAM HAL IBADAH (STUDI
KOMPARATIF TAFSIR IMAM IBNU KAS|I<R DAN SYEKH
RASYI<D RID{A PADA Q.S AL-BAQARAH [2] AYAT 183-
185, Q.S AN-NISA> [4] AYAT 101 DAN Q.S AL-MA>IDAH [5]
AYAT 6.)

Maka selaku Pembimbing, kami berpendapat bahwa risalah tersebut sudah layak
diajukan untuk dimunaqosahkan.

Wassalamu‘alaikum wr. wb.

Pembimbing,

Endi Prasetyo, S.Th.I., M.H


NBM. 1203 8407 1018060

i
ii

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH


PENDIDIKAN ULAMA TARJIH MUHAMMADIYAH
Kampus I : Jln. Kaliurang Km. 23,3 Ngipiksari, Hargobinangun, Pakem,
Sleman, Yogyakarta Telp/Fax. (0274) 895457. Kampus II : Tundan,
Ngrame, Tamantirto Utara, Kasihan, Bantul, Yogyakarta
Telp. (0274) 6528545.

PENGESAHAN
NOMOR: 169.8/I.PUTM/F/VIII/2020
Risalah dengan judul : KONSEP RUKHSAH DALAM HAL IBADAH (STUDI
KOMPARATIF TAFSIR IMAM IBNU KAS|I<R DAN SYEKH RASYI<D
RID{A PADA Q.S AL-BAQARAH [2] AYAT 183-185, Q.S AN-NISA> [4]
AYAT 101 DAN Q.S AL-MA>IDAH [5] AYAT 6.)

Diajukan oleh:
1. Nama : Ilham Abdul Ganie
2. NIM : 17080391
Telah dimunaqosahkan pada hari: Senin, tanggal 10 Agustus 2020 dengan nilai:
A/B dan telah dinyatakan sah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
kelulusan.
PANITIA UJIAN MUNAQOSAH
Ketua Sidang/Penguji I Sekretaris Sidang

EndiPrasetyo,S.Th.I.,M.H H. Mohamad Muhajir, Lc,. M.A.


NBM. 1203 8407 1018060 NBM. 1201 7903 941604

Penguji II

Nuril Hidayati, Lc., M.A.

Yogyakarta, 25 Syawal 1441 H


30 Juni 2020 M
Mudir

ii
iii

Drs. H. Dahwan Muchrodji, M.Si


NBM. 1004042
PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ilham Abdul Ganie


NIM : 17080391

Assalamu‘alaikum wr. wb.

Dengan ini menyatakan bahwa risalah ini merupakan karya saya sendiri
dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
Perguruan Tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan saya dalam risalah ini
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam
daftar pustaka.

Wassalamu‘alaikum wr. wb.

Yogyakarta, 10 Agustus 2020

Penulis,

Ilham Abdul Ganie


NIM. 17080391

iii
iv

MOTTO

(Q.S. Az\-z\a>riya>t [51] : 56 )

ِ ‫وما خلَ ْقت اجْلِ َّن واإْلِ نس إِاَّل لِيعب ُد‬


]٥١:٥٦[ ‫ون‬ ُْ َ َ َ ُ َ ََ

Dan aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia

melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku

(Allah). (Q.S. Az\-z\a>riya>t [51] : 56 )

iv
v

HALAMAN PERSEMBAHAN
Risalah ini pemyusun persembahkan untuk:

Ibunda tercinta Yanti Supyanti yang telah memberikan kasih sayang tanpa batas dan

bekerja keras untuk kedua anaknya. Ketulusannya dalam setiap bait doa yang

dipanjatkan menghantarkan penulis mampu mencapai hal-hal penulis inginkan

dengan ridha-Nya. Semoga Allah swt senantiasa memberikan Ibunda kesehatan dan

keberkahan dalam setiap langkah hidup. Risalah ini juga penulis persembahkan

kepada Ayahanda Ijang saepudin yang telah kerja keras memberikan nafkah kepada

kami berdua semoga Allah membalas kerja kerasnya dalam mencari rezeki yang halal

untuk kami. Teruntuk adinda tercinta Hilya Karima Amanina yang juga memberikan

semangat dan doa kepada kandanya untuk mendapat hasil terbaik. Serta segenap

keluarga dan karib kerabat yang telah memberikan dukungan dalam berbagai macam

bentuk.

v
vi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memeberikan nikmat sehat dan

sempat sehingga penulis mampu menyelesaikan risalah ini. Salawat serta salam

semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta seluruh

keluarganya, sahabatnya, dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Dalam proses penyusunan risalah ini yang berjudul, “Konsep Rukhsah

Dalam Hal Ibadah (Studi Komparatif Tafsir Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh

Rasyi>d Rid{a Pada Q.S Al-Baqarah [2] Ayat 183-185, Q.S An-Nisa> [4] Ayat

101 Dan Q.S Al-Ma>idah [5] Ayat 6.)”, yang disusun guna memenuhi salah satu

syarat kelulusan di Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Pimpinan

Pusat Muhammadiyah Yogyakarta, dengan segenap hati penyusun menyadari

bahwa penyusunan karya ini tidak akan berhasil diselesaikan tanpa dukungan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun menghaturkan rasa terimakasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Drs. H. Muhammad Fahmi Muqoddas, M.Hum, selaku Ketua Badan

Pengurus Harian (BPH) Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM)

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Bapak Drs. H. Dahwan Muchrodji, M.Si, selaku Mudir Pendidikan Ulama

Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Yogyakarta.

vi
vii

3. Bapak H. Mohamad Muhajir, Lc,. M.A, selaku Wakil Mudir Pendidikan

Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Yogyakarta.

4. Bapak Endi Prasetyo, S.Th.I., M.H, selaku pembimbing yang telah

memberikan bimbingan kepada penulis sehingga risalah ini dapat

diselesaikan.

5. Kepala Tata Usaha, Kepala Rumah Tangga dan Musyrif PUTM yang telah

memberikan layanan prima sehingga memperlancar penyusun untuk

menyelesaikan risalah ini.

6. Segenap dosen PUTM Yogyakarta yang telah memberikan ilmunya kepada

penyusun. Semoga ilmu-ilmu yang telah beliau-beliau berikan mampu

tumbuh subur dan berkembang bagi penyusun dalam berbakti pada

masyarakat.

7. Teman-teman Thalabah dan Thalibat PUTM angakatan 18 dan adik-adik

kelas semuanya yang telah memberikan dukungan kepada penyusun.

Semoga semua do’a, bantuan, dan dukungan yang diberikan dalam bentuk

apapun yang diberikan kepada penyusun mendapat balasan yang lebih besar di sisi

Allah SWT.

Yogyakarta, 10 Agustus 2020


Penyusun,

Ilham Abdul Ganie

vii
viii

NIM. 17080391

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi kata Arab-Latin yang dipakai dalam penyusunan risalah ini

berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 158/1987 dan

0543b/U/1987 tertanggal 22 Januari 1988.

I. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama HurufLatin Keterangan

‫ا‬ Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan

‫ب‬ Bā' B Be

‫ت‬ Tā T Te

‫ث‬ Ṡā Ṡ Es (Dengan titik di atas)

‫ج‬ Jīm J Je

‫ح‬ Ḥā Ḥ Ha (Dengan titik di bawah)

‫خ‬ Khā' Kh Ka dan ha

‫د‬ Dāl D De

‫ذ‬ Żāl Ż Zet (Dengan titik di atas)

viii
ix

‫ر‬ Rā' R Er

‫ز‬ Zāi Z Zet

‫س‬ Sīn S Es

‫ش‬ Syīn Sy Es dan ye

‫ص‬ Ṣād Ṣ Es (Dengan titik di bawah)

‫ض‬ Ḍād Ḍ De (Dengan titik di bawah)

‫ط‬ Ṭā' Ṭ Te (Dengan titik di bawah)

‫ظ‬ Ẓā' Ẓ Zet (Dengan titik di bawah)

‫ع‬ Aīn ‘... Koma di atas

‫غ‬ Gaīn Gh Ge dan ha

‫ف‬ Fā' F Ef

‫ق‬ Qāf Q Qi

‫ك‬ Kāf K Ka

‫ل‬ Lām L El

‫م‬ Mīm M Em

‫ن‬ Nūn N En

‫و‬ Wāwu W We

‫ه‬ Hā' H Ha

‫ء‬ Hamzah `... Apostrof

‫ي‬ Yā' Y Ye

II. Konsonan Rangkap karena Syaddah Ditulis Rangkap

ٌ‫ِّدة‬
َ ‫ُمَت َعد‬ Ditulis Muta̕ ddidah

ٌ‫ِع َّدة‬ Ditulis ̕ Iddah

ix
x

III. Ta’ Marbūṭah di Akhir Kata

a. Bila dimatikan tulis h

ٌ‫ْمة‬ ِ
َ ‫حك‬ Ditulis Ḥikmah

ٌ‫ِج ْزيَة‬ Ditulis Jizyah

Ketentuan ini tidak diperlukan apabila kata-kata arab sudah terserap

ke dalam bahasa Indonesia, seperti zakat, salat dan sebagainya, kecuali

apabila dikehendaki lafal aslinya.

b. Bila Ta’ Marbūṭah diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan

kedua itu terpisah, maka ditulis dengan h

‫َكَر َامة اْأل َْولِيَاء‬ Ditulis Karāmah al-auliyā ̕

c. Bila Ta’ Marbūṭah hidup atau dengan harakat fathah, kasrah dan

dammah ditulis t

‫َز َكاة اْ ِلفطْ ِر‬ Ditulis Zakāt al-fiṭri

IV. Vokal Pendek

َ Fatḥah Ditulis A

ِ Kasrah Ditulis I

ُ Ḍammah Ditulis U

V. Vokal Panjang

Fatḥah + Aif (‫اهلِيَة‬


ِ ‫)ج‬
1.
َ Ditulis Ā (garis di atas) “Jāhiliyah”

x
xi

2. Fatḥah + Ya’ mati (‫)َتْنسى‬ Ditulis Ā (garis di atas) “Tansā”


َ
3. Kasrah + Ya’ mati ( ‫ك ِرمْي‬
َ) Ditulis Ī (garis di atas) “Karīm”

Ḍammah + Wawu mati (


4. Ditulis Ū (garis di atas) “Furūḍ”
‫) ُفُر ْوض‬

VI. Vokal Rangkap

Fatḥah + Ya’ mati (‫كم‬


ُ ‫)بْين‬
1.
َْ Ditulis Ai (Bainakum)

Fatḥah + Wawu mati (‫) َقول‬


2.
ْ Ditulis Au (Qaul)

VII. Hamzah

Dinyatakan di depan bahwa hamzah ditransliterasikan dengan apostrof.

Namun hanya berlaku untuk hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata.

Apabila hamzah itu terletak di awal kata, hamzah tidak dilambangkan (dengan

apostrof) karena dalam tulisan Arab berupa alif.

‫أَأَْنتُ ْم‬ Ditulis A`antum

‫َّت‬ ِ
ْ ‫أعد‬ Ditulis U’iddat
ِ
ْ‫لَئ ْن َش َك ْرمُت‬ Ditulis La`in syakartum

‫َعطَاء‬ Ditulis ‘Aṭa`

VIII. Kata Sandang Alif + Lam

a. Bila diikuti huruf Qamariyah

‫ال ُق ْرآن‬ Ditulis Al-Qur`ān

xi
xii

ِ
‫القيَاس‬ Ditulis Al-Qiyās

b. Bila diikuti huruf Syamsiah ditulis dengan menggunakan huruf

Syamsiyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el)-nya

‫الس َماء‬
َ Ditulis As-Samā`

‫الش ْمس‬
َ Ditulis Asy-Syams

IX. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat

Pada dasarnya setiap kata Arab, baik itu fi’il, isim maupun huruf ditulis

terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab yang

sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harokat yang

dihilangkan, maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut ditulis dengan

kata yang lain yang mengikutinya.

‫َذ ِوي اْل ُف ُر ْوض‬ Ditulis


- Zawi al-furūḍ atau
- Zawil-furūḍ
‫السنّة‬
ّ ‫اَ ْه ُل‬ Ditulis
- Ahlu as-Sunnah atau
- Ahlus-Sunnah

X. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, namun

dalam transliterasi ini huruf kapital dipergunakan seperti apa yang berlaku dalam

EYD. Huruf kapital digunakan untuk menulis huruf awal sebuah nama diri dan

setiap permulaan kalimat. Apabila nama diri itu didahului oleh kata sandang,

maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf yang nama diri tersebut, bukan

huruf awal kata sandangnya.

xii
xiii

‫َو َما حُمَ ّم ٌد إالّ َر ُس ْو ٌل‬ Ditulis Wa mā Muḥammadun illā rasūlun

‫إنّا اَ ْعطَيناك الكوثر‬ Ditulis Innā a’ṭaināka al-kauṡar


ِ ِ
َ ‫ب اْ َلعالَمنْي‬
ّ ‫احلَ ْم ُد هلل َر‬ Ditulis Alḥamdulillahi Rabbi al-‘Ālamīn

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan sebuah kajian terhadap konsep rukhsah dalam


Ibadah studi komparatif Tafsir Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh Rasyi>d Rid}a pada
Q.S Al-baqarah [2] 183-185, Q.S An-Nisa> [4] 43, dan Q.S An-Nisa> [4] 101.
Kajian ini menggali makna dari konsep rukhsah dari kedua mufasir tersebut
kemudian menjelaskan perbedaan dan persamaannya dan juga penyebab dari
perbedaan dan persamaan dari kedua mufasir.
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), yaitu
penelitian dengan mengambil data dari literatur-literatur, berupa kitab, buku,
majalah, jurnal, naskah, catatan, ensiklopedia, serta karya ilmiah yang
berupa artikel yang relevan untuk dijadikan bahan penelitian.
Dalam penelitian ini, setelah mengumpulkan data baik dari sumber data primer
maupun sekunder, kemudian disajikan dengan menggunakan metode
deskriptifanalisis.
Hasilnya menunjukan bahwa konsep rukhsah dalam ibadah menurut Imam
Ibnu Kas\i>r adalah merupakan nama bagi hukum yang dibangun sebab adanya
uzur yang dimiliki manusia, atau hukum yang dibolehkan sebab adanya uzur yang
mana hukum atas perbuatan tersebut sebenarnya diharamkan bagi orang yang
tidak memiliki uzur, sedangkan konsep rukhsah dalam ibadah menurut Syekh
Rasyi>d Rid}a adalah keringanan atau dispensasi bagi seorang mukallaf untuk
tidak melakukan dan meninggalkan suatu kewajiban atau perintah agama,

xiii
xiv

sebagian ataupun seluruhnya karena adanya suatu sebab yang menuntut untuk itu
(uzur).
Perbedaan konsep rukhsah dalam ibadah dari kedua mufasir ini yaitu Ketika
menafsirkan kata atau redaksi yang menunjukan makna umum Syekh Rasyi>d
Rid}a sering kali membatasi keumuman ayat tersebut dengan mengembalikannya
pada ‘urf (kebiasaan) yang berlaku di masing-masing daerah. Sedangkan Imam
Ibnu Kas\i>r seringkali menggunakan pendapat ulama jumhur atau pendapat dari
mazhab Imam Syafi’i untuk membatasi keumuman ayat tersebut apabila ia tidak
menemukan ayat yang lain atau riwayat yang dapat digunakan untuk hal tersebut.
Sedangkan persamaan dari keduanya yaitu ketika menafsirkan ayat-ayat yang
terkait denga rukhsah baik Syekh Rasyi>d Rid}a maupun Imam Ibnu Kas\i>r,
selalu memulai pembahasannya dengan berkonsentrasi pada kajian literal ayat
seperti membahas kata safar, mari>d, dan sebagainya.

Kata Kunci: Tafsir, Ayat al-Qur’an, Konsep Rukhsah dalam Ibadah.

DAFTAR ISI

PENGESAHAN.....................................................................................................II
PERNYATAAN...................................................................................................III
MOTTO................................................................................................................IV
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................V
KATA PENGANTAR.........................................................................................VI
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN...........................................VIII
ABSTRAK.........................................................................................................XIII
DAFTAR ISI.....................................................................................................XIV
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................8
C. Tujuan dan Kegunaan...................................................................................8
D. Sistematika Pembahasan.............................................................................10

xiv
xv

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIK....................2


A. Tinjauan Pustaka...........................................................................................2
B. Kerangka Teoritik.......................................................................................15
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................13
A. Jenis Penelitian............................................................................................13
B. Sumber Data................................................................................................13
C. Teknik Pengumpulan Data..........................................................................13
D. Teknik Analisis Data...................................................................................31
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................31
A. Ibnu Kas\i>r dan Tafsi>r al-Qur’an al-‘Adz}i>m.......................................31
1. Riwayat Hidup Imam Ibnu Kas\i>r.........................................................31
a. Sejarah Pendidikan Imam Ibnu Kas\i>r...............................................35
b. Karya-karya Imam Ibnu Kas\i>r..........................................................35
2. Profil Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim...........................................................37
a. Sistematika Penafsiran.........................................................................38
b. Metode Penafsiran...............................................................................39
B. Rasyi>d Rid}a dan Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m.......................................40
1. Riwayat Hidup Syekh Rasyi>d Rid}a.....................................................40
2. Karya-karya Rasyi>d Rid}a....................................................................42
3. Profil Kitab Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m...............................................43
a. Sumber Penafsiran...............................................................................44
b. Metode dan Sistematika Penafsiran.....................................................45
c. Corak Penafsiran..................................................................................46
C. Penafsiran Ayat-ayat Tentang Rukhsah......................................................46
1. Tayamum Sebagai Rukhsah dalam Bersuci............................................47
a. Sakit.....................................................................................................48
b. Safar.....................................................................................................52
c. Ketiadaan air........................................................................................57
2. Qasar Sebagai Rukhsah dalam Salat.......................................................64
3. Berbuka Sebagai Rukhsah dalam Puasa..................................................70
a. Orang yang sakit..................................................................................71

xv
xvi

b. Orang yang safar..................................................................................73


c. Orang yang berat untuk menjanlankan................................................75
4. Hikmah Ditetapkannya Rukhsah Munurut Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh
Rasyi>d Rid}a................................................................................................80
a. Hikmah di balik penetapan rukhsah Menurut Imam Ibnu Kas\i>r......81
b. Hikmah di balik penetapan rukhsah Menurut Syekh Rasyi>d Rid}a..82
BAB V PENUTUP................................................................................................35
A. Kesimpulan.................................................................................................35
B. Saran-saran..................................................................................................87
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................88
CURRICULUM VITAE......................................................................................86

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ibadah merupakan istilah yang digunakan untuk merangkum segala perkara

yang diridai dan disukai oleh Allah swt, baik berbentuk perkataan, perbuatan

zahir, atau perbuatan batin.1 Ibadah di dalam Islam itu harus berpedoman pada apa

yang telah Allah perintahkan dan ditetapkan serta apa yang telah diajarkan oleh

Nabi Muhammad saw kepada umat Islam, yang berlandaskan pada Kitab suci al-

Qur’an dan segala perbuatan, perkataan, dan ketetapan Nabi Muhammad saw atau

dengan kata lain disebut dengan Hadis.2

Dalam Islam manusia diciptakan ke bumi ini bertujuan hanya untuk

beribadah kepada Allah swt, sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya dalam

surat al-Dza>riyat ayat 56:

ِ ‫وما خلَ ْقت اجْلِ َّن واإْلِ نس إِاَّل لِيعب ُد‬


(٥٦ :‫ون)الذاریات‬ ُْ َ َ َ ُ َ ََ
Artinya: “Dan (ingatlah) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
untuk mereka menyembah dan beribadah kepada-Ku”.3

Hal yang demikian juga dikuatkan dengan firman Allah swt dalam surat yang lain

yaitu surat al-Bayyinah ayat 5 adalah sebagai berikut:

ِِ ِ ِ
( ٥ :‫ البینة‬.....)‫الدِّين‬
َ َ ‫َو َما أُم ُروا إِاَّل لَي ْعبُ ُدوا اللَّهَ خُمْلص‬
ُ‫ني لَه‬
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus.”4

1
Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Darul Fikir,
2010), hlm. 199.
2
Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, Cet. Ke-2, (Bandung: Mizan, 2002), hlm.
14.
3
QS. Al-Z{a>riya>t [51]: (56)
4
QS. Al-Bayyinah [91]: (5)

1
2

Dari pemaparan ayat di atas dapat kita dipahami bahwa, tujuan akhir dari

kehidupan dan semua aktifitas manusia yaitu penyerahan diri, pengabdian, secara

menyeluruh dan loyalitas terhadap ketentuan Allah swt, sehingga terwujud sikap

dan prilaku yang lahir dari rasa yakin akan pengabdian kepada Allah swt. Ibadah

juga motivasi, dorongan, semangat hidup, yang bertujuan mendapat ridha Allah

swt.5

Secara garis besar, ada dua pembagian ibadah dalam Islam yaitu:

1. Ibadah mahda atau ibadah khusus yakni (ibadah yang ketentuannya pasti) yang

telah ditentukan pelaksanaannya, adalah suatu rangkaian aktivitas ibadah yang

ditetapkan oleh Allah swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh

Rasul-Nya, akan tetapi terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat

kesadaran teologis dari masing-masing individu. Ibadah yang dimaksud

tersebut adalah seperti ibadah salat, puasa, zakat, haji.

2. Ibadah ghairu mahda atau ibadah umum yaitu semua perbuatan yang

mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang ikhlas kepada

Allah swt, seperti minum, makan, dan bekerja mencari nafkah.6

Ruang lingkup ibadah dalam Islam itu sangat luas sehingga mencakup

keseluruhan perilaku yang dicintai dan diridai oleh Allah swt. Ibadah yang wajib

dilaksanakan dalam kehidupan manusia salah satunya adalah salat dan puasa.

Safrilsyah, Psikologi Ibadah dalam Islam, (Banda Aceh: Naskah Aceh (NASA) & Ar-
5

Raniry Press, 2013), hlm. 2


6
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 18.
3

Salat merupakan ibadah yang paling pertama yang Allah wajibkan dan

amalan yang paling pertama yang dihisab di hari kiamat. 7 Sebagaimana firman

Allah swt,

ِ ِ َّ ‫الز َكا َة وار َكعوا مع‬ ِ


( ٤٣ : ‫)البقرة‬ ‫ني‬
َ ‫الراكع‬ َ َ ُ ْ َ َّ ‫يموا الصَّاَل َة َوآتُوا‬
ُ ‫َوأَق‬
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-
orang yang ruku'”.8

Salat juga merupakan tiang agama.9 Fungsi tiang bagi sebuah bangunan

adalah menjadi komponen yang sangat penting dalam menegakkan bangunan

tersebut agar tidak roboh. Begitu pula halnya dalam beragama. Salat sebagai

tiangnya agama berperan penting sebagai penegak agama. Yang dimaksud dengan

tiang agama yakni ketika seseorang baik dalam mengerjakan dan mejaga salatnya

tidak sampai ketinggalan maka dari itu ia akan baik juga dalam agamanya baik

dalam kehidupannya akan tetapi sebaliknya ketika seseorang tidak menjaga

salatnya sampai ditinggalkan niscaya ia akan buruk juga dalam agama serta

kehidupannya.

Pada dasarnya kewajiban salat itu difardukan atas orang-orang yang telah

balig, namun sejak berumur 7 tahun anak harus dilatih untuk menjalankan ibadah

salat.10 Tujuannya adalah agar anak dapat mempelajari hukum-hukum ibadah

sejak masa pertumbuhannya, sehingga ketika anak tumbuh besar ia telah terbiasa

melakukan dan terdidik untuk mentaati Allah swt.11 Syarat sahnya salat yakni

7
Safrilsyah, Psikologi Ibadah dalam Islam, (Banda Aceh: Naskah Aceh (NASA) & Ar-
Raniry Press, 2013), hlm. 67
8
Q.S Al-Baqarah [2]: (43)
9
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Rahasia Dibalik Shalat, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), hlm.
23.
10
As’ad Karim al-Faqi, Agar Anak Tidak Durhaka, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 179.
11
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, Jilid 1, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2007), hlm. 167.
4

mukalaf harus suci dari hadas kecil dan besar.12 Oleh karena itu cara mensucikan

dari hadas kecil cukup dengan wudu sedangkan cara mensucikan dari hadas besar

harus mandi janabat.13 Sebagaimana Firman Allah swt:

‫وه ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِىَل الْ َمَرافِ ِق‬ ِ ِ َّ ‫ي ا أَيُّه ا الَّ ِذين آمنُ وا إِ َذا قُمتُم إِىَل‬
َ ‫الص اَل ة فَا ْغس لُوا ُو ُج‬ ْ ْ َ َ َ َ
‫وس ُك ْم َوأ َْر ُجلَ ُك ْم إِىَل الْ َك ْعَبنْي ِ ۚ َوإِن ُكنتُ ْم ُجنُبً ا فَ اطَّ َّه ُروا ۚ َوإِن ُكنتُم‬ ِ ‫وامس حوا بِرء‬
ُُ ُ َ ْ َ
ِ ِِ
ً‫ِّس اءَ َفلَ ْم جَت ُدوا َم اء‬ َ ‫َح ٌد ِّمن ُكم ِّم َن الْغَائ ط أ َْو اَل َم ْس تُ ُم الن‬ َ ‫ض ٰى أ َْو َعلَ ٰى َس َف ٍر أ َْو َج اءَ أ‬ َ ‫َّم ْر‬
‫يد اللَّهُ لِيَ ْج َع َل َعلَْي ُكم ِّم ْن‬
ُ ‫وه ُك ْم َوأَيْ ِدي ُكم ِّمْنهُ ۚ َما يُِر‬ ِ ‫يدا طَيِّبا فَامسحوا بِوج‬
ُ ُ ُ َ ْ ً ً ‫صع‬
ِ ‫َفَتي َّمموا‬
َ ُ َ
)٦ :‫ن ) املائدة‬ َ ‫يد لِيُطَ ِّهَر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهُ َعلَْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو‬
ُ ‫َحَر ٍج َوٰلَ ِكن يُِر‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-
Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”14

Kewajiban lain yang harus di tunaikan oleh mukalaf yakni puasa Ramadan,

karena puasa Ramadan ini merupakan salah satu rukun Islam. Allah swt

mewajibkan umat Islam yang beriman untuk melaksanakan ibadah puasa yang

tercantum dalam al-Qur’an:

‫ين ِمن َقْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َتَّت ُقو َن‬ ِ َّ


َ ‫ب َعلَى الذ‬
ِ
َ ‫الصيَ ُام َك َما ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَْي ُك ُم‬ ِ
َ ‫ين َآمنُوا ُكت‬
ِ َّ
َ ‫يَا أَيُّ َها الذ‬
ِ ِ ٍ ‫] أَيَّام ا َّمع ُد‬٢:١٨٣[
َ ‫يض ا أ َْو َعلَ ٰى َس َف ٍر فَع َّدةٌ ِّم ْن أَيَّ ٍام أ‬
ۚ ‫ُخ َر‬ ً ‫ۚ فَ َمن َك ا َن من ُكم َّم ِر‬ ‫ودات‬ َ ْ ً
‫وموا‬
ُ ‫ص‬ ُ َ‫ۚ َوأَن ت‬ ُ‫ع َخْي ًرا َف ُه َو َخْي ٌر لَّه‬ ٍ ‫و َعلَى الَّ ِذين يُ ِطي ُقونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َع ُام ِمس ِك‬
َ ‫ۖ فَ َمن تَطَ َّو‬ ‫ني‬ ْ َ َ
Yoli Hemdi, Tata Cara Shalat lengkap yang dicintai Allah dan Rasulullah, (Jakarta:
12

Gramedia Pustaka Utama, 2018), hlm. 24.


13
Abdu Sakhi, Panduan Praktis dan Lengkap Menuju Kesempurnaan Salat, (Yogyakarta:
Risalah Zaman, 2016), hlm.35
14
Q.S Al-Maidah [5]: (6)
5

ِ ِ‫] َش هر رمض ا َن الَّ ِذي أُن ِز َل ف‬٢:١٨٤[ ‫ۖ إِن ُكنتُم َتعلَم و َن‬ ‫خي ر لَّ ُكم‬
ِ ‫يه الْ ُق ْرآ ُن ُه ًدى لِّلن‬
‫َّاس‬ َ َ َ ُْ ُْ ْ ْ ٌ َْ
ً ‫ۖ َو َمن َك ا َن َم ِر‬  ُ‫ص ْمه‬
‫يض ا أ َْو‬ َّ ‫ۚ فَ َمن َش ِه َد ِمن ُك ُم‬ ‫ان‬
ُ َ‫الش ْهَر َف ْلي‬
ِ َ‫ات ِّمن اهْل َد ٰى والْ ُفرق‬
ْ َ ُ َ
ٍ َ‫وبِّين‬
ََ
َ‫ْملُ وا الْعِ َّدة‬ ِ
ِ ‫يد بِ ُكم الْعسر ولتُك‬ ِ ُ ‫ۗ ي ِر‬ ‫ُخر‬ ٍ ِ
َ َ ْ ُ ُ ُ ‫يد اللَّهُ ب ُك ُم الْيُ ْسَر َواَل يُِر‬ ُ َ َ ‫َعلَ ٰى َس َف ٍر فَع َّدةٌ ِّم ْن أَيَّام أ‬
)١٨٥ -١٨٣ : ‫] (البقرة‬٢:١٨٥[ ‫ن‬ َ ‫َولِتُ َكِّب ُروا اللَّهَ َعلَ ٰى َما َه َدا ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka
barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu
ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang
dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih
baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari
yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-
Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.15

Dalam kajian ini penulis memilih dua kitab tafsir sebagai objek

penelitian, yaitu kitab Tafsi>r al-Qur’an al-H{aki>m karya Syekh

Rasyi>d Rid{a> dan kitab Tafsi>r al-Qur’an al-‘Adz}i>m karya Imam

Ibnu Kas}ir. Adapun alasan yang mendasari penulis dalam memilih dua

kitab tafsir tersebut adalah sebagai berikut:

1. Melihat dari corak kedua mufasir ini yang berbeda, maka penulis memilih kitab

Tafsi>r al-Qur’an al-‘Adz}i>m karya Ibnu Kas\i>r yang memiliki corak


15
Q.S Al-Baqarah [2]: (183-185)
6

penafsiran fiqhi>, sedangkan Syekh Rasyi>d Rid}a dalam Tafsir al-Qur’an al-

H{aki>m mempunyai corak adabi> al-ijtima>’i> tafsir yang berorientasi pada

sastra, budaya dan kemasyarakatan.16

2. Untuk meminimalisir kecenderungan sikap fanatik terhadap satu mazhab

tertentu, penulis memilih kitab Tafsi>r al-Qur’an al-H{aki>m karya Syekh

Rasyi>d Rid{a karena satu dari beberapa aspek pembaharuan yang diusung

oleh Syekh Muh}ammad ‘Abduh dan Syekh Rasyi>d Rid}a> adalah untuk

memberantas taqli>d yang diakibatkan oleh sikap fanatik terhadap suatu

mazhab tertentu.

3. Dalam hal metodologi, penafsiran Syekh Rasyi>d Rid{a dan Imam Ibnu

Kas\i>r tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama menggunakan metode tahlili

dalam karya tafsirnya. Disamping itu, terdapat kesamaan lain pada penafsiran

keduanya, yaitu dalam langkah-langkah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an seperti

menafsirkan ayat dengan ayat, ayat dengan riwayat, tanpa mengesampingkan

aspek asba>b al-nuzu>l serta aspek kebahasaan (lughawi) suatu ayat.17 Hal

tersebut tentunya akan memudahkan penulis untuk melakukan perbandingan

antara kedua tafsir tersebut.

Karena fokus kajian dalam risalah ini tentang ayat ahkam, maka penulis

memilih ayat-ayat yang berkaitan dengan tema rukhsah dalam hal ibadah. Penulis

merasa pembahsan tentang rukhsah ini cukup penting untuk dikaji dikarenakan

beberapa hal berikut:

16
Reva Hudan Risalam, “Rukhs}ah Di Dalam al-Qur’an (Studi Komparatif Atas Penafsiran
Al-Qurtubi> Dan Penafsiran Rasyi>d Rid}a>)” Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016,
hlm. 4.
17
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (ttp;
tnp, t.t) hlm.24
7

Pertama, sifat penetapan rukhsah yang mencakup pada seluruh mukalaf,

sehingga pengetahuan tentangnya mutlak harus dimiliki oleh setiap mukalaf agar

mereka terhindar dari sikap mempersulit sesuatu yang seharusnya justru

mendatangkan kemudahan.

Kedua, terdapat hikmah yang sangat penting dibalik penetapan rukhsah

dalam ajaran Islam, di antaranya adalah sebagai jalan tengah yang menjembatani

antara tujuan utama penciptaan manusia untuk beribadah kepada Allah dengan

kenyataan perihal keagamaan yang ada pada manusia itu sendiri. Keragaman

tersebut adakalanya muncul dari dalam diri manusia itu sendiri seperti perbedaan

kekuatan serta daya tahan tubuh, atau dapat juga muncul dari luar dirinya seperti

perbedaan kondisi lingkungan dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan tersebut

tentunya dapat berdampak pada perbedaan kemampuan dari masing-masing

manusia untuk menjalankan ibadah kepada Allah swt. Karena itu lewat penetapan

rukhsah, tugas utama manusia untuk beribadah tetap dapat terjaga tanpa

memberatkan mereka dalam proses pelaksanaannya. Hal tersebut pada akhirnya

bertujuan untuk memperkuat keimanan setiap umat Muslim mengenai sifat kasih

sayang Allah swt terhadap seluruh umat Muslim.

Ketiga, penulis memilih pembahasan tentang rukhsah ini supaya

pemahaman para pembaca terhadap rukhsah ini menjadi benar bahwa rukhsah ini

membawa kepada peribadahan yang benar, selain itu juga supaya orang-orang

tidak mempersulit yang dimudahkan atau juga agar proposional dalam

memandang rukhsah sehingga tidak menggampangkan rukhsah atau meremehkan

rukhsah ini.
8

Keempat, masih minimnya kajian tentang rukhsah khususnya dalam disiplin

ilmu tafsir.

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah diatas, maka penulis

merasa termotivasi untuk menulis sebuah risalah dengan judul ”Konsep

Rukhah Dalam Ibadah (Studi Komparatif Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh

Rasyi>d Rid{a)”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka yang menjadi

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana konsep rukhsah dalam ibadah menurut Imam Ibnu Kas\i>r dan

Syekh Rasyi>d Rid}a> dalam al-Qur’an?

2. Apa perbedaan dan persamaan konsep rukhsah dalam ibadah antara

penafsiran Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh Rasyi>d Rid}a dalam al-Qur’an ?

3. Apa penyebab terjadinya perbedaan dan persamaan konsep rukhsah dalam

ibadah antara penafsiran Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh Rasyi>d Rid}a dalam

al-Qur’an ?

C. Tujuan dan Kegunaan

1. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini memiliki

tujuan untuk mengetahui konsep rukhsah dalam al-Qur’an pada Tafsi>r al-

Qur’an al-H{aki>m karya Syekh Rasyi>d Rid}a dan Tafsi>r al-Qur’an

al-‘Adz}i>m karya Imam Ibnu Kas\i>r, mengetahui persamaan dan perbedaan

kedua kitab tafsir tersebut.


9

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan-kegunaan, baik secara

praktis maupun teoritis.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:

a. Bagi Penulis

1) Dapat menambah wawasan khazanah keilmuan tentang pembahasan

rukhsah.

2) Sebagai syarat untuk memperoleh kelulusan di Pendidikan Ulama

Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta.

b. Bagi Pengkaji Ilmu

Dapat menambah pengetahuan khazanah keilmuan dan sebagai

sumbangan pemikiran tentang pembahasan yang berhubungan dengan

tafsir al-Qur`an khususnya tentang rukhsah.

3. Kegunaan Teoritis

a. Memberikan kontribusi atau sumbangan pemikiran terhadap kajian-

kajian tafsir al-Qur`an.

b. Mengetahui konsep rukhsah dalam hal ibadah perspektif Imam Ibnu

Kas\i>r dan Syekh Rasyi>d Rid}a dalam al-Qur’an.

c. Mengetahui perbedaan dan persamaan konsep rukhsah dalam ibadah

antara penafsiran Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh Rasyi>d Rid}a dalam al-

Qur’an.

d. Memperkaya kajian kelimuan tentang pembahasan rukhsah.


10

e. Sebagai pijakan dan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya

yang berhubungan dengan rukhsah.

D. Sistematika Pembahasan

Terkait dengan pemaparan tentang metode penelitian di atas, agar

pembahasan dapat tersusun secara sistematis, maka pembahasan dalam penelitian

ini secara umum dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu pendahuluan, isi dan

penutup. Tiga bagian besar ini kemudian dikembangkan menjadi lima bab, yang

masing-masing bab terdiri dari beberapa kajian yang saling berkaitan satu dengan

yang lainnya.

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang isinya meliputi latar belakang

masalah yang memuat perihal yang menjadi latar belakang penelitian ini, serta

penjelasan mengapa penelitian ini perlu untuk dilakukan. Kemudian rumusan

masalah untuk mempertegas pokok-pokok masalah yang akan diteliti, lalu

dilanjuntkan dengan tujuan dan kegunaan penelitian, dan terakhir sistematika

pembahasan.

Bab kedua, berisi tentang tinjauan pustaka penelitian-penelitian terdahulu,

berupa kesamaan atau kemiripan objek penelitian, sebagai pembeda dalam

penyusunan risalah ini. Di samping itu, dalam bab ini juga dibahas kerangka

teoritik yang relevan dengan tema penelitian.

Bab ketiga, membahas tentang metode penelitian, yaitu yang digunakan

dalam penelitian ini sebagai pijakan dalam proses penelitian agar lebih terarah dan

jelas. Dalam bab ketiga ini dijelaskan tentang jenis penelitian, sumber data, dan

teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.


11

Bab keempat, berisikan pembahasan, yang menjelaskan tentang biografi

singkat dari Syekh Rasyi>d Rid}a selaku pengarang Tafsi>r al-Qur’an al-

H{aki>m dan juga biografi Imam Ibnu Kas\i>r selaku pengarang Tafsi>r al-

Qur’an al-‘Adz}i>m di bab keempat ini juga penulis menjelaskan penafsiran ayat-

ayat tentang rukhsah, yang terdiri dari penafsiran ayat-ayat tentang rukhsah dalam

bersuci, salat dan puasa dari Syekh Rasyi>d Rid}a dan Imam Ibnu Kas\i>r.

Kemudian akan menganalisis serta membandingkan antara penafsiran dari kedua

mufassir tersebut. Selain dari itu dari bab ini berisi hikmah dalam penetapan

rukhsah sebagai point penting yang menjadi pembeda antara penafsiran Syekh

Rasyi>d Rid}a dan Imam Ibnu Kas\i>r.

Bab kelima, berisi penutupan yang mencakup kesimpulan, saran-saran dan

diakhiri dengan daftar pustaka.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIK

A. Tinjauan Pustaka

Pada bagian ini penulis akan mecantumkan beberapa karya ilmiah terdahulu

yang dianggap relevan dengan penelitian yang penulis lakukan sekarang ini

sebagai bentuk relasi antara penelitian penulis dengan karya-karya lain yang

memiliki keterkaitan pembahasan dengannya.

Sejauh penelusuran yang telah dilakukan, terdapat beberapa penulis telah

melakukan kajian mengenai corak penafsiran al-Qur’an, kajian mengenai tokoh

atau kitab yang tafsir yang dijadikan objek penelitian dalam risalah ini dan kajian

mengenai rukhsah secara umum. Adapun perincian dan karya-karya tersebut

adalah sebagai berikut :

Buku karya Mawardi Labay el-Sulthani yang berjudul Mudah dan Indahnya

Syari’at Islam: Islam Agama Kedamaian, Keselamatan dan Kebahagiaan. Dalam

buku tersebut Mawardi Labay el-Suthani membahas mengenai kemudahan-

kemudahan yang ada dalam ajaran Islam seperti halnya pembayaran fidyah bagi

orang yang tak kuat lagi berpuasa dan beberapa persoalan lainnya. 18 Namun

menurut hemat penulis penjelasan dari tiap permasalahannya masih terlalu singkat

seperti ketika mengutip ayat yang tidak di jelaskan secara rinci kandungan

maknanya, asba>b al-nuzu>l ayat dan hal-hal lain yang berkaitan dengan

pemahaman ayat tersebut. Hal tersebut agaknya dikarenakan terlalu luasnya

pembahasan yang

18
Mawardi Labay el-Sulthani, Mudah dan Indahnya Syari’at Islam: Islam Agama
Kedamaian, Keselamatan dan Kebahagiaan, (ttp; tnp, t.t), hlm.26.

12
13

diambil oleh Mawardi Labay el-Sulthani sehingga tiap persoalannya tidak dapat

dibahas secara mendetail.

Disertasi karya Muhammad Muslehuddin dengan judul Islamic

Jurisprudence and The Rule of Necessity and Need yang kini telah dicetak dalam

bentuk buku dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Hukum

Darurat dalam Islam. Dalam karya tersebut, Muhammad Muslehuddin

menjelaskan mengenai apa dan bagaimana suatu keadaan dapat dikatakan sebagai

sebuah keadaan darurat serta hal-hal yang berkaitan dengan kondisi tersebut

khususnya bagi pelaksanaan kewajiban-kewajiban seorang Muslim dalam

beragama. Dalam pembahasannya, ia juga menyinggung rukhsahsebagai solusi

atau jalan keluar bagi umat Muslim dalam kondisi darurat.

Skripsi karya Syamsul Fatoni dengan judul Hadis-Hadis Pilihan”Berbuka

Puasa atau Berpuasa” dalam perjalanan (Studi Ma’anil Hadis). Pada skripsi

tersebut, Syamsul Fatoni menguraikan makna-makna yang terdapat di dalam

hadis-hadis mengenai puasa dalam safar yang terdapat di dalam kutub al-sittah.

Namun sebagaimana judul dari skripsi tersebut, fokus pada skripsi karya Syamsul

Fatoni berkisar pada kajian hadis sehingga ia tidak menyinggung penjelasan

mengenai ayat-ayat tentang rukhsahpuasa dalam safar .19

Tulisan dalam jurnal Islamic karya Makmur Syar’i yang berjudul Akar

Sejarah Pemikiran al-Sha>t}ibi> Tentang Rukhs}ah. Dalam jurnal, Makmur

19
Lihat Syamsul Fatoni, “Hadis-hadis “Pilihan Berbuka Puasa atau Berpuasa” dalam
Perjalanan (Studi Ma’anil Hadis)”, Skripsi Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2009.
14

Syar’i memfokuskan kajiannya pada hal-hal mempengaruhi pemikiran al-

Sha>t}ibi> mengenai rukhs}ah.20

Tesis karya Lalu Fahmi Husain yang berjudul Corak Pemikiran Hukum

Islam Rasyi>d Rid}a. Dalam karya tersebut Lalu Fahmi Husain mencoba

menganalisis corak penafsiran Rasyi>d Rid}a terhadap ayat-ayat hukum yang

berkaitan dengan persoalan pologami serta h}udu>d yang pada akhirnya

digunakan untuk meposisikan Rasyi>d Rid}a pada satu dari tiga kelompok Islam

yang ada saat ini, yaitu fundamentalis, konservatif dan modernis.21

Buku berjudul M. Quraish Shihab yang berjudul Rasionalitas al-Qur’an:

Studi Kritis atas Tafsir al-Manar. Dalam buku tersebut M. Quraish Shihab

menjelaskan secara mendetail mengenai biografi dari pengarang kitab Tafsi>r al-

Mana>r, yaitu Muhammad ‘Abduh dan Rasyi>d Rid}a, metode yang digunakan

oleh keduanya, persamaan serta perbedaan kedua tokoh tersebut dalam

menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an serta hal-hal lain yang terkait dengan kitab

Tafsi>r al-Mana>r.22

Dengan demikian, setelah meneliti karya-karya di atas maka yang

membedakan Risalah ini dengan karya-karya tersebut adalah bahwa dalam risalah

ini penulis akan mengkaji ayat-ayat ahkam yang berkaitan dengan rukhsah dengan

membandingkan penafsiran dari Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh Rasyi>d Rid{a.

20
Makmur Syar’i, “Akar Sejarah Pemikiran al-Sha>t}ibi Tentang rukhs}ah” Jurnal
Islamica, vol 6, No. 1, September 2011, hlm. 87-103.
21
Lalu Fahmi Husain, “Corak Pemikiran Hukum Islam Rasyi>d Rid}a”, Tesis S2 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri, Jakarta, 2003 M.
22
Lihat M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar,
(Jakarta: Lentera Hati, 2006).
15

B. Kerangka Teoritik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep berarti; pengertian,

gambaran mental dari objek, proses, pendapat (paham), rancangan (cita-cita) yang

telah dipikirkan.23 Agar segala kegiatan berjalan dengan sistematis dan lancar,

dibutuhkan suatu perencanaan yang mudah dipahami dan dimengerti. Perencanaan

yang matang menambah kualitas dari kegiatan tersebut. Di dalam perencanaan

kegiatan yang matang tersebut terdapat suatu gagasan atau ide yang akan

dilaksanakan atau dilakukan oleh kelompok maupun individu tertentu,

perencanaan tadi bisa berbentuk ke dalam sebuah peta konsep. Pada dasarnya

konsep merupakan abstraksi dari suatu gambaran ide, atau menurut Kant yang

dikutip oleh Harifudin Cawidu yaitu gambaran yang bersifat umum atau abstrak

tentang sesuatu.24 Fungsi dari konsep sangat beragam, akan tetapi pada umumnya

konsep memiliki fungsi yaitu mempermudah seseorang dalam memahami suatu

hal. Karena sifat konsep sendiri adalah mudah dimengerti, serta mudah

dipahami.25

Adapun pengertian konsep menurut para ahli:26

1. Soedjadi, mengartikan konsep ke dalam bentuk atau suatu yang abstrak untuk

melakukan penggolongan yang nantinya akan dinyatakan kedalam suatu

istilah tertentu.

23
Pusat Pembinaan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakrta: Balai Pustaka, 1994), h. 520.
24
Harifudin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Qur'an, Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 13.
25
Idtesis.Com, Pengertian Konsep Menurut para Para Ahli, (Diposting Tanggal 20 Maret
2015). https://idtesis.com/konsep-menurut-para-ahli/ (Diakses; Tanggal 17 Agustus 2020, pukul
11.37 wib)
26
Ibid.
16

2. Bahri, konsep adalah suatu perwakilan dari banyak objek yang memiliki ciri-

ciri sama serta memiliki gambaran yang abstrak.

3. Singarimbun dan Efendi, konsep adalah suatu generalisasi dari beberapa

kelompok yang memiliki fenomena tertentu sehingga dapat digunakan untuk

penggambaran fenomena lain dalam hal yang sama.

Adapun konsep yang dimaksud dalam penelitian ini berdasarkan uraian di

atas adalah gambaran umum atau abstrak tentang perencanaan yang terungkap di

dalam al-Qur’an.

Adapun definisi kata rukhsah itu sendiri adalah sebuah masdar dari kata

rakhus}a-yarkhus}u-rukhs}atan dengan menggunakan wazan fa’ula. Secara

etimologi kata rukhsah bermakna murah karena dari murah itu bisa menghasilkan

kemudahan serta kesenangan.27. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa

pengertian rukhsah secara terminologi adalah mencakup segala ungkapan yang

ditujukan untuk menggambarkan sebuah kemudahan.

Konsep menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti; pengertian,

gambaran mental dari objek, proses, pendapat (paham), rancangan (cita-cita) yang

telah dipikirkan.28 Agar segala kegiatan berjalan dengan sistematis dan lancar,

dibutuhkan suatu perencanaan yang mudah dipahami dan dimengerti. Menurut

Kant yang dikutip oleh Harifudin Cawidu pada dasarnya konsep merupakan

27
Majd al-Di>n al-Fayruza>ba>di>, al-Qa>mus al-Muh}i>t} (Bayru>t: Muassasah al-
Risa>lah, 2005M/1926H), hlm 620.
28
Pusat Pembinaan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakrta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 520.
17

abstraksi dari suatu gambaran ide, atau gambaran yang bersifat umum atau

abstrak tentang sesuatu.29

Adapun untuk hukum-hukum rukhsah dibagi menjadi beberapa bagian

penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Rukhsah Wajib.

Yakni rukhsah yang jika tidak diambil akan mengakibatkan

kemadharatan atau bahaya bagi seseorang. Seperti makan bangkai yang

asalnya haram. Karena tidak ada makanan lain, sedangkan jika tidak makan

bangkai tersebut akan meninggal, maka memakan bangkai tersebut hukumnya

wajib.

2. Rukhsah Sunnah

Yakni rukhsah yang lebih baik atau dianjurkan untuk dilakukan.

Misalnya, qashar shalat bagi orang yang telah mencapai perjalanan lebih dari

dua marhalah (versi Syafiiyah yang setara 82 KM) atau tiga marhalah (setara

142 KM, versi Hanafiyah). Atau berbuka puasa bagi musafir atau bagi orang

sakit yang mengalami masyaqqah saat melakukan puasa.

3. Rukhsah Mubah

Yakni rukhsah yang bisa dilakukan dan bisa ditinggalkan. Seperti akad

salam. Awalnya salam tidak diperbolehkan karena dianggap membeli barang

yang ma’dum (tidak ada).

4. Rukhsah Khilaful Awla

29
Harifudin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Qur'an, Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 13.
18

Yakni rukhsah yang lebih baik tidak dilakukan. Seperti menjamak

shalat dan berbuka puasa bagi musafir yang tidak mengalami masyaqqah.

Dikatakan lebih baik ditinggalkan karena tidak ada masyaqqah yang

menjadikan musafir tersebut tidak bisa mengerjakan puasa. Artinya, tanpa

mengambil rukhsah tersebut, musafir tersebut dapat melanjutkan puasanya.

5. Rukhsah Makruh

Rukhsah ini lebih baik ditinggalkan. Seperti menqashar shalat dalam

perjalanan yang belum memenuhi tiga marhalah. Menurut Imam Izuddin Ibn

Abdissalam dalam Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, kemakruhan

tersebut untuk menghindari perbedaan antara syafiiyah yang cukup

memberikan syarat dua marhalah dan hanafiyah yang mensyaratkan tiga

marhalah. Sehingga akan lebih baik jika rukhsah qashar dilakukan apabila

lebih dari tiga marhalah. Karena selain memenuhi syarat yang ditetapkan

syafiiyah, hal itu juga memenuhi syarat hanafiyah.

Sementara itu Wahbah Al Zuhaili menyebutkan tujuh macam keringanan

bagi manusia dalam menjalankan kewajiban, apabila terdapat suatu masyaqqah

pada dirinya, yaitu :

1. Keringanan yang menggugurkan kewajiban (Takhfif Isqath). Seperti

gugurnya kewajiaban puasa karena uzur terlalu tua.

2. Keringanan yang mengurangkan (Takhfif Tanqish) seperti menqasarkan

sembahyang ketika musyafir.

3. Keringanan yang boleh menggantikan (Takhfif Ibdal) seperti menggantikan

wudhu’ dengan tayamum ketika keadaan air dan dalam keadaan sakit.
19

4. Keringanan boleh mendahulukan (Takkhfif Taqdim), seperti mendahulukan

sembahyang ‘ashar waktu zhuhur dan sembahyang ‘isya waktu maghrib

dalam musafir.

5. Keringanan dengan mentakhirkan (Takhfif Takkhir) seperti mentakhirkan

waktu Zhuhur pada waktu ‘ashar dan mentakhirkan maghrib pada waktu

‘isya.

6. Keringanan yang memberikan rukhsah (Takhfif Tarkhish), seperti

penggunaan najis untuk tujuan pengobatan dan melafazkan kata-kata kufur

ketika dipaksa.

7. Keringanan boleh mengubah (Takhfif Taghyir), seperti mengubah

pergerakkan sembahyang ketika dalam peperangan atau ketika ketakutan.

Tafsir secara etimologis, berakar dari kata fassara-yufassiru-tafsi>ran,

berarti keterangan dan penjelasan (al-id}a>h wa at-tabyi>n), sebagaimana

terdapat dalam firman Allah swt:

(٣٣ :‫(الفرقان‬ ‫َح َس َن َت ْف ِس ًريا‬ َ َ‫ك مِب َثَ ٍل إِاَّل ِجْئن‬


ْ ‫اك بِاحْلَ ِّق َوأ‬ َ َ‫َواَل يَأْتُون‬
Artinya: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu
yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar
dan yang paling baik penjelasannya.”30

Adapun pengertian tafsir secara istilah terdapat beberapa pendapat, antara

lain menurut Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas

tentang cara pengucapan lafaz - lafaz Al-Qur’an dan tentang arti dan makna dari

lafazh-lafazh tersebut, baik kata perkata maupun dalam kalimat yang utuh serta

hal-hal yang melengkapinya. Lain halnya pengertian tafsir menurut az-Zarkasyi,

30
Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kairo: Dar al-Kutub
al-Hadi>tsah, 1976), jilid I, hlm. 13-15
20

Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad saw, menerangkan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan

hikmahnya. Adapun menurut az-Zarqani, Tafsir merupakan Tafsir adalah ilmu

yang membahas tentang al-Qur’an dari segi makna yang terkandung di dalamnya

sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh Allah SWT sebatas kemampuan

manusia31

Penjelasan dari ketiga definisi diatas tersebut memang diungkapkan dengan

kalimat yang berbeda-beda, namun pada hakikatnya mereka sepakat menyatakan

bahwa tafsir secara terminologis adalah keterangan dan penjelasan tentang arti

dan maksud ayat-ayat al-Qur’an, sekalipun tidak diungkapkan secara eksplisit.

Dalam kajian ‘Ulumul Qur’an, terdapat dua macam tafsir yaitu:

1. At-Tafsi>r bi al-Ma’s\u>r

Kata al-Ma’s\u>r bermakna ayat-ayat al-Qur’an, hadis Rasul dan

pendapat-pendapat para sahabat yang menjadi penjelasan bagi maksud-

maksud al-Qur’an sehingga at-Tafsi>r bi al-Ma’s\u>r adalah tafsir dengan

ayat, dengan hadis atau dengan pendapat para sahabat. 32 Adapun contoh kitab

tafsir yang menggunakan Tafsi>r bi al-Ma’s\u>r yaitu Muhammad Ibn Jari>r

ath-Thabari (w. 310 H), Jâmi’ al-Baya>n fî Tafsi>r Al-Qur’a>n dan Abu al-

Fada>’ Isma>’i>l ibn ‘Amr ibn Katsi>r (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qur’a>n

al-‘Azhi>m.33

2. At-Tafsi>r bi ar-Ra’yi atau At-Tafsi>r bi al-Ma’qu>l


31
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, Cet III, (Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2014),
hlm.270.
32
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, Cet III, (Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2014),
hlm. 274.
33
Ibid, hlm.273.
21

Kata ar-Ra’yi bermakna al-Ijtiha>d yang didasarkan atas kaidah-kaidah

dasar yang benar, berpegangan pada kaidah-kaidah bahasa dan adat istiadat

orang lain dalam mempergunakannya. Sehingga makna at-Tafsi>r bi ar-

Ra’yi atau At-Tafsi>r bi al-Ma’qu>l adalah penafsiran seorang mufassir yang

berpegang pada pemahaman sendiri tanpa meninggalkan tafsir al-Qur’an

dengan al-Qur’an atau dengan hadis dan tidak pula meninggalkan sama sekali

penafsiran para sahabat dan tabi’in, termasuk pada pengambilan

kesimpulanpun juga didasarkan pada ar-Ra’yi semata.34 Adapun contoh kitab

tafsir yang menggunakan Tafsi>r bi ar-Ra’yi yaitu Abu>‘Abdillah

Muhammad ibn ‘Umar ar-Ra>zi (w. 606 H), Mafa>tih al-Ghaib dan Na>shir

ad-Di>n Abu> Khair

‘Abdullah ibn ‘Umar al-Baidha>wi (w. 685 H), Anwa>r at-Tanzi>l wa

Asra>r at-Ta’wi>l.35

Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang adanya keringanan

atau rukhsah dalam hal ibadah, sebagai berikut:

1. Rukhsah dalam Ibadah Puasa

‫ين ِمن َقْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َتَّت ُقو َن‬ ِ َّ


َ ‫ب َعلَى الذ‬
ِ
َ ‫الصيَ ُام َك َما ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَْي ُك ُم‬ ِ
َ ‫ين َآمنُوا ُكت‬
ِ َّ
َ ‫يَا أَيُّ َها الذ‬
ِ ِ ٍ ‫] أَيَّام ا َّمع ُد‬٢:١٨٣[
ۚ ‫ُخ َر‬َ ‫يض ا أ َْو َعلَ ٰى َس َف ٍر فَع َّدةٌ ِّم ْن أَيَّ ٍام أ‬ ً ‫ۚ فَ َمن َك ا َن من ُكم َّم ِر‬ ‫ودات‬ َ ْ ً
‫وموا‬ ُ ‫ص‬ ُ َ‫ۚ َوأَن ت‬ ُ‫ع َخْي ًرا َف ُه َو َخْي ٌر لَّه‬ َ ‫ۖ فَ َمن تَطَ َّو‬ ‫ني‬ٍ ‫و َعلَى الَّ ِذين يُ ِطي ُقونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َع ُام ِمس ِك‬
ْ َ َ
ِ ِ ِ
ِ ‫ض ا َن الَّذي أُن ِز َل فيه الْ ُق ْرآ ُن ُه ًدى لِّلن‬
‫َّاس‬ َ ‫] َش ْه ُر َر َم‬٢:١٨٤[ ‫ۖ إِن ُكنتُ ْم َت ْعلَ ُم و َن‬ ‫َخْي ٌر لَّ ُك ْم‬
ً ‫ۖ َو َمن َك ا َن َم ِر‬  ُ‫ص ْمه‬
‫يض ا أ َْو‬ َّ ‫ۚ فَ َمن َش ِه َد ِمن ُك ُم‬ ‫ان‬
ُ َ‫الش ْهَر َف ْلي‬
ِ َ‫ات ِّمن اهْل َد ٰى والْ ُفرق‬
ْ َ ُ َ
ٍ َ‫وبِّين‬
ََ

34
Ibid, hlm. 278.
35
Ibid, hlm.274.
22

ِ ‫يد بِ ُكم الْعسر ولِتُك‬


‫ْملُ وا الْعِ َّد َة‬ ِ ُ ‫ۗ ي ِر‬ ‫ُخر‬ ٍ ِ
َ َ ْ ُ ُ ُ ‫يد اللَّهُ ب ُك ُم الْيُ ْسَر َواَل يُِر‬ ُ َ َ ‫َعلَ ٰى َس َف ٍر فَع َّدةٌ ِّم ْن أَيَّام أ‬
َ ‫َولِتُ َكِّب ُروا اللَّهَ َعلَ ٰى َما َه َدا ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو‬
)١٨٥ -١٨٣ : ‫] (البقرة‬٢:١٨٥[ ‫ن‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka
barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu
ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang
dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih
baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari
yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-
Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.36
2. Rukhsah dalam Ibadah Salat

‫الص اَل ِة إِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَن‬ َّ ‫ص ُروا ِم َن‬ ُ ‫اح أَن َت ْق‬ٌ َ‫س َعلَْي ُك ْم ُجن‬ ِ ‫يِف‬
َ ‫ض َر ْبتُ ْم اأْل َْرض َفلَْي‬ َ ‫َوإِذَا‬
‫نت فِي ِه ْم‬ َ ‫] َوإِ َذا ُك‬٤:١٠١[ ‫ين َك انُوا لَ ُك ْم َع ُد ًّوا ُّمبِينً ا‬
ِ ِ
َ ‫ۚ إ َّن الْ َك اف ِر‬ ‫ين َك َف ُروا‬
ِ َّ ِ
َ ‫َي ْفتنَ ُك ُم الذ‬
‫َس لِ َحَت ُه ْم فَِإ َذا َس َج ُدوا َف ْليَ ُكونُوا‬ ْ ‫ك َولْيَأْ ُخ ُذوا أ‬َ ‫ت هَلُ ُم الصَّاَل َة َف ْلَت ُق ْم طَائَِفةٌ ِّمْن ُهم َّم َع‬ َ ‫فَأَقَ ْم‬
‫ك َولْيَأْ ُخ ُذوا ِح ْذ َر ُه ْم‬ َ ‫ص لُّوا َم َع‬ َ ُ‫ص لُّوا َف ْلي‬
َ ُ‫ُخ َر ٰى مَلْ ي‬
ِ ِ ِ
ْ ‫من َو َرائ ُك ْم َولْتَ أْت طَائ َف ةٌ أ‬
ِ
ً‫َس لِ َحتِ ُك ْم َوأ َْمتِ َعتِ ُك ْم َفيَ ِميلُو َن َعلَْي ُكم َّمْيلَ ة‬
ْ ‫ين َك َف ُروا لَ ْو َت ْغ ُفلُو َن َع ْن أ‬
ِ َّ ِ ‫وأ‬
َ ‫ۗ َو َّد الذ‬ ‫َسل َحَت ُه ْم‬
ْ َ
ِ
‫ض عُوا‬ َ َ‫ض ٰى أَن ت‬ َ ‫اح َعلَْي ُك ْم إِن َك ا َن بِ ُك ْم أَ ًذى ِّمن َّمطَ ٍر أ َْو ُكنتُم َّم ْر‬ َ َ‫ۚ َواَل ُجن‬ ‫َواح َد ًة‬
ِ ِ ِ ِ ‫أ‬
‫ض ْيتُ ُم‬ َ َ‫] فَ ِإ َذا ق‬٤:١٠٢[ ‫ين َع َذابًا ُّم ِهينً ا‬ ِ
َ ‫ۗ إ َّن اللَّهَ أ ََع َّد ل ْل َك اف ِر‬ ‫ۖ َو ُخ ُذوا ح ْذ َر ُك ْم‬ ‫َس ل َحتَ ُك ْم‬ ْ

36
Q.S Al-Baqarah [2]: (183-185)
23

‫ۚ إِ َّن‬ ‫الص اَل َة‬ ِ ِ ِ


َّ ‫يموا‬ ً ُ‫الص اَل َة فَ ا ْذ ُكُروا اللَّهَ قيَ ًام ا َو ُقع‬
ُ ‫ۚ فَ إ َذا اطْ َم أْنَنتُ ْم فَ أَق‬ ‫ودا َو َعلَ ٰى ُجنُ وبِ ُك ْم‬ َّ
(١٠٣-١٠١ : ‫ني كِتَابا َّموقُوتًا ) النسآء‬ ِِ
ْ ً َ ‫ت َعلَى الْ ُم ْؤمن‬ ْ َ‫الصَّاَل َة َكان‬
Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa
kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-
orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang
nyata bagimu. Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka
(sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama
mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang
shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka
hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh)
dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum
bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu], dan
hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-
orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta
bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak
ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat
sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan
siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang
menghinakan bagi orang-orang kafir itu. Maka apabila kamu telah
menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu
duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa
aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman.”37

3. Rukhsah dalam Ibadah Wudu

ِ َّ
‫الص اَل َة َوأَنتُ ْم ُس َك َار ٰى َحىَّت ٰ َت ْعلَ ُم وا َم ا َت ُقولُ و َن َواَل ُجنُبً ا‬
َّ ‫ين َآمنُ وا اَل َت ْقَربُوا‬ َ ‫يَا أَيُّ َه ا الذ‬
ِ
َ ‫ض ٰى أ َْو َعلَ ٰى َس َف ٍر أ َْو َج اءَ أ‬
‫َح ٌد ِّمن ُكم ِّم َن‬ َ ‫ َوإِن ُكنتُم َّم ْر‬ ۚ ‫إِاَّل َع ابِ ِري َس بِ ٍيل َحىَّت ٰ َت ْغتَس لُوا‬
‫وه ُك ْم‬ِ ‫يدا طَيِّب ا فَامس حوا بِوج‬ ِ ‫الْغَائِ ِط أَو اَل مس تُم النِّس اء َفلَم جَتِ ُدوا م اء َفَتي َّمم وا‬
ُ ُ ُ َ ْ ً ً ‫صع‬ َ ُ َ ً َ ْ َ َ ُ َْ ْ
ِ ِ
ً َ ‫ إ َّن اللَّهَ َكا َن َع ُف ًّوا‬ ۗ ‫َوأَيْدي ُك ْم‬
( ٤٣: ‫غ ُفورا )النساء‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan
junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika
kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang

37
Q.S An-Nisa [4]: (101-103)
24

air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak


mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.”38

‫وه ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِىَل الْ َمَرافِ ِق‬ ِ ِ َّ ‫ي ا أَيُّه ا الَّ ِذين آمنُ وا إِ َذا قُمتُم إِىَل‬
َ ‫الص اَل ة فَا ْغس لُوا ُو ُج‬ ْ ْ َ َ َ َ
‫وس ُك ْم َوأ َْر ُجلَ ُك ْم إِىَل الْ َك ْعَبنْي ِ ۚ َوإِن ُكنتُ ْم ُجنُبً ا فَ اطَّ َّه ُروا ۚ َوإِن ُكنتُم‬ ِ ‫وامس حوا بِرء‬
ُُ ُ َ ْ َ
ِ ِِ
ً‫ِّس اءَ َفلَ ْم جَت ُدوا َم اء‬ َ ‫َح ٌد ِّمن ُكم ِّم َن الْغَائ ط أ َْو اَل َم ْس تُ ُم الن‬ َ ‫ض ٰى أ َْو َعلَ ٰى َس َف ٍر أ َْو َج اءَ أ‬ َ ‫َّم ْر‬
‫يد اللَّهُ لِيَ ْج َع َل َعلَْي ُكم ِّم ْن‬
ُ ‫وه ُك ْم َوأَيْ ِدي ُكم ِّمْنهُ ۚ َما يُِر‬ ِ ‫يدا طَيِّبا فَامسحوا بِوج‬
ُ ُ ُ َ ْ ً ً ‫صع‬
ِ ‫َفَتي َّمموا‬
َ ُ َ
)٦ :‫ن ) املائدة‬ َ ‫يد لِيُطَ ِّهَر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهُ َعلَْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو‬
ُ ‫َحَر ٍج َوٰلَ ِكن يُِر‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-
Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”39

Adapun jenis-jenis metode penafsiran ini menurut Abd al-Hayy al-farmawi

yang digunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an, sedikitnya ada

empat macam metode, yaitu metode Ijmali> (global), metode Tahli>li>

(analisis), metode Muqa>ran (perbandingan), metode Maudhu>’i (tematik).40

1. Metode Ijmali> (metode Global)

Yaitu penafsiran al-Qur’an secara singkat dan global, tanpa uraian

panjang lebar, mulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir sesuai dengan

susunan tertib ayat dan surat di dalam mushaf dengan bahasa yang populer

Q.S An-Nisa [4]: (43)


38

Q.S Al-Maidah [5]: (6)


39

40
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir al-Maudhui dan cara penerapannya, terj.
Rosihan Anwar, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 23.
25

dan mudah dimengerti, namun mencakup makna yang dikehendaki dalam

ayat.41

2. Metode Tahli>li> (metode Analisis)

Yaitu metode penafsiran ayat-ayat al-Qur’an secara analitis dengan

memaparkan segala aspek mulai dari segi bahasa, asbab al-Nuzul,

muna>sabah, dan aspek lain yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya

sesuai dengan bidang keahlian mufassir tersebut.42

3. Metode Muqa>ran (metode Komparasi/Perbandingan)

Yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara mengambil sejumlah ayat al-

Qur’an ataupun hadis, kemudian mengemukakan pendapat para ulama tafsir

dalam menafsirkan ayat tersebut dan membandingkan kecenderungan para

ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan dari hasil

perbandingannya.43

4. Metode Maudhu>’i (metode Tematik)

Yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir untuk menjelaskan

konsep al-Qur’an tentang suatu masalah atau tema tertentu dengan cara

menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang membicarakan tema tersebut.

Dengan metode ini mufassir menghimpun ayat-ayat yang setema,

mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan kha>sh, antara yang

41
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, Cet III, (Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2014),
hlm.280.
42
Ibid, hlm.281.
43
Ibid
26

muthlaq dan yang muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak

kontradiktif, menjelaskan na>sikh dan mansu>kh, sehingga semua ayat

tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau

tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makan-makna yang

sebenarnya tidak tepat.44 Metode Maudhu>’i (tematik) ada beberapa langkah

yang harus ditenpuh yakni sebagai berikut:

a. Memilih atau menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara

tematik.

b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang

telah ditetapkan, ayat Makiyyah dan Madaniyyah.

c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa

turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat

atau asbab al-Nuzul.

d. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-

masing suratnya.

e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,

sempurna, dan utuh (outline).

f. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila dipandang perlu,

sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.

g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan

cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,

mengkompronikan antara pengertian „am dan khas, antara yang muthlaq

44
Ibid, hlm.285.
27

dan yang muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak

kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh damn mansukh, sehingga semua

ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi

atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna

yang sebenarnya tidak tepat.

Berdasarkan corak penafsirannya terdapat beberapa macam. Selanjutnya

corak penafsiran yang dimaksud dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang

mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufassir memiliki latar

belakang keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun

memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya. Diantaranya

sebagai berikut:

1. Corak Sastra Bahasa

Corak sastra bahasa timbul karena banyaknya orang non-Arab yang

memeluk agama Islam, serta kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di

bidang sastra, sehingga diperlukan untuk menjelaskan kepada meraka tentang

keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Qur’an. Adapun contoh tafsir

yang bercorak bahasa yaitu Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-

Razy (w. 606), dan Tafsir Amtsal al-Qur’an karya al-Mawardi (w. 450 H).

2. Corak Fiqih atau Hukum

Corak fiqih atau hukum, muncul setelah berkembangnya ilmu fiqih, dan

terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha

membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran

mereka terhadap ayat-ayat hukum. Adapun contoh tafsir yang bercorak fiqih
28

atau hukum yaitu Tafsir Ahka>>m al-Qur’an karya al-Jas}s}a>s (w. 370 H),

dan Tafsir al - Ja>mi’ li Ahka>m al - Qur’a>n karya Abu> Abdullah al-

Qurt}ubi (w. 671 H)45

3. Corak Filsafat

Corak teologi atau filsafat yaitu tafsir yang dalam penjelasannya

menggunakan pendekatan filsafat. Adapun contoh tafsir yang bercorak

filsafat yaitu Tafsir al-Isya>rat karya Imam al-Ghazali (w. 505 H), dan

Tafsir Rasail Ibn Sina> karya Ibn Sina> (w. 370 H).46

4. Corak Tasawuf

Corak tasawuf, timbul karena adanya gerakan-gerakan sufi sebagai

reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai

kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Singkatnya corak penafsiran

tasawuf adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi yang mereka lebih

mementingkan batinnya lafadz daripada lahirnya. Adapun contoh tafsir yang

bercorak tasawuf yaitu Tafsir Haqa>’iq al-Tafsi>r karya Abu Abd al-

Rahman al-Sulami> (w. 412 H), dan Tafsir ‘Ara>’is al-Baya>n fī Haqa>’iq

al-Qura>n karya al-Syirazi> (w.606).47

5. Corak Penafsiran Ilmiah

Corak penafsiran ilmiah adalah penafsiran yang didasarkan pada

kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha mufassir untuk memahami ayat-ayat

al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu. Adapun contoh tafsir yang

45
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir,(Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2005) hlm, 169
46
Ibid, hlm. 170.
47
Abd. Al-hayy Al Farmawi>, Metode Tafsir Mawdhu>’i>, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm. 18.
29

bercorak ilmi yaitu Al-Jawa>hir fi Tafsi>r al-Qur`an al-Kari>m Karya

Syekh Thanthawi> Jauhari dan Tafsir al-Ayat al-Kauniyah karya Syekh

Abdullah Syahatah.

6. Corak Sastra Budaya dan Kemasyarakatan

Corak sastra budaya dan kemasyarakatan adalah corak penafsiran

mengenai petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan

penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-

ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang

mudah difahami oleh pembaca. Adapun contoh tafsir yang bercorak sastra

budaya dan kemasyarakatan yaitu Tafsir Al-Maraghi karya Syekh

Muhammad Al-Maraghi (w. 1945 M), dan  Tafsir Al-Mana>r karya Rasyid

Rid}a (w. 1345 H).


30
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kepustakaan (library research), yakni

mengambil data dari literatur-literatur, baik berupa kitab, buku, majalah, jurnal,

surat kabar, naskah, catatan, ensiklopedia, serta karya ilmiah yang berupa makalah

ataupun artikel yang relevan untuk dijadikan bahan penelitian. 48 Penelitian ini

didasarkan pada pengkajian kosakata ayat-ayat al-Qur’an yang diteliti dari

berbagai kitab tafsir dan buku-buku pendukung lainnya sebagai data.

B. Sumber Data

Sumber data yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini meliputi

kepada data primer dan data sekunder. Sumber data primer yaitu data yang

diambil dari Tafsir al-Qur’an al-Hakim karya Rasyid Ridha dan Tafsir al-Qur’an

al-‘Adzim karya Ibnu Katsir serta kitab lainnya yang mendukung penelitian.

Sedangkan sumber data sekunder yaitu data yang diambil dari berbagai

sumber, baik yang berupa buku-buku, jurnal-jurnal, skripsi-skripsi, karya tulis

ilmiah dan sumber lainnya yang mendukung serta relevan dengan pembahasan

diteliti.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik

dokumentasi, yakni mendokumentasikan sumber-sumber data yang terkait dengan

48
Kartini, Metodologi Riset Sosial, cet. VII, (Bandung: Mandar Maju, 1996), hlm.33

30
31

tema penelitian, baik data primer ataupun data sekunder. Setelah data-data yang

sudah dikaji terkumpul kemudian dipaparkan sesuai dengan bahasan penelitian.49

Dalam hal mengumpulkan data tentang penafsiran ayat-ayat terkait rukhs}ah,

serta memperkaya dengan dalil-dallil dari as-sunnah.

D. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisi data dalam penelitian ini dipergunakan Analysis

Interactive yaitu teori Matthew B. Miles, A. Michel Huberman dan Johnny

Saldana yang digambarkan seperti di bawah ini.

Data
Data Display
Collection

Data Conclusions:
Condensation Drawing/Veri
fying

Gambar 1. Analisys Interactive Teori Matthew B. Miles, A. Michel

Huberman dan Johnny Saldana

Langkah-langkah dalam analisis data ini dengan beberapa bagian di atas

yaitu data collection (pengumpulan data), data condensation (pengembunan data,

49
Winanno Surahmad, Dasar dan Teknik Research, (Bandung: Tarsito, t. t.), hlm. 131.
32

memadatkan data) data display (penyajian data) dan conclusions:

drawing/verifying (penarikan kesimpulan dan veifikasi).50 Adapun langkah-

langkahnya sebagai berikut:

1. Pengumpulan data (Data Collection).

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data-data dari kitab

tafsir al-Qur’an al-H{aki>m karya Rasyi>d Rid}a dan tafsir al-Qur’an

al-‘Adz}i>m karya Ibnu Kas\i>r, buku, journal dan makalah-makalah yang

berkaitan dengan pembahasan.

2. Kondensasi (Pengembunan) Data (Data Condensation).

Setelah data-data dari kitab tasir al-Qur’an al-H{aki>m karya Rasyi>d

Rid}a, kitab tafsir al-Qur’an al-‘Adz}i>m karya Ibnu Kas\i>r, buku, journal,

dan makalah makalah yang berkaitan dengan pembahasan dikumpulkan,

selanjutnya diseleksi, difokuskan, disederhanakan, diabstrasikan dan

dipadatkan kemudian dianalisis untuk di pertajam digolongkan, dan diarahkan

dengan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga mendapatkan

simpulan. Data yang sudah didapatkan tanpa harus membuang data yang lain.

3. Penyajian Data (Data Display)

Setelah data dipadatkan kemudian dianalisis untuk dipertajam dengan

menggunakan salah satu metode dari Abd al-Hayy al-Farmawi yaitu metode

Maudhu>’i,51 setelah itu digolongkan dan diorganisasikan data sedemikian

rupa, selanjutnya dikaji lebih jauh dari segi komparasi terhadap konsep

50
Matthew B. Miles dkk, Qualitative Data Analysis: a Methods Sourbook, (United States of
America: SAGE Publications Ltd, 2014), hlm. 8
51
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir al-Maudhui dan cara penerapannya, terj.
Rosihan Anwar, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 23.
33

penafsiran rukhsahmenurut kedua mufassir yaitu Syekh Rasyi>d Rid}a dan

Imam Ibnu Kas\i>r, kemudian mencari persamaan dan perbedaan dari

penafsirannya. Setalah itu dianalisis yang pada akhirnya mendapatkan

simpulan.

4. Penarikan Kesimpulan (Conclusions: Drawing/Verifying)

Data-data dari kitab tafsir al-Qur’an al-H{aki>m karya Rasyi>d Rid}a

dan kitab tafsir al-Qur’an al-‘Adz}i>m karya Ibnu Kas\i>r, journal, buku-

buku, dan makalah-makalah yang berkaitan yang telah dianalisis dengan

dikomparasikan, kemudian disajikan dan diverifikasi kemudian menjadi

sebuah kesimpulan yang utuh sehingga tujuan penelitian terpenuhi.


BAB IV

PEMBAHASAN

A. Ibnu Kas\i>r dan Tafsi>r al-Qur’an al-‘Adz}i>m

1. Riwayat Hidup Imam Ibnu Kas\i>r

Nama lengkap Ibnu Kas\i>r adalah Amam Ad-Din Abdu al-Fida Ismail

Ibnu Amar Ibnu Kas\i>r ibnu Zara’ Al-Bushrah Al-Damasiqy.52 Imam Ibnu

Kas\i>r lahir di desa Majdal dalam wilayah Bushra (Basrah) pada tahun

700H/1301M, oleh karena itu, ia mendapat julukan “Al-Bushrawi” (orang

Basrah).53 Ia adalah anak dari Shihab Ad-Din Abu Hafsah Amar Ibnu Kas\i>r

Ibnu Dahw Ibnu Zara’ Al-Quraisyi, yang merupakan seorang ulama

terkemuka pada masanya. Ayahnya bermazhab Imam Syafi’i dan pernah

mendalami mazhab imam Hanafi.54 Dalam usia anak-anak, setelah ayahnya

wafat, Imam Ibnu Kas\i>r dibawa kakaknya (kamal Ad-Din ‘Abd Al-

Wahhab) dari desa kelahirannya ke Damaskus. Di kota inilah dia tinggal

hingga akhir hayatnya. Karena perpindahan ini, ia mendapat predikat Al-

Dimasyqi (orang Damaskus).55

Imam Ibnu Kas\i>r dapat gelar keilmuannya dari para ulama sebagai

kesaksian atas keahliannya dalam beberapa bidang ilmu yang digeluti, antara

52
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsir Wa Al-Mufassirin, (Mesir: Maktabah
Wahbah, 1985), Jilid II, hlm. 242.
53
Manna Khalil Al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir, (Jakarta: Lintera
Antara Nusa, 1990), hlm.386.
54
Ibn Katsir, Al-Bidayah Wa Al-Nihayah, Jilid XIV, (Beirut : Dar Al-Fikr, 1990), hlm 32.
55
Nur Faizan Maswan, Kajian Diskriptif tafsir Ibn Katsir , (Jakarta: Menara Kudus,
2002), hlm 35.

34
lain ia mendapat gelar seorang ahli sejarah, dan pakar hadis. 56 Dalam

menjalani

56
Manna Khalil Al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir, (Jakarta: Lintera
Antara Nusa, 1990), hlm.386.

34
35

kehidupan, Imam Ibnu Kas\i>r didampingi oleh seorang isteri yang bernama

Zainab (puteri Mizzi) yang masih sebagai gurunya. Setelah menjalani

kehidupan yang panjang, pada tanggal 26 Sya’ban 774 H bertepatan dengan

bulan Februari 1375 M pada hari kamis, Imam Ibnu Kas\i>r meninggal

dunia.57

a. Sejarah Pendidikan Imam Ibnu Kas\i>r

Pada abad ke 7 H dikenal dengan masa kejayaan Islam, sehingga

berbagai disiplin ilmu sudah populer di kalangan umat Muslim dan Imam

Ibnu Kas\i>r dikenal sebagai seorang ulama yang banyak mempelajari

disiplin ilmu seperti Ilmu Fiqh, Hadis, dan ilmu-ilmu lainnya.58

Sejak kehidupan Ibnu Kas\i>r bersama kakaknya ke Damaskus tahun

707 H, ia mulai menjalani karir keilmuan. Peran yang tidak sempat dilakukan

oleh ayah dalam mendidik, dilaksanakan oleh kakaknya, Kamal Ad-Din Abd

Al-Wahhab. Kgiatan keilmuan selanjutnya dijalani di bawah bimbingan

ulama ternama di masanya.59

b. Karya-karya Imam Ibnu Kas\i>r

Imam Ibnu Kas\i>r telah mewarisi karya-karyanya untuk umat Muslim

yang bermanfaat sampai sekarang, berikut karya-karya Imam Ibnu Kas\i>r:

1) At-Tafsir yaitu sebuah kitab Tafsir bi Ar-Riwayah yang terbaik,

dimana Imam Ibnu Kas\i>r menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an,

57
Nur Faizan Maswan, Kajian Diskriptif tafsir Ibn Katsir , (Jakarta: Menara Kudus,
2002), hlm 36.
58
Musthafa Abdul Wahid, As-Siratun Nabawiyyah li Ibnu Katsir, Jilid I, (Beirut: DarFikr,
1990), hlm 527.
59
Nur Faizan Maswan, Kajian Diskriptif tafsir Ibn Katsir , (Jakarta: Menara Kudus,
2002), hlm 39.
36

kemudian hadis-hadis masyhur yang terdapat dalam kitab-kitab para

ahli hadis, disertai dengan sanadnya masing-masing.

2) Al-Bidayah Wa An-Nihayah, sebuah kitab sejarah yang berharga dan

terkenal, dicetak di Mesir di percetakan As-Sa’adah tahun 1358 H.

dalam 14 jilid. Dalam buku ini Imam Ibnu Kas\i>r mencatat kejadia-

kejadian penting sejak awal penciptaan sampai peristiwa-peristiwa

yang terjadi pada tahun 768 H. yakni lebih kurang 6 tahun sebelum

wafatnya.

3) As-Sirah (ringkasan sejarah hidup nabi saw). Kitab ini telah dicetak

di Mesir tahun 1538 H. dengan judul, Al-Fushul fi Ikhtishari siratir

Rasul.

4) As-Sirah An-Nabawiyah (kelengkapan sejarah hidup nabi saw)

5) Ikhtisar ‘Ulum Al-Hadis, Imam Ibnu Kas\i>r meringkaskan kitab

muqaddimah Ibnu Shalah, yang berisi ilmu musthalah al-hadis.

Kitab ini telah dicetak di Makkah dan di Mesir, dengan penelitian

yang dilakukan oleh Syekh Ahmad Muhammad Syakir pada tahun

1370 H.

6) Jami’ Al-Masanid wa As-Sunan, kitab ini disebut ikeh Syekh

Muhammad Abdur Razzaq Hamzah dengan judul, Al-Huda wa As-

Sunanfi Ahadits Al-Masanid wa As-Sunan, dimana Imam Ibnu

Kas\i>r telah menghimpun antara musnad Imam Ahmad, Imam Al-

Bazzar, Imam Abu Ya’la, dan Imam Ibnu Abi Syaibah dengan Al-

Kutub As-Sittah menjadi satu.


37

7) At-Taklimi fi Ma’rifah Ats-Tsiqaath wa Adh-Dhu’afa’i wa Al-

Majahil, dimana Imam Ibnu Kas\i>r menghimpun karya ibu

gurunya, Al-Mizzi dan Adz-Dzahabi menjadi satu, yaitu Tahzib Al-

Kamal dan Mizan Al-I’tidal, disamping ada tambahan mengenai Al-

Jarh wa At-Ta’dil.

8) Musnad Asy-Syaikhain, Abi bakr wa Umar, musnad ini terdapat di

Darul Kurub Al-Mishriyah.

9) Risalah Al-Jihat, dicetak di Mesir.

10) Thabaqat Asy-Syafi’iyah, bersama dengan Munaqib Asy-Syafi’i.

11) Ikhtisar, ringkasan dari kitab Al-Madkhallila kitab As-Sunan

karangan Al-Baihaqi.

12) Syarah Shahih al-Bukhari, merupakan kitab penjelasan tentang

hadis-hadis Bukhari. Kitab ini tidak selesai, tetapi dilanjutkan oleh

Ibnu Hajar al-‘Asqalani.

13) Tafsir al-Qur’an al-Azhim, lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibnu

Katsir. Di terbitkan pertama kali dalam 10 jilid, pada tahun 1342

H/1923 M. di Kairo.60

2. Profil Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim

Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim atau lebih dikenal dengan tafsir Ibnu katsir

ditulis oleh Syekh al-Imam al-Hafidz Abdul Fida’ Imamuddin Isma’il bin

Umar Katsir bin Dhau’ bin Katsir al-Quraisy ad-Dimasyaqi (w. 1373 M).

Gaya penulisan tafsir ini sama dengan penulisannya Tafsir Ibnu Jarir al-

60
Ibid, hlm. 43-44.
38

Thabari. Tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang paling terkenal,

tafsir ini lebih dekat dengan al-Thabari, tafsir ini termasuk Tafsir bil al-

Mat’sur. Tafsir yang menggunakan sumber-sumber primer dan menjelaskan

ayat al-Qur’an dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami.

Tafsir Ibnu katsir juga merupakan sebaik-baiknya Tafsir bil al-Mat’sur

yang mengumpulkan al-Qur’an dengan al-Qur’anm, Hadis dengan Hadis

yang ada kodifikasi beserta sanadnya.61

a. Sistematika Penafsiran

Sistematika yang ditempuh Imam Ibnu Kas\i>r dalam tafsirnya, yaitu

menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an sesuai susunannya dalam Mushaf al-

Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat, dimulai dengan Surah al-Fatihah

dan diakhiri dengan Surah al-Na>s, maka secara sistematis tafsir ini

menempuh tertib mushaf.

Mengawali penafsirannya Imam Ibnu Kas\i>r menyajikan sekelompok

ayat yang berurutan yang dianggap berkaitan dan berhubungan dalam tema

kecil, cara ini tergolong model baru pada masa itu. Pada masa sebelumnya

atau semasa dengan Imam Ibnu Kas\i>r, para mufasir kebanyakan kata per

kata atau kalimat per kalimat.

Penafsiran perkelompok ayat ini membawa pemahaman pada adanya

munasabah ayat dalam setiap kelompok ayat itu dalam tertib mushafi. Dengan

begini akan diketahui adanya keintegralan pembahasan al-Qur’an dalam satu

tema kecil yang dihasilkan kelompok yang mengandung munasabah antara

61
Ibid, hlm. 05.
39

ayat-ayat al-Qur’an, yang mempermudah seseorang dalam memahami

kandungan al-Qur’an serta yang paling penting adalah terhindar dari

penafsiran secara persial yang bias keluar dari maksud nash. Dari cara

tersebut, menunjukan adanya pemahaman lebih utuh yang dimiliki Imam

Ibnu Kas\i>r dalam memahami adanya munasabah dalam urutan ayat, selain

munasabah antara (Tafsir al-Qur’an Bi al-Qur’an) yang telah banyak diakui

kelebihannya oleh para peneliti.62

b. Metode Penafsiran

Imam Ibnu Kas\i>r menggunakan Metode Tahlili, sesuatu metode tafsir

yang bermkasud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan seluruh

asfeknya. Mufasir mengikuti susunan ayat sesuai mushaf (tertib mushafi),

mengemukakan arti kosa kata, penjelasan arti global ayat, mengemukakan

munasabah dan membahas asbab al-Nuzul, disertai sunnah Rasul, pendapat

Sahabat, Tabi’in dan pendapat penafsiran itu sendiri dengan diwarnai oleh

latar belakang pendidikannya, dan sering pula bercampur baur dengan

pembahasan kebahasaan dan lainnya yang di pandang dapat membantu

memahami nash al-Qur’an tersebut.

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir aspek kosa kata dan penjelasan arti

global, tidak selalu di jelaskan. Kedua aspek tersebut di jelaskan ketika di

anggap perlu. Kadang pada satu ayat, suatu lafaz di jelaskan arti kosa kata,

serta lafaz yang lain di jelaskan arti globalnya karena mengandung suatu

62
Ibid, hlm. 66.
40

istilah, bahkan di jelaskan secara terperinci dengan memperlihatkan

penggunaan istilah pada ayat-ayat lainnya.63

B. Rasyi>d Rid}a dan Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m

1. Riwayat Hidup Syekh Rasyi>d Rid}a

Nama lengkap Syekh Rasyi>d Rid}a ialah Sayyid Muhammad Rasyi>d

bin Ali Rid}a bin Syamsuddin bin Baha’uddin al-Qalmuny al-Husaini, ia

masih memiliki pertalian darah dengan cucu Nabi Muhammad saw yakni

Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah saw, oleh karena

itu Syekh Rasyi>d Rid}a memakai gelar al-Sayyid di depan namanya.64

Syekh Rasyi>d Rid}a lahir pada 1865 M di Qalamun sebuah desa yang

berada di sekitar Kota Tripoli, Libanon, dan ia wafat pada Agustus 1935 M

pada umur 70 tahun.65 Ia hidup dalam lingkungan keluarga yang

mengutamakan ilmu pengetahuan dan taat beragama, sehingga mendapatkan

didikan dari orang tuanya membaca dan menghatamkam hafalan Al-Quran

hingga usia 17 tahun.

Pada tahun 1882 M., belajar di Madrasah Rusydiyyah di Tripoli,

kemudian pindah ke Madrasah al-Wat}ani>yah al-Islamiyyah, milik

pemerintahan Kota Tripoli yang dipimpin oleh Syaikh al-Jisr seorang alim

ulama yang tergolong modernis. Namun mendapat tantangan dari pemerintah

akibat konstalasi politik Kerajaan Usmani, hingga melanjutkan

pendidikannya ke Madrasah Diniyyah di Kota yang sama, namun tetap


63
Ibid, hlm. 64.
64
M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an Studi Kritis atas Tafsir al-Manar,
(Tanggerang: Lentera Hati, 2006), hlm 71.
65
Ibrahim Ahmad al-Adawy, Rasyid Ridha al-Imamul Mujtahid, (Kairo: Al-Muassah al-
Mishriyyah al-Ammah li al-Ta’lif wal Anfa’ wa al-Nasyr, t.th), hlm. 19.
41

melakukan komunikasi ilmiyah dengan guru-gurunya (utamanya Syaikh al-

Jisr) saat di Madrasah sebelumnya, sehingga tetap memperoleh Ijazah,

kemudian belajar hadis dan memperoleh ijazah dari Syekh Mahmud Kamil

al-Rafi’u, selain itu, guru-gurunya adalah Sykeh Abd. Ghani al-Rafi’, Syekh

Muhammad al-Husain, dan Syekh Muhammad ‘Abduh yang banyak

mengispirasi pikirannya untuk bertemu dan berguru kepada Syekh ini. 66

Ketika Syekh Rasyi>d Rid}a mulai berdakwah di kampung

halamannya, bersamaan dengan itu juga Syekh Muhammad ‘Abduh sedang

memimpin gerakan pembaharuan di Mesir. Majalah Urwah al-Wus\qa> yang

diterbitkan oleh jama>l al-Di>n al-Afghani> dan Syekh Muhammad ‘Abduh

ke seluruh dunia Islam ternyata sangat mempengaruhi jiwa dan pemikiran dan

Syekh Rasyi>d Rid}a ketika itu. Sehingga mampu mengubah pemuda yang

berjiwa sufi itu menjadi sosok yang penuh semangat untuk membangkitkan

semangat masyarakat Muslim dalam segala bidang kehidupan mereka, tidak

terbatas hanya di bidang aqidah dan syariah saja seperti halnya tujuan dakwah

Syekh Rasyi>d Rid}a pada fase sebelumnya.67

Kekaguman Syekh Rasyi>d Rid}a terhadap sosok Syekh Muhammad

‘Abduh semakin bertambah ketika pada tahun 1885 Syekh Rasyi>d Rid}a

dapat bertemu langsung dengan tokoh yang ia kagumi tersebut. Pada tahun

1898 Syekh Rasyi>d Rid}a melanjutkan pendidikannya ke Al-Azhar (Mesir)

menjadi mahasiswa, hingga akhirnya secara bersama-sama menerbitkan

majalah Al-Manar dan kemudian menyusun sekaligus melanjutkan Tafsir Al-


66
Ibid, hlm. 30.
67
Ibrahi>m Ahmad al-Adawi>, Rasyi>d Rid}a al-Ima>m al-Muja>hid, (Kairo: Maktabah
Misr, 1964), hlm. 88.
42

Manar sepeninggalan Syekh Muhammad ‘Abduh yang pada akhirnya nanti

menjelma menjadi sebuah kitab tafsir yang terkenal dengan nama Tafsir al-

Qur’an al-H{aki>m sebagai karya besar dari seorang Syekh Rasyi>d Rid}a .

2. Karya-karya Rasyi>d Rid}a

Syekh Rasyi>d Rid}a sebagai seorang yang mewarisi semangat

pembaharuan dari Syekh Muhammad ‘Abduh, ia cukup produktif dalam

menghasilkan tulisan serta karya ilmiah. Tulisan dan karya ilmiah tersebut

kebanyakan adalah berupa kritik, masukan serta solusi terhadap persoalan-

persoalan masyarakat Muslim ketika itu. Karya-karya tersebut antara lain

sebagai berikut:

a. Al-Hikmah Asy-Syar’iyyah fi Muhakamat Al-Dadiriyah wa Al-Rifa’iyah.

Buku ini merupakan karya pertamanya ketika ia masih belajar, isinya

adalah bantahan kepada Abdul Hadyi Ash-Shayyad yang mengecilkan

tokoh sufi besar Abdulkadir Al-Jailani, juga menjelaskan kekeliruan-

kekeliruan yang dilakukan oleh para penganut tasawuf, tentang busana

Muslim, sikap meniru non-Muslim, Imam Mahdi, masalah dakwah dan

kekeramatan.

b. Al-Azhar dan Al-Manar. Buku ini berisi sejarah Al-Azhar, perkembangan

dan misinya, serta bantahan terhadap sementara ulama Al-Azhar yang

menentang pendapat-pendapatnya.

c. Tarikh Al-Ustadz Al-Imam, berisi riwayat hidup Muhammad Abduh dan

perkembangan masyarakat Mesir pada masanya.


43

d. Nida’ li Al-Jins Al-Lathif, berisi uraian tentang hak dan kewajiban-

kewajiban wanita.

e. Zikra Al-Maulid An-Nabawi.

f. Risalah Al-Hujjah Al-Islam Al-Ghazali.

g. Al-Sunnah wa Al-Syi’ah.

h. Al-Wahdah Al-Islamiyah.

i. Haqiqah Al-Riba.

j. Majalah Al-Manar, yang terbit sejak 1315 H/1898 M sampai dengan

1354 H/1935 M.

k. Tafsir Al-Manar (Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m)

l. Tafsir surah-surah Al-Kauṡar, Al-Kāfirūn, Al-Ikhlāṣ, dan Al

Mu‟awidzatain.68

3. Profil Kitab Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m

Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m atau yang lebih populer dengan nama

Tafsir al-Mana>r adalah sebuah kitab tafsir yang berjumlah 12 jilid. Setiap

Jilid dari kitab tersebut selalu diawali dengan penegasan bahwa kitab tersebut

adalah satu-satunya kitab tafsir yang menghimpun riwayat-riwayat yang sahih

dan pandangan akal yang tegas, yang menafsirkan al-Qur’an sebagai hidayah

universal bagi seluruh umat manusia tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu

guna menghindarkan umat manusia dari segala kerusakan dan memelihara

kemaslahatan mereka berdasarkan cara yang ditempuh oleh Muhammad

‘Abduh. Demikianlah Syekh Rasyi>d Rid}a memperkenalkan kitab tafsirnya,

Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah,
68

1994), hlm. 65-66


44

yang tentunya dengan hal tersebut dapat memberikan gambaran umum

perihal isi kandungan, metode dan referensi dari kitab tersebut.69

Menurut Muhammad Quraish Shihab, pada dasarnya Tafsir al-Qur’an

al-H{aki>m adalah sebuah karya dari tiga orang tokoh Islam, yaitu Jama>l al-

Di>n al-Afgani>, Muhammad ‘Abduh, dan Sayyid Rasyi>d Rid}a. Tokoh

yang pertama berperan menanamkan gagasan-gagasan yang berisi tentang

perbaikan masyarakat pada murid sekaligus rekannya, yaitu Muhammad

‘Abduh. Kemudian oleh tokoh yang kedua ini, gagasan-gagasan tersebut

diterima, dicerna, diolah, dan kemudian disampaikan melalui penafsiran ayat-

ayat al-Qur’an dalam perkuliahan yang ia berikan. Penafsiran-penafsiran

tersebut kemudian diterima dan diringkas oleh tokoh yang ketiga, yaitu

Sayyid Rasyi>d Rid}a dan dituangkan dalam majalah al-Mana>r yang

kemudian dibuat menjadi Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m seperti yang ada

ditangan umat Muslim sekarang ini.70

a. Sumber Penafsiran

Muhammad ‘Abduh maupun Syekh Rasyi>d Rid}a dalam menjelaskan

isi kandungan al-Qur’an ini keduanya selalu menjadikan ayat-ayat al-Qur’an

sebagai sumber utama penafsirannya, terlebih lagi jika ayat yang ditafsirkan

berkaitan atau dirinci oleh ayat-ayat lainnya. Syekh Rasyi>d Rid}a juga kerap

kali mejadikan hadis Nabi saw sebagai sumber penafsiran dengan catatan

hadis tersebut menurutnya tidak bermasalah, baik dari segi sanad maupun

69
M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), hlm. 79.
70
Ibid, hlm 84.
45

matannya.71 Panafsiran semacam ini dikenal dalam disiplin ilmu tafsir dengan

istilah tafsi>r bi al- al-Ma’s\u>r.72

Di samping itu menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan sumber bi

al- al-Ma’s\u>r, Muhammad ‘Abduh serta Syekh Rasyi>d Rid}a juga

memberikan porsi yang cukup luas bagi akalnya untuk memahami al-

Qur’an.73 Hal tersebut selain bertujuan untuk menghindari sikap taqli>d, juga

sebagai sebuah upaya untuk memecahkan berbagai masalah yang terjadi di

tengah masyarakatnya ketika itu.74 Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa sumber penafsiran dari kitab Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m adalah

kaloborasi dari tafsi>r bi al- al-ma’s\u>r dan tafsi>r bi ar-ra’yi.75

b. Metode dan Sistematika Penafsiran

Syekh Rasyi>d Rid}a dalam kitab tafsir al-Qur’an al-H{aki>m

menggunkan metode penafsiran tahli>li>, yaitu sebuah metode penafsiran al-

Qur’an yang mencoba untuk menguraikan berbagai aspek, yang terkandung

di dalam sebuah ayat sesuai dengan keahlian dan kecenderungan dari seorang

mufasir dengan tetap mengikuti tertib susunan ayat-ayat al-Qur’an .76

Adapun sistematika penulisannya Syekh Rasyi>d Rid}a dalam kitab

tafsir al-Qur’an al-H{aki>m itu sendiri mengikuti tertib susunan mushafi

71
Muhammad Husayn al-Dzahabi>, at-Tafsi>r wa al-Mufassiri>n, vol. 2, (Kuwait: Da>r
al-Nawa>dir, 2010M/1431H), hlm. 578.
72
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, Cet III, (Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2014),
hlm. 274.
73
Muhammad Husayn al-Dzahabi>, at-Tafsi>r wa al-Mufassiri>n, vol. 2, (Kuwait: Da>r
al-Nawa>dir, 2010M/1431H), hlm. 578.
74
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hlm. 95.
75
Ibid, hlm. 94.
76
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami al-Qur’an, (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 379.
46

yaitu menyusunnya berdasarkan susunan ayat dan surah dalam mushaf al-

Qur’an, yang dimulai dari surah al-Fati>h}ah dan berakhir pada surah al-

Na>s.

c. Corak Penafsiran

Corak penafsiran yang menonjol dalam kitab tafsir al-Qur’an al-

H{aki>m adalah adabi> al-ijtima>’i> ialah tafsir yang berorientasi pada

sastra, budaya dan kemasyarakatan, bahkan dikatakan bahwa Muhammad

‘Abduh adalah tokoh yang mempelopori corak tafsir adabi> al-ijtima>’i> .77

Lewat karyanya tersebut, upaya Syekh Rasyi>d Rid}a untuk membangun

pondasi kebangkitan umat Muslim saat itu benar-benar terlihat. Ia mengkritik

secara tajam budaya taqli>d yang dianggapnya sudah mengakar dengan kuat

dan ikut berperan terhadap kemunduran peradaban umat Islam saat itu.

Menurutnya, umat Muslim lebih memilih pendapat dari masing-masing

mazhabnya daripada mengikuti al-Qur’an sebagai petunjuk utama dalam

segala aspek kehidupannya. Oleh karena itulah melalui Tafsir al-Qur’an al-

H{aki>m Syekh Rasyi>d Rid}a mencoba menumbuhkan kembali semangat

umat Muslim dalam bidang keilmuwan mereka sehingga mengantarkan

mereka pada peradaban yang lebih maju sebagai representasi dan umat yang

terbaik.78

C. Penafsiran Ayat-ayat Tentang Rukhsah

b. Tayamum Sebagai Rukhsah dalam Bersuci

77
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hlm. 97.
78
Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir, Penerjemah: Faisal Saleh dan Syahdianor, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2006), hlm. 273.
47

Tayamum secara bahasa berarti menuju atau menyengaja. Orang-orang

ُ ‫ تَيَ َّم ْم‬yang artinya aku menuju sesuatu, yaitu ia


Arab biasa mengatakan ‫ت ال َش ْي َء‬

sengaja menuju kepadanya.79 Sedangkan secara istilah, kata tayamum berarti

sebuah cara bersuci dengan mengusapkan tanah ke wajah dan tangan sebagai

pengganti kewajiban berwudu atau mandi dengan ketentuan tertentu. 80 Dalam

al-Qur’an, kata tayamum disebutkan sebanyak tiga kali.81 Satu di antaranya

mengacu pada makna tayamum secara bahasa, yaitu pada Q.S. al-Baqarah

[2]: 267. Sedangkan dua ayat yang lain mengacu pada maknanya secara

istilah, yaitu Q.S. An-Nisa> [4]: 43 dan Q.S. al-Ma>idah [5]: 6. Dua ayat

yang terakhir inilah yang akan dijadikan objek pembahasan oleh penulis

dalam kajian ini, karena kata tayamum pada dua ayat tersebut mengacu pada

maknanya secara istilah.

Berikut ini redaksi dari Q.S. An-Nisa> [4]: 43 dan Q.S. al-Ma>idah [5]:

6:

ِِ
َ‫ِّساء‬
َ ‫َح ٌد ِّمن ُكم ِّم َن الْغَائط أ َْو اَل َم ْستُ ُم الن‬ َ ‫ َوإِن ُكنتُم َّم ْر‬...
َ ‫ض ٰى أ َْو َعلَ ٰى َس َف ٍر أ َْو َجاءَ أ‬
‫ إِ َّن اللَّهَ َك ا َن‬ ۗ ‫وه ُك ْم َوأَيْ ِدي ُك ْم‬
ِ ‫يدا طَيِّب ا فَامس حوا بِوج‬
ُ ُ ُ َ ْ ً ً ‫صع‬
ِ ‫َفلَم جَتِ ُدوا م اء َفَتي َّمم وا‬
َ ُ َ ً َ ْ
( ٤٣: ‫غ ُفورا )النساء‬
ً َ ‫َع ُف ًّوا‬
Artinya: “...Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah
yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”

79
Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi>, al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qur’a>n, vol. 6 (Bayru>t:
Muassasah al-Risa>lah, 2006 M/1427 H), hlm. 382.
80
Muhammad ibn al-Khati>b al-Sharbini>, Mughni> al-Muhta>j ila> Ma’rifah Ma’ani>
Alfa>z al-Minha>j, vol.1 (Bayrut: Dar al-Ma’rifah, 1997 M/ 1418H), hlm. 142.
81
Muhammad Fua>d al-Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m,
(al-Qahirah: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1364 H), hlm. 774.
48

‫َح ٌد ِّمن ُكم‬ َ ‫وإِن ُكنتُ ْم ُجنُبً ا فَ اطَّ َّه ُروا ۚ َوإِن ُكنتُم َّم ْر‬...
َ ‫ض ٰى أ َْو َعلَ ٰى َس َف ٍر أ َْو َج اءَ أ‬ َ
ً ِ‫ص ع‬
‫يدا طَيِّبً ا فَ ْام َس ُحوا‬ ِ
َ ‫ِّس اءَ َفلَ ْم جَت ُدوا َم اءً َفَتيَ َّم ُم وا‬
ِ ِ
َ ‫ِّم َن الْغَائ ط أ َْو اَل َم ْس تُ ُم الن‬
)٦ :‫ املائدة‬... ) ُ‫كم ِّمْنه‬ ُ ‫وه ُك ْم َوأَيْ ِدي‬
ِ ‫بِوج‬
ُُ
Artinya: :”...Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang0 air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang
baik (bersih)...”
Jika diperhatikan, baik Q.S. An-Nisa> [4]: 43 ataupun Q.S. al-Ma>idah

[5]: 6 tidak hanya sama-sama berbicara tentang tayamum, akan tetapi

keduanya juga memiliki redaksi yang serupa. Oleh karena itu, pada

pembahasan ini penulis tidak akan melakukan pembahasan tentang isi

kandungan dari Q.S. An-Nisa> [4]: 43 dan Q.S. al-Ma>idah [5]: 6 secara

terpisah, karena ketika penulis membahas Q.S. An-Nisa> [4]: 43, maka secara

otomatis pembahasan tentang Q.S. al-Ma>idah [5]: 6 juga ikut tercakup di

dalamnya.

Untuk mempermudah menganalisis penafsiran dari Imam Ibnu Kas\i>r

dan Syekh Rasyi>d Rid}a mengenai rukhsah dalam bersuci, penulis

mengkategorikan hal-hal yang menjadi penyebab bolehnya tayamum ke

dalam tiga kategori, yaitu sakit, safar dan ketiadaan air. Berikut penjelasan

dari masing-masing kondisi tersebut:

a. Sakit

Dalam tafsirnya Imam Ibnu Kas\i>r mengawali pembahasanya, ia

menjelaskan asbab al-Nuzul ayat ini, hal tersebut sebagaimana dapat difahami

dari ungkapan berikut ini:


49

‫ حدثنا قيس‬،‫ حدثنا أبو غسان مالك بن إمساعيل‬،‫ حدثنا أيب‬:‫وقال ابن أيب حامت‬
‫ نزلت يف رجل‬:‫ {وإن كنتم مرضى} قال‬:‫) عن جماهد يف قوله‬9( ‫عن خصيف‬
،‫ ومل يكن له خادم فيناوله‬،‫ كان مريضا فلم يستطع أن يقوم فيتوضأ‬،‫من األنصار‬
‫ هذا‬.‫ فأنزل اهلل هذه اآلية‬،‫فأتى رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم فذكر ذلك له‬
. ‫مرسل‬ 82

“Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku,


telah menceritakan kepada kami Abu Gassan Malik ibnu Ismail, telah
menceritkan kepada kami Qais ibnu Hafs, dari Mujahid sehubungan dengan
firman-Nya: Dan jika kalian sakit (An-Nisa: 43). Ayat ini diturunkan
berkenaan dengan seorang laki-laki dari kalangan Ansar yang sedang sakit,
karenanya ia tidak dapat bangkit untuk melakukan wudu, dan ia tidak
mempunyai seorang pembantu pun yang menyediakan air wudu untuknya.
Lalu ia menanyakan masalah tersebuk kepada Nabi saw, maka Allah
menurunkan ayat ini. Hadis ini mursal.”
Imam Ibnu Kas\i>r menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan

kata ‫ مرضى‬itu sendiri yakni sebagaimana perkataanya:

‫ فه و ال ذي خياف مع ه من اس تعمال املاء ف وات عض و أو‬،‫أم ا املرض املبيح لل تيمم‬


.‫ ومن العلماء من جوز التيمم مبجرد املرض لعموم اآلية‬.‫شينه أو تطويل الربء‬
83

“Adapun mengenai sakit yang membolehkan seseorang bertayamum adalah


sakit yang mengkhawatirkan akan matinya salah satu anggota tubuh, atau
sakit yang bertambah parah, atau sembuhnya bertambah lama jika
menggunakan air. Tetapi ada ulama yang membolehkan bertayamum hanya
karena alasan sakit saja, berdasarkan keumuman makna ayat ini.
Dari perkataan Imam Ibnu Kas\i>r diatas dapat diketahui bahwa Imam

Ibnu Kas\i>r memahami kondisi sakit disini yakni ketika sakitnya itu yang

akan mengakibatkan matinya salah satu anggota tubuh, atau sakitnya itu

82
al-Ima>m al-Ha>fiz} ‘Ima>d al-Di>n Abi> al-Fida> Isma>’i>l bin kas\i>r al-Qarsyi> al-
Damasyqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, vol. 1 (al-Qa>hirah: Da>r Ibnu al-Jauzi>, 2009),
hlm. 202.

83
Ibid
50

bertambah parah, ataupun juga sembuhnya menjadi lama ketika

menggunakan air, maka apabila sakitnya itu biasa saja dan tidak akan

mengakibatkan matinya salah satu anggota tubuh, atau sakitnya tersebut

bertambah parah menurut Imam Ibnu Kas\i>r tidak perlu bertayamum. Akan

tetapi ada sebagian ulama yang memaknai dari keumuman lafaz pada ayat ini

bahwasannya membolehkan untuk bertayamum bagi seseorang yang hanya

sakit biasa saja.

Sedangkan Syekh Rasyi>d Rid}a dalam mengawali pembahasannya ia

memulai melalui fakta bahwa di daerah seperti Arab Saudi dan sekitarnya,

penggunaan air dapat berakibat buruk bagi penderita dari beberapa jenis

penyakit tertentu. Hal tersebut sebagaimana dapat di pahami dari ungkapan

berikut ini:

‫ وال س يما يف احلج از وغ ريه من جزي رة‬،‫والش أن فيهم ا تعس ر اس تعمال املاء‬...
...‫ وقد يكون املاء ضارا باملريض كبعض األمراض اجللدية والقروحز‬،‫العرب‬
84

“yang menjadi persoalan ulama dalam hal ini adalah sullitnya


penggunaan air bagi orang yang sedang sakit ataupun safar, terlebih lagi di
daerah Hijaz dan sekitarnya penggunaan air terkadang justru berbahaya bagi
orang yang sakit seperti halnya pada sebagian penyakit kulit dan bisul.”
Syekh Rasyi>d Rid}a juga menambahkan, bahwa kata ‫ مرضى‬mencakup

semua kondisi yang dikhawatirkan dapat berdampak negatif bagi

penderitanya seperti penggunaan air ketika suhu udara sangat dingin atau

ketika terdapat luka pada tubuh. Dalam hal ini Syekh Rasyi>d Rid}a

mendasarkan penafsirannya pada asbab al-Nuzul dari Q.S. An-Nisa> [4]: 43

84
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 5, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 96.
51

yang menjelaskan bahwa ayat tersebut turun sebagai keringanan bagi para

sahabat yang junub ketika di tubuh mereka terdapat banyak luka. Di samping

itu, Syekh Rasyi>d Rid}a juga menukil riwayat dari ‘Amr ibn al-As tentang

bolehnya bertayamum ketika suhu udara sangat dingin 85 yang dimana dengan

suhu dingin ini badan manusia bisa timbul beberapa penyakit yakni penyakit

asma (sesak napas), pilek alergi (rinitis alergi), serta alergi kulit karena udara

dingin seperti bentol-bentol atau gatal.

Dari uraian di atas terlihat sebuah perbedaan dalam penafsiran Syekh

Rasyi>d Rid}a dan Imam Ibnu Kas\i>r, yaitu dalam hal pembatasan kata

‫ مرضى‬yang terdapat pada Q.S. An-Nisa> [4]: 43 dan Q.S. al-Ma>idah [5]: 6.

Jika Syekh Rasyi>d Rid}a memberikan batasan-batasan yang lebih luas

terhadap penyakit yang menjadi penyebab bolehnya bertayamum, yaitu setiap

kondisi dapat berakibat negatif pada tubuh, maka Imam Ibnu Kas\i>r

cenderung memahami kata ‫ مرضى‬secara rinci terhadap penyakit yang menjadi

penyebab bolehnya bertayamum, yaitu ketika sakitnya tersebut bisa

mengakitbatkan anggota tubuhnya mati, ataupun sakitnya bertambah parah

ataupun juga penyembuhannya bertambah lama. Perbedaan ini akan

berpengaruh ketika penyakit yang diderita ternyata menimbulkan dampak

yang tidak sampai mengakibatkan anggota tubuh menjadi mati, atau hal-hal

lain yang tidak sampai mengakibatkan hilangnya nyawa, anggota badan atau

bertambah parahnya penyakit tersebut. Jika menggunakan apa yang telah

disepakati oleh kebanyakan ulama tentunya hal-hak yang tidak terdapat dalam

85
Ibid, hlm. 130.
52

perincian mereka tidak dapat dikategorikan sebagai penyebab bertayamum

sebagaimana ditegaskan oleh al-Razi> dalam tafsirnya.86 Kesimpulannya

tentu berbeda dengan penafsiran dari Syekh Rasyi>d Rid}a yang memahami

kata ‫ مرضى‬sebagai setiap kondisi yang dapat berakibat negatif pada tubuh.

Penafsiran dari Syekh Rasyi>d Rid}a di atas setidaknya semakin

memperjelas pengaruh dari cara pandang Muhammad ‘Abduh dalam

penafsiran Syekh Rasyi>d Rid}a yang cenderung memahami suatu ayat

secara umum dan mutlak sesuai dengan redaksi jika memang ia tidak

ditemukan ayat atau dalil yang dapat digunakan untuk membatasi keumuman

ayat tersebut.87 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika Syekh

Rasyi>d Rid}a memahami menurut keumuman lafaz dari suatu ayat, maka

tidak demikian halnya dengan Imam Ibnu Kas\i>r.

b. Safar

Menurut Imam Ibnu Kas\i>r dalam penafsirannya mengenai tayamum

dalam kondisi safar, ia menjelaskan bahwa safar sama halnya dengan orang

yang sakit boleh untuk bertayamum. Dalam perkataanya Imam Ibnu Kas\i>r:

88
.‫ وال فرق فيه بني الطويل والقصري‬،‫والسفر معروف‬
“Mengenai safar atau bepergian, tidak ada bedanya antara jarak yang jauh dan
jarak yang dekat.”
86
Fakhr al-Di>n al-Razi>, Mafa>ti>h} al-Ghayb, vol. 10 (Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1981
M/1401 H), hlm. 115.
87
M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), hlm. 118.
88
al-Ima>m al-Ha>fiz} ‘Ima>d al-Di>n Abi> al-Fida> Isma>’i>l bin kas\i>r al-Qarsyi> al-
Damasyqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, vol. 1 (al-Qa>hirah: Da>r Ibnu al-Jauzi>, 2009),
hlm. 202.
53

Imam Ibnu Kas\i>r menyatakan sebagaimana perkataannya diatas

bahwasanya bertayamum bagi orang yang safar tidak mempersalahkan jarak

safarnya, antara jarak yang jauh dan jarak yang dekat menurut Imam Ibnu

Kas\i>r boleh bertayamum.

Adapun menurut Syekh Rasyi>d Rid}a dalam penafsirannya mengenai

tayamum dalam kondisi safar, ia mengutip perkataan dari gurunya, yiatu

Muhammad ‘Abduh sebagai berikut:

‫ املع ىن أن حكم املريض واملس افر إذا أراد الص الة كحكم‬:‫ق ال األس تاذ اإلم ام‬
،‫ أو مالمس النساء ومل جيد املاء فعلى كل هؤالء التيمم فقط‬،‫احملدث حدثا أصغر‬
‫هذا ما يفهمه القارئ من اآلية نفسها إذا مل يكلف نفسه محلها على مذهب من‬
‫وراء القرآن‬
Berkata al-usta>dz al-ima>m89: “Maknanya adalah bahwasannya
hukum orang yang sakit dan orang yang berpergian adalah sama seperti orang
yang berhadas kecil dan menyentuh perempuan dan ia tidak menemukan air,
dalam arti apabila ia hendak melakukan salat maka keduanya cukup
bertayamum saja. Makna tersebut adalah makna yang difahami oleh orang
yang membaca ayat tersebut secara langsung tanpa membebani dirinya
dengan membawa kandungan maknanya pada mazhab tertentu di balik al-
Qur’an itu sendiri.”

Menurut Muhammad ‘Abduh, kondisi safar dengan sendirinya sudah

menjadi penyebab dibolehkannya bertayamum, sehingga setiap orang yang

sedang berpergian dapat bertayamum sekalipun terdapat air disekitarnya. Ia

membantah pendapat dari kebanyakan mufasir yang menjadikan ketiadaan air

89
Yaitu sebuah sebutan dari Syekh Rasyi>d Rid}a kepada Muhammad ‘Abduh
54

sebagai syarat dan boleh tayamum bagi seorang musafir. Berikut pernyataan

dari Muhammad ‘Abduh90:

‫ )وإن كنتم مرض ى أو على‬:‫ )فلم جتدوا م اء( بقول ه‬:‫واحتم ال رب ط قول ه تع اىل‬
‫ بل ممنوع ألبتة ـ كما تقدم ـ على أهنم ال يقولون به يف املرضى؛ ألن‬،‫سفر( بعيد‬
‫ فيكون ذكرهم‬،‫اشرتاط فقد املاء يف حقهم ال فائدة له؛ ألن األصحاء مثلهم فيه‬
‫ ف إن املقيم إذا مل جيد‬،‫ إن ذك ر املس افرين ك ذلك‬:‫ ونق ول‬،‫لغ وا يت نزه عن ه الق رآن‬
‫ فلوال أن السفر سبب للرخصة كاملرض مل يكن لذكره فائدة‬،‫املاء يتيمم باإلمجاع‬
“Kemungkinan adanya keterkaitan antara firman Allah (‫ )فلم تج††دوا م††اء‬dan
firman-Nya (‫ )وإن كنتم مرضى أو على سفر‬adalah jauh dari kenyataan bahkan hal
tersebut sama sekali tidak dapat dibenarkan sebagaimana telah diketahui pada
pembahsan sebelumnya (tentang penafsiran kata ‫ )مرضى‬di mana jumhur
ulama tidak mengatakan adanya keterkaitan antara orang yang sakit dengan
ketiadaan air, karena menjadikan ketiadaan air sebagai syarat bolehnya
bertayamum bagi orang sakit tentunya tidak berguna sama sekali. Jika
keadaannya demikian (orang yang sakit hanya boleh bertayamum apabila
tidak air), berarti sama sekali tidak ada perbedaan antara mereka dengan
orang-orang yang sehat (karea orang yang sehat juga dibolehkan bertayamum
apabila tidak ada air) sehingga penyebutan orang yang sakit pada ayat
tersebut tentunya menjadi sia-sia dan al-Qu’an terbebas dari hal yang sia-sia.
Dan kami katakan bahwasannya penyebutan kondisi safar pada ayat tersebut
adalah demikian halnya, jika orang-orang mukim yang tidak menemukan air
dapat bertayamum berdasarkan ijmak para ulama, maka seandainya safar itu
bukan penyebab rukhsah sama seperti orang yang sakit, tentunya penyebutan
kata safar pada ayat tersebut adalah sia-sia.”

Sederhananya, menurut Muhammad ‘Abduh apabila kondisi safar dan

sakit tidak dengan sendirinya menjadi penyebab rukhsah, akan tetapi harus

bergantung pada sebab lain yaitu ketiadaan air, maka penyebutan ‫ س†فر‬dan

‫ مرضى‬menjadi sia-sia, karena tidak akan ada perbedaan apapun antara orang

90
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 5, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 130.
55

yang sakit dengan orang yang sehat dan antara seorang musafir dan orang

yang mukim jika penyebab utama yang membolehkan mereka untuk

bertayamum adalah ketiadaan air. Dengan demikian Muhammad ‘Abduh

mempertanyakan sikap kebanyakan ulama yang menurutnya tidak konsisten

karena mereka menetapkan bahwa orang yang sakit boleh bertayamum

sekalipun terdapat air di sekelilingnya, sedangkan untuk seorang musafir

tidak demikian halnya.91

Muhammad ‘Abduh menambahkan bahwasannya dalam kondisi safar

sangat mungkin ditemukannya berbagai masyaqqah (kesulitan) sehingga

Islam menyediakan berbagai rukhsah di dalamnya seperti bolehnya

menjamak dan menqasar salat atau bolehnya berbuka puasa di bulan

Ramadan sebagai keringanan bagi seorang musafir. Terlebih lagi dengan

perkembangan teknologi yang ada saat ini justru menjadikan berwudu atau

mandi dalam safar justru lebih sulit daripada menqasar salat atau berbuka

puasa. Hal tersebut dikarenakan saat ini sebuah perjalanan sudah dapat

dilakukan dengan lebih nyaman dan ditempuh dengan waktu yang relatif

lebih singkat.92

Berkaitan dengan penafsiran rukhsah dalam kondisi safar, Muhammad

‘Abduh menyayangkan sikap taklid dari kebanyakan mufasir terhadap

91
Ulama lain yang juga mempertanyakan soal penetapan jumhur ulama yang menjadikan
ketiadaan air sebagai syarat bagi seorang musafir tetapi tidak bagi orang yang sakit adalah
S}iddi>q Hasan Kha>n. Hanya saja, apabila S}iddi>q Hasan Kha>n pada akhirnya mencoba untuk
tetap menguatkan pendapat jumhur, Muhammad ‘Abduh dan Syekh Rasyi>d Rid}a justru
mengkritik pendapat dari jumhur ulama tersebut dengan tajam. Lihat S}iddi>q Hasan Kha>n, Nayl
al-Mara>m Min Tafsi>r A>yat Ahka>m, (Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyyah al-Kubra>, 1929
M/1347 H), hlm. 150.
92
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 5, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 121.
56

mazhab mereka masing-masing, sehingga mereka terkesan mendahulukan

ketetapan mazhabnya daripada melihat dan memahami secara langsung

redaksi yang ada pada al-Qur’an itu sendiri. Hal tersebut memberikan

gambaran bagaimana Muhammad ‘Abduh berupaya untuk mengikis budaya

taklid yang menurutnya telah membuat umat Muslim mengalami kemunduran

di berbagai bidang.93

Secara umum pandangan Syekh Rasyi>d Rid}a mangenai rukhsah

tayamum dalam safar tidak berbeda dengan apa yang telah disampaikan oleh

Muhammad ‘Abduh. Akan tetapi, di akhir pembahasannya Syekh Rasyi>d

Rid}a menekankan bahwa cara yang lebih hati-hati adalah tetap berwudu

dalam kondisi safar jika memang tidak ada halangan apapun yang

memberatkannya untuk berwudu. Selain karena lebih dekat dengan

kebersihan dan kesehatan, bersuci menggunakan air juga membuat pelakunya

lebih bersemangat ketika beribadah.94

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara Imam

Ibnu Kas\i>r dan Syekh Rasyi>d Rid}a mengenai rukhsah bertayamum

dalam safar juga berpangkal pada pendapat dari masing-masing keduanya.

Jika Syekh Rasyi>d Rid}a berpendapat bahwa kondisi safar dengan

sendirinya adalah penyebab bolehnya seseorang untuk bertayamum

sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Muhammad ‘Abduh berdasarkan

kemutlakan redaksi kata safar itu sendiri dan kaitannya dengan rangkaian

kalimat sebelum dan sesudahnya tapi Syekh Rasyi>d Rid}a lebih

93
Ibid, hlm. 119-121.
94
Ibid, hlm. 129
57

mengutamakan untuk berwudu untuk lebih berhati-hati dan berwudu juga bisa

membersihkan diri ataupun juga bisa membuat pelakunya lebih bersemangat

dalam beribadahnya, maka Imam Ibnu Kas\i>r bependapat bahwasannya

bertayamum dalam safar membolehkannya juga sebagaimana seperti orang

yang sakit yang boleh bertayamum, akan tetapi Imam Ibnu Kas\i>r tidak

membedakan jarak safarnya seseorang antara jarak jauh ataupun jarak dekat

maka seorang yang safar itu boleh bertayamum.

c. Ketiadaan air

Berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh Syekh Rasyi>d Rid}a dan

Imam Ibnu Kas\i>r, bagian ini merupakan kelompok terakhir yang terkait

dengan pembahasan rukhsah dalam bersuci, yaitu mereka yang mukim dan

dalam keadaan sehat akan tetapi tidak menemukan air untuk bersuci dari

hadas kecil maupun hadas besar.95 Untuk jenis hadas yang pertama, yaitu

hadas kecil, ditunjukan oleh bagian ayat berikut ini:

‫َح ٌد ِّمن ُكم ِّم َن الْغَائِ ِط‬


َ ‫أ َْو َجاءَ أ‬
Artinya: “...atau salah seorang dari kaliah datang dari tempat buang air...”.

Adapun menurut Imam Ibnu Kas\i>r bagian ayat di atas berbicara

tentang penyebab terjadinya hadas kecil, yaitu keluarnya sesuatu qubul dan

dubur. Adapaun yang dimaksud dengan hadas dibagi menjadi dua juga, yang

pertama hadas kecil yang ditunjukan oleh bagian ayat berikut:

...‫َح ٌد ِمْن ُك ْم ِم َن الْغائِ ِط‬


َ ‫أ َْو جاءَ أ‬...

95
Ibid,vol. 6, hlm. 253
58

Artinya: “...atau seseorang di antara kalian datang dari tempat buang


air....” (An-Nisa: 43)

Menurut Imam Ibnu Kas\i>r bagian ayat di atas berbicara tentang

penyebab terjadinya hadas kecil, ditunujukan dengan kata al-Gha>it} yang

maksudnya adalah tempat yang tenang, kemudian kata tersebut dipinjam

untuk menunjukkan pengertian tempat buang air kecil.96

Sedangkan untuk jenis hadas yang kedua, yaitu hadas besar, ditunjukan

oleh bagian ayat berikut:

...َ‫الم ْستُ ُم النِّساء‬


َ ‫أ َْو‬...
Artinya: “...atau kalian telah menyentuh perempuan...” (An-Nisa: 43)

Imam Ibnu Kas\i>r memahami bagian ayat ini yakni dari segi

pembacaannya, ada yang membaca lamastum (‫)لمس††تم‬, dan ada pula yang

membacanya la>mastum (‫)المس††تم‬. Ulama tafsir dan para imam berbeda

pendapat mengenai maknanya.

Pertama, mengatakan bahwa hal tersebut merupakan ungkapan kata

kinayah (sindiran) mengenai persetubuhan, karena berdasarkan firman Allah

swt yang lainnya, yaitu: 97

ِ ِ ‫وإِ ْن طَلَّ ْقتُم‬


...‫ضتُ ْم‬
ْ ‫ف َما َفَر‬
ُ ‫ص‬ َ ‫ضتُ ْم هَلُ َّن فَ ِر‬
ْ ‫يضةً فَن‬ ُ ‫وه َّن م ْن َقْب ِل أَ ْن مَتَ ُّس‬
ْ ‫وه َّن َوقَ ْد َفَر‬ ُ ُ َ
Artinya: “Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian
bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah

96
al-Ima>m al-Ha>fiz} ‘Ima>d al-Di>n Abi> al-Fida> Isma>’i>l bin kas\i>r al-Qarsyi> al-
Damasyqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (al-Qa>hirah: Da>r Ibnu al-Jauzi>, 2009), hlm. 203.
97
Ibid
59

menentukan maharnya, maka bayarlah separo dari mahar yang


telah kalian tentukan itu...” (Al-Baqarah: 237)
Pernyataan tersebut juga selaras dengan hadis dari Ibnu Abbas yang

menyatakan sehubungan dengan firman Allah swt: atau kalian telah

menyentuh perempuan (Q.S. An-Nisa [4]: 43) bahwa yang dimaksud dengan

la>mastum dalam ayat ini adalah peretubuhan. Sejumlah kalangan orang-

orang Arab mengatakan bahwa makna yang dimaksud dari ayat tersebut

adalah persetubuhan. 98

Kedua, mengatakan bahwa kata la>mastum pada ayat tersebut artinya

menyentuh atau melakukan kontak tubuh dengan perempuan secara langsung

(tanpa penghalang). Sebagaimana perkataan dari Abdullah ibnu Mas’ud ia

mengatakan bahwa al-lams ialah melakukan kontak tubuh dan mengedipkan

mata dengan perempuan. Hal ini juga di perkuat sahabat Ibnu Jarir, bahwa

Ibnu umar pernah melalukan wudu karena telah mencium istrinya. Ia

berpendapat bahwa perbuatan tersebut mengharuskan seseorang berwudu.

Menurutnya perbuatan tersebut termasuk al-limas.99

Pendapat yang mengatakan wajib wudu ketika menyentuh

perempuan secara langsung adalah pendapat dari Imam Syafi’i dan semua

sahabatnya serta Imam Malik, dan menurut riwayat yang terkenal dari Imam

Ahmad ibnu Hambal.100

Orang-orang yang mendukung pendapat ini mengatakan bahwa ayat

ini ada yang membacanya lamastum, ada pula yang membacanya la>mastum.
98
Ibid
99
Ibid, hlm. 203.
100
Ibid
60

Pengertian al-lams menurut istilah syara’ ditunjukan kepada makna

menyentuh atau memegang dengan tangan, seperti pengertian yang terdapat

di dalam firman-Nya:101

...‫طاس َفلَ َم ُسوهُ بِأَيْ ِدي ِه ْم‬


ٍ ‫ك كِتاباً يِف قِْر‬
َ ‫َولَ ْو َنَّزلْنا َعلَْي‬
Artinya: “Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu
mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka...” (Al-An'am
[6]: 7).
Yakni memegangnya dan menyentuhnya dengan tangan mereka. Pada

garis besarnya makna lafaz ini berdasarkan kedua penafsiran diatas tetap

merujuk kepada pengertian memegang dengan tangan. Mereka mengatakan,

“Menurut istilah bahasa, lafaz al-lams ditujukan kepada pengertian

memegang dengan tangan, sebagaimana ditujukan pula kepada pengertian

bersetubuh.” Salah seorang penyain mengatakan,102

... ‫ب الغِىَن‬
ُ ُ‫وأملست َكفي كفَّه أَطْل‬
ُ
"Telapak tanganku berjabatan tangan dengan telapak tangannya untuk
meminta kecukupan." Dza’fal al-khaza’i
Pendapat yang paling benar dari kedua pendapat diatas tentang makna

dari kata la>mastum ialah pendapat orang yang mengatakan bahwa yang

dimaksud Allah swt dalam firman-Nya, “Au-la>mastumun nisa>" ialah

persetubuhan, bukan makna lams lainnya. Karena ada sebuah hadis sahih dari

Rasulullah saw yang mengatakan bahwa beliau pernah mencium salah

seorang istrinya, lalu salat tanpa wudu lagi, sebagaimana hadis dari Siti

‘Aisyah:103
101
Ibid
102
Ibid
103
Ibid
61

‫ال ِميِّن القبل ةَ َب ْع َد‬


ُ َ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َين‬ ِ ُ ‫ َك ا َن رس‬:‫عن عائِ َش ةَ قَ الَت‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ ْ َ َْ
ِ ‫الْو‬
ُ ِ‫ مُثَّ اَل يُع‬،‫ضوء‬
104
َ‫ضوء‬
ُ ‫يد الْ ُو‬ ُ ُ
Artinya: “Dari Siti Aisyah. Juga dari Abu Rauq, dari Ibrahim At-Taimi, dari
Siti Aisyah Radhiyallahu Anhu yang mengatakan: Dahulu Nabi
Shallallahu'alaihi Wasallam pernah berkesempatan menciumku
sesudah wudu, kemudian beliau tidak mengulangi wudunya.”
Adapun menurut Syekh Rasyi>d Rid}a, bagian pada ayat rukhsah ini

berbicara tentang penyebab terjadinya hadas kecil, yaitu keluarnya sesuatu

qubul dan dubur. Ia menjelaskan bahwa kata ‫ غائط‬yang terdapat pada ayat di

atas pada dasarnya berarti tempat yang ketinggiannya lebih rendah jika

dibandingkan dengan tempat lain yang ada sekelilingnya seperti halnya

sebuah lembah. Karena sifatnya yang tertutup, maka tempat tersebut kerap

kali dijadikan sebagai tempat untuk membuang air besar ataupun kecil oleh

orang-orang Arab ketika itu. Sedemikian seringnya hal tersebut dilakukan

hingga terbentuklah makna kedua kata tersebut, yaitu sebagai sebuah

ungkapan yang mengacu pada tempat untuk membuang air, khususnya buang

air besar.105

Sedangkan untuk jenis hadas yang kedua, yaitu hadas besar, ditunjukan

oleh bagian ayat berikut ini:

َ‫الم ْستُ ُم النِّساء‬


َ ‫أ َْو‬
Artinya: “atau kamu menyentuh perempuan”

Syekh Rasyi>d Rid}a memahami bagian ayat sebagai penyebab hadas

besar, yaitu merupakan ungkapan kinayah dari bersetubuh sebagaimana yang

Ibid, hlm. 204.


104

Ibid, vol. 5, hlm. 118-119. Lihat juga Fakhr al-Di>n al-Ra>zi mafa>ti>h} al-Ghayb, vol.
105

10, hlm 115., hlm. 487. Lihat juga Wahbah Zuh}ayli>, al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa
al-Syari>’ah wa al-Manhaj, vol. 3, hlm. 84.
62

ia kutip dari penafsiran ibn ‘Abbas sekalipun ia mengakui bahwasannya kata

‫ لمس‬menurut arti yang hakiki adalah persentuhan antara kulit dengan kulit,

baik menggunakan tangan ataupun anggota tubuh yang lainnya. Akan tetapi,

menurutnya persentuhan kulit antara lawan jenis itu tidak membatalkan wudu

karena bagi Syekh Rasyi>d Rid}a tidak terdapat satupun hadis sahih yang

menjelaskan tentang hal tersebut, terlebih lagi terdapat sebuah hadis yang

diriwayatkan dan disahihkan oleh al-Tirmidzi dan Ibn Hajar al-‘Asqalani

dalam kitabnya yang berjudul Talkhi>s al-H{abi>r fi> Takhri>j Ah}a>di>s}

al-Ra>fi’i> al-Kabi>r dan Siti ‘Aisyah yang menjelaskan bahwa ia pernah

meletakan tangannya di kaki Nabi saw ketika nabi saw sedang melaksanakan

salat.106 Demikian juga sebaliknya, pada hadis lain yang diriwayatkan oleh

an-Nasai’ dijelaskan bahwa Nabi saw menyentuh ‘Aisyah yang sedang tidur

di hadapannya, agar ‘Aisyah bergeser dan memberikan ruang bagi Nabi saw

untuk melakukan sujud dalam salatnya.107 Dengan demikian menurut Syekh

Rasyi>d Rid}a jika menyentuh perempuan itu tidak membatalkan wudu,

maka kata mula>masah pada ayat tersebut tidak bisa difahami demikian.

Adapun mengenai rukhsah bertayamum bagi orang yang mukim yang

tidak menemukan air, maka tidak terdapat perbedaan antara Syekh Rasyi>d

Rid}a dan Imam Ibnu Kas\i>r perihal bolehnya bertayamum dalam kondisi

tersebut berdasarkan pemaknaan lahiriyah dari ungkapan ‫فلم تج††دوا مء ف††تيمموا‬

yang terdapat pada Q.S. An-Nisa [4]: 43 dan Q.S. al-Ma>idah [5]: 6. Selain

106
Ibn Hajar al-Asqalani, Talkhi>s al-H{abi>r fi> Takhri>j Ah}a>di>s} al-Ra>fi’i> al-
Kabi>r, (T.t: Muassasah Qurtubah, 1995 M/1416 H), hlm. 229.
107
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 6, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 256.
63

berpegang pada aspke lahiriyah ayat, baik Syekh Rasyi>d Rid}a atau pun

Imam Ibnu Kas\i>r juga mengutip beberapa riwayat untuk memperkuat

pendapat mereka mengenai hal tersebut. Syekh Rasyi>d Rid}a dan Imam

Ibnu Kas\i>r keduanya memperkuat pendapatnya dengan riwayat dari

‘Imra>n Ibn H}us}ain yang tidak mengikuti sala berjama’ah karena ia tidak

menemukan air untuk mandi. Kemudian, ketika Nabi saw mengetahui hal

tersebut, Nabi saw pun memerintahkannya untuk bertayamum sebagai

pengganti kewajiban mandi baginya dalam kondisi tersebut.108

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan mendasar yang

terjadi antara Syekh Rasyi>d Rid}a dan Imam Ibnu Kas\i>r dalam

menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tayamum sebagai rukhsah

dalam bersuci adalah penilaian terhadap pendapat ulama sebagai alat untuk

membatasi keumuman ayat- al-Qur’an. Syekh Rasyi>d Rid}a, ia tidak

menggunakan pendapat ulama untuk membatasi keumuman ayat al-Qur’an,

sehingga dalam beberapa hal ia membiarkan makna al-Qur’an sesuai dengan

keumuman redaksinya. Akan tetapi, bukan berarti Syekh Rasyi>d Rid}a sama

sekali tidak menggunakan pendapat ulama, ia tetap menggunakan pendapat

ulama sebagai penguat dari penafsirannya terhadap teks al-Qur’an atau

sebagai penguat dari hadis yang ia nukil. Sedangkan Imam Ibnu Kas\i>r

menggunakan hadis-hadis untuk membatasi dari keumuman dari ayat yang

ditafsirkan kemudian ia menggunakan pendapat ulama sebagai penguat dari

penafsriannya dan juga sebagai penguat dari hadis yang ia nukil. Kemudian,

108
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 5, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 127.
64

disamping perbedaan tersebut keduanya sepakat dalam hal menggunakan

hadis sebagai alat untuk membatasi keumuman ayat al-Qur’an sekalipun

dengan standar penilaian yang berbeda.

c. Qasar Sebagai Rukhsah dalam Salat

Qasar secara bahasa berarti meringkas atau dapat juga berarti

meninggalkan.109 Dua pengertian tersebut sebenarnya saling berkaitan, karena

dengan meringkas sesuatu berarti telah meninggalkan beberapa hal dari

sesuatu yang diringkas itu. Adapun ketika kata qasar dikaitkan dengan ibadah

salat, para ulama berbeda pendapat dalam memaknai maknanya. Menurut

mayoritas ulama, yang dimaksud dengan mengqasar salat adalah meringkas

rakaat dari salat rubba>iyyah, yaitu dari yang tadinya berjumlah empat rakaat

menjadi dua rakaat. Sedangkan sebagian ulama lainnya semisal al-Jas}s}a>s}

memahaminya dengan meringkas sifat salat itu sendiri, yaitu dengan

meninggalkan rukuk dan sujud yang kemudian diganti dengan isyarat saja

seperti halnya dalam salat khawf.110

Dalam al-Qur’an, penulis hanya menemukan satu ayat saja yang

berbicara tentang qasar dalam salat, yaitu Q.S. An-Nisa> [4]: 101 yang

darinya berpangkal berbagai uraian para mufasir perihal mengqasar salat.

Berikut redaksi dari Q.S. An-Nisa> [4]: 101 :

‫الص اَل ِة إِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَن‬


َّ ‫ص ُروا ِم َن‬ ُ ‫اح أَن َت ْق‬ ٌ َ‫س َعلَْي ُك ْم ُجن‬ ِ ‫يِف‬
َ ‫ض َر ْبتُ ْم اأْل َْرض َفلَْي‬ َ ‫َوإِ َذا‬
]٤:١٠١[ ‫ع ُد ًّوا ُّمبِينًا‬ ِ ِ ِ َّ ِ
َ ‫ين َك َف ُروا ۚ إ َّن الْ َكاف ِر‬
َ ‫ين َكانُوا لَ ُك ْم‬ َ ‫َي ْفتنَ ُك ُم الذ‬
109
Seperti dalam syarat ketiadaan air bagi seorang musafir untuk dapat bertayamum dan
ketika menetapkan syarat tertentu bagi penyakit yang dapat menjadi penyebab bertayamum.
110
Wahbah Zuh}ayli>, al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>’ah wa al-
Manhaj, vol. 3, (Bayru>t: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir,1991 M), hlm. 84.
65

Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah


mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut
diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu
adalah musuh yang nyata bagimu.”

Imam Ibnu Kas\i>r memahami potongan ayat tersebut yakni

meringankan, adakalanya dari rakaatnya, misalanya salat yang empat rakaat

dijadikan dua rakaat, seperti yang disimpulkan oleh jumhur ulama dari ayat

ini. Mereka menjadikannya sebagi dalil salat qasar dalam perjalanan,

sekalipun mereka masih berselisih pendapat mengenainya. Karena di antara

mereka ada yang mengatakan bahwa perjalan yang dilakukan harus

mengandung ketaatan, seperti berjihad, atau haji atau umrah, atau mencari

ilmu atau ziarah, atau juga yang lainnya yang semisal. Hal tersebut

sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ata dan Yahya, dari Malik, dari Ibnu

Umar, karena berdasarkan kepada makna lahiriah firman-Nya yang

mengatakan:111

ِ َّ ِ ِ ِ
َ ‫إ ْن خ ْفتُ ْم أَ ْن َي ْفتنَ ُك ُم الذ‬...
...‫ين َك َف ُروا‬
Artinya: “...jika kalian takut diserang orang-orang kafir...” (An-Nisa: 101).

Barangkali hal ini diinterpretasikan menurut kebanyakan yang terjadi di

lingkungan saat ayat ini diturunkan. Karena sesungguhnya pada permulaan

Islam sesudah hijrah, kebanyakan perjalanan yang mereka lakukan dipenuhi

oleh bahaya yang menakutkan. Bahkan mereka tidak beranjak meninggalkan

tempat tinggalnya melainkan untuk menuju ke peperangan tahunan, atau

111
al-Ima>m al-Ha>fiz} ‘Ima>d al-Di>n Abi> al-Fida> Isma>’i>l bin kas\i>r al-Qarsyi>
al-Damasyqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (al-Qa>hirah: Da>r Ibnu al-Jauzi>, 2009), hlm.
255.
66

sariyyah (pasukan) khusus, sedangkan keadaan lainnya merupakan perang

terhadap Islam dan para pengikutnya. Pengertian mantuq apabila

diungkapkan dalam bentuk prioritas, atau berdasarkan suatu kejadian, maka ia

tidak mempunyai subyek pengertian. Sama halnya dengan pengertian yang

terdapat di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:112

ِ ِ‫وال تُ ْك ِرهوا َفتياتِ ُكم علَى الْب‬...


ُّ َ‫غاء إِ ْن أ ََر ْد َن حَت‬
...ً‫صنا‬ َ ْ َ ُ َ
Artinya: “...Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian untuk
melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri mengingini
kesucian...” (al-Nur [24]: 33).
Adapun ketika keadaan sekarang aman dan tidak bahaya rukhsah qasar

salat ini masih bisa dilakukan ataupun di amalkan dalam kehidupan sehari-hari,

sebab rukhsah ini merupakan keringanan atau hadiah dari Allah swt bagi

hambanya. Selain dari itu juga rukhsah qasar salat ini juga pernah dilakukan

oleh Rasulullah saw disaat beliau dalam keadaan aman dan tidak ada serangan

dilain kasus juga Nabi saw pernah mengqasar ketika berangkat dari Madinah

menuju Mekah tanpa ada rasa takut. Maka dari itu rukhsah qasar salat masih

bisa dikerjakan walupun tidak ada serangan atau tidak ada rasa tajut semua ini

melihat dari yang dikerjakan oleh Rasulullah saw.113

Menurut pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad tidak disyariatkan

bagi bepergian harus dalam rangka taqarrub, melainkan boleh pula dalam

rangka bepergian yang mubah (tidak diharamkan), karena berdasarkan kepada

firman-Nya yang mengatakan:

112
Ibid, hlm. 256.
113
Ibid
67

ٍ ِ‫اضطَُّر يِف خَمْمص ٍة َغْير متَجان‬


... ٍ‫ف إِلِ مْث‬ ْ ‫فَ َم ِن‬...
ُ َ َ َ
Artinya: “...Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa...” (Al-Maidah [5]: 3).
Seperti halnya diperbolehkan baginya memakan bangkai bila dalam

keadaan darurat, tetapi dengan syarat hendaknya dia tidak bertujuan maksiat

dengan perjalanannya itu.114 Sedangkan pendapat dari Imam Abu Hanifah

bahwa perjalanan ini bersifat mutlak. Dengan kata lain, baik yang mubah

ataupun yang terlarang, sekalipun dia bepergian untuk tujuan membegal jalan

dan menakut-nakuti orang yang lewat (meneror). Hukum qasar diperbolehkan

baginya karena safar (perjalanan) diartikan mutlak.115

Adapun menurut Syekh Rasyi>d Rid}a menjelaskan ayat ini dengan

memilih pendapat dari gurunya, yaitu Muhammad ‘Abduh yang menyatakan

bahwa qasar yang dimaksud dalam Q.S. An-Nisa> [4]: 101 adalah qasar

dalam salat khawf berdasarkan bagian akhir dari ayat tersebut yang secara

jelas menunjukan syarat bagi adanya rukhsah mengqasar salat, yaitu pada

bagian ayat yang berbunyi:

‫ين َكانُوا لَ ُك ْم َع ُد ًّوا ُّمبِينًا‬ ِ ِ ِ َّ ِ ِ ِ


]٤:١٠١[
َ ‫ين َك َف ُروا ۚ إ َّن الْ َكاف ِر‬
َ ‫إ ْن خ ْفتُ ْم أَن َي ْفتنَ ُك ُم الذ‬...
Artinya: “... jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. An-
Nisa> [4]: 101).

Pada ayat di atas dijelaskan ketika kondisi khawatir akan gangguan

musuh. Hal tersebut diperkuat dengan isi kandungan ayat selanjutnya, yaitu

114
Ibid
115
Ibid
68

Q.S. An-Nisa> [4]: 102 yang menjelaskan tata cara melaksanakan salat dalam

kondisi khawf. Dengan demikian mengqasar salat dalam kondisi aman

tidaklah termasuk dalam cakupan Q.S. An-Nisa> [4]: 101 karena rukhsah

dalam safar yang kondisinya aman ditetapkan berdasarkan hadis Nabi saw.

Berikut kutipan dari pernyataan Muhammad ‘Abduh tersebut116:

‫والقصر املذكور يف اآلية األوىل هنا ليس هو قصر الصالة الرباعية يف السفر املبني‬
‫ وأم ا م ا هن ا فه و يف‬،‫ ف ذلك م أخوذ من الس نة املت واترة‬،‫بش روطه يف كتب الفق ه‬
‫صالة اخلوف كما ورد عن بعض الصحابة وغريهم من السلف‬
“qasar yang disebutkan pada ayat yang pertama di sini Q.S. An-Nisa>
[4]: 101 bukanlah berkaitan dengan mengqasar salat ruba>’iyyah dalam safar
yang telah jelas dijelaskan syarat-syaratnya dalam kitab-kitab fiqih
berdasarkan dari hadis-hadis yang mencapai derajat mutawatir. Adapun yang
dimaksud di sini adalah qasar dalam salat khawf sebagaimana penjelasan
yang datang dari sebagian sahabat dan yang lainnya dari ulama salaf.”
Berbeda dengan Imam Ibnu Kas\i>r, ia memahami sebagian ayat Q.S.

An-Nisa [4]: 101 berikut ini:

َ ‫َوإِذا‬
ِ ‫ضَر ْبتُ ْم يِف اأْل َْر‬
...‫ض‬
Artinya: “Apabila kalian bepergian di muka bumi...” (An-Nisa: 101).
Penjelasan dari ayat tersebut yaitu melakukan safar atau perjalanan ke

berbagai negeri, hal tersebut semakna dengan pengertian yang terkandung di

dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

ِ
ْ َ‫ض َيْبَتغُ و َن ِم ْن ف‬
‫ض ِل‬ ِ ‫ض ِربُو َن يِف اأْل َْر‬ ِ
َ ‫ َعل َم أَ ْن َس يَ ُكو ُن مْن ُك ْم َم ْرض ى َو‬...
ْ َ‫آخ ُرو َن ي‬
...‫اللَّ ِه‬

116
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 5, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 365-366.
69

Artinya: “...Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kalian orang-orang


yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah...” (Al-Muzzammil [73]: 20).
Adapun firman Allah swt dalam Q.S. An-Nisa [4]: 101:

ِ ‫الص‬
َّ ‫ص ُروا ِم َن‬
‫الة‬ ُ ‫اح أَ ْن َت ْق‬
ٌ َ‫س َعلَْي ُك ْم ُجن‬
َ ‫َفلَْي‬
Artinya: “...maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar salat (kalian)...” (An-
Nisa: 101)
Dari uraian diatas, dapat diketahui hal yang menyebabkan terjadinya

perbedaan penafsiran antara Syekh Rasyi>d Rid}a dan Imam Ibnu Kas\i>r.

Syekh Rasyi>d Rid}a , dalam hal ini lebih memilih untuk menyandarkan

penafsirannya pada makna yang difahami dari ayat tersebut secara tekstual,

dimana ia memahami kondisi Khawf sebagai syarat bagi musafir yang ingin

mengqasar salatnya. Sedangkan Imam Ibnu Kas\i>r, Ia berpendapat bahwa

rukhsah mengqasar salat dalam perjalanan (safar) boleh dilakukan baik itu

dalam keadaan aman atau takut (bahaya). Imam Ibnu Kas\i>r berpegang

kepada hadis-hadis yang menerangkan tentang Rasulullah mengqasar salat

ketika safar baik itu dalam keadaan takut (bahaya) atau dalam kadaan aman,

selain beragumen dengan hadis atau sunah, Imam Ibnu Kas\i>r juga memilih

pendapat para ulama yang mengatakan boleh mengqasar salat ketika takut

(bahaya) ataupun aman.

Penyandaran penafsiran pada makna tekstual ayat juga terlihat ketika

Syekh Rasyi>d Rid}a mencoba manafsirkan ungkapan ‫ ضربتم† فى االرض‬yang

terdapat pada Q.S. An-Nisa [4]: 101. Menurutnya, ungkapan tersebut

mengacu pada makna safar secara umum, yaitu mencakup jenis safar yang
70

memiliki tujua untuk ibada seperti menjalankan jihad dan haji atau juga

mencakup jenis safar yang tidak ada kaitannya denga ritual ibadah seperti

berdagang dan rekreasi. Hanya saja Syekh Rasyi>d Rid}a menyinggung

apakah kata safar pada ayat tersebut juga mancakup jenis safar yang bertujuan

untuk kemasiatan? Karena hal tersebut masih tercakup dalam keumuman dari

kata safar itu sendiri.117

Kemudian, berdasarkan pemahaman umum terhadap makna safar pada

Q.S. An-Nisa [4]: 101, Syekh Rasyi>d Rid}a juga tidak memberikan balasan

jarak tertentu bagi seorang musafir untuk dapat mengqasar salatnya.

Menurutnya, apabila orang tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai

seorang musafir, maka secara otomatis ia boleh mengqasar salatnya. Hal ini

tentu berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh mayoritas ulama bahwa batas

minimal dari jarak untuk menqasar salat adalah 16 farsakh atau setara dengan

89 km.118

d. Berbuka Sebagai Rukhsah dalam Puasa

Puasa atau s}iya>m secara bahasa berarti ‫ امساك‬atau menahan diri dari

sesuatu. Sedangkan secara istilah, puasa berarti menahan diri dari segala

sesuatu yang membatalkan dengan cara-cara yang telah ditentukan.119

117
Seperti halnya Abu Hanifah yang berpendapat bahwa seorang mukalaf boleh mangqasar
salat sekalipun perjalanan yang dilakukan adalah untuk tujuan kemaksiatan berdasarkan
keumuman dari Q.S. An-Nisa [4]: 101 tersebut. Lihat Wahbah Zuhayli, al-fiqh al-Islami> wa
Adillatuh, vol.2 (Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1985 M/1405 H), hlm. 323.
118
Wahbah Zuhayli, al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Shari>’ah wa al-
Manhaj, vol. 1, (Bayru>t: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir, 1999 M/1419 H), hlm. 502.
119
Maksudnya adalah dari segi waktu, dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari dan
juga dari segi palakunya, yaitu puasa hanya diwajibkan bagi seorang mukalaf saja berbeda dengan
zakat fitrah. Lihat Muhammad Ibn al-Khatib al-Sharbini, Mughni> al-Muh}ta>j ila> Ma’rifah
Ma’na> Alfa>z} al-Minha>j, vol. 1, (Bayru>t: Da>r al-Ma’rifah, 1997 M/1418 H), hlm. 616.
71

Di dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 184 dan 185 terdapat kewajiban

berpuasa di bulan Ramadan, ditunjukan dengan ayat berikut:

‫ين ِمن َقْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم‬ ِ َّ


َ ‫ب َعلَى الذ‬
ِ
َ ‫الص يَ ُام َك َم ا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَْي ُك ُم‬ ِ ِ َّ
َ ‫يَ ا أَيُّ َه ا الذ‬
َ ‫ين َآمنُ وا ُكت‬
]٢:١٨٣[ ‫ن‬َ ‫َتَّت ُقو‬
Artinya: “wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa
sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum
kamu agar kamu bertaqwa”.

Bersamaan dengan adanya kewajiban tersebut, maka Allah swt

memberikan rukhsah bagi orang-orang yang berada dalam kondisi dan situasi

tertentu untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan. Sebagaimana tertuang pada

ayat setelahnya, yaitu Q.S. Al-Baqarah [2]: 184 berikut ini:

ِ ‫ۚ وعلَى الَّ ِذ‬ ‫فَمن َك ا َن ِمن ُكم َّم ِريض ا أَو علَى س َف ٍر فَعِ َّدةٌ ِّمن أَيَّ ٍام أُخ ر‬...
ُ‫ين يُطي ُقونَه‬
َ َ َ ََ ْ َ ٰ َ ْ ً َ
... ‫ني‬ ٍ ‫فِ ْديَةٌ طَ َع ُام ِمس ِك‬
ْ
Artinya:“maka barangsiapa di antara kalian sakit atau sedang dalam
perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya)
sebanyak hari (yang ia tidak berpusa itu) pada hari-hari yang lain.
Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya, wajib
membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin.”

Pada ayat di atas, Allah swt menyebutkan tida kelompok orang yang

kesemuanya diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan, yaitu

orang yang sakit, orang yang sedang dalam safar, dan orang yang berat untuk

menjalankannya. Berikut ini penjelasan dari ketiga kelompok tersebut:

a. Orang yang sakit

Menerut Imam Ibnu Kas\i>r menjelaskan tentang rukhsah berbuka

puasa bagi orang yang sakit pada Q.S. al-Baqarah [2]: 183-185 ia
72

menafsirkan bahwa orang yang sakit boleh berbuka puasa jika sakitnya itu

membuat ia berat untuk berpuasa, dan orang tersebut harus mangqada atau

mengganti puasa yang ditinggalkannya itu di hari-hari yang lain sebanyak

yang ditinggalkannya.120

Imam Ibnu Kas\i>r mengkategorikan bolehnya orang sakit untuk

berbuka puasa itu tidak berbeda dengan apa yang telah ia sampaikan ketika

menjelaskan tentang penyakit yang menyebabkan bolehnya tayamum.

Menurutnya, kemutlakan kata ‫ مريض‬pada Q.S. Al-Baqarah [2]; 184 dan 185

saja sudah cukup untuk menunjukan bahwa sakit yang dimaksud oleh kedua

ayat tersebut adalah mencakup setiap jenis penyakit, tanpa dibatasi oleh

seberapa parah penyakit tersebut, atau juga dibatasi dengan adanya

Masyaqqah yang dirasakan oleh penderitanya.121

Sedangkan penjelasannya Syekh Rasyi>d Rid}a dalam hal ini tidak

berbeda dengan apa yang telah ia sampaikan ketika menjelaskan tentang

penyakit yang menyebabkan bolehnya tayamum. Menurutnya, kemutlakan

kata ‫ مريض‬pada Q.S. Al-Baqarah [2]; 184 dan 185 saja sudah cukup untuk

menunjukan bahwa sakit yang dimaksud oleh kedua ayat tersebut adalah

mencakup setiap jenis penyakit, tanpa dibatasi oleh seberapa parah penyakit

tersebut, atau juga dibatasi dengan adanya Masyaqqah yang dirasakan oleh

penderitanya. Untuk memperkuat pendapatnya, ia juga mengutip pendapat

120
al-Ima>m al-Ha>fiz} ‘Ima>d al-Di>n Abi> al-Fida> Isma>’i>l bin kas\i>r al-Qarsyi> al-
Damasyqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (al-Qa>hirah: Da>r Ibnu al-Jauzi>, 2009), hlm. 320.
121
Ibid, hlm. 322.
73

dari ‘Ata dan Ibn Sirin yang memahami kata ‫ مريض‬pada kedua ayat tersebut

secara mutlak untuk setiap jenis penyakit.122

Ia menambahkan bahwa sulit jika yang dijadikan tolak-ukurnya adalah

Masyaqqah karena banyak penyakit yang secara lahiriyah tidak menimbulkan

Masyaqqah apapun akan tetapi pada kenyataannya dengan berpuasa justru

menjadikan penyakitnya bertambah parah dikemudian hari.123

Dari uraian diatas, terlihat bahwa dalam hal ini, baik Syekh Rasyi>d

Rid}a dan Imam Ibnu Kas\i>r lebih berpepegang pada makna lahiriyyah ayat

ketimbang mengikuti pendapat dari mayoritas ulama. Dalam penafsiran

Syekh Rasyi>d Rid}a hal seperti ini memang kerap kali ditemukan,

mengingat bahwa ia tidak terikat dengan mazhab tertentu. Akan tetapi bagi

Imam Ibnu Kas\i>r, hal seperti ini dapat dikatakan sebagai sesuatu yang

positif guna mengurangi kesan fanatisme mazhab yang sudah terlanjur

melekat kuat bagi setiap mufasir yang memilih untuk menyajikan

penafsirannya.

b. Orang yang safar

Imam Ibnu Kas\i>r menjelaskan bahwa orang yang sedang safar pada

bulan Ramadan, kemudian safarnya tersebut menjadikan ia lelah atau

memberatkan puasanya maka menurut Imam Ibnu Kas\i>r orang tersebut

boleh berbuka puasa dengan konsekuensi harus mengganti atau mengqada di

122
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 2, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 150.
123
Ibid.
74

hari-hari yang lain sebanyak hari yang ditinggalkannya hal tersebut sesuai

dengan Q.S. al-Baqarah [2]: 184.124

ِ ِ ِ
َ ‫يضا أ َْو َعلَى َس َف ٍر فَع َّدةٌ م ْن أَيَّ ٍام أ‬
...‫ُخَر‬ ً ‫فَ َم ْن َكا َن مْن ُك ْم َم ِر‬...
Artinya: “... Maka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain...”

Berangkat dari pemahaman tentang kata safar yang disebutkan secara

mutlak pada dua ayat tersebut. Imam Ibnu Kas\i>r tidak memberikan batasan

tertentu dalam hal jarak tempuh safarnya seseorang sehingga bolehnya

mengambil rukhsah dan ia juga tidak menerangkan safarnya itu dalam

keta’atan kepada Allah atau safar dalam kemaksiatan yang membolehkan

seseorang mengambil rukhsah. Pada intinya ia menegaskan bahwa bolehnya

seseorang boleh berbuka ketika dalam perjalan atau safar tapi ia

menganjurkan bagi orang yang kuat dalam safarnya maka lebih baik berpuasa

sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 184.125

‫وموا َخْيٌر لَ ُك ْم إِ ْن ُكْنتُ ْم َت ْعلَ ُمو َن‬


ُ ‫ص‬ُ َ‫ َوأَ ْن ت‬...
Artinya: “... Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.”

Sedangkan menurut Syekh Rasyi>d Rid}a berpendapat bahwa

keumuman kata safar justru mencakup hal tersebut. Menurutnya, yang

dijadikan ukuran disini adalah kata safar itu sendiri bukan tujuan yang

mendasari dilakukannya safar tersebut. Oleh karena itu, selagi sudah

termasuk dalam kategori musafir, seorang mukalaf boleh berbuka puasa

124
al-Ima>m al-Ha>fiz} ‘Ima>d al-Di>n Abi> al-Fida> Isma>’i>l bin kas\i>r al-Qarsyi>
al-Damasyqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (al-Qa>hirah: Da>r Ibnu al-Jauzi>, 2009), hlm.
321.
125
Ibid.
75

sekalipun safarnya didasari oleh perbuatan maksiat seperti merampok dan

lain-lain.126 Berangkat dari pemahaman tentang kata safar yang disebutkan

secara mutlak pada dua ayat tersebut. Syekh Rasyi>d Rid}a juga tidak

memberikan batasan tertentu dalam hal jarak perjalanan yang harus ditempuh

oleh seorang musafir untuk dapat mengambil rukhsah. Menurutnya, selagi

secara ‘urf ia dapat dikategorikan sebagai seorang musafir, maka ketika itu ia

boleh berbuka puasa.

Syekh Rasyi>d Rid}a menambahkan bahwa kategori safar itu sangat

bergantung pada ‘urf masing-masing tempat karena dengan kemajuan

teknologi yang ada saat ini, jarak perjalanan sejauh 16 farsakh sekalipun bisa

jadi hanya dinamakan bertamasya jika ditempuh dengan menggunakan

pesawat, sehingga tidak termasuk kategori safar. Oleh karena itu, dalam hal

ini menurutnya sangat mungkin adanya perbedaan ukuran dalam memahami

kata safar tersebut tergantung ‘urf yang berkembang di tempatnya masing-

masing.

c. Orang yang berat untuk menjanlankan

Berikut penggalan dari Q.S. al-Baqarah [2]: 184 tersebut:

ٍ ‫و َعلَى الَّ ِذين يُ ِطي ُقونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َع ُام ِمس ِك‬...


...‫ني‬ ْ َ َ
Artinya:“...dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya, wajib
membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin...”

Menurut Imam Ibnu Kas\i>r ia menjelaskan makna kata ‫يطيقونه‬

maksudnya ialah mengerjakannya dengan penuh masyaqat (berat). Bagi orang

126
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 2, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 151.
76

yang ingin puasa, maka kerjakanlah puasa Ramadan dan sebaliknya bagi

orang yang ingin berbuka, maka ia berbukalah puasa Ramadannya dengan

konsekuensi orang tersebut harus memberi makan seorang miskin sebagai

fidyah. Yaitu yang dimaksud dengan firman-Nya:

...‫ع َخْيًرا‬
َ ‫فَ َمن تَطََّو‬...
Artinya: “Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan.”
Yakni barang siapa yang memberi makan seorang miskin lagi, maka itulah

yang lebih baik baginya, tetapi berpuasa lebih baik bagi kalian dari pada

berbuka dan memberi makan seorang miskin.127

Didalam tafsirnya Tafsi>r al-Qur’an al-‘Adz}i>m Imam Ibnu Kas\i>r

memaparkan pendapat ulama-ulama salah satunya ulama Imam Syafi’i yang

berpendapat tidak wajib bagi orang lansia yang berbuka puasa pada bulan

Ramadan dengan memberi makan seorang miskin, mengingat kondisinya

lemah, tidak kuat melakukan puasa karena pengaruh usia yang sudah sangat

tua, maka tidak wajib baginya membayar fidyah, perihalnya sama dengan

anak kecil. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak sekali-kali

mernbebankan kepada seseorang melainkan sebatas kemampuannya.

Sedangkan pendapat yang sahih dan dijadikan pegangan oleh kebanyakan

ulama, yaitu wajib bagi orang lansia yang berbuka puasa pada bulan

Ramadan untuk membayar fidyah setiap hari yang ditinggalkannya. Seperti

127
al-Ima>m al-Ha>fiz} ‘Ima>d al-Di>n Abi> al-Fida> Isma>’i>l bin kas\i>r al-Qarsyi>
al-Damasyqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (al-Qa>hirah: Da>r Ibnu al-Jauzi>, 2009), hlm.
317.
77

penafsiran Ibnu Abbas dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf

berdasarkan qiraat orang-orang yang membacakan,

...ُ‫ين يُ ِطي ُقونَه‬ ِ َّ


َ ‫ َو َعلَى الذ‬...
Artinya: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa).” 128
Termasuk juga kedalam pengertian ‫يطيقونه‬ (yang berat

menjalankannya) ialah wanita yang sedang hamil dan yang sedang menyusui,

jika keduanya merasa khawatir terhadap kesehatan dirinya atau kesehatan

anaknya. Sehubungan denga keduanya para ulama berselisih pendapat.

Sebagian dari mereka mengatakan, keduanya boleh berbuka, tetapi harus

membayar fidyah dan qada. Menurut pendapat lainnya, keduanya hanya

diwajibkan membayar fidyah, tanpa ada qada. Pendapat yang lainnya juga

mengatakan bahwa yang wajib hanya qadanya saja, tanpa fidyah. Sedangkan

pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya boleh berbuka (tidak

puasa) tanpa harus membayar fidyah dan qada. Masalah ini Imam Ibnu

Kas\i>r telah dibahas secara rinci di dalam kitab Siyam yang Imam Ibnu

Kas\i>r pisahkan di dalam kitab yang lain.129

Sedangkan menurut Syekh Rasyi>d Rid}a ketika menafsirkan

penggalan dari Q.S. al-Baqarah [2]: 184 di atas, ia tidak menyinggung perihal

perbedaan qiraah terhadap Q.S. al-Baqarah [2]: 184. Akan tetapi ia lebih

tertarik untuk langsung menjelaskan arti dari ungkapan ُ‫ يُ ِطيقُونَ†ه‬itu sendiri.

Dalam penjelasannya, Syekh Rasyi>d Rid}a mengutip pendapat dari gurunya

128
Ibid.
129
Ibid, hlm, 318.
78

bahwa kata ‫ االيط†اق‬hanya digunakan oleh orang-orang Arab ketika mereka

hendak menunjukan batas terendah dari kemampuannya dalam melakukan

suatu hal. Sehingga, meskipun pada hakikatnya ia mampu untuk melakukan

hal tersebut, akan tetapi kemampuan itu harus dibarengi dengan kesulitan

yang luar biasa. Oleh karena itu menurut Muhammad ‘Abduh, ungkapan

ُ‫ يُ ِطيقُونَه‬yang terdapat pada Q.S. al-Baqarah [2]: 184 adalah mengacu kepada

para orang tua yang lemah ( ‫ ) الشيوخ الضعفاء‬atau kepada mereka yang sulit

diharapkan untuk sembuh dari penyakitnya.130

Kemudian, Syekh Rasyi>d Rid}a juga menambahkan bahwa ungkapan

ُ‫ يُ ِطيقُونَه‬adalah mushtaq dari ‫ طاقة الحبل‬yang berarti ketahanan sebuah tali jika

sebagiannya saling memintal dengan sebagian yang lain sehingga secara

bahasa memang kata tersebut mengandung makna kekuatan, hanya saja

kekuatan yang dimaksud di sana adalah kekuatan yang lemah sebagaimana

dijelaskan juga oleh al-Raghi>b.131 Untuk memperkuat apa yang telah

disampaikannya, Syekh Rasyi>d Rid}a menukil Q.S. Al-Baqarah [2]: 286

sebagai berikut:

... ‫ َربَّنَا َواَل حُتَ ِّم ْلنَا َما اَل طَاقَةَ لَنَا بِِه‬...
Artinya: “...Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa
yang tak sanggup kami memikulnya...”

Menurut Syekh Rasyi>d Rid}a ayat di atas tidak berbicara tentang

beban yang tak mampu dipikul, akan tetapi beban yang dapat

menggelincirkan seorang mukalaf sekalipun pada hakikatnya beban tersebut

mampu untuk dipikul olehnya. Kemudian, Syekh Rasyi>d Rid}a juga sempat
130
Ibid, vol. 2, hlm. 156.
131
Ibid, vol. 2, hlm. 156.
79

menyinggung mengenai perselisihan yang terjadi di kalangan ulama dalam

hal penetapan mansu>kh dan muh}kamnya bagian ayat tersebut. Akan tetapi,

dalam hal ini ia cenderung pada pendapat dari Ibn ‘Abbas yang menetapkan

bahwa bagian dari Q.S. Al-Baqarah [2]: 184 tersebut adalah muh}kam

berdasarkan sebuah kaidah :

‫الحيكم بالنسخ اذاامكن محل القول على االحكام‬


Artinya: “tidaklah suatu perkataan (ayat) ditetapkan dengan status naskh
apabila dimungkinkan membawanya pada status muh}kam.”132

Dengan demikian dapat difahami bahwa Syekh Rasyi>d Rid}a

memaknai ungkapan ُ‫ يُ ِطيقُونَه‬sebagai orang yang mampu untuk berpuasa akan

tetapi disertai dengan kesulitan yang luar biasa seperti para orang tua yang

lemah ( ‫) الش††يوخ الض††عفاء‬, mereka yang sulit diharapkan untuk sembuh dari

penyakitnya, wanita hamil dan mereka yang sedang menyusui.133

Dengan demikian tidak ada perbedaan penafsiran antara Syekh

Rasyi>d Rid}a dengan Imam Ibnu Kas\i>r dalam memahami kata ‫ يطيقونه‬yang

maknanya mengacu pada orang yang mampu untuk berpuasa akan tetapi

disertai dengan kesulitan yang luar biasa saat melaksanakannya.

Kemudian Imam Ibnu Kas\i>r dalam tafsirnya Tafsi>r al-Qur’an

al-‘Adz}i>m menjelaskan tentang perbedaan pendapat yang terjadi di

kalangan ulama dalam hal wajib dan tidaknya seorang yang berat menjalakan

puasa Ramadan untuk memberi makan orang miskin atau membayar fidyah.

Akan tetapi yang diambil menurut mayoritas ulama yang dijadikan pegangan

132
Ibid, vol. 2, hlm. 157.
133
Ibid, vol. 2, hlm. 157.
80

banyak ulama dan yang sahih yakni yang wajib untuk membayar fidyah atau

memberi makan seorang miskin sesuai yang di tinggalkannya.134

Adapun Syekh Rasyi>d Rid}a, sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya bahwa apabila ia menemukan sebuah redaksi ayat yang sifatnya

mutlak tanpa batasan tertentu, serta tidak juga ditemukan hadis sahih yang

secara tegas membatasi kemutlakan tersebut, maka biasanya Syekh Rasyi>d

Rid}a akan membiarkan kemutlakannya dan mengembalikannya pada

pengertian bahasa serta ‘urf (kebiasaan) yang berkembang di masing-masing

tempat. Menurutnya, dalam hal fidyah ini hendaklah disesuaikan dengan

ukuran normal sebuah makanan di daerah tersebut, yaitu tidak berlebihan dan

juga tidak kekurangan. Dengan demikian, yang dijadikan ukuran adalah

kebiasaan masing-masing daerah dalam menilai kelayakan makanan tersebut

dari segi kualitas dan kuantitasnya.135

e. Hikmah Ditetapkannya Rukhsah Munurut Imam Ibnu Kas\i>r dan

Syekh Rasyi>d Rid}a.

Bagian ini merupakan hikmah ditetapkannya rukhsah menurut

penafsiran Syekh Rasyi>d Rid}a dan penafsiran Imam Ibnu Kas\i>r. Lewat

pembahasan ini penulis ingin melanjutkan bahwa setiap penafsiran memiliki

keistimewaannya masing-masing yang tidak terdapat pada penafsiran yang

lain dan dengan keistimewaan tersebut tentunya akan semakin memperkaya

khazanah dari penafsiran itu sendiri. Berikut ini merupakan perincian dari

134
Ibid, hlm, 317.
135
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 2, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 155-156.
81

hikmah-hikmah penetapan sebuah hukum sebagaiman yang telah dijelaskan

oleh Imam Ibnu Kas\i>r dalam karya tasfsirnya yaitu Tafsi>r al-Qur’an

al-‘Adz}i>m dan Syekh Rasyi>d Rid}a dalam karya tafsirnya, yaitu Tafsir al-

Qur’an al-H{aki>m.

a. Hikmah di balik penetapan rukhsah Menurut Imam Ibnu Kas\i>r

Imam Ibnu Kas\i>r menjelaskan perihal hikmah di balik

penetapan rukhsah yang dihadiahkan Allah kepada hamba-Nya yakni

untuk mempermudah hamba-Nya untuk melaksanakan ibadah dalam

kondisi kesulitan. Karena hakikat dari seorang hamba semata-mata

hanya untuk beribadah kepada Allah swt dalam kondisi lapang maupun

sempit atau sulit akan tetapi dalam kondisi sulit atau sempit tersebut

Allah swt memberikan hadiah atau kasih sayangnya untuk

menggunakan rukhsah (kemudahan) dalam beribadah, seperti contoh

berbuka saat puasa ramadan bagi orang lansia, pekerja berat, dan ibu

menyusui, karena apabila mereka berpuasa pada siang hari panas terang

maka akan sangat menyebabkan kelelahan bagi dirinya bahkan sampai

menyebabkan kematian bagi seorang mukalaf tersebut. Oleh sebab itu

Allah memberikan rukhsah atau kemudahan untuk berbuka atau tidak

menjalankan puasanya dengan syarat harus mengganti di hari yang lain

atau membayar fidyah. Sebagaiman firmah Allah dalam Q.S. al-Hajj

[22]: 78 berikut ini:

... ‫ َو َما َج َع َل َعلَْي ُك ْم يِف الدِّي ِن ِم ْن َحَر ٍج‬...


Artinya: “Dan tidaklah Dia jadikan kesulitan bagimu dalam agama”
82

Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa didalam agama

tidak kesulitan bagi hambanya baik dalam beribadah atau dalam

bermuamalah. Pada intinya hikmah yang bisa diperoleh dari penetapan

rukhsah ini adalah untuk mempermudah dan memberi keringanan pada

seorang hamba atau mukalaf dalam melaksanakan suatu beribadahan

kepada Allah swt.

b. Hikmah di balik penetapan rukhsah Menurut Syekh Rasyi>d Rid}a

Pada akhir penjelasannya terhadap Q.S. al-Ma>idah [5]: 6, Syekh

Rasyi>d Rid}a mencoba menekankan perihal hikmah penting di balik

penetapan berbagai rukhsah dalam ajaran Islam yang kemudian ia

himpun dalam ungkapan ‘nafy al-h}araj min al-di>n wa ithba>t al-

yusr’. Ia mendasarkan pernyataannya tersebut pada Q.S. al-Hajj [22]:

78 berikut ini:

... ‫ َو َما َج َع َل َعلَْي ُك ْم يِف الدِّي ِن ِم ْن َحَر ٍج‬...


Artinya: “Dan tidaklah Dia jadikan kesulitan bagimu dalam agama”

Syekh Rasyi>d Rid}a menjelaskan bahwa kemudahan dalam

beragama adalah prinsip pokok dalam ajaran Islam,136 karena

menurutnya surah al-Hajj yang memuat tentang hal tersebut termasuk

dalam kelompok surah Makiyyah, sehingga apa yang ada di dalamnya

adalah bagian dari pokok-pokok ajaran Islam.137 Lebih lanjut, Syekh


136
Ketetapan tersebut juga telah menjadi pendapat mayoritas ulama. Lihat Nas}r Fari>d
Muhammad Was}il dan ‘Abd al-‘Azi>z Muhammad ‘Azza>m, Qawa>id Fiqhiyyah, Penerjemah
Wahyu setiawan, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 5.
137
Sebgaimana yang dijelaskan oleh Manna> al-Qat}t}a>n bahwa saru dari beberapa ciri
khas surah Makiyyah adalah berisi tentang dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dalam
83

Rasyi>d Rid}a menjelaskan bahwa makna dari kata ‫ حرج‬pada Q.S. al-

hajj [22]: 78 mangacu pada sebuah kondisi yang berpotensi untuk

menimbulkan kemudaratan yang lebih besar dibandingkan dengan

manfaatnya. Syekh Rasyi>d Rid}a mencontohkan perihal bolehnya

memakan babi atau bangkai dalam keadaan darurat, karena dengan

dilarangnya memakan bangkai atau babi secara mutlak dalam kondisi

yang demikian justru dapat berdampak negatif bagi setiap mukallaf,

yaitu dapat menyebabkan kematian baginya. Demikian juga dengan

berwudu atau berpuasa dalam kondisi sakit, di mana dalam kondisi

tersebut keduanya dapat berpotensi untuk menimbulkan kemudaratan

inilah yang menurut Syekh Rasyi>d Rid}a telah ditiadakan oleh Allah

swt dalam ajaran Islam.138

Syekh Rasyi>d Rid}a menjelaskan bahwa semua penetapan

rukhsah, baik dalam hal ibadah maupun mu’amalah, kembali kepada

pemeliharaan Allah terhadap kemaslahatan manusia itu sendiri, di mana

tujuan-Nya hanya untuk mempermudah bukan untuk mempersulit.

Karena itu Syekh Rasyi>d Rid}a tidak setuju dengan sebagian ulama

yang menurutnya telah mempersulit kemudahan yang Allah berikan

tersebut, yaitu dengan menentukan batasan atau syarat-syarat bagi

sebuah kemudahan yang datang dengan redaksi yang umum

sebagaimana terlihat dalam persoalan tayammum dan qasar salat.

Menurut Syekh Rasyi>d Rid}a, apabila tidak ada ayat atau riwayat

Islam. Lihat Manna> al-Qat}t}a>n, Maba>h}i>th fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, hlm. 59.
138
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 6, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.). hlm. 270.
84

yang secara tegas membatasi keumuman tersebut, maka harus

dikembalikan pada ‘urf yang berlaku di masyarakat, karena mereka

yang lebih mengetahui tentang kondisi lingkungan dan keadaan mereka

masing-masing, sehingga tidak muncul kesulitan lain di balik kesulitan

yang telah mereka alami.139

Syekh Rasyi>d Rid}a juga menegaskan bahwa hendaknya

pengetahuan kita tentang rukhsah menjadikan keimanan kita kepada

Allah swt semakin kuat, karena lewat rukhsah kita dapat mengetahui

betapa luasnya kasih sayang dan rahmat Allah, sehingga penetapan

rukhsah bukan hanya sebatas pengamalan lahiriyah akan tetapi juga

diharapkan dapat berpengaruh pada aspek batiniyah seorang hamba.

139
Ibid, hlm. 271.
BAB V

PENUTUP

f. Kesimpulan

1. Penyebab terjadinya perbedaan konsep rukhsah dalam ibadah antara kedua

mufasir ini yaitu berbeda dalam hal coraknya, yang pertama bercorak adabi> al-

ijtima>’i>, sedangkan yang kedua bercorak fiqih, corak ra’yi dan corak qira’at,

kemudian berbeda dari segi mazhabnya Syekh Rasyi>d Rid}a manganut mazhab

Hanbali, sedangkan Imam Ibnu Kas\i>r lebih kepada mazhab Syafi’i. Antara

kedua mufasir ini tidak sezaman dalam hidupnya sehingga dalam

menafsirkannya juga ada perbedaan, kemudian berbeda dari segi sumber

penafsirannya Syekh Rasyi>d Rid}a kaloborasi dari tafsi>r bi al- al-ma’s\u>r

dan tafsi>r bi ar-ra’yi sedangkan Imam Ibnu Kas\i>r sumber tafsirnya hanya

tafsi>r bi al- al-ma’s\u>r, untuk persamaan dari yakni keduanya sama-sama

menggunakan metode penafsiran tahli>li>, sama dari segi penafsirannya yaitu

menggunakan ayat-ayat yang lain yang salaing berkaitan, kemudian

menggunakan hadis-hadis yang shahih dan terakhir menggunakan pendapat para

ulama, dan persamaan yang terkahir yakni sama dari segi sistematika

penulisannya, Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh Rasyi>d Rid}a menafsirkan

seluruh ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan susunannya dalam Mushaf al-Qur’an.

2. Konsep rukhsah dalam ibadah menurut Syekh Rasyi>d Rid}a adalah suatu

keringanan atau dispensasi bagi seorang mukallaf untuk tidak melakukan dan

meninggalkan suatu kewajiban atau perintah agama, sebagian ataupun

85
seluruhnya karena adanya suatu sebab yang menuntut untuk itu (uzur). Adapun

menurut

85
86

Imam Ibnu Kas\i>r adalah merupakan hukum yang dibangun sebab adanya uzur

yang dimiliki manusia, atau hukum yang dibolehkan sebab adanya uzur yang

mana hukum perbuatan tersebut sebenarnya diharamkan bagi orang yang tidak

memiliki uzur.

3. Persamaan konsep rukhsah diantara kedua mufasir ini yakni telah sepakat bahwa

ayat-ayat berikut menjelaskan tentang rukhsah Q.S. An-Nisa [4]: 43, al-Maidah

[5]: 6, An-Nisa [4]: 101, al-Baqarah [2]: 184 dan 185, kemudian ketika

menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan rukhsah kedua mufasir ini selalu

memulai pembahasannya dengan berkonsentrasi pada kajian literal ayat, akan

tetapi berbeda ketika menafsirkan redaksi yang maknanya bersifat umum, Syekh

Rasyi>d Rid}a sering kali membatasi keumuman ayat tersebut dengan

mengembalikannya pada ‘urf (kebiasaan) yang berlaku di masing-masing

daerah. Sedangkan Imam Ibnu Kas\i>r seringkali menggunakan pendapat ulama

jumhur atau pendapat dari mazhab Imam Syafi’i untuk membatasi keumuman

ayat tersebut apabila ia tidak menemukan ayat yang lain atau riwayat yang dapat

digunakan untuk hal tersebut. Syekh Rasyi>d Rid}a membahas tentang aspek

hukum yang terkandung dalam ayat yang berkaitan dengan rukhsah, kemudian

memperkaya penafsirannya dengan menjelaskan hikmah-hikmah yang berkaitan

dengan penetapan rukhsah itu sendiri, yang bertujuan untuk memperkuat

keimanan terhadap Allah swt. Sedangkan Imam Ibnu Kas\i>r memfokuskan

kajiannya pada pembahasan fikih yang berakhir dengan sebuah kesimpulan

hukum saja.
87

g. Saran-saran

Dalam penulisan risalah ini, tentunya masih banyak kekurangan-kekurangan

yang perlu untuk disempurnakan. Kekurangan-kekurangan tersebut misalnya

minimnya reverensi yang digunakan dalam pencarian makna semantik. Di

samping itu dalam membahas Rukhsah dalam hal ibadah Studi Komparatif Tafsir

Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh Rasyi>d Rid{a Pada Q.S Al-Baqarah [2] Ayat 183-

185, Q.S An-Nisa> [4] Ayat 43, Dan Q.S An-Nisa> [4] Ayat 101, penulis hanya

mengambil penafsiran ulama-ulama yang masyhur saja, tanpa mengambil

penafsiran ulama yang lain lintas keilmuan.

Oleh karena itu, mengingat penelitian ini bukan akhir dari sebuah ilmu, maka

penulis menyarankan bagi siapa saja yang ingin meneliti lebih lanjut tentang

masalah ini untuk menambah reverensi-reverensi dan memperkaya pendapat dari

para ulama terkait judul tersebut sehingga akan diperoleh hasil yang lebih lanjut,

maka akan menambah khazanah keilmuan dan akan menghidupkan daya

intelektualitas di kalangan peneliti.


88

Daftar Pustaka
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Kairo: Dar al-
Kutub al-Hadi>tsah. 1976. jilid I.

______. at-Tafsi>r wa al-Mufassiri>n. vol. 2. Kuwait: Da>r al-Nawa>dir.


2010M/1431H.
______. At-Tafsir Wa Al-Mufassirin. Mesir: Maktabah Wahbah. 1985. Jilid II.

Al-Adawy, Ibrahim Ahmad. Rasyid Ridha al-Imamul Mujtahid. Kairo: Al-


Muassah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Ta’lif wal Anfa’ wa al-Nasyr. t.th.

______. Rasyi>d Rid}a al-Ima>m al-Muja>hid. Kairo: Maktabah Misr. 1964.

Al-Asqalani, Ibn Hajar. Talkhi>s al-H{abi>r fi> Takhri>j Ah}a>di>s} al-


Ra>fi’i> al-Kabi>r. T.t: Muassasah Qurtubah. 1995 M/1416 H.

Al-Ba>qi>, Muhammad Fua>d. al-Mu’jam al-Mufahras li alfa>z} al-Qur’a>n al-


Kari>m. al-Qahirah: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah. 1364 H.

Al-Damasyqi>, al-Ima>m al-Ha>fiz} ‘Ima>d al-Di>n Abi> al-Fida> Isma>’i>l


bin kas\i>r al-Qarsyi.> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. vol. 1. al-Qa>hirah:
Da>r Ibnu al-Jauzi>. 2009.

Al-Farmawi, Abd al-Hayy. Metode Tafsir al-Maudhui dan cara penerapannya.


terj. Rosihan Anwar. Bandung: Pustaka Setia. 2000.

______. Metode Tafsir Mawdhu>’i>. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996.

Al-Faqi, As’ad Karim. Agar Anak Tidak Durhaka. Jakarta: Gema Insani. 2005.

Al-Fayruza>ba>di>, Majd al-Di>n. al-Qa>mus al-Muh}i>t}. Bayru>t: Muassasah


al-Risa>lah. 2005M/1926H.

Al-Ghayb, Fakhr al-Di>n al-Razi> Mafa>ti>h}. vol. 10. Bayru>t: Da>r al-Fikr.
1981 M/1401 H.

Al-Ghazali, Imam. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. Cet. Ke-3. Jakarta: Akbar Media.
2008.

Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Rahasia Dibalik Shalat. Jakarta: Pustaka Azzam.


2005.
89

Al-Sharbini>, Muhammad ibn al-Khati>b. Mughni> al-Muhta>j ila> Ma’rifah


Ma’ani> Alfa>z al-Minha>. vol.1. Bayrut: Dar al-Ma’rifah. 1997 M/
1418H.

Al-Qaththan, Manna. Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Pustaka al-


Kautsar. 2004.

______. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an. terj. Mudzakir. Jakarta: Lintera Antara Nusa.
1990.

Al-Qurtubi>, Muhammad ibn Ahmad. al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qur’a>n. vol. 6.


Bayru>t: Muassasah al-Risa>lah. 2006 M/1427 H.

Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jilid 1. Jakarta: Gema Insani


Darul Fikir 2010.

Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir. Bandung: CV Pustaka Setia. 2005.

Cawidu, Harifudin. Konsep Kufr Dalam al-Qur'an, Suatu Kajian Teologis


Dengan Pendekatan Tematik. Jakarta: Bulan Bintang. 1991.

El-Sulthani, Mawardi Labay, Mudah dan Indahnya Syari’at Islam: Islam Agama
Kedamaian, Keselamatan dan Kebahagiaan, ttp; tnp. t.t.

Fatoni, Syamsul. “Hadis-hadis “Pilihan Berbuka Puasa atau Berpuasa” dalam


Perjalanan (Studi Ma’anil Hadis)”. Skripsi Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2009.

Hemdi, Yoli. Tata Cara Shalat lengkap yang dicintai Allah dan Rasulullah.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2018.

Husain, Fahmi. “Corak Pemikiran Hukum Islam Rasyi>d Rid}a”. Tesis S2


Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Universitas Islam Negeri. Jakarta. 2003
M.

Ilyas, Yunahar. Kuliah Ulumul Qur’an. Cet III. Yogyakarta: ITQAN Publishing.
2014.

Kartini. Metodologi Riset Sosial. cet. VII. Bandung: Mandar Maju. 1996.

Katsir, Ibn. Al-Bidayah Wa Al-Nihayah. Jilid XIV. Beirut : Dar Al-Fikr. 1990.

Kha>n, S}iddi>q Hasan. Nayl al-Mara>m Min Tafsi>r A>yat Ahka>m. Mesir: al-
Maktabah al-Tija>riyyah al-Kubra>. 1929 M/1347 H.
90

Mahmud, Mani’ Abd Halim. Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode


Para Ahli Tafsir. Penerjemah: Faisal Saleh dan Syahdianor. Jakarta, PT
Raja Grafindo. 2006.

Maswan, Nur Faizan. Kajian Diskriptif tafsir Ibn Katsir. Jakarta: Menara Kudus.
2002.

Miles, Matthew B. dkk. Qualitative Data Analysis: a Methods Sourbook. United


States of America: SAGE Publications Ltd. 2014.

Pusat Pembinaan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus


Besar Bahasa Indonesia. Jakrta: Balai Pustaka. 1994.

Risalam, Reva Hudan. Skripsi: “RukhsahDi Dalam al-Qur’an (Studi Komparatif


Atas Penafsiran Al-Qurtubi> Dan Penafsiran Rasyi>d Rid}a>)”. Jakarta:
UIN. 2016.

Rid}a, Muhammad Rasyi>d. Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m. vol. 5. Bayru>t: Da>r


al-Fikr. t.t..

Safrilsyah. Psikologi Ibadah dalam Islam. Banda Aceh: Naskah Aceh (NASA) &
Ar- Raniry Press. 2013.

Sakhi, Abdul. Panduan Praktis dan Lengkap Menuju Kesempurnaan Salat.


Yogyakarta: Risalah Zaman. 2016.

Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. Bogor: Kencana. 2003.

Shihab, Quraish. Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar.


Jakarta: Lentera Hati. 2006.

______. Kaidah Tafsir: Syarat. Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami al-Qur’an. Tanggerang: Lentera Hati. 2013.

______. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. Bandung: Pustaka Hidayah. 1994.

Surahmad, Winanno. Dasar dan Teknik Research. Bandung: Tarsito, t. t.

Syar’i, Makmur. “Akar Sejarah Pemikiran al-Sha>t}ibi Tentang rukhs}ah”.


Jurnal Islamica, vol 6, No. 1, September 2011.
91

Syibromalisi, Faizah Ali dan Azizy. Jauhar. Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern. ttp; tnp. t.t.

Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak Dalam Islam. Jilid 1. Jakarta: Pustaka
Amani. 2007.

Qardhawi, Yusuf. Konsep Ibadah Dalam Islam. Cet. Ke-2. Bandung: Mizan.
2002.

Wahid, Musthafa Abdul. As-Siratun Nabawiyyah li Ibnu Katsir. Jilid I. Beirut:


DarFikr. 1990.

Was}il, Nas}r Fari>d Muhammad dan ‘Azza>m, ‘Abd al-‘Azi>z


Muhammad. Qawa>id Fiqhiyyah. Penerjemah Wahyu Setiawan. Jakarta: Amzah.
2013.

Zuh}ayli>, Wahbah. al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>’ah wa


al-Manhaj. vol. 3. Bayru>t: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir.1991 M.

______. al-fiqh al-Islami> wa Adillatuh. vol.2 Bayru>t: Da>r al-Fikr. 1985


M/1405 H.

______. al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Shari>’ah wa al-Manhaj.


vol. 1. Bayru>t: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir. 1999 M/1419 H.
92
92

CURRICULUM VITAE
Nama : Ilham Abdul Ganie
Tempat, Tanggal Lahir : Garut, 4 September 1997
Agama : Islam
Alamat Asal : Jalan Pasar Baru, kp. BBK Lio Rt/Rw 02/03, Kel.
Ciwalen, Kec. Garut Kota, Kab. Garut, Jawa Barat.
E-mail : hilyakarima02@gmail.com
Nama Ayah : Ijang Saepudin
Nama Ibu : Yanti Supyanti
Riwayat Pendidikan :
• TK al-Hidayah, Garut
• SD Muhammadiyah 1, Garut
• Mts Darul Arqam Muhammadiyah daerah Garut
• MA Darul Arqam Muhammadiyah daerah Garut
• Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
Pengalaman Organisasi :
• HW MA Muhammadiyah Garut
• Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Garut
• Pimpinan Cabang Muhammadiyah Garut bidang LSBO
• IMTM Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah

Anda mungkin juga menyukai