RASYI<D RID{A PADA Q.S AL-BAQARAH [2] AYAT 183-185, Q.S AN-NISA>
RISALAH
Diajukan Kepada Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh kelulusan
Oleh:
Ilham Abdul Ganie
NIM: 17080391
Kepada Yth.
Mudir PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah)
di
Yogyakarta
Sesudah melakukan beberapa kali bimbingan baik dari segi isi, bahasa, maupun
teknik penulisan, dan setelah membaca risalah mahasiswa tersebut di bawah ini:
Maka selaku Pembimbing, kami berpendapat bahwa risalah tersebut sudah layak
diajukan untuk dimunaqosahkan.
Pembimbing,
i
ii
PENGESAHAN
NOMOR: 169.8/I.PUTM/F/VIII/2020
Risalah dengan judul : KONSEP RUKHSAH DALAM HAL IBADAH (STUDI
KOMPARATIF TAFSIR IMAM IBNU KAS|I<R DAN SYEKH RASYI<D
RID{A PADA Q.S AL-BAQARAH [2] AYAT 183-185, Q.S AN-NISA> [4]
AYAT 101 DAN Q.S AL-MA>IDAH [5] AYAT 6.)
Diajukan oleh:
1. Nama : Ilham Abdul Ganie
2. NIM : 17080391
Telah dimunaqosahkan pada hari: Senin, tanggal 10 Agustus 2020 dengan nilai:
A/B dan telah dinyatakan sah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
kelulusan.
PANITIA UJIAN MUNAQOSAH
Ketua Sidang/Penguji I Sekretaris Sidang
Penguji II
ii
iii
Dengan ini menyatakan bahwa risalah ini merupakan karya saya sendiri
dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
Perguruan Tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan saya dalam risalah ini
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam
daftar pustaka.
Penulis,
iii
iv
MOTTO
iv
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Risalah ini pemyusun persembahkan untuk:
Ibunda tercinta Yanti Supyanti yang telah memberikan kasih sayang tanpa batas dan
bekerja keras untuk kedua anaknya. Ketulusannya dalam setiap bait doa yang
dengan ridha-Nya. Semoga Allah swt senantiasa memberikan Ibunda kesehatan dan
keberkahan dalam setiap langkah hidup. Risalah ini juga penulis persembahkan
kepada Ayahanda Ijang saepudin yang telah kerja keras memberikan nafkah kepada
kami berdua semoga Allah membalas kerja kerasnya dalam mencari rezeki yang halal
untuk kami. Teruntuk adinda tercinta Hilya Karima Amanina yang juga memberikan
semangat dan doa kepada kandanya untuk mendapat hasil terbaik. Serta segenap
keluarga dan karib kerabat yang telah memberikan dukungan dalam berbagai macam
bentuk.
v
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memeberikan nikmat sehat dan
sempat sehingga penulis mampu menyelesaikan risalah ini. Salawat serta salam
Dalam Hal Ibadah (Studi Komparatif Tafsir Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh
Rasyi>d Rid{a Pada Q.S Al-Baqarah [2] Ayat 183-185, Q.S An-Nisa> [4] Ayat
101 Dan Q.S Al-Ma>idah [5] Ayat 6.)”, yang disusun guna memenuhi salah satu
bahwa penyusunan karya ini tidak akan berhasil diselesaikan tanpa dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun menghaturkan rasa terimakasih dan
Yogyakarta.
vi
vii
Yogyakarta.
diselesaikan.
5. Kepala Tata Usaha, Kepala Rumah Tangga dan Musyrif PUTM yang telah
masyarakat.
Semoga semua do’a, bantuan, dan dukungan yang diberikan dalam bentuk
apapun yang diberikan kepada penyusun mendapat balasan yang lebih besar di sisi
Allah SWT.
vii
viii
NIM. 17080391
I. Konsonan Tunggal
ب Bā' B Be
ت Tā T Te
ج Jīm J Je
د Dāl D De
viii
ix
ر Rā' R Er
س Sīn S Es
ف Fā' F Ef
ق Qāf Q Qi
ك Kāf K Ka
ل Lām L El
م Mīm M Em
ن Nūn N En
و Wāwu W We
ه Hā' H Ha
ي Yā' Y Ye
ٌِّدة
َ ُمَت َعد Ditulis Muta̕ ddidah
ix
x
ٌْمة ِ
َ حك Ditulis Ḥikmah
b. Bila Ta’ Marbūṭah diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan
c. Bila Ta’ Marbūṭah hidup atau dengan harakat fathah, kasrah dan
dammah ditulis t
َ Fatḥah Ditulis A
ِ Kasrah Ditulis I
ُ Ḍammah Ditulis U
V. Vokal Panjang
x
xi
VII. Hamzah
Namun hanya berlaku untuk hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata.
Apabila hamzah itu terletak di awal kata, hamzah tidak dilambangkan (dengan
َّت ِ
ْ أعد Ditulis U’iddat
ِ
ْلَئ ْن َش َك ْرمُت Ditulis La`in syakartum
xi
xii
ِ
القيَاس Ditulis Al-Qiyās
الس َماء
َ Ditulis As-Samā`
الش ْمس
َ Ditulis Asy-Syams
Pada dasarnya setiap kata Arab, baik itu fi’il, isim maupun huruf ditulis
terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab yang
sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harokat yang
dihilangkan, maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut ditulis dengan
X. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, namun
dalam transliterasi ini huruf kapital dipergunakan seperti apa yang berlaku dalam
EYD. Huruf kapital digunakan untuk menulis huruf awal sebuah nama diri dan
setiap permulaan kalimat. Apabila nama diri itu didahului oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf yang nama diri tersebut, bukan
xii
xiii
َو َما حُمَ ّم ٌد إالّ َر ُس ْو ٌل Ditulis Wa mā Muḥammadun illā rasūlun
ABSTRAK
xiii
xiv
sebagian ataupun seluruhnya karena adanya suatu sebab yang menuntut untuk itu
(uzur).
Perbedaan konsep rukhsah dalam ibadah dari kedua mufasir ini yaitu Ketika
menafsirkan kata atau redaksi yang menunjukan makna umum Syekh Rasyi>d
Rid}a sering kali membatasi keumuman ayat tersebut dengan mengembalikannya
pada ‘urf (kebiasaan) yang berlaku di masing-masing daerah. Sedangkan Imam
Ibnu Kas\i>r seringkali menggunakan pendapat ulama jumhur atau pendapat dari
mazhab Imam Syafi’i untuk membatasi keumuman ayat tersebut apabila ia tidak
menemukan ayat yang lain atau riwayat yang dapat digunakan untuk hal tersebut.
Sedangkan persamaan dari keduanya yaitu ketika menafsirkan ayat-ayat yang
terkait denga rukhsah baik Syekh Rasyi>d Rid}a maupun Imam Ibnu Kas\i>r,
selalu memulai pembahasannya dengan berkonsentrasi pada kajian literal ayat
seperti membahas kata safar, mari>d, dan sebagainya.
DAFTAR ISI
PENGESAHAN.....................................................................................................II
PERNYATAAN...................................................................................................III
MOTTO................................................................................................................IV
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................V
KATA PENGANTAR.........................................................................................VI
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN...........................................VIII
ABSTRAK.........................................................................................................XIII
DAFTAR ISI.....................................................................................................XIV
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................8
C. Tujuan dan Kegunaan...................................................................................8
D. Sistematika Pembahasan.............................................................................10
xiv
xv
xv
xvi
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
yang diridai dan disukai oleh Allah swt, baik berbentuk perkataan, perbuatan
zahir, atau perbuatan batin.1 Ibadah di dalam Islam itu harus berpedoman pada apa
yang telah Allah perintahkan dan ditetapkan serta apa yang telah diajarkan oleh
Nabi Muhammad saw kepada umat Islam, yang berlandaskan pada Kitab suci al-
Qur’an dan segala perbuatan, perkataan, dan ketetapan Nabi Muhammad saw atau
Hal yang demikian juga dikuatkan dengan firman Allah swt dalam surat yang lain
ِِ ِ ِ
( ٥ : البینة.....)الدِّين
َ َ َو َما أُم ُروا إِاَّل لَي ْعبُ ُدوا اللَّهَ خُمْلص
ُني لَه
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus.”4
1
Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Darul Fikir,
2010), hlm. 199.
2
Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, Cet. Ke-2, (Bandung: Mizan, 2002), hlm.
14.
3
QS. Al-Z{a>riya>t [51]: (56)
4
QS. Al-Bayyinah [91]: (5)
1
2
Dari pemaparan ayat di atas dapat kita dipahami bahwa, tujuan akhir dari
kehidupan dan semua aktifitas manusia yaitu penyerahan diri, pengabdian, secara
menyeluruh dan loyalitas terhadap ketentuan Allah swt, sehingga terwujud sikap
dan prilaku yang lahir dari rasa yakin akan pengabdian kepada Allah swt. Ibadah
juga motivasi, dorongan, semangat hidup, yang bertujuan mendapat ridha Allah
swt.5
Secara garis besar, ada dua pembagian ibadah dalam Islam yaitu:
1. Ibadah mahda atau ibadah khusus yakni (ibadah yang ketentuannya pasti) yang
ditetapkan oleh Allah swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh
Rasul-Nya, akan tetapi terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat
2. Ibadah ghairu mahda atau ibadah umum yaitu semua perbuatan yang
Ruang lingkup ibadah dalam Islam itu sangat luas sehingga mencakup
keseluruhan perilaku yang dicintai dan diridai oleh Allah swt. Ibadah yang wajib
dilaksanakan dalam kehidupan manusia salah satunya adalah salat dan puasa.
Safrilsyah, Psikologi Ibadah dalam Islam, (Banda Aceh: Naskah Aceh (NASA) & Ar-
5
Salat merupakan ibadah yang paling pertama yang Allah wajibkan dan
amalan yang paling pertama yang dihisab di hari kiamat. 7 Sebagaimana firman
Allah swt,
Salat juga merupakan tiang agama.9 Fungsi tiang bagi sebuah bangunan
tersebut agar tidak roboh. Begitu pula halnya dalam beragama. Salat sebagai
tiangnya agama berperan penting sebagai penegak agama. Yang dimaksud dengan
tiang agama yakni ketika seseorang baik dalam mengerjakan dan mejaga salatnya
tidak sampai ketinggalan maka dari itu ia akan baik juga dalam agamanya baik
salatnya sampai ditinggalkan niscaya ia akan buruk juga dalam agama serta
kehidupannya.
Pada dasarnya kewajiban salat itu difardukan atas orang-orang yang telah
balig, namun sejak berumur 7 tahun anak harus dilatih untuk menjalankan ibadah
sejak masa pertumbuhannya, sehingga ketika anak tumbuh besar ia telah terbiasa
melakukan dan terdidik untuk mentaati Allah swt.11 Syarat sahnya salat yakni
7
Safrilsyah, Psikologi Ibadah dalam Islam, (Banda Aceh: Naskah Aceh (NASA) & Ar-
Raniry Press, 2013), hlm. 67
8
Q.S Al-Baqarah [2]: (43)
9
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Rahasia Dibalik Shalat, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), hlm.
23.
10
As’ad Karim al-Faqi, Agar Anak Tidak Durhaka, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 179.
11
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, Jilid 1, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2007), hlm. 167.
4
mukalaf harus suci dari hadas kecil dan besar.12 Oleh karena itu cara mensucikan
dari hadas kecil cukup dengan wudu sedangkan cara mensucikan dari hadas besar
وه ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِىَل الْ َمَرافِ ِق ِ ِ َّ ي ا أَيُّه ا الَّ ِذين آمنُ وا إِ َذا قُمتُم إِىَل
َ الص اَل ة فَا ْغس لُوا ُو ُج ْ ْ َ َ َ َ
وس ُك ْم َوأ َْر ُجلَ ُك ْم إِىَل الْ َك ْعَبنْي ِ ۚ َوإِن ُكنتُ ْم ُجنُبً ا فَ اطَّ َّه ُروا ۚ َوإِن ُكنتُم ِ وامس حوا بِرء
ُُ ُ َ ْ َ
ِ ِِ
ًِّس اءَ َفلَ ْم جَت ُدوا َم اء َ َح ٌد ِّمن ُكم ِّم َن الْغَائ ط أ َْو اَل َم ْس تُ ُم الن َ ض ٰى أ َْو َعلَ ٰى َس َف ٍر أ َْو َج اءَ أ َ َّم ْر
يد اللَّهُ لِيَ ْج َع َل َعلَْي ُكم ِّم ْن
ُ وه ُك ْم َوأَيْ ِدي ُكم ِّمْنهُ ۚ َما يُِر ِ يدا طَيِّبا فَامسحوا بِوج
ُ ُ ُ َ ْ ً ً صع
ِ َفَتي َّمموا
َ ُ َ
)٦ :ن ) املائدة َ يد لِيُطَ ِّهَر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهُ َعلَْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو
ُ َحَر ٍج َوٰلَ ِكن يُِر
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-
Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”14
Kewajiban lain yang harus di tunaikan oleh mukalaf yakni puasa Ramadan,
karena puasa Ramadan ini merupakan salah satu rukun Islam. Allah swt
ِ ِ] َش هر رمض ا َن الَّ ِذي أُن ِز َل ف٢:١٨٤[ ۖ إِن ُكنتُم َتعلَم و َن خي ر لَّ ُكم
ِ يه الْ ُق ْرآ ُن ُه ًدى لِّلن
َّاس َ َ َ ُْ ُْ ْ ْ ٌ َْ
ً ۖ َو َمن َك ا َن َم ِر ُص ْمه
يض ا أ َْو َّ ۚ فَ َمن َش ِه َد ِمن ُك ُم ان
ُ َالش ْهَر َف ْلي
ِ َات ِّمن اهْل َد ٰى والْ ُفرق
ْ َ ُ َ
ٍ َوبِّين
ََ
َْملُ وا الْعِ َّدة ِ
ِ يد بِ ُكم الْعسر ولتُك ِ ُ ۗ ي ِر ُخر ٍ ِ
َ َ ْ ُ ُ ُ يد اللَّهُ ب ُك ُم الْيُ ْسَر َواَل يُِر ُ َ َ َعلَ ٰى َس َف ٍر فَع َّدةٌ ِّم ْن أَيَّام أ
)١٨٥ -١٨٣ : ] (البقرة٢:١٨٥[ ن َ َولِتُ َكِّب ُروا اللَّهَ َعلَ ٰى َما َه َدا ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka
barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu
ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang
dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih
baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari
yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-
Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.15
Dalam kajian ini penulis memilih dua kitab tafsir sebagai objek
Ibnu Kas}ir. Adapun alasan yang mendasari penulis dalam memilih dua
1. Melihat dari corak kedua mufasir ini yang berbeda, maka penulis memilih kitab
penafsiran fiqhi>, sedangkan Syekh Rasyi>d Rid}a dalam Tafsir al-Qur’an al-
Rasyi>d Rid{a karena satu dari beberapa aspek pembaharuan yang diusung
oleh Syekh Muh}ammad ‘Abduh dan Syekh Rasyi>d Rid}a> adalah untuk
mazhab tertentu.
3. Dalam hal metodologi, penafsiran Syekh Rasyi>d Rid{a dan Imam Ibnu
dalam karya tafsirnya. Disamping itu, terdapat kesamaan lain pada penafsiran
aspek asba>b al-nuzu>l serta aspek kebahasaan (lughawi) suatu ayat.17 Hal
Karena fokus kajian dalam risalah ini tentang ayat ahkam, maka penulis
memilih ayat-ayat yang berkaitan dengan tema rukhsah dalam hal ibadah. Penulis
merasa pembahsan tentang rukhsah ini cukup penting untuk dikaji dikarenakan
16
Reva Hudan Risalam, “Rukhs}ah Di Dalam al-Qur’an (Studi Komparatif Atas Penafsiran
Al-Qurtubi> Dan Penafsiran Rasyi>d Rid}a>)” Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016,
hlm. 4.
17
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (ttp;
tnp, t.t) hlm.24
7
sehingga pengetahuan tentangnya mutlak harus dimiliki oleh setiap mukalaf agar
mendatangkan kemudahan.
dalam ajaran Islam, di antaranya adalah sebagai jalan tengah yang menjembatani
antara tujuan utama penciptaan manusia untuk beribadah kepada Allah dengan
kenyataan perihal keagamaan yang ada pada manusia itu sendiri. Keragaman
tersebut adakalanya muncul dari dalam diri manusia itu sendiri seperti perbedaan
kekuatan serta daya tahan tubuh, atau dapat juga muncul dari luar dirinya seperti
manusia untuk menjalankan ibadah kepada Allah swt. Karena itu lewat penetapan
rukhsah, tugas utama manusia untuk beribadah tetap dapat terjaga tanpa
bertujuan untuk memperkuat keimanan setiap umat Muslim mengenai sifat kasih
pemahaman para pembaca terhadap rukhsah ini menjadi benar bahwa rukhsah ini
membawa kepada peribadahan yang benar, selain itu juga supaya orang-orang
rukhsah ini.
8
ilmu tafsir.
Rukhah Dalam Ibadah (Studi Komparatif Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh
Rasyi>d Rid{a)”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka yang menjadi
1. Bagaimana konsep rukhsah dalam ibadah menurut Imam Ibnu Kas\i>r dan
penafsiran Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh Rasyi>d Rid}a dalam al-Qur’an ?
ibadah antara penafsiran Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh Rasyi>d Rid}a dalam
al-Qur’an ?
1. Tujuan Penelitian
tujuan untuk mengetahui konsep rukhsah dalam al-Qur’an pada Tafsi>r al-
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi Penulis
rukhsah.
3. Kegunaan Teoritis
antara penafsiran Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh Rasyi>d Rid}a dalam al-
Qur’an.
D. Sistematika Pembahasan
ini secara umum dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu pendahuluan, isi dan
penutup. Tiga bagian besar ini kemudian dikembangkan menjadi lima bab, yang
masing-masing bab terdiri dari beberapa kajian yang saling berkaitan satu dengan
yang lainnya.
masalah yang memuat perihal yang menjadi latar belakang penelitian ini, serta
pembahasan.
penyusunan risalah ini. Di samping itu, dalam bab ini juga dibahas kerangka
dalam penelitian ini sebagai pijakan dalam proses penelitian agar lebih terarah dan
jelas. Dalam bab ketiga ini dijelaskan tentang jenis penelitian, sumber data, dan
singkat dari Syekh Rasyi>d Rid}a selaku pengarang Tafsi>r al-Qur’an al-
H{aki>m dan juga biografi Imam Ibnu Kas\i>r selaku pengarang Tafsi>r al-
Qur’an al-‘Adz}i>m di bab keempat ini juga penulis menjelaskan penafsiran ayat-
ayat tentang rukhsah, yang terdiri dari penafsiran ayat-ayat tentang rukhsah dalam
bersuci, salat dan puasa dari Syekh Rasyi>d Rid}a dan Imam Ibnu Kas\i>r.
mufassir tersebut. Selain dari itu dari bab ini berisi hikmah dalam penetapan
rukhsah sebagai point penting yang menjadi pembeda antara penafsiran Syekh
A. Tinjauan Pustaka
Pada bagian ini penulis akan mecantumkan beberapa karya ilmiah terdahulu
yang dianggap relevan dengan penelitian yang penulis lakukan sekarang ini
sebagai bentuk relasi antara penelitian penulis dengan karya-karya lain yang
atau kitab yang tafsir yang dijadikan objek penelitian dalam risalah ini dan kajian
Buku karya Mawardi Labay el-Sulthani yang berjudul Mudah dan Indahnya
kemudahan yang ada dalam ajaran Islam seperti halnya pembayaran fidyah bagi
orang yang tak kuat lagi berpuasa dan beberapa persoalan lainnya. 18 Namun
menurut hemat penulis penjelasan dari tiap permasalahannya masih terlalu singkat
seperti ketika mengutip ayat yang tidak di jelaskan secara rinci kandungan
maknanya, asba>b al-nuzu>l ayat dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
pembahasan yang
18
Mawardi Labay el-Sulthani, Mudah dan Indahnya Syari’at Islam: Islam Agama
Kedamaian, Keselamatan dan Kebahagiaan, (ttp; tnp, t.t), hlm.26.
12
13
diambil oleh Mawardi Labay el-Sulthani sehingga tiap persoalannya tidak dapat
Jurisprudence and The Rule of Necessity and Need yang kini telah dicetak dalam
bentuk buku dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Hukum
menjelaskan mengenai apa dan bagaimana suatu keadaan dapat dikatakan sebagai
sebuah keadaan darurat serta hal-hal yang berkaitan dengan kondisi tersebut
Puasa atau Berpuasa” dalam perjalanan (Studi Ma’anil Hadis). Pada skripsi
hadis-hadis mengenai puasa dalam safar yang terdapat di dalam kutub al-sittah.
Namun sebagaimana judul dari skripsi tersebut, fokus pada skripsi karya Syamsul
Tulisan dalam jurnal Islamic karya Makmur Syar’i yang berjudul Akar
19
Lihat Syamsul Fatoni, “Hadis-hadis “Pilihan Berbuka Puasa atau Berpuasa” dalam
Perjalanan (Studi Ma’anil Hadis)”, Skripsi Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2009.
14
Tesis karya Lalu Fahmi Husain yang berjudul Corak Pemikiran Hukum
Islam Rasyi>d Rid}a. Dalam karya tersebut Lalu Fahmi Husain mencoba
digunakan untuk meposisikan Rasyi>d Rid}a pada satu dari tiga kelompok Islam
Studi Kritis atas Tafsir al-Manar. Dalam buku tersebut M. Quraish Shihab
menjelaskan secara mendetail mengenai biografi dari pengarang kitab Tafsi>r al-
Mana>r, yaitu Muhammad ‘Abduh dan Rasyi>d Rid}a, metode yang digunakan
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an serta hal-hal lain yang terkait dengan kitab
Tafsi>r al-Mana>r.22
membedakan Risalah ini dengan karya-karya tersebut adalah bahwa dalam risalah
ini penulis akan mengkaji ayat-ayat ahkam yang berkaitan dengan rukhsah dengan
membandingkan penafsiran dari Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh Rasyi>d Rid{a.
20
Makmur Syar’i, “Akar Sejarah Pemikiran al-Sha>t}ibi Tentang rukhs}ah” Jurnal
Islamica, vol 6, No. 1, September 2011, hlm. 87-103.
21
Lalu Fahmi Husain, “Corak Pemikiran Hukum Islam Rasyi>d Rid}a”, Tesis S2 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri, Jakarta, 2003 M.
22
Lihat M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar,
(Jakarta: Lentera Hati, 2006).
15
B. Kerangka Teoritik
gambaran mental dari objek, proses, pendapat (paham), rancangan (cita-cita) yang
telah dipikirkan.23 Agar segala kegiatan berjalan dengan sistematis dan lancar,
kegiatan yang matang tersebut terdapat suatu gagasan atau ide yang akan
perencanaan tadi bisa berbentuk ke dalam sebuah peta konsep. Pada dasarnya
konsep merupakan abstraksi dari suatu gambaran ide, atau menurut Kant yang
dikutip oleh Harifudin Cawidu yaitu gambaran yang bersifat umum atau abstrak
tentang sesuatu.24 Fungsi dari konsep sangat beragam, akan tetapi pada umumnya
hal. Karena sifat konsep sendiri adalah mudah dimengerti, serta mudah
dipahami.25
1. Soedjadi, mengartikan konsep ke dalam bentuk atau suatu yang abstrak untuk
istilah tertentu.
23
Pusat Pembinaan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakrta: Balai Pustaka, 1994), h. 520.
24
Harifudin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Qur'an, Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 13.
25
Idtesis.Com, Pengertian Konsep Menurut para Para Ahli, (Diposting Tanggal 20 Maret
2015). https://idtesis.com/konsep-menurut-para-ahli/ (Diakses; Tanggal 17 Agustus 2020, pukul
11.37 wib)
26
Ibid.
16
2. Bahri, konsep adalah suatu perwakilan dari banyak objek yang memiliki ciri-
atas adalah gambaran umum atau abstrak tentang perencanaan yang terungkap di
dalam al-Qur’an.
Adapun definisi kata rukhsah itu sendiri adalah sebuah masdar dari kata
etimologi kata rukhsah bermakna murah karena dari murah itu bisa menghasilkan
gambaran mental dari objek, proses, pendapat (paham), rancangan (cita-cita) yang
telah dipikirkan.28 Agar segala kegiatan berjalan dengan sistematis dan lancar,
Kant yang dikutip oleh Harifudin Cawidu pada dasarnya konsep merupakan
27
Majd al-Di>n al-Fayruza>ba>di>, al-Qa>mus al-Muh}i>t} (Bayru>t: Muassasah al-
Risa>lah, 2005M/1926H), hlm 620.
28
Pusat Pembinaan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakrta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 520.
17
abstraksi dari suatu gambaran ide, atau gambaran yang bersifat umum atau
1. Rukhsah Wajib.
asalnya haram. Karena tidak ada makanan lain, sedangkan jika tidak makan
wajib.
2. Rukhsah Sunnah
Misalnya, qashar shalat bagi orang yang telah mencapai perjalanan lebih dari
dua marhalah (versi Syafiiyah yang setara 82 KM) atau tiga marhalah (setara
142 KM, versi Hanafiyah). Atau berbuka puasa bagi musafir atau bagi orang
3. Rukhsah Mubah
Yakni rukhsah yang bisa dilakukan dan bisa ditinggalkan. Seperti akad
29
Harifudin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Qur'an, Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 13.
18
shalat dan berbuka puasa bagi musafir yang tidak mengalami masyaqqah.
5. Rukhsah Makruh
perjalanan yang belum memenuhi tiga marhalah. Menurut Imam Izuddin Ibn
marhalah. Sehingga akan lebih baik jika rukhsah qashar dilakukan apabila
lebih dari tiga marhalah. Karena selain memenuhi syarat yang ditetapkan
wudhu’ dengan tayamum ketika keadaan air dan dalam keadaan sakit.
19
dalam musafir.
waktu Zhuhur pada waktu ‘ashar dan mentakhirkan maghrib pada waktu
‘isya.
ketika dipaksa.
lain menurut Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas
tentang cara pengucapan lafaz - lafaz Al-Qur’an dan tentang arti dan makna dari
lafazh-lafazh tersebut, baik kata perkata maupun dalam kalimat yang utuh serta
30
Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kairo: Dar al-Kutub
al-Hadi>tsah, 1976), jilid I, hlm. 13-15
20
Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi
yang membahas tentang al-Qur’an dari segi makna yang terkandung di dalamnya
sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh Allah SWT sebatas kemampuan
manusia31
bahwa tafsir secara terminologis adalah keterangan dan penjelasan tentang arti
1. At-Tafsi>r bi al-Ma’s\u>r
ayat, dengan hadis atau dengan pendapat para sahabat. 32 Adapun contoh kitab
ath-Thabari (w. 310 H), Jâmi’ al-Baya>n fî Tafsi>r Al-Qur’a>n dan Abu al-
Fada>’ Isma>’i>l ibn ‘Amr ibn Katsi>r (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qur’a>n
al-‘Azhi>m.33
dasar yang benar, berpegangan pada kaidah-kaidah bahasa dan adat istiadat
dengan al-Qur’an atau dengan hadis dan tidak pula meninggalkan sama sekali
Muhammad ibn ‘Umar ar-Ra>zi (w. 606 H), Mafa>tih al-Ghaib dan Na>shir
Asra>r at-Ta’wi>l.35
34
Ibid, hlm. 278.
35
Ibid, hlm.274.
22
الص اَل ِة إِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَن َّ ص ُروا ِم َن ُ اح أَن َت ْقٌ َس َعلَْي ُك ْم ُجن ِ يِف
َ ض َر ْبتُ ْم اأْل َْرض َفلَْي َ َوإِذَا
نت فِي ِه ْم َ ] َوإِ َذا ُك٤:١٠١[ ين َك انُوا لَ ُك ْم َع ُد ًّوا ُّمبِينً ا
ِ ِ
َ ۚ إ َّن الْ َك اف ِر ين َك َف ُروا
ِ َّ ِ
َ َي ْفتنَ ُك ُم الذ
َس لِ َحَت ُه ْم فَِإ َذا َس َج ُدوا َف ْليَ ُكونُوا ْ ك َولْيَأْ ُخ ُذوا أَ ت هَلُ ُم الصَّاَل َة َف ْلَت ُق ْم طَائَِفةٌ ِّمْن ُهم َّم َع َ فَأَقَ ْم
ك َولْيَأْ ُخ ُذوا ِح ْذ َر ُه ْم َ ص لُّوا َم َع َ ُص لُّوا َف ْلي
َ ُُخ َر ٰى مَلْ ي
ِ ِ ِ
ْ من َو َرائ ُك ْم َولْتَ أْت طَائ َف ةٌ أ
ِ
ًَس لِ َحتِ ُك ْم َوأ َْمتِ َعتِ ُك ْم َفيَ ِميلُو َن َعلَْي ُكم َّمْيلَ ة
ْ ين َك َف ُروا لَ ْو َت ْغ ُفلُو َن َع ْن أ
ِ َّ ِ وأ
َ ۗ َو َّد الذ َسل َحَت ُه ْم
ْ َ
ِ
ض عُوا َ َض ٰى أَن ت َ اح َعلَْي ُك ْم إِن َك ا َن بِ ُك ْم أَ ًذى ِّمن َّمطَ ٍر أ َْو ُكنتُم َّم ْر َ َۚ َواَل ُجن َواح َد ًة
ِ ِ ِ ِ أ
ض ْيتُ ُم َ َ] فَ ِإ َذا ق٤:١٠٢[ ين َع َذابًا ُّم ِهينً ا ِ
َ ۗ إ َّن اللَّهَ أ ََع َّد ل ْل َك اف ِر ۖ َو ُخ ُذوا ح ْذ َر ُك ْم َس ل َحتَ ُك ْم ْ
36
Q.S Al-Baqarah [2]: (183-185)
23
ِ َّ
الص اَل َة َوأَنتُ ْم ُس َك َار ٰى َحىَّت ٰ َت ْعلَ ُم وا َم ا َت ُقولُ و َن َواَل ُجنُبً ا
َّ ين َآمنُ وا اَل َت ْقَربُوا َ يَا أَيُّ َه ا الذ
ِ
َ ض ٰى أ َْو َعلَ ٰى َس َف ٍر أ َْو َج اءَ أ
َح ٌد ِّمن ُكم ِّم َن َ َوإِن ُكنتُم َّم ْر ۚ إِاَّل َع ابِ ِري َس بِ ٍيل َحىَّت ٰ َت ْغتَس لُوا
وه ُك ْمِ يدا طَيِّب ا فَامس حوا بِوج ِ الْغَائِ ِط أَو اَل مس تُم النِّس اء َفلَم جَتِ ُدوا م اء َفَتي َّمم وا
ُ ُ ُ َ ْ ً ً صع َ ُ َ ً َ ْ َ َ ُ َْ ْ
ِ ِ
ً َ إ َّن اللَّهَ َكا َن َع ُف ًّوا ۗ َوأَيْدي ُك ْم
( ٤٣: غ ُفورا )النساء
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan
junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika
kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang
37
Q.S An-Nisa [4]: (101-103)
24
وه ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِىَل الْ َمَرافِ ِق ِ ِ َّ ي ا أَيُّه ا الَّ ِذين آمنُ وا إِ َذا قُمتُم إِىَل
َ الص اَل ة فَا ْغس لُوا ُو ُج ْ ْ َ َ َ َ
وس ُك ْم َوأ َْر ُجلَ ُك ْم إِىَل الْ َك ْعَبنْي ِ ۚ َوإِن ُكنتُ ْم ُجنُبً ا فَ اطَّ َّه ُروا ۚ َوإِن ُكنتُم ِ وامس حوا بِرء
ُُ ُ َ ْ َ
ِ ِِ
ًِّس اءَ َفلَ ْم جَت ُدوا َم اء َ َح ٌد ِّمن ُكم ِّم َن الْغَائ ط أ َْو اَل َم ْس تُ ُم الن َ ض ٰى أ َْو َعلَ ٰى َس َف ٍر أ َْو َج اءَ أ َ َّم ْر
يد اللَّهُ لِيَ ْج َع َل َعلَْي ُكم ِّم ْن
ُ وه ُك ْم َوأَيْ ِدي ُكم ِّمْنهُ ۚ َما يُِر ِ يدا طَيِّبا فَامسحوا بِوج
ُ ُ ُ َ ْ ً ً صع
ِ َفَتي َّمموا
َ ُ َ
)٦ :ن ) املائدة َ يد لِيُطَ ِّهَر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهُ َعلَْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو
ُ َحَر ٍج َوٰلَ ِكن يُِر
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-
Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”39
yang digunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an, sedikitnya ada
panjang lebar, mulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir sesuai dengan
susunan tertib ayat dan surat di dalam mushaf dengan bahasa yang populer
40
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir al-Maudhui dan cara penerapannya, terj.
Rosihan Anwar, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 23.
25
ayat.41
muna>sabah, dan aspek lain yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya
perbandingannya.43
konsep al-Qur’an tentang suatu masalah atau tema tertentu dengan cara
41
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, Cet III, (Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2014),
hlm.280.
42
Ibid, hlm.281.
43
Ibid
26
tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau
tematik.
masing suratnya.
44
Ibid, hlm.285.
27
ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi
corak penafsiran yang dimaksud dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang
mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufassir memiliki latar
sebagai berikut:
Razy (w. 606), dan Tafsir Amtsal al-Qur’an karya al-Mawardi (w. 450 H).
Corak fiqih atau hukum, muncul setelah berkembangnya ilmu fiqih, dan
mereka terhadap ayat-ayat hukum. Adapun contoh tafsir yang bercorak fiqih
28
atau hukum yaitu Tafsir Ahka>>m al-Qur’an karya al-Jas}s}a>s (w. 370 H),
3. Corak Filsafat
filsafat yaitu Tafsir al-Isya>rat karya Imam al-Ghazali (w. 505 H), dan
Tafsir Rasail Ibn Sina> karya Ibn Sina> (w. 370 H).46
4. Corak Tasawuf
tasawuf adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi yang mereka lebih
Rahman al-Sulami> (w. 412 H), dan Tafsir ‘Ara>’is al-Baya>n fī Haqa>’iq
45
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir,(Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2005) hlm, 169
46
Ibid, hlm. 170.
47
Abd. Al-hayy Al Farmawi>, Metode Tafsir Mawdhu>’i>, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm. 18.
29
Abdullah Syahatah.
mudah difahami oleh pembaca. Adapun contoh tafsir yang bercorak sastra
Muhammad Al-Maraghi (w. 1945 M), dan Tafsir Al-Mana>r karya Rasyid
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
mengambil data dari literatur-literatur, baik berupa kitab, buku, majalah, jurnal,
surat kabar, naskah, catatan, ensiklopedia, serta karya ilmiah yang berupa makalah
ataupun artikel yang relevan untuk dijadikan bahan penelitian. 48 Penelitian ini
B. Sumber Data
Sumber data yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini meliputi
kepada data primer dan data sekunder. Sumber data primer yaitu data yang
diambil dari Tafsir al-Qur’an al-Hakim karya Rasyid Ridha dan Tafsir al-Qur’an
al-‘Adzim karya Ibnu Katsir serta kitab lainnya yang mendukung penelitian.
Sedangkan sumber data sekunder yaitu data yang diambil dari berbagai
ilmiah dan sumber lainnya yang mendukung serta relevan dengan pembahasan
diteliti.
48
Kartini, Metodologi Riset Sosial, cet. VII, (Bandung: Mandar Maju, 1996), hlm.33
30
31
tema penelitian, baik data primer ataupun data sekunder. Setelah data-data yang
Data
Data Display
Collection
Data Conclusions:
Condensation Drawing/Veri
fying
49
Winanno Surahmad, Dasar dan Teknik Research, (Bandung: Tarsito, t. t.), hlm. 131.
32
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data-data dari kitab
Rid}a, kitab tafsir al-Qur’an al-‘Adz}i>m karya Ibnu Kas\i>r, buku, journal,
simpulan. Data yang sudah didapatkan tanpa harus membuang data yang lain.
menggunakan salah satu metode dari Abd al-Hayy al-Farmawi yaitu metode
rupa, selanjutnya dikaji lebih jauh dari segi komparasi terhadap konsep
50
Matthew B. Miles dkk, Qualitative Data Analysis: a Methods Sourbook, (United States of
America: SAGE Publications Ltd, 2014), hlm. 8
51
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir al-Maudhui dan cara penerapannya, terj.
Rosihan Anwar, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 23.
33
simpulan.
dan kitab tafsir al-Qur’an al-‘Adz}i>m karya Ibnu Kas\i>r, journal, buku-
PEMBAHASAN
Nama lengkap Ibnu Kas\i>r adalah Amam Ad-Din Abdu al-Fida Ismail
Ibnu Amar Ibnu Kas\i>r ibnu Zara’ Al-Bushrah Al-Damasiqy.52 Imam Ibnu
Kas\i>r lahir di desa Majdal dalam wilayah Bushra (Basrah) pada tahun
Basrah).53 Ia adalah anak dari Shihab Ad-Din Abu Hafsah Amar Ibnu Kas\i>r
wafat, Imam Ibnu Kas\i>r dibawa kakaknya (kamal Ad-Din ‘Abd Al-
Imam Ibnu Kas\i>r dapat gelar keilmuannya dari para ulama sebagai
kesaksian atas keahliannya dalam beberapa bidang ilmu yang digeluti, antara
52
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsir Wa Al-Mufassirin, (Mesir: Maktabah
Wahbah, 1985), Jilid II, hlm. 242.
53
Manna Khalil Al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir, (Jakarta: Lintera
Antara Nusa, 1990), hlm.386.
54
Ibn Katsir, Al-Bidayah Wa Al-Nihayah, Jilid XIV, (Beirut : Dar Al-Fikr, 1990), hlm 32.
55
Nur Faizan Maswan, Kajian Diskriptif tafsir Ibn Katsir , (Jakarta: Menara Kudus,
2002), hlm 35.
34
lain ia mendapat gelar seorang ahli sejarah, dan pakar hadis. 56 Dalam
menjalani
56
Manna Khalil Al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir, (Jakarta: Lintera
Antara Nusa, 1990), hlm.386.
34
35
kehidupan, Imam Ibnu Kas\i>r didampingi oleh seorang isteri yang bernama
bulan Februari 1375 M pada hari kamis, Imam Ibnu Kas\i>r meninggal
dunia.57
berbagai disiplin ilmu sudah populer di kalangan umat Muslim dan Imam
707 H, ia mulai menjalani karir keilmuan. Peran yang tidak sempat dilakukan
oleh ayah dalam mendidik, dilaksanakan oleh kakaknya, Kamal Ad-Din Abd
57
Nur Faizan Maswan, Kajian Diskriptif tafsir Ibn Katsir , (Jakarta: Menara Kudus,
2002), hlm 36.
58
Musthafa Abdul Wahid, As-Siratun Nabawiyyah li Ibnu Katsir, Jilid I, (Beirut: DarFikr,
1990), hlm 527.
59
Nur Faizan Maswan, Kajian Diskriptif tafsir Ibn Katsir , (Jakarta: Menara Kudus,
2002), hlm 39.
36
dalam 14 jilid. Dalam buku ini Imam Ibnu Kas\i>r mencatat kejadia-
yang terjadi pada tahun 768 H. yakni lebih kurang 6 tahun sebelum
wafatnya.
3) As-Sirah (ringkasan sejarah hidup nabi saw). Kitab ini telah dicetak
Rasul.
1370 H.
Bazzar, Imam Abu Ya’la, dan Imam Ibnu Abi Syaibah dengan Al-
Jarh wa At-Ta’dil.
karangan Al-Baihaqi.
13) Tafsir al-Qur’an al-Azhim, lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibnu
H/1923 M. di Kairo.60
Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim atau lebih dikenal dengan tafsir Ibnu katsir
ditulis oleh Syekh al-Imam al-Hafidz Abdul Fida’ Imamuddin Isma’il bin
Umar Katsir bin Dhau’ bin Katsir al-Quraisy ad-Dimasyaqi (w. 1373 M).
Gaya penulisan tafsir ini sama dengan penulisannya Tafsir Ibnu Jarir al-
60
Ibid, hlm. 43-44.
38
Thabari. Tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang paling terkenal,
tafsir ini lebih dekat dengan al-Thabari, tafsir ini termasuk Tafsir bil al-
a. Sistematika Penafsiran
Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat, dimulai dengan Surah al-Fatihah
dan diakhiri dengan Surah al-Na>s, maka secara sistematis tafsir ini
ayat yang berurutan yang dianggap berkaitan dan berhubungan dalam tema
kecil, cara ini tergolong model baru pada masa itu. Pada masa sebelumnya
atau semasa dengan Imam Ibnu Kas\i>r, para mufasir kebanyakan kata per
munasabah ayat dalam setiap kelompok ayat itu dalam tertib mushafi. Dengan
61
Ibid, hlm. 05.
39
penafsiran secara persial yang bias keluar dari maksud nash. Dari cara
Ibnu Kas\i>r dalam memahami adanya munasabah dalam urutan ayat, selain
b. Metode Penafsiran
Sahabat, Tabi’in dan pendapat penafsiran itu sendiri dengan diwarnai oleh
Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir aspek kosa kata dan penjelasan arti
anggap perlu. Kadang pada satu ayat, suatu lafaz di jelaskan arti kosa kata,
serta lafaz yang lain di jelaskan arti globalnya karena mengandung suatu
62
Ibid, hlm. 66.
40
masih memiliki pertalian darah dengan cucu Nabi Muhammad saw yakni
Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah saw, oleh karena
Syekh Rasyi>d Rid}a lahir pada 1865 M di Qalamun sebuah desa yang
berada di sekitar Kota Tripoli, Libanon, dan ia wafat pada Agustus 1935 M
pemerintahan Kota Tripoli yang dipimpin oleh Syaikh al-Jisr seorang alim
kemudian belajar hadis dan memperoleh ijazah dari Syekh Mahmud Kamil
al-Rafi’u, selain itu, guru-gurunya adalah Sykeh Abd. Ghani al-Rafi’, Syekh
ke seluruh dunia Islam ternyata sangat mempengaruhi jiwa dan pemikiran dan
Syekh Rasyi>d Rid}a ketika itu. Sehingga mampu mengubah pemuda yang
berjiwa sufi itu menjadi sosok yang penuh semangat untuk membangkitkan
terbatas hanya di bidang aqidah dan syariah saja seperti halnya tujuan dakwah
‘Abduh semakin bertambah ketika pada tahun 1885 Syekh Rasyi>d Rid}a
dapat bertemu langsung dengan tokoh yang ia kagumi tersebut. Pada tahun
menjelma menjadi sebuah kitab tafsir yang terkenal dengan nama Tafsir al-
Qur’an al-H{aki>m sebagai karya besar dari seorang Syekh Rasyi>d Rid}a .
menghasilkan tulisan serta karya ilmiah. Tulisan dan karya ilmiah tersebut
sebagai berikut:
kekeramatan.
menentang pendapat-pendapatnya.
kewajiban wanita.
g. Al-Sunnah wa Al-Syi’ah.
h. Al-Wahdah Al-Islamiyah.
i. Haqiqah Al-Riba.
1354 H/1935 M.
Mu‟awidzatain.68
Tafsir al-Mana>r adalah sebuah kitab tafsir yang berjumlah 12 jilid. Setiap
Jilid dari kitab tersebut selalu diawali dengan penegasan bahwa kitab tersebut
dan pandangan akal yang tegas, yang menafsirkan al-Qur’an sebagai hidayah
universal bagi seluruh umat manusia tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu
Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah,
68
al-H{aki>m adalah sebuah karya dari tiga orang tokoh Islam, yaitu Jama>l al-
tersebut kemudian diterima dan diringkas oleh tokoh yang ketiga, yaitu
a. Sumber Penafsiran
sebagai sumber utama penafsirannya, terlebih lagi jika ayat yang ditafsirkan
berkaitan atau dirinci oleh ayat-ayat lainnya. Syekh Rasyi>d Rid}a juga kerap
kali mejadikan hadis Nabi saw sebagai sumber penafsiran dengan catatan
hadis tersebut menurutnya tidak bermasalah, baik dari segi sanad maupun
69
M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), hlm. 79.
70
Ibid, hlm 84.
45
matannya.71 Panafsiran semacam ini dikenal dalam disiplin ilmu tafsir dengan
memberikan porsi yang cukup luas bagi akalnya untuk memahami al-
Qur’an.73 Hal tersebut selain bertujuan untuk menghindari sikap taqli>d, juga
di dalam sebuah ayat sesuai dengan keahlian dan kecenderungan dari seorang
71
Muhammad Husayn al-Dzahabi>, at-Tafsi>r wa al-Mufassiri>n, vol. 2, (Kuwait: Da>r
al-Nawa>dir, 2010M/1431H), hlm. 578.
72
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, Cet III, (Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2014),
hlm. 274.
73
Muhammad Husayn al-Dzahabi>, at-Tafsi>r wa al-Mufassiri>n, vol. 2, (Kuwait: Da>r
al-Nawa>dir, 2010M/1431H), hlm. 578.
74
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hlm. 95.
75
Ibid, hlm. 94.
76
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami al-Qur’an, (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 379.
46
yaitu menyusunnya berdasarkan susunan ayat dan surah dalam mushaf al-
Qur’an, yang dimulai dari surah al-Fati>h}ah dan berakhir pada surah al-
Na>s.
c. Corak Penafsiran
‘Abduh adalah tokoh yang mempelopori corak tafsir adabi> al-ijtima>’i> .77
secara tajam budaya taqli>d yang dianggapnya sudah mengakar dengan kuat
dan ikut berperan terhadap kemunduran peradaban umat Islam saat itu.
segala aspek kehidupannya. Oleh karena itulah melalui Tafsir al-Qur’an al-
mereka pada peradaban yang lebih maju sebagai representasi dan umat yang
terbaik.78
77
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hlm. 97.
78
Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir, Penerjemah: Faisal Saleh dan Syahdianor, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2006), hlm. 273.
47
sebuah cara bersuci dengan mengusapkan tanah ke wajah dan tangan sebagai
mengacu pada makna tayamum secara bahasa, yaitu pada Q.S. al-Baqarah
[2]: 267. Sedangkan dua ayat yang lain mengacu pada maknanya secara
istilah, yaitu Q.S. An-Nisa> [4]: 43 dan Q.S. al-Ma>idah [5]: 6. Dua ayat
yang terakhir inilah yang akan dijadikan objek pembahasan oleh penulis
dalam kajian ini, karena kata tayamum pada dua ayat tersebut mengacu pada
Berikut ini redaksi dari Q.S. An-Nisa> [4]: 43 dan Q.S. al-Ma>idah [5]:
6:
ِِ
َِّساء
َ َح ٌد ِّمن ُكم ِّم َن الْغَائط أ َْو اَل َم ْستُ ُم الن َ َوإِن ُكنتُم َّم ْر...
َ ض ٰى أ َْو َعلَ ٰى َس َف ٍر أ َْو َجاءَ أ
إِ َّن اللَّهَ َك ا َن ۗ وه ُك ْم َوأَيْ ِدي ُك ْم
ِ يدا طَيِّب ا فَامس حوا بِوج
ُ ُ ُ َ ْ ً ً صع
ِ َفلَم جَتِ ُدوا م اء َفَتي َّمم وا
َ ُ َ ً َ ْ
( ٤٣: غ ُفورا )النساء
ً َ َع ُف ًّوا
Artinya: “...Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah
yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
79
Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi>, al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qur’a>n, vol. 6 (Bayru>t:
Muassasah al-Risa>lah, 2006 M/1427 H), hlm. 382.
80
Muhammad ibn al-Khati>b al-Sharbini>, Mughni> al-Muhta>j ila> Ma’rifah Ma’ani>
Alfa>z al-Minha>j, vol.1 (Bayrut: Dar al-Ma’rifah, 1997 M/ 1418H), hlm. 142.
81
Muhammad Fua>d al-Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m,
(al-Qahirah: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1364 H), hlm. 774.
48
َح ٌد ِّمن ُكم َ وإِن ُكنتُ ْم ُجنُبً ا فَ اطَّ َّه ُروا ۚ َوإِن ُكنتُم َّم ْر...
َ ض ٰى أ َْو َعلَ ٰى َس َف ٍر أ َْو َج اءَ أ َ
ً ِص ع
يدا طَيِّبً ا فَ ْام َس ُحوا ِ
َ ِّس اءَ َفلَ ْم جَت ُدوا َم اءً َفَتيَ َّم ُم وا
ِ ِ
َ ِّم َن الْغَائ ط أ َْو اَل َم ْس تُ ُم الن
)٦ : املائدة... ) ُكم ِّمْنه ُ وه ُك ْم َوأَيْ ِدي
ِ بِوج
ُُ
Artinya: :”...Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang0 air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang
baik (bersih)...”
Jika diperhatikan, baik Q.S. An-Nisa> [4]: 43 ataupun Q.S. al-Ma>idah
keduanya juga memiliki redaksi yang serupa. Oleh karena itu, pada
kandungan dari Q.S. An-Nisa> [4]: 43 dan Q.S. al-Ma>idah [5]: 6 secara
terpisah, karena ketika penulis membahas Q.S. An-Nisa> [4]: 43, maka secara
dalamnya.
dalam tiga kategori, yaitu sakit, safar dan ketiadaan air. Berikut penjelasan
a. Sakit
menjelaskan asbab al-Nuzul ayat ini, hal tersebut sebagaimana dapat difahami
حدثنا قيس، حدثنا أبو غسان مالك بن إمساعيل، حدثنا أيب:وقال ابن أيب حامت
نزلت يف رجل: {وإن كنتم مرضى} قال:) عن جماهد يف قوله9( عن خصيف
، ومل يكن له خادم فيناوله، كان مريضا فلم يستطع أن يقوم فيتوضأ،من األنصار
هذا. فأنزل اهلل هذه اآلية،فأتى رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم فذكر ذلك له
. مرسل 82
Ibnu Kas\i>r memahami kondisi sakit disini yakni ketika sakitnya itu yang
akan mengakibatkan matinya salah satu anggota tubuh, atau sakitnya itu
82
al-Ima>m al-Ha>fiz} ‘Ima>d al-Di>n Abi> al-Fida> Isma>’i>l bin kas\i>r al-Qarsyi> al-
Damasyqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, vol. 1 (al-Qa>hirah: Da>r Ibnu al-Jauzi>, 2009),
hlm. 202.
83
Ibid
50
menggunakan air, maka apabila sakitnya itu biasa saja dan tidak akan
bertambah parah menurut Imam Ibnu Kas\i>r tidak perlu bertayamum. Akan
tetapi ada sebagian ulama yang memaknai dari keumuman lafaz pada ayat ini
memulai melalui fakta bahwa di daerah seperti Arab Saudi dan sekitarnya,
penggunaan air dapat berakibat buruk bagi penderita dari beberapa jenis
berikut ini:
وال س يما يف احلج از وغ ريه من جزي رة،والش أن فيهم ا تعس ر اس تعمال املاء...
... وقد يكون املاء ضارا باملريض كبعض األمراض اجللدية والقروحز،العرب
84
penderitanya seperti penggunaan air ketika suhu udara sangat dingin atau
ketika terdapat luka pada tubuh. Dalam hal ini Syekh Rasyi>d Rid}a
84
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 5, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 96.
51
yang menjelaskan bahwa ayat tersebut turun sebagai keringanan bagi para
sahabat yang junub ketika di tubuh mereka terdapat banyak luka. Di samping
itu, Syekh Rasyi>d Rid}a juga menukil riwayat dari ‘Amr ibn al-As tentang
bolehnya bertayamum ketika suhu udara sangat dingin 85 yang dimana dengan
suhu dingin ini badan manusia bisa timbul beberapa penyakit yakni penyakit
asma (sesak napas), pilek alergi (rinitis alergi), serta alergi kulit karena udara
Rasyi>d Rid}a dan Imam Ibnu Kas\i>r, yaitu dalam hal pembatasan kata
مرضىyang terdapat pada Q.S. An-Nisa> [4]: 43 dan Q.S. al-Ma>idah [5]: 6.
kondisi dapat berakibat negatif pada tubuh, maka Imam Ibnu Kas\i>r
yang tidak sampai mengakibatkan anggota tubuh menjadi mati, atau hal-hal
lain yang tidak sampai mengakibatkan hilangnya nyawa, anggota badan atau
disepakati oleh kebanyakan ulama tentunya hal-hak yang tidak terdapat dalam
85
Ibid, hlm. 130.
52
tentu berbeda dengan penafsiran dari Syekh Rasyi>d Rid}a yang memahami
kata مرضىsebagai setiap kondisi yang dapat berakibat negatif pada tubuh.
secara umum dan mutlak sesuai dengan redaksi jika memang ia tidak
ditemukan ayat atau dalil yang dapat digunakan untuk membatasi keumuman
Rasyi>d Rid}a memahami menurut keumuman lafaz dari suatu ayat, maka
b. Safar
dalam kondisi safar, ia menjelaskan bahwa safar sama halnya dengan orang
yang sakit boleh untuk bertayamum. Dalam perkataanya Imam Ibnu Kas\i>r:
88
. وال فرق فيه بني الطويل والقصري،والسفر معروف
“Mengenai safar atau bepergian, tidak ada bedanya antara jarak yang jauh dan
jarak yang dekat.”
86
Fakhr al-Di>n al-Razi>, Mafa>ti>h} al-Ghayb, vol. 10 (Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1981
M/1401 H), hlm. 115.
87
M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), hlm. 118.
88
al-Ima>m al-Ha>fiz} ‘Ima>d al-Di>n Abi> al-Fida> Isma>’i>l bin kas\i>r al-Qarsyi> al-
Damasyqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, vol. 1 (al-Qa>hirah: Da>r Ibnu al-Jauzi>, 2009),
hlm. 202.
53
safarnya, antara jarak yang jauh dan jarak yang dekat menurut Imam Ibnu
املع ىن أن حكم املريض واملس افر إذا أراد الص الة كحكم:ق ال األس تاذ اإلم ام
، أو مالمس النساء ومل جيد املاء فعلى كل هؤالء التيمم فقط،احملدث حدثا أصغر
هذا ما يفهمه القارئ من اآلية نفسها إذا مل يكلف نفسه محلها على مذهب من
وراء القرآن
Berkata al-usta>dz al-ima>m89: “Maknanya adalah bahwasannya
hukum orang yang sakit dan orang yang berpergian adalah sama seperti orang
yang berhadas kecil dan menyentuh perempuan dan ia tidak menemukan air,
dalam arti apabila ia hendak melakukan salat maka keduanya cukup
bertayamum saja. Makna tersebut adalah makna yang difahami oleh orang
yang membaca ayat tersebut secara langsung tanpa membebani dirinya
dengan membawa kandungan maknanya pada mazhab tertentu di balik al-
Qur’an itu sendiri.”
89
Yaitu sebuah sebutan dari Syekh Rasyi>d Rid}a kepada Muhammad ‘Abduh
54
sebagai syarat dan boleh tayamum bagi seorang musafir. Berikut pernyataan
)وإن كنتم مرض ى أو على: )فلم جتدوا م اء( بقول ه:واحتم ال رب ط قول ه تع اىل
بل ممنوع ألبتة ـ كما تقدم ـ على أهنم ال يقولون به يف املرضى؛ ألن،سفر( بعيد
فيكون ذكرهم،اشرتاط فقد املاء يف حقهم ال فائدة له؛ ألن األصحاء مثلهم فيه
ف إن املقيم إذا مل جيد، إن ذك ر املس افرين ك ذلك: ونق ول،لغ وا يت نزه عن ه الق رآن
فلوال أن السفر سبب للرخصة كاملرض مل يكن لذكره فائدة،املاء يتيمم باإلمجاع
“Kemungkinan adanya keterkaitan antara firman Allah ( )فلم تج††دوا م††اءdan
firman-Nya ( )وإن كنتم مرضى أو على سفرadalah jauh dari kenyataan bahkan hal
tersebut sama sekali tidak dapat dibenarkan sebagaimana telah diketahui pada
pembahsan sebelumnya (tentang penafsiran kata )مرضىdi mana jumhur
ulama tidak mengatakan adanya keterkaitan antara orang yang sakit dengan
ketiadaan air, karena menjadikan ketiadaan air sebagai syarat bolehnya
bertayamum bagi orang sakit tentunya tidak berguna sama sekali. Jika
keadaannya demikian (orang yang sakit hanya boleh bertayamum apabila
tidak air), berarti sama sekali tidak ada perbedaan antara mereka dengan
orang-orang yang sehat (karea orang yang sehat juga dibolehkan bertayamum
apabila tidak ada air) sehingga penyebutan orang yang sakit pada ayat
tersebut tentunya menjadi sia-sia dan al-Qu’an terbebas dari hal yang sia-sia.
Dan kami katakan bahwasannya penyebutan kondisi safar pada ayat tersebut
adalah demikian halnya, jika orang-orang mukim yang tidak menemukan air
dapat bertayamum berdasarkan ijmak para ulama, maka seandainya safar itu
bukan penyebab rukhsah sama seperti orang yang sakit, tentunya penyebutan
kata safar pada ayat tersebut adalah sia-sia.”
sakit tidak dengan sendirinya menjadi penyebab rukhsah, akan tetapi harus
bergantung pada sebab lain yaitu ketiadaan air, maka penyebutan س†فرdan
مرضىmenjadi sia-sia, karena tidak akan ada perbedaan apapun antara orang
90
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 5, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 130.
55
yang sakit dengan orang yang sehat dan antara seorang musafir dan orang
perkembangan teknologi yang ada saat ini justru menjadikan berwudu atau
mandi dalam safar justru lebih sulit daripada menqasar salat atau berbuka
puasa. Hal tersebut dikarenakan saat ini sebuah perjalanan sudah dapat
dilakukan dengan lebih nyaman dan ditempuh dengan waktu yang relatif
lebih singkat.92
91
Ulama lain yang juga mempertanyakan soal penetapan jumhur ulama yang menjadikan
ketiadaan air sebagai syarat bagi seorang musafir tetapi tidak bagi orang yang sakit adalah
S}iddi>q Hasan Kha>n. Hanya saja, apabila S}iddi>q Hasan Kha>n pada akhirnya mencoba untuk
tetap menguatkan pendapat jumhur, Muhammad ‘Abduh dan Syekh Rasyi>d Rid}a justru
mengkritik pendapat dari jumhur ulama tersebut dengan tajam. Lihat S}iddi>q Hasan Kha>n, Nayl
al-Mara>m Min Tafsi>r A>yat Ahka>m, (Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyyah al-Kubra>, 1929
M/1347 H), hlm. 150.
92
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 5, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 121.
56
redaksi yang ada pada al-Qur’an itu sendiri. Hal tersebut memberikan
di berbagai bidang.93
tayamum dalam safar tidak berbeda dengan apa yang telah disampaikan oleh
Rid}a menekankan bahwa cara yang lebih hati-hati adalah tetap berwudu
dalam kondisi safar jika memang tidak ada halangan apapun yang
kemutlakan redaksi kata safar itu sendiri dan kaitannya dengan rangkaian
93
Ibid, hlm. 119-121.
94
Ibid, hlm. 129
57
mengutamakan untuk berwudu untuk lebih berhati-hati dan berwudu juga bisa
yang sakit yang boleh bertayamum, akan tetapi Imam Ibnu Kas\i>r tidak
membedakan jarak safarnya seseorang antara jarak jauh ataupun jarak dekat
c. Ketiadaan air
Imam Ibnu Kas\i>r, bagian ini merupakan kelompok terakhir yang terkait
dengan pembahasan rukhsah dalam bersuci, yaitu mereka yang mukim dan
dalam keadaan sehat akan tetapi tidak menemukan air untuk bersuci dari
hadas kecil maupun hadas besar.95 Untuk jenis hadas yang pertama, yaitu
tentang penyebab terjadinya hadas kecil, yaitu keluarnya sesuatu qubul dan
dubur. Adapaun yang dimaksud dengan hadas dibagi menjadi dua juga, yang
95
Ibid,vol. 6, hlm. 253
58
Sedangkan untuk jenis hadas yang kedua, yaitu hadas besar, ditunjukan
Imam Ibnu Kas\i>r memahami bagian ayat ini yakni dari segi
pembacaannya, ada yang membaca lamastum ()لمس††تم, dan ada pula yang
96
al-Ima>m al-Ha>fiz} ‘Ima>d al-Di>n Abi> al-Fida> Isma>’i>l bin kas\i>r al-Qarsyi> al-
Damasyqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (al-Qa>hirah: Da>r Ibnu al-Jauzi>, 2009), hlm. 203.
97
Ibid
59
menyentuh perempuan (Q.S. An-Nisa [4]: 43) bahwa yang dimaksud dengan
orang Arab mengatakan bahwa makna yang dimaksud dari ayat tersebut
adalah persetubuhan. 98
mata dengan perempuan. Hal ini juga di perkuat sahabat Ibnu Jarir, bahwa
perempuan secara langsung adalah pendapat dari Imam Syafi’i dan semua
sahabatnya serta Imam Malik, dan menurut riwayat yang terkenal dari Imam
ini ada yang membacanya lamastum, ada pula yang membacanya la>mastum.
98
Ibid
99
Ibid, hlm. 203.
100
Ibid
60
di dalam firman-Nya:101
garis besarnya makna lafaz ini berdasarkan kedua penafsiran diatas tetap
... ب الغِىَن
ُ ُوأملست َكفي كفَّه أَطْل
ُ
"Telapak tanganku berjabatan tangan dengan telapak tangannya untuk
meminta kecukupan." Dza’fal al-khaza’i
Pendapat yang paling benar dari kedua pendapat diatas tentang makna
dari kata la>mastum ialah pendapat orang yang mengatakan bahwa yang
persetubuhan, bukan makna lams lainnya. Karena ada sebuah hadis sahih dari
seorang istrinya, lalu salat tanpa wudu lagi, sebagaimana hadis dari Siti
‘Aisyah:103
101
Ibid
102
Ibid
103
Ibid
61
qubul dan dubur. Ia menjelaskan bahwa kata غائطyang terdapat pada ayat di
atas pada dasarnya berarti tempat yang ketinggiannya lebih rendah jika
sebuah lembah. Karena sifatnya yang tertutup, maka tempat tersebut kerap
kali dijadikan sebagai tempat untuk membuang air besar ataupun kecil oleh
ungkapan yang mengacu pada tempat untuk membuang air, khususnya buang
air besar.105
Sedangkan untuk jenis hadas yang kedua, yaitu hadas besar, ditunjukan
Ibid, vol. 5, hlm. 118-119. Lihat juga Fakhr al-Di>n al-Ra>zi mafa>ti>h} al-Ghayb, vol.
105
10, hlm 115., hlm. 487. Lihat juga Wahbah Zuh}ayli>, al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa
al-Syari>’ah wa al-Manhaj, vol. 3, hlm. 84.
62
لمسmenurut arti yang hakiki adalah persentuhan antara kulit dengan kulit,
baik menggunakan tangan ataupun anggota tubuh yang lainnya. Akan tetapi,
menurutnya persentuhan kulit antara lawan jenis itu tidak membatalkan wudu
karena bagi Syekh Rasyi>d Rid}a tidak terdapat satupun hadis sahih yang
menjelaskan tentang hal tersebut, terlebih lagi terdapat sebuah hadis yang
meletakan tangannya di kaki Nabi saw ketika nabi saw sedang melaksanakan
salat.106 Demikian juga sebaliknya, pada hadis lain yang diriwayatkan oleh
an-Nasai’ dijelaskan bahwa Nabi saw menyentuh ‘Aisyah yang sedang tidur
di hadapannya, agar ‘Aisyah bergeser dan memberikan ruang bagi Nabi saw
maka kata mula>masah pada ayat tersebut tidak bisa difahami demikian.
tidak menemukan air, maka tidak terdapat perbedaan antara Syekh Rasyi>d
Rid}a dan Imam Ibnu Kas\i>r perihal bolehnya bertayamum dalam kondisi
yang terdapat pada Q.S. An-Nisa [4]: 43 dan Q.S. al-Ma>idah [5]: 6. Selain
106
Ibn Hajar al-Asqalani, Talkhi>s al-H{abi>r fi> Takhri>j Ah}a>di>s} al-Ra>fi’i> al-
Kabi>r, (T.t: Muassasah Qurtubah, 1995 M/1416 H), hlm. 229.
107
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 6, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 256.
63
berpegang pada aspke lahiriyah ayat, baik Syekh Rasyi>d Rid}a atau pun
pendapat mereka mengenai hal tersebut. Syekh Rasyi>d Rid}a dan Imam
‘Imra>n Ibn H}us}ain yang tidak mengikuti sala berjama’ah karena ia tidak
menemukan air untuk mandi. Kemudian, ketika Nabi saw mengetahui hal
terjadi antara Syekh Rasyi>d Rid}a dan Imam Ibnu Kas\i>r dalam
dalam bersuci adalah penilaian terhadap pendapat ulama sebagai alat untuk
keumuman redaksinya. Akan tetapi, bukan berarti Syekh Rasyi>d Rid}a sama
sebagai penguat dari hadis yang ia nukil. Sedangkan Imam Ibnu Kas\i>r
penafsriannya dan juga sebagai penguat dari hadis yang ia nukil. Kemudian,
108
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 5, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 127.
64
sesuatu yang diringkas itu. Adapun ketika kata qasar dikaitkan dengan ibadah
rakaat dari salat rubba>iyyah, yaitu dari yang tadinya berjumlah empat rakaat
meninggalkan rukuk dan sujud yang kemudian diganti dengan isyarat saja
berbicara tentang qasar dalam salat, yaitu Q.S. An-Nisa> [4]: 101 yang
dijadikan dua rakaat, seperti yang disimpulkan oleh jumhur ulama dari ayat
mengandung ketaatan, seperti berjihad, atau haji atau umrah, atau mencari
ilmu atau ziarah, atau juga yang lainnya yang semisal. Hal tersebut
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ata dan Yahya, dari Malik, dari Ibnu
mengatakan:111
ِ َّ ِ ِ ِ
َ إ ْن خ ْفتُ ْم أَ ْن َي ْفتنَ ُك ُم الذ...
...ين َك َف ُروا
Artinya: “...jika kalian takut diserang orang-orang kafir...” (An-Nisa: 101).
111
al-Ima>m al-Ha>fiz} ‘Ima>d al-Di>n Abi> al-Fida> Isma>’i>l bin kas\i>r al-Qarsyi>
al-Damasyqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (al-Qa>hirah: Da>r Ibnu al-Jauzi>, 2009), hlm.
255.
66
salat ini masih bisa dilakukan ataupun di amalkan dalam kehidupan sehari-hari,
sebab rukhsah ini merupakan keringanan atau hadiah dari Allah swt bagi
hambanya. Selain dari itu juga rukhsah qasar salat ini juga pernah dilakukan
oleh Rasulullah saw disaat beliau dalam keadaan aman dan tidak ada serangan
dilain kasus juga Nabi saw pernah mengqasar ketika berangkat dari Madinah
menuju Mekah tanpa ada rasa takut. Maka dari itu rukhsah qasar salat masih
bisa dikerjakan walupun tidak ada serangan atau tidak ada rasa tajut semua ini
bagi bepergian harus dalam rangka taqarrub, melainkan boleh pula dalam
112
Ibid, hlm. 256.
113
Ibid
67
keadaan darurat, tetapi dengan syarat hendaknya dia tidak bertujuan maksiat
bahwa perjalanan ini bersifat mutlak. Dengan kata lain, baik yang mubah
ataupun yang terlarang, sekalipun dia bepergian untuk tujuan membegal jalan
bahwa qasar yang dimaksud dalam Q.S. An-Nisa> [4]: 101 adalah qasar
dalam salat khawf berdasarkan bagian akhir dari ayat tersebut yang secara
jelas menunjukan syarat bagi adanya rukhsah mengqasar salat, yaitu pada
musuh. Hal tersebut diperkuat dengan isi kandungan ayat selanjutnya, yaitu
114
Ibid
115
Ibid
68
Q.S. An-Nisa> [4]: 102 yang menjelaskan tata cara melaksanakan salat dalam
tidaklah termasuk dalam cakupan Q.S. An-Nisa> [4]: 101 karena rukhsah
dalam safar yang kondisinya aman ditetapkan berdasarkan hadis Nabi saw.
والقصر املذكور يف اآلية األوىل هنا ليس هو قصر الصالة الرباعية يف السفر املبني
وأم ا م ا هن ا فه و يف، ف ذلك م أخوذ من الس نة املت واترة،بش روطه يف كتب الفق ه
صالة اخلوف كما ورد عن بعض الصحابة وغريهم من السلف
“qasar yang disebutkan pada ayat yang pertama di sini Q.S. An-Nisa>
[4]: 101 bukanlah berkaitan dengan mengqasar salat ruba>’iyyah dalam safar
yang telah jelas dijelaskan syarat-syaratnya dalam kitab-kitab fiqih
berdasarkan dari hadis-hadis yang mencapai derajat mutawatir. Adapun yang
dimaksud di sini adalah qasar dalam salat khawf sebagaimana penjelasan
yang datang dari sebagian sahabat dan yang lainnya dari ulama salaf.”
Berbeda dengan Imam Ibnu Kas\i>r, ia memahami sebagian ayat Q.S.
َ َوإِذا
ِ ضَر ْبتُ ْم يِف اأْل َْر
...ض
Artinya: “Apabila kalian bepergian di muka bumi...” (An-Nisa: 101).
Penjelasan dari ayat tersebut yaitu melakukan safar atau perjalanan ke
ِ
ْ َض َيْبَتغُ و َن ِم ْن ف
ض ِل ِ ض ِربُو َن يِف اأْل َْر ِ
َ َعل َم أَ ْن َس يَ ُكو ُن مْن ُك ْم َم ْرض ى َو...
ْ َآخ ُرو َن ي
...اللَّ ِه
116
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 5, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 365-366.
69
ِ الص
َّ ص ُروا ِم َن
الة ُ اح أَ ْن َت ْق
ٌ َس َعلَْي ُك ْم ُجن
َ َفلَْي
Artinya: “...maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar salat (kalian)...” (An-
Nisa: 101)
Dari uraian diatas, dapat diketahui hal yang menyebabkan terjadinya
perbedaan penafsiran antara Syekh Rasyi>d Rid}a dan Imam Ibnu Kas\i>r.
Syekh Rasyi>d Rid}a , dalam hal ini lebih memilih untuk menyandarkan
penafsirannya pada makna yang difahami dari ayat tersebut secara tekstual,
dimana ia memahami kondisi Khawf sebagai syarat bagi musafir yang ingin
rukhsah mengqasar salat dalam perjalanan (safar) boleh dilakukan baik itu
dalam keadaan aman atau takut (bahaya). Imam Ibnu Kas\i>r berpegang
ketika safar baik itu dalam keadaan takut (bahaya) atau dalam kadaan aman,
selain beragumen dengan hadis atau sunah, Imam Ibnu Kas\i>r juga memilih
pendapat para ulama yang mengatakan boleh mengqasar salat ketika takut
mengacu pada makna safar secara umum, yaitu mencakup jenis safar yang
70
memiliki tujua untuk ibada seperti menjalankan jihad dan haji atau juga
mencakup jenis safar yang tidak ada kaitannya denga ritual ibadah seperti
apakah kata safar pada ayat tersebut juga mancakup jenis safar yang bertujuan
untuk kemasiatan? Karena hal tersebut masih tercakup dalam keumuman dari
Q.S. An-Nisa [4]: 101, Syekh Rasyi>d Rid}a juga tidak memberikan balasan
seorang musafir, maka secara otomatis ia boleh mengqasar salatnya. Hal ini
tentu berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh mayoritas ulama bahwa batas
minimal dari jarak untuk menqasar salat adalah 16 farsakh atau setara dengan
89 km.118
Puasa atau s}iya>m secara bahasa berarti امساكatau menahan diri dari
sesuatu. Sedangkan secara istilah, puasa berarti menahan diri dari segala
117
Seperti halnya Abu Hanifah yang berpendapat bahwa seorang mukalaf boleh mangqasar
salat sekalipun perjalanan yang dilakukan adalah untuk tujuan kemaksiatan berdasarkan
keumuman dari Q.S. An-Nisa [4]: 101 tersebut. Lihat Wahbah Zuhayli, al-fiqh al-Islami> wa
Adillatuh, vol.2 (Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1985 M/1405 H), hlm. 323.
118
Wahbah Zuhayli, al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Shari>’ah wa al-
Manhaj, vol. 1, (Bayru>t: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir, 1999 M/1419 H), hlm. 502.
119
Maksudnya adalah dari segi waktu, dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari dan
juga dari segi palakunya, yaitu puasa hanya diwajibkan bagi seorang mukalaf saja berbeda dengan
zakat fitrah. Lihat Muhammad Ibn al-Khatib al-Sharbini, Mughni> al-Muh}ta>j ila> Ma’rifah
Ma’na> Alfa>z} al-Minha>j, vol. 1, (Bayru>t: Da>r al-Ma’rifah, 1997 M/1418 H), hlm. 616.
71
memberikan rukhsah bagi orang-orang yang berada dalam kondisi dan situasi
ِ ۚ وعلَى الَّ ِذ فَمن َك ا َن ِمن ُكم َّم ِريض ا أَو علَى س َف ٍر فَعِ َّدةٌ ِّمن أَيَّ ٍام أُخ ر...
ُين يُطي ُقونَه
َ َ َ ََ ْ َ ٰ َ ْ ً َ
... ني ٍ فِ ْديَةٌ طَ َع ُام ِمس ِك
ْ
Artinya:“maka barangsiapa di antara kalian sakit atau sedang dalam
perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya)
sebanyak hari (yang ia tidak berpusa itu) pada hari-hari yang lain.
Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya, wajib
membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin.”
Pada ayat di atas, Allah swt menyebutkan tida kelompok orang yang
orang yang sakit, orang yang sedang dalam safar, dan orang yang berat untuk
puasa bagi orang yang sakit pada Q.S. al-Baqarah [2]: 183-185 ia
72
menafsirkan bahwa orang yang sakit boleh berbuka puasa jika sakitnya itu
membuat ia berat untuk berpuasa, dan orang tersebut harus mangqada atau
yang ditinggalkannya.120
berbuka puasa itu tidak berbeda dengan apa yang telah ia sampaikan ketika
Menurutnya, kemutlakan kata مريضpada Q.S. Al-Baqarah [2]; 184 dan 185
saja sudah cukup untuk menunjukan bahwa sakit yang dimaksud oleh kedua
ayat tersebut adalah mencakup setiap jenis penyakit, tanpa dibatasi oleh
kata مريضpada Q.S. Al-Baqarah [2]; 184 dan 185 saja sudah cukup untuk
menunjukan bahwa sakit yang dimaksud oleh kedua ayat tersebut adalah
mencakup setiap jenis penyakit, tanpa dibatasi oleh seberapa parah penyakit
tersebut, atau juga dibatasi dengan adanya Masyaqqah yang dirasakan oleh
120
al-Ima>m al-Ha>fiz} ‘Ima>d al-Di>n Abi> al-Fida> Isma>’i>l bin kas\i>r al-Qarsyi> al-
Damasyqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (al-Qa>hirah: Da>r Ibnu al-Jauzi>, 2009), hlm. 320.
121
Ibid, hlm. 322.
73
dari ‘Ata dan Ibn Sirin yang memahami kata مريضpada kedua ayat tersebut
Dari uraian diatas, terlihat bahwa dalam hal ini, baik Syekh Rasyi>d
Rid}a dan Imam Ibnu Kas\i>r lebih berpepegang pada makna lahiriyyah ayat
Syekh Rasyi>d Rid}a hal seperti ini memang kerap kali ditemukan,
mengingat bahwa ia tidak terikat dengan mazhab tertentu. Akan tetapi bagi
Imam Ibnu Kas\i>r, hal seperti ini dapat dikatakan sebagai sesuatu yang
penafsirannya.
Imam Ibnu Kas\i>r menjelaskan bahwa orang yang sedang safar pada
122
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 2, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 150.
123
Ibid.
74
hari-hari yang lain sebanyak hari yang ditinggalkannya hal tersebut sesuai
ِ ِ ِ
َ يضا أ َْو َعلَى َس َف ٍر فَع َّدةٌ م ْن أَيَّ ٍام أ
...ُخَر ً فَ َم ْن َكا َن مْن ُك ْم َم ِر...
Artinya: “... Maka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain...”
mutlak pada dua ayat tersebut. Imam Ibnu Kas\i>r tidak memberikan batasan
menganjurkan bagi orang yang kuat dalam safarnya maka lebih baik berpuasa
dijadikan ukuran disini adalah kata safar itu sendiri bukan tujuan yang
124
al-Ima>m al-Ha>fiz} ‘Ima>d al-Di>n Abi> al-Fida> Isma>’i>l bin kas\i>r al-Qarsyi>
al-Damasyqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (al-Qa>hirah: Da>r Ibnu al-Jauzi>, 2009), hlm.
321.
125
Ibid.
75
secara mutlak pada dua ayat tersebut. Syekh Rasyi>d Rid}a juga tidak
memberikan batasan tertentu dalam hal jarak perjalanan yang harus ditempuh
secara ‘urf ia dapat dikategorikan sebagai seorang musafir, maka ketika itu ia
teknologi yang ada saat ini, jarak perjalanan sejauh 16 farsakh sekalipun bisa
pesawat, sehingga tidak termasuk kategori safar. Oleh karena itu, dalam hal
masing.
126
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 2, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 151.
76
yang ingin puasa, maka kerjakanlah puasa Ramadan dan sebaliknya bagi
...ع َخْيًرا
َ فَ َمن تَطََّو...
Artinya: “Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan.”
Yakni barang siapa yang memberi makan seorang miskin lagi, maka itulah
yang lebih baik baginya, tetapi berpuasa lebih baik bagi kalian dari pada
berpendapat tidak wajib bagi orang lansia yang berbuka puasa pada bulan
lemah, tidak kuat melakukan puasa karena pengaruh usia yang sudah sangat
tua, maka tidak wajib baginya membayar fidyah, perihalnya sama dengan
ulama, yaitu wajib bagi orang lansia yang berbuka puasa pada bulan
127
al-Ima>m al-Ha>fiz} ‘Ima>d al-Di>n Abi> al-Fida> Isma>’i>l bin kas\i>r al-Qarsyi>
al-Damasyqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (al-Qa>hirah: Da>r Ibnu al-Jauzi>, 2009), hlm.
317.
77
menjalankannya) ialah wanita yang sedang hamil dan yang sedang menyusui,
diwajibkan membayar fidyah, tanpa ada qada. Pendapat yang lainnya juga
mengatakan bahwa yang wajib hanya qadanya saja, tanpa fidyah. Sedangkan
pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya boleh berbuka (tidak
puasa) tanpa harus membayar fidyah dan qada. Masalah ini Imam Ibnu
Kas\i>r telah dibahas secara rinci di dalam kitab Siyam yang Imam Ibnu
penggalan dari Q.S. al-Baqarah [2]: 184 di atas, ia tidak menyinggung perihal
perbedaan qiraah terhadap Q.S. al-Baqarah [2]: 184. Akan tetapi ia lebih
128
Ibid.
129
Ibid, hlm, 318.
78
hal tersebut, akan tetapi kemampuan itu harus dibarengi dengan kesulitan
yang luar biasa. Oleh karena itu menurut Muhammad ‘Abduh, ungkapan
ُ يُ ِطيقُونَهyang terdapat pada Q.S. al-Baqarah [2]: 184 adalah mengacu kepada
para orang tua yang lemah ( ) الشيوخ الضعفاءatau kepada mereka yang sulit
ُ يُ ِطيقُونَهadalah mushtaq dari طاقة الحبلyang berarti ketahanan sebuah tali jika
sebagai berikut:
... َربَّنَا َواَل حُتَ ِّم ْلنَا َما اَل طَاقَةَ لَنَا بِِه...
Artinya: “...Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa
yang tak sanggup kami memikulnya...”
beban yang tak mampu dipikul, akan tetapi beban yang dapat
mampu untuk dipikul olehnya. Kemudian, Syekh Rasyi>d Rid}a juga sempat
130
Ibid, vol. 2, hlm. 156.
131
Ibid, vol. 2, hlm. 156.
79
hal penetapan mansu>kh dan muh}kamnya bagian ayat tersebut. Akan tetapi,
dalam hal ini ia cenderung pada pendapat dari Ibn ‘Abbas yang menetapkan
bahwa bagian dari Q.S. Al-Baqarah [2]: 184 tersebut adalah muh}kam
tetapi disertai dengan kesulitan yang luar biasa seperti para orang tua yang
lemah ( ) الش††يوخ الض††عفاء, mereka yang sulit diharapkan untuk sembuh dari
Rasyi>d Rid}a dengan Imam Ibnu Kas\i>r dalam memahami kata يطيقونهyang
maknanya mengacu pada orang yang mampu untuk berpuasa akan tetapi
kalangan ulama dalam hal wajib dan tidaknya seorang yang berat menjalakan
puasa Ramadan untuk memberi makan orang miskin atau membayar fidyah.
Akan tetapi yang diambil menurut mayoritas ulama yang dijadikan pegangan
132
Ibid, vol. 2, hlm. 157.
133
Ibid, vol. 2, hlm. 157.
80
banyak ulama dan yang sahih yakni yang wajib untuk membayar fidyah atau
mutlak tanpa batasan tertentu, serta tidak juga ditemukan hadis sahih yang
ukuran normal sebuah makanan di daerah tersebut, yaitu tidak berlebihan dan
penafsiran Syekh Rasyi>d Rid}a dan penafsiran Imam Ibnu Kas\i>r. Lewat
khazanah dari penafsiran itu sendiri. Berikut ini merupakan perincian dari
134
Ibid, hlm, 317.
135
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 2, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.), hlm. 155-156.
81
oleh Imam Ibnu Kas\i>r dalam karya tasfsirnya yaitu Tafsi>r al-Qur’an
al-‘Adz}i>m dan Syekh Rasyi>d Rid}a dalam karya tafsirnya, yaitu Tafsir al-
Qur’an al-H{aki>m.
hanya untuk beribadah kepada Allah swt dalam kondisi lapang maupun
sempit atau sulit akan tetapi dalam kondisi sulit atau sempit tersebut
berbuka saat puasa ramadan bagi orang lansia, pekerja berat, dan ibu
menyusui, karena apabila mereka berpuasa pada siang hari panas terang
78 berikut ini:
Rasyi>d Rid}a menjelaskan bahwa makna dari kata حرجpada Q.S. al-
inilah yang menurut Syekh Rasyi>d Rid}a telah ditiadakan oleh Allah
Karena itu Syekh Rasyi>d Rid}a tidak setuju dengan sebagian ulama
Menurut Syekh Rasyi>d Rid}a, apabila tidak ada ayat atau riwayat
Islam. Lihat Manna> al-Qat}t}a>n, Maba>h}i>th fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, hlm. 59.
138
Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsir al-Qur’an al-H{aki>m, vol. 6, (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.). hlm. 270.
84
Allah swt semakin kuat, karena lewat rukhsah kita dapat mengetahui
139
Ibid, hlm. 271.
BAB V
PENUTUP
f. Kesimpulan
mufasir ini yaitu berbeda dalam hal coraknya, yang pertama bercorak adabi> al-
ijtima>’i>, sedangkan yang kedua bercorak fiqih, corak ra’yi dan corak qira’at,
kemudian berbeda dari segi mazhabnya Syekh Rasyi>d Rid}a manganut mazhab
Hanbali, sedangkan Imam Ibnu Kas\i>r lebih kepada mazhab Syafi’i. Antara
dan tafsi>r bi ar-ra’yi sedangkan Imam Ibnu Kas\i>r sumber tafsirnya hanya
ulama, dan persamaan yang terkahir yakni sama dari segi sistematika
2. Konsep rukhsah dalam ibadah menurut Syekh Rasyi>d Rid}a adalah suatu
keringanan atau dispensasi bagi seorang mukallaf untuk tidak melakukan dan
85
seluruhnya karena adanya suatu sebab yang menuntut untuk itu (uzur). Adapun
menurut
85
86
Imam Ibnu Kas\i>r adalah merupakan hukum yang dibangun sebab adanya uzur
yang dimiliki manusia, atau hukum yang dibolehkan sebab adanya uzur yang
mana hukum perbuatan tersebut sebenarnya diharamkan bagi orang yang tidak
memiliki uzur.
3. Persamaan konsep rukhsah diantara kedua mufasir ini yakni telah sepakat bahwa
ayat-ayat berikut menjelaskan tentang rukhsah Q.S. An-Nisa [4]: 43, al-Maidah
[5]: 6, An-Nisa [4]: 101, al-Baqarah [2]: 184 dan 185, kemudian ketika
menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan rukhsah kedua mufasir ini selalu
tetapi berbeda ketika menafsirkan redaksi yang maknanya bersifat umum, Syekh
jumhur atau pendapat dari mazhab Imam Syafi’i untuk membatasi keumuman
ayat tersebut apabila ia tidak menemukan ayat yang lain atau riwayat yang dapat
digunakan untuk hal tersebut. Syekh Rasyi>d Rid}a membahas tentang aspek
hukum yang terkandung dalam ayat yang berkaitan dengan rukhsah, kemudian
hukum saja.
87
g. Saran-saran
samping itu dalam membahas Rukhsah dalam hal ibadah Studi Komparatif Tafsir
Imam Ibnu Kas\i>r dan Syekh Rasyi>d Rid{a Pada Q.S Al-Baqarah [2] Ayat 183-
185, Q.S An-Nisa> [4] Ayat 43, Dan Q.S An-Nisa> [4] Ayat 101, penulis hanya
Oleh karena itu, mengingat penelitian ini bukan akhir dari sebuah ilmu, maka
penulis menyarankan bagi siapa saja yang ingin meneliti lebih lanjut tentang
para ulama terkait judul tersebut sehingga akan diperoleh hasil yang lebih lanjut,
Daftar Pustaka
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Kairo: Dar al-
Kutub al-Hadi>tsah. 1976. jilid I.
Al-Faqi, As’ad Karim. Agar Anak Tidak Durhaka. Jakarta: Gema Insani. 2005.
Al-Ghayb, Fakhr al-Di>n al-Razi> Mafa>ti>h}. vol. 10. Bayru>t: Da>r al-Fikr.
1981 M/1401 H.
Al-Ghazali, Imam. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. Cet. Ke-3. Jakarta: Akbar Media.
2008.
______. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an. terj. Mudzakir. Jakarta: Lintera Antara Nusa.
1990.
El-Sulthani, Mawardi Labay, Mudah dan Indahnya Syari’at Islam: Islam Agama
Kedamaian, Keselamatan dan Kebahagiaan, ttp; tnp. t.t.
Hemdi, Yoli. Tata Cara Shalat lengkap yang dicintai Allah dan Rasulullah.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2018.
Ilyas, Yunahar. Kuliah Ulumul Qur’an. Cet III. Yogyakarta: ITQAN Publishing.
2014.
Kartini. Metodologi Riset Sosial. cet. VII. Bandung: Mandar Maju. 1996.
Katsir, Ibn. Al-Bidayah Wa Al-Nihayah. Jilid XIV. Beirut : Dar Al-Fikr. 1990.
Kha>n, S}iddi>q Hasan. Nayl al-Mara>m Min Tafsi>r A>yat Ahka>m. Mesir: al-
Maktabah al-Tija>riyyah al-Kubra>. 1929 M/1347 H.
90
Maswan, Nur Faizan. Kajian Diskriptif tafsir Ibn Katsir. Jakarta: Menara Kudus.
2002.
Safrilsyah. Psikologi Ibadah dalam Islam. Banda Aceh: Naskah Aceh (NASA) &
Ar- Raniry Press. 2013.
______. Kaidah Tafsir: Syarat. Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami al-Qur’an. Tanggerang: Lentera Hati. 2013.
Syibromalisi, Faizah Ali dan Azizy. Jauhar. Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern. ttp; tnp. t.t.
Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak Dalam Islam. Jilid 1. Jakarta: Pustaka
Amani. 2007.
Qardhawi, Yusuf. Konsep Ibadah Dalam Islam. Cet. Ke-2. Bandung: Mizan.
2002.
CURRICULUM VITAE
Nama : Ilham Abdul Ganie
Tempat, Tanggal Lahir : Garut, 4 September 1997
Agama : Islam
Alamat Asal : Jalan Pasar Baru, kp. BBK Lio Rt/Rw 02/03, Kel.
Ciwalen, Kec. Garut Kota, Kab. Garut, Jawa Barat.
E-mail : hilyakarima02@gmail.com
Nama Ayah : Ijang Saepudin
Nama Ibu : Yanti Supyanti
Riwayat Pendidikan :
• TK al-Hidayah, Garut
• SD Muhammadiyah 1, Garut
• Mts Darul Arqam Muhammadiyah daerah Garut
• MA Darul Arqam Muhammadiyah daerah Garut
• Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
Pengalaman Organisasi :
• HW MA Muhammadiyah Garut
• Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Garut
• Pimpinan Cabang Muhammadiyah Garut bidang LSBO
• IMTM Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah