Anda di halaman 1dari 25

BANYAK 

tokoh wanita hebat yang lahir di Indonesia ini, mulai dari zaman penjajahan, hingga
perjuangan kemerdekaan, seperti RA Kartini, Tjut Nyak Dien, atau pahlawan wanita Sunda, Dewi
Sartika.

Dari sekian wanita super yang akan selalu dikenang masyarakat tersebut, terselip satu nama
wanita dari Kabupaten Tasikmalaya, yakni Mak Eroh. Wanita yang meninggal pada 18 Oktober
2004 di usianya yang ke-68 tahun tersebut dikenal namanya pada 1988.

Setahun kemudian, United Nations Environment Program dari PBB memberikan penghargaan


lingkungan, Global 500. Sebagai penghormatan, Pemkab Tasikmalaya pun membangun
monumen Mak Eroh bersama pahlawan lingkungan lainnya, Abdul Rodjak.

Apa yang dilakukan Mak Eroh memang cukup mencengangkan dunia. Warga Desa Pasirkadu
Kecamatan Cisayong Kabupaten Tasikmalaya berhasil membuat saluran air sepanjang 4.500
meter yang mengitari 8 bukit dengan kemiringan 60-90 derajat. Proyek raksasa itu
dapat diselesaikan dengan bantuan para muda desa, dalam waktu 2,5 tahun.

Tekad kuat Mak Eroh untuk membuat saluran air ini awalnya didasari oleh sulitnya warga desa
dalam mendapatkan air, baik untuk keperluan rumah tangga maupun pertanian.

Kekeringan membuat Desa Pasirkadu jauh dari kesejahteraan. Awalnya, Mak Eroh memiliki
gagasan untuk membuat saluran air sepanjang 50 meter yang dapat menghubungkan Desa
Pasirkadu dengan Sungai Cilutung. Kerja kerasnya dimulai pada Juni 1985, namun gagasannya
hanya menjadi bahan tertawaan warga sekitar. Namun dia tidak mundur. Dengan
bermodalkan 20 pahat, 20 martil, 20 linggis, 20 belincong, plus cangkul yang dibeli dari hasil
menjual perhiasan, Mak Eroh memulai misinya.

Dengan peralatan sederhana itu, istri dari Emuh ini menggantungkan badannya hanya dengan
bermodalkan seutas tali rotan, lalu dengan gesitnya memapras bukit cadas. Setelah bekerja
keras selama 45 hari tanpa henti, Mak Eroh pun berhasil membuat saluran sepanjang 50 meter.
Dia pun melaporkan hasil kerjanya kepada ketua RT setempat.

Saat itu, warga nyaris tidak percaya dengan hasil kerja wanita yang tak lulus SD tersebut.
Setelah Mak Eroh memberikan cara membabat bukit cadas, 19 pemuda tergerak hatinya untuk
membantu, namun 8 di antaranya berhenti setelah 8 hari.

Dengan kerja keras dan kegigihan, misi tersebut membuahkan hasil saluran dengan lebar 1
meter dan berkedalaman 0.25 meter yang menghubungkan Sungai Cilutung dengan Desa
Pasirkadu.

Dari hasil kerja kerasnya itu, sawah seluas 60 hektare dapat dialiri air Sungai Cilutung. Bukan
hanya di Desa Pasirkadu, dua desa tetangga di Kecamatan Cisayong dan Indihiang pun
mendapatkan berkah dengan limpahan air. Dengan kerja kerasnya, ibu dari Tohariah, Rohanah,
dan Mesaroh tersebut telah menghidupi puluhan keluarga dan juga menolong puluhan anak-
anak dari kebodohan.
Pembuatan saluran air untuk keperluan pertanian, sebenarnya tugas pemerintah. Namun Mak
Eroh tidak pernah berpikir untuk menuntut pemerintah menyediakan irigasi, namun berusaha
sendiri menciptakan saluran air yang mengelilingi Gunung Galunggung tersebut.
Mak Eroh sendiri tak pernah menyangka akan menerima Kalpataru, yang kini disimpan di
Pendopo Kabupaten Tasikmalaya. Dia pun tak pernah mengharapkan imbalan dari apa yang
dilakukannya.

Bahkan saat ajal menjemput, Mak Eroh bersama suaminya tetap hidup seadanya tanpa
mendapat imbalan dari jerih payahnya. Dia justru masih memikirkan masyarakat di usia senjanya
saat itu. Dia berharap pemerintah mau mengusahakan pipa paralon untuk saluran air ke
desanya. Dia juga berharap ada pembangunan masjid di kampungnya. Sebab, masjid terdekat
berjarak dua kilometer dari rumahnya.

Setelah meninggal, tak banyak lagi yang mengenal Mak Eroh. Sisa-sisa nama besarnya hanya
terdengar saat pemerintah menggelar acara peringatan Hari Lingkungan Hidup. Sisanya, dia
kembali terlupakan..

Yang jelas, Mak Eroh telah memberikan inspirasi kepada kita bahwa alam bisa dipergunakan,
namun kita jangan lupa melestarikannya. Perjalanan hidup Mak Eroh pun mengajarkan kepada
kita bahwa kerja keras dan kegigihan dapat membuahkan hasil yang luar biasa. “Jika ada
keyakinan yang dapat menggerakkan gunung, itu adalah keyakinan dalam diri Anda”.
Pagi masih cerah. Sinar matahari terlihat malu menyapa bumi. Di tengah keheningan Kampung
Pasikadu, Desa Santana Mekar, Kecamatan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat, sesosok
wanita renta sudah memulai hari. Berbekal cangkul dan balincong (sejenis linggis pendek), dia
memapas sebagian tebing. Dengan tangannya, dia juga membuat saluran air yang mengaliri
ribuan hektare sawah. Hasilnya di luar dugaan; Mak Eroh (70) diganjar penghargaan Kalpataru
pada 1988. Setahun kemudian, dia juga meraih penghargaan lingkungan dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa.

Mak Eroh memang pantas dijuluki wanita baja. Dia tak pernah menyangka bakal diberi
penghargaan Kalpataru--penghargaan yang kini tak dapat dilihat lagi karena harus disimpan di
Pendopo Kabupaten Tasikmalaya. Pembuatan saluran air itu bermula dari niat sederhana. Dia
ingin mengalirkan air ke sawah seluas 400 meter persegi miliknya. Tapi tanpa disangka
upayanya selama dua tahun (1985-1987) malah membawa manfaat bagi penduduk di dua
kecamatan, Cisayong dan Indihiang. Saluran airnya mampu mengaliri ribuan hektare sawah di
dua kecamatan tersebut. Wanita yang hanya berpendidikan hingga kelas tiga sekolah dasar ini
berjuang membuat saluran air selama 47 hari.

Penghargaan Kalpataru memang diraihnya. Namun, tak ada perhatian yang ia terima. Dana
untuk memelihara saluran air juga tidak. Itulah sebabnya, Mak Eroh harus kembali bekerja keras
untuk merawat saluran air itu. Tiap pagi, Mak Eroh naik turun bukit curam untuk memeriksa
saluran air. Upaya ini kadang terhambat kesehatan. Kondisi ini membuat Mak Eroh tak sanggup
lagi memelihara saluran air sepanjang dua kilometer. Bahkan, dia pernah dirawat di Rumah Sakit
Umum Tasikmalaya karena mengalami hipertensi. Tensi darahnya tinggi. Pinggang dan tulang
belakangnya juga sering ngilu, membuatnya nyaris tak dapat bergerak.

Beberapa waktu silam, Mak Eroh dan suaminya Emuh pernah menjual gula. Namun, sejak
pohon enau yang ada di sekitar rumah tak lagi menghasilkan, usaha mereka berhenti. "Pohon
enau yang lainnya tak ada karena careuh [bulan] itu sudah habis diburu warga sekitar," kata Mak
Eroh. Sekadar diketahui, careuh bulan adalah sejenis musang yang gemar memakan buah-
buahan seperti buah aren atau enau. Nah, biji aren yang dikeluarkan bersama kotorannya itulah
yang kelak tumbuh menjadi pohon aren baru.

Kini Mak Eroh tinggal bersama suaminya, Emuh. Dua-duanya sudah sepuh. Emuh juga sudah
tak bisa lagi bekerja. Untungnya, ada seorang cucu yang tinggal di rumah mereka. Sedangkan
anak-anaknya, Tohariah, Rohanah, dan Mesaroh, tinggal bersama suaminya. Setiap hari,
selepas dari sawah, Mak Eroh tak pernah bosan mengajari cucunya memasak. Cucunya juga
diajar untuk merawat rumah.

Di usia yang senja, tak banyak yang diinginkan Mak Eroh. Dia hanya berharap pemerintah mau
mengusahakan pipa paralon untuk saluran air ke Kampung Pasirkudu. Dia juga berharap ada
pembangunan masjid di kampungnya. Sebab, masjid terdekat berjarak dua kilometer dari
rumahnya. Sayangnya, tak banyak lagi yang mengenal Mak Eroh. Sisa-sisa nama besarnya
hanya akan terdengar setiap Pemkab Tasikmalaya menyelenggarakan acara peringatan Hari
Lingkungan Hidup. Sisanya, dia kembali terlupakan. Tragis.
Kampung Kuta:
Kampung seribu
pantangan yang diminati
wisatawan
Nama Kuta berasal dari kata ‘Mahkuta’ atau mahkota dianggap sebagai
ratunya perhiasan emas di Leuweung Gede.

Yuli Saputra
Published 9:02 AM, December 05, 2015

Updated 2:23 PM, December 06, 2015

85

Twitter

Reddit

Email

85

KAMPUNG KUTA. Plang larangan di Kampung Kuta. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler.com

BANDUNG, Indonesia – Pria itu berjalan sendiri, menikmati suasana


kampung sambil mengabadikan momen menarik dalam setiap jepretan
kameranya. Tak sadar, ia jauh melangkah sampai masuk hutan keramat.
Karena ketidaktahuannya, ia tetap asyik memainkan kamera fotonya sampai
sesosok anjing hitam sebesar sapi berdiri di hadapannya.
Hutan keramat oleh warga Kampung Kuta disebut Leuweung Gede. Ki Warja
menyakini di hutan itulah Dayang Sumbi, ibunda Sangkuriang, dibuang.
Dalam legenda Gunung Tangkuban Parahu, diceritakan Dayang Sumbi
ditemani seekor anjing hitam bernama Si Tumang, yang juga merupakan ayah
Sangkuriang.
“Anjing itulah yang menampakkan diri pada si pemuda yang motret hutan itu,”
kata Ki Warja awal bulan ini saat ditemui Rappler di kediamannya.

Cerita lainnya, sekelompok mahasiswa yang sedang melaksanakan kuliah


kerja nyata (KKN) di kampung itu, tersesat karena bermain di Sungai Cijolang
tanpa ditemani warga setempat. Enam belas orang mahasiswa itu sempat
hilang hingga berjam-jam.

Ketika ditemukan Ki Warja, mereka dalam kondisi kebingungan karena jalan


yang mereka lalui sebelumnya seolah-olah hilang tak berbekas.

“Padahal mereka sudah dinasehati tidak boleh keliaran di atas jam lima sore,
mereka malah main air ke kali, gak ada yang nemani,” kata kakek berusia 67
tahun itu.

KAMPUNG KUTA. Ki Warja, sesepuh Kampung Kuta. Folo oleh Yuli Saputra/Rappler.com

Ki Warja adalah sesepuh Kampung Kuta. Kampung ini berada di Desa


Karangpaninggal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Dari Kota Bandung jaraknya bisa 177 km dengan jarak tempuh berkendaraan
sekira 4 jam. Sedangkan dari pusat Kota Ciamis, kampung itu berjarak sekitar
45 km.

Kampung Kuta dikategorikan sebagai kampung adat yang dipimpin oleh


seorang ketua adat. Selain ketua adat, ada kuncen dan sesepuh yang
dihormati warganya. Dalam pengambilan keputusan, musyawarah menjadi
cara untuk mencapai mufakat, termasuk dalam memilih sesepuh.

“Sesepuh itu yang dianggap paling nyaho (tahu) aman tidaknya masyarakat


Kuta, yang tanggung jawab kapan mulainya menanam padi sampai jadi beras.
Bahkan sampai beras itu dimasak jadi nasi,” jelas Ki Warja yang telah menjadi
sesepuh Kampung Kuta sejak 2002.

Kampung ini memiliki banyak sekali pantangan baik bagi warganya maupun
pendatang. Namun hal itulah yang membuat warga kampung masih
memegang teguh tradisi leluhurnya.

Di kampung ini, rumah-rumah penduduknya masih berbentuk panggung


dengan atap rumbia atau ijuk dan berdinding anyaman bambu. Seluruh bahan
bangunan rumah harus terbuat dari bambu dan kayu.
“Pantranganna (pantangannya) bikin rumah harus panggung, dindingnya tidak
boleh tembok. bentuknya harus persegi panjang, tidak letter U atau bentuk
lain. Tempat menyimpan beras harus dekat ke tempat tidur. Kalau rumah
diperbaiki, tidak boleh nambah ruangan ke Timur atau Utara, kalau ke Selatan
atau Barat bisa,” papar Ki Warja.

Warga Kampung Kuta juga dilarang membuat kamar mandi atau jamban di
masing-masing rumah. Untuk kebutuhan mandi cuci kakus, warga
menggunakan kamar mandi umum yang ada di tempat tertentu.

Biasanya menyatu dengan kolam iklan milik warga. Kamar mandi dan jamban
terbuat dari bambu tanpa pintu dan setengah terbuka. Airnya berasal dari
mata air yang mengalir melalui pancoran.

“Tidak boleh ada kamar mandi di rumah karena tidak boleh ada kubakan
(septictank), jadi ngalir ke kali. Ini untuk mencegah demam berdarah dan
penyakit lainnya. Kamar mandi juga tidak boleh ditembok,” jelasnya.

Membangun rumah juga tidak boleh ngompleks atau berkumpul. Harus


berderet dengan jumlah maksimal empat rumah. Rata-rata rumah di Kampung
Kuta berderet sebanyak dua rumah. Itulah sebabnya, di kampung ini masih
banyak ruang terbuka.

KAMPUNG KUTA. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler.com

“Kalau melanggar amanah leluhur, kita kualat. Bisa sakit atau meninggal,” ujar
sesepuh yang juga menjabat sebagai wakil ketua adat ini.

Aturan mengenai tata bangunan membuat Kampung Kuta tampak unik. Inilah
yang menjadikan Kampung Kuta menjadi tujuan wisata di Jawa Barat.

Selain itu, warga Kampung Kuta juga punya pantangan lain, yaitu tidak boleh
menguburkan jenazah di kawasan kampung agar air tanah tidak tercemar.
Tidak boleh membuat sumur bor karena tanah di Kampung Kuta labil.

Kampung seribu pantangan ini memiliki wilayah seluas 185.192 hektar.


Sebagian sebagian besar lahannya dipergunakan untuk perkebunan dan
pesawahan. Tak heran jika suasana di kampung ini masih asri dengan udara
yang masih terasa segar.
Udara yang segar juga dipasok oleh hutan seluas 32.886 hektar. Hutan itu
masih terjaga kelestariannya karena dianggap sebagai hutan keramat tempat
para leluhur bersemayam.

Kampung Sejuta Legenda

Hutan keramat oleh warga Kampung Kuta disebut Leuweung Gede. Warga di
sini masih meyakini di dalam hutan itulah Dayang Sumbi, ibunda
Sangkuriang, dibuang. Dalam legenda Gunung Tangkuban Parahu,
diceritakan Dayang Sumbi ditemani seekor anjing hitam bernama Si Tumang,
yang juga merupakan ayah Sangkuriang.

Sejarah Kampung Kuta juga lekat dengan legenda Kerajaan Galuh (600-an
Masehi). Konon, Kampung Kuta akan dijadikan pusat Kerajaan Galuh oleh
Prabu Ajar Sukaresi. Namun rencana itu batal. Kampung Kuta lalu disebut
sebagai nagara burung yang berarti daerah yang batal menjadi ibukota
Kerajaan Galuh.

KAMPUNG KUTA. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler.com

Leuweung Gede merupakan pusat kerajaan yang dibatalkan. Akan tetapi,


perlengkapan dan peralatan untuk membangun sebuah kerajaan sudah
disiapkan seperti besi, kayu, semen, batu dan bata. Karena batal, aneka
material itu akhirnya tertimbun tanah dan berubah menjadi sebuah bukit kecil.

Bukit-bukit itu oleh warga diberi nama sesuai asal usulnya, Gunung Semen,
Gunung Kapur, Gunung Barang, Gunung Wayang, dan Gunung Pandai
Domas (pandai besi) yang kini membentengi Kampung Kuta. Leweung Gede
dan tempat-tempat penyimpanan bahan bangunan yang gagal digunakan lalu
ditetapkan sebagai tempat keramat.

Masyarakat Kuta yakin merupakan keturunan Kerajaan Galuh yang memliki


tugas untuk memelihara dan menjaga kekayaan Raja Galuh.

Tugas tersebut diemban oleh juru kunci (kuncen). Ki Bumi, yang diduga
Pangeran Pakpak, adalah kuncen pertama. Ia diutus Raja Cirebon untuk
menyebarkan Agama Islam ke daerah Selatan.

Tempat Wisata yang Unik


Kampung Kuta memiliki potensi wisata yang lain daripada yang lain. Suasana
kampung yang masih asli dan asri menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk
berkunjung ke kampung adat ini.

Keunggulan lainnya adalah banyaknya ancepan atau situs bersejarah yang


bisa dikunjungi. Terdapat 24 ancepan di Kampung Kuta yang semuanya
memiliki cerita terkait legenda Kerajaan Galuh.

Untuk mencapai Kampung Kuta, ada dua jalur yang bisa ditempuh, yakni
melalui Kecamatan Rancah Kabupaten Ciamis atau Katapang Kota Banjar.
Kondisi jalan di kedua jalur tersebut berkelok-kelok dan naik turun dengan
pemandangan hutan Jati.

Namun kondisi jalan jalur Rancah lebih mulus dibanding Katapang sehingga
jarak tempuh jauh lebih cepat. Bila tidak menggunakan kendaraan pribadi,
bisa menyewa ojek atau angkutan umum.

Berikut 5 dari 24 ancepan yang sempat dikunjungi Rappler

1. Leuweung Gede

Hutan yang dianggap keramat itu terjaga kelestariannya dari dahulu hingga
kini. Hal itu disebabkan masyarakat sekitar menganggap hutan tersebut dihuni
oleh makhluk gaib. Karena terjaga kelestariannya, Leuweung Gede mendapat
penghargaan Kalpataru sebagai penyelamat lingkungan pada 2002.

Kekeramatan hutan itu sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang berniat


mendapatkan kesuksesan dengan cara melakukan sejumlah ritual. Tapi
dilarang keras memohon kekayaan karena itu menunjukkan ketamakan.

“Kalau ingin lulus ujian, terpilih jadi anggota dewan, bisa,” ujar Ki Warja sambil
menyebutkan cucu seorang tokoh bangsa yang pernah melakukan ritual di
Leuweung Gede.

KAMPUNG KUTA. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler.com

Ada sejumlah pantangan yang harus diikuti oleh seseorang yang ingin
memasiuki Leuweung Gede, yakni tidak boleh mengenakan alas kaki, tidak
boleh meludah, dilarang memanfaatkan dan merusak sumber hutan.
Selain itu, masuk ke dalam hutan tak boleh pakai baju dinas dengan tanda
pangkat, memakai baju hitam-hitam, membawa tas, memakai alas kaki,
berbuat gaduh, dan memakai perhiasan emas. Perempuan yang sedang
datang bulan pun dilarang masuk ke hutan keramat.

Menurut Ki Warja, banyak yang tidak percaya dan melanggar pantangan.


Seperti membawa perhiasan emas ke dalam hutan.

“Akibatnya banyak yang hilang emasnya karena mereka tidak percaya,”


katanya.

Ki Warja menjelaskan, nama Kuta berasal dari kata Mahkuta atau mahkota


yang dianggap sebagai ratunya perhiasan emas yang ada di Leuweung Gede.

“Jadi kalau ada yang pakai emas, ketarik sama mahkuta, masuk ke dalam
tanah, makanya banyak yang hilang,” ujar Kakek yang bernama asli
Sanmarno ini.

Leuweung Gede hanya bisa dikunjungi setiap Senin dan Jumat mulai pukul
08.00 hingga 16,00.

2. Gunung Barang

Gunung Barang berada di sebelah Barat Daya kampung, berupa sebuah


gundukan tanah yang konon dulunya adalah barang-barang perlengkapan
untuk membangun pusat Kerajaan Galuh. Karena urung, barang-barang
tersebut disimpan dan ditimbun di dalam sebuah gundukan tanah. Menurut Ki
Warja, tempat ini juga sering dijadikan tempat bersemedi.

3. Gunung Padaringan

Padaringan adalah kata dari Bahasa Sunda yang berarti tempat menyimpan
beras. Benda itulah yang konon menjadi asal mula terbentuknya Gunung
Padaringan. Masyarakat Kuta percaya adanya Gunung Padaringan membuat
mereka tidak pernah kekurangan pangan. Bahkan sejak dulu, mereka sudah
swasembada beras.

KAMPUNG KUTA. Pandaringan di Kampung Kuta. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler.com

“Di sini tidak ada warung yang jual beras, itu artinya masyarakat sudah
menghasilkan beras sendiri,” jelas Ki Warja sambil menyebutkan semua
penduduk Kuta bermatapencaharian sebagai petani.
Gunung Padaringan dianggap sebagai tempat beras sedunia yang
menghidupi masyarakat di dunia. Tak jauh dari Gunung Padaringan ada
sebuah pohon besar dengan lubang di tengahnya. Warga percaya di pohon
itu hidup seekor tokek berukuran besar.

“Seperti tokek di rumah-rumah yang biasanya diam di dekat padaringan untuk


menghalau tikus,” jelasnya.

4. Batu Goong

Batu Goong awalnya adalah Go’ong (Gong), sebuah alat Kesenian Sunda,


yang berukuran besar. Alat musik ini juga peninggalan Kerajaan Galuh yang
disebut Go’ong Sadunya. Lokasinya berada di sebelah Timur Laut. Menurut
riwayat, Gong aslinya disimpan di Masjid Agung Cirebon.

5. Ciasihan

Ciasihan adalah sebuah tempat pemandian yang konon airnya bisa membuat
seseorang dikasihi. Letaknya berada di tengah kampung. Ciasihan berasal
dari kata cai (air) dan asih (kasih) yang berarti airnya dipercaya bisa
menimbulkan kasih sayang. Tempat ini sering didatangi orang yang
mengharapkan mendapat jodoh dengan mandi di sana. Airnya berasal dari
sebuah mata air yang juga menjadi sumber air warga setempat.

KAMPUNG KUTA. Ciasihan di Kampung Kuta. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler.com

Kampung Kuta mulai didatangi wisatawan pada 2002, setelah kampung


tersebut mendapat penghargaan Kalpataru. Sejak dikenal sebagai tempat
wisata, kampung yang penduduknya tak pernah lebih dari 400 jiwa ini
berubah suasananya menjadi lebih ramai. Wisatawan tidak hanya datang dari
dalam negeri, tapi juga mancanegara.
“Di mana-mana darongkap (datang). Dari Jakarta, Bandung, Bogor. Dari luar
negeri juga datang, dari Perancis, Korea, Selandia Baru,” kata Saryaman (60)
yang warungnya jadi laris manis.

Fasilitas untuk wisatawan juga disediakan seperti penginapan yang


bayarannya berdasarkan kesepakatan. Ada pula panggung kesenian yang
biasanya dipergunakan untuk mempertontonkan kesenian warga Kuta.

Walau ada pantangan untuk mempertunjukkan wayang dan cerita lakon


lainnya, namun warga Kuta sendiri memiliki sejumlah kelompok kesenian.
Jenis kesenian yang mereka pertontonkan adalah Calung, Tari Jaipong, dan
musik Dangdut.

Setiap tanggal 25 Safar, warga Kuta memiliki tradisi untuk menggelar Upacara
Adat Nyuguh. Tradisi ini sebagai tanda syukur kepada Tuhan dan Bumi yang
telah menganugerahkan pangan bagi warga kampung. Pelaksanaan upacara
ini diminati oleh wisatawan sebagai tontonan budaya.

Beragam tujuan orang datang ke Kampung Kuta. Ada yang berniat ziarah
dengan maksud tertentu atau murni untuk berwisata alam dan budaya.
Banyak juga mahasiswa yang menjadikan Kampung Kuta sebagai pilihan
untuk melaksanakan kuliah kerja nyata.

Namun tidak banyak yang tahu jika Kampung Kuta memiliki kekayaan
tanaman obat. Beragam tanaman dengan fungsi menyembuhkan aneka
penyakit, tumbuh subur di tanah Kuta.

Kacapiring untuk mengobati penyakit lambung (maag), Handeuleum untuk


obat Wasir, Pisang Kidang menyembuhkan diare berdarah, Tangkalak untuk
penyakit bisulan, Daun Pecah Beling untuk obat kencing batu, Daun Sadagori
untuk menurunkan tekanan darah tinggi, dan aneka bahan obat herbal
lainnya.

“Rombongan mahasiswa keperawatan pernah datang ke sini khusus untuk


belajar soal tanaman obat,” ungkap Ki Warja.

Berwisata ke Kampung Kuta adalah seperti sebuah paket lengkap.


Pengalaman bertambah, wawasan pun meningkat.

Mengenal Kampung Adat Kuta Ciamis Jawa Barat


Suasana Panen Raya di Kampung Kuta (foto Baltyra.com)

Alampriangan.com – KAMPUNG Kuta Tambaksari Ciamis adalah sebuah dusun


adat yang sampai saat ini masih teguh memegang budaya adat leluhur. Komunitas
ini berada di Desa Karangpaninggal Kecamatan Tambaksari, sekitar 60 Km dari
Kota Ciamis ke arah timur.
Kampung Kuta terdiri atas 2 RW dan 4 RT. Kampung ini berbatasan dengan Dusun
Cibodas di sebelah utara, Dusun Margamulya di sebelah barat, dan di sebelah
selatan dan timur dengan Sungai Cijulang, yang sekaligus merupakan perbatasan
wilayah Jawa Barat dengan Jawa Tengah.

Aksesibilitas Menuju Kampung Kuta


Untuk menuju Kampung Kuta dapat ditempuh dari kota Kabupaten Ciamis dengan
jarak sekitar 34 km. Pengunjung dapat menggunakan mobil angkutan umum sampai
ke Kecamatan Rancah dan dilanjutkan dengan menggunakan motor sewaan atau
ojeg.

Kondisi jalan berupa aspal yang berkelok-kelok serta tanjakan yang cukup curam.
Jika melalui Kecamatan Tambaksari dapat menggunakan kendaraan umum mobil
sewaan atau ojeg dengan kondisi jalan serupa.

Sejarah Kampung Kuta


Nama Kampung Kuta ini mungkin diberikan karena sesuai dengan lokasi Kampung
Kuta yang berada di lembah yang curam, kurang lebih 75 meter, dan dikelilingi oleh
tebing-tebing/perbukitan. Dalam bahasa Sunda buhun, Kuta artinya pagar tembok.
Gerbang Masuk Kampung Kuta

Ada beberapa versi mengenai asal usul Kampung Adat Kuta. Penduduk setempat
percaya, sejarah Kampung Kuta berkaitan dengan pendirian kerajaan Galuh.
Kampung Kuta konon awalnya dipersiapkan sebagai ibukota kerajaan Galuh, namun
tidak jadi.
Calon Ibukota Kerajaan yang Tidak Jadi
Ketika itu sang raja yang bernama Ki Ajar Sukaresi hendak mendirikan pusat
kerajaan. Maka dipilihlah sebuah tempat yang terletak di lembah yang dikelilingi oleh
tebing sedalam sekitar 75 m di lokasi pembangunan pusat kerajaan itu.  Lokasi inilah
yang kini menjadi Kampung Kuta.

Sang raja lalu memerintahkan rakyatnya untuk membangun sebuah keraton. Namun
ketika seluruh persiapan telah dibuat serta bahan-bahan untuk membangun keratorn
telah terkumpul, Sang Prabu baru menyadari bahwa lokasi tersebut tidak cocok
untuk dijadikan pusat kerajaan karena “tidak memenuhi Patang Ewu Domas”.  Maka,
atas saran para bawahannya diputuskan untuk mencari lokasi baru.

Berbekal sekepal tanah dari bekas keratonnya di Kampung Kuta sebagai kenang-
kenangan, Sang Prabu dan para punggawa berangkat mencari lokasi baru.

Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, rombongan sampai di suatu tempat


yang tinggi. Sang Prabu lalu melihat-lihat ke sekeliling untuk meneliti apakah ada
tempat yang cocok untuk membangun Ibukota. Konon, tempat ia melihat-lihat itu
sekarang bernama Tenjolaya (tenjo dalam bahasa Sunda berarti lihat).

Ketika Sang Prabu melihat ke arah barat, ia melihat hutan rimba menghijau yang
terhampar luas. Ia kemudian melemparkan kepalan tanah yang dibawanya dari Kuta
ke arah itu. Kepalan tersebut jatuh di suatu tempat yang sekarang bernama “Kepel”.

Tanah yang dilemparkan tersebut kini berubah menjadi sebidang sawah yang datar
dengan tanah berwarna hitam seperti dengan tanah di Kuta. Sedangkan tanah di
sekitarnya berwarna merah.

Sang Prabu beserta rombongan melanjutkan perjalanannya sampai di suatu


pedataran yang subur di tepi Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy.  Di sanalah lalu
ia mendirikan kerajaan. Lokasi tersebut kini disebut Karang Kamulyan.
Baca: Merekontruksi Legenda Ciung Wanara di Situs Karangkamulyan.

Cerita selanjutnya mirip dengan cerita Ciung Wanara dalam naskah Wawacan
Sajarah Galuh. Sang Prabu kemudian memutuskan untuk mandeg pandita di
Gunung Padang. Tahta Kerajaan ia titipkan kepada sang patih bernama Aria
Kebondan.

Kepergian Sang Prabu meninggalkan dua orang istri, yaitu Dewi Naganingrum yang
sedang mengandung dan Dewi Pangrenyep. Ketika Dewi Naganingrum melahirkan,
Dewi Pangrenyep menukarkan bayinya dengan seekor anak anjing. Bayi itu
kemudian dihanyutkan ke Sungai Citanduy.

Mengetahui Dewi Naganingrum beranak seekor anjing, Aria Kebondan yang menjadi
raja di Galuh menjadi malu. Lalu menyuruh Lengser membunuhnya. Namun, sang
Lengser tak tega membunuh sang dewi.  Ia hanya menyembunyikannya di Kuta.

Adapun bayi yang dibuang ke Sungai Citanduy kemudian ditemukan oleh Aki
Balangantrang yang kemudian dipungut dan diasuh hingga remaja dan diberinama
Ciung Wanara. Tempat Aki Balangantrang mengasuh Ciung Wanara tersebut
bernama “Geger Sunten”, berjarak sekitar 6 km dari Kuta.

Ciung Wanara kemudian merebut kembali Kerajaan Galuh dari Aria Kebondan
melalui pertandingan sabung ayam, sebagaimana yang diceritakan dalam naskah.
Setelah Ciung Wanara menjadi raja, Lengser pun menjemput Dewi Naganingrum
sehingga bisa berkumpul kembali dengan anaknya.

Cerita Tuan Batasela dan Aki Bumi


Selain cerita di atas, Kampung Kuta juga berkaitan dengan cerita Tuan Batasela dan
Aki Bumi.Diceritakan bahwa bekas ibukota Galuh yang diterlantarkan selama
beberapa lama tersebut menarik perhatian Raja Cirebon dan Raja Mataram.

Masing-masing raja tersebut kemudian mengirimkan utusannya untuk menyelidiki


keadaan di Kampung Kuta. Raja Cirebon mengutus Aki Bumi, sedang Raja Mataram
mengutus Tuan Batasela.

Sebelum ke Kuta, Raja Cirebon berpesan kepada sang utusan bahwa jika didahului
oleh utusan dari Mataram, ia tidak boleh memaksa menguasai Kuta. Ia harus
mengundurkan diri, tetapi tidak boleh pulang ke Cirebon dan harus terus berdiam di
sekitar daerah itu sampai mati.

Pesan yang sama juga didapat oleh Tuan Batasela. Pergilah kedua utusan tersebut
dari kerajaannya masing-masing.
 

Tuan Batasela berjalan melalui Sungai Cijolang sampai di suatu kampung.  Ia lalu
beristirahat di sana selama satu malam. Jalan yang dilaluinya tersebut hingga saat
ini masih sering dilalui orang untuk menyeberang dari Jawa Tengah ke Jawa Barat
bernama penyebrangan “Pongpet”.

Adapun Aki Bumi, dari Cirebon langsung menuju ke Kampung Kuta dengan melalui
sebuah jalan curam, yang sampai saat ini masih ada dan diberi nama “Regol”,
sehingga tiba lebih dulu di Kampung Kuta.

Sesampainya di Kuta, Aki Bumi menemui para tetua kampung dan melakukan
penertiban-penertiban, seperti membuat jalan ke hutan dan membuat tempat
peristirahatan di pinggir situ yang disebut “Pamarakan”.

Karena telah didahului oleh utusan dari Cirebon, Tuan Batasela kemudian terus
bermukim di kampung tempat ia bermalam, yang terletak di utara Kampung Kuta.

Konon, utusan dari Mataram itu kekurangan makanan, lalu meminta-minta kepada
masyarakat di Kampung itu, tetapi tidak ada yang mau memberi.

Keluarlah umpatan dan sumpah dari Tuan Batasela yang mengatakan bahwa, “Di
kemudian hari, tidak akan ada orang yang kaya di Kampung itu.” Konon, kutukan
tersebut terbukti.  Hingga saat ini rakyat di kampung tersebut tidak ada yang kaya.

Karena menderita terus, Tuan Batasela kemudian bunuh diri dengan keris. Darah
yang keluar dari lukanya berwarna putih, lalu mengalir membentuk parit yang
kemudian disebut “Cibodas”. Kampung itu pun diberi nama Kampung Cibodas.
Tuan Batasela dimakamkan di tengah- tengah persawahan di sebelah utara
Kampung Cibodas. Makamnya masih ada hingga saat ini.

Aki Bumi terus menjadi penjaga (kuncen) Kampung Kuta sampai meninggal.  Ia lalu
dimakamkan bersama keluarganya di tengah-tengah Kampung, yang sekarang
termasuk Kampung Margamulya. Tempat makam itu disebut “Pemakaman Aki
Bumi”.

Setelah keturunan Aki Bumi tidak ada lagi, Raja Cirebon memerintahkan agar yang
menjadi kuncen di Kampung Kuta berikutnya adalah orang-orang yang dipercayai
oleh Aki Bumi, yaitu para leluhur kuncen Kampung Kuta saat ini.

Tradisi Adat yang Masih Dipertahankan


Kearifan lokal yang dipegang oleh masyarakat Kampung Kuta berhasil menjaga
keseimbangan alam dan terpeliharanya tatanan hidup bermasyarakat. Salah satu
yang menonjol adalah dalam hal pelestarian hutan, mata air dan pohon aren untuk
sumber kehidupan mereka.

Masyarakat Adat memiliki hutan keramat atau disebut Leuweung Gede yang sering
didatangi oleh orang-orang yang ingin mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan
hidup. Namun, sangat dipantang meminta sesuatu yang menunjukkan ketamakan
seperti kekayaan.

Untuk memasuki wilayah hutan keramat diberlakukan sejumlah larangan. Yaitu


antara lain: tidak boleh memanfaatkan dan merusak sumber daya hutan, memakai
baju dinas, memakai perhiasan emas, memakai baju hitam-hitam, membawa tas,
memakai alas kaki, meludah, dan berbuat gaduh.  Bahkan juga tidak boleh memakai
alas kaki.

Semua larangan-larangan tersebut bertujuan untuk menjaga hutan tidak tercemar


dan tetap lestari. Maka tidak heran di Leuweung Gede masih terlihat kayu-kayu
besar dan tua. Selain itu, sumber air masih terjaga dengan baik. Di pinggir hutan
banyak mata air yang bersih dan sering digunakan untuk mencuci muka.

Karena ketaatannya dalam menjaga kelestarian lingkungannya, pada Tahun 2002


Kampung Kuta memperoleh penghargaan Kalpataru untuk kategori Penyelamat
Lingkungan.
Pesawahan di Kampung Kuta (foto Baltyra.com)
Larangan-larangan lain yang berlaku di luar Leuweung Gede tapi masih termasuk
wilayah Kampung Kuta pun wajib dipatuhi, seperti larangan membangun rumah
dengan atap genting, mengubur jenazah di Kampung Kuta, memperlihatkan hal-hal
yang bersifat memamerkan kekayaan yang bisa menimbulkan persaingan,
mementaskan kesenian yang mengandung lakon dan cerita, misalnya wayang.

Salah Satu Rumah di Kampung Kuta


Larangan-larangan tersebut apabila dilanggar diyakini oleh masyarakat akan
menyebabkan malapetaka bagi mereka yang melanggarnya.Keunikan lainnya,
warga Kampung Kuta dilarang membuat sumur. Air untuk keperluan sehari-hari
harus diambil dari mata air. Larangan tersebut mungkin dikarenakan kondisi tanah di
kampung yang labil dan dikhawatirkan dapat merusak kontur tanah.

Kehidupan Berkesenian di Kampung Kuta


Walaupun terikat aturan-aturan adat, masyarakat Kampung Kuta mengenal dan
menggemari berbagai kesenian yang digunakan sebagai sarana hiburan.  Baik
kesenian tradisional seperti calung, reog, sandiwara (drama Sunda), tagoni
(terbang), kliningan, jaipongan, kasidah, ronggeng, sampai kesenian modern
dangdut.

Pertunjukan kesenian biasa dilaksanakan pada saat mengadakan selamatan/hajatan


terutama perkawinan dan penerimaan tamu kampung.

Panen Raya di Kampung Kuta (foto Baltyra.com)

Upacara Adat Nyuguh


Salah satu upacara adat yang rutin dilakukan adalah upacara adat Nyuguh.  
Upacara ini dilaksanakan pada tanggal 25 Shapar pada setiap tahunnya.  Sesuai
kebiasaan leluhur, acara nyuguh harus dilakukan di pinggir Sungai Cijolang yang
berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.Konon, pernah satu
kali acara nyuguh tak dilaksanakan, tiba-tiba seluruh kampung mendapat musibah.
Padi yang siap panen rusak, sejumlah hewan ternak mati. Warga menyakini
kerusakan itu terjadi karena “utusan” Padjadjaran itu tidak disuguhi makanan. Alhasil
mereka pun mencari makanan sendiri dengan cara merusak kampung.

Inap Desa di Kampung Kuta


Bagi anda yang berkeinginan untuk menginap di Kampung Adat Kuta, tersedia Inap
Desa kurang lebih 50 (lima puluh) rumah dengan kapasitas 3 (tiga) orang setiap
rumahnya.  Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis,
Jawa Barat.  Adapun nomor yang bisa dihubungi adalah Telp.: +62 812 2281 3316
(Bp. Wendry).

Jadi.. kapan ke sana?


Kampung Naga – Sebuah Kampung Adat di
Tasikmalaya
Kampung Naga | Alampriangan.com – Kampung Naga adalah sebuah kampung
adat yang terletak di desa Neglasari Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya
Jawa Barat.  Masyarakatnya masih memegang kuat adat istiadat yang diwariskan
oleh leluhur mereka dimana mereka hidup dalam tatanan yang diliputi suasana
kesahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat.

Karena keunikannya kampung ini kerap dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun
mancanagara, serta dijadikan sebagai tempat studi tentang kehidupan masyarakat
pedesaan Sunda pada masa peralihan dari pengaruh Hindu menuju pengaruh Islam
di Jawa Barat.

Sejarah Kampung Naga

Asal-usul kampung adat ini tidak begitu jelas.  Tidak diketahui dengan terang kapan,
siapa yang mendirikan serta bagaimana kampung ini berdiri.

Hal ini konon disebabkan manuskrip-manuskrip peninggalan leuhur yang bisa


menceritakan sejarah kampung terbakar pada saat pemberontakaan DI/TII tahun
1956.  Gerombolan pemberontak yang tidak senang karena masyarakat kampung
tidak mendukung perjuangan mereka, membumihanguskan kampung termasuk
tempat penyimpanan pusaka.

Penamaan Naga sendiri cukup aneh, karena sebagaimana diketahui naga adalah
ciri khas budaya Tiongkok.  Sedangkan kampung tersebut bisa dikatakan jauh dari
pengaruh itu.  Tidak terdapat ornamen-ornamen atau pun gambaran tentang hewan
naga di Kampung Naga.

Ada yang mengatakan, nama Naga berasal dari “Na Gawir”, yatu bahasa sunda
yang artinya “berada jurang.”  Ini karena kampung Naga berada pada lereng lembah
sungai Ciwulan.

Mengenai asal-usul terbentuknya kampung, konon berasal dari seorang tokoh


bernama Sembah Dalem Eyang Singaparana. Beliau adalah murid dari Sunan
Gunung Jati yang ditugaskan menyebarkan agama Islam ke barat.
Dalam perjalanannya, beliau singgah di desa Neglasari, saat ini menjadi bagian dari
kecamatan Salawu Tasikmalaya.  Dari desa tersebut, Singaparana bersama murid-
muridnya kemudian membuka tempat yang saat ini menjadi Kampung Naga.

Makam Sembah Dalem Singaparana terletak di hutan di sebelah barat kampung dan
dikeramatkan oleh warga.

Lokasi Kampung Naga

Wisata Kampung Naga, Sejarah dan Kesenian Kampung Naga

Kampung Naga terletak pada sebuah lembah yang subur seluas kurang lebih 1,5
hektar.  Topografinya berbukit dan sebagian besar digunakan untuk perumahan,
pekarangan dan kolam. Selebihnya digunakan untuk  lahan pertanian berupa sawah
yang dapat dipanen 2 kali dalam setahun.

Di sebelah barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat, sebelah selatan
dibatasi oleh sawah-sawah penduduk serta di sebelah utara dan timur dibatasi oleh
sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari gunung Cikuray, Garut.

Secara administratif, kampung ini berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan


Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi kampung tidak jauh
dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya.

Dari kota Tasikmalaya kampung ini berjarak sekitar 30 kilometer, sedangkan dari
kota Garut sekitar 26 kilometer atau kira-kira bisa ditempuh kira-kira kurang dalam
satu jam.  Patokannya adalah koordinat S7.36440 E107.99470. Untuk memudahkan,
kita bisa menggunakan google map sebagai berikut:

Bila menggunakan kendaraan pribadi, dari Jakarta rutenya adalah Tol Jakarta –
Cikampek -> Tol Purbaleunyi -> Gerbang Tol Cileunyi -> Nagreg -> arah Garut Kota
-> Cilawu -> Lokasi Kampung Naga.  Sedang dari Bandung mengambil rute Cileunyi
-> Rancaekek -> Nagreg -> Leles dan Garut Kota -> Cilawu -> Lokasi Kampung
Naga.
 

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});


Apabila menggunakan kendaraan umum, dari Jakarta naik bus jurusan Kampung
Rambutan – Garut – Singaparna turunkan di Lokasi Kampung Naga.  Sedang dari
Bandung menggunaka bus jurusan Bandunng – Garut – Tasikmalaya (Singaparna)
di terminal Cicaheum, lalu berhenti di Kampung Naga.

Bila telah sampai, dari pinggir jalan raya Garut-Tasikmalaya (tempat parkir) untuk
menuju kampung kita harus menuruni tangga (sunda: sengked) yang sudah
ditembok sampai ke tepi sungai Ciwulan sejauh 500 meter dengan kemiringan
sekitar 45 derajat .

Tandanya adalah sebuah tugu kujang raksasa. Dari tugu ini kita harus berjalan kaki
menyusuri tangga berbatu yang menurun ke Kampung Naga. Sebuah perjalanan
yang sangat indah yang dikelilingi keindahan panorama sawah yang menghijau.

Masyarakat Kampung Naga

Menurut catatan yang ada di Desa Neglasari Kecamatan Salawu, tahun 2010 jumlah
penduduk Kampung Naga berjumlah 312 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga 108
Kepala Keluarga (KK). Sedangkan jumlah bangunan 113 buah bangunan 55  rumah
termasuk bangunan khusus yaitu satu balai pertemuan, satu mesjid dan satu bumi
ageung.

Namun sebenarnya jumlah masyarakat Kampung Naga yang termasuk adat


”SaNaga” masih banyak. Yaitu mereka yang tinggal di luar Kampung Naga. Bahkan
ada juga orang Naga yang bertempat tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta,
Bandung, Cirebon, Garut, Tasikmalaya dan lain-lain.

Mereka yang bertempat di luar Kampung Naga, masih tetap terikat oleh adat Naga
dan setiap penyelenggaraan upacara adat mereka datang ke kampung untuk
berziarah ke makam keramat. Namun mereka tidak terikat lagi oleh ketentuan adat
seperti membuat rumah panggung dan aturan lainnya.

Untuk kelangsungan hidupnya, masyarakat kampung memiliki sumber mata


pencaharian dari pertanian sawah dan ladang. Baik sebagai pemilik, penggarap,
maupun buruh. Sebagai mata pencaharian tambahan, sebagian masyarakatnya
membuat barang anyaman atau kerajinan tangan dari bambu.

Religi

Masyarakat Kampung Naga seluruhnya mengaku beragama Islam. Walau demikian


mereka juga amat taat memegang adat-istiadat serta keyakinan nenek moyangnya.
Dalam kata lain, meskipun mereka menyebutkan memeluk agama Islam, namun
syariat yang mereka lakukan agak tidak sama dengan pemeluk Islam yang lain.
Contohnya, salat lima waktu hanya dilakukan pada hari Jumat, sedang hari-hari
biasa tidak. Pengajaran mengaji untuk anak-anak di Kampung Naga dilakukan pada
malam Senin dan malam Kamis.  Sementara untuk orang tua pada malam jumat.

Menunaikan ibadah haji, mereka berasumsi tak perlu jauh-jauh pergi Mekkah, cukup
melaksanakan upacara hajat sasih yang waktunya bertepatan dengan Idul Adha 10
Rayagung (Dzulhijjah).

Segala sesuatu yang dilarang untuk dilakukan di Kampung Naga berawal dari sebuah kata kunci
tadi, “Pamali.” Bagi masyarakat Kampung Naga, pamali merupakan larangan melakukan sesuatu
yang dianggap tidak baik. Larangan itu berasal dari pemimpin dan nenek moyang mereka
sebelumnya. Itu dipercaya serta dipatuhi oleh warga secara turun-temurun hingga sekarang.

Pamali mengambil ikan dengan racun, pamali mengotori air sungai dengan sabun, pamali
menebang pohon di hutan, merupakan beberapa contoh larangan yang diterapkan masyarakat
Kampung Naga. Orang Kampung Naga banyak sekali menggunakan kata pamali, mulai dari hal
yang sepele sampai hal-hal yang besar. Dengan kata mujarab pamali inilah orang-orang di
Kampung Naga menjaga kelestarian lingkungan hidupnya sampai ratusan tahun.

Tidak ada peringatan dilarang menebang pohon di tempat itu, tidak ada rambu larangan
membuang sampah ditempel di pinggir sungai. Di sana memang tidak ada aturan tertulis,
semuanya hanya diketahui dari mulut ke mulut. Menurut kuncen Kampung Naga, Bapak Ade
Suherlin, sejak kecil anak-anak di sana sudah tahu apa-apa yang tidak boleh dilakukan dan apa
yang harus dilakukan. Pengetahuan itu didapat dari orang tua, kakek dan nenek mereka secara
turun-temurun.

Tentu ada alasan yang kuat di balik mitos yang mereka percayai itu. Alasan itu bisa merupakan
hal yang sebenarnya atau hanya karena mereka sudah terbiasa hidup dengan mitos tersebut.
Kadang-kadang kata pamali dan mitos jauh lebih ampuh dibanding dengan hukum atau aturan
udang-undang. Jika kita telusuri alasan dibalik kata pamali, memang ada pesan-pesan moral
yang terkandung di dalamnya

Sebuah kalimat Pamali yang saya petik dari percakapan bersama Bapak Ade yang sarat akan
pesan moral, “Ingat, kita bukan hidup di alam. Melainkan, kita hidup bersama alam.”
(T.Raff/C03)
Agenda Hari-hari Besar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
NO TANGGAL KEGIATAN
1 10 JANUARI Hari Perencanaan Gerakan 1 Juta Pohon
2 2 FEBRUARI Hari lahan basah Se Dunia
3 21 FEBRUARI Hari Peduli Sampah nasional
4 6 MARET Hari Strategi konservasi Se Dunia
5 16 MARET Hari Bhakti Rimbawan
6 20 MARET Hari Kehutanan Sedunia
7 21 MARET Hari Hutan Internasional
8 22 MARET Hari Air Se Dunia
9 23 MARET Hari Meteorolgi
10 22 APRIL Hari Bumi
11 21 MEI Hari Keanekaragaman Hayati
12 5 JUNI Hari Lingkungan Hidup Sedunia
13 17 JUNI Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan
Kekeringan Se Dunia
14 10 AGUSTUS Hari Konservasi Alam Nasional
15 16 SEPTEMBER Hari Ozon Internasional
16 6 OKTOBER Hari Habitat Se Dunia
17 16 OKTOBER Hari Pangan Se Dunia
18 5 NOVEMBER hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional
19 28 NOVEMBER HMPI dan BMN
20 4 DESEMBER Hari Konservasi Ken Liar Se Dunia

Anda mungkin juga menyukai