Anda di halaman 1dari 17

UPAH DALAM PERSPEKTIF HADIS

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hadis Ibadah Ahkam

Dosen Pengampu:

Lisfa Sentosa Aisyah, M.A.

Disusun Oleh:

Abdurrahman Alrasyid 11170340000065

Dewi Kusuma Fitriani 11170340000147

Siti Musfirotul Laila 11170340000137

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H/2019 M

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah S.w.t atas nikmat dan karunia-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan baik.

Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan alam Nabi
Muhammad S.a.w yang telah membawa umatnya dari zaman jahiliah menuju zaman
Islamiah.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hadis Ibadah Ahkam”
yang akan dipresentasikan di kelas. Tak lupa, rasa terima kasih penulis sampaikan
kepada Bapak Dr. Hasani, M.A. atas ilmu yang telah diberikan.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
segala kritik dan saran yang konstruktif penulis harapkan guna perbaikan di masa
mendatang.

Ciputat, 21 Oktober 2019

Tim Penyusun

2
PENDAHULUAN

Islam sebagai agama rahmat lil-alamin tidak hanya mengatur hubungan


vertikal yaitu hubungan personal dengan tuhanNya (hablu min al-Allah) tetapi juga
hubungan horizontal antara individual dengan makhluk sosial lainnya (habli min al-
nas). Dalam kaitannya hubungan horizontal tadi dalam fikih disebut dengan muamalat
yang mengatur tentang pergaulan sesama muslim, non-muslim atau makhluk Allah
lainnya.

Di dalam fikih muamalat dibahas secara rinci apa-apa saja yang menjadi hak
dan kewajiban seseorang. Dalam penulis makalah ini, penulis mencoba membahas tiga
tema tentang pergaulan sehari-hari yaitu kepastian memperoleh upah, relasi majikan-
buruh, dan bagaimana cara dan syarat-syarat hutang-piutang.

Rumusan masalah yang akan digunakan adalah apa itu upah? Apa saja hak dan
kewajiban karyawan dan atasan menurut perspektif hadis? Lalu bagaimana relasi
buruh-majikan yang diajarkan oleh Islam? Selanjutnya juga dibahas mengenai tata-cara
dan etika dalam berhutang-piutang? Apa saja larangan dalam hutang piutang?
Semuanya akan dibahas secara jelas pada pembahasan selanjutnya.

3
PEMBAHASAN

A. Kepastian memperoleh upah atau gaji

1. Hadist pertama

َ‫ قال رسول هللا اَ ْعطُوا االَ ِج ْي َر أَجْ َرهُ قَ ْب َل اَ ْن َي ِجف‬: ‫وعن ابن عمر رضي هللا عنهما قال‬
‫ رواه ابن ماجه‬.ُ‫َع َرقُه‬

913. dari ibnu umar ia mengatakan bahwasanya rosulullah bersabda : “berikanlah


kepada pekerja upahnya sebelum mengering keringatnya.” (hadist riwayat ibnu
majah)1

Kosa kata hadist :

- Qabla An Yajiffa ‘Araquhu : yang berarti sebelum keringatnya mengering,


maksudnya anjuran keras agar mempercepat pembanyaran upah/ gaji yang
menjadi kompensasi atas kerja dan jerih payah mereka.
- ‘Araq : kelenjar khusus yang keluar dari pori-pori

Hal-hal penting :

1. Kewajiban membanyar upah atau gaji pekerja setelah tugas yang diwajibkan
kepanya selesai.
2. Pembayaran upah/gaji dilakukan dengan segera
3. Hal ini termasuk bagian dari pemenuhan janji dan amanat yang diperintahkan
oleh allah agar disampaikan kepada yang berhak
4. Perintah agar melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya dan larangan
memakan harta orang lain dengan cara yang salah

2. Hadist kedua

‫ َم ِن اِ ْستَأْ َج َر اَ ِج ْيرًا فَ ْليُ َسلِّ ْم‬: ‫وعن ابي سعيد الخدري ان النبي صلي هللا عليه وسلم قال‬
‫ رواه عبد الرزاق انقطاع ووصله البيهقي من طريق ابي هنيفه‬.ُ‫لَهُ اُجْ َرتَه‬

914. dari abu sa’id al khudry, disebutkan bahwa rasulullah bersabda, “barang siapa
yang mempekerjakan seorang pekerja maka tentukanlah untuknya nilai upahnya. “(
diriwayatkan oleh abdurrozzak dimana hadistnya munqhati’, namun dinilai maushul
oleh baihaqi dari jalan abu hanifah)2

Kosa kata penting :

1
Ibnu hajar al asqalani, bulugul marom diterjemahkan oleh harun zen dan zaenal muttaqin , bandung :
jabal 2011, h.
2
Ibnu hajar al asqalani, bulugul marom diterjemahkan oleh harun zen dan zaenal muttaqin , h.

4
- Falyusammi : menentukan nilai pembayaran seorang pekerja agar tidak terjadi
percekcokan atau sengketa kemudian akibat ketidakjelasan nilai upah atau gaji

Hal-hal penting :

1. Hadist ini sebagai dalil pensyaratan penyebutan nilai upah/gaji


2. Selain upah atau gaji yang harus disebutkan,batasan tugas dan kerja seorang
pekerja juga harus disebutkan, karena itu merupakan ganti dari upah/gaji
tersebut
3. Kesimpulannya, akad ijarah sema dengan akad jual beli

3. Hadist ke tiga

2270. telah menceritakan kepada kami yusuf bin muhammad, dia berkata telah
menceritakan kepadaku yahya bin sulaim dari ismail bin umayyah sari sa’id bin abi
sa’id , dari abu hurairah dari nabi muhammad SAW, beliau bersabda, “Allah telah
berfirman , ‘tiga golongan yang aku menjadi lawan mereka pada hari kiamat , yaitu :
orang yang memberi karena aku, kemudian melanggar, orang yang menjual orang
merdeka lalu memeakan harganya, dan orang yang menyewa pekerja lalu dia
menyelesaikan pekerjaannya, tetapi tidak memberi upahnya.”3

Kosa kata penting :

- A’tho bi tsumma ghadar : memberi sumpahnya atas nama-Nya.

Terdapat 3 golongan yang dibenci oleh allah yaitu :

1. membuat perjanjian dengan sumpah atas nama allah, kemudian ia melanggar


atau menghianatinya.
2. Menjual orang merdeka lalu memakan harganya. Menurut al- khaththabi Ada
2 keadaan : 1. Memerdekakan budak lalumenyembunyikan hal itu atau
mengingkarinya, 2. Menjadikan sebagai pelayan secara terpaksa setelah
dimerdekakan.

3
Ibnu hajar al asqalani, fathul bari jilid 13 diterjemahkan oleh amiruddin, jakarta : pustaka azzam,
2013, h. 63

5
3. Seseorang yang tidak membanyar upah pekerjanya. Tindakan ini sama dengan
menjual orang yang merdeka dan memakan harganya, sebab dia telah
mengambil manfaat darinya tanpa imbalan , seakan-akan dia telah
memakannya. Disamping itu dia telah memperkerjakannya tanpa upah, seakan-
akan ia telah memperbudaknya.4

Secara etimologis ijarah berarti “upah”, namun secara syara’ ijarah memiliki
berbagai definisi :

1. Akad yang berisi pemberian suatu manfaat berkompensasi dengan syarat-syarat


tertentu.
2. Sebagai akad atas manfaat yang dikehendaki, diketahui, dapat diserahkan, dan
bersifat mubah dengan kompensasi yang diketahui.

Sehingga Kewajiban memberikan imbalan upah atau gaji terhadap suatu pekerjaan
ketika adanya akad atau pengucapan akad yang jelas.

B. Relasi buruh-majikan dan etikanya

1. Hadis Etika Mempekerjakan Buruh

‫ عن أبي سعيد الخدري أن النبي‬,‫ عن إبراهيم‬,‫ عن حماد‬,‫ حدثنا حماد‬,‫حدثنا أبو كامل‬
‫س‬ ِ ْ‫ار األَ ِجي ِْر َحتَّى يُبَي َّنَ لَهُة أَجْ ُرهُ َوع َِن النَّج‬
ِ ‫ش َواللَّ ْم‬ ِ ‫صلى هللا عليه وسلم نَهَى ع َِن ا ْستِ ْئ َج‬
َ ‫َو ْإلقَا ِء‬
)‫ ( رواه احمد‬.‫الح َج َر‬

Artinya : “ Telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan


kepada kami Hammad, dari Hammad, dari Abu Sa’id Al-Khudriy r.a.
Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang mempekerjakan (menyewa) seorang
buruh sampai dijelaskan (lebih dahulu) besarnya upah baginya, (juga melarang)
najsy (menyuruh orang bayaran agar memuji barang dagangan supaya laku),
sentuhan (yang maksudnya jika menyentuh harus membeli), serta lemparan
batu (kebarang/target yang akan dibeli).” (H.R. Ahmad )5

ِ ْ‫ النَّج‬Menawar dengan maksud agar orang lain menawar lebih tinggi


‫ش‬
‫س‬ِ ‫ اللَّ ْم‬Sentuhan
‫ ْإلقَا َء ال َح َج َر‬Lemparan batu

4
Ibnu hajar al asqalani, fathul bari jilid 12 diterjemahkan oleh amiruddin, jakarta : pustaka azzam,
2013, h. 408-411
5
Achmad Aziz Abidin, Skripsi Kritik Relasi Buruh-Majikan Dalam Sistem Sekuler-Kapitalisme Perspektif
Hadis (UIN Walisongo, Semarang : 2015) hal.21

6
Perkataan yang termuat dalam redaksi hadis diatas yaitu
“…….sehingga lebih dahulu dia harus menjelaskan upahnya….” Dijadikan
sebagai dalil oleh ulama yang berpendapat bahwa menentukan upah adalah
wajib hukumnya. Mereka yang berpendapat demikian ialah ulama kalangan
ahlu bait seperti asy-syafi’I, Abu Yusuf, dan Muhammad. Sedangkan Malik,
Ahmad, Ibnu Syibrimah berpendapat bahwa upah tidak wajib hukumnya,
apabila upah tersebut sudah ma’ruf dan dipandang baik oleh umumnya orang
islam. Namun pendapat pertama yang mengatakan bahwa penjelasan perlu
disampaikan adalah lebih dikuatkan dengan mengqiyaskan pada harga
penjualan (yang harus dilakukan dengan jelas). Sehingga dengan penguatan itu
jelas bahwa seorang majikan harus menjelaskan besaran upah buruhnya,
meskipun didaerah tertentu sudah ma’ruf (diketahui) dan umum dijadikan
bayaran terhadap para buruh dalam bekerja.
Kewajiban menjelaskan upah ini dilakukan pihak majikan kepada pihak
buruh yang dimaksudkan supaya pihak buruh mengetahui besaran upah yang
nanti akan ia terima saat setelah menyelesaikan tugas kerjanya. Upaya
penjelasan ini dinilai perlu karena dalam proses muamalah, keterbukaan
merupakan sikap yang sangat ditekankan, baik oleh pihak pemberi pekerjaan
(majikan) atau pihak pelaksana pekerjaan (buruh). Majikan dalam hal ini tidak
hanya menjelaskan uah buruhnya saja, namun lebih dari itu ia harus pula
menjaga hak-haknya yang lain sebagaimana haknya dalam urusan upah.
Dalam konteks hadis ini terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan oleh
seorang majikan sebelum mempekerjakan buruhnya, yaitu: 1.) penjelasan
besaran upah kerja buruh, 2.) penjelasan jenis pekerjaannya, 3.) kekuatan yang
diperlukan untuk melakukan pekerjaan itu.6

2. Hadis Etika Buruh Menjaga Harta Majikannya

‫ أخبرنا‬: ‫ قال‬,‫ عن الزهري‬,‫ أخبرنا يونس‬: ‫ قال‬,‫ أخبرنا عبدهللا‬: ‫ قال‬,‫حدثنا بشربن محمد‬
‫ سمعت رسول هللا صلى هللا عليه‬: ‫ عن ابن عمر رضي هللا عنهما يقول‬,‫سالم بن عبدهللا‬
,‫اع َو َم ْسئُوْ ٌل ع َْن َر ِعيَّتِ ِه‬ ِ ‫ ال‬,‫اع َو ُكلُّ ُك ْم َم ْسئُو ٌل ع َْن َر ِعيَّتِ ِه‬
ٍ ‫إل َما ُم َر‬ ٍ ‫ " ُكلُّ ُك ْم َر‬: ‫وسلم يقول‬
ِ ‫ َوال َمرْ أَةُ َرا ِعيَةٌ فِي بَ ْي‬,‫اع فِي أَ ْهلِ ِه َوهُ َو َم ْسئُؤ ٌل ع َْن َر ِعيَّتِ ِه‬
ٌ‫ت زَ وْ ِجهَا َو َم ْسئُؤلَة‬ ٍ ‫َوال َّر ُج ُل َر‬
َ َ‫ْت أَ ْن قَ ْد ق‬
‫ال‬ ُ ‫ َو َح ِسب‬: ‫ال‬
َ َ‫ ق‬,"‫ال َسيِّد ِه و َم ْسئُو ٌل ع َْن َر ِعيَّتِه‬ ِ ‫اع فِي َم‬ ٍ ‫ َوالخَ ا ِد ُم َر‬,‫ع َْن َر ِعي َّتِهَا‬
ٍ ‫ َو ُكلُّ ُك ْم َر‬,‫ال أَبِ ْي ِه َو َم ْسئُو ٌل ع َْن َرا ِعيَّتِ ِه‬
‫ (رواه‬.‫اع َو َم ْسئُو ٌل ع َْن َر ِعيَّتِ ِه‬ ِ ‫اع فِي َم‬
ٍ ‫َوال َّر ُج ُل َر‬
7
)‫البخاري‬

6
Achmad Aziz Abidin, Skripsi Kritik Relasi Buruh-Majikan Dalam Sistem Sekuler-Kapitalisme
Perspektif Hadis (UIN Walisongo, Semarang : 2015) hal.67
7
Achmad Aziz Abidin, Skripsi Kritik Relasi Buruh-Majikan Dalam Sistem Sekuler-Kapitalisme
Perspektif Hadis (UIN Walisongo, Semarang : 2015) hal.27

7
Artinya : “ Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Muhammad, Ia berkata
: Telah mengabarkan kepada kamiYunus, dari Al-Zuhri yang berkata: Telah
mengabarkan kepada kami Salim bin Abdullah, dari Ibnu Umar r.a.: “Aku
mendengar Rasulullah SAW. bersabda, “Setiap kalian adalah seorang
pemimpin (pengelola) dan akan dimintai pertanggung jawaban atas yang
dipimpinnya, laki-laki adalah pemimpin keluarga dan akan ditanya tentang
kepemimpinannya, perempuan adalah seorang pengelola dirumah suaminyan
dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, pelayan adalah penjaga harta
majikannya dan akan ditanya tentang kepemimpinnya)”, Ibnu Umar berkata,
“Aku menduga bahwa Nabi SAW. juga berkata, “laki-laki adalah penjaga harta
ayahnya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Masing-masing kalian
adalah seorang pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinan kalian.”
(H.R. Imam Bukhari )

‫اع‬
ٍ ‫ َر‬Pemimpin
‫ َم ْسئُو ٌل‬Pertanggung jawaban
‫ َوال َخا ِد ُم‬Pelayan

Didalam hadis tersebut telah disebutkan bahwa terdapat gambaran sikap


tanggung jawab dari manusia yang kelak akan dimintai pertanggung
jawabannya. Sikap tanggung jawab tersebut salah satunya dimiliki oleh buruh
kepada majikannya yaitu dalam soal penjagaan harta. Wewenang dan
tanggungjawab yang telah diamanahkan oleh seorang majikan kepada
buruhnya merupakan cerminan sikap tanggung jawab buruh atas majikannya.
Buruh diminta agar menjaga harta majikannya, harta dalam konteks ini dapat
dipahami tidak hanya sebatas pada harta yang berebentuk uang saja, melainkan
semua harta benda yang dimiliki oleh majikan harus mampu dijaga dan
dipelihara dengan baik oleh buruh tersebut.
Hadis ini menyimpan maksud bahwa terpadat sifat tanggungjawab yang
harus diemban oleh seorang buruh kepada majikannya dalam pelaksanaan
kerjanya. Dalam pembahasan hadis ini Ibnu Munayyar berpendapat bahwa
ketika saling berbenturan mengenai harta seorang budak (buruh) antara haknya
dan hak majikannya, maka didahulukan yang terkuat yaitu hak majikannya.
Budak (buruh) menjadi seorang yang bertanggung jawab atasnya, karena ini
merupakan salah satu bentuk penjagaan hartanya. Budak (buruh) berkewajiban
menjaga harta majikannya dengan baik, sehingga hak majikannya dapat
terpenuhi.
Hubungan buruh dengan majikan adalah tidak hanya terbatas dalam
urusan pekerjaan saja, lebih dari itu pelaksanaan kerja buruh juga memiliki
keterkaitan erat dengan urusan menjaga menjaga harta (berupa uang ataupun

8
benda). Seorang buruh memiliki kewenangan menjaga harta majikannya,
karena hal itu merupakan bagian dari pekerjaannya.

3. Hadis Larangan Membebani Buruh (dalam bentuk setoran, upah, dan atau waktu
kerja)

‫ عن أنس بن مالك رضي هللا‬,‫ عن حميد الطويل‬,‫ حدثنا سفيان‬,‫حدثنا محمد بن يوسف‬
َ ْ‫ّاع أَو‬
‫صا َعي ِْن ِم ْن‬ ٍ ‫هللا َعلَ ْيهَ َو َسل َّ َم فَأ َ َم َر لَهُ بِص‬ َ ‫ " َح َج َم أَبُو طَ ْيبَةَ النَّبِ ِّي‬: ‫ قال‬,‫عنه‬
َّ ‫صلَّى‬
) ‫ ( رواه البخاري‬.‫ض ِريبَتِ ِه‬ َ ْ‫ َو َكل َّ َم َم َوالِيَهُ فَخَ فَّفَ ع َْن َغلَّتِ ِه أَو‬,‫طَ َع ٍام‬

Artinya : “ Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Yusuf, Telah


meriwayatkan kepada kami Sufyan dari Humaid at-Thawil, dari Anas bin Malik
r.a., Ia berkata : “Abu Thaibah menghijamah (membekam) Rasulullah SAW.,
lalu beliau memerintahkan untuk memberikan kepadanya satu atau dua sho’
makanan, lantas beliau berbicara kepada para majikannya, agar meringankan
setoran (beban kerja) atau upetinya.” (H.R. Imam Bukhari no. 2215)8

‫ َح َج َم‬Membekam
‫ض ِريبَتِ ِه‬
َ Setoran
‫ َغلَّتِ ِه‬Hasil, penghasilan

Maksud dari dharibah dalam redaksi hadis tersebut ialah kemampuan


tanggungan (setoran beban pekerjaan) buruh dalam setiap harinya. Penamaan
bab dharaibul ilma pada hadis ini diambil dengan cara menghubungkan serta
kekhususannya dengan taahud (memperhatikan), karena pada umumnya
keadaannya yang seperti itu (membebani setoran, upah, waktu kerja) memuat
jalan kerusakan. Maksud kerusakan tersebut adalah sebagaimana halnya
ditakutkan siamat (budak perempun) yaitu mencari penghasilan dari
kemaluannya, demikian pula dikhawatirkan penghasilan budak laki-laki dari
hasil mencuri.
Hadis ini mengandung maksud bahwa Nabi SAW. melarang
memberatkan beban setoran dan upah kerja buruh. Hal ini dilandasi oleh adanya
alasan karena Nabi khawatir akan teradi tindakan-tindakan yang melanggar
syari’at (dosa) apabila setoran dan upah buruh semakin ditekan oleh majikan.
Dengan dilakukan peringanan beban setoran dan upah tersebut, maka buruh

8
Achmad Aziz Abidin, Skripsi Kritik Relasi Buruh-Majikan Dalam Sistem Sekuler-Kapitalisme
Perspektif Hadis (UIN Walisongo, Semarang : 2015) hal.34

9
tidak lagi merasa tertekan dan tidak melakukan hal-hal yang menuju pada jalan
kemaksiatan (dosa).9

C. Cara dan syarat-syarat dalam hutang-piutang

1. Pengertian hutang-piutang
Dalam Alquran istilah hutang-piutang setidaknya terdapat dua kata
yang menjadi padanannya yaitu qardh dan dain. Kata qardh dalam Alquran
dapat dijumpai di QS. al-Baqarah: 245, al-Maidah: 12, al-Hadid: 11 dan 18, al-
Tagabun: 17, dan al-Muzzammil: 20. Pada semua ayat yang sudah disebutkan
kata qardh diterjemahkan dengan “pinjaman”, Mahmud Yunus mengartikan
qardh dengan arti “memotong atau menggunting”. Yusuf Qardhawi dan al-
Thabari dalam menafsirkan firman Allah qardhan hasanan pada QS. al-
Baqarah: 245 dengan menginfakkan harta di jalan Allah, sedangkan Quraish
Shihab dalam menafsirkan QS. al-Hadid: 11 kata qardh bermakna
meminjamkan harta dengan syarat dikembalikan lagi. Sedangkan kata dain
dapat ditemukan di QS. al-Baqarah: 282, al-Nisa: 11-12 semuanya bermakna
hutang. Perbedaan qardh dengan dain adalah qardh lebih spesifik daripada
dain, qardh mengacu pada hal-hal yang bersifat materi sedangkan dain lebih
bersifat non-materi seperti jani, nazar di mana hal tersebut tidak hanya
berkaitan dengan hutang sesame manusia tapi juga hutang dengan sang
pencipta Allah Swt.10
Secara esame logy, menurut Sulaiman Rasjid dalam bukunya Fiqh
Islam, utang piutang ialah memberikan sesutau dengan seseorang dengan
perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu.11 Seseorang yang
memberi pinjaman kepada individu atau badan usaha disebut kreditur dan orang
yang mendapat pinjaman baik secara individu atau badan usaha disebut debitur.

2. Hukum hutang piutang

Memberikan hutang kepada yang membutuhkan termasuk salah satu


kegiatan muamalah yang dianjurkan oleh agama Islam, karena termasuk salah
satu sarana tolong-menolong dalam kebaikan sebagaimana dalam QS. al-
Maidah: 2. Oleh karena itu, memberikan hutang hukumnya termasuk sunnah,
adakalanya menjadi wajib tatkala seseorang sangat membutuhkannya atau
dalam keadaan terlantar. 12

9
Achmad Aziz Abidin, Skripsi Kritik Relasi Buruh-Majikan Dalam Sistem Sekuler-Kapitalisme
Perspektif Hadis (UIN Walisongo, Semarang : 2015) hal.121
10
Eko Rahmanto, Kewajiban Seorang Mukmin Melunasi Hutang: Studi Maani Al-Hadits, (Jurnal Al-
A’raf, Vol. XIII, No. 1. 2016) hlm. 94-95
11
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: PT. Sinar Baru, Cet. XXXIX, 2006) hlm. 306
12
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: PT. Sinar Baru, Cet. XXXIX, 2006) hlm. 307

10
Ketika seseorang ingin melakukan pinjaman berupa uang atau barang
perlu memperhatikan rukun dan syarat. Adapun rukun dan syarat qardh
(pinjaman/hutang) adalah sebagai berikut:

Rukun Qardh

1. Peminjam (Muqtaridh)

2. Pemilik dana atau pemberi pinjaman (Muqridh)

3. Jumlah dana (Qardh)

4. Ijab Qabul (Sighat)

Syarat Qardh

1. Kerelaan dua pihak yang melakukan akad

2. Dana yang akan digunakan ada manfaatnya dan halal13

3. Hadis-hadis tentang hutang-piutang

َ ‫س‬
‫ّللاُ َعن ُه ُكر َبة مِن‬ ِ ‫س َعن مُؤمِن ُكر َبة مِن ُك َر‬
َ ‫ب ال ُّدن َيا َن َف‬ َ ‫َمن َن َف‬
َ ‫ب َيوم ال ِق َيا َم ِة َو َمن َيس ََر َعلَى مُعسِ ر َيس ََر‬
‫ّللا ُ َعلَي ِه فِى ال ُّدن َيا َواآلخ َِر ِة‬ ِ ِ ‫ُك َر‬
‫ان‬َ ‫ّللا ُ فِى َعو ِن ال َعب ِد َما َك‬ َ ‫ّللا ُ فِى ال ُّدن َيا َواآلخ َِر ِة َو‬
َ ُ‫َو َمن َس َت َر مُسلِما َس َت َره‬
‫ال َعب ُد فِى َعو ِن أَ ِخي ِه‬
Artinya:

“Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang


mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari
kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan
sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat.
Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di
dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama
hamba tersebut menolong saudaranya.”14

Dalam hadis ini menjelaskan secara umum bahwa seorang muslim


hendaknya turut membantu saudaranya yang lain tatkala membutuhkan
pertolongan. Salah satu bentuk pertolongan yang sering dilakukan dalam
masyarakat adalah memberikan hutang atau pinjaman baik untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari atau karena terdesak (darurat) seperti
membiayai keluarga yang sedang sakit. Selain hadits yang bersifat umum

13
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Nomor 19 Tahun 2000
14
Hadis ini terdapat dalam Shahih Muslim no. 4867 dan versi Syarh Shahih Muslim no. 2699.
Terdapat pula hadis yang semakna pada Sunan Abu Daud no. 4295, Tirmidzi no. 1345 dan 1853

11
di atas, ditemukan pula sejumlah petunjuk Rasulullah SAW yang
menghimbau umatnya agar suka memberikan pinjaman kepada esame
muslim yang memerlukannya. Ibnu Mas’ud memberitakan bahwa
Rasulullah SAW bersabda:

‫ص َد َق ِت َها َمرَ ة‬ َ ‫َما مِن مُسلِم يُق ِرضُ مُسلِما َقرضا َمرَ َتي ِن إِالَ َك‬
َ ‫ان َك‬
Artinya:

“Tiada seorang Muslim pun yang memberikan pinjaman kepada


Muslim (lainnya) dua kali, melainkan nilainya seperti shadaqah sekali.”15

Diungkapkan oleh Umamah, bahwa Nabi SAW bersabda:

‫ َو‬.‫ص َد َق ُة ِب َعش ِر أَم َثالِ َها‬


َ ‫ب ال َج َن ِة َمك ُتوبا اَل‬
ِ ‫ي ِبي َعلى َبا‬ َ ‫ت لَيلَة أُس ِر‬ ُ ‫َرأَي‬
‫ص َد َق ِة‬َ ‫ض ُل م َِن ال‬ َ ‫ض أَف‬ ِ ‫ت َيا ِجب ِري ُل َما َبا ُل ال َقر‬ُ ‫ َفقُل‬. ‫ال َقرضُ ِب َث َما ِن َي َة َع َش َر‬
َ ََ ‫ َوالمُس َتق ِرضُ َال َيس َتق ِرضُ إِ َال مِن‬. ُ‫؟ َقا َل ِِلَنَ السَا ِئ َل َيسأ َ ُل َوعِ ن َده‬
.‫اجة‬
)‫(رواه ابن ماجه‬
Artinya:
“Aku melihat ketika sedang melaksanakan isra’ pada pintu syurga tertulis
sodaqoh itu pahalanya sepuluh hasanah sedangkan memberi hutangan
pahalanya 18 hasanah maka saya berkata kepada Jibril “Kenapa memberi
hutangan lebih utama dari sodaqoh? Maka Jibril menjawab “Karena
biasanya orang yang minta minta itu dia masih mempunyai sesuatu untuk
menutupi kebutuhannya adapun orang yang berhutang dia tidak berhutang
kecuali karena sangat membutuhkannya.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan dalil-dalil tersebut nyatalah keutamaan memberikan
pinjaman kepada esame muslim yang memerlukannya.

4. Menghindari Kebiasaan Berhutang

Dalam kegiatan perdagangan dan jual beli, adakalanya tidak


dilakukan dengan pembayaran tunai, melainkan secara hutang. Berhutang
karena darurat untuk menutupi suatu hajat yang mendesak tentulah dapat
dimaklumi. Tetapi, bila sifat dan sikap berhutang ini dibiasakan, maka
buruklah akibatnya.
Adapun akibat-akibat buruk yang dapat dtimbulkan dari sikap suka
berhutang antara lain:
a. Menggoncangkan pikiran, mengganggu ketenangan dan ketenteraman
jiwa. Rasulullah SAW memperingatkan:

َ ‫ِن ُم َعلَ َقة ِب َدي ِن ِه ََ َتى يُق‬


‫ضى َعن ُه‬ ِ ‫َنفسُ المُؤم‬

15
Hadis riwayat Ibnu Majah KItab Hukum-hukum Bab. Memberi pinjaman No. 2421

12
Artinya:
“Jiwa orang mukmin bergantung pada hutangnya hingga dilunasi.” 16
b. Merugikan nama baik keluarga, karena terganggu oleh tagihan-tagihan
hutang
c. Hutang yang besar dapat menghambat usaha orang lain. Pihak yang
memberi hutang dapat mengalami kemacetan usaha, karena kapitalnya
mandeg di tangan orang yang berhutang
d. Pada puncaknya, hutang besar yang tak sanggup dibayar dapat
mendorong seseorang berbuat kejahatan, misalnya korupsi, mencuri,
menipu, bunuh diri dan sebagainya. Demikian juga dapat menimbulkan
pertentangan dan putusnya hubungan baik yang telah dijalin antara
kedua belah pihak.

Ada beberapa faktor yang mendorong seseorang berhutang, antara


lain:

a. Keadaan darurat, karena kesulitan hidup sehingga terpaksa berhutang


atau meminjam dari orang lain
b. Kecenderungan untuk menikmati kemewahan. Melihat orang-orang lain
memiliki barang-barang mewah, maka hati pun tergoda untuk ikut
memilikinya. Karena tidak punya uang maka dipaksakan juga
untukmembeli dengan cara hutang

5. Larangan menunda-nunda pelunasan hutang

Perbuatan yang sengaja mengulur-ulur waktu tidak membayar


hutang padahal ia mampu, termasuk akhlak yang tercela dan dipandang
sebagai perbuatan zalim. Rasulullah SAW bersabda:

‫ّللا صلى ّللا عليه وسلم َقال‬ ِ َ ‫َعن أَ ِبى ه َُري َر َة رضى ّللا عنه أَنَ َرسُو َل‬
‫ َفإِ َذا أُت ِب َع أَ ََ ُد ُكم َعلَى َملِى َفل َيت َبع‬، ‫ظلم‬
ُ ‫َمط ُل ال َغنِى‬
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya
merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada
orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima
pengalihan tersebut)”17
Dari hadis di atas juga dapat diambil hukum bahwa dibolehkannya
seseorang memindahkan tanggungan hutang kepada tanggungan yang lain.
hal semacam ini dalam fikih disebut hiwalah18

16
(HR. Ibnu Majah II/806 no.2413, dan At-Tirmidzi III/389 no.1078. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-
Albani)
17
(HR. Bukhari dalam Shahihnya IV/585 no.2287, dan Muslim dalam Shahihnya V/471 no.3978)
18
Lebih lanjut lihat Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: PT. Sinar Baru, Cet. XXXIX, 2006) hlm. 312

13
Orang yang mengambil pinjaman dengan sengaja tidak berniat
membayarnya, maka perbuatan ini lebih dhalim lagi dan dipandang sabagai
penipuan. Rasulullah SAW telah memperingatkan:

‫ارقا‬ َ َ ‫أَ ُّي َما َرجُل َي َديَنُ َدينا َوه َُو مُجمِع أَن الَ ي َُوف َي ُه إِيَاهُ لَق َِى‬
ِ ‫ّللا َس‬
Artinya:

“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia
akan bertemu Allah (pada hari kiamat) sebagai pencuri.” 19

Dalam hadits lain disebutkan:

‫ال َم ْن‬ َ َ‫ع َْن أَبِى هُ َر ْي َرةَ رضى هللا عنه ع َِن النَّبِ ِّى صلى هللا عليه وسلم ق‬
ُ‫ َو َم ْن أَ َخ َذ ي ُِري ُد إِ ْتالَفَهَا أَ ْتلَفَه‬، ُ‫هللاُ َع ْنه‬
َّ ‫اس ي ُِري ُد أَدَا َءهَا أَ َّدى‬ َ ‫أَ َخ َذ أَ ْم َو‬
ِ َّ‫ال الن‬
َّ
ُ‫هللا‬
Artinya:

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa Nabi SAW bersabda:


“Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan
untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah akan tunaikan
untuknya. Dan barang siapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak
melunasinya) maka Allah akan membinasakannya”. 20
6. Etika dalam berhutang-piutang

‫ان ل َِرجُل َعلَى ال َن ِبى صلى ّللا‬ َ ‫َعن أَ ِبى ه َُري َر َة رضى ّللا عنه َقا َل َك‬
« ‫ضاهُ َف َقا َل صلى ّللا عليه وسلم‬ َ ‫اإل ِب ِل َف َجا َءهُ َي َت َقا‬
ِ ‫عليه وسلم سِ ن م َِن‬
ُ ‫ َف َقا َل « أَع‬. ‫ َفلَم َي ِج ُدوا لَ ُه إِالَ سِ نا َفو َق َها‬، ‫ َف َطلَبُوا سِ َن ُه‬. » ُ‫طوه‬
» ُ‫طوه‬ ُ ‫أَع‬
َ‫ َقا َل ال َن ِبىُّ صلى ّللا عليه وسلم إِن‬. ‫ك‬ َ ‫ َو َفى‬، ‫ َف َقا َل أَو َفي َتنِى‬.
َ ‫ّللاُ ِب‬
َ ‫ار ُكم أََ َس ُن ُكم َق‬
‫ضاء‬ َ ‫ِخ َي‬
Artinya:

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada


seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang
menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian
mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak
menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata:
“Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya
dengan lebih. Semoga Allah membalas dengan setimpal”. Maka Nabi SAW

19
(HR. Ibnu Majah no. 2410)
20
(HR. Bukhari, II/841 bab man akhodza amwala an-naasi yuridu ada’aha, no. 2257)

14
bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam
pengembalian (hutang)”. 21

Dalam hadis ini terdapat lafaz

َ َ‫ار ُك ْم أَحْ َسنُ ُك ْم ق‬


‫ضا ًء‬ َ َ‫إِ َّن ِخي‬
“Sesungguhnya yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik
dalam membayar hutang”

Dari hadis dapat diambil pelajaran bahwa sebaik-baik orang adalah


yang paling baik dalam membayar hutang dalam artian terbaik terkait waktu
dan pinjaman. Seseorang yang telah mendapatkan pinjaman atau hutang
haruslah segera melunasi sesegera mungkin sampai batas waktu yang telah
ditentukan, terkait pinjaman kalau bisa hendaknya melunasi harta atay barang
dengan yang lebih baik atau paling tidak yang sepadan. Sebagai yang peminjam
hutang hendaknya juga jangan menagih sebelum batas akhir pengembalian
pinjaman.

Dalam berhutang-piutang juga ada etika yang paling penting harus


dihindari yaitu adanya unsur riba. Dalam perjanjian awal, tidak boleh
dipersyaratkan kepada penerima pinjaman oleh peminjam bahwa ia harus
membayar lebih dari jumlah yang dipinjamkan. Misal A meminjamkan uang
kepada B sebesar Rp. 100.000 namun dengan syarat si B harus membayar
Rp.105.000 praktik semacam ini disebut riba qardh atau riba nasiah. Namun,
hal semacam itu tidak berlaku ketika yang melebihkan datang dari si B dan
tidak ada perjanjian awal hanya saja hal itu dilakukan sebagai rasa terima kasih
atau balas budi dari si B. Dalil yang mengharamkan praktik riba dalam hutang
piutang adalah hadis dari Nabi Saw bersabda:

‫كل قرض جر نفعا فهو ربا‬

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah


riba.” 22 dan hadis-hadis yang semakna dengan ini

21
(HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.)
22
Disadur dari internet https://pengusahamuslim.com/1959-kaidah-penting-seputar-transaksi-riba-
setiap-keuntungan-dari-piutang-adalah-riba.html pada 22 Oktober 2019

15
PENUTUP

Dari beberapa uraian yang telah dijelaskan di atas dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:

1. Bahwa Islam sangat menjaga hak-hak dalam hubungan pekerjaan yaitu upah atau
gaji.

2. Relasi buruh-majikan dalam Islam juga digambarkan sebagai relasi yang


manusiawi bukan relasi yang memaksa atau pun berkerja di luar kemampuan
manusia.

3. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri melainkan


membutuhkan orang lain. Salah satu bentuk keterbutuhan manusia adalah kegiatan
hutang-piutang

4. Dalam berhutang-piutang ada beberapa etika yang perlu diperhatikan seperti


bersegera melunasi perhutangan, larangan mengambil manfaat dalam berhutang, dan
tidak boleh menyulitkan seseorang dalam melunasi hutang

16
DAFTAR PUSTAKA

Ibnu hajar al asqalani, bulugul marom diterjemahkan oleh harun zen dan zaenal
muttaqin , Bandung : Jabal 2011

Achmad Aziz Abidin, Skripsi Kritik Relasi Buruh-Majikan Dalam Sistem Sekuler-
Kapitalisme Perspektif Hadis (UIN Walisongo, Semarang : 2015)

Eko Rahmanto, Kewajiban Seorang Mukmin Melunasi Hutang: Studi Maani Al-
Hadits, (Jurnal Al-A’raf, Vol. XIII, No. 1. 2016)
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: PT. Sinar Baru, Cet. XXXIX, 2006)

17

Anda mungkin juga menyukai