SKRIPSI
Oleh:
Irwan
NIM: 102034024814
SKRIPSI
Oleh:
Irwan
NIM: 102034024814
Di bawah Bimbingan
ii
ABSTRAK
Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah Karya Achmad Chodjim; Aplikasi
Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian
Upaya menafsirkan al-Quran adalah tugas setiap generasi. Oleh sebab itu,
perlu disadari bahwa hasil interpretasi dari tiap-tiap generasi tidak pernah sampai
pada level absolut tapi hanya pada derajat relatif. Karena, bagaimanapun
penerimaan manusia terhadap wahyu verbal-tertulis, berbeda dari waktu-waktu
bergantung pada tingkat nalar masing-masing penafsir dan faktor ekstrenal yang
turut mempengaruhinya.
Dalam konteks Indonesia, penafsiran al-Quran terus berkembangan hingga
saat ini. Tentu ini fenomena yang sangat membanggakan mengingat Indonesia
adalah negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia. Tidak hanya banyak
dari sisi kuantitas, karya tafsir al-Quran di Indonesia telah memperlihatkan
keragaman dari sisi teknis penulisan tafsir dan metodologi yang digunakan.
Sayangnya, jumlah karya tafsir yang banyak itu tidak dibarengi dengan
maraknya penelitian ilmiah, khususnya, oleh mahasiswa Tafsir-Hadis UIN
Jakarta. Data yang penulis dapat, hanya ada sekitar 16 judul skripsi yang
membahas metodologi sebuah karya tafsir. Dan hanya setengahnya yang
membahas metodologi tafsir dari karya tafsir yang ditulis oleh penafsir dalam
negeri.
Untuk memberikan semangat positif kepada mahasiswa Tafsir-Hadis yang
lain, maka penulis melakukan penelitian ilmiah terhadap tafsir Alfatihah:
Membuka Mata Batin dengan Surat Pembuka karya Achmad Chodjim. Yang
penulis bidik dari Alfatihah, tentu saja aspek metodologi tafsirnya.
Sosok Achmad Chodjim memang masih asing bagi komunitas mahasiswa
Tafsir-Hadis. Pendidikan formalnya bukan dari IAIN atau lebih spesifik lagi
Tafsir-Hadis. Profesinya juga tidak bersentuhan langsung dengan teori-teori
penafsiran al-Quran atau sebagai dosen studi agama. Ia sekarang adalah mantan
karyawan di perusahaan asing dan seorang motivator. Kalaupun ada kegiataan
yang berkaitan dengan isu-isu keagamaan, ia dikenal sebagai orang yang getol
memasarkan pemikiran Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.
Layaknya HB. Jassin dan Dawam Rahardjo, Chodjim juga mendapat
gugatan ketika meluncurkan karyanya tersebut. Bagi Salman Harun, karyanya itu
bukan karya tafsir, dan itu artinya dia bukan penafsir. Meski demikian, menurut
Chodjim, Allah tidak pernah memberikan hak istimewa kepada siapapun untuk
menafsirkan al-Quran. “Kitab Suci itu terbuka bagi siapa saja yang ingin
memahaminya”, tegasnya.
Dalam meneliti metodologi tafsir Alfatihah, penulis mengikuti rumusan
yang dibuat oleh Islah Gusmian, sarjana Tafsir-Hadis UIN Jogjakarta. Dengan
rumusan Gusmian, metodologi kajian tafsir dilihat dari dua sisi, yakni sisi teknis
penulisan dan sisi hermeneutiknya.
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Sidang Munaqasyah
Anggota,
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Konsonan
È B Ù Zh
Ê T Ú '
Ë S Û Gh
Ì J Ý F
Í H Þ Q
Î Kh ß K
Ï D á L
Ð Dz ã M
Ñ R ä N
Ò Z æ W
Ó S å H
Ô Sy Á `
Õ Sh í Y
Ö Dh ÜÉ Ah
2. Syiddah Ditulis Rangkap
3. Vokal Panjang
v
Üöí Kasroh + ya mati Î
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT. Tuhan yang selalu
Gaib’ yang selalu ‘menyapa’ dan terus ‘menyemangati’ penulis kala kelelahan
mental dan finansial dalam perampungan tugas akhir skripsi ini. Atas pertolongan-
Nya pula, penulis berhasil meraih gelar sarjana strata satu di Universitas Islam
baginda Nabi Muhammad saw. Beliaulah mata air kehidupan dan teladan
pengikutnya untuk selalu menuntut ilmu, bagaimanapun telah menjadi bagian tak
Kajian Tafsir Islah Gusmian" ini tidak akan rampung dengan daya yang penulis
miliki sendiri. Banyak sosok, kolega, orang-orang spesial baik langsung maupun
tidak langsung telah banyak membantu penulis. Maka dengan segala kerendahan
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Bapak Dr. Bustamin, M.S.i.,
beliau, segala proses, perubahan, dan pencapaian adalah pelajaran yang sangat
vii
berharga.
kemurahhatian mereka secara sadar telah mendorong penulis untuk tidak surut
sebelum menang serta menantang untuk giat membaca dan tidak pernah puas
berwacana.
untuk terus menggali makna yang terdapat dalam al-Quran patut penulis apresiasi.
melainkan tanggung jawab masyarakat Tafsir Hadis, termasuk penulis. Juga untuk
Islah Gusmian yang telah menunjukkan kepada penulis dan peminat kajian tafsir
mengakhiri masa kuliah dengan husn al-khatimah. Salut untuk keduanya karena
selalu menyampaikan hal itu dengan bahasa pertemanan, layaknya dari seseorang
merampungkan karya ini tanpa ada tekanan moril tapi menyiratkan tanggung
jawab penuh. Semoga karya ini menjadi bukti buat keduanya bahwa penulis selalu
Ifan Amrizal, Aan Amrizal, serta Karisma Yuanita. Meski dunia ini kadang begitu
membosankan bersama kalian tapi ikatan darah yang mengalir dalam diri kita
abadi. Tidak sopan bila penulis melupankan kakak ipar: Ka’ Anim, Ka’ Nela, dan
Teman-teman yang sampai saat ini masih mewarnai kehidupan pribadi dan
viii
intelektual penulis: Sahal Mubarok, Agus Rusli, Bagus Irawan, Abdul Majid, Tri
mungkin kita tidak akan bertemu. Doakan agar presiden kalian ini bisa mendengar
aspirasi kalian.
Keluarga Madina: Pak Haidar Bagir, Mas Putut Widjanarko, Mas Farid
Gaban, Bang Ade Armando, Kang Hikmat Darmawan, Warsa Tarsono, Achmad
Husni, Iqbal, dan Tita atas buku-buku dan disket mininya. Teman-teman HMI
cabang Ciputat: Idris Madura, Opan, Asyari, Elban, Dodi, Azwar, Isnur, Su’udi,
balinduang hari paneh. Ureknyo buliah bakeh baselo. Batangnyo buliah bakeh
basanda.
berlindung hari panas. Akarnya boleh untuk bersila. Batangnya boleh untuk
bersandar.
Irwan
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
ABSTRAK ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... .x
DAFTAR TABEL.................................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN
x
MENDALAMI ALFATIHAH
1.Biografi ......................................................................................37
2. Karya-karya Intelektual.............................................................38
B. Alfatihah ........................................................................................39
1. Konteks Sosial...........................................................................39
B. Aspek Hermeneutis...................................................................58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................84
B. Saran................................................................................... … 86
xi
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
xii
BAB I
PENDAHULUAN
(huda). Oleh sebab itu kajian-kajian yang dilakukan kalangan Muslim mengenai
al-Quran sebagian besar merupakan kajian dalam rangka mengungkap makna teks
zamản wa makản (al-Quran relevan di setiap zaman dan tempat). Artinya, al-
Quran dapat dipahami dengan baik jika penafsir kitab suci mampu
memberi ruang bagi berbagai pemahaman al-Quran yang akan selalu berkembang
Atas dasar proporsisi di atas, maka wajar Nasr Hamid Abu Zayd menyebut
pada ‘Narasi Besar’ bernama al-Quran. 3 Dari ’Narasi’ ini lahir ribuan karya
intelektual yang ditulis para sarjana Muslim, baik klasik maupun mutakhir,
sebagai bentuk persembahan pemikiran dan solusi pada konteksnya serta sebagai
1
Ihsan Ali-Fauzi, “Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis atas Karya-
karya dalam Bahasa Arab” (Jurnal UQ, II. 1990), h. 12.
2
Very Verdiansyah, Islam Emansiaptoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan
(Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat [P3M] dan Ford Foundation
Jakarta, 2004), h. 3.
3
Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Quran; Kritik Terhadap Ulumul Quran,
penerjemah Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 1.
1
rekapitulasi nilai-nilai agama dan untuk menegaskan kembali pemahaman Islam
sebagai penafsir tunggal. Tapi setelah kematian beliau, proses penafsiran al-Quran
jatuh ke tangan para sahabat. Setidaknya ada 10 sahabat yang mendapat anugerah
berat itu. Seperti Abu Bakar al-Shiddiq, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan,
Ali ibn Abu Talib, Abdullah ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubay ibn Ka’ab, Zait ibn
Bila ditelisik dari sisi sejarah, keberhasilan Islam sebagai pandangan hidup
(world view) masyarakat Arab pada abad VII M yang melampaui agama-agama
pendahulunya, Yahudi dan Kristen serta kepercayaan lokal kaum pagan (pribumi)
tak bisa dipisahkan dari peran tafsir kontekstual-liberatif Nabi. 6 Mengingat betapa
pentingnya posisi tafsir al-Quran dalam menentukan wajah Islam sebagai penebar
kasih bagi semesta, maka proses dan tradisi ini harus dipertahankan untuk selalu
4
Didin Syafruddin, “Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an.” Jurnal Studia
Islamika 2, No.2 (1995), h. 180. Review buku Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di
Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin, (Bandung:
Mizan, 1996).
5
Ahli tafsir di kalangan sahabat sebenarnya banyak jumlahnya tapi yang paling terkenal
10 sahabat di atas. Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, penerjemah Tim Pustaka
Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 411.
6
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998), h. 298.
7
Lihat M. Quraisy Shihab, Mukjizat al-Quran Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 2001), h. 94. Schoun, seperti yang dikutip A’la,
menambahkan bahwa keunikan al-Quran karena bahasa al-Quran tidak disusun dalam bentuk
pernyataan doktrinal melainkan dalam bentuk narasi historis dan eskatologis. Abd A’la, al-Quran
dan Hermeneutik; Memahami Bahasa Agama dalam Wacana Neo-Modernitas (Jakarta: Jurnal
taswirul Afkar, Edisi VIII, 2000), h. 122.
2
Karena upaya pengakraban terhadap al-Quran dengan berbagai metode
dan pendekatannya adalah tugas setiap generasi, harus diingat bahwa hasil
interpretasi tidak pernah sampai pada level absolut dan benar secara mutlak.
Bagaimanapun resepsi manusia terhadap wahyu verbal tertulis berbeda dari waktu
ke waktu, sesuai dengan tingkat nalar dan faktor-faktor ekstrenal yang turut
mempengaruhinya. 8
Tapi sejauh ini penulis belum menemukan tulisan yang merekapitulasi berapa
Sejarah mencatat ada sebuah penggalan karya tafsir surat al-Kahfi (18)
dalam bahasa Melayu. Manuskrip itu tertanggal sebelum tahun 1620 yang dibawa
ke Belanda oleh sebuah armada Belanda. Bahasanya sangat fasih dan idiomatis.
Jelasnya, karya tersebut termasuk kajian al-Quran yang telah terbangun dengan
standar yang tinggi. Meskipun tidak ada pengarang yang terindikasi, dapat
dipastikan bahwa karya tersebut adalah terjemahan Tafsir al-Khazin (w. 1340)
8
Pengantar Nur Kholis Setiawan,dalam Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu
Tuhan: Kritik atas nalar Tafsir Gender (Jogjakarta: Safiria Insania Press, 2004), h. xiv.
9
Aktivitas penafsiran al-Quran di Indonesia, setidaknya, bisa dibagi menjadi tiga periode.
Periode pertama atau yang disebut periode klasik dimulai dari abad 17 sampai 19 M. Periode
kedua dimulai dari awal abad 20 sampai dekade 80-an. Terakhir periode kontemporer yang
dimulai dari dekade 80-an sampai sekarang. Bidik Lisma Dyawati Fuaida, “Kajian al-Quran
Kontemporer: Gagasan tentang Metode dan Pendekatan Penafsiran al-Quran di Indonesia,”
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002).
10
Dalam sebuah makalah yang penulis temukan di internet, dikatakan bahwa Nasruddin
Baidan mencatat ada sekitar 1000 karya tafsir yang ditulis sarjana Muslim Indonesia. Tapi penulis
tidak menemukan informasi ini langsung dalam buku-buku yang ditulis Nasruddin Baidan.
3
atas surat al-Kahfi. Karya ini merefleksikan perbedaan penafsiran atas surat itu
1693 M) sebagai sarjana Nusantara yang menyusun karya tafsir lengkap 30 juz
dan diberi judul Tarjuman al-Mustafid. Karya ini ditulis kala dirinya diangkat
sebagai mufti pada masa pemerintahan seorang sultanah dari kesultanan Aceh
bernama Kamalat al-Din (berkuasa 1098-1109 H/1688-1699 M). Karya ini lahir
gerakan ortodoksi yang dipimpin Nur al-Din Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasanji al-
Pada masa itu tidak ada karya tafsir yang populer dari sarjana Muslim
salah seorang ulama yang menonjol pada abad ke-19 dan telah menghasilkan lebih
dari 100 karya dalam pelbagai bidang ilmu keislaman. Seperti tafsir, fikih,
ushuluddin, ilmu tauhid, tasawuf, sejarah Nabi, tata bahasa Arab, hadis, dan
dengan judul Tafsir Marah Labid atau Tafsir al-Munir dalam bahasa Arab setebal
985 halaman yang terdiri dari dua jilid. Mazhab tafsir yang dirujuknya bercorak
11
Anthony H. Johns, “Tafsir al-Quran di Dunia Indonesia-Melayu: Sebuah Penelitian
Awal.” Jurnal Studi Al-Qur’an I, No. 3 (2006), h. 464. Untuk melihat puisi dan prosa Hamzah
Fansuri bidik Abdul Hadi WM, Tasawuf yang Tertindas; Kajian Hermeneutik Karya-karya
Hamzah Fansuri (Jakarta: Paramadina, 2000); Syed M. Naguib al-Attas, The Mysticism of Hamzah
Fansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970); Didin Syafruddin, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid IV), h. 53-
57.
12
Oman Fathurahman, “Abdur Rauf Singkel Ulama Dari Serambi Mekkah,” Kompas, 01
Januari 2000, h. 12; Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, (Bandung:
Mizan, 2002), h. 110-133.
4
Suni sekalipun di beberapa bagian merujuk pada karya tafsir dari kalangan
ulum al-Quran (55 buah), terjemahan al-Quran (69), kutipan al-Quran (29-30),
peranan al-Quran (27), bagaimana cara membaca al-Quran (91-92), dan indeks
al-Quran (74). 14
Beberapa karya tafsir yang dicatat Federspiel antara lain: [1] Hamka,
Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) 12 jilid. [2] H. Oemar Bakry,
Tafsir Rahmat (Jakarta: Mutiara, 1983). [3] Zainuddin Hamidy dan Fachruddin
Hs., Tafsir al-Quran (Jakarta: Widjaya, 1959). [4] Ahmad Hassan, Al-Furqan:
Tafsir Quran (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah, 1956). [5] A. Halim Hasan,
Zainal Arifin Abas, dan Abdur Rahim Haitami, Tafsir Al-Quranul Karim (Kuala
Lumpur: Pustaka Antara, 1969) 2 jilid. Pada 1955 diterbitkan lagi di Medan. [6]
[7] Bactiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Quran: Huruf Arab dan Latin
13
Didin Syafruddin, Ilmu al-Quran Sebagai Sumber Pemikiran dalam Ensiklpodei
Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.,t.), jilid IV, h. 54.
14
Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga
Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996), h. 100-248. Lihat juga Didin
Syafruddin, “Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an.” h. 180.
15
Dua karya (nomor 8 dan 9) yang ditulis bersama-sama itu didanai oleh pemerintah dan
menarik sekelompok ulama, yang dikenal akrab oleh para pejabat Departemen Agama. Sebagian
besar dari mereka memiliki hubungan dengan IAIN-IAIN. Mereka adalah Bustami A. Gani
(ketua), T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (wakil ketua), Kamal Muhtar (seketaris), Ghazali Thaib,
Syukri Ghazali, A. Mukti Ali, M. Toha Yahya Umar, Amin Nashir, Timur Jailani, Ibrahim Husien,
5
11 jilid. [9] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Quran, Al-Quran
dan Terjemahannya (Jakarta, 1971). Sebelumnya pernah dicetak pada 1967. [10]
H. Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1973).
dengan karya tafsir pada generasi setelahnya. Misalnya, karya tafsir nomor 2, 3, 4,
7, dan 10 adalah karya tafsir generasi kedua. Genarasi ini dimulai pada era 1960-
adanya penerjemahan dan penafsiran yang masih terpisah-pisah. Karya tafsir pada
generasi kedua biasanya memiliki beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata
per kata, dan kadang-kadang disertai indeks yang sederhana. 16 Sedangkan karya
generasi ketiga diwakili oleh karya nomor 1, 5, dan 6. Karya pada generasi ketiga
karena itu berisi materi tentang teks dan metodologi dalam menganalisa tafsir. 17
beredar pada abad 20. Karya-karya tafsir yang disebutkannya sebagian besar telah
disebutkan oleh Federspiel. Seperti Tafsir Qur’an Karim-nya Mahmud Yunus, Al-
A. Musaddad, Mukhyar Yahya, A. Soenaryo, Ali Maksum, Musyairi Majdi, Sanusi Latif, dan
Abdur Rahim. Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia, h. 106.
16
Kategorisasi Federspiel memang bermanfaat dalam rangka melihat dinamika penulisan
tafsir di Indonesia. Namun dari segi tahun pemilahannya itu tampak kacau. Ia memasukan tiga
karya tafsir yang menurutnya representatif untuk mewakili generasi kedua. Padahal karya itu telah
muncul pada pertengahan dan akhir tahun 1950-an, yang dalam kotegorisasinya masuk dalam
generasi pertama. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Teraju: Bandung, 2003), h. 65.
17
Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia, h. 129 dan 137. Untuk melihat
literature-literatur yang diteliti Federspiel selain karya-karya di atas, bidik halaman 162-164, 224
dan 260.
6
Yusuf membedakan masing-masing karya tafsir dari sisi metode penafsiran,
bahwa sebagian besar karya tafsir yang ia teliti ternyata masih beraliran
tradisional. 18
karya tafsir dalam periode 1990-an. Karya-karya itu di antaranya: [1] Konsep
Kufur dalam al-Quran, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematis
(Jakarta: Bulan Bintang, 1991) karya Harifuddin Cawidu, [2] Konsep Perbuatan
Manusia Menurut al-Quran, Suatu Kajian Tafsir Tematis (Jakarta: Bulan Bintang,
1992) karya Jalaluddin Rakhmat, [3] Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-
Quran (Yogyakarta: LESFI, 1992) karya Musa Asy’ari, dan lain-lain. 19 Dalam
penelitiannya tersebut, Gusmian melihat ada keragaman dari sisi teknis penulisan
yang memperlihatkan adanya tren baru dalam sejarah penulisan tafsir pada
dasawarsa 1990-an.
yang berkonsentrasi hanya pada surat al-Fatihah. Misalnya, [1] Kandungan Surat
al-Fatihah: Tinjauan dari Sudut Kebudayaan, Agama, Politik, dan Sastra karya
Bahrum Rangkuti, [2] Rahasia Ummul al-Quran atau Tafsir Surat al-Fatihah
karya A. Bahri, [3] Samudera al-Fatihah, Mahkota Tuntunan Ilahi: Pesona al-
Fatihah karya M. Quraish Shihab, [4] Tafsir Sufi al-Fatihah: Mukadimah karya
18
Selengkapnya bidik M. Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Quran di Indonesia Abad
Keduapuluh.” Jurnal Ulumul Quran 3, No. 4 (1992), h. 50.
19
Selengkapnya bidik Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 69.
7
Jalaluddin Rakhmat; [5] dan Alfatihah: Membuka Mata Batin dengan Surah
jumlahnya. Sebab, ada beberapa karya tafsir yang dicatat oleh lebih dari satu
orang. Seperti Tafsir Sufi Surat al-Fatihah karya Jalaluddin Rakhmat, yang tidak
hanya dicatat oleh Islah Gusmian tapi juga dicatat oleh M. Affifuddin.
Dari sekian banyak karya tafsir yang diproduksi sarjana Muslim Indonesia,
sayangnya masih sedikit yang dijadikan objek kajian penelitian ilmiah dalam
bentuk skripsi oleh mahasiswa Tafsir Hadis UIN Jakarta, khususnya pembahasan
tentang analisis metodologi karya tafsir. Data yang penulis peroleh dari katalog
sekitar 231 judul skripsi 21 yang membahas tentang tafsir. 22 Dari 231 judul skripsi,
penulis mencatat hanya ada 16 judul skripsi yang membahas tentang metodologi
karya tafsir. Delapan judul skripsi membahas aspek metodologi tafsir karya dalam
negeri 23 dan 8 judul skripsi membahas aspek metodologi tafsir karya non-
Indonesia. 24
20
M. Affifuddin, “Apresiasi Spiritual Q.S al-Fatihah; Survei Profil Karya-karya
Jalaluddin Rakhmat, Anand Krishna, dan Ahmad Chodjim,” (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004), h. 40. Bidik juga Izza Rohman Nahrowi,
“Karakter Kajian al-Quran di Indonesia” (Skripsi S1, fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas
Islam Negeri Jakarta, 2002).
21
Penulis meragukan jumlah tersebut. Sebab ada beberapa judul skripsi yang tertulis
lebih dari satu kali. Di samping itu, jumlah tersebut tidak melulu berasal dari skripsi mahasiswa
Tafsir hadis.
22
Tema tafsir yang dibahas oleh mahasiswa Tafsir Hadis UIN Jakarta secara umum
adalah: konsep tertentu yang ‘dicomot’ dari sebuah karya tafsir, komparasi suatu konsep tertentu
dari dua karya tafsir yang berbeda, melihat suatu fenomena tertentu dengan merujuk kepada
sebuah karya tafsir, elaborasi metodologi penafsiran seorang tokoh, dan studi tokoh dengan karya
tafsirnya.
23
[1] Tita Rodhiyatan Mardhiyyah ”Metodologi Tafsir Yayasan Al-Mu’min; Telaah
Metode Mawdhû’î dan Corak Isyârî dalam Buku ’Kabar Gemberi dan Peringatan tentang
Penyembahan Kita kepada Allah SWT,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas
8
Untuk menyemarakan studi analisis metodologi karya tafsir, penulis ingin
sarjana Muslim Indonesia. Karya tafsir yang akan penulis telaah dalam penelitian
Karya tafsir yang diterbitkan Serambi pada Maret 2008 itu adalah karya
”Surah ini dibaca untuk membuka mata batin kita. Dengan memahami dan
menghayati surah ini diharapkan akan terbuka mata hati agar kita menyadari
kandungan Kitab Allah, baik Kitab-kitab-Nya yang tertulis maupun yang tidak
Islam Negeri Jakarta, 2008). [2] Rifka Rahma Wardani ”Tafsir Tematik al-Quran tentang
Hubungan Sosial Antar-umat Beragama karya Majlis Tarjih P.P. Muhammadiyah: Sebuah Telaah
Analitis tentang Metodologi Penafsiran al-Quran”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). [3] Abd. Gofur ”Metode dan Corak Tafsir al-Hijri:
Kajian Analitis Karya Didin Hafiduddin”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). [4] Hernizal Saidi Harahap ”Studi Kritis Metodologi
Tafsir Rahmat”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta,
2004). [5] Mahnawil ”Tafsir al-Furqan karya Ahmad Hassan: Analisa Kritis”, (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). [6] Ahmad Zaeni ”Mengenal
Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Abd al-Rauf Singkel: Analisis terhadap Sumber, Metode, dan
Corak Tafsir”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta,
2008). [7] Cucu Surahman ”Pola Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (Pola
Penafsiran Surah al-Baqarah)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2003). [8] Rena Yuniar, Analisa Metodologi Tafsir Pasé: Kajian Surah al-Fatihah
dan Surah-surah dalam Juz 'Amma: Paradigma Baru (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin & Filsafat,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005).
24
[1] Liza Khadijah “Metode dan Corak Penafsiran al-Quran dalam Tafsir Ad-Durr al-
Mansur fi al-Tafsir al-Ma'tsur karya Jalaluddin Suyuti”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002). [2] Syahrullah Iskandar “Manhaj Fakhruddin
Arozi fi Tafsir al-Fatihah: Dirasat Tahliliyah li Tafsir Mafatih al-Ghaib”, (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003). [3] Achmad Rizal “Pemikiran
Ibn Taimiyah dalam Tafsir: Telaah Kritis terhadap Metode Tafsir al-Kabir”, (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005). [4] Yusuf Iskandar “Tafsir Ayat
al-Ahkam: Studi Atas Metode Tafsir Ayat al-Ahkam karya al-Shabuni”, (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002). [5] Lalu M. Iqbal “Metodologi
Penafsiran al-Quran Mutawalli Sya’rawi dalam Tafsir al-Sya’rawi”, (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). [6] Ihat Malihatun ”Metode
Penafsiran Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004). [8] M. Rizal “Metode Penafsiran
Abdurrahman al-Sa’di dalam Kitab Taysir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan”,
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005).
25
Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin Dengan Surah Pembuka [edisi baru]
(Jakarta: Serambi, 2008).
26
Buku ini pertama kali cetak pada Februari 2002. Saat itu, buku ini berjudul Jalan
Pencerahan; Menyelami Kandungan Samudra al-Fatihah.
27
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 6.
9
tertulis, yaitu kitab yang terbentang di semesta alam, termasuk kitab yang ada
dalam diri kita”.
secara berurutan. 28 Mulai dari Basmalah, Segala Puji Kepunyaan Allah, Dia Maha
Pemurah, Raja Hari al-Din, Ibadah dan Pertolongan, Jalan yang Lurus,
bahwa karyanya itu bukan karya tafsir. Menurutnya, secara kapasitas dia tidak
memiliki otoritas untuk menyatakan dirinya sebagai ahli tafsir. 29 Tengok saja latar
(agronomi) dari Institut Pertanian Bogor. Lalu pada 1996, ia meraih gelar magister
penafsiran selalu dipersoalkan. Sebut saja usaha yang dilakukan HB. Jassin
Dalam sebuah forum diskusi di IAIN Jakarta pada 2000, Salman Harun, mantan
Dekan fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan UIN, Jakarta, dengan tegas berkata
28
Lihat daftar isi buku Alfatihah; Membuka Mata Batin, h. 7.
29
Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin, h. 11.
30
Untuk mengetahui sosok HB. Jasin bidik ‘suplemen’, Ulumul Quran 5, vol. IV (1993),
h. 62. Lalu untuk melihat ‘dosa kedua’ Jassin setelah Bacaan Mulia bidik D. Sirojuddin AR, “Al-
Quran Berwajah Puisi: Dibenarkan Tapi Tidak Diakui.” Ulumul Quran 5, vol. IV (1993), h. 60.
31
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci (Jakarta: Paramadina dan Jurnal Ulumul Qur’an, 2002), h. xx. Bidik juga
Nasaruddin Umar, “Refleksi Sosial dalam Memahami Al-Qur’an: Menimbang Ensiklopedi Al-
Qur’an Karya M. Dawam Rahardjo.” Jurnal Studi Al-Qur’an I, No. 3 (2006), h. 487.
10
kepada Achmad Chodjim: ”Tafsir itu bukan wilayah Anda, sebaiknya Anda tidak
dirinya bagi siapapun yang ingin membaca dan memahami kandungan dalam
dirinya. 33
Singkat kata, ada beberapa alasan yang mendorong penulis memilih tema
penelitian ini. Pertama, sarjana Muslim Indonesia tidak kalah produktifnya dalam
menghasilkan karya tafsir. Terbukti telah hadir beragam karya tafsir dari generasi
awal hingga saat ini. 34 Tapi ada kesenjangan antara banyaknya produk tafsir yang
Kedua, penulis Alfatihah adalah bukan orang dari lingkungan pelajar ilmu
agama dan lebih spesifik lagi Tafsir-Hadis. Tentu akan sangat menarik untuk
meneliti karya yang ditulis ’orang-luar’ dari sisi metode tafsir yang digunakan dan
penulis akan sepakat dengan Salman Harun yang menyangsikan bahwa karya
seperti yang disebut di atas, juga membuat rumusan metodologi kajian atas karya
32
Wawancara pribadi dengan Achmad Chodjim, Senin 15 Februari 2010 di kediamannya,
Pamulang.
33
Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin, h. 11.
34
Untuk melihat kecenderungan umum kajian tafsir di Indonesia, bidik Kusmana,
“Rekontekstualisasi Tradisi Tafsir al-Quran di Indonesia; Mencari Kemungkinan Penggunaan
Analisa Metodologi ‘Barat’.” Jurnal refleksi 4, No. 3 (2002), h. 63.
11
tafsir. Rumusan ini akan sangat mubazir kalau tidak dimanfaatkan untuk
meneropong karya tafsir yang ditulis oleh sarjana Muslim, khususnya dari
Indonesia.
melakukan penelitian tafsir Alfatihah yang ditulis Achmad Chodjim terutama dari
adalah rumusan mutakhir yang dibuat untuk menganalisa metodologi sebuh karya
rumusan yang lain. Rumusan Farmawi, misalnya, (tahlîlî, ijmâlî, muqarân, dan
maudû’î)—yang sering dikutip mahasiswa Tafsir Hadis UIN Jakarta baik dalam
35
Bidik bab III halaman 31 untuk melihat perkembangan perumusan metodologi kajian
karya tafsir oleh para perumus dari dalam negeri.
12
makalah maupun skripsi—tidak menjelaskan secara rinci hal-hal menarik yang
terdapat dalam sebuah karya tafsir. Seperti bentuk penulisan tafsir, gaya bahasa
Ketiga, Rumusan Farmawi harus diakui memang lebih maju dari rumusan
ulama abad ke-9 sampai abad 13 H yang membagi metodologi tafsir dalam tiga
Tapi rumusan yang dibuat Farmawi tidak memberikan pemetaan yang tegas antara
maka rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Bagaimana
C. Metodologi Penelitian
melakukan studi terhadap buku-buku yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini,
a. Penelitian Kepustakaan
36
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 115.
13
Rujukan utama pembahasan ini ialah Alfatihah; Membuka Mata Batin
dengan Surah Pembuka (Jakarta, Serambi, 2008), [edisi baru] karya Achmad
artikel jurnal dan koran, baik yang tercetak maupun yang elektronik yang tidak
b. Penelitian Lapangan
tidak disebutkan secara eksplisit tapi masih relevan untuk penelitian ini.
2. Metode Pembahasan
mengikuti rumusan yang disusun Islah Gusmian. 37 Dalam hal ini, ada dua variabel
penting yang perlu didedah. Pertama, variabel teknis penulisan tafsir. Variabel
teknis ini menyangkut sistematika dan bentuk tekstual literatut tafsit ditulis dan
disajikan, gaya bahasa yang digunakan, sifat penafsir, serta buku-buku rujukan
yang digunakan.
tafsir. Aspek hermeneutik ini tidak hanya terbatas pada variabel linguistik dan
riwâyah, tapi juga mempertimbangkan unsur triadik: teks, penafsir, dan audiens
sebagai sasaran teks. Dalam aspek hermeneutik ini, arah kajian bergerak pada tiga
37
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 119-121.
14
wilayah. (1) metode penafsiran, yakni tata kerja analisa yang digunakan dalam
penafsiran yang terdiri dari: metode riwayat, metode pemikiran, dan metode
interteks. (2) nuansa penafsiran, yaitu analisa yang menjadi nuansa atau
mainstrem yang terdapat dalam karya tafsir. Misalnya nuansa fikih, sufi, dan lain
sebagainya. (3) pendekatan tafsir, yaitu arah gerak yang dipakai dalam penafsiran.
Dalam bagian ini terdiri dari: (a) pendekatan tekstual bergerak dari proses
penafsiran cenderung berpusat pada teks. Sifatnya ke bawah: dari refleksi (teks)
ke praksis (konteks). (b) pendekatan kontekstual, yaitu arah gerak penafsiran yang
lebih berpusat pada konteks sosio-historis di mana penafsir hidup dan berada,
3. Metode Penulisan
Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” (Jakarta : CeQDA [Center for
Tujuan utama penelitian ini ialah ingin melihat metode yang digunakan
Achmad Chodjim dalam tafsir Alfatihah. Penulis juga ingin mengekspolari dan
mengelaborasi ragam metodologi karya tafsir. Tujuan yang tak kalah penting ialah
Jakarta.
Manfaat dari penulisan skripsi ini di antaranya: Dari sisi akademis, ingin
15
Quran, khususnya metodologi Alfatihah karya Achmad Chodjim. Dari sisi
UIN Jakarta agar mau menggalakan kajian terhadap karya tafsir yang ditulis
E. Sistematika Penulisan
Secara garis besar skripsi ini terdiri dari 5 bab. BAB I adalah pendahuluan
yang berisi latar belakang masalah, rumusan dan pembatasan masalah, metodologi
Pada BAB II, penulis akan menjelaskan pengertian metodologi tafsir. Lalu
menjelajahi sejarah tafsir dan memetakan ragam metodologi tafsir dalam karya-
lebih dekat, baik dari sisi riwayat hidup dan karya-karya intelektual yang pernah
ditulisnya. Selain itu, penulis juga memaparkan konteks sosial Alfatihah, masa
Chodjim.
Pada BAB IV, penulis akan fokus menyoroti metodologi tafsir Alfatihah.
Alfatihah dari aspek luar (teknis penulisan) dan aspek dalamnya (hermeneutis).
BAB V adalah bab terakhir dan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran-saran.
16
BAB II
adalah (1) a set or system of methods, principles, and rules in a given discipline.
(2) a branch of pedagogics dealing with analysis of subject to be taught and of the
metodologi adalah (1) a branch of philosophy dealing with the sciense of method
methodos, yang diambil dari bahasa Latin: methodus yang terambil dari kata meta
(setelah, mengikuti) dan hodos (jalan). Sedangkan logos berarti kata, ujaran, rasio,
dan ilmu. Ada lima pengertian dari metodologi yang ditulis Lorens Bagus: (1)
1
Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999), h.
776. Sedangkan metode adalah procedure, technique, or planned of way doing something; order
or system in doing anything; dan orderly or systematic arrangement, sequence, or the like.
2
The New Lexicon Webster’s Dictionary of English Language, vol. I (Danbury, CT:
Lexicon Publications, INC., 2004), h. 628. Sedangkan metode adalah a way of doing something; a
procedure for doing something; orderliness in doing, planning, etc.
3
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta:Gramedi, 1996), h. 648-649. Sedangkan metode,
Bagus mengartikannya sebagai jalan atau cara totalitas yang ingin dicapai atau dibangun; cara
yang didefinisikan secara jelas dan sistematis untuk mencapai suatu tujuan. Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, h. 644.
17
tertentu. Atau studi tentang metode [prosedur, prinsip] yang digunakan untuk
menata ilmu yang teratur tersebut. (2) Prinsip-prinsip dari sistem teratur itu
tentang metode atau uraian tentang metode. Sedangkan metode adalah cara yang
pengetahuan dan lain sebagainya) atau cara kerja yang bersistem untuk
Dalam bahasa Arab 5 , metodologi diterjemahkan dengan manhaj atau minhâj yang
Adapun kata tafsir atau al-tafsîr adalah bentuk masdar (kata benda
abstrak) dari kata fassara-yufassiru-tafsîran. Kata ini, dalam ilmu sorf berwazan
7
(timbangan) kata taf’il. Kata ini sudah dipakai sejak abad kelima H/kesebelas M.
4
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 652-653.
5
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan
Fazlur Rahman (Jakarta dan Jambi: Gaung Persada Press dan Sulthan Taha Press, 2007), h. 39.
6
Seperti yang tertulis dalam surat al-Maidah (5) ayat 48:
☯
“….Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang….”.
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2008), h.
116.
7
Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas,
terjemahan Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000), h. 94. Istilah paling awal untuk
menunjukan usaha interpretasi tampaknya adalah ma’âni (harfiahnya, ‘pemaknaan’). Istilah ini
sendiri signifikan dengan asumsi pluralisnya yang implisit. Istilah ini, juga tafsir, dipakai pula
untuk penerjemahan Arab dan Yunani atas karya-karya Aristoles, termasuk penjelasan lirik-lirik
puisi pra-Islam. Goldfield, seperti yang dikutip Farid Esack, memperlihatkan bagaimana tata nama
18
Secara etimologis, tafsir 8 berarti memperlihatkan makna yang masuk akal
dibutuhkan bilamana ada ungkapan atau penyataan yang dirasa belum atau tidak
jelas. 10
Menurut al-Zarkasyi, kata tafsir berasal dari kata al-tafsirah yang berarti
sedikit air seni dari seorang pasien yang digunakan dokter untuk menganalisa
suatu penyakit dari diri seorang pasien, maka tafsîr dapat mengeluarkan makna
dalamnya. 11
menyatakan bahwa tafsir adalah menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran, baik dari
konsep-konsep dalam interpreatsi ini menunjukan keakraban yang lebih besar daripada beberapa
dekade sebelum wafatnya Nabi pada 632. Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme:
Membebaskan yang Tertindas, h. 115.
8
Dalam al-Quran, kata tafsir disebutkan hanya sekali. Yaitu pada surat al-Furqon (25)
ayat 33.
ﻻ
َ ﻚ َو
َ ﻞ َﻳﺄْ ُﺗﻮْ َﻧ
ٍ ﻻ ِﺑ َﻤ َﺜ
ﻚ ِإ ﱠ
َ ﺟﺄْﻧ
ِ ﻖ
ﺤﱢ
َ ْﻦ ﺑِﺎﻟ
َﺴ
َ ْﺴ ْﻴﺮًا َوَأﺣ
ِ َﺗ ْﻔ
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2008),
h. 363.
9
Mannâ' Khalîl al-Qaththân, Mabâhis fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah ar-Risâlah,
1405 H/1985 M), h. 323.
10
Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Akidah
dan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 85.
11
Al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qurân (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1972), jilid II,
h. 3.
19
segi segala persoalan, kisahnya maupun dari segi asbab al-Nuzul-nya dengan lafal
(penjelasan) yang dapat menunjuk makna secara terang. 12 Menurut Abd al-
’Azhim al-Zarqani, tafsir adalah ilmu yang membahas al-Quran dari segi
manusia biasa. 13
perumpamaannya. 14
sebuah kesimpulan bahwa tafsir sebagai suatu hasil pemahaman manusia terhadap
yang dipilih oleh seorang mufasir. Tujuannya untuk memperjelas suatu makna
pendekatan filsafat, maka tafsir yang dihasilkan bercorak filosofis. Bila seorang
12
Al-Jurjani, Kitâb al-Ta’rifat (Beirut: Maktabah Lubnan, Sahatu Riyad al-Suhl, 1965),
h. 65.
13
Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân (Mesir: Isa al-Babi al-
Halabi, t.th.), jilid II, h. 3.
14
Jalâl ad-Dîn as-Suyûthî asy-Syâfi'î, Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Fikr,
1399 H/1979 M), Jilid II, h. 174.
15
Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir: dari Periode Klasik hingga Kontemporer
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h. 2.
20
Dus, metodologi tafsir 16 adalah ilmu atau uraian tentang cara kerja
Tafsir merupakan praktek alamiah, yakni praktek yang telah berjalan sejak
Nabi menerangkan dan mengajarkan makna teks Kitab Suci yang diterimanya
kepada para pengikutnya. Inilah yang disebut tafsỉr al-Nabiy (penafsiran Nabi).
Pada masa ini karya-karya tafsir yang tertulis belum hadir. Penafsiran Nabi sendiri
16
Dalam studi teks al-Quran, selain mengenal kata tafsir kalangan sarjana Muslim juga
mengenal kata ta’wil. Oleh para sarjana al-Quran, ta’wil diberi bobot lebih dari kata tafsir.
Artinya, kalau tafsir hanya menjelaskan bagian luar dari al-Quran, maka ta’wil merujuk pada
penjelasan makna-dalam dan tersembunyi dari al-Quran. Untuk melihat perbedaan di antara
keduanya secara panjang lebar rujuk Nasr Hamid Abu-Zayd, Kritik Wacana Agama, penerjemah
Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 116; al-Qaththân, Mabâhist, h. 324.
17
Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir: dari Periode Klasik, h. 41.
18
Samsul Bahri, Konsep-konsep Dasar Metodologi Tafsir dalam Abd. Mu'in Salim (ed.),
Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 38.
19
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000), h. 3.
21
hanya dapat ditelusuri lewat karya-karya tentang hadis yang dikumpulkan para
Setelah Beliau wafat, para sahabat baru mulai menafsirkan al-Quran dan
mengajarkan pemahaman mereka atas al-Quran kepada Muslim yang lain. Sumber
yang sama dengan pernyataan al-Quran lain yang sedang dibahas dan ditafsirkan
Misalnya, bacaan ibn Mas’ud yang berbunyi ”atau hingga kamu memunyai rumah
dari emas (dzahab)” memperjelas maksud dari bacaan yang resmi yang berbunyi
”sebuah rumah dari zukhruf.” Dan sumber yang terakhir adalah hadis. 21 Dari
kenabian Muhammad. Tidak heran jika pada periode ini, karya tafsir masih
Dengan berlalunya waktu dan banyak mufasir dari kalangan sahabat yang
pengikut sahabat mulai melanjutkan bidang ini. Ada tiga aliran tafsir yang utama
yang dikembangkan oleh para tabi’in. (1) Aliran Mekkah dengan ibn ’Abbas
sebagai pakarnya. Murid-murid dari aliran ini: Sa’id al-Jubayr [w. Sekitar 712
20
Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 13.
21
Dalam al-Quran 16: 44 dikatakan:
⌧
“…. Dan telah Kami turunkan adz-dzikr (al-Quran) kepadamu agar engkau menerangkan
kepada manusia apa yang teah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.”
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2008), h.
272.
22
Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 13.
22
atau 713 M], Mujahid ibn Jabr al-Makki [w. 722], ’Ikrimah [w. 723], Thawus ibn
Kaysan al-Yamani [w. 722], dan ’Atha ibn Abi Rabbah [w.732].
antara lain: ’Alqama ibn Qays [w. 720], al-Aswad ibn Yazid [w. 694], Masruq ibn
al-Ajda’ [w. 682], Mara al-Hamadani [w. 695], ’Amir al-Sya’bi [w. 723], al-
Hasan al-Bisri [w. 738], Qatada al-Sadusi [w. 735], dan Ibrahim al-Nakha’i [w.
713]. (3) Aliran Madinah yang juga sebagai pusat kekhalifan Islam. Yang paling
terkemuka di sini adalah Ubayy ibn Ka’b. Murid-muridnya antara lain: Abu al-
’Aliya [w. 708], Muhammad ibn Ka’b al-Qarzi [w. 735], Zayd ibn Aslam [w.
Abdul Mustaqim mencatat ada dua faktor yang menyebabkan tafsir al-
Quran sebagai sebuah keniscayaan. Pertama, faktor internal yang terbagi menjadi
tiga variabel. (1) Kondisi objektif teks al-Quran itu sendiri yang memungkinkan
untuk dibaca secara beragam. (2) Kondisi objektif dari kata-kata dalam al-Quran
ganda] seperti kata al-qur’u [dapat bermakna suci dapat pula bermakna haid]. 24
penafsir. Bisa juga perspektif dan keahlian atau keilmuan yang ditekui sang
luar Islam. Yang paling signifikan, menurut Abdul Mustaqim adalah yang
23
Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 14.
24
Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, h. 8-12.
25
Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, h. 12-13.
23
C. Pemetaan Metodologi Tafsir
pendapat Alford T. Welc yang membagi studi al-Quran pada tiga bidang. (1)
exegesis atau studi teks al-Quran itu sendiri, (2) sejarah interpretasinya, dan (3)
peran al-Quran dalam kehidupan dan pemikiran umat Islam. Menurut Amin
Abdullah, studi pada permasalahan yang kedua dan ketiga tampaknya masih
termasuk di Indonesia. 26
digunakan untuk mengungkap makna teks al-Quran. Hanya saja para sarjana
Muslim masa itu belum memelajari, memilah, dan memetakan metode tersebut.
belakangan setelah ilmu pengetahuan Islam berkembang. Itu artinya, studi tentang
metodologi tafsir masih terbilang baru dalam khazanah intelektual umat Islam.
Metodologi tafsir baru dijadikan sebagai objek kajian tersendiri jauh setelah tafsir
berkembang pesat. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika metodologi tafsir
tafsir di kalangan sarjana Muslim sesungguhnya sudah lama. Tepatnya sejak as-
berlangsung lama dan bahkan menurun. Sejak saat itulah kajian di bidang ini
diambil alih oleh sarjana Barat. Salah satu karya terbesar Barat yang bersentuhan
26
Pengantar Amin Abdullah dalam Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta:
Teraju, 2003), h. 21.
27
Samsul Bahri, Konsep-konsep Dasar Metodologi Tafsir dalam Abd. Mu'in Salim (ed.),
Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 37.
24
dengan khazanah tafsir ialah Die Rictungen der Islamichen Koranasulegung atau
memetakan metode dan corak penafsiran yang berkembang. Pemetaan yang akan
penulis paparkan nanti bukanlah paparan secara kronologis, yakni dimulai dari
yang pertama kali melakukannya dan kemudian disusul oleh sarjana berikutnya
lima jenis. (1) Tafsir haggadic. 29 Contohnya tafsir karya Muqatil ibn Sulayman
[w. 767] yang belakangan diberi judul Tafsỉr al-Qurản. Tentang Q.S 2: 189 30 ,
tentang siapa yang bertanya, mengapa ia atau mereka bertanya, apa yang ia atau
(2) Tafsir halakich. 31 Contohnya Tafsỉr Khams Mi’ah min al-Qurản karya
ibn Sulayman. Tafsir ini berisi materi-materi tentang ayat legal al-Quran. Contoh
yang lain Ahkam al-Quran karya Abu Bakr al-Jashshash [w. 981] dan al-Jami li
Ahkam al-Quran karya Abu ’Abd Allah al-Qurthubi [w. 1272]. (3) Tafsir
masoretic. 32 Aktivitas dalam tafsir jenis ini terpusat pada penjelasan tentang
28
Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, h. 19.
29
Hagaddic berasal dari kata haggadah. Dalam kamus Random House Webster’s College
Dictionary, haggadic adalah a book containing the story of exodus, used at the seder service on
passover. Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999), h.
552. Bidik juga Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 15.
30
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah: ‘Itu adalah
(petunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji”. Departemen Agama RI, Al-Quran dan
Terjemahan, h. 29.
31
halakihic berasal dari kata halakhah. Dalam kamus Random House Webster’s College
Dictionary, halakhic adalah the body of Jewish law, comprising the oral law as transcribed in the
Talmud and subsequet legal codes and rabbanical decisions. Random House Webster’s College
Dictionary (New York: Random House, 1999), h. 553.
32
Masoretic berasal dari kata masorah. Dalam kamus Random House Webster’s College
Dictionary, masoretic adalah a body of scribal note form textual guide to hebrew Old Testement,
25
aspek-aspek leksikon dalam ragam bacaan ayat-ayat al-Quran. Contohnya Ma’ảni
al-Qurản karya al-Farra’ [w. 882], atau Fadâil al-Qurản karya Abu ‘Ubayd [w.
838]. Contoh lainnya adalah Kitab al-Wujûh wa al-Nazâir karya ibn Sulayman
(4) Tafsir retorik. Di sini perhatian dipusatkan pada nilai sastra al-Quran.
Contohnya, Majâs al-Qurản karya Abu ‘Ubaydah [w. 824] dan Ta’wîl Musykîl
al-Qurản karya ibn Qutaybah [w. 889]. (5) Tafsir alegoris, yakni tafsir yang
antara makna zahir dan makna batin al-Quran. Contohnya, tafsir sufistik karya
ada empat belas macam metode dan pendekatan yang diterapkan untuk
memahami ayat-ayat al-Quran sampai lima dasawarsa yang lalu. (1) Penafsiran
melalui frase dari ayat tertentu secara parsial dan lepas kontek. (4) Penafsiran atas
ayat atau frase yang disesuaikan dengan pandangan seseorang tentang semangat
umum al-Quran. (5) Penafsiran yang menganggap bahasa dari ayat tertentu
compiled form the 7 th to 10th centuries AD . Random House Webster’s College Dictionary (New
York: Random House, 1999), h. 552.
33
John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretastion
(London: Oxford University, 1977), h. 119.
26
(7) Penafsiran atas dasar pemiliahan antara ayat-ayat yang pasti maknanya
antara satu ayat dengan yang lain yang berdampingan (taqâthu’-tanâsub). (12)
secara arbitrer dalam penafsiran. (14) Dan penafsiran yang menggunakan frase-
membagi kategori tafsir berdasarkan kronologi waktunya. (1) Tafsir pada masa
Nabi dan sahabat. Ciri umum tafsir model ini: tidak menafsirkan seluruh al-
ijmali; cenderung hanya menafsirkan dari aspek bahasa; jarang melakukan istinbat
hukum secara ilmiah terhadap ayat-ayat yang ditafsirkan; tidak bersifat sektarian;
secara lisan; cenderung bersifat mitis, penafsiran cenderung diterima begitu saja
tanpa kritik.
(2) Tafsir masa tabi’in. Ciri umumnya: tafsir pada masa tabi’in belum
pendapat antara penafsiran para tabi’in dan para sahabat. (3) Tafsir pada masa
34
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Quran Menurut
Hasan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002), h. 49.
27
kodifikasi. Tafsir model ini diperkirakan muncul pada pemerintahan Bani
Umayyah, awal pemerintahan Abbasiyah. Pada masa ini tafsir sudah dibukukan
penafsirnya, seperti hukum, nahwu dan lain-lain. (2) Tafsir reaktif, tafsir yang
berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami
perempuan yang dianggap berasal dari al-Quran. (3) Tafsir holistik, tafsir yang
persoalan sosial, moral ekonomi, politik, isu perempuan yang muncul di era
modern. 36
digunakan. (1) al-Tafsir al-Tahlîlî. Tafsir metode tahlîlî adalah tafsir yang
menyoroti ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan segala makna dan aspek yang
terkandung di dalamnya sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam al-
[munâsabah] baik antara satu ayat dengan ayat yang lain atau satu surat dengan
surat yang lain. (b) Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat. (c) Menganalisa
kosakata dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab. (d) Memaparkan kandungan
35
Very Verdiansyah, Islam Emansipasoris: Menafsir Agama, h. 57.
36
Amina Wadud Muhsin, Al-Qur’an dan Perempuan dalam Charles Kurzman (ed),
Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta:
Paramadina, 2003), h. 186-188.
28
bayân, dan i’jâz-nya bila dianggap perlu. (f) Menjelaskan hukum yang dapat
ditarik dari ayat yang dibahas. (g) Menerangkan makna dan maksud syara’ yang
Metode ini bisa dipecah lagi menjadi beberapa metode. Seperti al-Tafsỉr bi
ungkapan yang diambil dari al-Quran sendiri dengan menambahkan kata-kata atau
menggunakan cara perbandingan. Objek kajian tafsir dengan metode ini dapat
dikelompokkan menjadi: (a) Perbandingan ayat al-Quran dengan ayat yang lain.
(b) Perbandingan ayat al-Quran dengan hadis. (c) Perbandingan penafsiran satu
(4) al-Tafsîr al-Mawdhû’i. Metode ini memunyai dua bentuk. (a) Tafsir
menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain, atau antara satu satu pokok
masalah dengan pokok masalah lain. Dengan metode ini suart tersebut tampak
dalam bentuknya yang utuh, teratur, betul-betul cermat, teliti, dan sempurna. (b)
37
Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, penerjemah Rosihan Anwar
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 23-29.
29
Tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat al-Quran yang memiliki
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh dalam menyusun satu karya
tafsir berdasarkan metode ini. (a) Menentukkan topik bahasan setelah menemukan
Merangkai urutan ayat sesuai dengan masa turunnya. (d) Kajian tafsir ini
dengan hadis yang menyangkut masalah yang dibahas. (g) Memelajari semua ayat
yang terpilih dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang sama pengertiannya. (h)
Pembahasan dibagi dalam beberapa bab yang meliputi beberapa pasal, dan setiap
pasal itu dibahas, kemudian ditetapkan unsur pokok yang meliputi macam-macam
Komaruddin Hidayat, Harifuddin Cawidu, dan Tim Penulisan 38 buku Sejarah dan
Ulum al-Qur’an yang dieditori Azyumardi Azra. 39 Sebenarnya ada dua nama
tokoh yang mencoba merumuskan metodologi tafsir baru, yaitu Yunan Yusuf dan
Nashruddin Baidan.
Yunan Yusuf, seperti yang dikutip Islah Gusmian, melihat literatur tafsir
dengan ranah yang ia sebut ’karakter tafsir’, yakni sifat khas yang ada dalam
38
M. Quraish Shihab (ketua), Ahmad Sukardja, Badri Yatim, Dede Rosyada, dan
Nasaruddin Umar.
39
M. Quraish Shihab et al., Sejarah & ‘Ulûm al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
30
literatur tafsir. Dalam konteks ini, ia memetakan dari tiga arah: (1) metode
[misalnya: metode antar-ayat, ayat dengan hadis, ayat dengan kisah israiliyyat, (2)
tehnik penyajian [misalnya: tehnik runut dan topikal], dan (3) pendekatan
Tabel I
Tafsir
Israiliyyat
bagian. Pertama, komponen eksternal yang terdiri dari dua bagian: (1) jati diri al-
dan lain-lain], dan (2) kepribadian mufasir [akidah yang benar, ikhlas, netral,
sadar, dan lain-lain]. Kedua, komponen internal, yaitu unsur-unsur yang terlibat
langsung dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsur pembentuk: (1)
metode penafsiran [global, analitis, komparatif, dan tematik], (2) corak penafsiran
[shủfỉ, fiqhi, falsafi, dan lain-lain], dan (3) bentuk penafsiran [ma’tsủr dan ra’yu].
31
Dalam konteks kategorisasi yang dibangun Yunan, komponen internal versi
Tabel II
Jati Diri al- Kepribadian Bentuk Tafsir Metode Tafsir Corak Tafsir
Quran Mufasir
Quran benar
Dan lain-lain
atas tafsir. Itu sebabnya, menurutnya, perlu rumusan baru yang mampu menelisik
40
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.
5.
41
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 119.
32
Ada dua variabel yang penting ketika kita ingin memetakan sebuah karya
tafsir menurut Islah Gusmian. (1) Aspek teknis. Aspek ini terdiri dari sistematika
penyajian tafsir, bentuk penyajian tafsir, gaya bahasa yang dipakai dalam
penulisan tafsir, dan keilmuan mufasir. (2) Aspek ’dalam’ atau hermeneutik.
Aspek ini terdiri dari metode penafsiran, nuansa penafsiran, dan pendekatan tafsir.
Tabel III
AL-QURAN AL-QURAN
2. Berdasarkan urutan
turunnya wahyu
c. Juz tertentu
33
1. Bentuk Penyajian Global Nuansa Tafsir
2. Non Ilmiah
Sifat Mufasir
1. Individual
2. Kolektif/Tim
Keilmuan Mufasir
1. Akademik
2. Non-Akademik
Sumber-sumber Rujukan
2. Buku non-tafsir
34
BAB III
ALFATIHAH
Pengantar
teks al-Quran, yang kemudian dia sebut pencinta, menjadi tiga kelompok: (1)
Pencinta tak kritis (the uncritical lover). (2) Pencinta ilmiah (the scholarly lover).
Pertama, pencinta tak kritis (the uncritical lover). Orang yang menduduki
level ini biasanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Kecantikan seorang
kekasih telah “membutakan” mata hatinya, seakan tak ada perempuan lain yang
lebih cantik daripada kekasihnya. Pencinta menilai, sekujur tubuh dan apa saja
yang melekat pada tubuh sang kekasih itu indah, mempesona, dan sempurna.
permata berlian, tanpa pernah tahu apa manfaatnya. Bagi dia, al-Quran adalah
jawaban dari segala persoalan, tapi tidak tahu bagaimana proses memperoleh atau
jawaban-jawaban mengenai al-Quran dari orang lain. Posisi pencinta ini ditempati
1
A. Sihabulmilah, “Stratifikasi Pembaca Teks Alquran.” Artikel diakses pada 19 Ferbuari
2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/stratifikasi-pembaca-teks-alquran/. Lihat juga Farid Esack,
Menghidupkan Al-Qur’an dalam Wacana & Prilaku, terjemahan Norma Arbi’a Juli Setiawan
(Depok: Inisiasi Press, 2006), h. vii-xii. Sayangnya dalam buku ini terjemahannya buruk sekali.
35
Kedua, pencinta ilmiah (the scholarly lover). Pencinta tipe ini mengagumi
segala keindahan yang dimiliki sang kekasih. Hal yang membedakan dia dengan
keindahan yang melekat pada tubuh sang kekasih. Rasa tergila-gila pada pujaan
hati tidak membuat dia mabuk kepayang, apalagi sampai lupa daratan.
mengapa ayat-ayat al-Quran begitu indah dan mempesona dan apa makna di balik
karya tafsir. Dengan ungkapan lain, di samping ia selau merindukan kehadiran al-
Para pencinta yang masuk dalam kategori ini adalah Abul ‘Ala al-
Ketiga, pencinta kritis (the critical lover). Ia terpikat pada sang kekasih,
dan menafsirkan beberapa organ tubuhnya, ia juga bersikap kritis terhadap segala
sesuatu yang menempel pada tubuh sang kekasih. Ia pun tak segan-segan
apa yang melingkupi keindahannya, sesuatu yang janggal dalam dirinya, dan lain-
lain. Untuk mengetahui itu semua, para pencinta pada level ini rela “menikahi”
sang kekasih (baca: al-Quran) dan memanfaatkan berbagai macam ilmu sosial
36
mutakhir, semisal linguistik, sosiologi, antropologi, hermeneutika, dan filsafat
Dengan metode seperti itu, para pencinta ini bisa berdialog dengan al-
Quran dan mampu menyingkap segala misteri yang melingkupinya. Hasil dialog
itu kemudian dibakukan dalam bentuk karya tulis studi pemikiran Islam
persoalan zaman. Para intelektual Muslim yang masuk dalam tipe ini adalah
Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad Arkoun, Fazlur Rahman, dan lain-lain.
A. Achmad Chodjim
1. Biografi
pengetahuan agama, ia diasuh oleh paman dan sepupu dari pihak ibu. Ketika SMP
dan SMA, ia pernah nyantri di pondok pesantren Darul Ulum, Jombang, dan
pondok modern Darussalam, Gontor. Hal ini yang menyulut semangatnya untuk
agama kepada tokoh agama yang ada di sana saat itu. Kepada K.H. Achmad
Chair, ketua rohani Islam di Korem Angkatan Darat di Malang, ia belajar tafsir
37
Dari belajar kedua tokoh agama tersebut, ia mendapat pemahaman lebih
tentang agama khususnya tentang tafsir dan hadis. Kedua guru tersebut juga
kitab klasik Islam, baik yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, dan bahasa Arab untuk dipelajari. Itu mendorongnya untuk
mendalami bahasa Arab sebagai ilmu alat dalam memelajari kitab klasik Islam
tapi bukan bahasa Arab sebagai percakapan. Dalam bahasa Arab, ia juga belajar
Tinggi Parsetya Mulya, Jakarta. Saat ini dia bekerja di salah satu perusahaan asing
majlis taklim.
2. Karya-karya Intelektual
pernah diterbitkan. Antara lain: [1]. Islam Esoteris: Kemulian dan Keindahannya
(Jakarta: Gramedia, 2000). Buku ini ditulis bersama Anand Krishna. [2]. Syekh
Siti Jenar: Makna Kematian (Jakarta: Serambi, 2002). [3]. Annas: Segarkan Jiwa
dengan Surah Manusia (Jakarta: Serambi, 2005). [4]. Al-Alaq: Sembuh Penyakit
Serambi, 2005). [6]. Membangun Surga: Bagaimana Hidup Damai di Bumi Agar
3
Wawancara pribadi dengan Achmad Chodjim. Pamulang, 15 Februari 2010.
38
Damai Pula di Akhirat (Jakarta: Serambi, 2004). [7]. Rahasia Sepuluh Malam
(Jakarta: Serambi, 2007). [8]. Meaningful Life (Jakarta: Hikmah, 2005). [9].
Serambi, 2008).
B. Alfatihah
1. Konteks Sosial
dibaca dan dihapal umat Islam. 4 Bagi yang aktif salat, al-Fatihah dibaca sebanyak
17 kali dalam sehari. Al-Fatihah juga dibaca pada momen-momen tertentu seperti
dalam doa, pembuka pertemuan, dan tahlilan. Fenomena inilah yang mendorong
Chodjim untuk menulis tafsir Alfatihah agar mereka yang sering membaca al-
dibaca. Oleh sebab itu, al-Fatihah menurutnya mesti diberi penafsiran yang
membaca al-Fatihah selalu terselip di dalam pikirannya sebuah harapan. Ada yang
berharap kesembuhan dan ada yang berharap keterbukan hati serta pikiran. Meski
hampir setiap Muslim yang menafsirkan al-Fatihah dari ayat dan kalimatnya tidak
4
Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin dengan surah Pembuka (Jakarta:
Serambi, 2008), h. 19.
5
Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010.
39
mengalami perubahan. Yang berubah sama sekali yang ditulis oleh Amin Aziz
yang berjudul Paradigma Al-Fatihah. Tapi yang ditulis Amin Aziz terlalu luas
Alfatihah diterbitkan pada Maret 2002 oleh Serambi. Tapi Alfatihah sudah
ditulis Chodjim pada 1999 akhir dan selesai pada 2000 awal. Saat penulisan karya
itu, Chodjim adalah seorang staff di sebuah perusahan dan bukan seorang penulis.
karya tulisnya itu. Ditambah Chodjim tidak memiliki reputasi sebagai penafsir
dari lingkungan IAIN seperti Quraish Shihab. Faktor-faktor itulah yang jadi bahan
Serambi. Kebetulan saat itu ada pergantian staff redaksi. Mulanya judul karya
Chodjim tersebut adalah Jalan Pencerahan. Baru pada 2003 judulnya diganti
didemonstrasi FPI (Front Pembela Islam). Menurut FPI, Gramedia bukan bagian
dari Islam dan oleh karena itu Gramedia dilarang menerbitkan buku-buku
6
Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010.
7
Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010.
40
keislaman. Selain itu, buku-buku keislaman yang diterbitkan Gramedia tentulah
artikel atau opini yang pernah dimuat di Kompas. Seperti bukunya Komaruddin
3. Modal Penafsiran
di jalur pendidikan agama. Tapi waktu SMU, dia pernah belajar kepada guru tafsir
dan hadis yang ada di Malang pada saat itu selama seminggu sekali. Guru-guru
sudah pada level nasional. Dia belajar tafsir kepada K.H. Achmad Chair, ketua
rohani Islam di Korem Angkatan Darat di Malang. Untuk hadis, dia belajar
8
Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010.
9
Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010.
10
Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010.
41
Ketika K.H. Achmad Chair mengajarkan tafsir, dia dan teman-teman
K.H. Achmad Chair menerjemahkan dan menjelaskan ayat yang sedang dibahas.
Kala menjelaskan, biasanya K.H. Achmad Chair merujuk kepada kitab tafsir
tertentu. Misalnya, “Kata ini akan bermakna ini kalau kita mengikuti as-Suyuti”.
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Arab- untuk
Arab sebagai landasan penafsiran dan bukan sebagai percakapan. Dalam bahasa
ibn Katsir bobot penafsirannya hanya pada titik tertentu. Kenapa as-Suyuti lebih
yang disediakan ketika seorang penafsir ingin menafsirkan al-Quran. Maka dia
lebih memilih agar terjemahan al-Quran diberi penjelasan yang lebih kontemporer
keilmuan yang mesti dikuasai seorang yang akan melakukan aktivitas penafsiran.
dilakukan lebih akurat. 12 (1) Ilmu bahasa. (2) Ilmu nahwu. (3) Ilmu tashrîf. (4)
Ilmu isytiqâq. (5) Ilmu ma’âni. (6) Ilmu badî’. (7) Ilmu qirâ’at. (8) Ilmu ushûl al-
11
Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010.
12
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Bandung: Teraju, 2003), h. 282.
42
dîn. (9) Ilmu ushûl al-fîqh. (10) Ilmu asbâb al-nuzûl. (11) Ilmu naskh mansûkh.
(12) Ilmu fiqh. (13) Ilmu hadîst. (14) Ilmu al-muhabah [ilmu yang diberikan
beberapa syarat bagi seorang mufasir. 13 (1) Memahami hakikat lapal-lapal tunggal
lapal itu tanpa harus terpaku pada satu pendapat tertentu. (2) Menguasai ’ilm al-
asâlib, yaitu ilmu yang mengkaji tentang gaya bahasa Arab. (3) Mengetahui
menafsirkan al-Quran, seperti yang dikutip Taufik Adnan Amal, juga menetapkan
masyarakat Arab pra-Islam dan masa Nabi dalam rangka menafsirkan pernyataan-
pernyataan legal dan sosio-ekonomi al-Quran. (2) Menekankan ’ideal moral’ al-
beberapa karya yang membahas Ulûm al-Qurản dari berbagai penulis. Setelah itu
13
Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah
Akidah dan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 10-109.
14
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum
Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1989), h. 189-190.
43
dia juga memahami hadis-hadis Nabi dan khitah-khitah yang ada dalam agama
mufasir sudah tahu tafsir yang akan dirumuskannya seperti apa dan tahu akan ke
yang diperlukan seorang mufasir. (1) Bahasa Arab. Untuk menafsirkan al-Quran
kita harus paham bahasa Arab, termasuk sastranya meskipun secara pasif. (2)
Seorang mufasir juga harus punya modal sejarah (sîrah) Nabi. Sebab seperti yang
kita tahu bahwa ayat-ayat al-Quran itu diturunkan tidak lepas dari ruang dan
waktu. (3) Seorang mufasir juga harus memiliki kamus bahasa Arab. Tentu saja
makin banyak kamus bahasa Arab yang dimiliki akan sangat membantu calon
ayat al-Quran yang satu kata digunakan oleh satu suku, misalnya suku Quraisy,
tapi tidak digunakan suku lain. Padahal dalam al-Quran dinyatakan bahwa al-
Quran itu diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. Tentu pengertian yang jelas
harus diselidiki dan ditinjau lebih jauh. Kalau sesuatu dikatakan jelas berarti
15
Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010.
16
Wawancara Achmad Chodjim dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Diakses pada 19
Februari 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/kita-selalu-butuh-tafsir-yang-sesuai-zaman/.
44
BAB IV
Pengantar
Ada dua aspek yang dibidik ketika ingin menganalisis sebuah karya tafsir
dengan menggunakan rumusan Islah Gusmian. 1 (1) Aspek teknis. Aspek ini
terdiri dari sistematika penyajian tafsir, bentuk penyajian tafsir, gaya bahasa yang
rujukan dalam penulisan tafsir, dan keilmuan mufasir. (2) Aspek ’dalam’ atau
hermeneutik. Aspek ini terdiri dari metode penafsiran, nuansa penafsiran, dan
pendekatan tafsir.
yang sudah dirumuskan oleh Islah Gusmian, seperti definisi dan penjabaran dari
variabel teknis dan hermenenutis beserta sub-sub bagiannya. Setelah itu, penulis
Pengertian aspek teknis penulisan tafsir adalah suatu kerangka teknis yang
digunakan penulis tafsir dalam menampilkan sebuah karya tafsir. Jadi, aspek ini
terkait lebih pada penulisan karya tafsir yang bersifat teknis, bukan pada proses
1
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Bandung: Teraju, 2003), h. 119-121.
45
1. Sistematika Penyajian Tafsir
penyajian tafsir. Dalam sub-bab ini, Islah Gusmian membagi menjadi dua
rangkaian penyajiannya mengacu pada: (1) Urutan surat yang ada dalam model
karya tafsir yang struktur paparannya diacukan pada tema tertentu atau pada ayat,
surat, dan juz tertentu. Tema atau ayat, surat dan juz tertentu, ditentukan sendiri
oleh penulis tafsir. Dari tema-tema ini, mufasir menggali visi al-Quran tentang
melihat bahwa tafsir Alfatihah lebih condong kepada tematik klasik, yakni
menafsirkan surat tertentu (bisa juga juz atau ayat tertentu) yang dalam hal ini
surat al-Fatihah. Disebut tematik klasik karena model penyajian tematik seperti ini
Dalam Alfatihah, setiap ayat ditafsirkan satu per satu secara berurutan.
Basmalah, Segala Puji Kepunyaan Allah, Dia Maha Pemurah, Raja Hari al-Din,
Ibadah dan Pertolongan, Jalan yang Lurus, Kenikmatan Surgawi, Orang yang
Dimurkai, dan terakhir Amin. Tiap-tiap bab tadi memiliki sub-bab sendiri-sendiri. 4
2
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 122-128.
3
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 129.
4
Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin Dengan Surah Pembuka [edisi baru]
(Jakarta: Serambi, 2008) h. 6.
46
Tabel IV
Bentuk penyajian tafsir adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian tafsir
yang ditempuh mufasir dalam menafsirkan al-Quran. Dalam bentuk penyajian ini,
ada dua bagian: (a) bentuk penyajian global dan (b) bentuk penyajian rinci yang
(a) Bentuk penyajian global adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian
karya tafsir yang penjelasannya dilakukan cukup singkat dan global. Biasanya
bentuk ini lebih menitikberatkan pada inti dan maksud dari ayat-ayat al-Quran
yang dikaji. Bentuk penyajian global ini bisa diidentifikasi melalui model analisa
dikaji.
dianalisis untuk menemukan makna yang tepat dan sesuai dalam suatu konteks
ayat. Setelah itu, penafsir menarik kesimpulan dari ayat yang ditafsirkan, yang
5
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 148-152.
47
Kesimpulan: Dalam menafsirkan ayat per ayat, Chodjim tidak
mencantumkan ayat dalam teks Arab tapi dalam tulisan Latin lalu terjemahannya.
Seperti yang ia tulis, ”Alhamdu li Allahi rabbi al-Alamin’, begitulah bunyi ayat
kedua dari surat al-Fatihah seperti yang dicetak dalam Alquran yang ada di
Indonesia”. 6 Namun pada beberapa ayat yang lain, Chodjim langsung memulai
cepat memahami surat al-Fatihah tapi harus dijejali dengan pelbagai analisis yang
rumit. Tidak seperti Tafsir al-Mishbảh karya Quraish Shihab yang panjang lebar
dalam menganalisa penggalan ayat dari sisi kebahasaan, dalam tafsir Alfatihah
sebagai permulaan Chodjim mengartikan secara literal ayat tersebut. Setelah itu,
bahwa apa yang dikerjakannya menjadi mungkin karena kekuatan yang ada pada
dirinya adalah anugerah Tuhan. Tidak ada analisis kebahasaan di sini padahal ia
satu kata atau kalimat yang tidak terucapkan tapi harus terlintas di dalam benak
6
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 64.
7
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 90 dan 213.
8
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 26.
48
”Saya atau Kami memulai apa yang kami kerjakan ini –dalam konteks surah ini
Tabel V
bentuk-bentuk bahasa yang dipakai dalam karya tafsir. Kategorisasi yang dipakai
dalam konteks ini mirip yang ada dalam dunia jurnalistik. Setidaknya ada empat
gaya bahasa penulisan yang dapat dibedakan dari literatur tafsir yang ada. Yakni
Gaya bahasa kolom adalah gaya penulisan tafsir dengan memakai kalimat
yang pendek, lugas, dan tegas. Dalam bentuk ini, biasanya diksi-diksi yang
dipakai dipilih melalui proses serius dan akurat. Diksi-diksi yang dipilih itu
yang sederhana, elegan, komunikatif, dan lebih menekankan pada hal yang
bersifat pelaporan dan bersifat human interest. Gaya bahasa macam ini, seperti
reportase yang sering digunakan dalam majalah atau koran yang menyajikan
laporan dari pelbagai peristiwa penting. Biasanya model ini memikat emosi
9
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbảh (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 11.
49
Gaya bahasa ilmiah ialah suatu gaya bahasa penulisan yang dalam proses
komunikasinya terasa formal dan kering. Biasanya dalam model ini kalimatnya
kata Anda, kita, saya, dan seterusnya. Karena karakternya yang semacam itu,
maka gaya bahasa ilmiah ini cenderung melibatkan otak ketimbang emosi
yang dipaparkan.
Gaya bahasa populer adalah model gaya bahasa penulisan karya tafsir
kebersahajaan. Kata maupun kalimat yang digunakan, dipilih yang sederhana dan
mudah. Bedanya dengan gaya reportase, gaya bahasa populer ini kurang kuat
bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh semua lapisan sosial calon
pembacanya. Apalagi karya ini tidak hanya ditujukan bagi kalangan Muslim saja
tapi juga untuk kalangan agama lain, seperti Kristen, Khatolik, Hindu, Budha atau
Chodjim dalam menuliskan tafsirnya juga menggunakan kata-kata lho, nah, dan
aha yang lazim digunakan dalam pembicaraan face to face. Sepertinya yang
terbayang dalam benak Chodjim ketika menulis Alfatihah dia tidak sedang
10
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 165-170.
11
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 13.
50
kesempatan, Chodjim menjelaskan kaitan ayat dengan cara bercerita dan
Tabel VI
aturan teknis dalam penyusunan keredaksian sebuah literatur tafsir. Aturan yang
dimaksud adalah tata cara mengutip sumber, penulisan catatan kaki, penyebutan
buku-buku yang dijadikan rujukan, serta hal-hal lain yang menyangkut konstruksi
keredeksionalan. Dalam kaitan ini, ada dua hal pokok yang dianalisis: (a) bentuk
(a) Bentuk penulisan ilmiah adalah suatu penulisan tafsir yang sangat ketat
kalimat maupun pengertian yang didapat dari beberapa literatur lain diberi catatan
kaki ataupun catatan perut untuk menunjukkan pada pembaca sumber asli
pengertian yang dirujuk tersebut. Judul, buku, tempat, tahun, penerbit, serta
nomor halaman buku menjadi penting untuk dituturkan dalam bentuk penulisan
ilmiah ini.
(b) Bentuk penulisan non-ilmiah adalah bentuk penulisan tafsir yang tidak
12
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 214 dan 90.
51
endnote, maupun catatan perut, dalam memberikan penjelasan atas literatur yang
sebuah karya tafsir lalu diklaim, dari segi isi, tidak ilmiah. Kategori ilmiah dalam
Kesimpulan: Meski dalam Alfatihah ada catatan kaki, tapi tidak seketat
karya ilmiah. Seperti saat mengutip sebuah hadis, Chodjim dalam catatan kakinya
hanya menyebut hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi tertentu tanpa menyebut
nama kitab perawi tersebut, jilid berapa, nama penerbit, tahun penerbitan, dan
halamannya. 14
Begitu juga ketika dia merujuk kepada suatu karya tafsir. Dia hanya
Tabel VII
5. Sifat Mufasir
secara individual, kolektif-dua orang atau lebih- atau bahkan dengan membentuk
tim atau panitia khusus secara resmi. Dalam konteks sifat mufasir ini, terbagi
menjadi dua bagian: (a) Individual, dan (b) Kolektif atau tim.
13
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 172-174.
14
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 62 dan 63.
15
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 227.
52
(a) Istilah mufasir individual digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu
karya tafsir lahir dan ditulis oleh satu orang. (b) Pengertian mufasir kolektif untuk
menunjukkan bahwa karya tafsir disusun oleh lebih dari satu orang. Sifat kolektif
ini terbagi menjadi dua bagian: (1) kolektif resmi dan (2) kolektif tidak resmi. (1)
Kolektif yang resmi adalah kolektivitas yang dibentuk secara resmi oleh lembaga
tertentu dalam bentuk tim atau panitia khusus dalam rangka menulis tafsir. (2)
Kolektif yang tidak resmi adalah bentuk kolektif yang tidak bersifat formal dan
Tabel VIII
Sifat Mufasir
Agronomi dan lulus pada 1987. Lalu ia melanjutkan pendidikan strata 2 ditempuh
16
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 1176-177.
17
Untuk lebih lengkapnya lihat sub-bab III, Masa Penulisan Dan Penerbitan.
18
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 179.
53
di Sekolah Tinggi Prasetya Mulya, Jakarta, dengan konsentrasi studi manajemen
pesantren Darul Ulum, Jombang, dan pondok modern Darussalam, Gontor. Saat di
Malang, ia pernah mengaji tafsir dan hadis pada dua guru yang mumpuni dalam
Tabel IX
Asal-usul literatur tafsir di sini ingin menelusuri apakah literatur tafsir itu
disertasi- atau hanya sebagai bentuk apresiasi umat Islam atas kitab sucinya.
yang mulanya lahir dari tugas akademik secara umum cukup komprehensif: dari
segi isi, model penulisan, dan bahasa yang digunakan. Ini terjadi karena dalam
dunia akademik, beberapa persyaratan, baik dari segi bentuk penulisan, bahasa,
serta analisa yang digunakan, menjadi persyaratan utama yang harus dipenuhi
seorang penulis. Itu sebabnya, literatur tafsir di Indonesia yang berasal dari tugas
19
Untuk lebih lengkapnya lihat bab III, khususnya sub-bab masa penulisan dan
penerbitan.
54
akademik memunyai beberapa kelebihan, setidaknya dari segi bentuk penulisan
Bentuk kedua asal-usul buku tafsir adalah yang ditulis berasal dari
buku tafsir yang termasuk dalam kategori ini bukan berarti tidak ilmiah, baik dari
segi bentuk penulisan, bahasa, maupun analisis yang digunakan. Sebab literatur
tafsir dalam bagian ini, secara substansial juga merupakan karya ilmiah. 20
adalah surat yang paling sering dibaca kalangan Muslim. Bagi yang aktif salat, al-
Fatihah dibaca sebanyak 17 kali dalam sehari. Belum lagi pada acara-acara atau
menawarkan sebuah tafsir al-Fatihah kepada khalayak yang sesuai dengan konteks
kekinian tapi diulas dengan bahasa yang sederhana. Cocok untuk mereka yang
Tabel X
Asal-usul Alfatihah
20
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 182-184.
21
Untuk lebih lengkapnya lihat bab III, khususnya sub-bab masa penulisan dan
penerbitan.
55
8. Sumber-sumber Rujukan
oleh seorang mufasir dalam penulisan tafsirnya. Referensinya bisa dari bahasa
tertentu atau terjemahan, generasi tertentu, dan aliran tafsir tertentu. Untuk
tafsir. 22
penulisan Alfatihah oleh Chodjim. 23 Di antaranya: [1] Alquran Alkarim. [2] Studi
Manna Khalil Al-Qatthan. [3] Islamologi (Dinul Islam), terjemahan R, Kaelan dan
H.M. Bachrun (Jakarta, 1996) karya Maulana Muhammad Ali. [4] Qur’an Suci:
Teks Arab, Terjemahan dan Tafsir Bahasa Indonesia, terjemahan H.M. Bachrun
(Jakarta, 1996) karya Maulana Muhammad Ali. [5] Fatwa Alquran tentang Alam
karya Muhammad Nasib Ar-Rifai. [7] Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta,
1994) karya J.S. Badudu dan Zain S.M. [8] Hans Wehr: A Dictinary of Modern
Written Arabic (3rd ed. New York, 1976) karya J. Milton Cowan. [9] Alquran dan
Terjemahannya (Ed. Revisi, Semarang 1989) karya Departemen Agama RI. [10]
[11] Mutiara Surat Al-Fatihah (Ciputat, 2000) karya Salman Harun. [12]
22
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 187-188.
23
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 353-355.
56
Thanthawi Jauhary. [13] Tafsir Surat-surat Pilihan: Mengungkap Hikmah
[14] Mahkota Pokok-pokok Hadis Rasulullah Saw, terjemahan Bahrun Abu Bakar
(Bandung, 1996) karya Syekh Manshur Ali Nashif. [15] Sebuah Ijtihad (Jakarta,
[17] The Holy Qur’an: English Translation of the Meaning and Commentary
Tabel XI
Sumber-sumber Rujukan
18, 19.
15.
57
B. Aspek Hermeneutik
yang digunakan sebatas pada linguistik dan riwayah. Jadi, belum ada rajutan
sistemik antara teks, penafsir, dan audiens sasaran teks, meskipun unsur triadik ini
dalamnya, suatu proses penafsiran tidak lagi berpusat pada teks, tapi penafsir di
satu sisi dan audiens di sisi lain, secara metodologis merupakan bagian yang
paradigmatik, di sini diacukan pada tiga variabel pokok: (1) metode penafsiran,
(2) nuansa penafsiran, dan (3) pendekatan tafsir. Dari tiga variabel ini, analisis
Alfatihah dilakukan.
1. Metode Tafsir
Metode tafsir adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam
proses penafsiran al-Quran. Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut dua
aspek penting. Pertama, aspek teks dengan problem semiotik dan semantiknya.
budaya yang beragam di mana teks itu muncul. Selain dua aspek ini, seperti yang
24
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 196.
25
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 196.
58
Dalam kecenderungan umum penafsiran al-Quran, ada dua arah penting
dalam melihat kerangka metodologi yang dipakai, yaitu tafsir riwayat dan tafsir
Acuan Tunggal
dalam pemahaman teks al-Quran. Sebab, Nabi diyakini sebagai penafsir pertama
terhadap al-Quran. Dalam konteks ini, muncul istilah ’metode tafsir riwayat’.
merupakan proses penafsiran al-Quran yang menggunakan data riwayat dari Nabi
dan atau sahabat sebagai variabel penting dalam proses penafsiran al-Quran.
Model tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan Nabi dan
atau para sahabat. Ini ditemukan dalam beberapa literatur tafsir klasik, misalnya
Tafsỉr al-Thabảri karya al-Thabari, Tafsỉr al-Qurản al-Azhỉm karya ibn Katsir dan
yang lain. 26
Para ulama sendiri tidak ada kesepahaman tentang batasan metode tafsir
mendefiniskan sebagai tafsir yang diberikan ayat al-Quran, sunah Nabi, dan para
sahabat. Dalam batasan ini ia jelas tidak memasukan tafsir yang dilakukan para
tabi’in. al-Zhahabi, seperti yang dikutip Gusmian, memasukan tafsir tabi’in dalam
kerangka tafsir riwayat meskipun mereka tidak menerima tafsir secara langsung
dari nabi Muhammad. Tapi nyatanya kitab-kitab tafsir yang selama ini diklaim
26
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 197.
59
seperti Tafsỉr al-Thabảri. Al-Shabuni, seperti yang dikutip Gusmian, memberikan
pengertian lain tentang tafsir riwayat. Menurutnya, tafsir riwayat adalah model
tafsir yang bersumber dari al-Quran, sunah, dan perkataan sahabat. Definisi al-
Shabuni ini tampaknya lebih terfokus pada material tafsir bukan pada metodenya.
berpendapat bahwa tafsir riwayat adalah tafsir yang dinukil dari Nabi dan para
Imam ahl al-bayt. Hal-hal yang dikutip dari para sahabat dan tabi’in menurut
menafsirkan antar-ayat, ayat dengan hadis Nabi, dan atau perkataan sahabat.
Namun secara metodologis, bila kita menafsirkan ayat al-Quran dengan ayat yang
lain dan atau dengan hadis tapi proses metodologisnya itu bukan bersumber dari
penafsiran yang dilakukan Nabi, tentu itu semua sepenuhnya merupakan hasil
intelektualisasi penafsir. Oleh karena itu, meskipun data materialnya dari ayat atau
hadis Nabi dalam menafsirkan al-Quran, tentu ini secara metodologis tidak
Lepas dari keragaman definisi yang selama ini diberikan para ulama ilmu
tafsir tentang tafsir riwayat di atas, metode tafsir riwayat bisa didefinisikan
sebagai metode penafsiran yang data materialnya mengacu pada hasil penafsiran
Nabi yang ditarik dari riwayat pernyataan Nabi dan/atau dalam bentuk asbảb al-
nuzủl sebagai satu-satunya sumber data otoritatif’. Sebagai salah satu metode,
model riwayat dalam pengertian yang terakhir ini tentu statis, karena hanya
27
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 198.
60
bergantung pada data riwayat penafsiran Nabi. Juga harus diketahui bahwa tidak
kerangka corak kepentingan dan ideologinya tersebut. Dalam konteks ini, sejarah
Tafsỉr al-Rảzi dengan corak filsafatnya yang ditulis Fakhr al-Razi, al-Kasysyảf
Manảr dengan corak sosiologisnya yang ditulis Muhammad Rasyid Ridla dan
seterusnya. 28
bukan seperti yang diuraikan oleh al-Qhathan di atas. Metode tafsir pemikiran
bahwa al-Quran, dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak bisa lepas dari wilayah
budaya dan sejarah—di samping bahasa itu sendiri memang sebagai bagian dari
pengertian dan maksud suatu ayat berdasarkan hasil dari proses intelektualisasi
konteks-konteksnya.
28
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 202.
61
Proses yang bersifat ijtihadi ini, bisa berupa penafsiran teks al-Quran
dalam konteks internalnya dan atau meletakan teks al-Quran dalam konteks sosio-
kulturalnya. Untuk kepentingan ini diperlukan suatu kajian atas medan bahasa
terhadap bangunan budaya yang ada pada saat teks itu muncul.
Artinya, yang dibangun dalam metode tafsir pemikiran ini adalah aspek
teoritis penafsiran, bahwa memahami teks al-Quran, sejatinya tidak lepas dari
dan budaya masyarakat yang menjadi audiensnya. Sebab teks al-Quran, dalam
masyarakat saat teks diproduksi. Proses pergeseran makna dari satu terma dalam
bahasa (Arab) juga harus dipahami dalam konteks budaya masyarakat ketika
terma itu dipakai. Dengan demikian, untuk memahami al-Quran harus juga
strukturnya yang menentukan sebuah pemahaman atas gagasan yang ada dalam
teks al-Quran. Struktur wacana dan budaya yang melingkupi kemunculan teks
29
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 202.
62
juga menjadi medan analisis yang sangat penting. Dari sini, kita akan mampu
mengungkap hal-hal implisit dan yang tak terkatakan (maskủt ’anhu) dari teks al-
Quran. Dari situ pula gagasan yang disampaikan al-Quran dapat ditemukan secara
utuh. Jadi, pokok dasar dari metode ini terletak pada bangunan epistemologi tafsir
yang didasarkan bukan semata-mata pada riwayat tapi pada proses intelektualisasi
Pada metode tafsir pemikiran ini, ada dua variabel pokok yang akan
muncul dan diarahkan pertama kali. Dalam bagian ini meliputi persoalan
pertama teks al-Quran. Kedua, adalah struktur linguistik teks. Bagian ini, meliputi
analisis semantik dan semiotik lalu dipaparkan juga metode tafsir ilmiah, sebuah
penafsiran yang didasarkan pada data-data yang secara material diperoleh dari
Budaya
Mesti dipahami bahwa teks al-Quran lahir dan diturunkan Tuhan bukan
dalam ruang hampa tapi dalam sejarah umat manusia (masyarakat Arab). Itu
’respon Ilahi’ melalui pikiran Nabi terhadap situasi sosio-moral dan historis
masyarakat Arab abad ke-7 M. 30 Dalam pengertian ini, budaya dan sejarah
30
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 204.
63
masyarakat Arab sebagai audiens al-Quran menjadi suatu wilayah yang harus
Analisis yang dilakukan itu, tentu tidak hanya bergantung pada asbảb al-
samping memang tidak semua ayat mempunyai asbảb al-nuzủl. Langkah yang
demikian menjadi penting karena dengan pelbagai unsur tersebut teks al-Quran
Seperti yang terlihat pada rumusan Abu Zayd, yang dikutip Gusmian,
aturan sosial dan kultural dengan semua konvensi, adat istiadat, dan tradisi yang
aturan konvensional kolektif yang bersandar pada kerangka kultural. Teks sebagai
dalam teks al-Quran dengan demikian menjadi bangunan yang sangat historis dan
dalam medan kesejarahannya. Ada banyak hal yang mesti dilibatkan dalam
yang menjadi audiens pertama al-Quran itu berada, psikologi dan tradisi yang
64
berkembang di dalamnya. Dalam hermeneutik al-Quran kontemporer, keterkaitan
antara struktur triadik: teks, penafsir, dan audiens sasaran teks, kemudian menjadi
wilayah penting yang harus dipertimbangkan. Yang terakhir ini, bisa menemukan
signifikansinya bila variabel kultural dan sejarah dalam makna yang luas,
yang didefinisikan karakteristik teks pada satu sisi, dan otoritas tafsir pada sisi
lain. 31
kata. Dalam perspektif semiotik, bahasa adalah penanda (signifier) yang terkait
linguistik, seperti yang dikutip Gusmian, bahasa sebagai sistem tanda (sign) hanya
tertentu. 32
31
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 211.
32
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 212.
65
Oleh karena itu, bahasa bagi Saussure, seperti yang dikutip Gusmian,
ada lebih dulu, tapi konsep-konsep yang dapat berubah-ubah mengikuti perubahan
kondisi yang lain. Tinanda dengan demikian tidaklah mandiri dan otonom yang
associattive, atau yang biasa dikenal dengan istilah paradigmatik, dan kedua,
hubungan syntagmatic. Hubungan ini terdapat dalam kata sebagai rangkaian bunyi
sebuah kalimat, atau juga antar-dua kata, di mana kata pertama muncul sebagai
subjek bagi kata yang kedua. Selanjutnya saat menuturkan sesuatu, kita pada
dasarnya juga memilih suatu kata dari perbendaharaan kata yang kita ketahui dan
kita simpan dalam ingatan. Sebagian kata yang tidak kita pilih dalam ingatan itu
memiliki hubungan asosiatif dengan kata yang kita ucapkan. Hubungan inilah
Teks al-Quran dalam konteks linguistik juga merupakan sistem tanda yang
asosiatif tadi. Sebab, dengan cara demikian, makna dari sebuah kata akan
ditemukan yang sesuai dengan konteks kalimat. Sehingga kata yang sama, dalam
hubungan sitagmatik yang berbeda, bisa jadi akan mengungkap makna yang
66
berbeda dan makna yang berbeda mengantarkan suatu gagasan yang berbeda.
Bahkan bila kita mengacu pada pendapat Jakobson yang menganggap bahwa
’kata’ tidak lagi dianggap satuan linguistik yang paling elementer tapi unsur yang
paling dasar adalah bunyi (fonem), maka kita juga akan menemukan analisis
ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pergertian yang lebih luas
dari kata. Begitu luas, sehingga apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna
seterusnya. 34
kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan pandangan yang
dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu. Tidak hanya sebagai alat bicara
dan berpikir tapi lebih penting lagi adalah pengonsepsian dan penafsiran dunia
kajian tentang sifat dan struktur pandangan dunia sebuah bangsa saat sekarang
atau pada periode sejarahnya yang signifikan dengan menggunakan alat analisis
33
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 212.
34
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, penerjemah Agus Fahri Husein,
Supriyanto Abdullah, dan Aminuddin, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003), h. 2
67
metodologis terhadap konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri
dalam arti bentuk gramatikal dan style, seperti yang terjadi dalam analisis
yang implisit atau yang Abu Zayd sebut sebagai maskût ’anhu di dalam struktur
wacana. Dan analisis teks melalui tanda linguistik haruslah mengungkap yang tak
terkatakan tadi. 36
urutan teks (tartỉb al-ajzả) dan urutan pewahyuan (tartỉb al-nuzủl), di samping
memang teks al-Quran pada hakikatnya bersifat plural dan tidak mungkin
spesifik ini berkaitan dengan konteks pewahyuan yang didasarkan pada fakta-
35
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 220.
36
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 220.
68
Metode tafsir ilmiah adalah pemahaman atas teks al-Quran dengan
menggunakan data hasil observasi ilmiah sebagai variabel penjelas. Dalam tradisi
tafsir, model ini bukanlah hal baru. Thantawi Jawhari, dalam al-Jawảhir-nya,
misalnya, adalah penafsir yang dikenal kuat dalam menggunakan metode tafsir
ilmiah ini. Dalam tafsirnya itu, ia menggunakan pelbagai data ilmiah sebagai
Usaha menjelaskan ayat al-Quran dengan metode ilmiah ini bisa dipahami,
mengingat dalam al-Quran sendiri terdapat banyak isyarat ilmiah. Yang menjadi
persoalan adalah manakah yang lebih dulu: pemahaman ilmiah baru dicarikan
mendorong riset keilmuan? Tampaknya yang pertama yang banyak terjadi selama
ini. Dalam konteks ini muncul problem krusial: bagiamana bila teori ilmiah yang
mengalami anomali dan tidak valid, sebab penemuan ilmiah tidak saja terus
C. Metode Interteks
Dalam sebuah teks selalu ada teks-teks lain. Oleh karena itu, setiap teks
secara niscaya merupakan sebuah interteks. Proses interteks bisa tampil dalam dua
bentuk. Pertama, teks-teks lain yang ada di dalam tersebut diposisikan sebagai
anutan dalam proses tafsir, sehingga fungsinya sebagai penguat. Kedua, teks-teks
di dalam teks tersebut diposisikan sebagai teks pembanding atau bahkan sebagai
objek kritik untuk memberikan suatu pembicaraan baru yang menurutnya lebih
37
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 226.
69
sesuai dengan dasar dan prinsip epistemologis yang bisa dipertanggung-
jawabkan. 38
seperti Umm al-Kitảb, Umm al-Qurản, dan Surah al-Syifả--, serta pentingnya al-
Fatihah dalam salat. 39 Di bab III, Segala Puji Kepunyaan Allah, ia mengutip data
riwayat tentang musyarawah yang dilakukan Nabi dan para sahabat terkait isu
tawanan pasca perang Badr, riwayat yang terakhir tidak ada kaitan langsung
metode semantik, metode sains-ilmiah, dan lain-lain. Mari telusuri satu per satu.
menjadi bangunan yang sangat historis dan kultural sifatnya. Dengan kerangka
itu, maka Alfatihah tidak masuk dalam sub-kategori ini. Mengapa? Sebab dalam
ketika menerima surat al-Fatihah dari sisi psikologi dan tradisi yang berkembang
di dalamnya ketika itu. Dalam konteks ini, asbảb al-nuzủl tentu tidak berbicara
banyak tentang hal-hal tadi. Bahkan dalam kasus asbảb al-nuzủl al-Fatihah, ada
38
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 228.
39
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 20-23.
40
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 64-65.
70
ketidakpastian di mana dan kapan persisnya al-Fatihah diturunkan. Untuk
buku-buku sejarah seperti Kitảb Sirảh Rasủl Allah karya ibn Hisyam dan
makna dan metode sains-ilmiah tampaknya juga tidak dominan dalam tafsir
Meski demikian, sebenarnya metode semantik tidak akan bisa berdiri utuh tanpa
44 kali, hanya 32 kali yang terulang dalam al-Quran dengan lengkap. Kemudian,
Chodjim menyajikan beberapa ayat yang di dalamnya terdapat terma tadi. (1)
Allah memberi petunjuk Musa dan Harun untuk menyelamatkan Bani Israil
seperti yang tertulis pada Q.S. 37:118, ”Dan Kami tunjuki keduanya jalan yang
lurus”. (2) Petunjuk Tuhan mengantarkan manusia kepada jalan yang lurus. Hal
(3) Barang siapa yang berpegang teguh kepada Allah, bukan mengikuti
dorongan hawa nafsu, berarti ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Perhatikan firman-Nya Q.S. Perhatikan firman-Nya Q.S. 3:101 dan 19:36. (4) al-
Quran adalah kitab yang memberi petunjuk manusia ke jalan yang lurus, yang
71
sampai kepada kesalamatan hidup. Lihat Q.S. 5:16 dan 42:52. (5) Kehendak
Tuhan itu selalu berada di atas jalan yang lurus. Itu artinya, Allah tidak pernah
dibiar sesat dalam hidupnya. Sebaliknya, mereka yang berusaha memamahi ayat-
Tuhan bergantung pada pilihan manusia. Perhatikan Q.S. 6:39, 10:25, dan 24:46.
(6) Jalan lurus berarti agama yang benar, seperti yang dipraktekan nabi
melalui pemahaman alam yang pada ujungnya bahwa Tuhanlah yang berada di
balik alam ini. Jalan hidup yang dilaluinya disebut jalan lurus, doktrin (millah)
yang lurus atau agama yang lurus. (7) Para rasul, para utusan Tuhan adalah
mereka yang berada di jalan yang lurus, seperti yang diungkapkan pada Q.S. 36:4.
(8) Tuhan adalah Dia yang senantiasa ada di jalan yang lurus, seperti yang
secara umum, baik dalam konteks bagaimana sebuah kata dipakai menjadi terma
kuci dalam al-Quran atau proses perkembangan dan perluasan medan semantiknya
paparan ayat-ayat tadi kurang menjadi menjadi bangunan utuh yang memberikan
Jalan lurus adalah jalan yang penuh keharmonisan dalam kehidupan masyarakat.
72
Metode konflik yang diterapkan dalam kepemimpinan adalah bertentangan
dengan jalan lurus. Artinya, manusia tidak boleh menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuannya. 43
tafsir yang representatif sebagai sumber rujukan. 44 Ini dalam rumusan Gusmian
untuk menguatkan pendapatnya dan bukan untuk dijadikan objek kritik sehingga
memberikan pembacaan baru. Sebagai contoh, tulisan Chodjim yang dirujuk dari
nama Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang’. Atau, saya bertindak
Tabel XII
Metode Alfatihah
Metode Tafsir
2. Nuansa Tafsir
Yang dimaksud dengan nuansa tafsir adalah ruang dominan sebagai sudut
pandang dari suatu karya tafsir. Misalnya, nuansa kebahasaan, teologi, sosial-
penulis untuk meletakan posisi tafsir Afatihah. Proses analisis dengan pemetaan
nuansa tafsir ini lebih didasarkan pada variabel dominan di dalam karya tafsir.
43
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 232.
44
Untuk melihat karya-karya tafsir yang dijadikan rujukan oleh Chodjim bidik halaman
64 di bab ini.
45
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 25.
73
a. Nuansa Kebahasaan
tertransformasi dari sebuah tek ilahi (nash ilâhi) menjadi sebuah konsep (mafhûm)
atau teks manusia (nash insâni). Sebab, secara langsung berubah dari wahyu
harus dilihat dari konteks bahasa yang digunakan, yaitu bahasa Arab. Dalam
bagian pokok dari kerja interpretasi. Dalam satu kasus, bisa jadi satu karya tafsir
memilih langkah analisis kebahasaan ini sebagai variabel utama. Dalam konteks
inilah nuansa kebahasaan itu dimaksud, yakni proses interpretasi dalam karya
b. Nuansa Sosial-Kemasyarakatan
bahwa pada hari akhir nanti Allah akan menanyai manusia mengenai pendapat
para mufasir dan tentang bagaimana mereka memahami al-Quran. Tapi Ia akan
menyimpulkan bahwa dengan maknanya yang praktis bukan hanya untuk ulama
74
membiarkan al-Quran berbicara atas namanya sendiri bukan malah diperumit
penjelasan ayat al-Quran dari: (1) segi ketelitian redaksinya, (2) kemudian
menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama
yang diuraikan al-Quran, dan (3) penafsiran ayat dikaitkan dengan sunatullah
Seperti yang dilakukan Abduh, yang dikutip Gusmian, nuansa tafsir sosial
menjadikan al-Quran terlepas dari akar sejarah kehidupan manusia, baik secara
c. Nuansa Teologi
yang terjadi sebagaimana dalam sejarah teologi klasik yang meletakan pelbagai
paham teologi menjadi variabel dalam menafsirkan al-Quran. Dalam konteks ini,
konsep teologi yang secara harfiah berarti studi tentang Tuhan dimaksudkan
sebagai nuansa atau corak yang menempatkan sitem keyakinan ketuhanan dalam
Islam sebagai variabel tema penting dalam bangunan tafsir. Pengertian teologi di
sini jauh lebih sekedar keyakinan ketuhanan tapi lebih dipandang sebagai suatu
Tuhannya.
46
J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Quran Modern, penerjemah Hairussalim dan Syarif
Hidayatullah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 28.
75
Ranah nuansa teologis ini mengungkap pandangan al-Quran secara
komprehensif tentang keyakinan dan sistem teologi. Namun dalam proses yang
sudah terbangun mapan dalam sejarah, tapi lebih pada upaya menggali secara
serius bagaimana al-Quran berbicara dalam soal-soal teologis itu dengan melacak
terma-terma pokok, serta konteks-konteks dari penggunaa terma itu dalam al-
Quran.
d. Nuansa Sufistik
Dalam tradisi ilmu tafsir al-Quran klasik, tafsir yang bernuansa sufistik
sering didefinisikan sebagai suatu tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayat-
ayat al-Quran dari sudut esoterik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang
tampak oleh seorang sufi dalam suluknya. Tafsir yang menggunakan corak
pembacaan jenis ini ada dua macam: (1) yang didasarkan pada tasawuf nazhâri
tasawuf yang umumnya bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang
dari pengertian bahasa, (2) didasarkan pada tasawuf amâli (praktis), yaitu
Jenis tafsir sufi yang kedua ini oleh para ahli tafsir disebut tafsỉr isyảrỉ.
Menurut para ahli, jenis tafsir ini dapat diterima dengan syarat: (1) tidak
bertentangan dengan lahir ayat, (2) mempunyai dasar rujukan dari ajaran agama
ajaran agama dan akal, (4) tidak menganggap bahwa penafsiran model ini yang
76
Tokoh dalam corak tafsir ini menurut ’Ali al-Awsi, seperti yang dikutip
Gusmian, adalah Muhyiddin Ibn ’Arabi (w. 638 H). Hal ini bisa dilihat ketika Ibn
’Arabi menafsirkan firman Allah Q.S. al-Rahman [55]:19, ”Dia membiarkan dua
bahwa yang dimaksud dengan dua lautan oleh ayat tersebut lautan subtasnsi raga
yang asin dan pahit serta lautan ruh yang murni, yang tawar dan segar, yang
penemuan yang tdak dicapai melalui jalan tafsîr. Sebab, ta’wîl melakukan
e. Nuansa Psikologis
Al-Quran memang bicara banyak hal meskipun bukan semua hal. Masalah
psikologi manusia juga tidak luput dari pembahasan al-Quran. Dalam konteks ini,
pengertian nuansa psikologis yang dimaksud adalah suatu nuansa tafsir yang
tafsir ini penuh dengan himbauan-himbauan moral yang terdapat dalam surat al-
Fatihah. Sebagai contoh, saat memulai menafsirkan ayat ihdinả al-shirâth al-
47
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 245.
48
Wawancara pribadi dengan Achmad Chodjim. Pamulang, 15 Februari 2010.
77
mustaqîm, Chodjim menulis: ”Bila kita mohon diberi petunjuk, maka pikiran kita
harus dalam suasana yang jernih. Pikiran yang kusut, hati yang gundah, sulit
menerima petunjuk.” Masih dalam ayat tersebut Chodjim menulis: ”Pada ayat ke-
kepada Engkau aku beribadah dan hanya kepada Engaku aku meminta
pertolongan’. Juga kita mengatakan, ’Tunjukilah kami jalan yang lurus’ dan
bukan ’Tunjukilah aku jalan yang lurus’. Apa artinya ini? Ini artinya manusia
hidup di dunia tidak bisa sendirian. Manusia adalah zoon politikon, mahluk
bermasyarakat”. 49
Tabel XIII
Nuansa Alfatihah
Nuansa Tafsir
3. Pendekatan Tafsir
dari proses tafsir. Itu sebabnya, dengan pendekatan tafsir yang sama bisa saja
berorientasi pada teks dalam dirinya yang kemudian disebut pendekatan tekstual
dan (2) berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) yang kemudian disebut
pendekatan kontekstual.
49
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 213 dan 223.
50
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 248.
78
Dalam pendekatan tekstual, praktik tafsir lebih berorientasi pada teks
dalam dirinya. Kontekstualitas suatu teks lebih dilihat sebagai posisi suatu wacana
dalam konteks internalnya atau intra-teks. Pandangan yang lebih maju dalam
konteks ini adalah bahwa dalam memahami suatu wacana/teks, seseorang harus
melacak konteks penggunaan pada masa teks itu muncul. Ahsin Muhammad
memahami bukan melalui harfiah teks tapi dari konteks (siyảq) dalam melihat
faktor-faktor lain, seperti situasi dan kondisi ayat al-Quran itu diturunkan. Dengan
mengetahui sejarah hukum Islam secara detail, mengetahui situasi dan kondisi
pada waktu hukum itu ditetapkan, mengetahui ’illah dari suatu hukum, dan
seterusnya.
bersifat kearaban karena teks al-Quran turun pada masyarakat Arab. Ini artinya,
dari refleksi (teks) ke praksis (konteks). Itupun, praksis yang menjadi muaranya
adalah lebih bersifat kearaban tadi sehingga pengalaman lokal (sejarah dan
budaya) di mana penafsir dengan audiensnya berada tidak menempati posisi yang
Keberangkatan Penafsiran
79
Pendekatan kedua adalah pendekatan yang berorientasi pada konteks
yaitu latar belakang sosial historis teks muncul dan diproduksi menjadi variabel
penting. Namun semuanya itu, dan ini yang penting, harus ditarik ke dalam
konteks pembaca (penafsir) itu hidup dan berada dengan pengalaman budaya,
sejarah, dan sosialnya sendiri. Oleh karena itu, sifat gerakannya adalah dari bawah
yang dikutip Gusmian, adalah salah satu contoh yang baik dalam pendekatan ini.
Hermeneutik al-Quran, oleh Esack ditempatkan dalam ruang sosial di mana dia
berada sehingga sifatnya bukan lagi kearaban yang bersifat umum. Ia adalah di
(sosial sejarah) di mana ia hidup dan berada. Bagi Esack, tidak ada tafsir dan
pada teks dalam dirinya. Makanya suatu teks dilihat sebagai posisi wacana dalam
konteks internalnya atau intra teks. Hal-hal di luar teks seperti konteks sosial yang
51
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 250.
80
Kalaupun ada komentarnya tentang kondisi sosial politik dalam
penafsirannya pada satu ayat dalam surat al-Fatihah hanyalah komentar umum
dan tidak untuk kasus yang spesifik. Seperti ”Banyak orang dengan dalih
yang ingin memberantas kemaksiatan tanpa memperdulikan tata tertib dan etika
main hakim sendiri. Manusia harus memuliakan Tuhan dengan budi luhur atau
ahlak karimah.” 52
Atau komentarnya tentang kehidupan politik yang kotor saat ini di mana
para politisi itu secara tidak sadar telah terjebak dalam permainan yang penuh
Tabel XIV
Pendekatan Alfatihah
Pendekatan Tafsir
C. Catatan Kritis
Sebelum memasuki bab kesimpulan dan saran, ada beberapa kritik yang
Agak sulit bagi penulis untuk melihat sejauh mana pengaruh rujukan-rujukan tadi
dalam Alfatihah. Dari 160 footnote, kebanyakan Chodjim merujuk kepada teks al-
52
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 173.
53
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 176.
81
Quran, kitab hadis tertentu, buku keilmuan tertentu, kamus bahasa asing, dan
sebuah majalah.
lain. Seperti M. Quraish Shihab, Tafsir al-Quran Karim sebanyak 4 kali. Maulana
Muhammad Ali, Quran Suci sebanyak 4 kali. Tafsir ibn Katsir 1 kali. Mir
tafsir tadi yang menjadi sumber dominan dalam proses penafsiran, Chodjim
menjawab tidak ada. Baginya seorang penulis/penafsir tidak harus terpaku pada
sebanyak mungkin sumber. Pertanyaannya, apakah salah jika ada salah satu
sumber yang dominan sebagai rujukan dalam menafsir? Yang salah menurut
akhir 1999 sampai awal 2000. Lalu pada 2000 juga, Alfatihah diterbitkan pertama
Kalau kita coba mengingat kembali, fase 1999-2000 adalah fase yang
sangat rawan bagi perjalanan bangsa Indonesia. Pada 1997 akhir, ekonomi
pengangguran meluas, nilai tukar Rupiah atas Dollar AS yang terus melemah, dan
54
Dalam footnote nomor 133 yang tercantum dalam kitab itu tidak dituliskan nama buku
yang dimaksud. Buku Menungkap Rahasia Alquran, penulis ambil dari daftar sumber rujukan
yang tertulis. Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin, h. 277 dan 355.
82
kerusuhan di kota-kota besar serta kekerasan yang dialami etnis Tionghoa—yang
tindakan pembalasan oleh warga sesama agama di lokasi yang lain, seperti yang
terjadi di Maluku. 55
zamannya?
penafsiran terhadap ayat al-Rahmản al-Rahỉm yang sesuai dengan kenyataan pahit
pada fase itu. Bukankah kekerasan terjadi ketika cinta kasih sudah lenyap dalam
diri kita? Berangkat dari proposisi ini, pengertian al-Rahmản al-Rahỉm seharusnya
bisa dielaborasi untuk memininalisir potensi dan endemi kekerasan pada saat itu.
55
Donald K. Emmerson, Pemilu dan Kekerasan: Tantangan Tahun 1999-2000 dalam
Donald K. Emmerson (ed) Indonesia Beyond Soeharto, terjemahan Perikles Kattopo dan Ketut
Arya Mahardika (Jakarta: Gramedia dan The Asian Foundation Indonesia, 2001), h. 65.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
penyajiaan, Alfatihah masuk dalam kategori global. Gaya bahasa populer adalah
Alfatihah bukan berasal dari ruang akademik, maka bentuk penulisannya yang
dari disiplin ilmu tafsir al-Quran. Untuk sumber rujukan, Alfatihah mengambil
pendekatan tekstual.
Kedua, pada dekade 1990-an, kajian al-Quran tidak lagi menjadi ‘ruang
agama dan lebih spesifik lagi yang berkonsentrasi di ilmu tafsir al-Quran. Sebut
84
saja nama Jalaluddin Rakhmat, Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa, atau yang lebih
awal H.B. Jassin. Tapi itu sebenarnya bukan fenomena khas Indonesia. Sayyid
Qutb yang konsentrasi studinya bukan studi ilmu al-Quran, melainkan studi sastra,
telah menulis tafsir Fî Dzilâl al-Qurân yang sampai sekarang tetap dijadikan
pegangan bagi sebagian kelompok Islam di Indonesia. Begitupun Abu al-A’la al-
Maududi. Dia semula tidak tertarik untuk mempelajari studi agama. Dia lebih
tertarik dengan dunia politik dan jurnalistik. Baru setelah dia merasa ingin
Sejauh yang penulis ketahui, dalam sejarah ulûm al-Qurân tidak ada lagi
entitas selain tafsir dan takwil sebagai usaha untuk menggali makna yang terdapat
dalam al-Quran. Oleh sebab itu, sampai sekarang penulis tidak pernah mendengar,
misalnya, kata tafhîm di awal karya yang ingin mendalami al-Quran. Kalaupun
Alfatihah dinilai bukan seperti karya-karya tafsir lain yang mendalam dan penuh
dengan pelbagai analisis, biarkan itu menjadi proses intelektual dari pergumulan
Achmad Chodjim dengan al-Quran. Lagi pula, pembaca bisa menjadi wasit bagi
dirinya sendiri untuk menentukan mana karya yang bermanfaat dan mana yang
tidak.
Tabel XVI
85
Bentuk Penyajian Global Nuansa Sosial Kemasyarakatan
Non-Ilmiah
Sifat Mufasir
Individual
Keilmuan Mufasir
Non-Akademik
Sumber-sumber Rujukan
B. Saran
kiranya di sini ada beberapa hal yang perlu dijadikan bahan pertimbangan bagi
untuk lebih mengembangkan lagi studi al-Quran di dalam negeri. Tentu akan
86
berpartisipasi dalam proses intelektual ini, khususnya, untuk melakukan penelitian
ilmiah terhadap karya tafsir dari sisi metodologi. Penelitian dari sisi metodologi
sebuah karya tafsir setidaknya bisa menjadi pintu masuk pertama untuk melihat
satu kelompok masyarakat saja. Al-Quran sengaja ‘diterbitkan’ agar bisa dibaca
dan dipelajari semua orang. Tapi tentu saja perlu keahlian tersendiri untuk
mempelajarinya. Artinya, tidak bisa sembarang orang bisa menjadi ‘juru bicara’
al-Quran. Harus ada mekanisme ‘fit and proper test’ terlebih dahulu dengan cara
Ketiga, satu Islah Gusmian memang sudah membantu. Tapi kalau bisa ada
seribu Islah Gusmian tentu sangat membantu memetakan karya-karya tafsir dalam
negeri dari sisi metodologi yang digunakannya. Apalagi untuk para peneliti
87
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, kata pengantar dalam Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia
2004).
Ali-Fauzi, Ihsan, “Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibliografis atas
Qaththân, al, Mannâ' Khalîl, Mabâhis fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah ar-
Attas, al, Syed M. Naguib, The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur:
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran
Azra, Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara (Bandung: Mizan,
2002).
88
A’la, Abd, al-Quran dan Hermeneutik; Memahami Bahasa Agama dalam
2000).
Bahri, Samsul, Konsep-konsep Dasar Metodologi Tafsir dalam Abd. Mu'in Salim
Pelajar, 2000).
2005).
Chodjim, Ahmad, Alfatihah; Membuka Mata Batin Dengan Surah Pembuka [edisi
Diponegoro, 2008).
89
Fathurahman, Oman, “Abdur Rauf Singkel Ulama Dari Serambi Mekkah,”
Farmawi, al, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i, penerjemah Rosihan Anwar
1996).
Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia, penerjemah Agus Fahri Husein,
Yogya, 2003).
Jurjani, al, Kitâb al-Ta’rifat (Beirut: Maktabah Lubnan, Sahatu Riyad al-Suhl,
1965).
90
Kusmana, “Rekontekstualisasi Tradisi Tafsir al-Quran di Indonesia; Mencari
No. 3, (2002).
Muhsin, Amina Wadud, Al-Qur’an dan Perempuan dalam Charles Kurzman (ed),
2002).
2002).
Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999).
91
Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam
Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta dan Jambi: Gaung Persada Press dan
__________et al., Sejarah & ‘Ulûm al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
teks-alquran/
Sirojuddin AR, D., “al-Quran Berwajah Puisi: Dibenarkan Tapi Tidak Diakui.”
Suyûthî, Jalâl ad-Dîn, Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Fikr, 1399
Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.,t.), jilid IV.
92
____________, “Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an”, Studia Islamika
Zarqani, al, Abd al-‘Azhim, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân (Mesir: Isa al-
93
Hasil Transkrip Wawancara Pribadi Dengan Achmad Chodjim.
Pamulang, Senin, 15 Februari 2010.
Apa yang Anda maksud dengan ‘alam pikiran yang sedang berjalan’?
Ketika membaca al-Fatihah itu kan ada harapan. Ada yang berharap kesembuhan,
ada yang berharap keterbukan hati dan pikiran. Harapan-harapan itu kan adanya di
alam pikiran. Tapi kadang-kadang tidak termanifestasikan. Jadi hampir setiap
orang yang menafsirkan al-Fatihah dari ayat dan kalimatnya tidak mengalami
perubahan. Yang berubah sama sekali yang ditulis oleh Amin Aziz yang berjudul
Paradigma Al-Fatihah. Tapi yang ditulis Amin Aziz terlalu luas cakupannya.
Singkat kata, saya ingin menafsirkan al-Fatihah secara simpel tapi poin-poinnya
memberikan motivasi orang untuk melangkah dengan benar.
Berapa lama waktu yang Anda habiskan untuk menulis tafsir Alfatihah?
Buku itu sudah saya tulis pada 1999 akhir dan selesai pada 2000. Cuma baru bisa
diterbitkan pada Maret 2002. Saat itu saya adalah seorang staff di sebuah
perusahan dan bukan seorang penulis. Makanya tidak gampang untuk
menyakinkan penerbit apalagi saya bukan dari lingkungan IAIN. Inilah yang jadi
bahan pertimbangan penerbit dan membuat prosesnya agak lama. Malah
sebelumnya ada kekhawatiran di penerbit kalau tulisan saya itu tidak bernilai
komersial. Judul awal buku saya adalah Jalan Pencerahan. Baru pada 2003
judulnya diganti seperti yang sekarang. Dan setelah diganti, penerbit kewalahan
terus mencetak ulang.
Tulisan saya sempat tertahan tiga bulan di penerbit karena saat itu ada pergantian
staff redaksi di tingkatan penerbit. Dan alhamdulillah tidak ada draft kedua atau
ketiga.
Pada 2001 tulisan saya masuk ke Serambi lalu diterbitkan pada Maret 2002. Tapi
pada 2000 tulisan saya ini sudah diterbitkan oleh Gramedia. Kepindahan ke
Serambi karena pada Juli 2000, Gramedia didemo oleh FPI (Front Pembela Islam)
dengan alasan Gramedia menerbitkan buku-buku agama Islam. Oleh FPI,
Gramedia dianggap bukan bagian dari Islam. Kalaupun ada buku-buku agama
Islam yang diterbitkan Gramedia tentu buku-buku agama Islam yang mendukung
misi Gramedia yang mendukung liberalisme dan sejenisnya.
I
Akhirnya pihak Gramedia menghubungi saya untuk mengatakan bahwa saat itu
mereka tidak bisa lagi menerbitkan buku-buku ajaran Islam. Kecuali buku-buku
ajaran Islam yang digabungkan dari koran-koran Kompas. Seperti bukunya
Komaruddin Hidayat. Oleh pihak Gramedia, saya disarankan untuk menerbitkan
buku saya itu ke penerbit-penerbit yang jelas-jelas punya Muslim. Lalu saya pilih
Serambi dengan pertimbangan buku-buku yang pernah diterbitkan Serambi dan
mendapat sambutan di awal 2001.
Berapa eksemplar buku Anda yang sudah terjual dari hasil laporan
penerbit?
Laporan dari penerbit rutin per semester. Kebetulan saya memang tidak pernah
menghitung kumulatif dari buku saya itu. Normatifnya, Alfatihah sudah cetakan
berapa lalu dikali 5000. Kalau sembilan berarti dikalikan limu ribu saja.
Dilihat dari latar belakang pendidikan formal, Anda tidak memelajari studi
keagamaan khususnya studi tafsir. Apa yang membuat Anda berani
menafsirkan al-Quran?
Meski pendidikan formal saya bukan di jalur pendidikan agama tapi waktu SMU,
saya pernah belajar kepada guru tafsir dan hadis yang ada di Malang pada saat itu
seminggu sekali. Dan guru-guru tersebut, bagi saya levelnya sudah level nasional.
Saya belajar tafsir kepada K.H. Achmad Chair, ketua rohani Islam di Korem
Angkatan Darat di Malang. Dan untuk hadis, saya belajar kepada Muhammad
Bejo adalah mubalig nasional Muhammadiyah.
Dari belajar itulah saya mendapat pemahaman lebih dibanding hanya membaca
terjemahan al-Quran saja. Guru tersebut juga menginformasikan kepada kami
macam-macam kitab tafsir, baik yang sudah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Arab untuk kami pelajari. Ini tentu saja
mendorong saya untuk mendalami bahasa Arab sebagai landasan penafsiran tapi
bukan sebagai percakapan. Dalam bahasa Arab, saya juga belajar nahwu, sorf,
mantiq, dan sastra.
Dari pembelajaran itu timbul permenungan tersendiri. Misalnya, kenapa ibn Katsir
bobot penafsirannya hanya pada titik tertentu. Kenapa as-Suyuti lebih
menitikberatkan di satu tempat. Artinya, banyak pilihan-pilihan yang disediakan
ketika kita ingin menafsirkan al-Quran. Maka pilihan saya agar terjemahan al-
Quran diberi penjelasan yang lebih kontemporer yang bisa dipahami oleh
pembaca zaman sekarang.
II
Lalu modal apa yang Anda miliki untuk menafsirkan al-Quran, selain
bahasa Arab tadi?
Saya tentu saja membaca ‘Ulûm al-Quran dari berbagai macam penulis. Lalu
memahami hadis-hadis Nabi dan khitah-khitah yang ada dalam agama Islam. Saya
juga membaca sirah Nabi dan para sahabat. Dengan memelajari ilmu-ilmu tadi,
ketika akan menulis saya tahu tafsir ini lingkupnya akan ke mana arah
penulisannya, karena saya sudah mengidentifikasi tafsir yang sudah kita baca
sebelumnya. Pertanyaannya, kenapa kita tidak menulis setelah membaca banyak
literatur?
Adakah ilmu lain yang Anda masukan dalam tafsir Anda tersebut?
Tentu saja. Sebab ketika kita membaca al-Quran tentu kita tidak bisa lepas dari
pemahaman fisika, kimia, geologi, sosiologi, dan lain-lain.
Tafsir saya bukan tafsir berdasarkan topik tertentu, tapi berdasarkan surat. Oleh
sebab itu, dalam tafsir saya ada model tafsir berdasarkan urutan ayat dan karena di
dalam surat ada berbagai tema, maka tema-tema yang ada saya bahas juga.
Buat apa kita mendalami pertanian dengan membaca karya tafsir. Malah yang ada
nanti kita dianggap orang melakukan justifikasi ayat terhadap ilmu pengetahuan
yang ada. Contoh, ilmu pertanian yang sudah ada lalu kita konfirmasi dengan ayat
III
al-Quran. Bukankah itu hal yang buruk. Ini sama dengan kasus penemuan ilmiah
mutakhir oleh Barat lalu sebagian dari umat mengklaim bahwa al-Quran sudah
mengatakan itu sebelumnya. Kecuali setelah kita membaca al-Quran kita mampu
merumuskan sebuah ilmu baru, ini yang lebih baik.
Mengetahui
Achmad Chodjim
IV