Anda di halaman 1dari 74

DAFTAR ISI

Daftar Isi …...................................................................................................................................... 2


Daftar Tabel ..................................................................................................................................... 4
Bab I Pendahuluan........................................................................................................................... 5
1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah ................................................................. 5
1.2 Tujuan ...………….................................................................................................... 10
1.3 Metode Penelitian ...................................................................................................... 11
Bab II Kajian Teoritik dan Praktik Empirik……………….…………………………………. 12
2.1 Kajian Teoritis……………………………………………………………………… 12
2.1.1 Konsep Psikologi Dan Lahirnya Praktik Psikologi Terapan………..……………. 12
2.1.2 Defisi Profesi Psikologi dan Cakupan Praktik …………………………………… 14
2.1.3 Standar Pengethuan dan Ketrampilan dalam Profesi Psikolog …………………... 17
2.1.4 Prinsip Etik Profesi Psikologi………….…………………………………………. 18
2.2 Praktik Empiris……………………………………………………………………… 20
2.2.1 Perkembangan Psikologi dan Organisasi Keprofesian Psikologi di Indonesia
(sejarah, peran dan fungsi)…………………………………….............................. 20
2.2.2 Pendidikan Profesi Psikologi di Indonesia……………………..…………………. 21
2.2.2.1 Sejarah Singkat Pendidikan Psikologi Indonesia …………...…………………. 21
2.2.2.2 Jumlah Lulusan S1 dan S2 Profesi…………………………………………….. 22
2.2.2.3 Ruang Lingkup Jasa Psikologi di Indonesia ………………………………….. 23
2.2.3 Rasio antara kebutuhan masyarakat dan profesi psikolog ………………............ 24
Bab III Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-undangan Terkait……………………………… 26

3.1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi ………………. 26


3.2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak ......................................................................................... 30
3.3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilian umum
33
3.4 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Jiwa ……………………………………………………………………………….. 34
3.5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan………………………………………………………………………….. 38

2
3.6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tentang Perlindungan Saksi dan
40
Korban …………………………...……………………………………………
3.7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur 42
Sipil Negara ……….…………………………………………………………..

3.8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang 43


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak ……………………………………………………………

3.9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang 44


Kesehatan ……………………………………………………………………..

3.10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang 46


Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana ………………………………

3.11 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2011 Tentang 47


Pemeriksaan Kesehatan Dan Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia …….
3.12 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Tentang
Tunjangan Jabatan Fungsional Psikolog Klinis, Fisikawan Medis, Dan
48
Dokter Pendidik Klinis ……………………………………………………..

3.13 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2015


Tentang Standar Kompetensi Manajerial Jabatan Fungsional Psikologi
50
Klinis …………………..………………………………………………….

3.14 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2017 51


Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Psikolog Klinis …...………….

3.15 Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 53


Per/11/M.Pan/5/2008 Tentang Jabatan Fungsional Psikolog Klinis dan
Angka Kreditnya …………………………………………………………..
Bab IV Landasan Filosofis, Sosiologis Dan Yuridis........................................................... 56

4.1 Landasan Filosofis……………………………………………………………. 56


4.2 Landasan Sosiologis………………………………………………………….. 57
4.3 Landasan Yuridis…………………………………………………………….. 57
Bab V Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang Lingkup Materi Muatan Rancangan 59
Undang-Undang Tentang Profesi Psikologi…………..………………………….

5.1 Jangkauan dan Arah RUU……………………………………………………. 59


53
5.2 Ruang Lingkup Materi Muatan RUU………………………………………… 60
Bab VI Penutup………………………………………………………………..………….. 71
6.1 Simpulan………………………..……………………………………………. 71
6.2 Saran ………………………………………………………………………… 72

Daftar Pustaka……………………………………………………………………. 73

3
DAFTAR TABEL

Tabel. 1. Etika dalam pendekatan remedial dan positif ................................ 19

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Republik Indonesia merupakan negara yang memiliki karakteristik yang khas yang
ditandai oleh luasnya negara kepulauan sepadan dengan luasnya bentangan benua Eropa
Barat dari Barat hingga ke Timur, jumlah penduduk ke empat terbesar di dunia, kekayaan
sumber daya alam dan hayati yang begitu beragam, masyarakat yang multikultur dari
segi etnis, bahasa lokal, tradisi serta agama dan kepercayaan namun mampu menjadi satu
negara kesatuan sejak kemerdekaannya diproklamasikan lebih dari 70 tahun yang lalu.
Letaknyapun strategis antara dua lautan dan dua benua sehingga menjadi ajang
persinggahan pihak-pihak yang harus melaluinya ketika melakukan perjalanan antar
benua dan lautan. Dengan luas daratan, laut serta jumlah penduduk yang kini memiliki
persentasi kelompok usia produktif yang cukup besar Indonesia juga menjadi ajang pasar
dan sumber produksi berbagai industri.
Gambaran ini menunjukkan bahwa untuk mempertahankan kedaulatan,
menumbuhkan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan rakyat serta membangun sumber
daya manusia Indonesia yang berkualitas, kompeten serta berdaya saing di era globalisasi
dan digitalisasi pada saat ini diperlukan kebijakan dan strategi yang tepat. Sebagai salah
satu profesi yang menggeluti perilaku manusia psikologi memiliki peran dan kontribusi
yang penting dalam upaya menempatkan ‘the right man on the right place’ pelaku
pembangunan yang dibutuhkan negara. Pemikiran ini merupakan pemikiran awal yang
praktis dari tujuan pendidikan asisten psikologi yang digagas Prof. R. Slamet Iman
Santoso pada tahun 1953 ketika mendirikan lembaga Psikotehnik. Beliau juga berperan
besar dalam pendirian Departemen Psikologi pada Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia dengan tujuan agar dapat semakin memperkuat keberadaan psikoterapist di
Indonesia (Pols, 2006). Sejalan dengan harapan dibukanya departemen Psikologi adalah
untuk memperkuat kebutuhan akan psikoterapis, maka penelitian dalam bidang Psikologi
di Indonesia mulai semakin menguat.
Perkembangan Psikologi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
kepedulian akan kesehatan mental di Indonesia. Pols (2006) menjelaskan bahwa
beberapa penelitian menjelaskan bahwa Indonesia menghadapi banyak tantangan dalam
bidang kesehatan mental. Tantangan ini muncul dari adanya kondisi perekonomian,
seperti hasil penelitian Patel dan Kleinman tahun 2003 (dalam Pols, 2006) yang
menyebutkan adanya korelasi antara kemiskinan dan kesehatan mental secara umum
pada negara berkembang. Di Indonesia sendiri ditemukan fakta bahwa kesehatan mental
masyarakat yang lebih buruk ditemukan pada kelompok yang memiliki tingkat
Pendidikan rendah, kondisi rumah yang tidak sehat, dan kemiskinan. Fakta-fakta dari
penelitian ini membuat geliat para pemerhati kesehatan mental semakin kuat untuk
memperjuangkan promosinya untuk meningkatkan kepedulian kesehatan mental,
termasuk dengan dibukanya beberapa lembaga Pendidikan tinggi yang berkaitan dengan
kesehatan mental. Bukan hanya dalam bidang medical namun juga dalam psikologi.
Dalam sejarah perkembangannya hingga kini psikologi tidak hanya terkait
pemahaman atas manusia melalui deskripsi perilaku ataupun asesmen kepribadian.
Psikologi juga memprediksi dan mengintervensi perilaku manusia melalui modifikasi
perilaku, konseling, dan terapi psikologi untuk memecahkan permasalahan keseharian

5
dan meningkatkan kesejahteraan manusia. Dapat dikatakan, selama terdapat
permasalahan yang melibatkan mental dan perilaku manusia, maka disanalah dibutuhkan
kajian psikologi. Hal ini menjelaskan betapa kebutuhan akan Psikologi dalam
menjalankan kehidupan di Indonesia tidak dapat dipungkiri semakin menguat
Kajian dan praktik psikologi yang berkembang pesat merupakan konsekuensi
perkembangan dan tuntutan global yang menyebabkan relasi antar manusia yang
semakin kompleks. Hal ini menjadikan area terapan psikologi menjadi sangat luas
dengan berbagai perannya. Setiap peran-peran psikologi yang dilakukan dalam
menyelesaikan persoalan keseharian membutuhkan ketrampilan profesional psikologi
tertentu yang berbeda pada setiap situasi. Seperti yang dijelaskan oleh Hartley and
Brandwaite (2000), selain sebagai peneliti dan teoritikus dalam hal perilaku manusia,
praktik psikologi dapat dibagi dalam beberapa peran, yaitu sebagai: 1) konselor, psikolog
menggunakan berbagai skill untuk membuat seseorang dapat mengeksplorasi dan
mengidentifikasi masalahnya secara lebih mendalam dan melihat dari berbagai
perspektif; 2) kolega dari profesi yang lain, dalam hal ini ahli psikologi diharapkan dapat
bekerjasama dengan berbagai bidang ilmu seperti dokter, psikiater, perawat, polisi,
hakim, jaksa, pengacara, insinyur, guru, dan tenaga professional lainnya, untuk
mengidentifikasi dan/atau menyelesaikan permasalahan; 3) konsultan ahli, psikolog
dapat menggunakan ilmunya untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan beberapa
masalah terapan pada perusahaan, sekolah, rumah sakit, pengukuran untuk menganalisa
dan menyelesaikan permasalahan manusia, 4) agen perubahan, yaitu ilmu psikologi dapat
digunakan secara potensial untuk membantu individu, masyarakat, institusi dan
organisasi untuk berubah menjadi lebih baik.
Peran psikologi sebagai ilmuwan dan praktik profesi menjadi semakin mendesak
dalam mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development
Goals sebagaimana dicanangkan oleh PBB di tahun 2015. Dalam hal ini, pembangunan
tidak lagi melulu ditekankan pada pertumbuhan ekonomi semata, namun kepada
keseimbangan tiga aspek yaitu; (1) lingkungan, (2) sosial, dan (3) ekonomi, dimana
kesejahteraan manusia (baik fisik ataupun psikologis) justru diletakkan sebagai
jantungnya (Jaipal, 2014). Peran psikologi sebagai ilmu yang dapat meningkatkan
kesejahteraan psikologis dan kualitas hidup manusia bukanlah hal yang mudah dicapai
di saat konsumerisme, globalisasi, industrialisasi massif, kesenjangan, radikalisme, dan
problem sosial kemanusiaan lainnya telah menjadi permasalahan keseharian pada hampir
semua manusia terutama di negara-negara berkembang.
Selain itu adanya pasar bebas yang dimanifestasikan dalam Masyarakat Ekonomi
ASEAN atau kebijakan perdagangan bebas yang lain juga memberikan tantangan bagi
profesi psikolog. Negara dalam kawasan pasar bebas akan menyatukan setiap negara
dalam kawasan pasar tunggal dimana arus tenaga terampil juga akan dibebaskan. Dalam
hal ini psikolog-psikolog asing akan bebas melakukan praktik di Indonesia. Penerapan
standar profesi psikolog yang bekerja di Indonesia menjadi hal yang harus dilakukan,
sehingga dapat mencegah terjadinya malpraktik psikolog asing dikarenakan
ketidakpahaman terkait lingkungan, bahasa, nilai, sosial, budaya, dan karakter
masyarakat Indonesia. Psikolog asing yang berpraktik di wilayah Indonesia, tanpa
disertai pemahaman kepercayaan dan budaya lokal akan berpotensi menimbulkan
masalah baru. Walaupun dalam kasus darurat seperti bencana, psikolog asing masih
dimungkinkan memberikan psychological first aid dalam jangka waktu tertentu.
Sebagaimana diilustrasikan pada penjelasan sebelumnya, pada dasarnya segala
bentuk peran dan pelayanan profesi psikolog dalam banyak bidang selalu diarahkan

6
kepada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan psikologis umat manusia di saat ini
dan masa depan. Hal ini tidak hanya dicanangkan oleh PBB melalui Sustainability
Development Goals di tahun 2015, namun juga Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang juga mengamanatkan aspek kesejahteraan manusia dalam
pasal 28C ayat 1 dimana setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya demi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia.
Pada konteks Indonesia, tantangan psikolog Indonesia juga ditambah dengan
kompleksitas persoalan psikologis yang menunjukkan angka yang perlu diwaspadai
terutama terkait peningkatan gangguan kesehatan mental, pemasungan, dan bunuh diri.
Tercatat dalam dokumen world Health Statistic, Monitoring Health for the SDG’s tahun
2016 (WHO, 2016) bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat depresi
paling tinggi di dunia, setelah China, India, dan US; berada dalam urutan ke-5 dalam
daftar negara-negara di dunia dengan tingkat gangguan kecemasan paling tinggi. Data
Riskesdas (2013) juga menunjukkan bahwa gangguan kesehatan mental emosional
berupa gejala depresi dan kecemasan dialmi oleh 14 juta orang (6 persen) dari mereka
yang berusia di atas 15 tahun. Lebih lanjut, prevalensi gangguan jiwa berat, di Indonesia
mencapai 1 orang per 1,7 per mil. Data yang sama menunjukkan 14,3 persen atau 57.000
orang pernah atau sedang dipasung (Depkes, 2013). Dalam BBC Indonesia juga disebut
bahwa masih terdapat sekitar 18.800 orang dengan gangguan jiwa yang masih dipasung
di Indonesia (BBC, 2016). Sementara itu laporan dari Human Rights Watch 2016
menyebutkan bahwa 10 dari 1000 orang Indonesia yang mengalami psychosocial
disabilities menghabiskan hidupnya dengan dirantai atau dipasung, baik di institusi/
tertentu atau di rumah yang mengurangi perawatan kesehatan dari komunitas atau
lembaga terkait. Lain hal, kasus bunuh diri di Indonesia juga menunjukkan angka yang
mengkhawatirkan, menurut data WHO (2016), terdapat 2,9 kasus per 100.000 orang pada
tahun 2015. Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Fidiansyah, menduga
angka bunuh diri bisa jadi jauh lebih tinggi, sebab keluarga korban takut dicap pendosa
jika melapor serta prosedur pelaporan dan otopsi yang dianggap rumit (Wargadiredja,
2017).
Gambaran ini menunjukkan tingginya kebutuhan akan ahli psikologi ini juga
ditandai dengan semakin berkembangnya Pendidikan tinggi yang melaksanakan
penyelenggaraan program studi psikologi. Tercatat dalam BAN PT (Badan Akreditasi
Nasional Pendidikan Tinggi) terdapat 155 lembaga pendidikan tinggi psikologi baik
negeri maupun swasta di seluruh Indonesia, baik berupa fakultas, jurusan, program studi,
maupun sekolah tinggi. Dua puluh lima (25) diantaranya menyelenggarakan pendidikan
profesi psikologi (BAN PT, 2018). Data infografis dari Kementrian Riset dan Pendidikan
Tinggi (2017) menyebutkan bahwa Psikologi termasuk 10 besar bidang studi yang
diminati oleh peserta SBMPTN tahun 2017. Hal ini mengindikasikan akan tersedianya
jumlah SDM yang kompeten dalam bidang psikologi. Para professional psikologi ini
banyak terserap di berbagai bidang pekerjaan, dalam industry pada umumnya dalam
bidang HRD, bidang Pendidikan, hukum, olahraga, kesehatan, sosial, militer dan bidang
lainnya. Sehingga perlu diupayakan adanya suatu aturan kuat yang dapat menjaga
pelaksanaan praktif profesi psikologi di Indonesia.
Kompleksitas permasalahan manusia dalam berbagai aspek kehidupan berdampak
pada tuntutan profesi psikolog untuk memenuhi standar kualifikasi yang mampu
menjawab tantangan untuk mewujudkan kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis
(well-being) manusia pada konteks dan lingkungan hidupnya. Pendidikan psikologi di
Indonesia telah berusaha memenuhi kualifikasi tersebut dengan penyempurnaan
kurikulum secara berkala dan praktik kerja profesi psikologi dalam periode tertentu.

7
Namun demikian, penyiapan sumber daya psikolog yang berkualitas tersebut ternyata
justru dibarengi dengan maraknya malpraktik yang dilakukan oleh oknum berkualifikasi
psikologi yang merugikan masyarakat dan Lembaga pengguna jasa psikologi, serta
integritas profesi psikologi.
Namun demikian, penyiapan sumber daya profesi psikologi yang berkualitas
tersebut ternyata justru dibarengi dengan maraknya malpraktik, baik yang dilakukan oleh
oknum, yang merugikan masyarakat dan Lembaga pengguna jasa psikologi, serta
integritas profesi psikologi itu sendiri. Malpraktik yang ditemukan pada praktik psikologi
pada umumnya dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kualifikasi dalam
pendidikan psikologi. Hal ini dapat berdampak fatal bagi klien, karena mereka berpotensi
mendapatkan asesmen yang salah dan intervensi yang keliru dan tidak professional yang
justru beresiko untuk kesehatan mental klien sendiri. Selain itu, belum adanya
pembatasan pada akses penggunaan alat-alat tes psikologi yang bersifat rahasia, juga
dapat memicu tindakan malpraktik yang dilakukan oleh kalangan eksternal ataupun
internal psikologi sendiri. Beredarnya manual alat tes di masyarakat umum memicu
meningkatnya penyalahgunaan alat-alat tes psikologi. Hal ini dapat merusak validitas
dan reliabilitas tes-tes psikologi tersebut, sehingga tidak layak untuk dipakai lagi.
Kasus-kasus malpraktik dapat ditemukan pada praktik psikologi yang dilakukan
oleh orang-orang yang tidak mempunyai kualifikasi yang sesuai dan diakui oleh
pendidikan psikologi yang ada dan telah terakreditasi . Hal ini dapat berakibat sangat
membahayakan, karena bisa berakibat pemberian saran yang keliru dan tidak profesional
yang berdampak fatal bagi klien. Selain itu tindakan malpraktik juga dilakukan karena
belum ada pembatasan pada akses penggunaan alat-alat tes psikologi yang bersifat
rahasia. Sebagai contoh beredarnya manual alat tes di masyarakat umum memicu
meningkatnya penyalahgunaan alat-alat tes psikologi. Hal ini dapat merusak validitas
dan reliabilitas tes-tes psikologi tersebut, sehingga tidak layak untuk dipakai lagi.
Kebutuhan akan jasa psikologi yang besar, membuka peluang untuk melakukan
penyalagunaan praktik psikologi semisal membuka bimbingan tes psikologi yang bisa
berakibat terpilihnya seseorang yang tidak fit and proper untuk melaksanakan pekerjaan
atau jabatan tertentu, atau mengikuti pendidikan tertentu.
Contoh tindakan mal praktik lain dilakukan dengan melanggar prosedur asesmen
yang baku seperti menyederhanakan alat-alat tes yang sudah terstandarisasi, tidak
mengadakan interview ketika diperlukan, menyederhanakan laporan ketika seharusnya
diberikan laporan lengkap, melaksanakan tes individual secara massal, menandatangani
laporan yang dibuat oleh asisten-asisten yang non-psikolog tanpa mengecek lagi,
mengabaikan validitas/reliabilitas tes, dsb. Jasa psikologi pun kadang disalahgunakan
untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti mem-PHK atau memutasikan seseorang
karena alasan politis, dengan menggunakan tes psikologi sebagai alasan. Dalam proses
pemilihan kepala daerah, bila asesmen tidak mengikuti prosedur yang baku, maka akan
berdampak pada kerugian yang luar biasa di masyarakat. Ilmu psikologi juga bisa
disalahgunakan secara destruktif, seperti menghasut (provokasi), brain washing dan
sebagainya.
Dampak dari mal praktik yang dilakukan tersebut memungkinkan hasil tes atau
asesmen yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi individu yang dites. Dalam bidang
klinis dan pendidikan, asesmen yang tidak tepat pada individu berpeluang menimbulkan
kesalahan intervensi terhadap individu tersebut. Dalam bidang Industri dan Organisasi,
malpraktik berpeluang untuk menempatkan seseorang yang tidak tepat atau sesuai antara
uraian pekerjaan atau syarat pekerjaan dengan kompetensi yang dimiliki individu.

8
Dalam proses pemilihan kepala daerah, bila asesmen tidak mengikuti prosedur yang
baku, maka hasil asesmen tersebut menjadi tidak tepat. Hal ini tentunya akan
menimbulkan kerugian yang luar biasa pada masyarakat.
Maraknya mal praktik merupakan salah satu fenomena yang muncul karena
kondisi yang berkekuatan hukum lemah. Lemahnya kekuatan hukum ini salah satunya
karena belum adanya undang-undang profesi psikologi di Indonesia. Kondisi saat ini
yang berlaku di Indonesia terkait dengan aktivitas mal praktik lebih berlandaskan pada
apa yang berlaku di organisasi profesi psikologi Indonesia, yang mana apa yang
ditetapkan oleh organisasi profesi psikologi hanya mampu mengikat anggotanya saja.
Dalam sektor jasa psikologi di luar tes, psikologi bisa digunakan untuk
mengintervensi perilaku manusia, bahkan sering dimanfaatkan untuk pembuatan
kebijakan, misalnya untuk meningkatkan motivasi belajar atau kerja secara massal,
mengubah sikap masyarakat agar mau menerima program pemerintah (keluarga
berencana, kesehatan, pertanian, tata kota dsb.), atau mendaya gunakan potensi
masyarakat untuk menolong dirinya sendiri (misalnya untuk keluar dari kemiskinan,
mengatasi konflik, mencegah narkotika atau mengurangi dampak bencana alam), atau
untuk mengendalikan perilaku massa (bonek, demonstran, kampanye dll), namun di sisi
lain, psikologi juga bisa disalah gunakan secara destruktif, seperti menghasut
(provokasi), brain washing dan sebagainya.
Oleh karenanya, perangkat keilmuan dan etika yang dimiliki seorang Psikolog
mempunyai karakteristik yang khas yang harus mengutamakan kesejahteraan manusia.
Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Profesi Psikolog membutuhkan aturan tertentu,
sehingga psikolog dapat memiliki etika, sikap dan kompetensi yang diharapkan.
Keberadaan bentuk pelayanan profesi psikolog dalam mewujudkan kesejahteraan
individu dan masyarakat, sayangnya masih belum mempunyai payung hukum yang
bersifat lex specialist dalam melindungi dan menaungi bentuk pelayanannya. Padahal
jasa profesi psikologi tidak hanya digunakan oleh individu namun juga komunitas atau
lembaga seperti baik itu pemerintah ataupun non-pemerintah.
Pelayanan profesi psikolog terhadap individu, komunitas, dan organisasi sampai
sejauh ini belum diatur dalam tataran undang-undang di Indonesia terutama terkait
bentuk pelayanan profesi psikolog, syarat pelayanan profesi psikolog, hak dan kewajiban
profesi psikolog, serta pengaturan komprehensif lainnya yang bersifat seragam sehingga
psikolog dan juga pengguna jasa psikolog yang ada di Indonesia dapat terlindungi secara
hukum.
Pada beberapa negara pengaturan profesi psikologi telah dilakukan setingkat
undang-undang. Di Amerika serikat misalnya pengaturan ini diwujudkan pada undang-
undang di setiap negara bagian. Perlindungan dan pengaturan profesi psikolog ini juga
dilakukan di negara seperti Kanada, Australia, New Zealand, Jerman, Belgia, Yunani,
bahkan Filipina. Undang-undang tersebut menjadi dasar penting yang tidak hanya
mengatur kualifikasi, spesialisasi, dan area praktik psikolog, namun juga terkait dengan
wewenang dan kewajiban profesi beserta pengaturan organisasi profesi untuk
melindungi kerja profesional psikolog dan juga pengguna jasa psikolog.
Berdasarkan pada kondisi yang dipaparkan tersebut, terkait tantangan kualifikasi
psikolog dalam memenuhi kebutuhan jaman dan problem malpraktik yang merugikan
profesi psikologi dan pengguna jasa psikolog, maka diperlukan pengaturan terhadap
profesi psikologi. Perlindungan terhadap pelayanan profesi psikologi akan mendorong
kualitas kerja profesi antar psikolog Indonesia maupun psikolog Indonesia dengan

9
psikolog dari luar Indonesia, sehingga psikolog yang berpraktik di Indonesia dapat
berperan dalam mewujudkan kesejahteraan psikologis dan kemajuan sumber daya
manusia Indonesia secara optimal.
Peraturan perundang-undangan terkait pelayanan Profesi Psikologi dilakukan
untuk memberikan landasan dan kepastian hukum serta pelindungan kepada Psikolog
dan pengguna jasa Profesi Psikologi. Selain itu, Pengaturan Pelayanan Profesi Psikologi
dimaksudkan untuk peningkatan profesionalisme Psikolog sehingga dapat berperan
maksimal dalam pembangunan nasional dengan menjamin terwujudnya
penyelenggaraan Profesi Psikologi Indonesia yang baik.
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, dapat diidentifikasikan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Kebutuhan akan profesi psikologi yang semakin meluas seiring dengan tuntutan
global dan kompleksitas relasi antar manusia.
2. Kebutuhan untuk meningkatkan kualitas profesi psikologi Indonesia yang
memenuhi standar kualifikasi untuk membantu pemecahan masalah yang dihadapi
individu, komunitas dan organisasi yang semakin kompleks di Indonesia.
3. Maraknya malpraktik yang dilakukan oleh oknum profesi psikologi terkait praktik
psikologi yang berpotensi merugikan Psikolog dan juga pengguna jasa.
4. Belum adanya ketentuan undang-undang yang mengatur standar praktik, hak dan
kewajiban, serta kompetensi profesi psikologi tercipta kepastian dan perlindungan
hukum terhadap pelayanan profesi psikologi dan pengguna jasa psikologi.

1.2 Tujuan
Naskah akademik ini disusun untuk memberikan landasan pemikiran mengenai
perlunya RUU Profesi Psikologi dengan menggunakan pendekatan akademis, teoritis,
dan yuridis sebagai dasar yang mampu memberikan arah bagi penyusunan norma
pengaturan dalam RUU Profesi Psikologi. Selain itu, tujuan penyusunan naskah
akademik ini yang berdasarkan pada identifikasi masalah sebagai berikut:
1. mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh para profesi psikologi dalam
kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, serta merumuskan cara-cara
mengatasi permasalahan tersebut melalui RUU Profesi Psikologi;
2. mengetahui urgensi pembentukan RUU Profesi Psikologi dan perlunya
pembentukan RUU Profesi Psikologi sebagai dasar hukum penyelesaian atau
solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat;
3. merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis,
pembentukan RUU Profesi Psikologi;
4. merumuskan sasaran, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan
dalam RUU Profesi Psikologi; dam
5. merumuskan materi muatan yang perlu diatur dalam RUU Profesi Psikologi.
Penyusunan naskah akademik ini digunakan sebagai acuan dan bahan masukan
bagi DPR dan Pemerintah untuk menyusun dan membahas RUU Profesi Psikologi yang
tercantum dalam Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang
Prioritas Tahun 2018.

10
1.3 Metode Penelitian
1.3.1 Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian untuk menyusun Naskah Akademik ini merupakan penelitian yuridis empiris
yang bersifat deskriptif dengan menggunakan metode penelitian analisis pustaka
dengan meneliti data sekunder, berupa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
dan literatur terkait. Penggunaan data primer yang diperoleh berdasarkan wawancara,
konsultasi dan melakukan focus group discussion. Sumber data primer ini adalah para
Profesor bidang Psikologi, Ketua Himpunan Profesi Psikologi Indonesia dari berbagai
periode, psikolog senior, Dekan Fakultas Psikolog sebagai perwakilan dari Asosiasi
Pengelola Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia (AP2TPI) dan alumni dari berbagai
Program Studi dengan peringkat Akreditasi A, menguatkan analisis terhadap data
sekunder yang dilakukan.
1.3.2 Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer adalah bahan yang mengikat
karena dikeluarkan oleh pemerintah atau negara, yaitu peraturan perundang-undangan.
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang membahas bahan hukum primer, seperti:
buku-buku, artikel, laporan penelitian, dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya, termasuk
yang dapat diakses melalui internet. Bahan hukum tersier bersifat menunjang bahan
hukum primer dan sekunder, seperti: kamus, buku pegangan, almanak, dan sebagainya,
yang disebut bahan referensi atau bahan acuan atau rujukan. Untuk mendapatkan data
primer, dilakukan diskusi internal, focus group discussion, wawancara, dan Rapat
Dengar Pendapat Umum dengan beberapa narasumber, yaitu pakar dan praktisi, Wakil
Masyarakat, Unsur dalam organisasi Profesi Psikologi Indinbesia.
1.3.3 Teknik Penyajian dan Analisis Data
Analisis data dilakukan secara analisis deskriptif dan analisis preskriptif. Analisis
deskriptif yaitu analisis yang dilakukan dengan mendeskripsikan fakta yang ada dan
menganalisisnya berdasarkan hukum positif maupun teori yang digunakan dan tertuju
pada pemecahan masalah yang ada. Analisis ini tidak terbatas sampai pada tahap
pengumpulan dan penyusunan data tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti
data itu sendiri. Analisis preskriptif dilakukan karena data yang diperoleh dapat
disajikan dengan mengemukakan rumusan regulasi yang diharapkan dapat menjadi
alternatif penyempurnaan norma-norma serta sistem pengaturannya di masa yang akan
datang.

11
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

2.1 Kajian Teoritis


2.1.1 Konsep Psikologi Dan Lahirnya Profesi Psikologi
Lahirnya Psikologi sebagai ilmu empiris ditandai dengan pendirian laboratorium
Psikologi pertama di Leipzig Jerman di tahun 1897. Hal ini bukan berarti sebelumnya
kajian Psikologi tidak pernah ada, namun sebelum tahun itu kajian tentang perilaku
manusia merupakan bahasan yang saling berkelindan dengan filsafat dan kedokteran
(psikofisiologi). Bahkan kajian-kajian terkait dengan hakikat perilaku manusia sudah
menjadi perdebatan para filsuf-filsuf di era Yunani Kuno seperti Plato, Aristoteles, dan
juga filsuf-filsuf yunani yang lain. Ide-ide mereka terkait hakikat perilaku kemudian
menjadi inspirasi atas kajian-kajian empiris di psikologi, baik itu terkait memori, belajar,
motivasi, pikiran, sikap, dan perilaku manusia (Schultz & Schultz, 2011). Dengan
pendirian laboratorium psikologi yang pertama oleh Wilhem Wundt pada tahun 1897,
prinsip-prinsip ilmiah yang obyektif dan empiris dengan kecermatan observasi yang
menjadi dasar utama pada kajian Psikologi.
Kajian awal Psikologi di awal kehadirannya terbatas pada eksperimen yang
menyangkut pada kesadaran manusia yang disebut sebagai strukturalisme dan
fungsionalisme. Beberapa penelitian terkait kesadaran manusia dilakukan oleh Wundt,
Titchener dan William James. Kajian Psikologi yang spesifik membahas tentang
perilaku yang dihasilkan oleh stimulus kemudian lahir di Rusia di awal abad 20 melalui
eksperimen classical conditioning yang dilakukan oleh Ivan Petrovich Pavlov, yang
kemudian disebut sebagai behaviourisme. Aliran behaviorisme ini kemudian juga
berkembang di Amerika Serikat dengan eksperimen yang dilakukan oleh B.F Skinner.
Sigmund Freud dengan menggunakan pendekatan dan perspektif yang berbeda dari
strukturalisme dan juga behaviourisme lebih memfokuskan kajian psikologi bukan pada
perilaku tampak, namun justru pada ketidaksadaran sebagai penyebab utama dari
perilaku. Aliran yang dinamakan sebagai psikoanalisa ini menjadi titik penting bagi
kajian-kajian kepribadian, klinis, dan abnormalitas manusia.
Pada beberapa ahli kemudian juga menekankan pada aspek kognitif sebagai
penyebab perilaku manusia. Chomsky beranggapan bahwa perilaku kita bukan semata-
mata dikarenakan adanya stimulus yang otomatis menghasilkan respon, namun
dikarenakan adanya struktur mental internal sehingga dapat menjadi informasi yang
bermakna. Ulric Neisser menekankan bahwa operasi mental dalam otak yang kita punyai
dapat digambarkan sebagaimana sistem pemrosesan informasi yang ada di dalam
komputer. Pendekatan ini kemudian berkembang dengan kajian perilaku dengan melihat
bagaimana fungsi-fungsi otak dan juga sistem syarafnya. Pada perkembangan psikologi,
kajian ini kemudian melahirkan kajian neuropsychology dan juga cognitive
neuroscience.
Namun demikian perilaku manusia, merupakan kajian yang sangat dalam dan
kompleks. Beberapa psikolog tidak puas dengan beberapa model pendekatan yang ada
dalam psikologi, baik yang diperkenalkan oleh behaviourisme dengan model
mekanistiknya; psikoanalisa yang menekankan pada realitas ketidaksadaran dan
abnormalitas; dan juga aliran kognitif yang hanya membatasi kajian perilaku sebatas
pada mekanisme pikiran selayaknya komputer yang memproses informasi. Sebagai

12
reaksi ketidakpuasan ini, maka muncullah aliran humanistik yang lebih menekankan
pada aspek kesadaran yang dialami manusia sebagai anteseden atas kepribadian dan
pemaknaan otonom manusia, sebagaimana dipelopori oleh Maslow dan Rogers. Pada
perkembangannya aliran ini melahiran dua aliran baru yaitu psikologi transpersonal yang
menekankan pada aspek spiritual manusia dan juga psikologi positif.
Dari gambaran tersebut, dapat diketahui bahwa kajian terkait perilaku manusia
begitu luas, kompleks, dan menyeluruh yang menyangkut berbagai aspek yang menjadi
anteseden perilaku manusia. Seiring dengan tuntutan jaman, Psikologi kemudian lebih
dituntut untuk dapat menyelesaikan permasalahan keseharian. Selanjutnya kompleksitas
atas perkembangan teori-teori psikologi tersebut kemudian menjadi dasar bagaimana
ilmu psikologi dapat memberikan kontribusi secara praktis untuk menyelesaikan
persoalan dalam kehidupan manusia dalam rangka untuk meningkatkan
kesejahteraannya.
Perkembangan praktik psikologi terapan ini dimulai dari James McKeen Cattle
yang membuat tes-tes mental pada murid-muridnya di tahun 1890 (Schultz & Schultz,
2011). Pada perkembangannya tes-tes yang ada sekarang sudah tidak hanya berkaitan
dengan pengukuran sensori motor dasar atau pengukuran ambang sensori sebagaimana
yang dilakukan oleh Cattel (Schultz & Schultz, 2011), namun sudah mampu mengukur
beberapa faktor terkait kapasitas manusia yang berbeda-beda mulai dari kemampuan
intelejensi atau tes kognitif ataupun emosi yang menggunakan tugas-tugas mental yang
lebih kompleks (seperti yang dikembangkan oleh Alfred Binet, Lewis Terman, Henry
Goddard, David Wechsler, dan lainnya); dan juga tes-tes kepribadian (seperti yang
dikembangkan oleh Robert Woodworth, Herman Roscharch, Hans Eysenck, dll). Tes-tes
tersebut tidak hanya berguna untuk menggambarkan kapabilitas kognitif ataupun
kompleksitas kepribadian manusia dalam setting klinis ataupun perkembangan, namun
juga dapat digunakan dalam setting pendidikan dan industri sebagai dasar treatment
ataupun pengambilan keputusan untuk membuat manusia menjadi lebih berdaya guna
serta mengembangkan potensi yang dimiliki manusia.
Pada ranah klinis, sejarah perkembangan profesi ini ditandai oleh identifikasi pada
gangguan psikologis anak-anak yang dilakukan oleh Lightner Witmer di awal abad ke
20. Pada saat itu ia mampu mengidentifikasi beberapa problem terkait hiperaktivitas;
kesulitan belajar; dan gangguan pengembangan motorik dan penguasaan bicara. Ia
membangun standar asesmen dan juga treatment dimana psikolog bekerja sebagai
pekerja-pekerja klinis. Pada perkembangannya apa yang dilakukan Witmer
menginspirasi para psikolog untuk bekerja pada sektor klinis dan juga pada penanganan
anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tidak hanya itu, problem-problem terkait
delinquency, adaptasi, gangguan emosi dan kepribadian akut, Post Traumatic Stress
Disorder juga menjadi ranah pekerjaan psikolog klinis.
Pada ranah Indutri dan Organisasi, kerja praktik psikologi melingkupi asesmen dan
treatment secara individu dan organisasi yang mengedepankan prinsip-prinsip psikologi
juga sudah dimulai lebih dari 100 tahun lalu oleh James McKeen Cattle (Schultz &
Schultz, 2011). Tema-tema terkait perilaku pemimpin, dinamika kelompok dan
komunikasi, pola hubungan antara pekerja dan manajer, motivasi, produktivitas, dan
kepuasan tidak lagi sebatas pada riset atau asesmen psikologi, namun juga mampu
memprediksikan kinerja individu ataupun organisasi. Atas pentingnya peranan berbagai
aspek psikologi ini dalam setting mementukan produktivitas dan kinerja industri dan
norganisasi menyebabkan APA (American Psychological Association) membuat divisi
Society for Industrial and Organizational Psychology (SIOP).

13
Hal yang sama juga pada ranah pendidikan. Perkembangan asesmen terkait
intelejensi baik itu kognitif ataupun emosi; kajian psikologi perkembangan; dan juga
kajian anak berkebutuhan khusus telah membuat psikolog pendidikan mampu membuat
dan mengelola program untuk mengoptimalisasi siswa agar dapat belajar dengan baik.
Hal tersebut berdampak pada praktik terapan psikologi pendidikan yang tidak sekedar
membantu sekolah, anak atau orang tua untuk memahami perilaku siswa dalam
hubungannya dengan setting belajar, pola komunikasi dan pengajaran antara siswa,
pengajar dan orang tua; namun juga memitigasi dampak dari kesulitan belajar siswa serta
memaksimalkan potensi individu dalam setting pendidikan.
Di ranah hukum, psikolog pun juga sudah menunjukkan peranannya sejak lebih
dari 100 tahun lalu ketika Munstenberg melakukan beberapa tes-tes psikologis untuk
mendeteksi rasa bersalah seseorang, atau mendeteksi kepercayaan dari keterangan para
saksi-saksi, serta faktor-faktor psikologis yang dapat mempengaruhi hasil dalam
persidangan (Schultz & Schultz, 2011).
Dari gambaran tersebut, psikologi saat ini tidak hanya terbatas pada pengajaran-
pengajaran dan juga riset-riset di dalam laboratorium dan lapangan terkait perilaku
manusia, namun juga berkaitan dengan penerapannya di berbagai segi kehidupan. Hal ini
tidak hanya terkait dengan pendidikan dan sekolah, klinis, konseling, industri-organisasi,
dan forensik, namun juga terkait dengan pengembangan komunitas, perilaku konsumen,
kesehatan dan rehabilitasi, pelayanan keluarga, olahraga, dan juga militer.

2.1.2 Definisi Profesi Psikologi dan Cakupan Praktik


Psikologi merupakan disiplin ilmiah dan juga profesi. Kata profesi sendiri mengacu
secara luas pada pekerjaan apa pun, namun demikian istilah profesional seringkali
digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang mempraktikkan aktivitas dengan hati-hati
dan sungguh-sungguh (Knapp dan VandeCreek, 2005). Knapp dan VandeCreek (2005)
membatasi istilah profesi psikologi sebagai pekerjaan bersyarat, dimana profesi psikologi
dituntut: 1) menguasai pengetahuan spesifik, 2) harus menggunakan penilaian mereka
terkait pengetahuan Psikologi yang mereka kuasai; 3) memiliki standar yang disepakati
dari pengetahuan itu, 4) berkomitmen dalam kesejahteraan masyarakat; 5) setuju untuk
mematuhi standar perilaku tertentu.
Selain membutuhkan spesialisasi pengetahuan, Knapp dan VandeCreek (2005)
mengatakan bahwa standar etika menjadikan seorang profesional memiliki hubungan
fidusia (hubungan kepercayaan) yang secara bersamaan juga bertanggung jawab untuk
mempromosikan kesejahteraan masyarakat dan menghindari atau meminimalisir konflik
kepentingan dengan klien mereka. Oleh karenanya sebagai sebuah profesi, psikolog
memiliki standar perilaku yang disepakati sebagai acuan anggota-anggotanya. Oleh
karenanya dalam profesi psikologi ditetapkan pula kode etik oleh organisasi profesi
dimana bernaung pekerja profesional psikologi. Hal itu dirumuskan oleh organisasi
profesi di berbagai negara, seperti APA sejak tahun 1953, EFPA di Eropa (Belgia,
Belanda, Russia, Jerman Prancis, Inggris, dll), dan juga organisasi profesi psikologi di
Indonesia dengan tujuan untuk memberikan lisensi profesional psikologi dimana terdapat
pekerja-pekerja profesi tersebut bekerja di kawasan mereka. Kontrol melalui kode etik
dirancang untuk melindungi klien dan integritas profesi psikologi sendiri.
Namun demikian, selain menjadi profesi, psikologi juga merupakan disiplin
akademik dan ranah penelitian dimana pekerja di dalamnya melakukan aktivitas
mengajar dan penelitian. Pada hal ini, etika ditetapkan pada hak-hak orang-orang yang

14
diajar (siswa/mahasiswa) dan juga partisipan penelitian. Di Indonesia, Eropa, dan di
Amerika Serikat hal ini dikenal ilmuwan psikologi. Mereka adalah orang-orang yang
menempuh pendidikan psikologi non profesi namun terjun pada ranah pengajaran dan
penelitian. Mereka yang terjun pada ranah ini tidak memiliki kontrol yang sama seperti
psikolog profesional, namun demikian, mereka tunduk pada kode etik sebagai pengajar
dan peneliti (Knapp dan VandeCreek, 2005).
Berdasarkan model lisensi yang dikeluarkan oleh APA (2010), praktik psikologi
didefinisikan sebagai kegiatan observasi, deskripsi, evaluasi, interpretasi, dan modifikasi
perilaku manusia dengan menerapkan prinsip-prinsip psikologis, metode, dan prosedur,
dengan tujuan (a) mencegah, mengeliminasi, mengevaluasi, menilai, atau memprediksi
perilaku-perilaku simtomatik, maladaptif, atau tidak diinginkan; (b) mengevaluasi,
menilai, dan / atau memfasilitasi peningkatan efektivitas individu, kelompok, dan / atau
organisasi - termasuk efektifitas personal, perilaku adaptif, hubungan interpersonal,
pekerjaan dan penyesuaian kehidupan, kesehatan, dan individu, kelompok, dan / atau
organisasi kinerja, atau (c) membantu dalam pembuatan keputusan hukum.
Cakupan praktik psikologi didefinisikan oleh APA (2010) sebagai kegiatan (a)
pengujian psikologis dan evaluasi atau asesmen karakteristik personal, seperti
kecerdasan; kepribadian; kemampuan kognitif, fisik, dan / atau emosional; keterampilan;
kepentingan; bakat; dan fungsi neuropsikologis; (b) konseling, psikoanalisis, psikoterapi,
hipnosis, biofeedback, dan analisis perilaku dan terapi; (c) diagnosis, pengobatan, dan
penanganan gangguan mental dan emosional atau kecacatan, gangguan penggunaan zat
(substance abuse), gangguan kebiasaan atau perilaku, serta aspek psikologis penyakit
fisik, kecelakaan, cedera, atau cacat; (d) evaluasi, terapi, dan remediasi pada bidang
psikoedukasi; (e) berkonsultasi dengan dokter, praktisi kesehatan profesional lainnya,
dan pasien mengenai semua pilihan perawatan (treatment) yang ada, termasuk
pengobatan, sehubungan dengan pemberian perawatan untuk pasien atau klien tertentu;
(f) pemberian layanan langsung kepada individu dan / atau kelompok untuk tujuan
meningkatkan efektivitas individu dan efektivitas organisasi, dengan menggunakan
prinsip, metode, dan / atau prosedur psikologis untuk menilai dan mengevaluasi individu
sehubungan dengan karakteristik pribadi untuk pengembangan individu dan / atau
perubahan perilaku atau untuk membuat keputusan terkait individu, seperti seleksi; dan
(g) pengawasan dari hal-hal di atas (APA, 2010).
Sementara itu di negara-negara Eropa yang tergabung dalam EFPA, cakupan
bidang profesi psikologi di ringkas dalam 4 bidang yaitu: 1) klinis dan kesehatan; 2)
pendidikan; 3) kerja dan organisasi; 4) dan lain-lain. Bidang nomor 4 (lain-lain)
merupakan ranah praktik psikologi yang tidak masuk dalam ketiga kategori tersebut
namun demikian mereka masih melakukan pekerjaan profesional psikolog dalam setting
spesifik, seperti forensik, olahraga, transport, dll (EFPA, 2011). Namun demikian ranah
kerja psikologi mencakup pada 6 kategori kemampuan fungsional yang harus bisa
dimiliki oleh setiap psikolog, yaitu:
1. Spesifikasi tujuan, yaitu berkaitan dengan interaksi dengan klien untuk menetapkan
tujuan intervensi atau pelayanan psikologi yang disediakan;
2. Asesmen, yaitu terkait dengan penilaian karakteristik individu, kelompok, organisasi,
dan atau yang relevan dengan metode yang tepat;
3. Pengembangan, yaitu terkait dengan pengembangan intervensi, layanan, atau produk
berdasarkan teori dan metode psikologis untuk digunakan oleh klien atau psikolog;
4. Intervensi, yaitu aktivitas identifikasi, persiapan, dan pelaksanaan intervensi untuk

15
mencapai tujuan yang ditetapkan dengan menggunakan hasil asesmen dan kegiatan
pengembangan;
5. Evaluasi, yaitu berkaitan dengan adekuat atau tidaknya aktivitas intervensi ditinjau
dari perencanaan intervensi sekaligus dengan pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan dari awal;
6. Komunikasi, yaitu berkaitan dengan pemberian informasi kepada klien secara
adekuat untuk memenuhi kebutuhan dan harapan klien
Sedangkan di Filipina, sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Psikologi
Filipina (Philippine Psychology Act of 2009) disebutkan bahwa praktik psikologi
merupakan pelayanan psikologis yang melibatkan penerapan prinsip dan prosedur
psikologis dengan tujuan mendeskripsikan, memahami, memprediksi dan mempengaruhi
perilaku individu atau kelompok, dalam rangka membantu pencapaian pertumbuhan dan
fungsi manusia yang optimal. Pada undang-undang tersebut disebutkan bahwa layanan
psikologis meliputi, namun tidak terbatas pada: (1) intervensi psikologi yang dapat
berupa konseling psikologi, psikoterapi, dukungan psikososial, pembinaan, pembekalan
psikologi, proses kelompok dan semua intervensi psikologis lainnya yang melibatkan
penerapan prinsip-prinsip psikologi untuk memperbaiki fungsi psikologi individu,
keluarga, kelompok dan organisasi; (2) asesmen psikologi yaitu mengumpulkan dan
mengintegrasikan data-data psikologi dengan tujuan melakukan evaluasi psikologis yang
dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen, termasuk tes individual, tes
proyektif, wawancara klinis dan asesmen psikologi lainnya yang dimaksudkan untuk
menilai berbagai fungsi psikologis termasuk kemampuan kognitif, bakat, karakteristik
kepribadian, sikap, nilai, minat, emosi dan motivasi, untuk mendukung konseling
psikologis, psikoterapi dan intervensi psikologi lainnya; (3) program psikologis:
pengembangan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi treatment psikologi
untuk individu dan / atau kelompok.
Sehubungan kemampuan psikoterapis yang juga merupakan cakupan kerja profesi
Psikolog, Tantam dan Van Deurzen (2005) menunjukkan perdebatan terkait
independensi profesi psikoterapis, dimana profesi ini dapat dilakukan oleh orang-orang
selain psikologi atau kedokteran. Pada beberapa kasus, pastor atau pendeta yang telah
belajar teologi selama lima tahun dapat pula melakukan praktik psikoterapi. Diakui oleh
Tantam dan Van Deurzen (2005) bahwa teologi dan psikologi dapat memberikan
pengetahuan yang dapat diterapkan pada teknik psikoterapi, sebagaimana terdapat pula
ilmu-ilmu sosial lain yang dapat memiliki kontribusi terhadap psikoterapi. Hingga saat
ini belum ada keseragaman aturan terkait psikoterapi ini. Negara seperti Finlandia,
Hungaria, dan Austria mengakui pentingnya psikoterapis dan mencoba menjadikan
profesi ini dapat tersedia secara luas bagi masyarakatnya, sehingga untuk dapat menjadi
seorang psikoterapis dapat dilakukan melalui berbagai jalur pendidikan yang tidak hanya
berkaitan pada psikologi ataupun medis. Berbeda dengan Negara-negara seperti Belgia,
Belanda, Luxemburg, Swiss, Italia, Latvia, dan Lithuania dimana praktik psikoterapi
hanya sebatas dapat dilakukan oleh mereka yang berprofesi sebagai psikolog atau dokter.
Yang perlu digarisbawahi, Praktik Psikologi tidak hanya terbatas pada psikoterapi.
Kapasitas yang berhubungan dengan pengetahuan dan keterampilan asesmen, diagnostik,
konsultasi, dan berbagai intervensi baik itu pada individu, komunitas, organisasi, ataupun
situasi pada setting tertentu mutlak diperlukan sebagai seorang psikolog profesional.

16
2.1.3 Standar Pengetahuan dan Keterampilan dalam Profesi Psikologi
Sejak dari jenjang S1 Psikologi, para calon psikolog telah dibekali berbagai teori,
metode, dan temuan-temuan yang merupakan dasar dari ilmu psikologi. Selanjutnya,
pada jenjang Profesi Psikologi, mahasiswa dibekali dengan keahlian asesmen, diagnosis,
juga intervensi pada kasus-kasus yang berhubungan dengan gangguan mental (klinis),
kesulitan atau pengembangan yang berhubungan dengan kemampuan dalam belajar
(pendidikan), dan gangguan/pengembangan yang berhubungan dengan perilaku kerja.
Kemampuan pada asesmen, diagnosis, dan intervensi tersebut wajib dimiliki oleh
psikolog dengan spesialis klinis, industri-organisasi, sekolah dan juga pendidikan,
sehingga psikolog yang bekerja pada ranah tersebut dapat memberikan pelayanan terbaik
pada kliennya.
Sales (1983) menggarisbawahi terkait keterampilan-keterampilan dan pengetahuan
dasar yang dibutuhkan oleh seorang Psikolog, yaitu dasar-dasar perilaku individu
berdasarkan proses biologis, kognitif-afektif, dan sosial; perbedaan individu; statistik dan
psikometri; serta sejarah dan dan aliran psikologi. Namun demikian, Sales (1983)
menambahkan bahwa pengetahuan dasar tersebut tidaklah cukup pengetahuan terkait
aspek etika dan hukum terkait pelayanan antara Psikolog dan klien juga dibutuhkan.
American Psychological Association (APA, 2010), sebagai induk dari organisasi
Psikologi di Amerika, kemudian menambahkan pengetahuan dasar terkait etika dan
standar ilmu pengetahuan dan profesional; serta pengetahuan desain riset dan
metodologi. Pengetahuan tersebut tidak hanya secara logis dibutuhkan, namun juga
diwajibkan sebagai standar APA dalam mengatur praktik profesional Psikologi (APA,
2010). Setelah pemahaman terkait hal dasar tersebut, pada jenjang profesi psikologi maka
keterampilan-keterampilan terkait asesmen, diagnostik, dan intervensi akan ditambahkan
melalui praktik kerja. APA (2010) juga mensyaratkan segala dasar teori, prinsip, dan
pengetahuan-pengetahuan tersebut sebagai wajib dipunyai oleh seorang Psikolog.
Lisensi seorang Psikolog hanya diberikan pada seseorang yang memenuhi persyaratan
pendidikan dengan kurikulum Psikologi yang telah ditetapkan, pengalaman praktik, dan
lulus ujian praktik (APA, 2010).
European Federation of Psychologists Association (EFPA) juga kurang lebih
mensyaratkan kemampuan dasar pengetahuan dan keterampilan yang sama sebagaimana
APA, sehingga seseorang dapat memenuhi standar kualifikasi Psikolog di Eropa
(Europsy). Seorang Psikolog profesional harus melalui 3 tahap pendidikan. Tahap
pertama adalah setingkat sarjana psikologi yang mensyaratkan pengetahuan dasar
sebagaimana APA dengan tambahan pada epistemology, filsafat, antropologi, dan
sosiologi (EFPA, 2011). Pada fase kedua, calon Psikolog harus mampu menunjukkan
kapasitasnya sebagai peneliti dan general practitioner dalam ilmu psikologi dengan
pengetahuan terkait asesmen dan intervensi yang terspesialisasi. Pada tahap ketiga,
seorang calon psikolog melakukan praktik tersupervisi pada area profesi psikologi
tertentu.
Pada kalangan profesi Psikologi Indonesia telah dirumuskan pula kemampuan dan
ketrampilan dasar yang harus dimiliki sehingga seseorang dapat dikatakan sebagai
Psikolog profesional pada Kolokium Psikologi Indonesia di tahun 2003. Jenjang S1
psikologi menjadi dasar dari seseorang sebelum mengambil profesi psikologi, dimana
dalam jenjang ini seseorang harus memahami: 1) pengetahuan dasar Psikologi dan teknik
pengamatan secara objektif sehingga dapat menginterpretasikan tingkah laku manusia
menurut kaidah-kaidah Psikologi baik perorangan maupun kelompok; 2) Mengenal
berbagai macam alat pengukuran Psikologi dan memahami fungsi serta manfaatnya; 3)

17
Mampu menunjukkan kepekaan terhadap nilai dan permasalahan bio–psiko–sosial dan
moral dalam konteks Indonesia (poleksosbud); 4) Mampu melakukan penelitian di
bidang Psikologi; 5) Mampu menghayati dan melaksanakan kode etik keilmuan,
penelitian dan profesi. Selanjutnya pada jenjang magister profesi psikologi seorang calon
psikolog harus: 1) menguasai psikodiagnostika dan psikoterapi; 2) Mampu melakukan
pemeriksaan psikologi, konseling dan terapi; 3) Mampu melakukan penelitian terapan
sebagai seorang psikolog sesuai dengan kode etik profesi Psikologi. Dalam menjalani
Magister Profesi Psikologi sebagai jenjang pendidikan Profesi Psikolog mahasiswa juga
harus menjalani praktik kerja profesi sebanyak 650-640 jam.
Sementara itu dalam Undang-undang Psikologi Filipina tahun 2009 disebutkan
bahwa psikolog merupakan orang yang secara sah terdaftar dan tersertifikasi serta
memiliki kartu identifikasi sebagai psikolog profesional. Dimana untuk dapat dikatakan
sebagai profesi psikologi seseorang harus mempunyai minimal gelar master dalam
bidang psikologi yang diberikan oleh universitas, perguruan tinggi atau sekolah di
Filipina atau di luar negeri yang diakui/diakreditasi oleh institusi setempat dan telah
menjalani praktikum/magang minimal dua ratus (200) jam kerja di bawah naungan ahli
psikologi berlisensi atau profesi kesehatan mental lainnya yang juga berlisensi.
Sementara negara-negara seperti Polandia, Norwegia, Swedia, Prancis, dan
Spanyol mengatur profesi psikoterapis berdasarkan pada registrasi sukarela pada
lembaga European Certificate of Psychotherapy (Tantam dan Van Deurzen, 2005).

2.1.4 Prinsip Etik Profesi Psikologi


Bond (2005) memberikan dasar untuk mengembangkan panduan moral dan etis
pada profesi psikologi, yaitu sebagai berikut:
1. Menyediakan dasar yang adekuat untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang
disebabkan oleh malpraktik dan penyalahgunaan profesi. Pemahaman atas tujuan
moral mengidentifikasi dan memberikan tantangan terkait bentuk-bentuk perilaku
nyata yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
2. Letak otoritas etis yang disahkan oleh pernyataan etik profesional menengahi antara
pemahaman kolektif yang berkaitan dengan tujuan moral yang dilakukan oleh
profesi tertentu dengan kapasitas praktisi individual untuk bertanggung jawab secara
etis.
3. Pernyataan etis bertindak sebagai dasar untuk menumbuhkan kesadaran etis di
semua situasi di mana layanan profesi diberikan. Hal tersebut merupakan standar
yang ketat untuk dipenuhi, namun pernyataan-pernyataan etika utama harus mampu
memvalidasi semua praktik etis yang beralasan di dalam ruang lingkup profesinya.
Lebih lanjut kriteria ini dapat lebih dicapai bila diungkapkan secara negatif sehingga
pernyataan-pernyataan etis dapat menghindari variasi penyimpangan etika praktik.
4. Etika profesi harus mengandung elemen peraturan, pendidikan dan inspirasi agar
dapat ditujukan pada berbagai ekspektasi yang sah atas etika-etika profesional.
Perhatian yang berlebihan dengan peraturan hanya akan menetapkan batas antara
praktik yang memadai dan tidak memadai tanpa melihat kemajuan praktik-praktik
terapan yang mungkin sebagian besar profesional sudah secara aktif berusaha untuk
bersikap etis dan ingin diberi informasi etis. Mempromosikan dan meningkatkan
praktik yang baik butuh secara aktif ditujukan pada komitmen etis yang positif.
5. Pernyataan etika utama untuk profesi seharusnya mampu bertindak sebagai platform

18
dan dasar pada aktivitas-aktivitas profesi sehingga mampu memberikan kesadaran
etis pada praktisi.
Dalam etika profesi dikenal terdapat dua pendekatan yang saling mengisi antara
satu dengan yain, yaitu pendekatan remedial dan juga pendekatan positif/aktif (Knapp &
VandeCreek, 2005). Dalam pendekatan remedial, etika menunjukkan entitas yang tetap
dari larangan-larangan ataupun aturan-aturan yang harus diikuti. Sementara dalam
pendekatan positif/aktif berisi tentang nilai-nilai yang membantu praktisi psikologi untuk
dapat memenuhi potensi tertingginya sebagai psikologi. Berbeda dengan pendekatan
remedial yang lebih menekankan pada respon atas perilaku-perilaku non etis, maka pada
pendekatan positif/aktif lebih menekankan pada bagaimana individu ataupun lembaga
yang melakukan praktik psikologi dapat mempromosikan nilai-nilai dan perilaku yang
baik (Knapp & VandeCreek, 2005).
Pada prinsipnya dua pendekatan ini merupakan dua hal yang harus diperhatikan
oleh seseorang ataupun lembaga yang melakukan praktik psikologi terkait pada domain-
domain moral seperti pelayanan tanpa diskriminasi, kompetensi dasar, batasan perilaku,
persetujuan klien dengan penyedia layanan praktik, dan juga kerahasiaan klien dapat
dipenuhi (Knapp & VandeCreek, 2005). Dua pendekatan yang saling mengisi tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel. 1. Etika dalam sudut pandang remedial dan positif

Domain moral Sudut Pandang Remedial Sudut Pandang Positif

nondiscrimination Mencegah diskriminasi Mendorong pemahaman dan


apresiasi terhadap
orang/kelompok yang
terabaikan

Kompetensi Perolehan dan pemeliharaan Mengusahakan standar


minimal kualifikasi formal tertinggi kompetensi termasuk
di dalamnya adalah self-
awareness dan self-care

Batasan perilaku Pencegahan pelanggaran- Berusaha untuk meningkatkan


pelanggaran batas, terutama kualitas dari hubungan-
terkait dengan eksploitasi hubungan profesional secara
seksual keseluruhan

Persetujuan klien Pemenuhan tanggung jawab Berusaha untuk


hukum, seperti memastikan memaksimalkan partisipasi
bahwa klien klien dalam pengembangan
menandatangani form tujuan-tujuan evaluasi
persetujuan layanan intervensi

Kerahasiaan Pencegahan pengungkapan Berusaha untuk meningkatkan


rahasia klien kepercayaan

Sumber: Knapp & VandeCreek, 2005, halaman 12

19
Untuk mencegah terjadinya pelanggaran etik, kerja Psikolog profesional sendiri
harus diatur oleh prinsip-prinsip dan aturan yang mengontrol kerjanya baik sebelum
dirinya melakukan praktik pelayanan (before the fact control) dan setelah melakukan
pelayanan (after the fact control) (Knapp & VandeCreek, 2005).
Aturan-aturan yang mesti diperhatikan sebelum melakukan praktik (before the fact
control) bertujuan untuk melindungi dan mencegah Psikolog dalam melakukan layanan
yang membahayakan kliennya atau melanggar kode etik dan standar perilaku lainnya.
Hal ini termasuk persyaratan program-program training yang harus diikuti, lisensi yang
harus dipunyai, atau pendidikan lanjut yang wajib yang harus dijalani.
Aturan-aturan setelah melakukan praktik (after the fact control) diberlakukan
ketika apa yang dilakukan profesional psikolog telah membahayakan publik atau
melanggar standar-standar profesi. Hal ini terkait dengan tindakan-tindakan disiplin yang
dilakukan oleh institusi terkait dan komite etik, berbagai ketentuan perdata dan pidana
yang memperkuat tuntutan hukum terhadap psikolog, dan jika ada, pengawasan
institusional (Knapp & VandeCreek, 2003).

2.2 Praktik Empiris


2.2.1 Perkembangan Psikologi dalam Organisasi Keprofesian Psikologi di Indonesia
(sejarah, peran dan fungsi)
Profesi psikologi di Indonesia berhimpun dalam wadah profesi yang didirikan di
Jakarta pada tanggal 11 Juli 1959 dengan nama Ikatan Sarjana Psikologi, disingkat ISPsi.
Sejalan dengan perubahan sistim pendidikan tinggi di Indonesia, melalui Kongres Luar
Biasa pada tahun 1998 di Jakarta, organisasi ini mengubah nama menjadi Himpunan
Psikologi Indonesia, disingkat Himpsi. Organisasi profesi ini disepakati sebagai satu-
satunya organisasi profesi psikologi di Indonesia.
Sebagai organisasi profesi, Himpsi merupakan wadah berhimpunnya profesional
Psikologi (Sarjana Psikologi, Magister Psikologi, Doktor Psikologi dan Psikolog). Sejak
tahun 2003, lulusan program pendidikan profesi psikologi sudah setara dengan jenjang
Magister.
Visi Himpsi, menjadi organisasi profesi psikologi yang diakui secara nasional
maupun internasional dan berperan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
Misi Himpsi adalah pengembangan keilmuan dan profesi psikologi di Indonesia.
Himpsi senantiasa mengembangkan diri untuk dapat menjangkau dan memberikan
perlayanan yang maksimal pada seluruh anggotanya di Indonesia. Sampai saat ini Himpsi
telah memiliki 27 wilayah di propinsi yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah
lebih dari 25.000 anggota yang terdiri dari psikolog dan profesi psikologi lainnya.
Anggota Himpsi yang memiliki minat dan praktik yang sama telah bergabung
dalam 15 buah organisasi Ikatan Minat/Asosiasi. Perkembangan Psikologi di Indonesia
menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan terbukti adanya jumlah program studi
Psikologi yang semakin meningkat dan menghasilkan lulusan baik sarjana psikogi
maupun magister profesi psikologi yang semakin banyak juga. Hal ini muncul karena
adanya kebutuhan masyarakat akan jasa dan layanan profesi psikologi di berbagai
bidang.
Himpsi saat ini semakin menunjukkan kiprahnya di masyarakat dengan semakin
banyaknya kebutuhan yang melibatkan profesi psikologi untuk mengambil keputusan.

20
Sebagai contoh Himpsi membantu berbagai lembaga negara seperti KPU untuk
melakukan pemeriksaan psikologis terhadap calon kepala daerah peserta pemilihan
daerah, BNP2TKI untuk pemeriksaan psikologis calon TKI yang akan dikirim ke luar
negeri, kegiatan konsultatif terkait dengan penyusunan alat ukur atau instrument
psikologi untuk berbagai tujuan dll. Selain itu profesi psikologi juga sudah mulai banyak
memberikan kesaksian sebagai ahli dalam persidangan kasus-kasus tertentu di
pengadilan.
Hal-hal yang disebutkan tersebut merupakan satu bukti nyata yang tidak dapat
dipungkiri bahwa profesi psikologi merupakan salah satu profesi yang diperlukan dalam
tatanan penyelenggaraan kenegaraan maupun masyarakat pada umumnya.

2.2.2 Pendidikan Profesi Psikologi di Indonesia


2.2.2.1 Sejarah Singkat Pendidikan Psikologi di Indonesia
Perjuangan untuk mengembangkan Psikologi di Indonesia telah dimulai jauh
sebelum kemerdekaan dengan berkembangnya penelitian-penelitian psikiatri dan
disabilitas mental yang dilakukan oleh beberapa orang Belanda, khususnya di wilayah
Jawa (Pols, 2006). Penelitian itu berjalan pada mereka yang sudah mengalami
disabilitas, sehingga memicu sekelompok pemuda Indonesia yang sedang belajar di
Belanda dengan melakukan publikasi kritikan terhadap beberapa hasil pemikiran terkait
dengan kesehatan mental orang Indonesia. Terdapat tiga opini dari kritikan para
mahasiswa Indonesia tersebut 1) penelitian terhadap penderita kesehatan mental
hendaknya dilakukan oleh ahli yang memahami Bahasa dan budaya Indonesia; 2)
menentang generalisasi dari temuan penelitian atau pemeriksaan pasien dalam
kelompok kecil untuk populasi seIndonesia yang memiliki lebih dari 300 kelompok
etnis; dan 3) mempertanyakan kebermaknaan perbandingan antara temuan di budaya
barat dan budaya timur.
Pembahasan kesehatan mental dan budaya telah mengemuka pada masa itu,
penekanan bahwa harus seorang ahli dibidangnya yang memahami Bahasa dan budaya
setempat telah mengemuka. Hal ini juga yang mendasari semangat berkembangnya
Psikologi di Indonesia yang diperkenalkan pertama kali oleh Prof. Slamet Iman
Santoso, yang kemudian diikuti dengan pendirian Departemen Psikologi di Universitas
Indonesia pada tahun 1953, Bapak Fuad Hassan adalah lulusan pertama dari department
Psikologi pada tahun 1958. Pada tahun 1960, Jurusan Psikologi berdiri sendiri sebagai
sebuah fakultas dengan Slamet Imam Santoso sebagai dekan pertama, yang kemudian
digantikan oleh Bapak Fuad Hassan (Supratiknya, 2010).
Pada tahun 1961 berdiri Fakultas Psikologi di Universitas Padjajaran, Bandung
yang diprakarsai oleh anggota TNI yang juga dikirim ke Belanda dan Jerman untuk
mempelajari Psikologi dan kemudian ditempatkan di Angkatan Darat dan Angkatan
Udara Bandung. Universitas ketiga yang memiliki jurusan psikologi adalah Universitas
Gajah Mada, Jogjakarta. Pada awalnya jurusan psikologi terdapat di dalam Fakultas
Pendidikan. Pada tahun 1964, Fakultas pendidikan berdiri sendiri sebagai sebuah
institute, namun Jurusan psikologi tetap berada di bawah naungan Universitas Gajah
Mada dan kemudian berdiri sebagai Fakultas. Universitas keempat adalah Universitas
Airlangga, Surabaya. Di Universitas ini pada awalnya psikologi tergabung dalam
Fakultas Ilmu Sosial. Namun pada tahun 1992, menjadi Fakultas Psikologi dengan para
staf nya sebagian besar adalah alumni fakultas psikologi Universitas Gajah Mada
(Supratiknya, 2010). Setelah itu, Jurusan dan Fakultas Psikologi semakin banyak

21
bermunculan hingga saat ini. Data dari BAN PT sebagai lembaga negara penyelenggara
akreditasi pendidikan tinggi di Indonesia menyebutkan bahwa tahun 2018 terdapat 123
program studi S1 Psikologi, 24 program studi S2 Psikologi dan 8 program studi S3
Psikologi, dengan demikian total terdapat 155 program studi psikologi pada strata 1,
strata 2 dan strata 3 yang diselenggarakan oleh PTN maupun PTS (BAN PT, 2018).
Pada tingkat strata 1, minimal seorang sarjana harus telah lulus 144 SKS yang
ditempuh minimal selama 3,5 tahun atau 7 semester. Selama menjalani perkuliahan,
mahasiswa diperkenankan dengan berbagai peminatan dalam psikologi, antara lain:
psikologi klinis, Pendidikan, perkembangan, industri & organisasi, dan sosial.
Sebelum tahun 2003, untuk menjadi psikolog, sarjana psikologi yang lulus dengan
kurikulum 1994 diharuskan menempuh pendidikan profesi selama satu tahun, sehingga
dikenal dikenal dengan S1 plus.
Sejak tahun 2003 untuk menjadi seorang psikolog harus menyelesaikan pendidikan
magister profesi, lulusannya telah diakui untuk menyandang gelar strata magister dan
sekaligus menyandang gelar profesi psikolog. Dalam masa pendidikannya, para lulusan
ini hanya boleh memilih satu peminatan saja, antara lain: klinis, industri & organisasi,
dan pendidikan. Setiap universitas memiliki kebebasan untuk memilih mana peminatan
yang hendak dibuka, sesuai dengan visi dan misi dari Fakultas Psikologi dari universitas
tersebut.
Ketentuan bahwa psikolog harus menyelesaikan Pendidikan magister sejalan
dengan yang tertuan pada Mutual Recognition of Profesional Qualificarions (MRPQ)
yang disepakati oleh ARUPS (ASEAN Regional Unions of Psychological Society).
Dalam kesepakatan itu dijelaskan bahwa semua anggota ARUPS menyepakati untuk
dapat menjalankan praktek psikologi di negara-negara yang bergabung dalam ARUPS
adalah master degree (Magister). Organisasi profesi psikologi Indonesia merupakan
salah satu anggota ARUPS sehingga terikat juga dengan kesepakatan kualifikasi
psikolog yang dapat menjalankan praktik psikologi di Indonesia maupun di negara lain
yang tergabung dalam ARUPS.
Pendidikan psikologi di Indonesia diatur dan dikontrol oleh Kementrian Riset dan
Pendidikan Tinggi, sedangkan ijin praktek psikolog diatur dan dikontrol oleh organisasi
profesi psikologi Indonesia dan Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Di
Indonesia terdapat Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia
(AP2TPI) yang merupakan wadah bagi seluruh universitas yang menyelenggarakan
pendidikan psikologi di Indonesia untuk dapat merumuskan segala hal yang terkait
dengan pendidikan psikologi di Indonesia. Saat ini terdapat 142 Universitas dan
Sekolah Tinggi di Indonesia yang tergabung dalam AP2TPI ini (Administrator).
AP2TPI menyelenggarakan kolokium psikologi Indonesia secara berkala. Saat ini,
untuk akreditasi program studi psikologi mengacu pada Indonesian Qualification
Framework (IQF) atau dikenal juga dengan nama Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI) yang dirumuskan dalam Forum kolokium psikologi Indonesia
(Administrator).

2.2.2.2 Jumlah lulusan S1 dan S2 profesi.


Dengan memperhatikan data BANPT terkait jumlah program studi Psikologi sebanyakl
155 program studi yang terdiri dari jenjang S1, S2 dan S3. Untuk program strata 1
sebanyak 123 dan strata 2 sendiri terdapat 24 program studi. Berdasarkan Pangkalan
Data Perguruan Tinggi (PDPT), diperoleh informasi jumlah mahasiswa aktif program

22
studi Psikologi berdasarkan pelaporan pada semester gasal tahun akademik 2017-2018
untuk S1 sebesar 67553 mahasiswa dan 4737 mahasiswa untuk jenjang S2. Prosentase
trend lulusan dari beberapa program studi Psikologi di Perguruan Tinggi rata-rata 15%
dari mahasiswa aktif per semester, maka diperkirakan jumlah lulusan Program studi
psikologi setiap tahunnya sebesar 20266 lulusan untuk S1 dan 1422 lulusan untuk S2.
Dengan memperhatikan angka-angka tersebut, maka jumlah individu yang bekerja
dalam bidang psikologi (baik sarjana maupun magister psikologi) akan semakin
bertambah. Sehingga kebutuhan akan kepastian hukum akan pelaksanaan tugas dalam
profesi psikologi menjadi sangat mendesak.

2.2.2.3 Ruang lingkup jasa psikolog di Indonesia


Pelaksanaan Jasa Psikolog di Indonesia berkembang dalam cakupan tiga bidang
besar yaitu bidang Klinis, Pendidikan dan Industri dan Organisasi. Uraian jasa psikolog
dari setiap bidang tertuang pada bagian berikut.
Klinis
Psikologi Klinis merupakan spesialisasi psikologi yang menyediakan penanganan
kesehatan mental dan perilaku bagi individu dan keluarga yang berkelanjutan dan
komprehensif, konsultasi pada institusi dan komunitas, pelatihan, pendidikan dan
supervisi, dan penanganan berdasarkan bukti ilmiah (APA)
Lingkup jasa psikologi klinis adalah pelayanan pada individu (anak hingga lansia)
dan keluarga di rumah sakit, klinik maupun sekolah. Psikolog klinis juga dapat
memberikan layanan di lembaga pemasyarakatan bagi anak maupun dewasa. Pada
bidang industri dan organisasi, psikolog klinis dapat memberi layanan berdasarkan
rujukan bagi individu yang mengalami permasalahan psikologi yang sudah mengarah
pada kondisi patologis yang tercantum dalam PPDGJ/ICD/DSM. Pada lingkungan
akademik psikolog klinis memberikan pelatihan, pendidikan, dan supervisi pada calon
psikolog klinis
Pendidikan
Bidang jasa dan layanan psikologi pendidikan melakukan upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif, baik secara formal maupun non formal dalam (1)
Identifikasi kebutuhan dan intervensi layanan psikologi pendidikan melalui asesmen
program layanan guna mengetahui dan mengoptimalkan potensi (bakat-minat), bagi
siswa, kelompok anak-anak berkebutuhan khusus, serta masyarakat suku terasing; (2)
Identifikasi dan intervensi kesiapan belajar siswa berdasar jenis pendidikan, kesulitan
belajar serta bimbingan karir dalam upaya mengoptimalkan potensi siswa; (3)
Pemberdayaan Sekolah, melalui pengembangan teknik dan metode konseling guru serta
optimalisasi manajemen sekolah dan (4) Menyiapkan pendidikan orang dewasa
berbasis psikologi.
Industri dan Organisasi
Bidang psikologi Industri dan Organisasi adalah bidang psikologi yang mengkaji
perilaku manusia dalam ruang lingkup pekerjaan dan organisasi baik dalam bidang
industry, pemerintahan dan organisasi nirlaba. Bidang jasa dan layanan psikologi
industri dan organisasi, meliputi: Bidang pengelolaan individu dalam organisasi,
meliputi: (a) rekrutmen dan seleksi sumber daya manusia (SDM), (b) asesmen
psikologi, (c) orientasi dan penempatan karyawan, dan (d) coaching psikologi; Bidang
pengembangan potensi individu dan organisasi, meliputi: (a) evaluasi jabatan, (b)

23
pengembangan karir, (c) pengelolaan kinerja, (d) pengelolaan talenta dan (e)
perancangan quality of working life (QWL); Bidang desain organisasi dan sistem,
meliputi: (a) analisis jabatan, (b) perancangan pekerjaan, dan (c) perancangan model
kompetensi; dan Bidang manajemen perubahan, budaya dan pembelajaran organisasi,
mencakup (a) perubahan dan pengembangan organisasi, (b) budaya organisasi dan (c)
pembelajaran organisasi.
Lain-lain
Selain dalam bidang klinis, Pendidikan dan industry dan organisasi, psikolog juga
dapat berperan dalam bidang yang berbeda, diantaranya forensik, olahraga, milite dan
komunitas. Pada bidang psikologi forensik, praktik psikologi menerapkan prinsip-
prinsip psikologis untuk masalah hukum. Hal tersebut terkait pada pemberian asesmen,
intervensi, dan rehabilitasi pada kriminal, saksi, dan mereka yang berada dalam sistem
peradilan. Pada psikologi olahraga, psikolog olahraga bekerja dalam hal asesmen,
evaluasi dan intervensi untuk meningkatkan performa atlet baik secara individual
maupun kelompok. Pada bidang psikologi militer, praktik profesi dapat meliputi,
asesmen, evaluasi, dan intervensi individual untuk tujuan militer seperti penanganan
gangguan mental dan emosional pada veteran ataupun mendeteksi potensi dan
permasalahan individu bagi pelaksanaan operasi militer. Sementara, psikologi
komunitas berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan psikologis individu dalam
konteks komunitas. Psikolog komunitas berkutat dengan berbagai tema-tema kesehatan
sosial dan mental dengan melakuan asesmen dan intervensi dalam ranah publik dan
individu.
Secara umum ruang lingkup kerja psikolog tidak hanya terbatas pada ranah
forensik, olahraga, militer dan komunitas saja, namun dapat berada dalam latar yang
lain jika melibatkan unsur manusia di dalamnya. Dalam melakukan praktik profesi
dalam setiap latar tersebut, psikolog selalu didasari pada prinsip-prinsip ilmiah;
psikologi dasar seperti sosial dan perkembangan; serta ilmu keprofesian dalam bidang
klinis, pendidikan, dan juga organisasi.

2.2.3 Rasio antara kebutuhan masyarakat dan profesi Psikolog


Menurut WHO rasio dari psikolog yang bekerja menjadi tenaga kesehatan
mental di negara-negara SEARO (Bangladesh, Bhutan, Democratic People's Republic
of Korea, India, Indonesia, Maldives, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, Timor-
Leste.) adalah sebanyak 1 pekerja per 1.000.000 populasi. Hal ini berbeda dengan
negara-negara di benua Amerika (AMRO) yang mempunyai proporsi 1,4 psikolog per
100.000 populasi atau negara-negara Eropa yang mempunyai proporsi 2,7 psikolog per
100.000 populasi (WHO, 2014). Padahal negara-negara yang ternaungi dalam SEARO
mempunyai permasalahan yang tidak kalah kompleks terkait kesehatan mental dan
psikososial seiring dengan perkembangan industrialisasi, globalisasi, dan penduduk
yang jauh lebih padat dengan negara-negara maju.
Berdasar pada kajian yang dilakukan di negara maju seperti Irlandia misalnya,
dibutuhkan sebanyak 1 psikolog per 12.000 populasi (Carr, 2000 dalam Branley &
Byrne, 2012). Namun demikian rasio tersebut bisa jadi tidak mencerminkan kebutuhan
psikolog profesional yang sesungguhnya dikarenakan kebutuhan profesi ini juga
bervariasi bergantung pada umur, 20.6 persen dari anak-anak Irlandia (usia0-18 tahun)
membutuhkan intervensi psikologis, dan 12.9 persen dari orang dewasa (usia 18-64
tahun) dan 10.2 persen dari orang tua (di atas usia 65 tahun) membutuhkan intervensi

24
psikologis (Branley & Byrne, 2012). Lebih lanjut kebutuhan profesi ini juga tidak
hanya bergantung pada kasus-kasus yang berhubungan dengan permasalahan
individual namun juga bergantung pada kebutuhan institusi/lembaga/perusahaan.
Jika dibandingkan dengan jumlah program studi profesi psikolog di Indonesia
yang hanya sebanyak 24 program studi yang setiap program studi rata
menghasilkan 40 lulusan setiap tahun, dengan demikian setiap tahun program studi
profesi psikolog di Indonesia kurang lebih hanya menghasilan 1460 tiap tahunnya,
maka bisa dilihat bahwa profesi psikolog masih jauh dari standar kebutuhan
proporsi populasi.
Berdasarkan hasil sensus penduduk Indonesia tahun 2010 diperoleh informasi
bahwa jumlah pendudu Indonesia adalah 265 juta (Bappenas, 2018). Dengan
demikian, perbandingan psikolog dan penduduk Indonesia adalah 1:120.506,
artinya satu psikolog tiap populasi, jauh dari standar negara maju yang memiliki
1:12.000 psikolog per populasi. Kurangnya tenaga psikolog profesional ini dapat
memicu malpraktik dimana orang-orang tanpa kualifikasi pendidikan tertentu yang
mempraktikkan pekerjaan-pekerjaan profesional psikolog.

25
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Dalam beberapa peraturan perundang-undangan, sudah disinggung perihal psikolog. Namun,


pengaturannya masih bersifat deklarator semata dan belum mengatur secara lengkap mengenai
siapakah yang dapat disebut sebagai psikolog, tugas dan fungsi psikolog, serta hak dan
kewajiban psikolog. Hal ini antara lain ditemukan dalam
1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi,
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak,
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa,
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan,
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 13 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana,
11. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2011 Tentang Pemeriksaan
Kesehatan Dan Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia,
12. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Tunjangan Jabatan
Fungsional Psikolog Klinis, Fisikawan Medis, Dan Dokter Pendidik Klinis,
13. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2015 Tentang Standar
Kompetensi Manajerial Jabatan Fungsional Psikologi Klinis,
14. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2017 Tentang Izin Dan
Penyelenggaraan Praktik Psikolog Klinis,
15. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/11/M.Pan/5/2008
Tentang Jabatan Fungsional Psikolog Klinis dan Angka Kreditnya.
16.
Berikut ini adalah penjelasan dari setiap perundang-undangan dan peraturan yang berlaku di
Indonesia dan menyebutkan keterlibatan profesi psikologi.

3.1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

Pasal 17

(1) Pendidikan profesi merupakan Pendidikan Tinggi setelah program sarjana yang
menyiapkan Mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian khusus.

(2) Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh
Perguruan Tinggi dan bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK,
dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.

26
Pasal 19

(1) Program magister merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan
program sarjana atau sederajat sehingga mampu mengamalkan dan mengembangkan
Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah.

(2) Program magister sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan Mahasiswa
menjadi intelektual, ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki dan/atau menciptakan
lapangan kerja serta mengembangkan diri menjadi profesional.

(3) Program magister wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program
doktor atau yang sederajat.

(4) Lulusan program magister berhak menggunakan gelar magister.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai program magister diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 24

(1) Program profesi merupakan pendidikan keahlian khusus yang diperuntukkan bagi
lulusan program sarjana atau sederajat untuk mengembangkan bakat dan kemampuan
memperoleh kecakapan yang diperlukan dalam dunia kerja.

(2) Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh
Perguruan Tinggi yang bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK,
dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.

(3) Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyiapkan profesional.

(4) Program profesi wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan
program profesi dan/atau lulusan program magister atau yang sederajat dengan
pengalaman kerja paling singkat 2 (dua) tahun. 


(5) Lulusan program profesi berhak menggunakan gelar profesi. 


(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai program profesi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 26

(1) Gelar akademik diberikan oleh Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
akademik.

27
(2) Gelar akademik terdiri atas: a. sarjana; b. magister; dan c. doktor.

(3) Gelar vokasi diberikan oleh Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
vokasi.

(4) Gelar vokasi terdiri atas: a. ahli pratama;b. ahli muda;c. ahli madya; d. sarjana
terapan; e. magister terapan; dan f. doktor terapan.

(5) Gelar profesi diberikan oleh Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
profesi.

(6) Gelar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Perguruan Tinggi
bersama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi yang
bertanggung jawab terhadap mutu layanan profesi.

(7) Gelar profesi terdiri atas: a. profesi; dan b. spesialis.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 28

(1) Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya digunakan oleh lulusan dari
Perguruan Tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau
gelar profesi.

(2) Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya dibenarkan dalam bentuk dan
inisial atau singkatan yang diterima dari Perguruan Tinggi.

(3) Gelar akademik dan gelar vokasi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri apabila
dikeluarkan oleh:

Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang tidak terakreditasi; dan/atau


perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak
mengeluarkan gelar akademik dan gelar vokasi.

(4) Gelar profesi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri apabila dikeluarkan oleh:

Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang tidak terakreditasi; dan/atau


perseorangan, organisasi, atau lembaga lain yang tanpa hak mengeluarkan gelar
profesi.

28
(5) Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh
Perguruan Tinggi apabila karya ilmiah yang digunakan untuk memperoleh gelar akademik,
gelar vokasi, atau gelar profesi terbukti merupakan hasil jiplakan atau plagiat.

(6) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak
dilarang memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi. 


(7) Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar vokasi,
dan/atau gelar profesi.

Pasal 42

(1) Ijazah diberikan kepada lulusan pendidikan akademik dan pendidikan vokasi sebagai
pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu program studi
terakreditasi yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi.

(2) Ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi yang
memuat Program Studi dan gelar yang berhak dipakai oleh lulusan Pendidikan Tinggi.

(3) Lulusan Pendidikan Tinggi yang menggunakan karya ilmiah untuk memperoleh ijazah
dan gelar, yang terbukti merupakan hasil jiplakan atau plagiat, ijazahnya dinyatakan tidak
sah dan gelarnya dicabut oleh Perguruan Tinggi.

(4) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak
dilarang memberikan ijazah.

Pasal 43

(1) Sertifikat profesi merupakan pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang diperoleh
lulusan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama
dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang
bertanggung jawab atas mutu layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(2) Sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan
Tinggi bersama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi
yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak

29
dilarang memberikan sertifikat profesi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 93
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar Pasal 28
ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat
(2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menunjukkan


pentingnya RUU Profesi Psikologi agar terjadi ketajaman pemahaman mengenai kompetensi,
standar, dan sertifikasi pendidikan Profesi Psikologi. Pengaturan yang jelas mengenai siapa
yang boleh menggunakan gelar Psikolog dan siapa yang boleh melakukan Praktik Psikologi
menjadi sangat relevan mengingat bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan segera
berlaku, sehingga Psikolog Asing dapat melakukan Praktik Psikologi di Indonesia tanpa harus
memenuhi kompetensi, standar, dan sertifikasi pendidikan Profesi Psikologi lokal.
Dalam hal ini, penting untuk diperhatikan bahwa seorang Psikolog memerlukan sebuah
pendidikan yang memenuhi ketentuan dari pendidikan Profesi dan pendidikan Magister seperti
yang telah diatur di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012. Kedua program ini dapat
diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi dan bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian
lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi (Himpunan Psikologi Indonesia, HIMPSI, dalam hal
ini) yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.
Dalam upaya melindungi masyarakat, RUU Profesi Psikologi menjadi relevan untuk
memastikan bahwa masyarakat yang membutuhkan layanan psikologis benar-benar
mendapatkannya dari seorang Psikolog yang memenuhi kompetensi sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012. Selain itu, RUU Profesi Psikologi dapat mempertajam
aturan mengenai pencabutan gelar profesi yang telah diatur di atas demi melindungi
masyarakat. Misalnya, gelar profesi Psikolog dapat dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh
Perguruan Tinggi apabila karya ilmiah yang digunakan untuk memperoleh gelar profesi
terbukti merupakan hasil jiplakan atau plagiat. Seseorang yang mengaku sebagai Psikolog
harus memiliki gelar Magister dan Profesi sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan bila tidak, maka ia dapat dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan di atas. Maka, dengan RUU Profesi Psikologi, seseorang yang
misalnya hanya lulusan SMA dan mengaku Psikolog dapat dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan Pasal 93. Tanpa adanya RUU Profesi Psikologi, maka siapapun dapat mengaku
Psikolog dan memberikan pelayanan psikologis di masyarakat tanpa dikenakan sanksi.

3.2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak

Pasal 21 ayat (1)


Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan
tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional

30
mengambil keputusan untuk:
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di
instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan
sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

Penjelasan Pasal 21 ayat (1)


Batas umur 12 (dua belas) tahun bagi Anak untuk dapat diajukan ke sidang anak
didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis bahwa anak yang
belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun dianggap belum dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap Anak dilakukan bukan dalam
rangka proses peradilan pidana, melainkan digunakan sebagai dasar mengambil
keputusan oleh Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional.

Dalam ketentuan ini, pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan berupa laporan


penelitian kemasyarakatan yang merupakan persyaratan wajib sebelum Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan.

Pasal 27
(1) Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara Anak, Penyidik wajib meminta
pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana
dilaporkan atau diadukan.
(2) Dalam hal dianggap perlu, Penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari
ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial, Profesional atau
Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya.
Ketentuan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak di atas menunjukkan pentingnya peran
psikolog dalam proses peradilan pidana bagi anak. Proses hukum pemeriksaan untuk
kepentingan “pro justisia” oleh penyidik terhadap anak adalah proses yang dalam
beberapa hal anak mengalami kekerasan, keadaan anak tidak nyaman dan kerap membuat
terganggunya psikolosis dan mental anak.1 Seorang anak harus berhadapan dengan proses
hukum yang panjang, mulai dari proses penyidikan oleh kepolisisan, penuntutan oleh
jaksa, proses persidangan di pengadilan, dan proses penahanan di rumah tahanan. Kondisi
tersebut dapat memberikan tekanan baik fisik maupun mental bagi anak yang berhadapan
dengan hukum.2 Oleh karena itu dalam prosesnya anak perlu mendapat pendampingan dari
tenaga professional yang paham akan kondisi psikologis anak agar tidak mengganggu
kesejahteraannya kelak.
Anak sebagai subjek yang sedang berkembang atau tengah menjalani “evolving

1
Putusan No 1/PUU-VIII/2010, hlm. 55.
2
http://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/66-dinamika-psikologis-anak-yang-berhadapan-dengan-
hukum diakses 17 Januari 2018.

31
capacities”, tentunya tidak dapat dijatuhi pidana sebagai bentuk penderitaan atas
perbuatannya. Hal ini dikarenakan sesuai dengan filsafat determinisme dalam hukum
pidana bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia, baik perorangan ataupun kelompok
masyarakat ditentukan faktor-faktor fisik, geografis, biologis, psikologis, sosiologis,
ekonomis dan keagamaan yang ada.3
Selain itu, pemberian sanksi pidana terhadap anak perlu mempertimbangkan perlindungan
dan kepentingan anak, termasuk di dalamnya adalah kesejahteraan anak. Apabila
kesejahteraan anak tidak diperhatikan, maka akan merugikan anak itu sendiri terutama
dalam mendapatkan hak-haknya. Hak-hak anak dalam proses peradilan dapat dipahami
sebagai perwujudan dari keadilan.
Penetapan usia minimal 12 (dua belas) tahun sebagai ambang batas usia
pertanggungjawaban hukum bagi anak, sebagaimana telah diatur dalam undang-undang a
quo, telah diterima dalam praktik sebagian negara-negara sebagaimana juga
direkomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB dalam General Comment, 10 Februari
2007. Batas umur tersebut mempertimbangkan bahwa anak secara relatif sudah memiliki
kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil, serta sesuai dengan psikologi
anak dan budaya bangsa Indonesia, sehingga dapat bertanggung jawab secara hukum
karena telah mengetahui hak dan kewajibannya.4
Hal ini pun diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Putusan No
1/PUU-VIII/2010 tertanggal 24 Februari 2011. Mahkamah berpendapat, batas umur
minimal 12 (dua belas) tahun menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan
mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
Pemenuhan hak konstitusional anak tersebut akan terganggu dan terlanggar dengan
kriminalisasi anak dalam usia terlalu dini.5
Anak di bawah umur yang menjalani proses pengadilan, selain tidak sesuai dengan
perkembangan psikologis anak, juga mengancam hak anak mengenyam pendidikan dasar,
oleh karena membawa anak ke Sidang Anak secara rasional mendorong pemidanaan dan
pemenjaraan anak.6 Lebih lanjut, tidak bisa diingkari adanya stigma negatif dari
masyarakat apabila anak telah masuk ke dalam proses peradilan pidana meskipun hanya
pada tahap penyidikan.7
Dengan ilmu yang dimiliki seorang psikolog, penyidik dengan mudah meminta keterangan
kepada seseorang dengan melakukan penyidikan, sehingga dengan mudah memahami
mengungkap suatu tindak pidana dan mengetahui siapa tersangakanya dan lebih penting
lagi ketika berhadapan dengan anak yang melakukan suatu pelanggaran hukum maka
peran psikolog menjadi sangat penting untuk memahami jiwa anak, untuk memahami
kondisi psikologis ini sangat dibutuhkan ahli psikologi didalam penyidikan tindak pidana
yang dilakukan oleh anak.8

3
DR. M. Sholehuddin,S.H., M.H., “Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana-Ide Dasar Double Track System
dan Implementasinya”, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hlm. 33
4
“Anak Di Bawah Usia 12 Tahun Tak Boleh Di Proses Pidana,” http://icjr.or.id/anak-di-bawah-usia-12-
tahun-tak-boleh-di-proses-pidana/ diakses 17 Februari 2017.
5
Putusan No 1/PUU-VIII/2010, hlm. 6.
6
Putusan No 1/PUU-VIII/2010, hlm. 93.
7
Putusan No 1/PUU-VIII/2010, hlm. 119.
8
http://fh.unram.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/SAPARUDIN-EFENDI-D1A212402.pdf hlm. 2-3.

32
3.3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Pasal 23
Untuk memilih calon anggota KPU, tim seleksi melakukan tahapan kegiatan:
a) mengumumkan pendaftaran bakal calon anggota KPU melalui media massa nasional;
b) menerima pendaftaran bakal calon anggota KPU;
c) melakukan penelitian administrasi bakal calon anggota KPU;
d) mengumumkan hasil penelitian administrasi bakal calon anggota KPU;
e) melakukan seleksi tertulis dengan materi utama tentang pengetatruan dan kesetiaan
terhadap pancasila, undang undang Dasar Negara Republik Indonesia Tatrun 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Ttrnggal Ika serta pengetatruan
mengenai pemilu, ketatanegarcran, dan kepartaian;
f) melakukan tes psikologi;
g) mengumumkan melalui media massa nasional daftar nama bakal calon anggota Kpu
yang rulus seleksi tertulis dan tes psikologi unhrk mendapatkan masukan dan
tanggapan masyarakat;
h) melakukan tes kesehatan dan wawancara dengan materi Penyelenggaraan Pemilu
dan melakukan klarilikasi atas tanggapan dan masukan masyarakat;
i) menetapkan 14 (empat belas) nama calon anggota KPU dalam rapat pleno; dan
j) menyampaikan L4 (empat belas) nama calon anggota KPU kepada Presiden.

Pasal 119
Untuk memilih calon anggota Bawaslu, tim seleksi melakukan tahapan kegiatan:
a) mengumumkan pendaftaran bakal calon anggota Bawaslu melalui media massa
nasional;
b) menerima pendaftaran bakal calon anggota Bawaslu;
c) melakukan penelitian administrasi bakal calon anggota Bawaslu;
d) mengumumkan hasil penelitian administrasi bakal anggota Bawaslu;
e) melakukan seleksi tertulis dengan materi utama tentang pengetahuan dan kesetiaan
terhadap Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika serta pengetahuan
mengenai pemilu, ketatanegaraan, dan kepartaian;
f) melakukan tes psikologi;
g) mengumumkan melalui media massa nasional daftar nama bakal calon anggota
Bawaslu yang lulus seleksi tertulis dan tes psikologi untuk mendapatkan masukan dan
tanggapan masyarakat;
h) melakukan tes kesehatan dan wawancara dengan materi Penyelenggaraan Pemilu
dan melakukan klarifikasi atas tanggapan dan masukan masyarakat;
i) menetapkan 10 (sepuluh) nama calon anggota Bawaslu dalam rapat pleno; dan

33
j) menyampaikan 10 (sepuluh) nama calon anggota Bawaslu kepada Presiden.

Ketentuan Undang-Undang Pemilihan Umum di atas menunjukkan pentingnya peran


psikolog dalam proses seleksi lembaga suksesi penyelenggaraan pemilihan umum,
khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Setiap bakal calon anggota KPU atau Bawaslu harus menempuh tes psikologi untuk
nantinya mengikuti proses selanjutnya dan dapat terpilih sebagai calon anggota KPU atau
Bawaslu. Yang dimaksud dengan "tes psikologi" disini adalah serangkaian tes psikologi
untuk mengukur beberapa aspek dalam diri bakal calon anggota. Kriteria yang diukur
antara lain intelegensia, sikap kerja, dan kepribadian.9 Salah satu rangkaian tes psikologi
yang sudah pernah dilaksanakan untuk seleksi anggota KPU pada tahun 2013 di
Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan itu terdiri dari serangkaian tes seperti tes
tertulis, tes Focus Group Discussion, diskusi kelompok, dan wawancara.10
Penilaian atas hasil tes psikologi penting dalam proses penilaian seleksi anggota.
Harapannya, anggota yang nantinya terpilih memenuhi kriteria yang diharapkan, yaitu
profesional, netral, sehat, dan berintegritas.11 Rangkaian tes kesehatan jiwa kepada bakal
calon anggota KPU dan Bawaslu diharapkan untuk dapat menghasilkan calon yang
memiliki kejujuran, ketepatan, dan tahan akan rayuan. Pasalnya, anggota KPU dam
Bawaslu sering sekali mendapatkan rayuan bahkan ancaman demi kepentingan parpol.
Kemudian, melalui tes psikologis kita dapat mengukur kepribadian seorang bakal calon
agar dapat memimpin staf dan yang lain untuk mencapai tujuan bersama.1213 KPU dan
Bawaslu tentunya berusaha memenuhi harapan publik akan penyelenggara pemilu daerah
yang profesional, netral, dan berintegritas. Untuk mewujudkan itu, tentunya dibentuk
regulasi mengenai mekanisme, proses, dan tata cara rekrutmen yang cukup ketat, salah
satunya kewajiban tes psikologi bagi setiap bakal calon anggota. Sudah sepatutnya perlu
diatur lebih lanjut kualifikasi dari penyelenggara tes psikologi agar penyelenggaran tes
tersebut dapat tepat sasaran dan mencapai tujuan yang diinginkan.

3.4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
Pasal 19 ayat (2)
(1) Proses penegakan diagnosis terhadap orang yang diduga ODGJ dilakukan untuk
menentukan:
a. kondisi kejiwaan; dan
b. tindak lanjut penatalaksanaan.

9
Penjelasan Pasal 23 ayat (3) huruf (f) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum.
10
http://www.publikzone.com/2013/10/tes-psikologi-bagi-calon-anggota-kpu.html diakses 1 Februari 2018.
11
http://rumahpemilu.org/ketua-kpu-ri-seleksi-calon-anggota-kpu-daerah-harus-hasilkan-anggota-yang-
profesionalnetral-sehat-dan-berintegritas/ diakses 1 Februari 2018.
12
Riantoputra, Corina D., Azka M. Bastaman, and Hitta C. Duarsa. "Positive identity as a leader in
Indonesia: It is your traits that count, not your gender." Diversity in Unity: Perspectives from Psychology and
Behavioral Sciences (2018).
13
https://news.okezone.com/read/2016/09/30/337/1502743/ini-tahapan-proses-seleksi-calon-anggota-kpu-
bawaslu diakses 1 Februari 2018.

34
(2) Penegakan diagnosis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
kriteria diagnostik oleh:
a. dokter umum;
b. psikolog; atau
c. dokter spesialis kedokteran jiwa.

Pasal 55
Fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b meliputi:
a. praktik psikolog;
b. praktik pekerja sosial;
c. panti sosial;
d. pusat kesejahteraan sosial;
e. pusat rehabilitasi sosial;
f. rumah pelindungan sosial;
g. pesantren/institusi berbasis keagamaan;
h. rumah singgah; dan
i. lembaga kesejahteraan sosial.

Pasal 60
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat mendirikan fasilitas
pelayanan di luar sektor kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b untuk ODGJ yang membutuhkan
pelayanan berkelanjutan di setiap kabupaten/kota.
(2) Pelayanan di fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan dan fasilitas pelayanan
berbasis masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk:
a. pelayanan residensial/inap jangka panjang;
dan/atau
b. pelayanan perawatan harian.
(3) Pelayanan untuk ODGJ di fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan dan fasilitas
pelayanan berbasis masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan diagnosis dokter umum, psikolog, atau dokter spesialis kedokteran jiwa.

Pasal 73
(1) Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk kepentingan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 dan Pasal 72 dilakukan oleh tim.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh dokter spesialis kedokteran

35
jiwa dan dapat melibatkan dokter spesialis lain, dokter umum, dan/atau psikolog
klinis.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk
kepentingan hukum diatur dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan Undang-Undang Kesehatan Jiwa di atas menunjukkan pentingnya peran


psikolog dalam pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. WHO dalam pembukaan
konstitusinya mendefinisikan kesehatan sebagai suatu keadaan (state) kesejahteraan fisik,
mental, dan sosial, bukan hanya tidak adanya penyakit fisik (WHO, 1948). Meskipun
demikian, kesehatan jiwa adalah aspek yang sering kali terlupakan ketika membicarakan
mengenai kesehatan. Secara umum, pendekatan kesehatan seringkali hanya memikirkan
kesehatan fisik, yaitu tidak-adanya (absence of) penyakit yang disebabkan patogen
maupun disfungsi fisik lainnya. Aspek kesejahteraan mental seringkali dilupakan dalam
membicarakan kesehatan di Indonesia. Kalaupun dibicarakan, digunakan pendekatan
biomedis, di mana kesehatan jiwa dibahas dalam tatanan pemberian pengobatan tertentu,
bukan pendekatan psikologis yang mengarah pada perubahan perilaku.14

Secara umum kasus gangguan jiwa, khususnya kecemasan dan depresi, terus meningkat,
baik secara global maupun secara khusus di Indonesia. Dari data yang berhasil
dikumpulkan, jumlah orang dengan gangguan jiwa di Indonesia mencapai sekitar 6%, dan
lebih banyak ditemui pada kelompok usia produktif. Tidak hanya itu, untuk satu gangguan
jiwa yang berat saja, bernama skizofrenia, dapat diperkirakan saat ini ada 400.000 warga
negara Indonesia yang menderitanya dan terus bertambah setiap tahunnya.15
Diprediksikan jumlah orang dengan gangguan jiwa di Indonesia secara riil dapat mencapai
15%. Ironisnya, rasio tenaga kesehatan mental di Indonesia sangat kecil, yaitu 3 psikiater
dan 2 psikolog di antara 1 juta jiwa. Sudah sepatutnya pemerintah menghormati martabat
orang dengan gangguan jiwa. Layanan kesehatan mental harus diberikan kepada mereka
yang membutuhkan tanpa diskriminasi apapun. Layanan kesehatan mental juga harus
diberikan oleh tim kesehatan yang merupakan kolaborasi dari multidisplin profesi. Selain
itu, perlu juga menghargai kearifan lokal dan melibatkan anggota komunitas sebagai
bentuk dukungan sosial.16

Disahkannya UU Kesehatan Jiwa menjadi landasan kuat untuk mendukung penyediaan


layanan kesehatan jiwa, termasuk layanan psikologis. Undang-undang tersebut
menyatakan kesehatan jiwa sebagai kondisi dimana seorang individu dapat berkembang
secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan mampu
memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Dalam rancangan undang-undang yang
disahkan tersebut, dikatakan bahwa upaya kesehatan jiwa adalah setiap kegiatan untuk
mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan

14
http://kebijakanaidsindonesia.net/id/beranda/20-artikel-article/kontribusi/627-kebutuhan-layanan-
psikologis-dan-kesehatan-jiwa-dalam-penanggulangan-hiv-dan-aids diakses 1 Februari 2017.
15 https://theconversation.com/lima-hal-yang-perlu-dipahami-tentang-skizofrenia-
86850
16
http://www.australiaplus.com/indonesian/gaya-hidup-nad-kesehatan/artkel-kesehatan-mental-di-
indonesia/8612930 diakses 1 Februari 2018.

36
masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang
diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Tersirat adanya tanggung jawab Pemerintah
untuk menyediakan layanan kesehatan jiwa yang melebihi layanan kuratif dan
rehabilitatif, yang selama ini menjadi ranah psikiatri. Layanan psikologis makin dirasa
dibutuhkan, dan hal tersebut juga diakui dalam UU Kesehatan Jiwa tersebut. Pasal 19
dalam UU Kesehatan Jiwa menyebutkan wewenang psikolog untuk menegakkan diagnosa
gangguan jiwa, dan Pasal 56 menyebutkan layanan praktik psikolog, pekerja sosial, pusat
rehabilitasi, serta rumah singgah sebagai fasilitas penyedia layanan kesehatan jiwa di luar
fasilitas kesehatan. Implementasi undang-undang ini perlu dikawal agar layanan
psikologis yang mendukung kesehatan jiwa dapat disediakan bagi seluruh warga
Indonesia.17

Salah satu pihak yang mendapat pelayanan psikolog berdasarkan undang-undang a quo
adalah Orang Dengan Gangguan Jiwa atau biasa disebut ODGJ. ODGJ adalah orang yang
mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam
bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai
manusia.18 Di dalam melakukan diagnosis dan penanganan terhadap orang yang diduga
ODGJ, tentunya diperlukan peran psikolog. Sebagain contoh, salah satu gangguan jiwa
yang terberat, yaitu skizofrenia, terapi psikologis kognitif-perilaku yang dilaksanakan oleh
psikolog wajib ditawarkan pada semua orang dengan skizofrenia seiringan dengan obat di
Inggris 19

Selain itu, undang-undang a quo mengakui legalitas praktek psikolog sebagai bagian
pelayanan kesehatan non pemerintah. Artinya, masyarakat umum yang memiliki
kecakapan dalam psikologi klinis dapat membuka praktek untuk melayani kebutuhan
masyarakat, khususnya penderita ODGJ. Yang dimaksud dengan praktik psikolog itu
sendiri adalah kegiatan yang dilakukan oleh psikolog dalam memberikan jasa dan praktik
kepada masyarakat dalam pemecahan masalah psikologis yang bersifat individual maupun
kelompok, dimana praktik psikolog tersebut berbasis bukti ilmiah yang telah
dipublikasikan dengan asas penelaahan sejawat. Termasuk dalam pengertian praktik
psikologi tersebut adalah terapan prinsip psikologi yang berkaitan dengan melakukan
kegiatan diagnosis, prognosis, konseling, dan terapi psikologis.20

Pengaturan mengenai tugas dan fungsi psikolog secara lebih spesifik diperlukan agar
terdapat kejelasan mengenai ranah kerja para tenaga kerja di bidang kesehatan jiwa. Pada
khususnya, tugas dan fungsi psikolog dalam ranah kesehatan jiwa ada dalam diagnosis
dan penanganan yang bersifat non-obat, dimana kedua praktek ini berbasis bukti ilmiah.

17
Ibid.
18
Pasal 1 ayat (3)
19https://www.nice.org.uk/guidance/qs80/chapter/quality-statement-2-cognitive-
behavioural-therapy
20
Penjelasan Pasal 55

37
3.5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan

Pasal 11
(4) Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam:
a) tenaga medis;
b) tenaga psikologi klinis;
c) tenaga keperawatan;
d) tenaga kebidanan;
e) tenaga kefarmasian;
f) tenaga kesehatan masyarakat;
g) tenaga kesehatan lingkungan;
h) tenaga gizi;
i) tenaga keterapian fisik;
j) tenaga keteknisian medis;
k) tenaga teknik biomedika;
l) tenaga kesehatan tradisional; dan
m) tenaga kesehatan lain.
(5) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan
dokter gigi spesialis.
(6) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga psikologi klinis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah psikologi klinis.
(7) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keperawatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas berbagai jenis perawat.
(8) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kebidanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah bidan.
(9) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian.
(10) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terdiri atas epidemiolog
kesehatan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan
kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan
kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga.
(11) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan
lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terdiri atas tenaga sanitasi
lingkungan, entomolog kesehatan, dan mikrobiolog kesehatan.
(12) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga gizi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf h terdiri atas nutrisionis dan dietisien.

38
(13) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keterapian fisik
sebagaimana dimaksud

Ketentuan Undang-Undang Kesehatan Jiwa di atas menunjukkan pentingnya peran


psikolog sebagai salah satu tenaga kesehatan yang diakui di Indonesia. Kesehatan jiwa
masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Di Indonesia sendiri, dari data hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, dikombinasi dengan Data Rutin dari Pusdatin dengan
waktu yang disesuaikan, prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukan dengan
gejala-gejala depresi dan kecemasan sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar
14 juta orang. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, adalah 1,7
per 1.000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.21

Banyaknya penderita gangguan jiwa yang belum tertangani secara medis di Indonesia
dikarenakan masih minimnya tenaga kesehatan jiwa profesional di Indonesia. Hal tersebut
tentunya semakin menghambat upaya pencegahan dan penanganan persoalan kesehatan
jiwa masyarakat. Jumlah tenaga kesehatan jiwa profesional di Indonesia masih belum
mampu memenuhi kuota minimal yang telah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia
atau WHO. Saat ini Indonesia dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa baru memiliki sekitar
451 psikolog klinis (0,15 per 100.000 penduduk), 773 psikiater (0,32 per 100.000
penduduk), dan perawat jiwa 6.500 orang (2 per 100.000 penduduk). Padahal WHO
menetapkan standar jumlah tenaga psikolog dan psikiater dengan jumlah penduduk adalah
1:30 ribu orang, atau 0,03 per 100.000 penduduk. 22

Berdasarkan data tersebut terlihat masih tingginya kebutuhan akan tenaga psikolog untuk
bersama-sama menyelesaikan persoalan kesehatan jiwa di Indonesia. Namun mengingat
bidang ilmu Psikologi memiliki pandangan fundamental bahwa gangguan perilaku
manusia selalu berada dalam suatu kontinum sehingga kerjasama internal antar
spesialisasi/bidang konsentrasi psikolog maupuan kerjasama lintas profesi kesehatan
merupakan keniscahyaan demi tercapainya status kesehatan mental/jiwa yang paripurna
bagi individu dan masyarakat.23 Oleh karena itu diperlukan pengaturan yang jelas terkait
dengan sistem kerja dalam menangani permasalahan kesehatan jiwa di Indonesia.

Berdasarkan data di atas, keberadaan Psikolog Klinis menjadi penting di Indonesia.


Psikolog Klinis adalah tenaga kerja professional kesehatan yang mempunyai tugas dan
kewajiban memberikan layanan pada masyarakat sesuai dengan kompetensinya dalam
bidang psikologi klinis untuk melakukan penangangan persoalan kesehatan mental/jiwa
mulai dari upaya peningkatan kualitas kesehatan jiwa (promosi), pencegahan (prevensi),
asesmen dan penegakan diagnosa gangguan jiwa, intervensi atau pemberian perlakukan
(kurasi), dan pemulihan (rehabilitasi) bagi individu dengan segala usia pada berbagai

21
https://tirto.id/kesehatan-mental-di-indonesia-hari-ini-b9tw diakses 1 Februari 2017.
22
https://ugm.ac.id/id/berita/9715-minim.psikolog.ribuan.penderita.gangguan.jiwa.belum.tertangani
diakses 1 Februari 2017.
23
Ikatan Psikologi Klinis, “Kesehatan jiwa yang prima mewujudkan produktifitas kerja dan kesejahteraan
keluarga, ” http://www.pdpersi.co.id/kanalpersi/pengurus_harian/data/kesmendun_ipk.pdf diakses 1 Februari
2017.

39
setting termasuk di antaranya keluarga, lingkungan pendidikan/sekolah, dan lingkungan
kerja. Penanganan gangguan kesehatan mental/jiwa oleh Psikolog Klinis bersifat non-obat
dan dapat diberikan kepada individual (individual clinical counseling/psychotherapy),
kelompok (couple/family/group clinical counseling/psychotherapy) maupun komunitas
(rehabilitasi psikososial dan vokasional, pengorganisasi komunitas dan advokasi).
Layanan tersebut dapat diberikan di layanan kesehatan primer (puskesmas), sekunder
(rumah sakit), tersier (rumah sakit khusus), dan klinik konsultasi mandiri maupun setting
formal komunitas yang lain misalnya lingkungan rumah tangga (penyuluhan komunitas),
sekolah, asrama, pesantren, dan tempat kerja. Psikologi memiliki pandangan fundamental
bahwa gangguan perilaku manusia selalu berada dalam suatu kontinum sehingga
kerjasama internal antar spesialisasi/bidang konsentrasi psikolog maupuan kerjasama
lintas profesi kesehatan merupakan keniscahyaan demi tercapainya status kesehatan
mental/jiwa yang paripurna bagi individu dan masyarakat.24

3.6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 13 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Pasal 6
(1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana terorisme,
Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban
tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat, selain berhak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan:
a. bantuan medis; dan
b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan Keputusan
LPSK.

Pasal 7A
(1) Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa:
a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung
sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.

Pasal 28
(1) Perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban diberikan dengan syarat sebagai
berikut:
a. sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;

24
Ikatan Psikologi Klinis, “Kesehatan jiwa yang prima mewujudkan produktifitas kerja dan kesejahteraan
keluarga, ” http://www.pdpersi.co.id/kanalpersi/pengurus_harian/data/kesmendun_ipk.pdf diakses 1 Februari
2017.

40
b. tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
c. hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban; dan
d. rekam jejak tindak pidana yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.
Ketentuan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban di atas menunjukkan
pentingnya peran psikolog sebagai bentuk perlindungan terhadap saksi maupun korban.
Proses peradilan membutuhkan informasi dari saksi maupun korban, karena baik polisi,
jaksa maupu hakim tidak melihat sendiri kejadian perkara. Tetapi polisi, jaksa dan hakim
harus membuat keputusan berdasarkan informasi yang ada. Oleh karena itu peran saksi
menjadi penting. Dalam konsep psikologi, memori saksi dan korban sangat rentan, karena
banyak faktor yang menyebabkan informasi menjadi kurang akurat. Dibutuhkan teknik
psikologi untuk mengurangi bias informasi yang terjadi. 25

Sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sistem peradilan pidana di
Indonesia terdiri dari komponen Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Lembaga
Pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. Investigasi dalam tulisan ini dapat
dilakukan baik oleh kepolisian, jaksa, maupun hakim. Namun, proses penyidikan oleh
kepolisian merupakan fase yang penting, karena pada saat itulah Berita Acara
Pemeriksaan disusun. Penyidiklah yang pertama kali bertemu dengan saksi maupun
korban dan menanyakan kejadian perkara yang mereka alami. Kesalahan dalam
investigasi akan memberikan pengaruh dalam mencapai kebenaran dalam proses peradilan
pidana pada tahap selanjutnya di kejaksaan maupun pengadilan. Seringkali polisi dalam
melakukan investigasi menggunakan cara “kekerasan” (fisik maupun psikologis), hal ini
justru akan merusak ingatan saksi maupun korban.26

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stres dapat meningkatkan dan menurunkan


ingatan saksi maupun korban. Penelitian Yuille & Cutshall (dalam Milne & Bull, 2000)
menunjukkan saksi pembunuhan (stres tinggi) memiliki kebenaran kesaksian 93 % ketika
diinterview 2 hari setelah kejadian. 4 bulan kemudian memorinya menurun menjadi 88 %.
Kehadiran senjata (pistol, sajam lainnya) yang digunakan pelaku juga menimbulkan stres
dan mengurangi ketepatan memori saksi, khususnya terhadap pelaku yang membawa
senjata (Kramer, Buckhout, Eigino dalam Milne & Bull, 2000). Penelitian lain, Yuille &
Cutshall; Courage & Peterson (dalam Milne & Bull, 2000) menemukan sebaliknya.
Kejadian yang menimbulkan stres membuat peningkatan memori saksi, karena peristiwa
yang traumatik menyebabkan saksi/korban memfokuskan perhatian pada kejadian.
Bagaimanapun terjadi perbedaan individual pada saksi, misalnya perbedaan kemampuan
menghadapi masalah (coping style) tiap saksi akan memberikan perbedaan kebenaran
kesaksian. 27

Berdasarkan kondisi diatas menjadi sangat penting peran Psikolog dalam perlindungan
pada saksi dan korban, terkait dengan kondisi psikologisnya. Hanya saja perangkat aturan
yang membantu dalam pelaksanaannya masih perlu dibuat secara lebih spesifik.

25
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=12831&val=923
26
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=12831&val=923 diakses 1 Februari 2017.
27
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=12831&val=923 diakses 1 Februari 2017.

41
Dalam konteks hukum pidana, sejak akhir abad ke-19, telah terjadi pergeseran pada
kriminalisasi pelaku tindak pidana dari offender oriented kepada victim oriented.
Pergeseran ini dengan dua argumentasi yaitu negara ikut bersalah sehingga ikut
menanggungjawabi dengan memberikan restitusi dan kompensasi. Sebenarnya konsepsi
restitusi atau ganti kerugian merupakan pendekatan tertua yang kembali dihidupkan
termasuk dalam hukum pidana adat Indonesia.28

Undang-Undang ini juga menegaskan bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan
orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan
korban pengaiayaan berat, juga berhak mendapatkan bantuan psikologis. Dalam Pasal 7
UU ini juga ditegaskan, bahwa steiap korban pelanggaran HAM berat dan korban tindak
pidana terorisme selain mendapatkan hak bantuan medis dan bantuan rehabilitasi
psikososial dan psikologis, juga berhak atas kompensasi.29

3.7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara

Pasal 36
(1) KASN dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibantu oleh asisten dan Pejabat
Fungsional keahlian yang dibutuhkan.
(2) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
ketua KASN berdasarkan persetujuan rapat anggota KASN.
(3) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari PNS maupun
non-PNS yang memiliki kualifikasi akademik paling rendah strata dua (S2) di bidang
administrasi negara, manajemen publik, manajemen sumber daya manusia, psikologi,
kebijakan publik, ilmu hukum, ilmu pemerintahan, dan/atau strata dua (S2) di bidang
lain yang berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia.
(4) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sedang menjadi anggota
dan/atau pengurus partai politik, tidak merangkap jabatan, serta diseleksi secara
terbuka dan kompetitif dengan memperhatikan rekam jejak, kompetensi, netralitas,
dan integritas moral.
(5) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki dan melaksanakan nilai
dasar, kode etik dan kode perilaku serta diawasi oleh anggota KASN.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, tata cara pengangkatan dan pemberhentian,
kode etik dan kode perilaku, dan pengawasan terhadap tugas dan tanggung jawab
asisten KASN diatur dengan Peraturan KASN.

28
http://business-law.binus.ac.id/2014/08/20/pemberian-restitusi-bagi-korban-tindak-pidana-dalam-sistem-
peradilan-pidana-indonesia/ diakses 1 Februari 2017.
29
http://setkab.go.id/uu-no-312014-korban-ham-berat-dan-terorisme-berhak-atas-kompensasi/

42
Ketentuan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara di atas menunjukkan pentingnya peran
ilmu psikologi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN. Di Indonesia,
penyelenggaraan kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN dilakukan oleh
Kementrian Aparatur Sipil Negara, KASN, LAN, dan BKN. KASN atau Komisi Aparatur
Sipil Negara adalah lembaga nonstruktural yang berkaitan dengan kewenangan monitoring
dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN untuk menjamin perwujudan
Sistem Merit serta pengawasan terhadap penerapan asas serta kode etik dan kode perilaku
ASN. KASN dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibantu oleh asisten dan
Pejabat Fungsional keahlian yang dibutuhkan. Dalam undang-undang a quo, KASN
membuka kesempatan kepada ahli psikologi untuk menjadi asisten KASN. Hal ini
dikarenakan ahli psikologi belajar mengenai manajemen sumber daya manusia, terutama
psikolog dengan pendidikan profesi industri/organisasi. Keberadaan aturan ini tentunya
menunjukkan peran penting dari kehadiran ilmu psikologi dalam lingkungan Aparatur
Sipil Negara.30

3.8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Pasal 59A
Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1)
dilakukan melalui upaya:
1) penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik,
psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;
2) pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
3) pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga tidak mampu; dan
4) pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.

Pasal 69A
Perlindungan Khusus bagi Anak korban kejahatan seksual sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya:
a. edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan;
b. rehabilitasi sosial;
c. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan
d. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai
dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Ketentuan Undang-Undang Perlindungan Anak di atas menunjukkan pentingnya peran


psikologi bagi anak, khususnya mereka yang menjadi korban dari suatu kejahatan. Sesuai
dengan undang-undang a quo, yang disebut Anak adalah seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak

30
http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2014/5TAHUN2014UU.HTM diakses 3 Februari 2018.

43
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan Child Poverty and Social Protection
Conference melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sebagai individu, seorang anak,
baik dari tingkatan ekonomi miskin maupun kaya, rentan terhadap berbagai hal di
lingkungannya yang dapat memengaruhi proses tumbuh kembangnya dari segi fisik, psikis
dan intelektual. Masa kanak-kanak meliputi masa perkembangan fisik, emosional dan
intelektual yang pesat.31

Masalah kekerasan pada anak, baik fisik ataupun psikis, banyak berlangsung di Indonesia.
Data Kementerian Sosial (2013) mengatakan, prevalensi kekerasan anak pada umur 13-17
tahun. yakni kekerasan fisik pada anak lakilaki 1 dari 4 anak serta 1 dari 7 pada anak
wanita; kekerasan psikologis anak lelaki 1 dari 8 anak serta anak wanita 1 : 9 ; kekerasan
seksual untuk anak lelaki sejumlah 1 : 12 serta 1 : 19 untuk anak wanita. Kondisi ini
menunjukkan kalau anak lelaki mempunyai kerentanan yang semakin besar untuk jadi
korban kekerasan dibanding anak wanita. Anak tidak juga cuma jadi korban, juga jadi
aktor kekerasan, walau sebenarnya anak aktor juga yaitu anak korban. Keadaan ini pasti
jadi keprihatinan kita semuanya serta butuh usaha integratif dalam merampungkannya.
Oleh karena itu, butuh satu sistem perlindungan anak untuk mendukung tumbuh kembang
anak dengan baik. 32

Salah satu bagian penting dalam sistem tersebut adalah kehadiran psikolog. Psikolog
memiliki tugas melakukan pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai
pemulihan, khususnya bagi anak yang menjadi korban kejahatan. Diharapkan, dampak
psikis yang dialami oleh anak dapat ditangani dengan baik dan tidak menimbulkan trauma
yang berkepanjangan bagi anak korban kejahatan. Peran psikolog tidak hanya pada saat
terjadi permasalahan (kuratif) namun juga psikolog dapat melakuan kegiatan promotif dan
preventif dalam memberikan upaya perlindungan pada anak dan membantu menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi kesejahteraan anak-anak di Indonesia.

3.9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan


Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah

31
http://www.smeru.or.id/cpsp/Opening%20Remarks/Opening_Linda%20-%20bahasa.pdf
32
https://eproc.lkpp.go.id/forum/home/threads?post=1&threadId=141

44
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Ketentuan dari Undang-Undang Kesehatan di atas menunjukkan pentingnya peran


psikolog dalam persoalan aborsi di Indonesia. Aborsi merupakan salah satu topik yang
selalu menjadi perbincangan di berbagai kalangan masyarakat, di banyak tempat serta
di berbagai negara, baik itu di dalam forum resmi maupun forum-forum lainnya.
Masalah ini sudah banyak terjadi sejak zaman dahulu, di mana dalam penanganan
aborsi, cara-cara yang digunakan meliputi cara-cara yang sesuai dengan medis maupun
cara-cara tradisional, yang dilakukan oleh dokter, bidan maupun dukun beranak, baik di
kota-kota besar maupun di daerah terpencil.33
Aborsi atau pengguguran kandungan secara paksa telah menjadi masalah pelik di
Indonesia. Banyak yang menganggap bahwa aborsi adalah jalan pintas untuk menutupi
kehamilan yang tidak diinginkan. Akibatnya, sejumlah wanita justru mengakses aborsi
tidak aman yang dilakukan secara diam-diam di sebuah tempat ilegal.34 Data terbaru dari
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada
menyebutkan 58 persen remaja perempuan yang hamil secara tidak diinginkan berupaya
menggugurkan kandungannya dengan jalan aborsi.35
Aborsi merupakan sebuah praktik yang ilegal dilakukan di Indonesia. Hukum aborsi di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan
Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Aborsi di
Indonesia tidak diizinkan, dengan perkecualian kedaruratan medis yang mengancam
nyawa ibu dan/atau janin, serta bagi korban perkosaan. Ibu yang melakukan aborsi,
orang, atau tenaga medis yang membantu ibu melakukan aborsi, serta orang yang
mendukung tindakan ini dapat dikenai hukuman. Tindakan aborsi atas dasar gawat
darurat medis hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari ibu hamil dan
pasangannya (kecuali bagi korban pemerkosaan).36
Aborsi juga dapat dilakukan jika seorang perempuan hamil karena tindakan
pemerkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi sang korban. Dalam hal
ini, psikolog klinis memiliki peran penting untuk melakukan asesmen mengenai trauma
psikologis sang korban. Kejadian pemerkosaan ini dinyatakan dalam surat keterangan
dokter dan keterangan penyidik, psikolog, atau ahli lain mengenai dugaan adanya
pemerkosaan.37 Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan

33
http://scdc.binus.ac.id/himslaw/2017/03/pengguguran-kandungan-menurut-hukum-di-indonesia/ diakses
3 Februari 2018.
34
http://lifestyle.kompas.com/read/2016/02/26/161500423/Begini.Aturan.Aborsi.di.Indonesia diakses 3
Februari 2018.
35
https://www.rappler.com/indonesia/149384-sebelum-40-hari-proses-aborsi-indonesia diakses 3 Februari
2018.
36
https://www.rappler.com/indonesia/149384-sebelum-40-hari-proses-aborsi-indonesia diakses 3 Februari
2018.
37
Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

45
(Permenkes) No. 3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi
atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan. Dalam Permenkes
itu disebutkan bahwa pelayanan aborsi yang aman dan bertanggung jawab harus
dilakukan oleh dokter sesuai standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional. Dokter yang akan melakukan tindakan aborsi harus telah mendapat
pelatihan dan bersertifikat. Selain itu, aborsi juga bisa dilakukan di puskesmas, klinik
pratama, klinik utama, atau yang setara, dan rumah sakit.38
Hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa tindakan aborsi itu pun hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri
dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang.39 Kedaruratan medis tak hanya mencakup masalah fisik, tetapi juga psikis
dan sosial. Untuk itu, sebelum dilakukan aborsi, pasien wajib mendapat konseling yang
dilakukan oleh konselor yang berkompeten dan berwenang.40 Dari hal ini, terlihat
pentingnya psikolog untuk memberikan konseling terhadap pelaku aborsi, khususnya
yang melakukan aborsi karena alasan kehamilan dari perkosaan.
Praktik aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana
disebut di atas merupakan aborsi ilegal. Sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal diatur
dalam Pasal 194 UU Kesehatan. Dalam pasal tersebut, setiap orang yang dengan sengaja
melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan dapat dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

3.10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang


Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

Pasal 1 ayat (1)


Bencana adalah peristiwa atau rangkan peristiwa yang mengancam dan menggangu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh factor alam dan/atau
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan linkungan, kerugian garta benda, dan dampak psikologis.
Pasal 56 ayat (1)
Rehabilitasi pada wilayah pascabencana dilakukan melalui kegiatan:
a) perbaikan lingkungan daerah bencana;
b) perbaikan prasarana dan sarana umum;
c) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
d) pemulihan sosial psikologis;
e) pelayanan kesehatan;
f) rekonsilitasi dan resolusi konflik;

38
https://www.rappler.com/indonesia/149384-sebelum-40-hari-proses-aborsi-indonesia diakses 3 Februari
2018.
39
Pasal 75 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
40
http://lifestyle.kompas.com/read/2016/02/26/161500423/Begini.Aturan.Aborsi.di.Indonesia diakses 3
Februari 2018.

46
g) pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya;
h) pemulihan keamanan dan ketertiban;
i) pemulihan fungsi pemerintahan; dan
j) pemulihan fungsi pelayanan publik.

Ketentuan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di


atas menunjukkan pentingnya peran psikolog dalam proses penanggulangan bencana.
Peraturan ini telah memandang bahwa dampak yang ditimbulkan dari suatu bencana tidak
hanya berupa kerugian materiil, seperti kerusakan infrastruktur, lapangan pekerjaan, dan
lain-lain. Selain menimbulkan dampak fisik yang buruk, bencana juga dapat menimbulkan
dampak ketidakseimbangan psikologis pada korbannya terutama setelah kejadian bencana
tersebut. Kehilangan harta dan bnda, lapangan pekerjaan, bahkan beberapa kehilangan
anak istri atau suami menimbulkan goncangan jiwa yang buruk. Trauma, depresi dan stress
adalah beberapa dampak nyata bagi sebagian atau bahkan seluruh korban bencana.41
Pemulihan psikologis hadir untuk membantu masyarakat yang terkena dampak bencana,
memulihkan kembali kehidupan sosial dan kondisi psikologis pada keadaan normal seperti
kondisi sebelum bencana.42 Peraturan a quo telah memberikan bentuk upaya pemulihan
psikologis, yakni bantuan konseling dan konsultasi keluarga; pendampingan pemulihan
trauma; dan pelatihan pemulihan kondisi psikologis.43 Namun, peraturan a quo belum
mengatur secara spesifik siapa yang bertanggung jawab penuh dalam pelaksanaan
pemulihan psikologis tersebut. Sehingga perlu dibuat peraturan yang berlaku secara
nasional mengenai tenaga professional yang dapat membantu proses pemulihan kondisi
psikologis setelah bencana terjadi.

3.11 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2011 Tentang


Pemeriksaan Kesehatan Dan Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia
Pasal 3
Setiap calon TKI yang akan bekerja ke luar negeri wajib mengikuti pemeriksaan
kesehatan dan pemeriksaan psikologi.
Pasal 11
Pemeriksaan kesehatan dilakukan setelah calon TKI menandatangani perjanjian
penempatan dan lulus pemeriksaan psikologi.
Pasal 18
(1) Setiap calon TKI yang akan mengikuti pemeriksaan psikologi wajib didata
identitasnya dengan dilengkapi data biometrik yang dilaksanakan oleh Lembaga
Pemeriksaan Psikologi.
(2) Lembaga Pemeriksaan Psikologi dalam melakukan pendataan identitas calon TKI

41
Medium, psychological first aid
42
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana, pasl 68 ayat (1)
43
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana, pasl 68 ayat (2)

47
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terintegrasi dalam sistem online
penempatan dan perlindungan TKI.
(3) Sistem online penempatan dan perlindungan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaksanakan oleh BNP2TKI.
(4) Sistem online penempatan dan perlindungan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat diakses oleh Lembaga Pemeriksaan Psikologi tanpa dipungut biaya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem online penempatan dan perlindungan TKI
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Kepala BNP2TKI.
Ketentuan Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Pemeriksaan Kesehatan dan
Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia di atas menunjukkan pentingnya peran psikolog
dalam proses pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. TKI adalah setiap
warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di
luar negeri dan terdaftar di instansi Pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan.44 Di lapangan, seringkali ditemukan bahwa kesehatan fisik dan
keterampilan tidak cukup bagi TKI untuk siap kerja di luar negeri. Meski sehat dan
terampil, namun saat sudah berada di luar negeri rasa tidak betah dapat mendera. Selain
itu, perbedaan bahasa, budaya, dan kultur yang berbeda dengan negeri sendiri menjadikan
para TKI kerap minta dipulangkan.45
Berdasarkan peraturan ini, TKI yang akan bekerja di luar negeri harus lolos uji psikologi.
Pemeriksaan Psikologi itu sendiri adalah penilaian psikologi terhadap calon TKI untuk
melihat tingkat kesesuaian aspek-aspek kognitif, kepribadian serta sosial calon TKI
dengan pekerjaan yang akan dilakukan di tempat kerja di negara tujuan. Jika tidak lolos
uji psikologi, tenaga kerja akan tidak bisa berangkat di luar negeri. Langkah menguji calon
tenaga kerja dengan tes psikologi bertujuan mengetahui minat dan bakat calon tenaga kerja
sebelum bekerja di luar negeri. Bakat dan minat tenaga kerja selama ini belum pernah
dilakukan uji tes psikologi. Dari uji psikologi, kesesuaian para tenaga kerja dengan
pekerjaan yang akan diampunya di luar negeri dapat diketahui. Dengan demikian, para
calon tenaga kerja ini dapat benar-benar bekerja sesuai minat dan bakatnya, sehingga tidak
merugikan baik diri calon TKI itu sendiri maupun pemberi kerja di luar negeri. Tes
psikologi dapat membantu memberikan informasi mengenai kepribadian-kepribadian
yang dapat terkait dengan kemampuan bekerja calon tenaga kerja seperti rajin, pemalas,
dan tidak suka bekerja keras.46

3.12 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Tunjangan
Jabatan Fungsional Psikolog Klinis, Fisikawan Medis, Dan Dokter Pendidik Klinis

Pasal 1 ayat (1)


Tunjangan Jabatan Fungsional Psikolog Klinis, yang selanjutnya disebut dengan
Tunjangan Psikolog Klinis adalah tunjangan jabatan fungsional yang diberikan kepada
Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam Jabatan

44
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2011 Tentang Pemeriksaan
Kesehatan Dan Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia.
45
https://nasional.tempo.co/read/485190/mau-jadi-tki-lulus-dulu-tes-psikologi diakses 1 Februari 2018.
46
https://buruhmigran.or.id/2011/07/11/calon-tki-harus-lolos-tes-psikologi/ diakses 1 Februari 2018.

48
Fungsional Psikolog Klinis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 2
Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam
Jabatan Fungsional Psikolog Klinis, Fisikawan Medis, dan Dokter Pendidik Klinis
diberikan tunjangan Psikolog Klinis, Fisikawan Medis, dan Dokter Pendidik Klinis
setiap bulan.

Pasal 3
Besarnya tunjangan Psikolog Klinis, Fisikawan Medis, dan Dokter Pendidik Klinis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran
I, Lampiran II, dan Lampiran III Peraturan Presiden ini.

Pasal 4
Pemberian tunjangan Psikolog Klinis, Fisikawan Medis, dan Dokter Pendidik Klinis
dihentikan apabila Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
diangkat dalam jabatan struktural atau jabatan fungsional lain atau karena hal lain
yang mengakibatkan pemberian tunjangan dihentikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Peraturan Presiden tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Psikolog Klinis,


Fisikawan Medis, Dan Dokter Pendidik Klinis di atas menunjukkan pentingnya
pemberian tunjangan bagi Psikolog Klinis yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Hal ini
menunjukkan pentingnya pengaturan lebih lanjut mengenai siapa yang dapat menjadi
Psikolog Klinis dan hak dan kewajiban Psikolog Klinis. Tunjangan adalah sejumlah
uang yang diberikan, biasanya secara berkala, dan bukan merupakan bagian dari gaji
pokok. Jika dilihat artinya pada KBBI, tunjangan adalah uang atau barang yang dipakai
untuk menunjang; tambahan pendapatan di luar gaji sebagai bantuan; sokongan;
bantuan. Seorang PNS disamping mendapatkan gaji pokok (gapok) juga mendapat
berbagai macam tunjangan baik yang melekat maupun tidak dengan gaji pokok tersebut.
Jenis tunjangan yang diterima oleh seorang PNS mapupun CPNS akan berbeda-beda
tergantung dimana yang bersangkutan berdinas.47

Jabatan Fungsional Psikologi Klinis adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup
tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan kegiatan pelayanan psikologi
klinis yang diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil.48 Sebagai bagian dari PNS, sudah
sepatutnya Psikolog Klinis yang menduduki jabatan fungsional mendapat tunjangan dari
pemerintah. Sekiranya hal ini akan mendukung kinerja dari Psikolog Klinis itu sendiri.

47
http://wikipns.com/macam-macam-tunjangan-pns/ diakses 3 Februari 2018.
48
Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2015 Tentang Standar
Kompetensi Manajerial Jabatan Fungsional Psikologi Klinis

49
3.13 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2015 Tentang
Standar Kompetensi Manajerial Jabatan Fungsional Psikologi Klinis

Pasal 2
(1) Standar Kompetensi Manajerial Jabatan Fungsional Psikologi Klinis merupakan
persyaratan Kompetensi Manajerial minimal yang harus dimiliki oleh seorang
pemangku Jabatan Fungsional Psikologi Klinis dalam melaksanakan tugas jabatan.
(2) Standar Kompetensi Manajerial Jabatan Fungsional Psikologi Klinis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), digunakan dalam pengangkatan jabatan fungsional Psikologi
Klinis.
(3) Pengangkatan ke dalam Jabatan Fungsional Psikologi Klinis sebagaimana
dimaksud pada Ayat (2) harus sesuai dengan kebutuhan organisasi.

Pasal 3
(1) Standar Kompetensi Manajerial Jabatan Fungsional Psikologi Klinis meliputi
kompetensi dengan penentuan levelnya.
(2) Standar Kompetensi Manajerial Jabatan Fungsional Psikologi Klinis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kelompok kompetensi meliputi kemampuan:
a. berpikir;
b. mengelola diri;
c. mengelola orang lain;
d. mengelola tugas; dan
e. mengelola sosial dan budaya.

Ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Kompetensi Manajerial


Jabatan Fungsional Psikologi Klinis di atas menunjukkan pentingnya Standar
Kompetensi Manajerial bagi Psikolog Klinis yang menduduki Jabatan Fungsional.
Sebagai upaya untuk menjamin objektivitas, profesionalisme, dan kualitas
pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan fungsional perlu disusun standar
kompetensi manajerial jabatan fungsional.

Standar Kompetensi Manajerial Jabatan Fungsional Psikologi Klinis itu sendiri


merupakan persyaratan Kompetensi Manajerial minimal yang harus dimiliki oleh
seorang pemangku Jabatan Fungsional Psikologi Klinis dalam melaksanakan tugas
jabatan. Standar Kompetensi Manajerial Jabatan Fungsional Psikologi Klinis,
digunakan dalam pengangkatan jabatan fungsional Psikologi Klinis. Pengangkatan ke
dalam Jabatan Fungsional Psikologi Klinis harus sesuai dengan kebutuhan organisasi.49

49
http://jabatanfungsional.com/kompetensi-jabatan-fungsional-psikologi-klinis/ diakses 3 Februari 2018.

50
Terdapat beragam kompetensi yang harus dimiliki oleh Jabatan Fungsional Psikolog
Klinis. Kompetensi itu antara lain kompetensi manajerial berfikir (yang meliputi berfikir
konseptual dan berfikir analitis), kompetensi manajerial mengelola diri (yang meliputi
adaptasi terhadap perubahan; integritas; komitmen terhadap organisasi; semangat
berprestasi; dan pengendalian diri), kompetensi manajerial mengelola orang lain (yang
meliputi kerja sama, mengembangkan orang lain, komunikasi lisan), kompetensi
manajerial mengelola tugas (yang meliputi berorientasi pada pelayanan dan perhatian
terhadap keteraturan), dan kompetensi manajerial mengelola sosial dan budaya (yang
meliputi empati; tanggap terhadap pengaruh budaya; dan pengambilan keputusan).50]

3.14 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2017 Tentang
Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Psikolog Klinis
Pasal 3
(1) Setiap Psikolog Klinis harus memiliki STRPK untuk dapat melakukan praktik
keprofesiannya.
(2) Untuk dapat memperoleh STRPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Psikolog
Klinis harus memiliki sertifikat profesi Psikolog Klinis sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) STRPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 5 (lima) tahun.
(4) STRPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
(5) Contoh surat STRPK di Formulir I tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 5
(1) Psikolog Klinis yang menjalankan praktik keprofesiannya wajib memiliki SIPPK.
(2) SIPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Psikolog Klinis yang
telah memiliki STRPK.
(3) SIPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk 1 (satu) tempat.
(4) SIPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sepanjang STRPK masih
berlaku dan dapat diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan.

Pasal 11
(1) Psikolog Klinis warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan melakukan
Pelayanan Psikologi Klinis di Indonesia harus memiliki STRPK dan SIPPK.
(2) STRPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah melakukan proses
evaluasi kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Untuk memperoleh SIPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Psikolog Klinis
warga negara Indonesia lulusan luar negeri harus melakukan permohonan kepada
50
Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2015 Tentang Standar
Kompetensi Manajerial Jabatan Fungsional Psikologi Klinis.

51
Instansi Pemberi Izin dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1).

Pasal 12
(1) Psikolog Klinis warga negara asing yang akan melakukan Pelayanan Psikologi
Klinis di Indonesia harus memiliki sertifikat profesi, STR sementara, dan SIPPK.
(2) Sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh Psikolog Klinis
warga negara asing setelah lulus evaluasi kompetensi.
(3) Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh STR sementara.
(4) Untuk memperoleh SIPPK, Psikolog Klinis warga negara asing harus melakukan
permohonan kepada Instansi Pemberi Izin dan memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
(5) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Psikolog Klinis warga
negara asing harus:
a. memiliki kemampuan berbahasa Indonesia dan memahami serta menghormati tata
nilai budaya Indonesia; dan
b. memenuhi persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 16
(1) Psikolog Klinis dapat menjalankan praktik keprofesiannya secara mandiri dan/atau
bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(2) Psikolog Klinis yang menjalankan praktik keprofesiannya secara mandiri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memasang papan nama praktik.
(3) Papan nama praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat
nama Psikolog Klinis, nomor STRPK, dan nomor SIPPK.
(4) Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. praktik perseorangan Psikolog Klinis;
b. klinik;
c. puskesmas; dan/atau
d. rumah sakit.
(5) Selain Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Psikolog Klinis dapat menjalankan praktik keprofesiannya di instansi pemerintah
maupun lembaga swasta yang bergerak di bidang sosial.

Psikolog Klinis merupakan salah satu jenis tenaga kesehatan yang memiliki
kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan psikologi klinis sesuai dengan bidang
keahlian yang dimiliki. Untuk melindungi masyarakat penerima pelayanan kesehatan,
setiap tenaga kesehatan yang akan menjalankan praktik keprofesiannya harus memiliki

52
izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.51
Izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan
daerah atau peraturan lainnya yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau
diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu.
Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat
pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat. Sebagai perbuatan hukum yang sepihak dari pemerintah, perizinan
menimbulkan hak dan kewajiban bagi si pemohon yang perlu ditetapkan dan diatur
dalam peraturan perundangan agar terdapatnya kepastian serta kejelasan, baik
mengenai persyaratan dan juga mengenai prosedur pemberian izin.52

Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan


wajib memiliki izin.53 Selain itu, setiap penyedia fasilitas tenaga kesehatan, seperti
rumah sakit, juga dilarang untuk memperkerjakan tenaga kesehatan yang tidak
memiliki izin.54

3.15 Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:


Per/11/M.Pan/5/2008 Tentang Jabatan Fungsional Psikolog Klinis dan Angka
Kreditnya

Pasal 4
(1) Psikolog Klinis berkedudukan sebagai pelaksana teknis di bidang pelayanan
psikologi klinis pada unit pelayanan kesehatan di lingkungan Departemen Kesehatan
dan instansi lain.
(2) Psikolog Klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan jabatan karier
yang hanya dapat diduduki oleh seseorang yang telah berstatus sebagai Pegawai
Negeri Sipil. Pasal 5 Tugas pokok Psikolog Klinis adalah memberikan pelayanan
psikologi klinis yang meliputi assesmen, interpretasi hasil assesmen, intervensi,
pembuatan laporan pemeriksaan psikologi klinis, pelaksanaan tugas di tempat risiko
tinggi, dan pengabdian masyarakat yang meliputi pelaksanaan penanggulangan
problem psikologi klinis pada masyarakat rumah sakit, pelaksanaan tugas khusus
lapangan di bidang psikologi klinis pada komunitas, dan menjadi saksi ahli.

Pasal 7
(1) Jabatan Fungsional Psikolog Klinis adalah jabatan Tingkat Ahli; (2) Jenjang
jabatan fungsional Psikolog Klinis dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi,
yaitu: a. Psikolog Klinis Pertama; b. Psikolog Klinis Muda; dan c. Psikolog Klinis

51
Bagian Menimbang Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2017 Tentang Izin
Dan Penyelenggaraan Praktik Psikolog Klinis.
52
http://digilib.unila.ac.id/7272/12/BAB%20II.pdf diakses 3 Februari 2018.
53
Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
54
Pasal 74 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

53
Madya.
(4) Jenjang pangkat untuk masing-masing jabatan Psikolog Klinis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) adalah jenjang pangkat dan jabatan berdasarkan jumlah
angka kredit yang dimiliki untuk masing-masing jenjang jabatan.
(5) Penetapan jenjang jabatan Psikolog Klinis untuk pengangkatan dalam jabatan
ditetapkan berdasarkan jumlah angka kredit yang dimiliki setelah ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit, sehingga dimungkinkan pangkat
dan jabatan tidak sesuai dengan pangkat dan jabatan sebagaimana dimaksud ayat (3).

Pasal 9
Apabila pada suatu unit kerja tidak terdapat Psikolog Klinis yang sesuai dengan
jenjang jabatannya untuk melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1), maka Psikolog Klinis lain yang berada satu tingkat di atas atau satu tingkat
di bawah jenjang jabatannya dapat melakukan kegiatan tersebut berdasarkan
penugasan secara tertulis dari pimpinan unit kerja yang bersangkutan.

Pasal 10
Penilaian angka kredit pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ditetapkan sebagai berikut : 13 a. Psikolog Klinis yang melaksanakan tugas Psikologi
Klinis satu tingkat di atas jenjang jabatannya, angka kredit yang diperoleh ditetapkan
sebesar 80 % (delapan puluh persen) dari angka kredit setiap butir kegiatan,
sebagaimana tersebut dalam Lampiran I Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara ini. b. Psikolog Klinis yang melaksanakan tugas Psikologi Klinis satu
tingkat di bawah jenjang jabatannya, angka kredit yang diperoleh ditetapkan sama
(100%) dengan angka kredit dari setiap butir kegiatan, sebagaimana tersebut dalam
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara ini.

Psikolog Klinis yang memiliki jabatan PNS adalah jabatan yang mempunyai ruang
lingkup, tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan kegiatan pelayanan
psikologi klinis kepada masyarakat di unit pelayanan kesehatan yang diduduki oleh
PNS dengan hak dan kewajiban yang diberikan secara penuh oleh pejabat yang
berwenang.55 Sebagai bentuk pengembangan karier dan peningkatan kualitas
profesionalisme Pegawai Negeri Sipil yang menjalankan tugas di bidang pelayanan
psikologi klinis, maka dipandang perlu menetapkan jabatan fungsional Psikolog Klinis
dan Angka Kreditnya.56

Penilaian prestasi kerja bagi pejabat fungsional ditetapkan dengan angka kredit oleh
pejabat yang berwenang. Angka kredit adalah satuan nilai dari tiap butir kegiatan
dan/atau akumulasi nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh pejabat fungsional
dalam rangka pembinaan karier yang bersangkutan. Butir-butir kegiatan yang dinilai

55
Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Tentang Jabatan Fungsional
Psikolog Klinis Dan Angka Kreditnya.
56
Bagian Menimbang Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Tentang Jabatan
Fungsional Psikolog Klinis Dan Angka Kreditnya.

54
adalah tugas-tugas yang dilaksanakan oleh setiap pejabat fungsional yang terdiri atas
tugas utama (tugas pokok) dan tugas penunjang, yaitu tugas-tugas yang bersifat
menunjang pelaksanan tugas utama. Tugas utama adalah tugas-tugas yang tercantum
dalam uraian tugas (job description) yang ada pada setiap jabatan, sedangkan tugas
penunjang tugas pokok adalah kegiatan-kegiatan pejabat fungsional di luar tugas pokok
yang pada umumnya bersifat tugas kemasyarakatan. Angka kredit ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang dan digunakan sebagai bahan dalam penetapan kenaikan
jabatan/pangkat pejabat fungsional.57

57
http://kepegawaian.ipdn.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=63&Itemid=88 diakses
3 Februari 2018.

55
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

4.1 Landasan Filosofis


Landasan filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan negara. Falsafah negara bersumber dari Pancasila sebagai landasan idiil dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai landasan
konstitusional.
Negara mempunyai tanggung jawab melindungi rakyatnya bukan hanya sebagai
negara menjaga warganya dan hanya mengurusi urusan pertahanan keamanan. Hal ini
sebagai konsekuensi dari tugas negara yang berkaitan dengan fungsi menyejahterakan
yaitu: a) negara memberikan perlindungan kepada masyarakatnya; b) negara yang
mendukung atau langsung menyediakan berbagai layanan kehidupan masyarakat dalam
bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan; c) negara lebih berperan sebagai penengah atau
wasit yang tidak memihak antara pihak pihak yang berselisih yang menjamin keadilan
dasar bagi seluruh masyarakat.
Indonesia adalah negara yang dilandasi oleh adanya azas kesejahteraan sehingga
orientasi menjaga kesejahteraan warganya menjadi tujuan utama. Bukti bahwa para
pendiri bangsa Indonesia menginginkan format negara kesejahteraan dapat dilihat dalam
pembukaan UUD 1945 khususnya pada alinea keempat, Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28:“...hidup sejahtera lahir batin,
bertempat tinggal, mendapat lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan“.
Relevansi landasan filosofis yang diuraikan tersebut dengan naskah akademik ini
terlihat pada adanya upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat, dalam hal
ini adalah para profesi psikologi. Pelayanan yang diberikan oleh psikolog-psikolog
dilandasi oleh adanya upaya mencapai kesejahteraan orang lain dengan azas keadilan dan
tetap menghargai dan menghormati keragaman yang ada.
Pelayanan Psikologi merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Setiap
kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non diskriminatif,
partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia
Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan
nasional. Setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan psikologis dalam
arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesejahteraan psikologis masyarakat
dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat.
Penguatan sistem perlindungan sosial, dan pengembangan sumber daya manusia
melalui kesejahteraan psikologis yang kuat akan menguatkan Indonesia sebagai negara
kesejahteraan (welvarestaat). Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007
tentang RPJPN tahun 2005-2025, perlu diupayakan agar tenaga psikologi yang ada
dewasa ini dan di masa depan tetap dapat menghayati nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

56
Pembangunan sumber daya manusia dan kesejahteraan psikologis masyarakat
melalui tenaga psikologi diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip: a) penghormatan
pada harkat dan martabat manusia, b) integritas dan sikap ilmiah, c) professional, d)
keadilan, dan e) manfaat. Dengan memerhatikan landasan filosofis ini, maka keberadaan
UU Profesi Psikologi akan menjadi payung hukum yang kuat dalam upaya mencapai
tujuan membuat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

4.2 Landasan Sosiologis


Pertimbangan sosiologis berkaitan dengan berbagai permasalahan empiris yang
terkait dengan kondisi kehidupan bermasyarakat. Dalam berinteraksi dengan orang lain,
tidak tertutup kemungkinan akan ada pertentangan atau bahkan konflik. Sehingga
orientasi kemasyarakatan tidak dapat dilepaskan bagaimana pribadi-pribadi dalam
masyarakatnya, yang mekmiliki bukan hanya aspek fisiologis namun juga aspek
psikologis.
Perkembangan zaman sekarang ini dapat dikatakan sangat rentan dengan berbagai
permasalahan social yang selalu mengancam kehidupan psikologis masyarakat, seperti
masalah komunitas yang tinggal di wilayah rawan banjir, permukiman kumuh,
penyandang cacat, mantan narapidana, waria, Korban Napza, pengemis, pemulung,
gelandangan, lansia terlantar dan korban tindak kekerasan serta tuna susila. Selain itu
jumlah penduduk yang semakin meningkat, juga merupakan potensi masalah bila aspek
kesejahteraan yang ada belum merata. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sedemikian cepat perkembangannya juga memiliki peluang dalam memunculkan
permasalahan psikologis dan sosiologis bila dalam pemanfaatannya tidak dikelola
dengan benar.
Dengan menyadari adanya peluang dan potensi masalah yang mumcul sebagai
konsekuensi dari kondisi tersebut, maka perlu dilakukan pengaturan tentang tenaga
psikolog dan pelayanan psikologi, di antaranya: a) untuk mengantisipasi kebutuhan
masyarakat akan pelayanan psikologi (sebagai contoh trauma healing bagi para korban
bencana); b) agar jenis dan jenjang pendidikan tenaga psikologi yang diselenggarakan
sesuai dengan kebutuhan dan pengembangan pelayanan psikologi; c) agar penyebaran
tenaga psikologi dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat; d)
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan psikologi yang diberikan oleh
tenaga psikologi (terdapat standar mutu pelayanan); e) memberikan kepastian hukum
kepada pemberi dan penyelenggara pelayanan psikologi dan masyarakat sebagai
penerima layanan psikologi.
Faktor keberagaman yang ada di Indonesia dalam berbagai hal di antaranya
keragaman Bahasa, etnik dan suku, melandasi kehidupan warga negara Indonesia.
Psikolog Indonesia yang memberikan layanan jasa psikologi hendaknya memperhatikan
aspek kearifan local tersebut untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat.

4.3 Landasan Yuridis


Seperti halnya diamanatkan UUD 1945, Negara Republik Indonesia menjamin
kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk jaminan untuk mendapatkan
kesejahteraan psikologis dengan mendapatkan layanan pemenuhan kebutuhan
psikologis. Kebutuhan psikologis termaksud dalam kesehatan psikis setiap warga negara

57
yang dapat beraktivitas dengan aman, produktif dan kreatif. Hal ini perlu diperkuat guna
mewujudkan kehidupan yang terbaik bagi setiap warga Negara Indonesia.
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum
yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur, sehingga perlu dibentuk
Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain,
peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih,
jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah,
peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali
belum ada.

58
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG PROFESI PSIKOLOGI

5.1 Jangkauan Dan Arah Pengaturan RUU


Secara garis besar, jangkauan, arah pengaturan dan ruang lingkup mengenai RUU
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan adanya dasar hukum mengenai
tenaga profesi psikologi. Adapun sasaran yang ingin diwujudkan dari pembentukan RUU
tenaga profesi psikologi antara lain untuk memberikan kepastian hukum kepada
profesional psikologi dalam melakukan praktik, dan bagi masyarakat untuk mendapatkan
layanan yang lebih tertib, lebih baik dan dipertanggungjawabkan secara professional.
RUU Psikologi ini diarahkan untuk memberikan peningkatan nilai tambah dan daya guna
praktik psikologi di Indonesia. Upaya ini penting dilakukan sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta globalisasi industri yang berjalan begitu cepat dan
memberikan dampak terhadap peningkatan produktivitas, kesehatan dan kesejahteraan
psikologis.
Peningkatan daya saing profesional psikologi Indonesia terhadap professional psikologi
asing berkontribusi besar pada pengakuan kompetensi dan peningkatan kesejahteraan
hidup profesional psikologi Indonesia, serta berdampak positif terhadap kepuasan
masyarakat pengguna layanan psikologi. Terkait dengan persaingan global, profesional
psikologi juga hendaknya memiliki peran dalam memanfaatkan sumber daya,
lingkungan, serta nilai-nilai kearifan budaya lokal. RUU Psikologi ini juga diharapkan
dapat melahirkan konsep profesional psikologi yang mengakar pada budaya lokal
Indonesia. Oleh karena itu, praktik Psikologi diatur dalam suatu peraturan perundang-
undangan guna memberikan kepastian dan pelindungan hukum kepada Asisten Psikolog,
Psikolog dan Psikolog spesialis sebagai pelaku profesi yang andal dan berdaya saing
tinggi, dengan hasil pekerjaan yang bermutu serta terjaminnya kesejahteraan masyarakat.
Unsur penting dalam praktik Psikologi adalah sikap, penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta keterampilan yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan dan
pelatihan. Pengetahuan yang dimiliki professional psikologi harus terus-menerus
dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta kebutuhan masyarakat. Upaya meningkatkan kesejahteraan umat manusia dicapai
melalui penyelenggaraan pendidikan Psikologi yang andal dan profesional yang mampu
meningkatkan nilai tambah, daya guna dan hasil guna, memberikan pelindungan kepada
masyarakat, serta mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Adapun jangkauan pengaturan RUU Psikologi meliputi:
1. Ketentuan Umum;
2. Asas dan Tujuan;
3. Majelis dan Pengurus;
4. Jasa psikologi;
5. Praktik psikologi;
6. Alat tes psikologi;
7. Standar pendidikan profesi psikologi;
8. Pembinaan dan pengawasan;
9. Ketentuan pidana;
10. Ketentuan peralihan;

59
11. Ketentuan penutup.

5.2 Ruang Lingkup Materi Muatan RUU


Ruang lingkup pengaturan Undang-Undang tentang Profesi Psikologi adalah
Cakupan Profesi Psikologi; Standar kompetensi Profesi Psikologi; Program pendidikan
Profesi Psikologi; Registrasi; surat izin praktik; Psikolog Asing; Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan; Hak dan kewajiban; organisasi profesi Psikologi; Dewan
psikologi Indonesia; dan Pembinaan Profesional Psikologi.
Undang- Undang ini mengatur bahwa Profesi Psikologi adalah ilmuwan lulusan
pendidikan psikologi yang terdiri dari sarjana psikologi, psikolog, magister psikologi,
doktor psikologi, lulusan perguruan tinggi di dalam maupun di luar negeri. Sementara
itu, untuk menjamin mutu kompetensi dan profesionalitas layanan profesional Psikologi,
maka dikembangkan aturan mengenai layanan jasa/praktik, syarat kompetensi, alat tes
psikologi dan pembentukan Dewan Psikologi Indonesia sebagai pengawas
pelaksanaannya. Standar program pendidikan Psikologi juga dikembangkan agar dapat
menghasilkan profesional psikologi yang kompeten sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
Berdasarkan jangkauan, arah pengaturan, dan hasil kajian sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, maka pokok-pokok materi muatan dalam RUU Psikologi
tersebut disusun dengan sistematika sebagai berikut:
1. Bab I tentang Ketentuan Umum;
2. Bab II tentang Asas dan Tujuan;
3. Bab III tentang kelembagaan;
4. Bab IV tentang jasa psikologi;
5. Bab V tentang praktik psikologi;
6. Bab VI tentang Alat tes psikologi;
7. Bab VII tentang Standar pendidikan profesi psikologi;
8. BAB VIII tentang Standar Profesi Psikologi
9. Bab IX tentang Pembinaan dan pengawasan;
10. Bab X tentang Ketentuan pidana;
11. Bab XI tentang Ketentuan peralihan;
12. Bab XII tentang Ketentuan penutup.

Adapun masing-masing materi pengaturan di atas dijabarkan sebagai berikut:


1. Ketentuan Umum
Ketentuan umum selain memuat definisi atau batasan juga asas dan prinsip.
Pengertian atau definisi yang dituangkan merupakan bersifat pokok dan penting
dalam RUU psikologi, yaitu:
5) Tenaga profesi psikologi adalah setiap orang yang melakukan jasa dan/atau
praktik Psikologi serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang Psikologi yang terdiri dari sarjana psikologi, psikolog
dan lulusan magister profesi psikologi dengan peminatan tertentu.
6) Praktik psikologi adalah kegiatan observasi, deskripsi, evaluasi, interpretasi
dan modifikasi perilaku manusia dengan menerapkan prinsip-prinsip, metode
dan prosedur untuk tujuan (a) mencegah, mengurangi, mengevaluasi,
mengukur atau mempredisikan simptomp perilaku yang mal adaptive atau
tidak diinginkan, (b) mengevaluasi, mengukur atau memfasilitasi peningkatan

60
efektivitas individu, kelompok dan organisasi termasuk efektivitas personal,
perilaku adaptif, hubungan antar person, keseimbangan kerja , kesehatan dan
performa individu, kelompok dan organisasi; (c) membantu pengambilan
keputusan berkekuatan hukum yang berlandaskan prinsip-prinsip dan etika
profesi psikologi untuk memajukan peradaban dan meningkatkan
kesejahteraan umat manusia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
7) Psikolog adalah seseorang yang mempunyai gelar profesi di bidang Psikologi,
memiliki Surat Sebutan Psikolog dan mempunyai Surat Ijin Praktek Psikolog.
8) Asisten Psikolog adalah seseorang yang mempunyai gelar Sarjana Psikologi
dan lulus uji kompetensi pada kompetensi dasar Profesi Psikologi dan
membantu pekerjaan psikolog.
9) Psikolog spesialis adalah seseorang yang mempunyai sebutan profesi di
bidang spesialisasi Profesi Psikologi tertentu dan mempunyai Sertifikat Profesi
Psikolog spesialis tertentu.
10) Psikolog Asing adalah tenaga profesi psikologi berkewarganegaraan asing
yang melakukan praktik profesi psikologi di Indonesia yang telah memenuhi
ketentuan yang berlaku di Indonesia.
11) Program Pendidikan Psikologi Profesi adalah program pendidikan tinggi di
tingkat magister (S2) untuk membentuk kompetensi Profesi Psikologi dengan
kewajiban melakukan Praktek Kerja Profesi Psikologi (PKPP).
12) Kompetensi psikologi adalah seperangkat tindakan cerdas penuh
tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu
oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang profesi psikologi.
13) Uji Kompetensi adalah proses penilaian kompetensi Profesi Psikologi secara
terukur dan objektif menilai capaian kompetensi Profesi Psikologi dengan
mengacu pada standar kompetensi Profesi Psikologi, sebagai syarat untuk
dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang
profesi psikologi.
14) Sertifikat sebutan Psikolog (SSP) adalah bukti tertulis yang diberikan kepada
Psikolog yang telah lulus Ujian dari Perguruan Tinggi penyelenggara
Pendidikan Bersama dengan kementrian terkait dan/atau organisasi profesi
yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan profesi dan/atau badan lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan berhak
mendapatkan sebutan Psikolog.
15) Sertifikat Kompetensi Asisten Psikolog adalah bukti tertulis yang diberikan
kepada Sarjana Psikologi yang telah lulus Uji Kompetensi pada kompetensi
dasar Profesi Psikologi yang dilakukan oleh perguruan tinggi bekerjasama
dengan organisasi profesi, Lembaga pelatihan, atau Lembaga sertifikasi.
16) Sertifikat Kompetensi Psikolog Spesialis adalah bukti tertulis yang diberikan
kepada Psikolog spesialisasi tertentu yang telah lulus Uji Kompetensi.
17) Sertifkat Kompetensi Psikolog adalah bukti pengakuan adanya kemampuan-
kemampuan tambahan yang menunjang praktik profesi Psikolog yang telah
lulus uji komptensi dilakukan oleh perguruan tinggi bekerjasama dengan
organisasi profesi/Lembaga pelatihan/Lembaga sertifikasi yang terakreditasi.
18) Sertifkat Profesi Psikolog Spesialis adalah bukti pengakuan kemampuan
praktik profesi spesialisasi Psikologi dan pemberian hak mendapat sebutan
Psikolog spesialis tertentu.
19) Surat Tanda Registrasi Psikolog adalah bukti tertulis yang dikeluarkan oleh
organisasi profesi psikologi nasional kepada Psikolog yang telah memiliki

61
Sertifikat Kompetensi Psikolog dan diakui secara hukum untuk melakukan
Praktik Profesi Psikologi.
20) Surat Tanda Registrasi Psikolog Spesialis adalah bukti tertulis yang
dikeluarkan oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) kepada Psikolog
spesialis tertentu yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi Psikolog spesialis
dan diakui secara hukum untuk melakukan Praktik Profesi Psikologi di bidang
spesialisasinya.
21) Surat Ijin Praktek Psikolog dan Psikolog Spesialis adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh pemerintah daerah sesuai dengan domisili praktek dengan
rekomendasi organisasi profesi psikologi nasional kepada Psikolog sebagai
pemberian kewenangan untuk menjalankan Pratik profesi Psikologi yang sah
secara hukum.
22) Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan adalah upaya pemeliharaan
kompetensi profesi Psikologi untuk menjalankan Praktik Profesi Psikologi
secara berkesinambungan.
23) Pengguna Profesi Psikologi adalah pihak yang menggunakan jasa profesi
Psikologi berdasarkan ikatan hubungan kerja.
24) Dewan Psikolog Indonesia adalah lembaga yang beranggotakan pemangku
kepentingan dalam penyelenggaraan Profesi Psikologi yang berwenang
membuat kebijakan penyelenggaraan Profesi Psikologi dan pengawasan
pelaksanaannya.
25) Himpunan Psikologi Indonesia, yang selanjutnya disingkat HIMPSI, adalah
organisasi profesi wadah berhimpun para tenaga Profesi Psikologi.
26) Lembaga layanan profesi Psikologi adalah sebuah unit usaha yang bergerak di
bidang pelayanan jasa dan/atau praktik Psikologi.
27) Pelayanan jasa dan/atau praktik Psikologi adalah layanan asesmen Psikologi
dan/atau intervensi psikologi yang diberikan kepada pengguna dan masyarakat
28) Asesmen Psikologi adalah prosedur evaluasi yang dilaksanakan secara
sistematis, termasuk di dalamnya adalah prosedur observasi, wawancara,
pemberian satu atau seperangkat instrument atau alat tes yang bertujuan untuk
melakukan penilaian dan/atau pemeriksaan psikologi.
29) Intervensi Psikologi adalah kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan
terencana berdasar hasil asesmen untuk mengubah keadaan seseorang,
kelompok orang atau masyarakat yang menuju kepada perbaikan atau
mencegah memburuknya suatu keadaan atau sebagai usaha preventif maupun
kuratif.
30) Kementerian terkait adalah kementerian yang tugas, pokok, dan fungsinya
memiliki keterkaitan dengan bidang Profesi Psikologi.
31) Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang yang terkait dengan Psikologi.

2. Asas Dan Tujuan


Jasa/Praktik Psikologi dilaksanakan dengan azas nilai-nilai luhur Pancasila dan
didasarkan prinsip umum yang tertuang di dalam kode etik. Prinsip umum tersebut
adalah:
a. Penghormatan pada Harkat Martabat Manusia
Psikolog harus menekankan pada hak asasi manusia dalam melaksanakan
layanan psikologi; menghormati martabat setiap orang serta hak-hak individu

62
akan keleluasaan pribadi, kerahasiaan dan pilihan pribadi seseorang; memiliki
kehati-hatian khusus untuk melindungi hak dan kesejahteraan individu atau
komunitas yang karena keterbatasan yang ada dapat mempengaruhi otonomi
dalam pengambilan keputusan; menyadari dan menghormati perbedaan budaya,
individu dan peran, termasuk usia, gender, identitas gender, ras, suku bangsa,
budaya, asal kebangsaan, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan
khusus), bahasa dan status sosial- ekonomi, serta mempertimbangkan faktor-
faktor tersebut pada saat bekerja dengan orang-orang dari kelompok tersebut,
menghilangkan pengaruh bias faktor- faktor tersebut pada butir (3) dan
menghindari keterlibatan baik yang disadari maupun tidak disadari dalam
aktifitas-aktifitas yang didasari oleh prasangka.
b. Integritas dan Sikap ilmiah
Psikolog harus mendasarkan pada dasar dan etika ilmiah terutama pada
pengetahuan yang sudah diyakini kebenarannya oleh komunitas psikologi;
senantiasa menjaga ketepatan, kejujuran, kebenaran dalam keilmuan,
pengajaran, pengamalan dan praktik psikologi; tidak mencuri, berbohong,
terlibat pemalsuan (fraud), tipuan atau distorsi fakta yang direncanakan dengan
sengaja memberikan fakta-fakta yang tidak benar; berupaya untuk menepati
janji tetapi dapat mengambil keputusan tidak mengungkap fakta secara utuh
atau lengkap HANYA dalam situasi dimana tidak diungkapkannya fakta secara
etis dapat dipertanggungjawabkan untuk meminimalkan dampak buruk bagi
pengguna layanan psikologi dan memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan
kebu- tuhan, konsekuensi dan bertanggung jawab untuk memperbaiki
ketidakpercayaan atau akibat buruk yang muncul dari penggunaan teknik
psikologi yang digunakan.
c. Profesional
Psikolog harus memiliki kompetensi dalam melaksanakan segala bentuk
layanan psikologi, penelitian, pengajaran, pelatihan, layanan psikologi dengan
menekankan pada tanggung jawab, kejujuran, batasan kompetensi, obyektif dan
integritas; membangun hubungan yang didasarkan pada adanya saling percaya,
menyadari tanggungjawab pro- fesional dan ilmiah terhadap pengguna layanan
psikologi serta komunitas khusus lainnya; menjunjung tinggi kode etik, peran
dan kewajiban pro- fesional, mengambil tanggung jawab secara tepat atas
tindakan mereka, berupaya untuk mengelola berbagai konflik kepentingan yang
dapat mengarah pada eksploitasi dan dampak buruk; berkonsultasi, bekerjasama
dan/atau merujuk pada teman sejawat, profesional lain dan/atau institusi-
institusi lain untuk memberikan layanan terbaik kepada pengguna layanan
psikologi; perlu mempertimbangkan dan memperhatikan kepatuhan etis dan
profesional kolega-kolega dan/atau profesi lain dan dalam situasi tertentu
bersedia untuk menyumbangkan sebagian waktu profesionalnya tanpa atau
dengan sedikit kompensasi keuntungan pribadi.
d. Keadilan
Psikolog memahami bahwa kejujuran dan ketidakberpihakan adalah hak setiap
orang. Oleh karena itu, pengguna layanan psikologi tanpa dibedakan oleh latar-
belakang dan karakteristik khususnya, harus mendapatkan layanan dan
memperoleh ke- untungan dalam kualitas yang setara dalam hal proses, prosedur
dan layanan yang dilakukan; dan menggunakan penilaian yang dapat

63
dipertanggungjawabkan secara profesional, waspada dalam memastikan
kemungkinan bias-bias yang muncul, mem- pertimbangkan batas dari
kompetensi, dan keterbatasan keahlian sehingga tidak mengabaikan atau
mengarah kepada praktik-praktik yang menjamin ketidakberpihakan.
e. Manfaat
Psikolog berusaha maksimal memberikan manfaat pada kesejah- teraan umat
manusia, perlindungan hak dan meminimalkan resiko dampak buruk pengguna
layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait; apabila terjadi konflik
perlu menghindari serta memini- malkan akibat dampak buruk; karena
keputusan dan tindakan-tindakan ilmiah dari Psikolog dan/ atau Ilmuwan
Psikologi dapat mempengaruhi kehidupan pihak-pihak lain; dan perlu waspada
terhadap kemungkinan adanya faktor-faktor pribadi, keuangan, sosial,
organisasi maupun politik yang mengarah pada penyalahgunaan atas pengaruh
mereka.

Adapun pengaturan penyelenggaraan Jasa/Praktik Psikologi bertujuan untuk: a)


Pemberian kepastian hukum untuk keilmuan psikologi di Indonesia; b) Pemberian
perlindungan kepada profesional psikologi dan pengguna jasa/praktik psikologi; c)
Pemberian kepastian hukum kepada profesional psikologi dan pengguna jasa/praktik
psikologi; d) Peningkatan mutu pelayanan jasa/praktik psikologi yang diberikan oleh
profesional psikologi.

3. Kelembagaan Tenaga Profesi Psikologi


Pengurus Organisasi Profesi Psikologi Indonesia
Pengurus Organisasi Profesi Psikologi Indonesia mempunyai wewenang
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kepada anggotanya dalam Praktik
Tenaga profesi psikologi, menyiapkan basis data untuk proses registrasi Tenaga
profesi psikologi.

Majelis
Majelis memberikan advokasi kepada anggotanya dalam Praktik Tenaga profesi
psikologi, memberikan penghargaan kepada anggotanya, menjatuhkan sanksi
kepada anggotanya atas pelanggaran kode etik Tenaga profesi psikologi.
Untuk menjamin kelayakan dan kepatutan Tenaga profesi psikologi dalam
melaksanakan Praktik Tenaga profesi psikologi ditetapkan kode etik Tenaga profesi
psikologi untuk dijadikan pedoman dan landasan tingkah laku setiap Tenaga profesi
psikologi dalam melaksanakan Praktik Tenaga profesi psikologi. Kode etik Tenaga
profesi psikologi disusun oleh Organisasi Profesi. Untuk menegakkan kode etik
Tenaga profesi psikologi, Organisasi Profesi membentuk majelis kehormatan etik
yang struktur, fungsi, dan tugasnya diatur dalam suatu anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga Organisasi Profesi.
Pendanaan Organisasi Profesi bersumber dari iuran anggota dan sumber
pendanaan lain yang sah menurut ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pendanaan ini dikelola secara transparan dan akuntabel, serta diaudit sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan
kepengurusan, tugas, wewenang, kode etik, dan pendanaan diatur dalam anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga Organisasi Profesi.

64
4. Jasa Psikologi
Jasa Psikologi adalah jasa kepada perorangan atau kelompok/
organisasi/institusi, yang dilakukan oleh profesional psikologi sesuai kompetensi
dan kewenangan keilmuan psikologi di bidang pengajaran, pendidikan, pelatihan,
konsultasi, penelitian dan penyuluhan masyarakat. Profesional psikologi dalam
menyelenggarakan jasa psikologi tidak diperbolehkan memberikan janji
keberhasilan atas setiap tindakan jasa psikologi yang dilakukan (inspanning
verbintenis). Selanjutnya Profesional psikologi wajib melakukan pencatatan segala
sesuatu yang berkaitan dengan klien/pengguna jasa psikologi dalam rekam psikologi
yang wajib dipelihara dan disimpan sekurang-kurangnya 5 tahun sejak dilakukannya
kegiatan jasa psikologi. Rekam psikologis dapat digunakan untuk kepentingan dan
perkembangan ilmu psikologi. Dalam rangka menjunjung tinggi profesionalitas,
maka profesional psikologi wajib menjaga rahasia klien/pengguna jasa psikologi.
Namun demikian pengungkapan dapat dilakukan berdasarkan atas: Persetujuan
klien/pengguna jasa; Ketentuan perundang-undangan yang berlaku; Perintah hakim
pada sidang pengadilan; dan Kepentingan umum.

5. Praktik Psikologi
Layanan lainnya adalah praktik psikologi yang hanya dapat dilakukan oleh
psikolog. Praktik psikologi adalah kegiatan jasa dan praktik kepada perorangan atau
kelompok/organisasi/institusi dalam pemecahan masalah psikologis yang bersifat
individual maupun kelompok, yang dilakukan profesional psikologi yang lulus
pendidikan profesi psikologi dan berhak menyandang sebutan psikolog, dengan
menerapkan prinsip psikodiagnostik. Termasuk dalam pengertian praktik psikologi
tersebut adalah terapan prinsip psikologi yang berkaitan dengan kegiatan diagnosis,
prognosis, konseling dan psikoterapi.

6. Alat Tes Psikologi

1) Sarjana Psikologi dan psikolog memiliki hak untuk mengembangkan alat tes
psikologi dan memperoleh hak intelektual untuk setiap karya ciptanya.
2) Tes psikologi yang mempunyai dampak etik yang berat apabila diterapkan,
harus mendapat persetujuan Dewan Psikologi Indonesia.
3) Penggandaan, modifikasi, reproduksi dan penggunaan setiap alat tes psikologi
wajib diadministrasikan secara benar.

7. Standar Pendidikan Profesi Psikologi


Pendidikan profesi psikologi di Indonesia diselenggarakan oleh perguruan
tinggi yang bekerjasaama denngan kementrian, kementrian lain, lembaga
pemerintah non kementrian dan atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas
mutu layanan profesi. Standar kurikulum, tata cara dan tata laksana pendidikan
profesi psikologi disusun bersama-sama oleh Asaosiasi penyelenggara pendidikan
tinggi psikologi Indonesia (AP2TPI) dan HIMPSI serta ditetapkan oleh kementrian-
kementrian terkait.
Pendidikan dalam pengertian ini termasuk pendidikan bergelar atau non gelar.
Pendidikan bergelar yaitu program pendidikan yang dilaksanakan oleh Perguruan
Tinggi.Pendidikan non gelar adalah kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh

65
Perguruan Tinggi, Himpsi, Asosiasi/Ikatan Minat dan/ atau Praktik Spesialisasi
Psikologi atau lembaga lain yang kegiatannya mendapat pengakuan dari organisasi
profesi psikologi Indonesia.

8. Standar Profesi Psikologi


Persyaratan Psikolog
Untuk memperoleh gelar profesi Psikolog, seseorang harus lulus dari Program
Pendidikan Magisrter Profesi Psikologi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi
bekerjasama dengan organisasi profesi psikologi Indonesia. Syarat untuk dapat
mengikuti Program Pendidikan Magister Profesi Psikolog adalah sarjana Psikologi,
baik lulusan perguruan tinggi dalam negeri maupun perguruan tinggi luar negeri
yang telah disetarakan.
Seseorang yang telah memenuhi standar Program Magister Profesi Psikolog
maupun Pendidikan profesi non-magister. Gelar profesi Psikolog dinyatakan dengan
sebutan” Psikolog” dan dicantumkan di belakang nama yang berhak
menyandangnya. Gelar profesi Psikolog diberikan oleh perguruan tinggi
penyelenggara Program Profesi Psikolog yang bekerja sama dengan organisasi
profesi psikologi Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Profesi Psikolog diatur dalam
Peraturan Pemerintah. Semua profesional psikologi yang termasuk kategori psikolog
dan memenuhi persyaratan untuk melakukan praktik psikologi di wilayah hukum
negara Republik Indonesia berhak memiliki Sertifikat Kompetensi Keprofesian
Psikologi dari organisasi profesi.
Semua Psikolog wajib memiliki Izin Praktik Psikologi dari organisasi profesi.
Untuk memperoleh Izin Praktik Psikologi dari organisasi profesi, maka psikolog
harus memenuhi persyaratan yaitu: Memiliki ijazah pendidikan profesi psikologi;
Memiliki Sertifikat Kompetensi Keprofesian Psikologi dari organisasi profesi; Telah
menjadi anggota organisasi profesi; serta tidak sedang dalam proses atau dikenai
sanksi administrasi dari organisasi profesi.
Psikolog yang telah memiliki izin praktik psikologi berhak untuk
menyelenggarakan pelayanan jasa psikologi dan praktik psikologi termasuk kegiatan
diagnosis, prognosis, konseling dan psikoterapi. Selain itu, Dewan Psikologi
Indonesia dapat menetapkan kewenangan lainnya berdasarkan pertimbangan dan
atau perkembangan jasa dan praktik psikologi. Izin Praktik Psikologi berlaku selama
5 tahun dan diregistrasi ulang setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan
oleh organisasi profesi psikologi Indonesia.
Izin Praktik Psikologi tidak berlaku lagi karena: Dicabut atas dasar ketentuan
perundang-undangan yang berlaku; Habis masa berlakunya dan tidak mendaftar
ulang; Atas permintaan sendiri.; dan meninggal dunia.
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan diselenggarakan sesuai dengan
standar Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan oleh Organisasi Profesi dan dapat
bekerja sama dengan lembaga pelatihan dan pengembangan profesi. Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan bertujuan untuk memelihara kompetensi dan
profesionalitas profesi psikologi dan mengembangkan tanggung jawab sosial tenaga
profesi psikologi pada lingkungan profesinya dan masyarakat. Ketentuan lebih lanjut

66
mengenai Standar Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan diatur oleh AP2TPI
dan organisasi profesi psikologi Indonesia.

Psikolog Asing
Dalam pelaksanaan Praktik profesi psikologi di Indonesia, dimungkinkan
adanya peran dari profesional psikologi Asing untuk melaksanakan Praktik
psikologi dengan mengikuti aturan yang berlaku dan kode etik psikologi Indonesia.
Psikolog Asing/profesional psikologi asing yang melakukan Praktik Psikologi
di Indonesia harus memiliki surat izin kerja tenaga kerja asing sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan. Hal ini menjadi penting agar professional
psikologi Asing tersebut memang benar diakui kualifikasinya sesuai yang dibutuhkan
oleh pengguna jasa psikologi di Indonesia.
Adapun psikolog warga negara asing yang akan berpraktik di wilayah hukum
negara Republik Indonesia harus memenuhi syarat administrasi yaitu: Memiliki
paspor; Memiliki surat izin kerja dari instansi yang berwenang di Indonesia dan
memberikan salinan ijasah dan transkrip akademik, yang disampaikan secara
langsung kepada pengurus wilayah HIMPSI dimana akan berpraktek. Sedangkan
persyaratan kompetensi yang harus dipenuhi yaitu: Memiliki surat keterangan
sebagai psikolog dan surat ijin praktek yang dikeluarkan oleh organisasi profesi di
negaranya; Menguasai bahasa Indonesia dan memahami budaya Indonesia, dan
Memiliki Surat Izin Praktik Psikologi dari organisasi profesi psikologi Indonesia.
Izin Praktik Psikologi bagi psikolog warga negara asing berlaku selama 1
tahun dan diregistrasi ulang setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan
organisasi profesi psikologi Indonesia.
Psikolog asing yang memberikan jasa Profesi Psikologi dalam penanganan
bencana atau konsultasi yang bersifat insidental tidak memerlukan surat izin kerja,
tetapi harus memberitahukan kepada kementerian terkait dan organisasi profesi
psikologi Indonesia.
Psikolog asing yang melakukan kegiatan praktik Profesi Psikologi di
Indonesia tanpa memenuhi persyaratan akan dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di dalam organisasi profesi psikologi Indonesia.

Hak Dan Kewajiban


Psikolog yang berpraktik di Indonesia dan Psikolog Asing berhak:
a. melakukan kegiatan Profesi Psikologi sesuai dengan standar Profesi Psikologi
Indonesia;
b. dapat memperoleh jaminan pelindungan hukum selama melaksanakan
tugasnya sesuai dengan kode etik psikologi dan standar Profesi Psikologi
Indonesia;
c. memperoleh informasi, data, dan dokumen lain yang lengkap dan benar dari
Pengguna Profesi Psikologi sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
d. menerima imbalan hasil kerja sesuai dengan perjanjian kerja; dan

67
e. mendapatkan pembinaan dan pemeliharaan kompetensi Profesi Psikologi;

Psikolog yang berpraktik di Indonesia berkewajiban:


a. melaksanakan kegiatan Profesi Psikologi sesuai dengan keahlian dan kode etik
Psikologi yang berlaku di Indonesia;
b. melaksanakan tugas profesi sesuai dengan keahlian dan kualifikasi yang
dimiliki;
c. melaksanakan tugas profesi sesuai dengan standar Profesi Psikologi Indonesia;
d. menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan perjanjian kerja dengan Pengguna
Profesi Psikologi;
e. melaksanakan profesinya tanpa membedakan suku, agama, ras, gender,
golongan, latar belakang sosial, politik, dan budaya;
f. menerapkan keberpihakan pada sumber daya manusia nasional, lembaga kerja
nasional, dan produk hasil nasional dalam kegiatan Profesi Psikologi;
g. melaksanakan secara berkala kegiatan Profesi Psikologi terkait dengan darma
bakti masyarakat yang bersifat sukarela;
h. melakukan pencatatan rekam kerja Profesi Psikologi dalam format sesuai
dengan standar Profesi Psikologi;
i. melaksanakan kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh HIMPSI; dan
j. mengikuti standar kinerja serta mematuhi seluruh ketentuan keprofesian yang
ditetapkan oleh organisasi profesi psikologi Indonesia.

Pengguna profesi psikologi juga memiliki hak yang harus dipenuhi dan
kewajiban yang harus dilakukan. Hak dari Pengguna profesi psikologi, yaitu:
a. mendapatkan lingkup layanan dan mutu pelaksanaan Praktik profesi psikologi
sesuai dengan perjanjian kerja;
b. mendapatkan informasi secara lengkap dan benar atas hasil Praktik profesi
psikologi sesuai dengan perjanjian kerja;
c. memperoleh pelindungan hukum sebagai konsumen atas hasil Praktik profesi
psikologi;
d. menyampaikan pendapat dan memperoleh tanggapan atas pelaksanaan praktik
profesi psikologi;
e. menolak hasil Praktik profesi psikologi yang tidak sesuai dengan perjanjian
kerja; dan
f. melakukan upaya hukum atas pelanggaran perjanjian kerja sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun kewajiban Pengguna profesi psikologi dalam Praktik profesi psikologi
meliputi:
a. memberikan informasi, data, dan dokumen yang lengkap dan benar tentang
Praktik profesi psikologi yang akan dilaksanakan sesuai dengan perjanjian
kerja;
b. mengikuti petunjuk tenaga profesi psikologi atas hasil Praktik profesi psikologi
yang akan diterima sesuai dengan perjanjian kerja;
c. memberikan imbalan yang setara dan adil atas jasa layanan Praktik profesi
psikologi sesuai dengan perjanjian kerja; dan
d. mematuhi ketentuan yang berlaku di tempat pelaksanaan Praktik profesi
psikologi

68
9. Pembinaan Dan Pengawasan
Bab ini mengatur mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap profesi
psikologi oleh organisasi profesi psikologi nasional. Pihak yang bertanggung jawab
terhadap pembinaan, dan bagaimana bentuk pembinaan. Pembinaan Tenaga profesi
psikologi menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
Dalam melakukan pembinaan, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat
bekerja sama dengan HIMPSI. Pembinaan Tenaga profesi psikologi dilaksanakan
dengan:
a. menetapkan kebijakan pengembangan;
b. melakukan pemberdayaan Tenaga profesi psikologi;
c. meningkatkan kegiatan penelitian, pengembangan, dan kemampuan
perekayasaan;
d. mendorong industri yang berkaitan dengan Praktik Tenaga profesi psikologi
untuk melakukan penelitian dan pengembangan dalam rangka meningkatkan
nilai tambah produksi;
e. mendorong Tenaga profesi psikologi agar kreatif dan inovatif untuk
menciptakan nilai tambah;
f. melakukan pengawasan atas penyelenggaraan Praktik Tenaga profesi psikologi;
g. melakukan pembinaan dalam kaitan dengan remunerasi tarif jasa Tenaga profesi
psikologi yang setara dan berkeadilan;
h. mendorong Tenaga profesi psikologi menggunakan produksi dalam negeri yang
berdaya saing;
i. meningkatkan peran Tenaga profesi psikologi dalam pembangunan nasional;
j. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan alih teknologi dan alih
keahlian yang dilakukan oleh Tenaga profesi psikologi Asing; dan/atau

10. Ketentuan Pidana


Pengaturan pidana diperlukan agar terwujud perlindungan publik dan
keselamatan semua pihak dalam Praktik Tenaga profesi psikologi. Karena itu, setiap
Tenaga profesi psikologi atau Tenaga profesi psikologi Asing yang melaksanakan
tugas profesi tidak memenuhi standar keselamatan, keamanan, dan aspek lingkungan
yang mengakibatkan kecelakaan dan/atau kematian dipidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini penting agar terdapat landasan hukum
yang merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam KUHP maupun peraturan
perundang-undangan lain. Namun, undang-undang ini mengatur secara ketentuan
pidana, sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang tidak memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga profesi
psikologi yang dengan sengaja menjalankan Praktik Tenaga profesi psikologi
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)
(2) Setiap orang yang tidak memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga profesi
psikologi yang dengan sengaja menjalankan Praktik Tenaga profesi psikologi
dan menyebabkan:

a. kerugian materiil terhadap orang lain dipidana dengan pidana denda paling

69
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
b. luka dan atau cacat pada seseorang dipidana berdasarkan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; atau
c. matinya orang lain dipidana berdasarkan ketentuan tentang perbuatan yang
mengakibatkan matinya orang karena kealpaan sebagaimana diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

11. Ketentuan Peralihan


Ketentuan peralihan ini memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau
hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan-peraturan atau perundang-
undangan yang lama terhadap perundang-undangan yang baru, yang bertujuan
untuk:
a. Menghindari terjadinya kekosongan hukum,
b. Menjamin kepastian hukum
c. Memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak
d. Perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara

12. Ketentuan Penutup


Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan mengenai:
a. Penunjukkan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan peraturan
perundang-undangan
b. Nama singkat peraturan perundang-undangan
c. Status peraturan perundanga-undangan yang sudah ada; dan
d. Saat mulai berlakunya peraturan perundang-undangan.

70
BAB VI
PENUTUP

6.1 Simpulan
1. Keragaman di Indonesia melandasi misi tenaga profesi psikologi dalam
menjalankan fungsinya dengan tetap mengedepankan asas keadilan, berorientasi
pada peningkatan kesejahteraan masyarakat atau pengguna jasa sehingga
keharmonisan dalam masyarakat tetap terjaga. Professional psikologi dihadapkan
pada tantangan yang tidak sedikit untuk mencapai misinya di tengah keragaman
ini, untuk itu diperlukan standar dan aturan baku yang berlaku untuk semua tenaga
profesi psikologi di Indonesia dalam bentuk payung hukum yang jelas yaitu
Undang-Undang Profesi Psikologi Indonesia
2. Maraknya kegiatan mal praktik seiring dengan meningkatnya kebutuhan
masyarakat akan jasa psikologi, membuat para tenaga profesi psikologi yang
masih menjalankan fungsinya sesuai dengan kode etik yang berlaku menjadi
terkena imbas atas kesalahan yang tidak dilakukannya. Lemahnya landasan
hukum untuk menindak pelaku mal praktik, menimbulkan kesulitan untuk
menindaknya. Selain berdampak pada rekan-rekan seprofesi, tentunya dampak
terbesar adalah kepada pengguna jasa psikologi yang mendapatkan perlakuan atau
treatment yang tidak tepat.
3. Urgensi dari Undang-Undang Profesi Psikologi dapat dielaborasi ke dalam tiga
hal. Pertama, perlunya perlindungan terhadap pengguna jasa atau layanan
psikologi dari mal praktik yang dilakukan pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kedua, perlunya perlindungan profesi psikologi Indonesia terutama berkenaan
dengan semakin terbukanya peluang praktik psikologi tenaga profesi psikologi
asing. Ketiga perlunya landasan legal yang kuat untuk menindak pihak-pihak
yang melakukan mal praktik.
4. Pengaturan profesi psikologi Indonesia dalam Undang-undang ini bertujuan
untuk:
a. Memenuhi kebutuhan masyarakat akan profesi psikologi;
b. Mengoptimalkan peran profesi psikologi dalam menjawab kebutuhan
masyarakat;
c. Memberikan perlindungan kepada masyarakat agar menerima pelayanan
atau jasa psikologi yang tepat;
d. Meningkatkan kualitas pelayanan tenaga profesi psikologi kepada
masyarakat; dan
e. Memberikan kepastian hukum.
5. Keberadaan undang-undang profesi psikologi akan memnjadi rujukan
penyelenggaraan praktik psikologi dalam berbagai bidang yang melibatkan
berbagai kementrian atau kelembagaan, sehingga dapat menggantikan undang-
undang yang selama ini ada secara partial.

71
6.2 Saran
1. Naskah akademik dapar dijadikan sebagai acuan atau referensi dalam penyusunan
dan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang profesi psikologi Indonesia
2. Sebelum ketentuan tentang asas dari Undang-undang ini, disarankan perlu
dikemukakan bahwa pengembangan dan pemberdayaan profesi psikologi
dilakukan berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan memperhaiikan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan Bhineka Tunggal lka.
3. Untuk penyusunan Rancangan Undang-Undang profesi psikologi Indonesia ini
diperlukan dukungan yang kuat dari berbagai pihak terkait baik dari kalangan
pemerintah, khususnya kementrian terkait dan di lingkungan legislatif.
4. Berbagai materi yang perlu dipertimbangkan untuk dimasukan dalam RUU profesi
psikologi Indonesia adalah ketentuan umum, asas dan tujuan, kelembagaan, jasa
psikologi, praktik psikologi, alat tes psikologi, standar pendidikan profesi
psikologi, standar profesi psikologi, pembinaan dan pengawasan, ketentuan
pidana, ketentuan peralihan, pengaturan praktik tenaga profesi psikolog (psikolog
Indonesia dan psikolog Asing), hak dan kewajiban profesi psikologi, dan hak
dan kewajiban pengguna jasa kualifikasi profesi psikologi, penguatan kompetensi,
pengembangan kapasitas, perencanaan jumlah tenaga profesi psikologi, sertifikasi,
refgristrasi, perizinan, organisasi profesi dan spesialisasi.
5. RUU tentang profesin psikologi Indonesia perlu dilakukan sinkronisasi dan
harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya sehingga tidak
tumpeng tindih dan terjadi diuplikasi pengaturan.

72
Daftar Pustaka

APA (2010). Model Act for State Licensure of Psychologists: Adopted by Council as APA
Policy 2/20/2010. diakses dari https://www.apa.org/about/policy/model-act-2010.pdf

BBC (2016, 21 Maret). Setidaknya 18.800 orang masih dipasung di Indonesia


http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160320_indonesia_hrw_pas
ung

Bond, T. (2005). Developing and monitoring professional ethics and good practice
Guidelines. in: Tribe, R. & Morissey, J. (eds) Handbook of Professional and Ethical
Practice for Psychologists, Counsellors and Psychotherapists (pp. 7-18). Newyork:
Brunner-Routledge

Branley, A & Byrne, M (2012). How many psychologist do we need. The Irist Psychologist,
25 (5). 136-138

BPS (2010). [Data Etnis, Suku Bangsa, dan Bahasa] diakses dari
http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/ind
ex.html

Depkes (2013). Data Riset Kesehatan Dasar. Riskesdas 2013. Diakses dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.p
df

EFPA (2011). EFPA Regulations and appendices for the European Certificate in
Psychology (EuroPsy). Diakses dari http://www.europsy-
efpa.eu/sites/default/files/uploads/EuroPsy%20Regulations%20July%202011.pdf

Hartley, J. & Branthwaite, A. (2000). Prologue: The roles and skills of applied
psychologists. In Hartley, J. & Branthwaite, A. (Eds). The Applied Psychologist
(Second Edition) (pp. 1-10). Buckingham & Philadelphia: Open University Press.

Jaipal, R. (2014). Psychological contributions to sustainable development. Diakses dari


http://www.apa.org/international/pi/2014/06/psychological-contributions.aspx

Knapp, S., & VandeCreek, L. (2003). A guide to the 2002 revision of the APA Ethics Code.
Sarasota, FL: Professional Resource Press.

Knapp, S.J., & Vandecreek, L. D. (2005). Practical ethics for psychologists: A positive
approach. Washington, DC: American Psychological Association.

Philippine Psychology Act of 2009 diakses dari


http://www.lawphil.net/statutes/repacts/ra2010/ra_10029_2010.html

Pols, H. (2006, August). The development of psychiatry in Indonesia: From colonial to


modern times. International Review of Psychiatry, 18(4), 363–370.

Sales, B.D. (1983). The context of Professional Psychology. In: Sales, B.D. (Ed). The
Professional Psychologists's Handbook. halaman 3-18. New York: Plenum Press

Schultz, D. P., & Schultz, S. E. (2011). A history of modern psychology (10th ed.). Belmont,

73
CA: Wadsworth

Tantam, D. & Deurzen, E.V. European guidelines to professional and ethical issues. in:
Tribe, R. & Morissey, J. (eds) Handbook of Professional and Ethical Practice for
Psychologists, Counsellors and Psychotherapists (pp. 19-33). Newyork: Brunner-
Routledge

UUD 1945

Wargadiredja, A.T. (2017, 20 Juli). Orang Indonesia perlu mulai lebih terbuka membahas
persoalan bunuh diri. VICE. Diakses dari
https://www.vice.com/id_id/article/3knyxv/orang-indonesia-perlu-mulai-lebih-
terbuka-membahas-persoalan-bunuh-diri

WHO (2014). Mental Health Atlas. diakses dari


http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/178879/1/9789241565011_eng.pdf

WHO (2016). Disease burden and mortality estimates. Diakses dari


http://www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/estimates/en/index2.html

74

Anda mungkin juga menyukai