Anda di halaman 1dari 41

1

UJI AKTIVITAS INHIBITOR TIROSINASE EKSTRAK METANOL

DAUN SERIBU (Achillea millefolium L.)

PROPOSAL

Oleh:

MUSDALIFAH

NIM. 70100116001

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2020
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang diberkahi dengan

limpahan sinar matahari sepanjang tahunnya. Sinar matahari juga merupakan

salah satu sumber energi yang bermanfaat bagi manusia. Matahari dapat

memancarkan sinar, baik yang dapat dilihat (visible) maupun yang tidak dapat

dilihat (Isfardiyana & Safitri, 2014). Kulit merupakan bagian tubuh yang paling

banyak terpapar sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh matahari dan dapat

menyebabkan hiperpigmentasi karena banyak terkena radikal bebas.

Hiperpigmentasi merupakan peristiwa yang terjadi akibat produksi pigmen kulit

yang berlebihan. Proses tersebut terjadi karena peningkatan proses melanogenesis

yang memberikan warna cokelat atau cokelat kehitaman sehingga kulit menjadi

gelap (Kurniasari et al., 2018) .

Paparan radiasi berlebihan juga merupakan penyebab utama terjadinya

kanker kulit dan juga penyakit kulit lainnya dan penyakit kulit ini berhubungan

langsung dengan aktivitas enzim tirosinase yang merupakan enzim utama dalam

proses melanogenesis (Barros et al., 2019) .

Warna kulit dipengaruhi oleh keberadaan melanin, dan keberadaan

melanin sangat dipengaruhi oleh enzim tirosinase. Enzim ini dapat mengkatalisis

dua reaksi biosintesis melanin yaitu O-hidroksilasi dari asam amino L-tirosin

menjadi L-3,4-dihidroksifenilanin (L-DOPA), dan oksidasi subsekuen dari L-

DOPA menjadi dopakuinon. Senyawa dopakuinon mempunyai kereaktifan yang

sangat tinggi sehingga dapat mengalam polimerisasi secara spontan membentuk

dopakrom yang kemudian menjadi melanin. Inhibitor tirosinase dibutuhkan dan

berperan penting sebagai penghambat produksi melanin pada lapisan epidermis


3

dan membuat kulit tampak lebih cerah. Penelitian lainnya melaporkan bahwa

pengujian inhibitor tirosinase dapat dilakukan dengan mengukur kemampuan

ekstrak untuk menghambat fase menofenolase (substrat L-tirosin) dan difenolase

(substrat L-DOPA), dengan arbutin dan asam kojat yang digunakan sebagai

kontrol positif. Salah satu senyawa kimia yang dapat menghambat aktivitas enzim

tirosinase adalah senyawa polifenol yang merupakan kelompok flavonoid

(Isfardiyana & Safitri, 2014) .

Baru-baru ini, penyelidikan produk alami untuk penemuan senyawa aktif

dengan sifat antimikroba dan antioksidan yang berasal dari tanaman. Daun seribu

atau dikenal dengan nama latin Achillea millefolium merupakan tanaman yang

kaya akan manfaat yang dapat digunakan dalam bidang kesehatan, khususnya

dalam bidang farmasi. Tanaman ini mengandung asam askorbat dan tokoferol,

dan kaya akan flavonoid, apigenin, kuarsetin dan juga asam fenol (Barut. 2017:

1). Hasil penelitian yaitu Uji HPLC-DPPH menunjukkan bahwa daun seribu

(Achillea millefolium) memilki aktivitas antiradikal yang signifikan karena adanya

komponen senyawa flavanoid kompleks didalamnya. Hasil dari uji HPLC-DPPH

menunjukkan adanya konstituen dalam asam kompleks flavonoid dan asam

fenolkarbonik yang mampu menghambat radikal bebas. Menurut penelitian ini,

ditemukan bahwa komponen utama diantara yang teridentifikasi pada daun seribu

(Achillea millefolium) memiliki sifat penghambat radikal bebas adalah luteolin

dan asam klorogenat disertai dengan penghambat yang kurang yaitu rutin dan

luteolin 7-O-glukosida. (Trumbeckaite et al., 2011) . Hasil penelitian lainnya

menyatakan bahwa ekstrak metanol Achillea millefolium L. memiliki kandungan

flavonoid dan fenolik. Selain itu, aktivitas antioksidannya diperoleh dengan

menggunakan metode DPPH dan mendapatkan hasil inhibisi 75% (Eghdami et

al., 2011) . Menurut (Kurniasari et al., 2018) salah satu senyawa kimia yang dapat
4

menghambat aktivitas tirosinase adalah senyawa polifenol yang merupakan

kelompok flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan dan sebagai inhibitor

tirosinase.

Berdasarkan uraian diatas, daun seribu (Achillea millefolium) memiliki

aktivitas antioksidan. Namun belum ada penelitian yang menguji aktivitas dan

potensi tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui

aktivitas potensi ekstrak daun seribu (Achillea millefolium) sebagai inhibitor

enzim tirosinase.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah ekstrak dari daun seribu (Achillea millefolium) mempunyai

aktivitas inhibitor tirosinase ?

2. Berapakah konsentrasi minimum ekstrak daun seribu (Achillea

millefolium) yang dapat menghambat aktivitas inhibitor tirosinase ?

3. Berapakah nilai IC 50 inhibitor tirosenase ekstrak dari daun seribu (Achillea

millefolium) ?

C. Defenisi Operasional Dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Defenisi Operasional

a. Ekstraksi adalah proses pemisahan senyawa kimia yang ingin

didapatkan dari daun seribu (Achillea millefolium) dari campurannya

yang diekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol (70%).

b. Ekstrak adalah suatu bahan atau sediaan yang diperoleh dari hasil

ekstraksi tanaman daun seribu (Achillea millefolium) menggunakan

pelarut etanol (70%).

c. Etanol adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar,

tak berwarna, dan merupakan alcohol yang paling sering digunakan

dalam kehidupan sehari-hari.


5

d. Tirosinase adalah enzim pembatas laju yang terkait dengan sintesis

melanin dalam melanosit.

e. Inhibitor tirosinase adalah penghambatan enzim tirosinase yang

berpengaruh pada pigmentasi kulit.

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah pengujian

aktivitas ekstrak daun seribu (Achillea millefolium) sebagai inhibitor

tirosinase sebagai penghambat enzim tirosinase yang berpengaruh pada

pigmentasi kulit.

D. Kajian Pustaka

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Kurniasari et al., 2018)

dengan judul penelitian Potensi ekstrak biji coklat (Theobroma cacao Linn)

sebagai inhibitor tirosinase untuk produk pencerah kulit, penelitian ini

memanfaatkan biji coklat (Theobroma cacao Linn) sebagai salah satu bahan yang

kaya akan senyawa flavonoid diantaranya adalah senyawa polifenol yang

berfungsi sebagai antioksidan dan penghambat tirosinase untuk bahan aktif

pencerah kulit. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah laboratorium

eksperimental dengan beberapa pengujian antara lain kadar flavonoid total dan uji

aktivitas inhibitor tirosinase. Hasil penelitian ini terdapat aktivitas inhibitor

tirosinase pada ekstrak biji coklat. Aktivitas tersebut dilihat dari nilai IC 50 untuk
−1
reaksi monofenolase dan difenolase masing-masing adalah 352,05 µg mL dan
−1
836,20 µg mL . Nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan asam kojat,
−1 −1
untuk monofenolasi sebesar 2,38 µg mL dan difenolasi 10,74 µg mL . Selain

itu, juga terdapat kandungan senyawa flavonoid total sebanyak 0,05 % b/b.

Peneliti menjadikan penelitian sebagai pembuktian secara ilmiah bahwa ekstrak

biji coklat (Theobroma cacao Linn) berpotensi untuk digunakan dalam formulasi
6

krim pemutih dalam bidang kefarmasian. Adapun hubungan penelitian yang

dilakukan oleh (Kurniasari et al., 2018) dengan penelitian yang akan dilakukan

terhadap daun seribu (Achillea millefolium L.) yaitu adanya persamaan bahan

yang digunakan sebagai kontrol positif yaitu asam kojat, sedangkan perbedaannya

terletak pada metode kerja dan alat yang digunakan pada penelitian yang

dilakukan oleh (Kurniasari et al., 2018) yaitu spektrofotometer UV-Vis,

sedangkan penelitian ini menggunakan alat mikro plate reader.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Charissa et al., 2017) dengan

judul penelitian Uji aktivitas antioksidan dan penghambatan tirosinase serta uji

manfaat gel ekstrak kulit batang taya (Nauclea subdita) terhadap kulit , penelitian

ini memanfaatkan kulit batang taya (Nauclea subdita) sebagai antioksidan dan

penghambatan tirosinase dengan membuat sediaan gel ekstrak batang taya yang

stabil serta melakukan uji keamanan dan manfaat terhadap kulit. Uji

penghambatan tirosinase dilakukan dengan asam kojat sebagai pembanding. Hasil

uji penghambatan tirosinase terhadap ekstrak menunjukkan nilai IC 50 568,58

µg/mL pada L-tyrosine dan 1374,69 µg/mL pada L-DOPA. Peneliti menjadikan

penelitian ini sebagai pembuktian secara ilmiah aktivitas penghambatan tirosinase

serta uji manfaat gel yang mengandung ekstrak kulit batang taya (Nauclea

subdita) terhadap kulit. Adapun hubungan penelitian yang dilakukan oleh

(Charissa et al., 2017) dengan penelitian yang akan dilakukan terhadap daun

seribu (Achillea millefolium) yaitu adanya persamaan bahan yang digunakan

sebagai pembanding (asam kojat), sedangkan perbedaannya yaitu penelitian yang

dilakukan (Charissa et al., 2017), peneliti membuat gel dari ekstrak kulit batang

taya untuk penghambatan enzim tirosinase. Sedangkan pada penelitian yang

menggunakan tanaman daun seribu (Achillea millefolium L.) mengujikan ekstrak

sebagai inhibitor tirosinase.


7

Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Abidin et al., 2019) dengan judul

penelitian Tyrosinase inhibitor activity measurement of crude and purified extract

of Moringa Leaves (Moringa oleifera L.) , penelitian ini memanfaatkan daun

kelor sebagai sebagai antioksidan yang kuat juga memiliki aktivitas antitirosinase

yang kuat. Daun kelor mengandung senyawa flavonoid yang dapat menghambat

aktivitas tirosin dalam proses pembentukan melanin. Penelitian ini ditujukan

untuk menentukan aktivitas penghambat tirosinase dari ekstrak kasar dan ekstrak

terpurifikasi daun kelor (Moringa oleifera L.) . Pengukuran aktivitas

penghambatan tirosinase dilakukan secara in vitro dengan pengukuran dopakrom

dari oksidasi L-tirosin pada mekanisme melanogenesis. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa hidrokuinon mempunyai nilai IC 50 sebesar 4405,24 µg/mL

dan ekstrak terpurifikasi daun kelor menunjukkan nilai IC 50 sebesar 401,6628

µg/mL. Peneliti menjadikan penelitian ini sebagai pembuktian secara ilmiah

ekstrak terpurifikasi daun kelor lebih aktif sebagai penghambat tirosinase daripada

ekstrak kasarnya tapi lebih kurang aktif daripada hidrokuinon. Adapun hubungan

penelitian yang dilakukan oleh (Abidin et al., 2019) dengan penelitian yang akan

dilakukan terhadap daun seribu (Achillea millefolium L.) yaitu adanya persamaan

substrat (L-tirosin) yang digunakan sebagai penghambat fase monofenolase.

Sedangkan perbedaan dilihat dari sampel yang digunakan yaitu daun kelor

(Moringa oleifera L.), perbedaan lainnya juga dilihat dari pembanding (kontrol

positif) yang digunakan yaitu hidrokuinon, sedangkan pada penelitian tanaman

daun seribu (Achillea millefolium L.) menggunakan asam kojat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Sagala et al., 2019) peneliti ini

memanfaatkan ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.) sebagai inhibisi

terhadap enzim tirosinase. Ekstrak etanol daun pepaya diperkirakan memiliki

aktivitas inhibitor tirosinase karena mengandung senyawa flavonoid. Pengujian


8

dilakukan dengan L-DOPA sebagai substrat, ekstrak etanol daun pepaya dengan

kosentrasi 20000, 10000, 5000, 2500, 1250, 625, dan 312.5 µg/mL dengan control

positif asam kojat lalu diukur serapannya dengan menggunakan microplate reader

pada panjang gelombang 490 nm. Peneliti menjadikan penelitian ini sebagai

pembuktian secara ilmiah bahwa ekstrak daun pepaya memiliki aktivitas inhibitor

tirosinase dengan nilai IC 50 sebesar 12158,8751 µg/mL dan potensi relatif besar
−3
6,879 x10 kali asam kojat. Adapun hubungan penelitian yang dilakukan oleh

(Sagala et al., 2019) dengan penelitian yang akan dilakukan terhadap daun seribu

(Achillea millefolium L.) yaitu adanya persamaan dengan alat yang digunakan

sebagai pengujian inhibitor tirosinase, yaitu microplate reader. Sedangkan,

perbedaannya terletak pada sampel dan substrat yang digunakan, peneliti

menggunakan substrat L-DOPA, sedangkan pada penelitian tanaman daun seribu

(Achillea millefolium L.) menggunakan substrat L-tirosin.

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah ekstrak daun seribu (Achillea millefolium)

mempunyai aktivitas inhibitor tirosenase.

2. Untuk mengetahui konsentrasi minimum ekstrak daun seribu (Achillea

millefolium) yang dapat menghambat aktivitas inhibitor tirosinase.

3. Untuk mengetahui nilai IC 50 inhibitor tirosinase ekstrak daun seribu

(Achillea millefolium).

F. Manfaat Penelitian

Memberikan informasi berupa data ilmiah mengenai aktivitas inhibitor

tirosinase dan data ilmiah nilai IC 50 inhibitor tirosinase serta nilai persen aktivitas

ekstrak daun seribu (Achillea millefolium).


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Tanaman Daun Seribu

1. Klasifikasi tanaman daun seribu

Regnum : Plantae

Subdivisi : Spermatophyta

Divisi : Magnolophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Asterales

Famili : Asteraceae

Genus : Achillea

Spesies : Achille millefolium L. (Oliver, 2013)

2. Deskripsi

Tanaman daun seribu ini merupakan semak atau herba, ukurannya

bervariasi dari 0,2 hingga 1 m. Daun memiliki rambut dan berbulu, ujung daun

runcing tersusun pada pangkal batang, panjangnya 5-20 cm, bunga menempel

pada batang. Kepala bunga memiliki diameter 3-5 cm, setiap kapitulum berisi
10

lima kuntul luar dengan mahkota pipa yang dikompres. Warna bunga berkisar

dari putih hingga merah muda (Oliver, 2013) .

3. Nama Daerah

Di Indonesia tanaman daun seribu (Achillea millefolium L.) dikenal

dengan berbagai sebutan disetiap daerah, diantaranya godong sewu (Jawa),

daun hidung berdarah, gandana, momadra.

4. Kandungan Kimia

Secara umum tanaman daun seribu (Achillea millefolium L.)

mengandung flavonoid, gula, nilai energi, protein, asam lemak jenuh, lipid,

asam organik dan fenolik, dan senyawa kimia seperti asam isovaleric,

asparagine, sterol, dan asam salisilat, telah di isolasi dari tumbuhan ini. Daun

seribu atau biasa disebut Yarrow lebih banyak mengandung lemak dan asam

lemak jenuh, itu artinya tumbuhan ini memiliki kalori yang lebih tinggi. Daun

ini juga merupakan sumber vitamin C dan mineral yang bagus seperti

aluminium, kalium, tembaga dan garam kalsium (Oliver, 2013) .

B. Kulit

Kulit menutupi dan melindungi permukaan tubuh, serta bersambung

dengan selaput lender yang melapisi rongga-rongga dan lubang-lubang masuk.

Kulit yang didalamnya terdapat ujung saraf peraba mempunyai banyak fungsi,

antara lain membantu mengatur suhu dan mengendalikan hilangnya air dari

tubuh dan mempunyai sedikit kemampuan eksretori, sekretori, dan absorbsi

(Pearce, 2011) .

Kulit dibagi menjadi tiga lapisan utama yaitu, lapisan epidermis atau

kutikula, dan lapisan dermis atau korium dan endodermis. Ketiga lapisan

terebut berbeda dari segi anatomi, morfologi, senyawa penyusun, sifat dan

fungsinya (Ismail, 2013) .


11

Gambar 2. Struktur Kulit (Setiadi, 2007)

1. Lapisan Epidermis

Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang mepunyai ketebalan

bervariasi antara 50µm – 1,5 mm, tersusun dari 15-25 sel. Epidermis terbentuk

dari lima lapisan sel epitelial squamosa, diantaranya yang paling umum adalah

keratinosit. Keratinosit adalah sel-sel yang bertanggung jawab untuk

pembentukan keratin, protein struktural dari kulit, rambut dan kuku. Sel-sel ini

diyakini terlibat dalam proses imun dengan pertama kali melepaskan

immunoglobulin A dan kemudian interleukin-1, yang memicu pengaktifan sel-

sel T (Isriany, 2013).

Epidermis berfungsi sebagai penghalang terpenting dari hilangnya air,

elektrolit dan atau nutrient tubuh, serta menahan masuknya senyawa asing dari

luar. Lapisan epidermis terdiri dari non-viablee epidermis dan viable epidermis

yaitu stranum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum

basal (germinativum). Kurang lebih dari setengah keratinosit bergerak dari

lapisan sel basal ke atas memulai semua lapisan-lapisan sel epidermis yang

lain. Sambil bergerak, melalui lapisan-lapisan, strukturnya berubah dan sel-sel

mulai memipih, kehilangan inti, dan akhirnya kering (Ismail, 2013) .

Lapisan epidermal merupakan lapisan tanduk terletak paling luar,

dan tersusun atas tiga lapisan sel yang membentuk epidermis. Stratum

korneum, selnya tipis, datar, seperti sisik dan terus-menerus dilepaskan.


12

Stratum lusidum, selnya mempunyai batas tegas tetapi tidak ada intinya.

Stratum granulosum, selapis sel yang jelas tampak berisi inti dan

granulosum. Zona germinalis, terletak di bawah lapisan tanduk dan terdiri atas

dua lapisan epitel yang berbentuk tegas . Sel berduri, yaitu sel dengan fibril

halus yang menyambung sel yang satu dengan yang lainnya di dalam lapisan

ini, sehingga disetiap sel seakan-akan berduri. Sel basal, sel ini terus menerus

memproduksi sel epidermis baru. Sel ini disusun dengan teratur, berderet

dengan rapat membentuk lapisan pertama atau lapisan dua sel pertama dari sel

basal yang duduk di atas papilla dermis (Pearce, 2011)

Epidermis tidak berisi pembuluh darah. Saluran kelenjar keringat

menembus epidermis dan mendampingi rambut. Sel epidermis membatasi

folikel rambut. Di atas permukaan epidermis terdapat garis lekukan yang

berjalan sesuai dengan papil dermis di bawahnya. Garis-garis ini berbeda; pada

ujung jari berbentuk ukiran yang jelas, yang pada setiap orang berbeda. Maka

atas hal ini studi sidik jari dalam kriminalogi dilandaskan (Pearce, 2011) .

2. Lapisan Dermis

Korium atau dermis tersusun atas jaringan fibrus dan jaringan ikat

yang elastis. Pada permukaan, dermis tersusun papil-papil kecil yang berisi

ranting-ranting pembulu darah kapiler (Pearce, 2011) .

Lapisan korium atau dermis ini merupakan lapisan lapisan kulit yang

terletak antara epidermis dan jaringan lemak subkutan. Tebal lapisan sekita 1-4

mm, tergantung bagian tubuh. Dermis tersusun dari bahan mukopolisakarida.

Pada dermis terdapat sel-sel mast dan fibroblast. Sel mast memiliki situs

reseptor untuk immunoglobulin E dan mengandung sejumlah senyawa penting,

seperti zat yang bereaksi lambat pada proses anafilaksis, prostaglandin E, dan
13

histamin. Fibroblast mensintesis komponen penunjang structural dari kulit

(yaitu: serat-serat elastik, kolagen, dan serat retikulum) (Ismail, 2013) .

Dermis ini mengandung jaringan padat dari serabut protein, seperti

kolagen, reticulum, dan elastin yang disimpan dalam kelenjar dasar amorf dari

mukopolisakarida. Serat elastic (jaringan elastik) diberi nama demikian karena

serat ini yang memberi sifat elastisitas pada kulit. Komponen utama dari serat

ini adalah elastin, suatu protein amorf (Ismail, 2013) .

Ujung akhir saraf sensoris, yaitu putting peraba terletak di dalam

dermis. Kelenjar keringat yang berbentuk tabung berbelit-belit dan banyak

jumlahnya, terletak di sebelah dalam dermis, dan salurannya yang keluar

melalui dermis dan epidermis bermuara di atas permukaan kulit di dalam

lekukan halus yang disebut pori. Ada beberapa kelenjar keringat yang berubah

sifat yang dapat dijumpai di kulit sebelah dalam telinga, yaitu kelenjar serumen

(Pearce, 2011) .

Fungsi dermis ini terutama melindungi tubuh dari luka, menjadikan

epidermis lebih fleksibel, penghalang terhadap infeksi dan sebagai organ

penyimpan air. Dalam dermis terdapat kapiler darah, ujung-ujung saraf,

pembuluh limfa, kelenjar keringat, folikel rambut, dan kelenjar sebasea (Ismail,

2013) .

Kelenjar sebaseus, adalah kelenjar kantong didalam kulit. Bentuknya

seperti botol dan bermuara di dalam folikel rambut. Kelenjar ini paling banyak

terdapat di kepala dan wajah, yaitu sekitar hidung, mulut, dan telinga, dan sama

sekali tak terdapat dalam kulit telapak tangan dan telapak kaki. Kelenjarnya

dan salurannya dilapisi sel epitel. Perubahan di dalam sel ini berakibat sekresi

berlemak yang disebut sebum (Pearce, 2011) .


14

Beberapa kelenjar yang terdapat di kulit yaitu kelenjar keringat yang

ditemukan diseluruh permukaan tubuh dan mensekresikan suatu larutan encer

garam dan beberapa komponen lain (95% keringat berupa air) tertanam pada

lapisan ini. Keringat mempunyai pH 4,5-5,5. Kelenjar sebasea terdapat pada

bagian leher tiap folikel. Kelenjar ini mensekresikan material minyak dengan

komposisi: trigliserida 57,5%; ester-ester lilin 26%; squalene 12%; ester-ester

kolesterol 3%; kolesterol 1,5%. Sebum ini menyebabkan terbentuknya lapisan

tipis diskontinyu senyawa lipofil pada beberapa permukaan kulit, karenanya

kelenjar sebum ini dapat menjadi rute absorpsi obat untuk obat-obat yang larut

lemak (Ismail, 2013) .

3. Lapisan Endodermis (Hipodermis; Subkutan)

Hipodermis adalah lapisan terdalam dari kulit, tebalnya 0,5-2 cm

tergantung pada umur, ras dan daerah tubuh, merupakan kelanjutan dari

dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak, penghubung

antara dermis dengan jaringan lain di bawahnya seperti otot. Hipodermis kaya

akan jaringan penghubung yang mengandung beberapa serat elastik. Pada

beberapa bagian tubuh tertentu terdapat otot polos. Lapisan ini yang

melindungi organ sebelah dalam tubuh dari benturan mekanik. Jaringan

berlemak memengaruhi regulasi panas tubuh dan memberikan efek bantalan

terhadap tekanan eksternal dan cedera (Ismail, 2013) .

Berdasarkan sifat sel-sel penyusun kulit, maka secara fisiologi, fungsi

kulit adalah (Ismail, 2013) :

1. Merupakan barrier lingkungan yang menghalangi masuknya stimulu

dari lingkungan seperti senyawa kimia, mikroba, pelarut, radiasi,

elektrik dan termal.


15

2. Sawar kulit juga mencegah penguapan air yang berlebih dari dalam

tubuh, serta mencegah kehilangan elektrolit dan senyawa biokimia

lainnya.

3. Proses deskuamasi akan menghilangkan senyawa dan zat terlaurut,

termasuk hasil-hasil katabolisme yang terabsorbsi pada stratum

korneum. Dengan kata lain kulit mampu mengontrol penumpukan

senyawa dan partikel pada kulit.

4. Kelenjar keringat mengontrol suhu tubuh dan mengeluarkan zat-zat

sisa metabolisme.

5. Kelenjar minyak dalam folikel rambut mengeluarkan minyak yang

dapat melumasi dan melindungi rambut.

6. Proses deferensiasi sel-sel epidermis dapat menjamin keberadaan

stratum korneum serta fungsi yang melekat padanya.

7. Menghasilkan melanin yang memberi warna kulit serta melindungi

kulit dari efek buruk sinar matahari.

8. Menghasilkan system pertahanan tubuh melalui sel Langerhans dan

sel lainnya.

9. Pembulu darah membawa nutrisi dan mengangkut produk

metabolisme, fungsi immune, pengaturan suhu tubuh, dan tekanan

darah.

10. Saraf mengendalikan tekanan, nyeri dan suhu.

11. System limfa mengatur pengeluaran sisa metabolisme, tekanan

jaringan dan fungsi immune.

12. Melindungi tubuh dari benturan mekanik.


16

Pelengkap kulit yaitu rambut, kuku dan kelenjar sebaseus dianggap

sebagai tambahan pada kulit. Rambut dan kuku adalah sel epidermis yang

berubah. Rambut tumbuh dari folikel rambut merupakan lekukan jeluk di

dalam epidermis. Folikel rambut dibatasi sel epidermis dan di atas dasarnya

terdapat papil tempat awal rambut tumbuh. Dalam keadaan sehat, bila sehelai

rambut rontok maka akan diganti sehelai lain yang akan tumbuh dari papil

yang sama. Akar rambut berada di dalam folikel. Pada ujung paling dalam,

rambut sedikit lebih tebal dan ujungnya bulat. Bagian pangkal yang bulat ini

menjepit sebuah papil pembuluh darah, dan pertumbuhan rambut berasal dari

sel lunak yang terdapat di daerah ini. Bagian yang keluar dari permukaan

adalah batang rambut. Warna rambut disebabkan oleh jumlah pigmen di dalam

epidermis. Berhubungan dengan folikel rambut terdapat otot polos kecil, yaitu

erektor pilorum atau “penegak rambut”, terdapat juga kelenjar sebaseus yang

mengeluarkan secret yang disebut sebu. Sebum ini memelihara kulit supaya

empuk dan halus, sedangkan untuk di rambut agar bisa mengilat (Pearce, 2011)

4. Mekanisme Pigmentasi yang terjadi pada Kulit

Sistem pigmentasi kulit melibatkan melanosit, melanosom, melanin,

enzim tirosinase dan proses melanogenesis. Melanosom merupakan organel

spesifik yang dibentuk oleh melanosit yang merupakan tempat pembentukan

melanin sekaligus sebagai alat transport melanin dari melanosit menuju

keratinosit. Melanin merupakan pigmen yang dihasilkan oleh melanosit dari

polimerisasi dan oksidasi pada proses melanogenesis dan pembentukannya

memerlukan ada enzim tirosinase berlokasi di dalam kromosom. Pigmentasi

kulit tergantung pada beberapa pengaruh termasuk faktor keturunan/genetik

(warna kulit konstitutif). Faktor genetik mempengaruhi ukuran suatu melanin

epidermis dan melanosom serta produksi melanin. Faktor lingkungan seperti


17

pajanan sinar matahari meningkatkan kegiatan enzim tirosinase sehingga

meningkatkan produksi melanin dan penimbunannya di dalam keratinosit

sehingga mencoklat (tanning) (Mamoto et al., 2013) .

Melanokortin terdiri atas α-MSH, β-MSH, δ-MSH (gamma

Melanocyte Stimulating Hormone) dan Adrenokortikotropin (ACTH) yang

berasal dari proopiomelanocortin (POMC). Dalam mengatur pigmentasi kulit,

melanokortin berikatan dengan reseptornya yaitu MC1R yang terletak pada

permukaan melanosit. Aktivitas MC1R diatur oleh faktor intrinsik dan

ektrinsik dan paling penting adalah radiasi sinar ultraviolet matahari.

Keratinosit dan melanosit menyekresikan melanokortin khususnya α-MSH dan

ACTH sebagai respon terhadap radiasi ultraviolet matahari. Hormon-hormon

tersebut berperan sebagai faktor parakrin dan autokrin terhadap melanosit

dalam pengaturan pigmentasi kulit yang diinduksi oleh radiasi ultraviolet

matahari (Mamoto et al., 2013) .

C. Melanin

Melanin adalah komponen kimia yang sangat relevan untuk

perlindungan kulit terhadap radiasi ultraviolet. Paparan radiasi berlebihan

menjadi penyebab utama terjadinya kanker kulit. Namun, gangguan pada

produksi melanin dapat menyebabkan penyakit seperti albinisme (ditandai oleh

tidak adanya produksi melanin), melisma (gangguan hiperpegmentasi kulit),

atau bahkan kanker kulit. Gangguan kulit berhubungan langsung dengan

aktivitas tirosinase, merupakan enzim yang sebagai kunci dalam proses

melanogenosis (Barros et al., 2019) .

Melanin merupakan pigmen kecokelatan yang dapat melindungi

jaringan kulit dari hamburan sinar uv. Proses pembentukan melanin pada

manusia terjadi dengan bantuan biokatalis (enzim) dan sinar uv cahaya


18

matahari. Biokatalis yang berperan dalam reaksi pencoklatan ini adalah

tirosinase. Peranan tirosinase adalah mempercepat terbentukmya melanin dari

tirosin, bahkan bila produksi melanin berlebih dapat mengarah pada terjadinya

penumpukan melanin pada permukaan kulit (hiperpigmentasi). Reaksi

pencoklatan oleh tirosinase dapat diinhibisi (dihambat) oleh suatu penghambat

reaksi enzimatis berupa ion atau molekul yang disebut tirosinase (Putri &

Supriyanti, 2010) .

Terdapat dua tipe pigmen melanin utama, antara lain (Mamoto et

al., 2013) :

1. Eumelanin

Pigmen ini memberikan warna coklat atau coklat gelap dan hitam.

Tidak larut dalam semua macam larutan, mempunyai berat molekul tinggi,

mengandung nitrogen dan terjadi oleh karena proses oksidasi dan

polimerisasi bentuk 5,6 dihidroksiindol dan 5,6 dihidroksiindol 2 asam

karboksil.

2. Feomelanin

Pigmen ini memberi warna cerah, yaitu kuning hingga coklat

kemerahan. Larut terutama dalam alkali, mengandung nitrogen dan sulfur

dan terjadi oleh karena proses polimerisasi sistenil dopa.

Selain itu juga dikenal tipe pigmen yang lain, yaitu oksimelanin,

trichrome, melanin campuran (mixed type melanins) dan neuromelanin.

Fungsi melanin diantaranya, memberi warna pada kulit, sebagai substansi

fotoproteksi (tabir surya alami), sebagai komponen pengikat obat (drugs

binding-agents), sebagai “energy tranducer” melanin mampu mengubah

beberapa bentuk energy menjadi panas dan kemudian dilepaskan (Mamoto

et al., 2013) .
19

D. Enzim Tirosinase

Tirosinase yang disebut juga polifenol oksidase merupakan enzim

mono-oksigenase yang memiliki gugus ion loga (Cu2+). Tirosinase

memiliki berat molekul sebesar 113.000 dalton. Enzim ini terdapat pada

mikroorganisme, tanaman dan hewan. Pada jamur dan vertebrata, enzim

trosinase mengkatalisis laju pembentukan pigmen melanin yakni

mengkatalisis tiga macam reaksi yaitu hidroksilasi L-tirosinase akan

mengubah tirosin menjadi L-3,4-dihidroksifenilalanin (L-DOPA) menjadi

dopakuinon, yang kemudian dikonversi melalui tahap transformasi

menjadi melanin (Chang, 2009) .

Tirosinase mengkatalisasi oksidasi dari kedua monophenol

(aktivitas cresolase atau monophenolase) dan o-difenol (aktivasi

katekolase atau difenolase) menjadi o-kuinon reaktif. Istilah tirosinase

mengacu pada substrat khasnya yaitu tirosin. Kedua aktivitas tirosinase

tampaknya memiliki kekhususan substrat yang luas, meskipun enzim

tersebut memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk isomer L substrat

daripada untuk isomer D yang sesuai. Investigasi Biokimia pertama

dilakukan pada tahun 1895 pada jamur Russula nigricans, yang dagingnya

pada saat dipotong berwarna merah, kemudian setelahnya berubah menjadi

hitam karena terpapar udara. Sejak penelitian ini, enzim telah ditemukan

dan didistribusikan secara luas di seluruh skala filogenetik dari bakteri ke

mamalia. Tirosinase dengan ciri terbaik berasal dari Streptomyces

glausescens, jamur Neusprora crassa dan Agaricus bisporus. Dalam jamur

dan vertebrata tirosinase mengkatalisasi langkah awal dalam pembentukan

pigmen melanin dari tirosin (Chang, 2009) .


20

E. Dasar-dasar Penyiapan Simplisia

Pembuatan simplisia merupakan proses memperoleh simplisia dari

alam yang baik dan memenuhi syarat-syarat mutu yang dikehendaki. Dasar

pembuatan simplisia meliputi beberapa tahapan (Mukhriani, 2014) .

1. Teknik Pengumpulan

Panen merupakan salah satu rangkaian tahapan dalam proses

budidaya tanaman obat. Waktu, cara pemmanenan dan penanganan bahan

setelah panen merupakan periode kritis yang sangat menentukan kualitas

dan kuantitas hasil tanaman. Oleh karena itu, waktu dan cara panen serta

penanganan tanaman yang tepat dan benar merupakan faktor penentu

kualitas dan kuantitas. Setiap jenis tanaman memiliki waktu dan cara

panen yang berbeda. Tanaman yang dipanen buahnya memiliki waktu dan

cara panen yang berbeda dengan tanaman yang dipanen berupa bijinya,

rimpang, daun, kulit dan batang. Begitu juga tanaman yang mengalami

stres lingkungan akan memiliki waktu panen yang berbeda meskipun jenis

tanamannya sama (Mukhriani, 2014) .

Pengumpulan atau panen dapat dilakukan dengan tangan atau

menggunakan alat (mesin). Apabila pengambilan dilakukan secara

langsung (pemetikan) maka harus memperlihatkan keterampilan si

pemetik, agar diperoleh tanaman atau bagian tanaman yang dikehendaki,

misalnya dikehendaki daun yang muda, maka daun yang tua jangan dipetik

dan jangan merusak bagian tanaman lainnya, misalnya jangan

menggunakan alat yang terbuat dari logam untuk simplisia yang

mengandung senyawa fenol dan glikosa (Mukhriani, 2014) .


21

2. Waktu Pengumpulan

Kadar kandungan zat aktif suatu simplisia ditentukan oleh waktu

panen, umur tanaman, bagian tanaman yang diambil dan lingkungan

tempat tumbuhnya. Pada umumnya waktu pengumpulan daun,

dikumpulkan sewaktu tanaman berbunga dan sebelum buah menjadi

masak, contohnya daun Athropa belladonna mencapai kadar alkaloid

tertinggi pada pucuk tanaman saat mulai berbunga. Tanaman yang

berfotosintesis diambil daunnya saat reaksi fotosintesis sempurna yaitu

pukul 09.00-12.00. Pemanenan daun dilakukan pada saat tanaman telah

tumbuh maksimal dan sudah memasuki periode matang fisiologis dan

dilakukan dengan memangkas tanaman. Pemangkasan dilakukan dengan

menggunakan pisau yang bersih atau gunting stek. Pemanenan yang terlalu

cepat menyebabkan hasil produksi yang diperoleh rendah dan kandungan

bahan-bahan aktifnya juga rendah, seperti tanaman jati dapat dipanen pada

umur 1-1,5 tahun. Demikian juga dengan pemanenan yang terlambat

menyebabkan daun mengalami penuaan (senenscence) sehingga mutunya

rendah karena bahan aktifnya sudah terdegradasi. Pada beberapa tanaman

pemanenan yang terlambat akan mempersulit proses panen (Mukhriani,

2014) .

3. Teknik pengolahan

a. Penyortiran (Sortir Basah)

Penyortiran basah dilakukan setelah selesai panen dengan tujuan

untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing, bahan yang

tua dengan bahan yang muda atau bahan yang ukurannya lebih besar atau

lebih kecil. Bahan nabati yang baik memiliki kandungan campuran bahan

organik asing tidak lebih dari 2%. Proses penyortiran pertama bertujuan
22

untuk memisahkan bahan yang muda dan tua untuk mengurangi jumlah

pengotor yang ikut terbawa dalam bahan (Mukhriani, 2014) .

b. Pencucian

Pencucian bertujuan menghilangkan kotoran-kotoran dan

mengurangi mikroba-mikroba yang melekat pada bahan. Pencucian harus

segera dilakukan setelah panen karena dapat mempengaruhi mutu bahan.

Pencucian menggunakan air bersih seperti air dari mata air, sumur atau

PAM. Penggunaan air kotor menyebabkan jumlah mikroba pada bahan

tidak akan berkurang bahkan akan bertambah. Pada saat pencucian,

perhatikan air cucian dan air bilasannya, jika masih terlihat kotor ulangi

pencucian/pembilasan sekali lagi, atau dua kali. Perlu diperhatikan bahwa

pencucian harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin untuk

menghindari larut dan terbuangnya zat yang terkandung dalam bahan

(Mukhriani, 2014) .

c. Perajangan

Perajangan pada bahan dilakukan untuk mempermudah untuk

mempermudah proses selanjutnya seperti pengeringan, pengemasan,

penyulingan, minyak atsiri dan penyimpanan. Perajangan biasanya hanya

dilakukan pada bahan yang ukurannya agak besar dan tidak lunak seperti

akar, rimpang, batang, buah dan lain-lain. Ukuran perajangan tergantung

dari bahan yang digunakan dan berpengaruh terhadap kualitas simplisia

yang dihasilkan. Perajangan terlalu tipis dapat mengurangi zat aktif yang

terkandung dalam bahan. Sedangkan, jika terlalu tebal maka pengurangan

kadar air dalam bahan agak sulit dan memerlukan waktu yang lama dalam

penjemuran dan kemungkinan besar bahan mudah ditumbuhi oleh jamur

(Mukhriani, 2014) .
23

d. Pengeringan

Setelah pencucian, bahan langsung ditiriskan di rak-rak

pengeringan pengering. Khusus untuk bahan rimpang penjemuran

dilakukan selama 4-6 hari. Selesai pengeringan dilakukan kembali

penyortiran. Pengeringan adalah suatu cara pengawetan atau pengolahan

pada bahan dengan cara mengurangi kadar air, sehingga proses

pembusukan dapat terhambat. Dengan demikian dapat dihasilkan simplisia

terstandar, tidak mudah rusak dan tahan disimpan dalam waktu yang lama.

Dalam proses ini, kadar air dan reaksi-reaksi zat aktif dalam bahan akan

berkurang, sehingga suhu dan waktu pengeringan perlu diperhatikan. Suhu

pengeringan tergantung pada jenis bahan yang dikeringkan. Pada

umumnya suhu pengeringan adalah antara 40-60ºC dan hasil yang baik

dari proses pengeringan adalah simplisia yang mengandung kadar air 10%

(Mukhriani, 2014) .

Demikian pula dengan waktu pengeringan juga bervariasi,

tergantung pada jenis bahan yang dikeringkan, seperti rimpang, kayu,

ataupun bunga. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses pengeringan

adalah kebersihan (khususnya pengeringan menggunakan sinar matahari),

kelembaban udara, aliran udara, dan tebal bahan (tidak saling menumpuk).

Pengeringan bahan dapat dilakukan secara tradisional dengan

menggunakan sinar matahari ataupun secara modern dengan menggunakan

alat pengering seperti oven, rak pengering, blower ataupun dengan fresh

dryer (Mukhriani, 2014) .

e. Penyortiran (sortir kering)

Penyortiran dilakukan bertujuan untuk memisahkan benda-benda

asing yang terdapat pada simplisia, misalnya akar-akar, pasir, kotoran


24

ungags atau benda asing lainnya. Proses penyortiran merupakan tahap

akhir dari pembuatan simplisia kering sebelum dilakukan pengemasan,

penyimpanan atau pengolahan lebih lanjut. Setelah penyortiran simplisia

ditimbang untuk mengetahui rendamen hasil dari proses pasca panen yang

dilakukan (Mukhriani, 2014) .

f. Pengemasan

Pengemasan dapat dilakukan terhadap simplisia yang sudah

dikeringkan. Jenis kemasan yang digunakan dapat berupa plastik, kertas

maupun karung goni. Persyaratan jenis kemasan yaitu dapat menjamin

mutu produk yang dikemas, mudah dipakai, tidak mempersulit

penanganan, dapat melindungi isi pada waktu pengangkutan, tidak beracun

dan tidak bereaksi dengan isi dan kalau boleh mempunyai bentuk dan rupa

yang menarik. Berikan label yang jelas pada setiap kemasan tersebut yang

isinya menuliskan ; nama bahan, bagian dari tanaman bahan yang

digunakan, tanggal pengemasan, nomor/kode produksi, nama/alamat

penghasil, berat besih, metode penyimpanan (Mukhriani, 2014) .

g. Penyimpanan

Penyimpanan simplisia dapat dilakukan di ruang biasa (suhu

kamar) ataupun ruang ber AC. Ruang tempat penyimpanan harus bersih,

udaranya cukup kering dan berventilasi. Ventilasi harus cukup baik karena

hama menyukai udara yang lembab dan panas (Mukhriani, 2014) .

F. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya

dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika

tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan

konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan


25

dari sampel dengan penyaringan. Ekstrak awal sulit dipisahkan melalui teknik

pemisahan tunggal untuk mengisolasi senyawa tunggal. Oleh karena itu,

ekstrak awal perlu dipisahkan kedalam fraksi yang memiliki polaritas dan

ukuran molekul yang sama (Mukhriani, 2014).

Salah satu metode yang digunakan untuk penemuan obat tradisional

adalah metode ekstraksi. Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada sifat

bahan dan senyawa yang akan diisolasi. Sebelum memilih suatu metode, target

ekstraksi perlu ditentukan terlebih dahulu. Ada beberapa target ekstraksi,

diantaranya, (Mukhriani, 2014) :

a. Senyawa bioaktif yang tidak diketahui.

b. Senyawa yang tidak diketahui ada pada suatu organisme.

c. Sekelompok senyawa dalam suatu organisme yang berhubungan

secara struktural.

d. Semua senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh suatu

sumber tetapi tidak dihasilkan oleh sumber lain dengan kontrol yang

berbeda, misalnya dua jenis dalam marga yang sama atau jenis yang

sama tetapi berada dalam kondisi yang berbeda.

e. Identifikasi seluruh metabolit sekunder yang ada pada suatu

organisme untuk studi sidik jari kimiawi dan studi metabolomik.

Proses ekstraksi khususnya untuk bahan yang berasal dari tumbuhan

adalah sebagai berikut, (Mukhriani, 2014) :

a. Pengelompokkan bagian tumbuhan (daun, bunga, dll), pengeringan

dan penggilingan bagian tumbuhan.

b. Pemilihan pelarut :

1) Pelarut polar: air, etanol, metanol, dan sebagainya.

2) Pelarut semipolar: etil asetat, diklorometan, dan sebagainya.


26

3) Pelarut nonpolar: n-heksan, potreleum eter, kloroform, dan

sebagainya.

Jenis-jenis metode ekstraksi yang dapat digunakan, (Mukhriani, 2014) :

a. Maserasi

Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak

digunakan. Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri.

Metode ini dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman dan pelarut

yang sesuai kedalam wadah inert yang tertutup rapat pada suhu kamar.

Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara

konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman.

Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan

penyaringan. Kerugian utama dari metode maserasi ini adalah memakan

banyak waktu, pelarut yang digunakan cukup banyak, dan besar

kemungkinan beberapa senyawa hilang. Selain itu, beberapa senyawa

mungkin saja sulit diekstraksi pada suhu kamar. Namun di sisi lain,

metode maserasi dapat menghindari rusaknya senyawa-senyawa yang

bersifat termolabil.

b. Ultrasound – Assisted Solvent

Merupakan metode maserasi yang dimodifikasi dengan

menggunakan bantuan ultrasound (sinyal dengan frekuensi tinggi 20 kHz).

Wadah yang berisi serbuk sampel ditempatkan dalam wadah ultrasonic

dan ultrasound. Hal ini dilakukan untuk memberikan tekanan mekanik

pada sel hingga menghasilkan rongga pada sampel. Kerusakan sel dapat

menyebabkan peningkatan kelarutan senyawa dalam pelarut dan

meningkatkan hasil ekstraksi.


27

c. Perkolasi

Pada metode perkolasi, serbuk sampel dibasahi secara perlahan

dalam sebuah perkolator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran

pada bagian bawahnya). Pelarut ditambahkan pada bagian atas serbuk

sampel dan dibiarkan menetes perlahan pada bagian bawah. Kelebihan dari

metode ini adalah sampel senantiasa dialiri oleh pelarut baru. Sedangkan

kerugiannya adalah jika sampel dalam perkolator tidak homogen maka

pelarut akan sulit menjangkau seluruh area. Selain itu, metode ini juga

membutuhkan banyak pelarut dan memakan banyak waktu.

d. Soxhlet

Metode ini dilakukan dengan menempatkan serbuk sampel dalam

sarung selulosa (dapat digunakan kertas saring) dalam klonsong yang

ditempatkan diatas labu dan dibawah kondensor. Pelarut yang sesuai

dimasukkan ke dalam labu dan suhu penangas diatur di bawah suhu

refluks. Keuntungan dari metode ini adalah proses ekstraksi yang

kontinyu, sampel terekstraksi oleh pelarut murni hasil kondensasi sehingga

tidak membutuhkan banyak pelarut dan tidak memakan banyak waktu.

Kerugiannya adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi

karena ekstrak yang diperoleh terus-menerus berada pada titik didih.

e. Reflux dan Destilasi Uap

Pada metode reflux sampel dimasukkan bersama pelarut kedalam

labu yang dihubungkan dengan kondensor. Pelarut dipanaskan hingga

mencapai titik didih. Uap terkondensasi dan kembali kedalam labu.

Destilasi uap memiliki proses yang sama dan biasanya digunakan

untuk mengekstraksi minyak esensial (campuran berbagai senyawa

meguap). Selama pengemasan, uap terkondensasi dan destilat (terpisah


28

sebagai 2 bagian yang tidak saling bercampur) ditampung dalam wadah

yang terhubung dengan kondensor. Kerugian dari kedua metode ini adalah

senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi.

G. Tinjauan Islam

Dalam Al-Qur’an, menyebutkan tentang potensi tumbuh-tumbuhan

untuk dimanfaatkan oleh manusia. Sebagaimana yang telah dijelaskan

dalam Q.S. Al-An’am (6) ayat 99 :

       


        
       
     
       
       

Terjemahannya:

“Dan dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan

dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan Maka kami keluarkan dari

tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. kami keluarkan dari

tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma

mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan

(Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak

serupa. perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan

pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada

tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman”

(Departemen, 2014) .
29

Pada ayat ini mengurai kumpulan hal-hal yang disebut

sebelumnya, bermula dengan menegaskan bahwa Dan Dia juga bukan

selain-Nya yang telah menurunkan air, yakni dalam bentuk hujan yang

deras dan banyak dari langit, lalu kami, yakni Allah subhānahu wata’āla,

mengeluarkan yakni menumbuhkan disebabkan olehnya, yakni akibat

turunnya air itu, segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan

darinya, yakni dari tumbuh-tumbuhan itu, tanaman yang menghijau, butir

yang saling bertumpuk, yakni banyak, padahal sebelumnya ia hanya satu

biji atau benih (Shihab, 2002) .

Komentar beliau tentang ayat ini, al-Muntakhab fi at-Tafsir yang

ditulis oleh sejumlah pakar mengemukakan bahwa: Ayat tentang tumbuh-

tumbuhan ini menerangkan proses penciptaan buah yang tumbuh dan

berkembang melalui beberapa fase hingga sampai pada fase kematangan,

pada saat mencapai fase kematangan itu, suatu jenis buah mengandung

komposisi zat gula, minyak, protein, berbagai zat karbohidrat, dan zat

tepung. Semua itu terbentuk atas bantuan cahaya matahari yang masuk

melalui klorofil pada umumnya terdapat pada bagian pohon yang berwarna

hijau terutama pada daun. Daun itu ibarat pabrik yang mengolah

komposisi zat-zat tadi untuk didistribusikan ke bagian-bagian pohon yang

lain, termasuk biji dan buah (Shihab, 2002) .

Lebih dari itu, ayat ini menerangkan bahwa air hujan adalah

sumber air bersih satu-satunya bagi tanah. Sedangkan matahari adalah

sumber semua kehidupan, tetapi hanya tumbuh-tumbuhan yang dapat

menyimpan daya matahari itu dengan perantaraan klorofil untuk kemudian

menyerahkannya kepada manusia dan hewan dalam bentuk bahan

makanan organik yang dibentuknya (Shihab, 2002) .


30

Bagian akhir ayat ini disebutkan: perhatikanlah buahnya di waktu

(pohonnya) berbuah, dan kematangannya. Perintah ini mendorong

perkembangan ilmu tumbuh-tumbuhan (botani) yang sampai saat ini

mengandalkan metode pengamatan bentuk luar seluruh organnya dalam

semua fase perkembangannya (Shihab, 2002) .

Dalam ayat lain juga disebutkan bahwa Allah menciptakan segala

sesuatu tidak ada yang sia-sia seperti tumbuh-tumbuhan. Sesuai dengan

firman Allah swt dalam QS. Asy-syu’ara (26) ayat : 7 :

         
 
Terjemahannya:

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya

kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang

baik?” (Departemen, 2014) .

Dalam ayat ini adakah mereka akan terus mempertahankan

kekufuran dan pendustaan serta tidak merenungi dan mengamati sebagian

ciptaan Allah dibumi ini? Sebenarnya jika mereka mengamati dan

merenungi hal itu niscaya mereka akan mendapat petunjuk. Kamilah yang

mengeluarkan dari bumi ini beraneka ragam tumbuh-tumbuhan yang

mendatangkan manfaat. Dan itu semua hanya dapat dilakukan oleh Allah

yang Maha Esa dan Maha Kuasa (Shihab, 2002) .


31

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Lokasi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian eksperimen laboratorium

berdasarkan pada model penelitian true eksperimental yang merupakan bagian

dari penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui konsentrasi minimum

inhibitor tirosinase pada ekstrak daun seribu (Achillea millefolium L.) .

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dan

Laboratorium Biomolekuler dan Seluler Rumah Sakit Pendidikan Universitas

Hasanuddin.

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu penelitian kuantitatif yaitu

analisis data berupa angka atau bilangan.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi yang digunakan adalah tanaman daun seribu (Achillea

millefolium L.) .

2. Sampel
32

Sampel yang digunakan adalah daun seribu (Achillea millefolium L.)

diperoleh dari kelurahan Bonepute, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten

Luwu.

D. Instrumen Penelitian / Pengumpulan Data

1. Alat-alat yang digunakan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah batang pengaduk,

bejana maserasi, cawan porselin, desikator, erlenmeyer, gelas kimia, gelas arloji,

gelas ukur, hot plate, mikropipet, mikro plate reader 96 well, oven, pH meter,

pipet mikro, sendok besi, tabung ependorf, tabung reaksi, rotavapor, timbangan

analitik, vial.

2. Bahan-bahan yang digunakan

Bahan-bahan yang digunakan adalah air suling, aluminium foil, Asam

asetat anhidrat (AC2O), asam klorida (HCL) 2 N, asam kojic, asam sulfat pekat

(H2SO4), besi (III) klorida (FeCl3), ekstrak daun seribu (Achillea millefolium L.),

dimetilsulfoksida (DMSO), eter, enzim tirosinase 25 KU mushroom, heksan,

kalium hidroksida (KOH), kalium dihidrogen fospat (KH2PO4), kertas perkamen,

kertas saring, L-Tirosin, magnesium (Mg), metanol, natrium klorida (NaCl),

pereaksi dragendorf, pereaksi mayer, pereaksi wagner.

E. Teknik Pengolahan Sampel

1. Penyiapan Sampel (Ekstrak Achiella millefolium)

a. Pengambilan Sampel

Sampel daun seribu (Achillea millefolium L.) yang digunakan, diperoleh

dari Kelurahan Bonepute, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu,

Sulawesi Selatan, Indonesia.


33

b. Pengolahan Sampel

Sampel daun seribu (Achillea millefolium L.) yang diperoleh ditimbang,

kemudian dilakukan sortasi basah dengan cara sampel dibersihkan dan dicuci,

setelah itu dilakukan sortasi kering, lalu dilakukan perajangan pada sampel

tersebut, kemudian dikeringkan didalam lemari pengering .

c. Ekstraksi Sampel

Sampel daun seribu (Achillea millefolium L.) yang telah diolah,

ditimbang kemudian dimasukkan kedalam bejana maserasi, lalu dituang cairan

penyari etanol 70% hingga terendam, kemudian ditutup dan didiamkan selama 1

hari, dan dilakukan pengadukan tiap 6 jam sekali. Setelah sampel larut sempurna,

selanjutnya dilakukan penyaringan dipisahkan antara ampas dan filtrat. Filtrat

yang diperoleh, kemudian dimasukkan kedalam wadah lalu di uapkan cairan

penyarinya dengan rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak yang kental.

d. Uji Kadar Air Simplisia

Penetapan kadar air simplisia ditetapkan dengan cara destilasi toluena.

Toluene yang digunakan dijenuhkan dengan air terlebih dahulu, setelah

dijenuhkan, dikocok terlebih dahulu, kemudian kembali didiamkan. Setelah

didiamkan, kedua lapisan air dan toluen akan memisah, kemudian lapisan air di

pisahkan, dan diambil lapisan toluen. Sebanyak 1 gram simplisia, setelah itu

dimasukkan kedalam labu alas bulat dan ditambahkan toluen yang telah

dijenuhkan dengan air. Alat dipasang dan dipanaskan dengan hati-hati selama 15

menit. Setelah toluen mendidih, penyulingan diatur 2 tetes/detik lalu 4 tetes/detik.

Setelah semua toluen mendidih, tabung pendingin dicuci dengan toluen sambil

dibersihkan dengan sikat kecil dan penyulingan dilanjutkan selama 5 menit.

Setelah itu, dibiarkan tabung penerima mendingin sampai sesuai dengan


34

temperatur kamar. Setelah lapisan air dan toluen memisah sempurna, dihitung

kadar air dalam % terhadap berat simplisia semula (Handayani et al., 2017) .
x1− y
% Kadar Air = x x 100%

Keterangan :

x = bobot sampel awal (g)


x 1= bobot cawan + sampel (sebelum pemanasan) (g)

y = bobot cawan + sampel (setelah pemanasan) (g)

e. Identifikasi Komponen Kimia

a. Alkaloid

Ekstrak daun seribu (Achillea millefolium L.) 0,5 gram dimasukkan

kedalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 2 ml HCl 2N, dan dipanaskan

selama 5 menit, setelah itu didinginkan dan ditambahkan NaCl untuk

mendapatkan protein-proteinnya, lalu disaring. Kemudian, ditambahkan 2 ml HCl

2N kedalam filtrate. Lalu, dibagi menjadi 3 bagian dan dimasukkan kedalam

tabung reaksi. Tabung reaksi (I) ditambahkan dragendorf yang hasilnya endapan

merah jingga, tabung reaksi (II) ditambahkan mayer menghasilkan endapan putih

kekuningan, kemudian tabung reaksi (III) ditambahkan bauchardat hasil

positifnya berupa endapan cokelat (Handayani et al., 2018) .

b. Flavanoid

Ekstrak daun seribu (Achillea millefolium L.) sebanyak 2 mL dilarutkan

dalam 2 mL metanol, kemudian ditambahkan serbuk Mg dan HCl pekat sebanyak

5 tetes. Adanya senyawa Flavanoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna

merah atau jingga (Riani et al., 2016) .

c. Glikosida

Ekstrak daun seribu (Achillea millefolium L.) ditimbang 0,2 gram, lalu

diuapkan diatas penangas air, kemudian ditambahkan 3 ml asam astetat dengan


35

sedemikian pemanasan, kemudian didinginkan. Lalu, larutan ini ditambahkan

larutan besi (III) klorida 0,3 M sehingga akan terbentuk cincin warna merah

cokelat pada batas cairan. Setelah beberapa menit, cincin akan berwarna biru

hijau, ini menunjukkan adanya glikosida dan glikon gula 2-deoksi (Dasopang,

2017) .

d. Saponin

Ekstrak daun seribu (Achillea millefolium L.) sebanyak 0,5 gram

ditambahkan 10 ml air panas kemudian didinginkan, selama 10 detik larutan

dikocok dengan kuat dan didiamkan selama 10 detik pula. Hasil positif

mengandung saponin apabila terbentuk buih setinggi 1-10 cm dan buih tidak

hilang bahkan setelah penambahan 1 tetes HCl 2N jika ekstrak positif

mengandung saponin (Handayani et al., 2018) .

e. Terpenoid

Ekstrak daun seribu (Achillea millefolium L.) sebanyak 0,5 gram ditambah

3 ml larutan kloroform, lalu diuapkan. Selanjutnya ditambahkan 2 mL asam asetat

anhidrat kedalam residu dan asam sulfat pekat 2 mL. Apabila filtratnya

menghasilkan warna kecokelatan antar permukaan maka ekstraknya positif

mengandung terpen (Utami et al., 2017) .

f. Fenol

Ekstrak daun seribu (Achillea millefolium L.) sebanyak 0,2 gram

dilarutkan dalam aquadest, dipanaskan 5 menit dan disaring, filtrat yang terbentuk

ditambahkan 4-5 tetes larutan FeCl35% . Hasil positif ditunjukkan dengan

terbentuknya warna biru tua atau hijau kehitaman (Sukmawati, 2017) .

f. Uji Penghambatan Enzim Tirosinase

a) Pembuatan Larutan Dapar Fosfat


36

Ditimbang sebanyak 2,7 gram KH 2 PO 4 dan dilarutkan dalam aquadest,

sedikit demi sedikit hingga mencukupi volume 400 mL. Diukur pH larutan

menggunakan pH meter. Ditimbang 5,6 gram KOH dan dilarutkan dalam 1000

mL aquadest. Ditambahkan larutan KOH kedalam larutan KH 2 PO 4 sampai

mencapai pH 6,8. Disimpan larutan dapar fosfat dilemari pendingin (Hartanti &

Setiawan, 2009) .

b) Pembuatan larutan L-Tirosin

Sebanyak 18,2 mg L-Tirosin dimasukkan kedalam labu tentukur 100 mL,

lalu ditambahkan dapar fosfat sedikit demi sedikit, dan dihomogenkan.

Volumenya dicukupkan hingga 100 mL dengan larutan dapar fosfat (Noor &

Magdalena, 2018) .

c) Pembuatan Larutan Enzim Tirosinase

Sebanyak 1 mg enzim tirosinase dimasukkan kedalam labu tentukur 10

mL, kemudian dilarutkan dalam 10 mL larutan dapar fosfat yang telah

didinginkan. Diletakkan larutan enzim tirosinase pada wadah yang telah di isi es

agar suhu enzim tetap stabil pada suhu dingin saat pengerjaan (Hartanti &

Setiawan, 2009) .

d) Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Daun Seribu (Achillea millefolium)

Ekstrak daun seribu (Achillea millefolium L.) ditimbang sebanyak 5 mg

lalu dilarutkan dengan bantuan DMSO sebanyak 50 µl, dan dihomogenkan

kemudian ditambahkan dengan dapar fosfat hingga 1000 µl sehingga diperoleh

larutan stok 1000 ppm. Kemudian, larutan stok diencerkan sesuai dengan

konsentrasi yang diinginkan, sehingga diperoleh larutan ekstrak dengan


37

konsentrasi masing-masing 100 ppm, 80 ppm, 60 ppm, 40 ppm, dan 20 ppm

(Sagala et al., 2019) .

e) Pembuatan Larutan Kontrol Positif Asam Kojat

Sebanyak 5 mg asam kojat dimasukkan kedalam tabung ependorf dan

dilarutkan dengan 0,05 M dapar fosfat (pH 6,5). Kemudian larutan asam kojat

diencerkan hingga diperoleh larutan asam kojat dengan konsentrasi yang sama

dengan larutan uji yaitu 100 ppm, 80 ppm, 60 ppm, 40 ppm, dan 20 ppm (Sagala

et al., 2019) .

f) Penentuan Inhibitor Tirosinase

Pengujian penghambatan Enzim tirosinase berdasarkan metode (Sagala et

al., 2019) dengan modifikasi tertentu. Sebanyak 50 µl L-Tirosin, 50 µl larutan

dapar fosfat (pH 6,8), 20 µl larutan enzim tirosinase dan 100 µl larutan sampel

dimasukkan kedalam microplate. Campurannya diinkubasi selama 5 menit pada

suhu kamar, kemudian diukur serapannya menggunakan microplate reader

(ELISA) pada panjang gelombang 490 nm. Dilakukan pengujian blanko tanpa

penambahan enzim yaitu digunakan sebanyak 170 µl larutan dapar fofat (pH 6,8),

50 µl L-Tirosin. Campuran tersebut diatas merupakan kontrol negatif tanpa

penambahan sampel dan untuk kontrol positif menggunakan asam kojat sebagai

pengganti sampel. Langkah-langkah tersebut dilakukan secara triplo.

Penentuan presentase penghambatan aktivitas tirosinase berdasarkan

rumus :
A−B
% Penghambatan tirosinase = A x 100 %
Keterangan :

A = Absorbansi sampel tanpa penambahan inhibitor

B = Absorbansi sampel dengan penambahan inhibitor


38

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z., Khaeriah, U., Zuhrina, Z., Pratama, M., & Baits, M. (2019).
Tyrosinase Inhibitor Activity Measurement of Crude and Purified Extract of
Moringa Leaves (Moringa oleifera L.). Indonesian Journal of
Pharmaceutical Science and Technology, 1(1).
https://doi.org/10.24198/IJPST.V1I1.19152
39

Barros, M. R., Menezes, T. M., da Silva, L. P., Pires, D. S., Princival, J. L.,
Seabra, G., & Neves, J. L. (2019). Furan inhibitory activity against tyrosinase
and impact on B16F10 cell toxicity. International Journal of Biological
Macromolecules, 136, 1034–1041.
https://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2019.06.120
Chang, T. S. (2009). An updated review of tyrosinase inhibitors. International
Journal of Molecular Sciences, 10(6), 2440–2475.
https://doi.org/10.3390/ijms10062440
Charissa, M., Djajadisastra, J., & Elya, B. (2017). Uji Aktivitas Antioksidan dan
Penghambatan Tirosinase serta Uji Manfaat Gel Ekstrak Kulit Batang Taya
(Nauclea subdita) terhadap Kulit. Jurnal Kefarmasian Indonesia, 6(2), 98–
107. https://doi.org/10.22435/jki.v6i2.6224.98-107
Dasopang, E. S. (2017). SKRINING FITOKIMIA DAN UJI AKTIVITAS
ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN SANGITAN (Sambucus
javanica Reinw) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Eschericia coli
DAN Salmonella thypi. BIOLINK (Jurnal Biologi Lingkungan, Industri,
Kesehatan), 4(1), 54. https://doi.org/10.31289/biolink.v4i1.966
Departemen, A. R. (2014). Al-Qur’an dan Terjemahannya. PT Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri.
Eghdami, A., Fateh, V., Asli, D. E., & Houshmandfar, A. (2011). Antioxidant
activity, total phenolic and flavonoids contents in methanolic and aqueous
extract of Achillea millefolium L. Advances in Environmental Biology, 5(5),
929–932.
Handayani, S., Najib, A., & Wati, N. P. (2018). UJI AKTIVITAS
ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAUN DARUJU (Acanthus ilicifolius L.)
DENGAN METODE PEREDAMAN RADIKAL BEBAS 1,1-DIPHENYIL-
2-PICRYLHIDRAZIL (DPPH). Jurnal Fitofarmaka Indonesia, 5(2), 299–
308. https://doi.org/10.33096/jffi.v5i2.414
Handayani, S., Wirasutisna, K., & Insanu, M. (2017). Penapisan Fitokimia Dan
Karakterisasi Simplisia Daun Jambu Mawar ( Syzygium jambos Alston)
Selpida. Jf Fik Uinam, 5(3), 177–179.
Hartanti, L., & Setiawan, H. K. (2009). INHIBITORY POTENTIAL OF SOME
SYNTHETIC CINNAMIC ACID DERIVATIVES TOWARDS TYROSINASE
ENZYME Daya Hambat Beberapa Turunan Asam Sinamat SintetikTerhadap
Enzim Tirosinase. 9(1), 158–168.
Isfardiyana, S., & Safitri, S. (2014). Pentingnya melindungi kulit dari sinar
ultraviolet dan cara melindungi kulit dengan sunblock buatan sendiri. Jurnal
Inovasi Dan Kewirausahaan, 3(2), 126–133.
Ismail, I. (2013). Formulasi kosmetik: Produk Perawatan Kulit dan rambut. UIN
Pres.
Kurniasari, A., Anwar, E., & Djajadisastra, J. (2018). Potensi Ekstrak Biji Coklat
(Theobroma cacao Linn) sebagai Inhibitor Tirosinase untuk Produk Pencerah
Kulit. Jurnal Kefarmasian Indonesia, 8(1), 34–43.
https://doi.org/10.22435/jki.v8i1.7722.34-43
Mamoto, N., Kalangi, S., & Karundeng, R. (2013). Peran Melanokortin Pada
Melanosit. Jurnal Biomedik (Jbm), 1(1).
https://doi.org/10.35790/jbm.1.1.2009.805
Mukhriani. (2014). Farmakognosi Analisis (Dr. Andi Suarda (ed.)). Alauddin
University Press.
Noor, S. U., & Magdalena, P. (2018). Uji Aktivitas Inhibisi Enzim Tirosinase In-
Vitro Krim Ekstrak Akar Manis ( Glycyrrhiza glabra L .) ( In Vitro Enzyme
Tyrosinase Inhibitory Activity Test on Liquorice Root Extract Cream
( Glycyrrhiza glabra L .). 16(2), 150–158.
40

Oliver, J. (2013). 済無 No Title No Title. Journal of Chemical Information and


Modeling, 53(9), 1689–1699.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Pearce, E. C. (2011). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. PT Gramedia
Pustaka Utama.
Putri, W. S., & Supriyanti, F. T. (2010). Penentuan aktivitas dan jenis inhibisi
ekstrak metanol kulit batang. Jurnal Sains Dan Teknologi Kimia, 1(1), 94–
99.
Sagala, Z., Pratiwi, R. W., & Azmi, N. U. (2019). UJI AKTIVITAS INHIBISI
TERHADAP ENZIM TIROSINASE DARI EKSTRAK ETANOL DAUN
PEPAYA ( Carica papaya L .) SECARA IN VITRO. 7(2), 34–38.
Setiadi. (2007). Anatomi dan Fisiologi Manusia (Cetakan I). Graha Ilmu.
Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
qur’an. Lentera Hati.
Sukmawati, S. N. (2017). KARAKTERISASI STRUKTUR SENYAWA KUMARIN
GLIKOSIDA DARI BIJI BUAH RAMBUTAN ( Nephelium lappaceum L .).
6(3), 2–6.
Trumbeckaite, S., Benetis, R., Bumblauskiene, L., Burdulis, D., Janulis, V.,
Toleikis, A., Viškelis, P., & Jakštas, V. (2011). Achillea millefolium L. s.l.
herb extract: Antioxidant activity and effect on the rat heart mitochondrial
functions. Food Chemistry, 127(4), 1540–1548.
https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2011.02.014
Utami, Y. P., Umar, A. H., Syahruni, R., & Kadullah, I. (2017). Standardisasi
Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Leilem ( Clerodendrum. Journal of
Pharmaceutical and Medicinal Sciences, 2(1), 32–39.
大塚 美緒子 1 , 本間 亮英 1 , 長谷川 靖洋 1 (1.埼玉大工) ○. (2016).
026602(2015), 26602.
41

Anda mungkin juga menyukai