Anda di halaman 1dari 14

PENCAPAIAN MA’RIFATULLAH DALAM PERSPEKTIF SYAIKH

ABDUL QADIR AL-JAILANI


Oleh: Makhfira Nuryanti, S. Ud
ABSTRAK

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ingin menuntun setiap manusia untuk berkekasihkan
Allah dengan jalan ma‟rifatullah. Keharusan bagi setiap hamba ialah untuk mengenal
(ma‟rifah) Sang Pencipta. Jika manusia mengenal sesuatu tetapi tidak mengenal Allah,
maka seolah-olah mereka tidak mengenal sesuatu itu. Salah satu tanda seorang hamba
yang telah mengenal Allah ialah ia senantiasa berjalan dengan syari’at-Nya. Sebaliknya,
jika ia tidak mengenal Allah maka akan sulit untuknya memahami apa yang
diperintahkan dan apa yang dilarang oleh Allah. Akibatnya, ia akan jatuh pada
perbuatan-perbuatan yang buruk. Logikanya, ketika seseorang melakukan hal-hal di luar
yang diperintahkan Allah, maka itu berarti ia sudah berani mengubah hukum Allah, dari
yang tidak boleh menjadi boleh. Itu dikarenakan jauhnya manusia dari pengenalan
terhadap Tuhannya. Untuk sampai pada derajat ma‟rifah, seorang salik harus melewati
maqam taubat, zuhud, tawakal, syukur, sabar, ridha, dan berlaku benar. Jika ia
sempurna dalam pencapaian tersebut maka ia akan menjadi kekasih Allah yang buta,
bisu, dan tuli akan selain Allah. Seorang „arif akan memancarkan aura positif dari
dalam dirinya yang dapat ditangkap sekitarnya.

PENDAHULUAN

Manusia diciptakan untuk mengenal Allah. Begitulah kalimat yang sering


muncul dalam beberapa karya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, yang selanjutnya disebut
dengan Syaikh Abdul Qadir. Seandainya manusia tidak mengenal Allah, maka akan
sangat sulit bagi manusia untuk menyembah dan memohon pertolongan-Nya. Dalam hal
ini, hikmah atau ilmu sangat diperlukan untuk mengenal Allah Swt., dengan
menyingkap tirai hitam yang menutupi cermin hati. Allah Swt. ibarat harta yang
tersembunyi dan ingin dikenali, maka dijadikanlah makhluk untuk mengenal-Nya.1
Untuk mengenal Allah, seorang hamba melakukannya dengan cara
merenungkan hasil ciptaan-Nya. Dengan merenungi kehebatan ciptaan-Nya, manusia

1
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Sufi, terj. Abdul Majid Hj. Khatib, Cet. XXIII,
(Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2008), 14.
akan dapat merasakan kehadiran Allah Swt.2 Tanda ma‟rifah (kenal) adalah cinta. Siapa
yang mengenal Allah (berma‟rifatullah), maka ia akan mencintai Allah. Sedangkan
bukti kecintaan kepada Allah adalah mengutamakan-Nya dari pada dunia dan hal-hal
lain selain-Nya.3
Jalan utama untuk mengarungi samudera cinta adalah dengan melalui pintu
ma‟rifah yang benar kepada Allah, dan menyerap ma‟rifah tersebut lewat akal dan hati.
Seperti halnya perkataan dari Ibnu Taimiyah bahwa asal sebuah cinta adalah ma‟rifah
kepada Allah.4 Untuk mempermudah jalan dalam berma‟rifah kepada Allah, manusia
harus bisa melepaskan diri dari jeratan dunia yang sejatinya hanya akan membinasakan.
Selama seseorang masih memelihara dirinya sendiri, maka ia masih terhalang
dari Tuhannya. Tanda cinta kepada akhirat adalah sikap asketis terhadap hal-hal
duniawi, dan tanda cinta kepada Allah adalah ketidakbutuhan terhadap hal-hal selain
Allah. Ketika itulah ma‟rifahnya dengan Allah telah mencapai kesempurnaan. Ia pun
menjadi bebas dari selain Allah, asing di dunia dan akhirat, hilang dan lenyap dari
segala.5

KONSEP MA’RIFAH SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

Mengenai ma‟rifah, Syaikh Abdul Qadir berkata bahwa ma‟rifah adalah


ditampakkan berbagai rahasia alam, menyaksikan al-Haqq di seluruh benda dengan
pancaran ke-Esaan-Nya yang memancar dari seluruh benda dan menguasai ilmu hakikat
ketika berada dalam kondisi fana (luruh) dari segala sesuatu. Sesungguhnya efek yang
tersisa isyarat al-Baaqi dengan penampakan (talwih) adalah ke-Maha Wibawaan Allah.
Sedangkan efek dari pemancaran (talmii‟) di atas adalah ke-Agungan Ilahi yang disertai
dengan penglihatan bathin.6
Merupakan suatu kondisi ketika seorang salik mampu melihat Allah Swt.
dengan hati mereka, hingga bagian-bagian yang terpencar berkumpul menjadi satu

2
Permadi Alibasyah, Bahan Renungan Kalbu: Penghantar Mencapai Pencerahan Jiwa, Cet.
XVI, (Jakarta: Yayasan Mutiara Tauhid, 2005), 128.
3
Muhammad Solikhin, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syaikh „Abdul Qadir al-Jailani,
(Yogyakarta: Mutiara Media, 2009), 124.
4
Muhammad Syarif Musa, Quantum Cinta: Bagaimana Melejitkan Kualitas Cinta kepada-Nya,
terj. Ahmad Yaman Syamsuddin, (Solo: Insan Kamil, 2008), 17.
5
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia-rahasia Agung Berjumpa Allah: Lautan Hikmah
Kekasih Allah, 62 Pedoman Hidup Untuk Menjadi Kekasih Allah, Terj. Kamran As’ad Irsyadi,
(Yogyakarta: Diva Press, 2007), 112.
6
Syaikh Muhammad bin Yahya al-Tadafi, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Mahkota Para Aulia,
Terj. A. Kasyful Anwar, Cet. II, (Jakarta: Prenada, 2005), 188.
entitas. Dengannya hijab antara ia dan Sang Khaliq akan lebur, maka tidak ada siapa-
siapa lagi bagi mereka selain Allah Swt.7 Ia menguasai ilmu hakikat, dengannya ia
dapat melihat apa yang diciptakan oleh Allah di bumi dengan kasat mata, dan dengan
mata bathin ia dapat melihat apa yang diciptakan Allah di langit. Jika dapat melihat
keduanya, maka Allah akan membuka hijab penghalang dalam hatinya, sehingga ia
akan bisa melihat-Nya tanpa penyerupaan dan konfigurasi.
Hikmah atau ilmu dibutuhkan dalam diri seseorang untuk mengenal Sang
Pemberi kehidupan. Hikmah atau ilmu tersebut dapat diperoleh dengan menyingkap
tirai hitam yang menutupi cermin hati seseorang, membersihkan dan mengilaukannya
sampai bersih sehingga keindahan Tuhan yang terbayang pada cermin hati itu akan
tampak dan tidak akan menghalangi pengetahuannya akan Tuhan.8
Allah ibarat harta yang tersembunyi dan ingin dikenali. Maka dijadikan-Nya
makhluk untuk mengenal Dia. Oleh, karena itu, manusia hendaknya mencari ilmu untuk
mengenal Allah Swt. Dengan ini, menjadi jelas bahwa tujuan Allah menciptakan insan
adalah agar mereka mencari ilmu untuk mengenali-Nya. Ada dua peringkat ilmu
(ma‟rifah) menurut Syaikh Abdul Qadir, yaitu:
a. Ilmu untuk mengenal sifat Allah Swt. dan penzahir kekuasaan-Nya
b. Ilmu untuk mengenal Dzat Allah „Azza wa Jalla9
Pencapaian suluk akan membawa seorang salik kepada ma‟rifah, karena apabila
hati manusia telah berpaling dari dunia, mulailah proses pembersihan hati pada dirinya.
Hati yang bersih dan suci itu akan bergerak menuju Tuhan dengan jalan ma‟rifah.
Tetapi hal tersebut sulit tercapai apabila belum mengenal lika-liku jalan yang harus
ditempuh.10
Mereka yang tidak mengenal hal tersebut, berarti mereka buta tentang ma‟rifah.
Tidak akan tercapai ma‟rifah, melainkan setelah bersabar dan berusaha untuk
mencapainya. Dengan kesabaran dan usahanya, akhirnya ma‟rifah itu akan
mencapainya juga. Apabila telah menyadari bahwa Allah Swt. adalah Yang Esa, Yang
Memberi dan Yang Mengarahkan segala yang ada, maka hatinya akan bergantung
kepada-Nya dan merasa senang berada di sisi hadirat-Nya.11

7
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia..., 182.
8
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Sufi..., 14-15.
9
Ibid.
10
Ibid., 316
11
Ibid., 317.
Setelah seseorang berada pada tingkatan ma‟rifah ini, seorang „arif (ahli
ma‟rifah) akan mengenal rahasia-rahasia Allah Swt. Allah memperkenalkan rahasia-
rahasia-Nya kepada mereka hanya apabila hati mereka hidup dan sadar melalui
dzikrullah. Dan hati memiliki bakat, hasrat, dan keinginan untuk menerima rahasia
ketuhanan.12
Mereka yang telah berma‟rifah dan memiliki kekuatan taqarrub kepada Allah,
maka hamba tersebut akan menjelma menjadi tabib bagi para makhluk, mewakili
kedudukan Allah. Dunia, akhirat, jin, manusia, malaikat dan ruh akan melayaninya. Dia
dianugerahi derajat kewalian dan khalifah, akan dihamparkan segala khazanah, ditolong
oleh langit, bumi dan isinya, karena kedudukannya dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla,
karena kebeningan bathin dan sirr-nya, serta cahaya hatinya.13
Segala hal yang selain daripada Allah dan mendiami hati seorang hamba berarti
adalah sesuatu yang harus dihilangkan dan disingkirkan. Dengan demikian, hamba
tersebut akan melihat penghuni rumah yang sesungguhnya (yakni Allah) akan berada di
dalamnya, dan hamba tersebut akan melihat dan merasakan keajaiban yang belum
pernah dilihat sebelumnya.
Oleh karena itu, pencarian samudera ma‟rifah ini harus dilakukan dengan penuh
kesungguhan. Setelah seorang salik mengenal Allah, maka ia akan juga mengenal yang
selain-Nya. Hal tersebut harus dengan landasan kecintaan yang menyeluruh kepada
Allah. Pengenalan terhadap Allah juga meniscayakan sikap yang penuh perhatian,
menta‟ayim tidak bermaksiat kepada-Nya, menuruti perintah dan tidak menyimpang,
ridha terhadap semua qadha-Nya dan tidak menolak-Nya, memikirkan ciptaan-Nya,
serta memahami asma dan sifat-Nya dalam pribadi sehari-hari. Lisannya tiada terputus
dalam penentangan kepada-Nya. Walaupun bumi berjalan mengitarinya, berubah dan
berganti, tetapi mereka selalu berada dalam penjagaan.14
Hatinya selalu berada dalam kekhawatiran dan kegundahan di hadapan Allah
Swt. Setiap kali tersingkap kepuasan terhadap keagungan dan kebesaran dalam hati
mereka (kasyf), mereka semakin bertambah takut kepada Allah. Karena itu, baginya

12
Ibid., 117.
13
Muhammad Sholikhin, Menyatu Diri Dengan Ilahi: Ma‟rifah Ruhani Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani dan Perspektifnya Terhadap Paham Manunggaling Kawula Gusti, (Yogyakarta: Narasi, 2010),
423.
14
Habib Abdullah Zakiy al-Kaaf, Ajaran Tasawuf Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Petunjuk Jalan
Menuju Ma‟rifatullah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), 91.
selalu terbuka pintu rahmat, kebaikan, kemurahan, dan harapan, yang menyebabkan
mereka dapat tinggal dengan apa yang mereka miliki.15 Syaikh Abdul Qadir
menyebutkan beberapa hal yang bisa menjadi faktor berma‟rifah kepada Allah, antara
lain meninggalkan penentangan kepada-Nya, menghindari penyimpangan dari-Nya, dan
ridha atas pengaturan-Nya.16
Ketika tidak ada lagi hijab yang menghalangi diri dengan Allah Swt., karena
berhasil menyingkirkan hawa nafsu dan segala hal yang selain-Nya, maka hamba
tersebut akan dianugerahkan oleh al-Haqq kemampuan takwin17, diperlihatkan segala
keagungan rahasia-Nya, dimahkotai penghargaan kemuliaan-Nya, memperoleh
hubungan yang semakin intim, dan semakin dekat dengan-Nya.18
Orang-orang yang berma‟rifah, menurut Syaikh Abdul Qadir, memiliki
keikhlasan sempurna dalam ibadahnya dengan memberikan sifat ketuhanan dan
pengabdian kepada-Nya sesuai dengan hak-Nya. Di sini hak nafsu menjadi benar karena
telah buta terhadap dunia, akhirat, dan segala sesuatu selain Allah.
Syaikh Abdul Qadir mengatakan bahwa, dengan kualitas tersebut, maka para
„arifin (orang khusus) memiliki perbedaan mendasar dengan manusia lain. Manusia lain
seperti gambar tanpa ruh, sedangkan mereka adalah ruh itu sendiri; manusia umumnya
zahir, sedangkan mereka adalah bathinnya; manusia lain ibarat bangunan fisik
(mabani), sedangkan mereka adalah arti (ma‟ani); manusia lain sebagai wujud kasar
(jahr), sedangkan mereka halus (sirr).19
Karena itu, seorang „arif akan senantiasa semakin dekat dengan Tuhan, selalu
memperbaharui kekhusyukan dan kerendahdiriannya kepada Allah dengan penuh
kesadaran. Kebisuannya bertambah sesuai dengan musyahadah-nya. Seluruh lisan,
nafsu, tabiat, hawa nafsu, kebiasaan, dan wujudnya akan membisu. Sementara itu, lisan
hati, rahasia, keadaan (hal), dan maqamnya akan berbicara menjelaskan kenikmatan
yang dirasakannya.20 „arifin tidak memiliki kehendak dan pilihan terhadap dunia ini,
kekhawatiran akan lenyap diganti penjagaan, diliputi pemeliharaan, dan diberi
15
Muhammad Sholikhin, Menjadikan Diri Kekasih Ilahi: Nasehat dan Wejangan Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani, (Jakarta: Erlangga, 2009), 236.
16
Ibid.
17
Pembentukan atau pencetakan barisan pendukung yang bersifat tasawuf dalam tatanan ruhani.
Suatu kemampuan yang dapat menarik banyak orang mengikutinya dengan segala kebaikan yang ada
dalam dirinya.
18
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia..., 174.
19
Habib Abdullah Zakiy al-Kaaf, Ajaran..., 180.
20
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia..., 192.
pertolongan, para malaikat berjalan di sekelilingnya, ruh-ruh akan mendatangi dan
mengucapkan salam kepadanya; ia akan dibawa menuju kedekatan, keramahan, dan
munajat kepada-Nya sebagai akibat dari derajat ma‟rifah dan menuju lembah fana‟ dari
diri dan makhluk. Jadilah ma‟rifatullah itu sebagai pokok dari segala kebaikan.

METODE PENCAPAIAN MA’RIFAH

1. Taubat
Taubat termasuk perbuatan hati setelah proses penyucian anggota badan dalam
rangka menjalankan amal-amal syara’.21 Syaikh Abdul Qadir menganggap taubat
sebagai pintu masuk menuju Allah untuk mendapatkan keridhaan-Nya di dunia dan
akhirat, maka seseorang harus berpegang kepadanya dan tidak menyia-nyiakan
kesempatan tersebut.22 Syaikh Abdul Qadir menjelaskan bahwa yang terpenting dalam
perjalanan ini adalah ketetapan hati dalam melakukannya. Menjalankan secara terus-
menerus dan konsisten terhadapnya.
2. Zuhud
Syaikh Abdul Qadir menjelaskan bahwa orang zuhud adalah sikap orang yang
menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram, mencegah diri dari nafsu dan
syahwat, dan membiasakan diri dengan mengkonsumsi barang yang halal. 23 Pernyataan
tersebut tampak bahwa beliau tidak memaksudkan zuhud sebagai sikap antidunia.
Zuhud pada dunia bukanlah bermakna melarang diri dari perkara yang halal atau materi
duniawi, tetapi zuhud lebih dititikberatkan pada sikap percaya diri bahwa suatu perkara
yang ada di tangan Allah lebih tinggi nilainya daripada apa yang ada di tangan sendiri.
Seorang zahid tidak menolak rezeki yang diberikan Allah kepadanya, tetapi dia
mengambilnya lalu digunakan untuk ketaatan kepada Allah.
3. Tawakal
Syaikh Abdul Qadir menjelaskan bahwa hakikat tawakal adalah menyerahkan
segala urusan kepada Allahh Swt., membersihkan diri dari kegelapan usaha dan
pengaturan serta tunduk dan patuh pada hukum dan takdir. Kemudian yakin bahwa
tidak ada perubahan bagi sesuatu yang telah dibagikan dan apa yang telah dibagikan
untuknya tidak akan luput darinya, sedangkan apa yang tidak dibagikan untuknya tidak

21
Ibid., 236.
22
Ibid., 485.
23
Ibid., 75.
akan pernah didapatkan. Hatinya menjadi tenang dengan itu. Dia yakin kepada janji
Tuhannya, lalu hanya mengambil dari Tuhannya.24
4. Syukur
Menurut Syaikh Abdul Qadir, hakikat syukur adalah mengakui nikmat dari Dzat
Pemilik karunia dan pemberian dengan hati mengakui bahwa segala nikmat yang kita
terima dan kita rasakan barasal dari Allah dan patuh kepada syariat-Nya. Dengan
demikian, Allah akan akan membalas hamba-Nya karena syukur. Sehingga disebutkan
bahwa balasan syukur adalah syukur juga.25 Kebaikan seorang hamba adalah
ketaatannya kepada Allah Swt., sedangkan kebaikan Allah adalah memberikan nikmat
kepadanya. Syukurnya seorang hamba yang sebenar-benarnya adalah mengucapkan
dengan lidah dan mengakui dalam hati atas nikmat Allah Swt.26
5. Sabar
Kesabaran adalah kunci kemenangan, ketinggian derajat, dan kemuliaan.27
Syaikh Abdul Qadir memaknai kesabaran dengan tidak mengeluh kepada siapapun,
tidak bergantung kepada sebab, tidak membenci adanya bencana atau cobaan, dan tidak
merasa senang atas tiadanya cobaan. Orang yang sabar akan merendah kepada Allah
pada saat fakir dan sempit, selalu bersama-Nya atas kehendak-Nya, tidak memandang
rendah sifat yang dibolehkan, dan menyambung antara yang terang dengan yang gelap
dengan ibadah dan usaha, sehingga Allah akan memandangnya dengan pandangan
kasih, mengayakan dirinya dan keluarganya dari arah yang tak disangka-sangka.28
6. Ridha
Ridha adalah kebahagiaan hati dalam menerima ketetapan (takdir) dari Allah
Swt.Syaikh Abdul Qadir menjelaskan bahwa bagi mereka yang ingin tumbuh sikap
ridha dalam diri terhadap qadha Allah Swt., maka harus membiasakan diri senantiasa
mengingat kematian, karena ingatan pada kematian dapat meringankan (beban) musibah
dan petaka. Menerima ketentuan Allah dengan lapang dada. Dengan menekuni hal
tersebut, Allah akan menganugerahi sikap ridha pada hamba. Petaka-petaka akan
menghilang berganti kenikmatan dan kenyamanan hidup. Ketika seorang hamba

24
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Nyanyian Sunyi Para Kekasih Allah, Ter. Masrohan Ahmad,
(Yogyakarta: al-Shaff, 2008), 108.
25
Ibid., 127.
26
Ibid., 127-128.
27
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia..., 61.
28
Ibid., 77.
menerima tanpa membantah dan merasakan kenikmatan ridha dalam suasana bencana,
maka kenikmatan lainnya akan datang menghampiri.29
7. Bersikap Benar
Berlaku benar adalah pilar segala urusan. Dengan berlaku benar, semua urusan
akan menjadi sempurna dan teratur. Sifat ini merupakan derajat kedua setelah
nubuwwah.30 Kejujuran merupakan derajat kesempurnaan manusia tertinggi dan
seseorang tidak akan berlaku benar, kecuali jika dia memiliki jiwa yang baik, hati yang
bersih, pandangan yang lurus, sifat yang mulia, lidah yang bersih, dan hati yang dihiasi
dengan keimanan, keberanian dan kekuatan. Berlaku benar dalam pandangan Syaikh
Abdul Qadir hukumnya wajib bagi orang-orang yang bersih. Seperti yang telah
dijelaskan, bahwa untuk bisa dekat dengan Allah, diperlukan dua cara penting, yaitu
bersikap benar dan bersih.31
CIRI-CIRI AHLI MA’RIFAH

Derajat ma‟rifah ini bukan suatu tingkatan yang mudah untuk dicapai. Tidak
semua salik dapat meraihnya dengan sempurna. Perjalanan dalam meraihnya
memerlukan kesungguhan yang luar biasa. Namun perlu diketahui bahwa ma‟rifah ini
merupakan pengalaman spiritual yang puncaknya hanya bisa dirasakan oleh orang
tersebut, karena tingkatan ini sifatnya personal, antara seorang hamba dengan Allah
Swt., dan ada yang bisa disampaikan ke khalayak dan ada yang tidak.
Ada beberapa ciri-ciri dari seorang „arif yang tersirat dalam karya-karya Syaikh
Abdul Qadir. Namun tidak ada yang bisa menjamin secara mutlak apakah seseorang itu
telah sampai pada derajat „arif atau tidak. Karena yang pasti mengetahui hanyalah Allah
dan hamba tersebut. Derajat ini tidak dapat begitu saja diidentifikasi apalagi bagi orang-
orang biasa yang tidak dapat merasakan kehadiran Allah dalam dirinya.
Akan tetapi, ada beberapa tanda dari seorang hamba yang memiliki derajat
spiritual tinggi menurut Syaikh Abdul Qadir, yang dapat dilihat dari caranya
berperilaku, bertutur kata, sikapnya terhadap sesama, lingkungan sekitar dan alam, serta
aura yang terpancar dari dalam dirinya. Dengan demikian, ciri-ciri yang dimaksud yaitu

29
Ibid., 205.
30
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Nyanyian..., 156.
31
Sa’id bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, terj. Munirul Abidin,
Cet. IX, (Jakarta: Darul Falah, 2012), 514.
bersifat empiris. Berikut ciri atau tanda seorang „arif yang terdapat dalam karya Syaikh
Abdul Qadir.
1. Senantiasa Berjalan Bersama Syari’at Allah
Seorang „arif selalu menundukkan mata dari perkara haram, senantiasa menahan
nafsu dari syahwat, memelihara bathin dengan ber-muraqabah kepada Allah, berbuat
mengikuti sunnah,32 apabila diperintah untuk memberi, ia segera memberi. Apabila
diperintah untuk menggenggam hak, ia pun menggenggamnya.33 Ia hanya melakukan
apa yang diperintahkan oleh Allah. dirinya tidak akan dikotori oleh perbuatan-perbuatan
buruk, ia tidak akan mendekati hal-hal yang akan menjauhkannya dari Allah Swt. Ia
senantiasa mengamalkan hukum Allah.
2. Menghilangkan Dunia dan Akhirat dari dalam Hati
Mereka (kaum „arifin) telah meniadakan diri di dunia dan akhirat dari mata dan
hati mereka, sehingga mereka pun telah melihat Tuhan mereka.34 Jika nafsu telah sirna
dan menghilang, maka amar Allah-lah yang menduduki posisinya. Jika dunia lenyap,
maka akhiratlah yang menempati posisinya. Jika akhirat telah sirna, maka kedekatan
Allah-lah yang menggantikan tempatnya, ia pun akan nyaman dan lega berdekatan-
Nya.35
3. Meninggikan Adab di Hadapan Allah
Hal penting lainnya yang selalu terlihat dari seorang „arif ialah kesantunan. Bagi
mereka hal ini merupakan kewajiban (faridlah), sebagaimana kewajiban taubat bagi
orang yang berpaling. Bagaimana tidak bersikap sopan, sementara ia adalah manusia
yang paling dekat dengan Sang Pencipta. Ketidaksopanan adalah hal terkutuk di
hadapan manusia dan Allah „Azza wa Jalla.36
4. Beribadah Menjadi Hobinya
Hal yang paling menyenangkan bagi seorang ‘arif adalah ibadah, dan lebih spesifik
lagi yaitu melaksanakan shalat. Fisiknya duduk, namun hatinya berdebar menanti
muazin, juru panggil al-Haqq „Azza wa Jalla. Begitu mendengar azan, maka
kegembiraan langsung menyerbu hatinya.37 Ia akan meninggalkan segala kegiatannya

32
Habib Abdullah Zakiy al-Kaaf, Ajaran..., 212.
33
Ibid., 244.
34
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia..., 518.
35
Ibid., 493.
36
Ibid., 479.
37
Ibid., 474.
ketika mendengar azan. Tidak ada hal yang yang dinantikannya selain beribadah,
bersujud, merendah, dan menyembah di hadapan Allah. Hal lain akan diabaikannya jika
menyangkut pertemuannya dengan Allah.
5. Memancarkan Aura Positif
Orang yang berma‟rifah kepada Allah selalu memancarkan aura positif dari
dalam dirinya yang ditangkap sekitarnya.38 Manusia dan alam dapat merasakan
kebaikan dan keistimewaan dalam dirinya yang merupakan anugerah dari Allah Swt.,
yang tidak semua orang dapat memperolehnya. Allah akan memberikan kekuatan
sehingga dapat menghancurkan iblis dan bala tentaranya, serta mengambil makhluk dari
tangan iblis. Dengan kemampuannya itulah seluruh alam merasakan manfaat
kehadirannya, bahkan orang-orang fasik pun akan merasakan kebahagiaan senyum ahli
ma‟rifah.39
6. Kedermawanan Hati Terhadap Sesama
Di dalam al-Qur’an dikatakan bahwa salah satu ciri mutlak yang mesti ada pada
kekasih Allah adalah sifat dermawan (al-sakha‟). Di kalangan para wali ada yang
disebut sebagai wali al-abdal. Mereka adalah kekasih Allah yang sangat dekat dengan-
Nya. Nabi menyatakan bahwa mereka mencapai derajat ini karena kedermawanan dan
hati yang bersih terhadap sesama kau muslim. Syaikh Abdul Qadir mengemukakan
bahwa, di antara perkara yang dapat menghubungkan dirinya dengan Allah adalah jika
kita mampu berhubungan dengan fakir miskin dengan cara membagi harta kita kepada
mereka.40
7. Menjadi Penunjuk Bagi Makhluk
Para „arifin memiliki tugas mendengarkan keluhan-keluhan manusia. Dalam
posisi masing-masing, mereka menggantikan peran dan posisi Nabi Saw. sebagai
penyeru amar ma‟ruf nahi munkar pada segenap manusia. Mereka disibukkan dengan
menggiring manusia kembali ke pintu al-Haqq. Kaum „arifin menggunakan hujjah
(Nabi) terhadap mereka. Meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dan memberikan
kemuliaan pada setiap pemilik keutamaan. Tidak pernah mengambil hak-hak, juga tidak
pernah memuaskan nafsu dan tabiat mereka.41

38
Ibid., 511.
39
Ibid., 192.
40
Muhammad Sholikhin, Menyatu..., 403-404.
41
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia..., 249-250.
8. Allah adalah Penawar Bagi Segala Penyakitnya
Ketika yang lain berpuasa dengan cara tidak makan dan tidak minum, maka
orang yang „arif berpuasa dengan cara tidak berbuat keburukan sedikit pun. Ia menahan
lapar dan tidak akan makan kecuali jika diberi makan oleh sang kekasih. Penyakitnya
akan datang jika ia jauh dari Allah Swt., dan ia akan sembuh jika berdekatan dengan-
Nya. Puasa mereka adalah pada siang hari, sedangkan puasa orang „arif adalah pada
siang dan malam hari. Ia akan berbuka jika dirinya telah kekal bersama Tuhannya.
Seorang ahli ma‟rifah selalu berpuasa dan terjaga. Hatinya berpuasa dan nuraninya
terjaga. Ia menyadari bahwa ia akan sehat jika bertemu dengan Tuhannya serta
berdekatan dengan-Nya.42
9. Bisu, Buta dan Tuli Terhadap Selain Allah
Syaikh Abdul Qadir berkata, bahwa sesungguhnya para kekasih Allah itu bisu,
buta, dan tuli. Mereka tidak mendengar dan melihat selain Dia, manakala hati mereka
telah dekat dengan al-Haqq „Azza wa Jalla. Mereka telah memperoleh karunia berupa
kedekatan, mahabbah, dan haibah (wibawa). Mereka memperoleh karunia berada dalam
keagungan dan keindahan karena mereka tidak menoleh ke kanan atau ke kiri. Manusia,
jin, malaikat, dan semua makhluk berkhidmat kepada mereka karena mereka tidak
menoleh ke belakang tetapi selalu memandang ke depan.43

Ciri-ciri di atas menunjukkan keistimewaan yang diperoleh dan dialami para


penempuh tasawuf (salik) yang sampai pada derajat ma‟rifah. Tidak semua salik dapat
sampai pada tingkatan tersebut. Orang yang „arif adalah hamba-hamba Allah Swt. yang
terpilih sebagai kekasih-Nya. Mereka telah menguasai ilmu hakikat, sehingga ia dapat
melihat rahasia alam dengan mata bathinnya. Apa pun yang dilihatnya, ia hanya akan
melihat Allah. Kecintaannya pada Allah tidak bisa lagi terbendung, hingga ia tidak
dapat lepas dari-Nya, yang diinginkannya hanya bedekatan dengan Allah Swt.

KESIMPULAN

Ma‟rifah merupakan suatu kondisi ketika ditampakkan berbagai rahasia alam,


dapat menyaksikan al-Haqq di seluruh benda dengan pancaran ke-Esaan-Nya yang
memancar dari seluruh benda dan menguasai ilmu hakikat ketika berada dalam kondisi

42
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Menjadi Kekasih Allah, Terj. Masrohan Ahmad, Cet. XIII,
(Yogyakarta: Citra Media, 2013), 175.
43
Ibid., 28.
fana (luruh) dari segala sesuatu. Tujuan Allah menciptakan insan adalah agar mereka
mencari ilmu untuk mengenali-Nya. Untuk meraih ma‟rifah seorang salik harus
melalui maqamat yang menjadi jalan untuk menjadi kekasih Allah Swt. Menurut Syaikh
Abdul Qadir, maqamat yang harus dilalui seorang penempuh tasawuf untuk mencapai
ma‟rifah , yaitu taubat, zuhud, tawakal, syukur, sabar, ridha, dan berlaku benar. Semua
maqam tersebut harus dijalankan dan dilaksanakan dengan bersungguh-sungguh dan
penuh totalitas. Jika tidak akan sulit bagi seorang salik untuk sampai kepada Allah.
Ketika sudah sampai pada derajat ma‟rifah, akan tampak beberapa hal pada
dirinya yang merupakan efek dari kenaikan tingkatannya. Seperti, jika seorang salik
telah memiliki ma‟rifah yang sempurna, menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ia akan
dapat memberikan efek positif bagi diri dan lingkungannya (alam). Seorang „arif selalu
menundukkan mata dari perkara haram, menahan nafsu dari syahwat, memelihara
bathin dengan ber-muraqabah kepada Allah, berbuat mengikuti sunnah. Seorang „arif
itu seperti mengemban tugas untuk mengajak manusia lainnya menghambakan diri di
hadapan al-Haqq serta menumbuhkan dan meninggikan nilai spiritualisme dalam diri.
Dengan kemampuannya itulah seluruh alam merasakan manfaat kehadirannya.

SARAN

Kajian tentang ma‟rifah ini sangat penting untuk dipelajari, terutama ma‟rifah
dalam perspektif Syaikh Abdul Qadir. Karena di dalamnya terdapat banyak hikmah
yang dapat mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang sepenuhnya menghambakan
diri kepada Allah. Untuk itu penulis berharap, karya ini dan karya-karya lainnya dapat
terus dipelajari oleh para pembaca dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan.
Tema seputar ma‟rifah sudah banyak di kaji sebelumnya, namun untuk lingkup
menurut tokoh sufi tertentu, masih terbilang jarang. Terutama tentang ma‟rifah Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani, di mana beliau dikenal sebagai salah satu pencetus tarekat, yaitu
tarekat Qadiriyah yang memiliki pengikut yang cukup banyak, termasuk di Indonesia.
Maka selayaknya kajian ini dapat diperluas lagi di mana pemikiran Syaikh Abdul Qadir
tentang ma‟rifah pasti akan mengalami perubahan mengingat banyaknya pengikut
tarekat Qadiriyah yang pasti akan menimbulkan berbagai perspektif dari berbagai
kalangan. Untuk itu, dengan keberagaman tersebut, ada baiknya jika kajian ini
dilakukan dengan perspektif yang berbeda. Selain itu juga sebaiknya penelitian-
penelitian tentang pemikiran Syaikh Abdul Qadir dilakukan dengan subjek kajian yang
berbeda.
Kajian ini masih terbilang singkat dengan segala keterbatasan dari peneliti.
Namun setidaknya kajian ini bisa menjadi awal untuk kajian-kajian selanjutnya yang
khususnya mengenai ma‟rifah dalam perspektif Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Dan
diharapkan skripsi ini dapat menjadi stimulan dan pada waktunya nanti akan berlanjut
menjadi penelitian yang lebih serius bagi peneliti selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Alibasyah, Permadi. Bahan Renungan Kalbu: Penghantar Mencapai Pencerahan Jiwa,


Cet. XVI, (Jakarta: Yayasan Mutiara Tauhid, 2005), 128.

al-Hillali, Majdi. Quantum Cinta: Bagaimana Melejitkan Kualitas Cinta Kepada-Nya.


Terj. Ahmad Yaman Syamsuddin. Surakarta: Insan Kamil, 2008.

al-Jailani, Syaikh Abdul Qadir. Menjadi Kekasih Allah. Terj. Masrohan Ahmad.
Yogyakarta: Citra Media, 2013.

_______ Rahasia-rahasia Agung Berjumpa Allah : Lautan Hikmah Kekasih Allah, 62


Pedoman Hidup Untuk Menjadi Kekasih Allah. Terj. Kamran As’ad Irsyadi.
Yogyakarta: Diva Press, 2007.

_______ Rahasia Sufi. Terj. Abdul Majid Hj. Khatib. Cet. XXIII. Yogyakarta: Pustaka
Sufi, 2008.

_______ Nyanyian Sunyi Para Kekasih Allah. Ter. Masrohan Ahmad. Yogyakarta: al-
Shaff, 2008.

al-Kaaf, Habib Abdullah Zaky. Ajaran Tasawuf Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
“Petunjuk Menuju Ma‟rifatullah”. Bandung: Pustaka Setia, 2003.

al-Qahthani, Sa’id bin Musfir. Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. terj. Munirul
Abidin. Cet. IX. Jakarta: Darul Falah, 2012.

Sholikhin. Muhammad. Menjadikan Diri Kekasih Ilahi: Nasehat dan Wejangan Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Jakarta: Erlangga, 2009.

_______ Menyatu Diri Dengan Ilahi: Ma‟rifah Ruhani Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
dan Perspektifnya Terhadap Paham Manunggaling Kawula Gusti.,
Yogyakarta: Narasi, 2010.

_______ 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syaikh „Abdul Qadir al-Jailani.


Yogyakarta: Mutiara Media, 2009.
al-Tadafi, Syaikh Muhammad bin Yahya. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Mahkota Para
Aulia, Terj. A. Kasyful Anwar. Cet. II. Jakarta: Prenada, 2005.

Anda mungkin juga menyukai