Anda di halaman 1dari 9

Beberapa adab yang perlu dipahami dan diamalkan oleh para penuntut ilmu, di

antaranya;

1. Adab terhadap ilmu.


Tidak sedikit, di antara penuntut ilmu saat ini termasuk kita, begitu mudahnya memandang
rendah sebuah ilmu dan hal itu terjadi disebabkan karena buruknya adab atau akhlak mereka.
Mungkin kita pun terkadang tidak peduli terhadap tulisan-tulisan para ahli ilmu, semisal kitab,
artikel, nasihat dan semisalnya.

Salah satu contohnya adalah ketika ada pesan masuk ke HP kita berupa tulisan ilmiyah, nasihat,
artikel Islam dan semisalnya, kita begitu mudah untuk melewatinya, mengabaikannya,
menghapusnya, seolah hal itu tidak ada manfaatnya untuk diri kita.

Dengan cara itu kah, kita membuktikan rasa syukur kepada Allah? Yang pada saat ini, Allah
telah permudah jalan kita untuk mempelajari agamaNya, begitu mudahnya kita untuk
mendapatkan ilmu dan nasihat, hanya dengan menyentuh salah satu menu yang ada pada HP
atau teknologi lainnya.

Bersyukurlah saudara-saudariku! Manfaatkan dengan baik semua fasilitas yang saat ini Allah
amanahkan kepada kita untuk hal-hal yang diperintahkan dan dibolehkan oleh syariat Islam.

Termasuk hal lain yang sering kita juga anggap sepele adalah ilmu yang disampaikan secara
berulang kali atau dengan kata lain, merasa bosan, jenuh dengan penjelasan ilmu yang sudah
pernah didengar atau dibaca sebelumnya. Biasanya, begitu mudahnya kita melontarkan ucapan
yang bernada: Ah, ini lagi ini lagi!, Lah, ini mah udah pernah denger!, Aduh, kok diulangi lagi?
Serta ungkapan nyeleneh semisalnya. Maka sudah seharusnya, mari kita mengobati dan
memperbaiki kebiasaan buruk ini dengan mempelajari adab sebelum ilmu, agar diri kita
menjadi manusia yang beruntung, bukan merugi!

Sebagaimana Atha bin Abi Rabah rahimahullah bercerita;


“Ada seorang laki-laki menceritakan kepadaku suatu cerita, maka aku diam untuk benar-benar
mendengarnya, seolah-olah aku tidak pernah mendengar cerita itu, padahal sungguh aku pernah
mendengar cerita itu sebelum dia dilahirkan.”
(Siyar Alam An-Nubala, 5:86)

Karena sebetulnya ilmu yang kita dengar secara berulang kali itu memiliki tiga manfaat, yakni:
Sebagai pengetahuan bagi kita yang belum pernah mendengarnya, sebagai pengingat bagi kita
yang sudah pernah mendengarkannya lalu lupa, dan sebagai penguat daya ingat bagi yang
sudah pernah mendengarnya.

Selain itu, meski pun orang yang menyampaikan nasihat dan ilmu kepada kita, tapi kita tidak
suka kepadanya dikarenakan usia kita lebih tua darinya, atau karena gelar kita lebih tinggi
darinya, maka wajib atas kita untuk tetap menerima nasihat dan ilmu yang disampaikannya,
serta berusaha untuk tetap menghormatinya! Perlu kita ketahui juga, bahwa sikap semacam itu
adalah buah dari sifat sombong.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

‫سناةً قاا ال ِإ َّن َّ ا‬


‫َّللا اجمِ ي ٌل‬ ‫سنًا اونا ْعلُهُ اح ا‬ َّ ‫اَل يادْ ُخ ُل ْال اجنَّةا ام ْن اكانا فِي قا ْل ِب ِه مِ ثْقاا ُل ذا َّرةٍ مِ ْن ِكب ٍْر قاا ال ار ُج ٌل ِإ َّن‬
‫الر ُج ال يُحِ بُّ أ ا ْن يا ُكونا ثا ْوبُهُ اح ا‬
‫اس‬ ِ َّ‫الن‬ ُ ‫غ ْم‬
‫ط‬ ‫او ا‬ ِ ِّ ‫ْال اح‬
‫ق‬ ‫با ا‬
‫ط ُر‬ ‫ْال ِكب ُْر‬ ‫ْال اج اما ال‬ ُّ‫يُحِ ب‬
“Tidak akan masuk Surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari
kesombongan. Seorang laki-laki bertanya: Sesungguhnya seorang laki-laki menyukai baju dan
sandalnya yang bagus, apakah ini termasuk kesombongan? Beliau menjawab: Sesungguhnya
Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan
meremehkan manusia.”
(HR. Imam Muslim, no.131)

Di antara adab terhadap ilmu selanjutnya adalah mencatat ilmu.

a. Keutamaan mencatat ilmu.


Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda;

ِ ‫بِ ْال ِكتاا‬


‫ب‬ ‫ْالع ِْل ام‬ ‫قايِِّدُوا‬
“Ikatlah ilmu dengan menulisnya!”
(Silsilah Ash-Shahihah, no.2026)

Imam Asy-Syabi rahimahullah berkata;

ِ‫ْال احائِط‬ ‫فِي‬ ‫اولا ْو‬ ُ‫فاا ْكت ُ ْبه‬ ‫ش ْيئًا‬


‫ا‬ ‫سمِ عْتا‬
‫ا‬ ‫ِإذاا‬
“Apabila kamu mendengar sesuatu tentang ilmu, maka tulislah meskipun pada dinding!”
(Al-Ilmu, no.146)

Imam Asy-Syafii rahimahullah juga berkata;

ِ ِ‫اص ْيدا غازا الاةً اوتاتْ ُر اك اها بايْنا ْال اخالائ‬


‫ق ا‬
‫طا ِلقا ْه‬ ِ ‫ فامِ نا ْال اح اماقا ِة أ ا ْن ت‬.ْ‫صي ُْوداكا بِ ْالحِ باا ِل ْال اواثِقاه‬
ُ ْ‫ قايِِّد‬،ُ‫ص ْيدٌ او ْال ِكتااباةُ قا ْيدُه‬
‫ْالع ِْل ُم ا‬
“Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya. Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat!
Maka termasuk kebodohan, kalau kamu memburu kijang, setelah itu kamu tinggalkan terlepas
begitu saja.”
(Diwanu Asy-Syafii, hlm.103)

Daya ingat manusia itu lemah dan terbatas. Karenanya kita dianjurkan untuk mencatat ilmu.
Dengan mencatat ilmu ketika di majelis ilmu, maka kita berusaha mengumpulkan dan
menyimpan penjelasan ilmu yang disampaikan.

Hal ini membuat kita lebih fokus ketika mengikuti majelis ilmu dan membuat ingatan kita lebih
kokoh, dan yang lebih penting sikap ini menunjukkan perhatian dan kepedulian kita terhadap
ilmu serta memuliakan ilmu agama yang penuh dengan berkah.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata;
“Kita katakan: Ya, lupa ada obatnya (dengan karunia dari Allah) yaitu dengan menulisnya.
Karenanya Allah memberi karunia kepada hambaNya dengan surat Al-Alaq, yaitu iqra.
Kemudian mengajarkan dengan perantara pena, maksudnya: bacalah dengan hafalannya! Jika
tidak hafal maka dengan tulisanmu! Allah azza wa jalla menjelaskan kepada kita
bagaimana mengobati penyakit ini, yaitu penyakit lupa dan kita dapat obati dengan menulis.
Dan sekarang menulis lebih mudah dibandingkan dahulu, karena mudah didapatkan dan segala
puji bagi Allah, sekarang bisa direkam.”
(Mushthalah Al-Hadits, Syaikh Al-Utsaimin)

b. Ikat juga ilmu dengan amal.


Pada saat ini, adanya sarana tulis-menulis dan kemudahan copy-paste melalui internet, sarana
sosial media, maka mencatat dan menyalin suatu tulisan cukup mudah dilakukan, karenanya
ada sebuah ungkapan;

‫بِ ْالعا ام ِل‬ ‫ْالع ِْل ام‬ ُ‫قايِِّد‬


“Ikatlah ilmu dengan mengamalkannya!”

Ilmu lebih layak diikat dengan amal karena ilmu yang telah diikat pada kitab-kitab telah banyak
dilupakan. Apalagi di zaman ini kita sangat butuh terhadap amal, contoh seperti mengamalkan
akhlak mulia terhadap keluarga dan masyarakat. Maka dari itu, jangan malas untuk mencatat
dan mengamalkan ilmu!

Abu Qilabah berkata kepada Ayyub As-Sakhtiyani rahimahumallaah;

‫النَّ ا‬
‫اس‬ ‫ِب ِه‬ ‫ت ُ اح ِد ا‬
‫ِّث‬ ‫أا ْن‬ ‫اه ُّمكا‬ ‫اي ُك ْن‬ ‫او اَل‬ ً ‫ِع اباداة‬ ‫فِي ِه‬ ْ ‫فاأ ا ْحد‬
‫ِث‬ ‫ع ِْل ٌم‬ ‫لاك‬ ‫احدا ا‬
‫ث‬ ‫إذاا‬
“Apabila kamu mendapat ilmu, maka munculkanlah keinginan ibadah di dalamnya. Jangan
sampai keinginanmu hanya untuk menyampaikannya kepada manusia.”
(Al-Adab Asy-Syariyyah, 2:45)

Allah azza wa jalla berfirman;

‫َّللاُ اَل يا ْهدِى‬


ٰ ‫َّللا ۗ او‬
ِٰ ‫ت‬ ِ ‫س امث ا ُل ْالقا ْو ِم الَّ ِذيْنا اكذَّب ُْوا ِب ٰا ٰي‬
‫اارا ۗ ِبئْ ا‬ ِ ‫امث ا ُل الَّ ِذيْنا ُح ِ ِّملُوا الت َّ ْو ٰرٮةا ث ُ َّم لا ْم ياحْمِ لُ ْوهاا اك امث ا ِل ْالحِ ام‬
ً ‫ار ياحْمِ ُل اا ْسف‬
ٰ ‫ال‬
‫ظلِمِ يْنا‬ ‫ْالقا ْو ام‬
“Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak
membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang
tebal. Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”
(Surat Al-Jumuah: ayat 5)

2. Adab terhadap guru.


Pada point yang kedua ini merupakan hal yang saat ini sangat banyak tidak dipedulikan oleh
sebagian besar penuntut ilmu, termasuk kita. Di antara kita banyak yang sering diam-diam
saling mengghibahi gurunya, orang yang mengajarkan ilmu kepadanya dicela, digosipin, dan
diperlakukan tanpa akhlak.

Maka inilah salah satu bentuk cerminan akhlak yang buruk. Jika kita memiliki sifat demikian,
mari segera bertaubat dan memperbaiki akhlak tersebut! Agar diri kita tidak menyesal
disebabkan sifat buruk yang kita miliki, dan agar ilmu yang kita pelajari menjadi berkah dan
bermanfaat!

Karena bagaimana mungkin ilmu yang kita pelajari menjadi berkah, jika orang yang
mengajarkan ilmu kepada kita, malah kita cela, kita hina, kita perlakukan tanpa adab?

Maka, Penulis mengajak diri sendiri dan juga para Pembaca, agar kita bersama memperbaiki
akhlak (adab) kita terhadap orang-orang yang sudah mengajarkan ilmu, memberikan nasihat
dan bimbingan terhadap kita, meskipun hanya sedikit dan sebentar. Karena mereka sudah
berbuat baik, sudah mau mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada kita, membimbing kita
penuh dengan perjuangan dan kesabaran. Maka sudah sangat layak kita membalas kebaikannya
tersebut dengan kebaikan lagi, bukan dengan keburukan dan kejahatan.

Di antara adab kepada guru yang harus kita perhatikan dan biasakan, adalah;

a. Menghormatinya.
Ini adalah pengamalan dari hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Abdullah bin Amr bin Al-
Ash radhiyallahu anhuma, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

‫ِل اعالِمِ ناا‬ ‫ف‬


ْ ‫او اي ْع ِر‬ ،‫ِيرناا‬
‫صغ ا‬‫ا‬ ‫او اي ْر اح ْم‬ ‫اك ِب ا‬
،‫يرناا‬ ‫ي ُِج َّل‬ ‫ال ْم‬ ‫ام ْن‬ ‫مِ َّنا‬ ‫الي ا‬
‫ْس‬
“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi
yang lebih muda, serta yang tidak mengerti (hak) orang yang berilmu (agar diutamakan
pandangannya).”
(HR. At-Tirmidzi, no.1919. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini hasan, Shahih Al-Jami,
no.5443)

Karena cara menghormati bukanlah dengan meletakkan tangan kanan di atas kepala seperti
halnya ketika upacara. Melainkan, kita memperlakukan seseorang dengan akhlak yang baik,
memenuhi haknya, tidak menyinggung serta menyakiti perasaannya dan memposisikan
seseorang sesuai kedudukannya! Itulah hakikat menghormati.

b. Memanggil dengan sebutan yang baik.


Hal ini merupakan penerapan dari ayat Al-Quran;

‫با ْعضًا‬ ‫ض ُك ْم‬


ِ ‫با ْع‬ ‫اكدُ ا‬
ِ‫عاء‬ ‫با ْينا ُك ْم‬ ‫سو ِل‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫عا اء‬
‫دُ ا‬ ‫ت ا ْجعالُوا‬ ‫اَل‬
“Janganlah kalian jadikan panggilan Rasul di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian
terhadap sebagian yang lain!”
(Surat An-Nur: ayat 63)
Pada ayat tersebut, Allah azza wa jalla memuliakan nama Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam. Salah satu sebabnya, karena Rasulullah sudah mengajarkan ilmu dan banyak kebaikan
kepada manusia. Dan para guru juga adalah orang yang sudah mengajarkan ilmu kepada
manusia, maka mereka juga berhak untuk mendapatkan penghormatan semacam itu. Karena
mereka juga telah mengajarkan banyak kebaikan, berupa nasihat dan bimbingan kepada
manusia.

Kalau di negeri Indonesia, kita bisa menggunakan beberapa panggilan yang baik dan sudah
merupakan kebiasaan masyarakat, di antaranya: Ulama, Syaikh, Kyai, Ustadz, Guru, Dosen,
dan panggilan semisalnya. Maka panggilan-panggilan tersebut, bisa kita gunakan juga untuk
menghormati orang-orang yang sudah mengajarkan ilmu, memberikan nasihat kepada kita,
meskipun hanya sesaat.

Selain itu, termasuk adab ketika bergaul (muamalah) dengan orang yang lebih tua usianya dari
kita, yakni memanggilnya dengan panggilan Aa, Mas, Om, Bang, Kang, Pa’le atau panggilan
semisalnya. Maka dari itu, jangan cuma dipanggil dengan namanya saja! Karena hal tersebut
bagian dari adab Islam. Dan hal ini merupakan adat yang kita bisa terapkan di lingkungan
sekitar, dan juga tidak dilarang oleh agama Islam.

Ingat, adab Islam semacam itu berlaku untuk semua kalangan, baik laki-laki maupun
perempuan, tua maupun muda, anak-anak maupun dewasa!

Abdullah bin Zahr rahimahullah berkata;


“Termasuk durhaka kepada orang tua adalah kamu memanggil orang tua dengan namanya saja
dan kamu berjalan di depannya.”
(Al-Majmu, 8:257)

Catatan: Panggilan yang digunakan tidak mengandung unsur berlebihan (ghuluw) dan tidak
boleh disingkat.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

‫ِّين‬
ِ ‫ال ِد‬ ‫فِي‬ ‫ِب ْالغُلُ ِّ ِو‬ ‫اق ْب ال ُك ْم‬ ‫اكانا‬ ‫ام ْن‬ ‫اه الكا‬ ‫افإِ َّن اما‬ ‫او ْالغُلُ َّو‬ ‫ِإيَّا ُك ْم‬
“Janganlah kalian berlaku ghuluw (sikap berlebih-lebihan)! Karena sesungguhnya kebinasaan
orang-orang sebelum kalian adalah disebabkan karena bersikap ghuluw dalam masalah
agama.”
(HR. Ahmad, no.3078. Syuaib Al-Arnauth menyatakan sanad hadits ini shahih)

Termasuk adab yang baik, hendaknya kita memanggil para guru dengan panggilan yang
lengkap atau jelas dan tidak disingkat atau diringkas. Sehingga ketika kita ingin memanggilnya
dengan sebutan Ustadz, maka panggillah atau tulislah panggilan tersebut dengan lengkap dan
jelas, tidak perlu disingkat, misal dengan sebutan atau tulisan: Ust, Ustd, Ustdz, Stadz, Tadz,
Tad dan singkatan semisalnya. Sehingga untuk panggilan yang lainnya pun berlaku hal yang
sama, selayaknya kita panggil dengan sebutan yang jelas, lengkap dan tidak disingkat.
Perlu diketahui, bahwa hal tersebut tetap berlaku ketika bermuamalah secara langsung, maupun
tidak langsung, seperti SMS, Telepon dan media lainnya. Karena setiap hal yang berkaitan
dengan urusan dunia hukum asal boleh, selama tidak dilarang oleh Allah dan RasulNya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan;

َّ
ُ‫َّللا‬ ‫اح ا‬
ُ‫ظ اره‬ ‫اما‬ ‫َّإَل‬ ‫مِ ْن اها‬ ‫يُ ْح ا‬
‫ظ ُر‬ ‫اَل‬ ِ ‫ْالعااداا‬
‫ت‬ ‫فِي‬ ْ ‫او ْاْل ا‬
‫ص ُل‬
“Hukum asal adat (kebiasaan masyarakat) adalah tidaklah masalah (boleh), selama tidak ada
yang dilarang oleh Allah di dalamnya.”
(Majmuah Al-Fatawa, 4:196)

Syaikh Bakr Abu Zaid mengatakan;


“Jangan memanggil guru dengan nama atau laqabnya (julukan atau gelar) saja! Seperti jika
kamu berkata: Wahai Syaikh Fulan! Sebaiknya panggillah dengan: Wahai Syaikhii (guruku)
atau Syaikhunaa (guru kami), dan sebaiknya juga tidak sebut namanya dan ini lebih beradab.
Jangan juga memanggilnya dengan kamu atau anta. Jangan juga memanggil guru tersebut dari
kejauhan dengan teriak, kecuali jika darurat. Tapi, jika dalam rangka menjelaskan perkataan
gurunya, misal: Gurunya berkata seperti ini dan seperti itu, maka boleh menyebutkan namanya.
Misal: Guruku, Syaikh Fulan berkata demikian. Ketika itu menyebut namanya diperbolehkan,
karena bukan dalam keadaan memanggilnya, tapi hanya menyampaikan suatu berita atau
penjelasan yang berasal darinya.”
(Syarh Hilyah Thalib Al-Ilmi, hlm.82)

Termasuk kasus yang sama, yakni pemanggilan dengan kata ganti antum dalam bahasa arab
yang artinya kalian, yang biasanya digunakan untuk menghormati seseorang yang lebih tua.
Namun, di saat ini ketika panggilan antum sudah dianggap sebagai hal yang biasa, karena
panggilan antum digunakan juga untuk panggilan terhadap orang yang seusia atau lebih muda,
maka panggilan antum sebaiknya tidak digunakan untuk memanggil seorang guru dan orang
yang lebih tua. Kita tetap bisa menghormatinya dengan memanggilnya Ustadz, Guru, atau
panggilan semisalnya.

Hal tersebut tidak boleh dilakukan karena sama saja dengan kita menyamakan panggilan guru
kita dengan orang lain, sehingga tidak ada bedanya antara orang berilmu dengan orang jahil.

Salah satu cara agar kita bisa menghormati seorang guru adalah dengan berusaha
menghilangkan sifat gengsi, tidak mau mengakui kebaikannya, hasad dan sifat-sifat buruk
semisalnya. Maka, jangan pernah merasa berat untuk mengakui keutamaan dan kebaikan yang
telah dilakukan oleh para guru terhadap diri kita!

Semoga Allah menghiasi diri kita dengan akhlak yang mulia dan semoga kita diberikan
kemudahan untuk memuliakan para guru dan orang-orang tua yang ada di sekitar kita.

Semoga Allah azza wa jalla selalu menjaga guru-guru kita, memberkahi usia dan ilmunya.
Aamiin
Sebagai penutup, penjelasan di atas tidak hanya berlaku untuk guru kita saja, akan tetapi
berlaku juga untuk semua makhluk Allah. Mari kita perlakukan mereka sesuai kedudukannya!

Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda;

‫اازلا ُه ْم‬ ‫أا ْن ِزلُوا النَّ ا‬


ِ ‫اس امن‬
“Tempatkan (perlakukan) manusia sesuai posisi mereka!”
(An-Nawafihu Al-Athiratu, no.59)

Hal tersebut disebabkan mereka juga memiliki hak yang sama untuk dihargai, dihormati, dan
diperlakukan dengan adab, sebagaimana diri kita.

Syaikh Muhammad bin Nashiruddin Al-Albani rahimahullah pernah berkata dalam salah satu
ceramahnya;
“Saya dahulunya mengira bahwa masalah utama dunia islam saat ini hanyalah semata-mata
jauhnya mereka dari pemahaman tauhid yang benar terhadap hakikat Laa ilaaha illallaah.
Namun, setelah beberapa waktu, tampaklah pada diriku bahwa ada masalah lain (yang tidak
kalah penting) sebagai tambahan atas masalah pokok yang pertama tadi, yaitu masalah akhlak.”

3. Adab ketika di majelis ilmu.


Ada beberapa adab dalam majelis ilmu yang mungkin sudah kita lupakan dan lalaikan, salah
satunya adalah mencatat ilmu.

Seringnya kita datang ke majelis ilmu dengan niat yang kurang ikhlash, hanya sekedar
mendengarkan sambil santai-santai, tambah nganggur (gak ada kerjaan), ada yang sambil
mainan HP, ada yang sambil duduk bersandar di posisi paling belakang (tanpa adanya udzur
syari), dan itu semua merupakan adab yang tidak selayaknya ada di majelis ilmu, tempat yang
mulia dan didoakan oleh para Malaikat.

Semoga niat semacam ini bisa segera kita perbaiki, agar kita bisa mendapatkan keberkahan
dari ilmu yang kita pelajari.

Di antara adab yang perlu kita perhatikan dalam majelis ilmu adalah;

a. Melapangkan tempat duduk.


Allah azza wa jalla berfirman;

‫َّللاُ الَّ ِذيْنا ٰا امنُ ْوا مِ ْن ُك ْم‬ ُ ‫ش ُز ْوا فاا ْن‬


ٰ ‫ش ُز ْوا يا ْرفا ِع‬ ُ ‫َّللاُ لاـ ُك ْم ۗ اواِذاا قِ ْي ال ا ْن‬
ٰ ‫ح‬ ِ ‫س‬ َّ ‫ٰٰۤياايُّ اها الَّ ِذيْنا ٰا امنُ ٰۤ ْوا اِذاا قِ ْي ال لاـ ُك ْم تافا‬
‫س ُح ْوا فِى ْال امجٰ ل ِِس فاا ْف ا‬
‫س ُح ْوا يا ْف ا‬
‫اخبِي ٌْر‬ ‫ت ا ْع املُ ْونا‬ ‫بِ اما‬ ُ‫َّللا‬
ٰ ‫ت ۗ او‬ ٍ ٰ‫دا ارج‬ ‫ْالع ِْل ام‬ ‫ا ُ ْوتُوا‬ ‫ۗ اوالَّ ِذيْنا‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepada kalian, Berilah kelapangan di
dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah! Niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk
kalian. Dan apabila dikatakan: Berdirilah kalian, maka berdirilah! Niscaya Allah akan
mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi
ilmu beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahui terhadap sesuatu yang kalian kerjakan.”
(Surat Al-Mujadilah: ayat 11)

Sahabat Abu Said Al-Khudri radhiyallahu anhu berkata;

‫أا ْو ا‬
‫سعُ اها‬ ‫ْال ام اجال ِِس‬ ‫اخي ُْر‬ :ُ‫ياقُول‬ ‫سلَّ ام‬
‫او ا‬ ‫ع ال ْي ِه‬
‫ا‬ َّ
ُ‫َّللا‬ ‫صلَّى‬
‫ا‬ ِ َّ
‫َّللا‬ ‫سو ال‬
ُ ‫ار‬ ُ‫سمِ ْعت‬
‫ا‬
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Sebaik-baik majelis adalah
yang paling luas (lapang).”
(HR. Abu Dawud, no.4183)

b. Mengucapkan salam dan duduk di tempat yang tersedia.


Seorang muslim hendaknya menyampaikan salam ketika menemui suatu kaum, dan hendaknya
dia duduk bersama mereka di tempat yang sudah tersedia.

Sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

ِ‫ت ْاْل ُ ْولاى أ ا اح ُّق مِ نا ْاْلخِ ارة‬ ‫ام فا ْليُ ا‬


‫س ِلِّ ْم فالا ْي ا‬
ِ ‫س‬ ْ ‫ِس فا ْليا ْجل‬
‫ِس ث ُ َّم إِذاا قا ا‬ ‫إِذاا ا ْنت ا اهى أ ا احدُ ُك ْم إِلاى ْال ام ْجل ِِس فا ْليُ ا‬
‫س ِلِّ ْم فاإِ ْن باداا لاهُ أ ا ْن يا ْجل ا‬
“Apabila salah seorang di antara kalian tiba di majelis, maka hendaknya dia mengucapkan
salam. Jika ingin duduk, maka duduklah! Kemudian apabila dia ingin bangun, maka hendaklah
dia mengucapkan salam! Karena salam yang pertama tidaklah lebih berhak dari pada salam
yang terakhir.”
(Al-Jami Ash-Shaghir, no.495)

Demikian juga, hendaknya seorang muslim, apapun kedudukannya dan pangkatnya, duduk di
tempat mana saja, ketika tersedia ruang yang cukup untuknya duduk, dan tidak sampai
membangunkan (mengusir) orang lain dari tempat duduknya, lalu agar dia bisa duduk di tempat
tersebut.

Sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

‫سعُوا‬
َّ ‫اوت ااو‬ َّ ‫تا اف‬
‫س ُحوا‬ ‫او الك ِْن‬ ‫فِي ِه‬ ‫ِس‬
ُ ‫يا ْجل‬ ‫ث ُ َّم‬ ‫ام ْق اع ِد ِه‬ ‫مِ ْن‬ ‫الر ُج ال‬
َّ ‫الر ُج ُل‬
َّ ‫يُقِي ُم‬ ‫اَل‬
“Tidak boleh seseorang membangunkan (mengusir) orang lain dari tempat duduknya, lalu dia
duduk di tempat duduk orang tersebut. Tapi sebaiknya katakanlah: Geser dan luaskanlah
(tempat duduk)!”
(HR. Imam Muslim, no.4044)

Dalam riwayat selanjutnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

ْ ‫ع ْن امجْ ِل ِس ِه لا ْم ياجْ ل‬
‫ِس فِي ِه‬ ‫ام لاهُ ار ُج ٌل ا‬
‫ع ام ار إِذاا قا ا‬ ُ ‫اَل يُقِي ام َّن أ ا احدُ ُك ْم أ اخااهُ ث ُ َّم يا ْجل‬
ُ ‫ِس فِي ام ْج ِل ِس ِه او اكانا ا ْب ُن‬
“Janganlah salah seorang di antara kalian membangunkan temannya dari tempat duduknya,
kemudian dia menduduki tempat tersebut. Oleh karena itu, apabila seseorang berdiri untuk
memberikan tempat duduknya kepada Ibnu Umar, dia tidak mau menempatinya.”
(HR. Imam Muslim, no.4045)
c. Tidak duduk di antara dua orang yang saling berdekatan.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

‫ِبإِذْنِ ِه اما‬ ‫ِإ ََّل‬ ‫ار ُجلاي ِْن‬ ‫بايْنا‬ ْ ‫يُجْ لا‬
‫س‬ ‫اَل‬
“Tidak boleh diduduki (tempat) di antara kedua orang, kecuali mereka berdua
mengizinkannya.”
(HR. Abu Dawud, no.4204)

d. Mencari tempat duduk yang terdepan.


Sahabat Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu anhu berkata;

‫صلَّى‬ ِ َّ ‫سو ِل‬


‫َّللا ا‬ ُ ‫اان إِلاى ار‬ ِ ‫اس امعاهُ إِذْ أ ا ْقبا ال ث ا االثاةُ ناف ٍار فاأ ا ْقبا ال اثْن‬ ُ َّ‫ِس فِي ْال امس ِْج ِد اوالن‬ ٌ ‫سلَّ ام با ْينا اما ه اُو اجال‬
‫علا ْي ِه او ا‬ َّ ‫صلَّى‬
‫َّللاُ ا‬ ِ َّ ‫سو ال‬
‫َّللا ا‬ ُ ‫أ ا َّن ار‬
‫س فِي اها اوأا َّما‬ ‫سلَّ ام فاأ ا َّما أ ا احدُهُ اما فا ارأاى فُ ْر اجةً فِي ْال اح ْلقا ِة فا اجلا ا‬ ‫علا ْي ِه او ا‬ َّ ‫صلَّى‬
‫َّللاُ ا‬ ِ َّ ‫سو ِل‬
‫َّللا ا‬ ُ ‫علاى ار‬ ‫اب اواحِ دٌ قاا ال فا اوقافاا ا‬ ‫سلَّ ام اوذاه ا‬‫علا ْي ِه او ا‬ َّ
‫َّللاُ ا‬
‫ا‬ ‫ا‬ َّ
‫ع ْن النَّف ِار الث االث ِة أ َّما‬ ُ ‫ا‬
‫سل ام قاا ال أ اَل أ ْخبِ ُر ُك ْم ا‬ َّ ‫عل ْي ِه او ا‬‫ا‬ َّ ‫صلى‬
‫َّللاُ ا‬ َّ ِ َّ ‫سو ُل‬
‫َّللا ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ُ َّ ‫ا‬ ْ
ُ ‫س خالفا ُه ْم اوأ َّما الثالِث فاأدْبا ار ذاا ِهبًا فال َّما فا ارغ ار‬ ‫ْاْلخ ُار فا اجل ا‬
‫ا‬
ُ‫ع ْنه‬ َّ ‫ض‬
‫َّللاُ ا‬ ‫ض فاأاع اْر ا‬ ‫َّللاُ مِ ْنهُ اوأ ا َّما ْاْلخ ُار فاأاع اْر ا‬ َّ ‫َّللاُ اوأ ا َّما ْاْلخ ُار فاا ْستاحْ ياا فاا ْستا ْحياا‬ َّ ُ‫َّللا فا اآواه‬ ِ َّ ‫أ ا احدُهُ ْم فاأ ا اوى إِلاى‬
“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika sedang duduk bermajelis di Masjid
bersama para Sahabat, datanglah tiga orang. Yang dua orang menghadap Nabi shallallahu
alaihi wa sallam, dan yang seorang lagi pergi. Yang dua orang berdiri sejenak di hadapan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, kemudian satu di antara keduanya melihat tempat kosong dalam
majelis tersebut, maka dia duduk di tempat itu. Sedangkan yang kedua, duduk di belakang
majelis, sedang yang ketiga berbalik arah dan pergi. Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam selesai bermajelis, Beliau bersabda: Maukah kalian aku beritahu tentang ketiga orang
tersebut? Adapun seorang di antara mereka, dia mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah
mendekatkan dia kepadaNya. Yang kedua, dia malu (tidak mengisi tempat yang kosong), maka
Allah pun malu terhadapnya. Sedangkan yang ketiga berpaling dari Allah, maka Allah pun
berpaling darinya.”
(HR. Imam Bukhari, no.64)

e. Menutup majelis dengan doa kaffaratul majlis.


Termasuk kebaikan adalah ketika kita selesai dari bermajelis, maka tutuplah dengan membaca
doa kaffaratul majlis!

Sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

ٍ ‫ع ْن مِ ثْ ِل ِجيفا ِة حِ ام‬
ً‫ار او اكانا لا ُه ْم احس اْرة‬ ‫اما مِ ْن اق ْو ٍم ياقُو ُمونا مِ ْن ام ْجل ٍِس اَل ياذْ ُك ُرونا َّ ا‬
‫َّللا فِي ِه إِ ََّل اقا ُموا ا‬
“Tidak ada suatu kaum yang bangun dari majelis, lalu mereka tidak berdzikir kepada Allah di
dalam majelis tersebut, kecuali mereka akan bangun dari tempat yang semisal dengan bangkai
keledai, dan hal tersebut akan menjadi penyesalan bagi mereka (di akhirat).”
(HR. Abu Dawud, no.4214)

Anda mungkin juga menyukai