Oleh:
Nina Emelia NIM :19.10.11.1479
Dengan menyebut Nama Allah Yang maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi
Allah, Tuhan seru sekalian Alam, karena atas limpahan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya
jualah penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah untuk mata kuliah islam dan budaya
banjar yang berjudul. KEUTAMAAN ORANG BERILMU DAN MENUNTUT ILMU
Shalawat serta salam tak lupa juga kita haturkan kepada keharibaan junjungan kita Nabi
Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan pengikut beliau dari dulu hingga akhir
zaman.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis telah banyak mendapat bantuan, bimbingan dan
pengarahan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya, terutama
sekali kepada yang terhormat :
1. Ahmad Zakki Mubarak, M.Agselaku pembimbing mata kuliah ini serta dapat membantu
menyempurnakan makalah ini.
2. Semua pihak yang ikut membantu, sehingga data-data dapat terkumpul untuk penyusunan
makalah ini.
Saya menyadari pada penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Akhirnya
kepada Allah jualah penulis berserah diri, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Martapura,10 November 2020
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, keterampilan, dan
sikap. Belajar dimulai sejak manusia lahir sampaiakhir hayat. Pada waktu bayi, seorang bayi menguasai
keterampilan keterampilanyang sederhana, seperti memegang botol dan mengenal orang orang
disekelilingnya. Ketika menginjak masa anak anak dan remaja, sejumlah sikap,
nilai, dan ketrampilan berinteraksi sosial dicapai sebagai kompetensi. Pada saat dewasa, individu
diharapkan telah mahir dengan tugastugas kerja tertentu danketrampilan ketrampilan fungsional lainnya,
seperti mengendarai mobil,berwiraswasta, dan menjalin kerja sama dengan orang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
Allâh Azza wa Jalla berfirman : َ ُدون7َِرهَا فَاحْ تَ َم َل ال َّس ْي ُل َزبَدًا َرابِيًا ۚ َو ِم َّما يُوق ِ ت أَوْ ِديَةٌ بِقَد َ أَ ْن
ْ َزَل ِمنَ ال َّس َما ِء َما ًء فَ َسال
َ َّ ُع الن77َق َو ْالبَا ِط َل ۚ فَأ َ َّما ال َّزبَ ُد فَيَ ْذهَبُ ُجفَا ًء ۖ َوأَ َّما َما يَ ْنف
ُ اس فَيَ ْم ُك
ث َ َِاع َزبَ ٌد ِم ْثلُهُ ۚ َك ٰ َذل
َّ ك يَضْ ِربُ هَّللا ُ ْال َح ٍ ار ا ْبتِغَا َء ِح ْليَ ٍة أَوْ َمت
ِ ََّعلَ ْي ِه فِي الن
َ ِض ۚ َك ٰ َذل
ك يَضْ ِربُ هَّللا ُ اأْل َ ْمثَا َل ِ ْ فِي اأْل َرAllah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di
lembah-lembah menurut ukurannya, maka aliran air itu membawa buih yang mengambang (di
permukaan air). Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan
dan alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allâh membuat
perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang
tidak berguna, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.
Demikianlah Allâh membuat perumpamaan-perumpamaan.” [Ar-Ra’d/13:17] Dalam ayat ini
Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan ilmu yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan air (hujan), karena keduanya membawa kehidupan dan
manfaat bagi manusia dalam kehidupan mereka di dunia dan akhirat. Kemudian Allâh
Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan hati manusia dengan lembah (sungai, danau, dll), hati
yang lapang (karena bersih dari kotoran) akan mampu menampung ilmu yang banyak
sebagaimana lembah yang luas mampu menampung air yang banyak, dan hati
yang sempit (karena dipenuhi kotoran) hanya mampu menampung ilmu yang sedikit
sebagaimana lembah yang sempit hanya mampu menampung air yang sedikit, Allâh Subhanahu
wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “… Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurun
ukurannya (daya tampungnya),” kemudian Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “…
Maka aliran air itu membawa buih yang mengambang (di permukaan air),”
Kelebihan Ilmu Dibanding Harta
Khalifah Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa ada sepuluh kelebihan ilmu dibanding harta,
yaitu:
1. Ilmu adalah warisan para nabi, sedangkan harta adalah warisan dari Fir’aun, Qarun, dan
lain-lain.
2. Ilmu selalu menjaga orang yang mempunyainya, sedangkan harta dijaga oleh orang yang
mempunyainya.
3. Orang yang berilmu banyak mempunyai teman, sedangkan orang yang berharta
mempunyai banyak lawan.
4. Ilmu apabila diberikan kepada orang lain akan bertambah sedangkan harta bila diberikan
akan berkurang.
5. Ilmuwan sering dipanggil alim, ulama, dan lain-lain. Sedangkan hartawan sering
dipanggil bakhil, kikir, dan lain-lain.
6. Pemilik ilmu akan menerima syafaat pada hari kiamat, sedangkan pemilik harta dimintai
pertanggungjawabann ya.
7. Ilmu apabila disimpan tidak akan habis, sedangkan harta bila disimpan akan usang dan
lapuk.
8. Ilmu tidak usah dijaga dari kejahatan, sedangkan harta selalu dijaga dari kejahatan.
9. Ilmu tidak memerlukan tempat, sementara harta memerlukan tempat.
10. Ilmu akan menyinari hati hingga menjadi terang dan tenteram, sedangkan harta akan
mengeraskan hati.
Nasihat yang disampaikan Ali tersebut menegaskan kepada kita bahwa ilmu lebih mulia dari
pada harta, dalam mencari harta kita boleh jadi merugi, akan tetapi sejauh mana pun kita mencari
ilmu tidak akan pernah ada istilah merugi.
Beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi seorang muslim.
Ilmu sangat penting dan sangat tinggi manfaatnya (QS.Shaad:45)
Keimanaan lebih utama dibanding ilmu (QS.As Shaaffat:81)
Dengan beriman dan berilmu derajat manusia akan semakin meningkat.
Agama akan semakin ditinggikan apabila umatnya semakin beriman dan berilmu.
2. Empat Akhlak Yang Melekat Dalam Diri Orang Yang Berilmu
Akal yang cerdas dan brilian memang sebuah anugerah. Namun ia bukan merupakan perantisatu-
satunya dalam membimbing manusia untuk meraih kesejatian. Bahkan tidak sedikitorang yang
kebablasan, sehingga menuhankan akal. Dalam kaitan ini, maka agama danakhlak mesti terus
mengawali kemampuan akal ini, sebagaimana yang diujarkan oleh Umar bin Khaththab: ³Modal
seorang laki-laki adalah akalnya, kemuliaannya terletak padaagamanya, dan harga dirinya ada
pada akhlaknya.´Bila akhlak menjadi parameter dari harga diri seseorang, maka lebih-lebih
terhadap ulama.Maka akhlak menjadi bagian yang inheren dan instrinsik dengan dirinya. Dari
permenungan Imam Mawardi, setidaknya ada empat akhlak yang harus melekat dalam diri orang
yang berilmu,yaitu:
Pertama, tawadhu dan tidak ujub. Karena Nabi mengatakan: ³Sesungguhnya ujub itu
akanmemakan hasanah (kebaikan) sebagaimana api melalap kayu bakar.´ Seorang ulama
juga berujar: ³Barangsiapa yang takabur dan merasa tinggi dengan ilmunya, Allah
akanmerendahkannya, dan barangsiapa yang tawadhu’ (rendah hati) dengan ilmunya, Allah
akanmengangkatnya.
Kedua, mengamalkan ilmu. Dalam hal ini, Ali bin Abu Thalib mengingatkan: ³Orang-orangtidak
mau mencari ilmu tidak lain karena mereka melihat sedikitnya orang yang berilmumengambil
manfaat dari ilmunya.´ Seorang ulama juga berucap: ³Buah dari ilmu adalah pengamalan, sedang
buah amal ialah balasan/pahala.
Ketiga, tidak pelit dengan ilmu. Orang yang berilmu harus mengajarkan ilmunya kepadayang
lain, karena pelit dengan ilmu adalah tercela dan suatu kezaliman. Sebuah ujaranhikmah
menyebutkan: Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, maka ia seolah-olah bodohtentangnya.
Keempat, bersifat mendidik dan lemah lembut. Seorang yang berilmu harus selalu
memberinasihat dan bimbingan dengan lemah lembut, memberikan kemudahan-kemudahan
kepadamuridnya dan memotivasinya untuk giat belajar. Perbuatan ini mendatangkan pahala
besar baginya. (Makmun Nawawi).
Allah akan mengangkat derajat orang berilmu dan beriman, berilmu dan beriman hanya dimiliki
secara konsep oleh orang Islam, kenapa secara konsep dimiliki oleh orang Islam? Karena pada
dasarnya Islam menghargaia ilmu dan sekaligus memberi kepercayaan dan keungulan kepada
orang beriman yang berilmu. Kenapa orang beriman diberi keunggulan karena dengan ilmunya
dan imannya pengetahuan dan keahliannya akan bermanfaat bagi diri dan orang lain. Kenapa
harus bermanfaaat bagi diri dan orang lain? Jawabnya adalah karena Allah menyuruh untuk yang
demikian,. Dengan ilmu dan imanlah pengetahuandan keahlian seseorang akan berdaya guna.
Dengan ilmu dan imannya banyak orang mengambil manfaat dan sekaligus memberi manfaat
bagi kebaikan dirinya.
Kenapa harus demikian kenapa orang berilmu harus mempunyai iman? Untuk menjawab hal
tersebut perlu mencermati ayat tersebut sebelumnya (Mujadalah:11), dalam ayat tersebut
digambarkan secara jelas bahwa hanya orang berilmu dan beriman yang akan diangkat
derajatnya secara hakiki, bukan ilusi, derajat yang diberikan Allah kepada orang berilmu dan
beriman merupakan sebuah penghargaan yang tinggi di sisi Allah. Berbeda halnya dengan orang
berilmu tanpa iman, ia akan mendapatkan manfaat sedikit dari ilmu yang dikuasainya tanpa ada
nilai tambah secara spiritual keakheratan, hal ini terjadi diantaranya adalah karena ia melepaskan
antara ilmu dengan iman, sehingga secara konsep ia telah keluar dari Kriteria surat Mujadalah
ayat 11 tersebut.
Maka jangan heran kalau orang berilmu tanap ada iman akan bertindak, berbuat dan berkata dan
semua gerak geraiknya selalu membawa bencana, baik untuk diri dan lingkungnya. Kenapa
selalu membawa bencana karena pada hakekatnya ilmu yang ia punya tidak mampu memberi
cahaya kepada diri dan orang lain. Kenapa ilmunya tidak membawa cahaya? Karena ilmunya
tanpa ada ruh iman, tanpa ada semangat iman sehingga ilmu menjadi redup dari esensi cahaya
Ilahi. Maka tidak heran jika ilmu yang dikuasainya hanya membawa nestapa semua. Nestapa
untuk diri dan orang sekelilingnya.
Nestapa diri dan orang lain akibat ilmu yang tidak ada ruh iman berakibat lebih lama dan tak
berkesudahan, hal ini sangat mungkin terjadi karena ilmu yang ditularkan dan di berikan kepada
orang laian tidak membawa esensi cahay Ilahi, esensi tauhid telah mati dalam jiwa imunya,
ilmunya telah menjadi sesosok mayat , yang dingin tanpa ada kesejukan salju iman. Salju dalam
ilmu hanya ada pada orang yang berilmu dan beriman. Ilmu yang dibalut dengan iman akan
membawa rasa aman bagi diri dan orang lain.
Rasa aman ini timbul akibat pancaran cahaya Tuhan yang ada pada ilmu itu. Pancaran tersebut
akan selalu bersinar dikala yang memberi ilmu yang menerima ilmu selalu dalam koridor
ketuhanan. Ketika orang berilmu selalu dalam kamar ketentuan Tuhan maka, segala perbuatan,
tingkah laku, tutur kata dan segala aktifitasnya akan membawa sejuta angin surga, membawa
salju kesejukan bagi semua. Kenapa salju ada dalam ilmu? Karena ilmu tersebut disertai cahaya
Tuhan esensi kebenaran dan keagungan Ilahi terpancar dan menjadi semacam ruh ilmu.
Pengertian Ilmu
“Secara bahasa pengertian ilmu adalah lawan kata bodoh/Jahil, sedang secara istilah berarti
sesuatu yang dengannya akan tersingkaplah segala hakikat yang secara sempurna. Secara istilah
Syar’i pengertian ilmu yaitu, ilmu yang sesuai dengan amal, baik amalan hati, lisan maupun
anggota badan dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah Saw.”
Ibnu Munir berkata : “Ilmu adalah syarat benarnya perkataan dan perbuatan, keduanya tidak
akan bernilai kecuali dengan ilmu, maka ilmu harus ada sebelum perkataan dan perbuatan,
karena ilmu merupakan pembenar niat, sedangkan amal tidak akan di terima kecuali dengan niat
yang benar.”
Dalam pengertian lain “Ilmu itu modal, tak punya ilmu keuntungan apa yang bisa didapat,
ilmu adalah kunci untuk membuka pintu kebaikan kesuksesan, kunci untuk menjawab
pertanyaan dan masalah di dunia . . .”
Berdasarkan beberapa definisi tentang pengertian ilmu di atas dapat disimpulkan bahwa, ilmu
merupakan sesuatu yang penting bagi kehidupan manusia karena dengan ilmu semua keperluan
dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah baik secara lisan
(perkataan), maupun berupa perbuatan (anggota badan), tanpa ilmu kesuksesan tak pernah
ketemu karena ilmu merupakan bagian terpenting dalam kehidupan seperti kebutuhan manusia
akan oksigen untuk bernapas.
Artinya : “1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4.
yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.” (Qs al-‘Alaq: 1-5)
b) Kandungan surah al – alaq
Surah al – alaq diawali dengan kata iqra’ yang artinya “bacalah”. Allah SWT
memeritahkan hamba-NYA untuk membaca. Semua itu berkat kekuasaan dan kehendak Allah
SWT yang telah menciptakannya. Kalimat “bacalah” pertama kali ditujukan kepada nabi
Muhammad SAW meskipun beliau tidak bisa membaca dan menulis kitab yang oleh diturunkan
Allah SWT lewat malaikat Jibril, akhirnya beliau dapat membaca. Membaca di sini artinya
mengamati, mempelajari, da merenungkan alam yang merupakan bukti kekuasaan Allah SWT.
Kemampuan kemampuan tersebut menumbuhkan ilmu – ilmu seperti astronomi, geografi,
biologi, dll.
Dalam surah al – alaq, kata iqra’ diulang dua kali. Maksudnya membacaitu tidak cukup
satu kali saja tetapi harus di ulang – ulang. Sebab membaca tidak akan meresap dalam jiwa
kecuali setelah di ulang – ulang dan dibiasakan. Surah ini juga menunjukkan tentang betapa
pentingnya membaca, menulis, dan ilmu pengetahuan bagi manusia dalam kehidupan sehari –
hari.
c) contoh penerapan surah surah al – alaq dalam kehidupan sehari – hari
1. Pandai untuk memanfaatkan waktu.
2. tidak bermalas – malasan / membuang waktu untuk hal – hal yang tidak penting.
3. Memiliki semangat keilmuan yaitu bersemangat dalam menuntut ilmu.
4. Rela mengeluarkan biaya dalam mencapai suatu ilmu.
5. Lebih mengutamakan penguasaan ilmu daripada harta kekayaan semata.
6. Menanamkan keimanan yang kuat kepada Allah SWT.
7. Selalu beramal shaleh dan berbuat baik terhadap orang lain.
8. Tidak malu bertanya kepada orang yang lebih tau.
9. Rajin mengunjungi perpustakaan.
10. Rajin mendatangi masjid, majelis ilmu, dan tempat mencari ilmu lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawardi, Ali bin Muhammad bin Habib.“Adab al-Dun-ya wal al-Din”, Beirut: Dar Iqra’,
1985
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. “Ihya’ Ulum al-Din”, Beirut: Darul Ma’rifah, tt,
Kementerian Waqaf dan Urusan Islam Kuwait, Ensiklopedi Fiqih, Kairo: Dar As-Shofwah, 2007
An-Nawawi, Yahya bin Syaaf, “Al-Majmu’ ‘ala Syarh al-Muhadzab”, Kairo: Maktabah al-
Muniriyah, tt, Juz. 1 hlm. 40-41