Disusun Oleh :
1442 / 2020
I. PENDAHULUAN
Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, hal ini dapat menjadi peluang
untuk meningkatkan potensi industri syariah di Indonesia. Salah satu industri syariah
di Indonesia adalah dibidang keuangan, dimana industri keuangan syariah di
Indonesia diawali perkembangannya dengan hadirnya sebuah perbankan syariah pada
tahun 1992 yaitu Bank Muammalat. Setelah lahirnya perbankan syariah, kemudian
untuk pertama kalinya pada tahun 1994 lahir asuransi syariah di Indonesia yaitu PT
Syarikat takaful Indonesia (Ferieka & Ayuningtyas, 2020).
Perkembangan positif pernah terjadi pada pertumbuhan aset perbankan
syariah pada tahun 2013 dibandingkan dengan tahun 2008 yaitu dari Rp49,6 triliun
pada 2008 menjadi Rp223 triliun pada tahun 2013 (Ramadhani, 2015). Seiring
dengan itu perkembangan asuransi syariah juga pernah mengalami peningkatan yang
baik yaitu adanya peningkatan aset asuransi syariah dari 5 tahun terakhir mulai 2015
sampai Juli 2020 yaitu dari dari Rp 41,01 miliar menjadi Rp 44,75 miliar.
Meski sekarang kondisi Indonesia pada tahun 2020 sedang mengalami krisis
ekonomi akibat dampak dari adanya Covid-19, harapan meningkatkan potensi
asuransi syariah masih ada. Terlihat dari pernyataan Pimpinan Unit Usaha Syariah
Allianz Life Indonesia, Yoga Prasetyo yang mengatakan bahwa masih besarnya
potensi pertumbuhan asuransi syariah di Indonesia yang dibuktikan dari adanya
kontribusi new business premium contribution, syariah yang menempati porsi 18% -
20% dari total bisnis Allianz, selain itu bisnis Allianz juga mencatat bahwa total
GWP mereka mencapai Rp 309,4 miliar (Fadila, 2020).
Dengan potensi yang ada, perlu juga diperhatikan dari sisi akuntansinya
supaya terciptanya suatu konsistensi dari bagian sisi internal maupun eksternal.
Akuntansi untuk asuransi syariah telah diatur dalam Pedoman Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) No. 108 yang telah diterbitkan oleh DSAK—IAI dan berlaku
sejak tahun 2009. Dimana dalam PSAK tersebut mengatur perlakuan akuntansi
(pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan) transaksi khusus yang
berkaitan asuransi syariah (Rahmiyanti & Yusitha, 2017). Pada tahun 2013 setelah
dikeluarkannya surat Dewan Pengurus Nasional (DPN) IAI No.
0823B/DPN/IAI/XI/2013 terjadi sebuah pengalihan kewenangan kepada DSAS-IAI,
yang kemudian PSAK mengalami revisi pertama yang disahkan pada tanggal 25 Mei
2016 dan berlaku efektif sejak 1 januari 2017. Perubahan-perubahan yang terjadi
adalah terkait pengakuan awal kontribusi peserta, perhitungan penyisihan teknis
manfaat polis masa depan, serta penyajiannya (Suherman, 2013).
II. PEMBAHASAN
Asuransi Syariah menurut Dewan Syariah Nasional MUI (DSN MUI) sama
dengan istilah ta`min, takaful, atau tadhaamun, dan didefinisikan sebagai usaha saling
melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi
dalam bentuk aset dan/atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Dalam definisi ringkas AAOIFI edisi tahun 2010, Asuransi Islami adalah akad
pertanggungan oleh sekelompok orang yang berdasarkan akad itu setiap peserta
membayar sejumlah harta atas dasar tabarru (hibah) untuk mengganti bahaya-bahaya
yang mungkin menimpa kepada siapa saja dari para peserta ketika terjadi risiko yang
telah ditanggung.
Prinsip dasar dalam asuransi syariah adalah saling tolong menolong
(ta’awuni) dan saling menanggung (takafuli) antara sesama peserta asuransi. Akad
yang digunakan dalam asuransi syariah adalah akad tabarru’ yang digunakan diantara
para peserta dan akad tijari digunakan diantara peserta dengan entitas pengelola.
Pembayaran dari peserta dapat meliputi : kontribusi; atau kontribusi dana investasi
yang dibentuk dari donasi, hasil investasi, dan akumulasi cadangan surplus
underwriting dana tabarru’ yang didistribusikan kembali ke dana tabarru’. Hasil
investasi dana tabarru’ secara keseluruhan menjadi penambah dana tabarru’ dan
sebagian lainnya untuk entitas pengelola sesuai dengan akad yang disepakati.
Di Indonesia landasan hukum terkait asuransi syariah yang diterbitkan
lembaga keuangan dan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang pernah dan masih
berlaku hingga saat ini adalah: Pertama, DSN-MUI No.21/DSN-MUI/X/2001
tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Kedua, DSN-MUI No.39/DSN-
MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji. Ketiga, Akad Wakalah Bil Ujrah Berdasarkan
Fatwa Dewan Syariah DSN-MUI No. 52/DSN MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah
bil Ujrah pada Asuransi Syari’ah dan Reasuransi Syari’ah. Keempat, DSN-MUI
No.53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah dan
Reasuransi Syariah
Penyisihan teknis untuk asuransi syariah terdiri atas jumlah klaim terkait
dengan kontribusi yang timbul pada periode berjalan atau periode mendatang. Klaim
yang masih dalam proses akan dibayar dan dilaporkan sampai akhir periode berjalan.
Penyisihan tersebut termasuk beban penanganan dikurangi beban klaim yang menjadi
kewajiban reasuransi dan diakui sebagai beban dalam laporan surplus deficit
underwriting dana tabarru’. Penyisihan kontribusi yang belum menjadi hak dihitung
menggunakan metode industry perasuransian. Klaim yang masih dalam proses diukur
sebesar estimasi klaim yang masih dalam proses oleh entitas asuransi syariah. Jumlah
tersebut harus mencukupi klaim yang terjadi dan dilaporkan sampai dengan akhir
periode pelaporan. Dan untuk klaim yang terjadi tetapi belum dilaporkan diukur
sebesar jumlah estimasi akan dibayarkan pada tanggal neraca berdasarkan pada
pengalaman masa lalu yang terkait dengan klaim(IAI, 2018).
IAI. (2018). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 108 Akuntansi Transaksi
Asuransi Syariah. Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan, 108, h. 1-24.
Meliana, R. (2015). Evaluasi Kesesuaian PSAK 108 Akuntansi Transaksi asuransi syariah
dengan mengacu kepada Al-Quran dan Hadist. Magister Manajemen, 151(2), 10–17.
Sula, Muhammad Syakir. 2004. Asuransi Syariah (Life and General). Jakarta: Gema