Anda di halaman 1dari 21

PEMBAHASAN

A. Sistem Stomatognatik
Menurut Marzouk dan Simonton (1985), sistem stomatognatik merupakan
kesatuan organ yang memiliki fungsi berkaitan satu sama lain. Organ-organ
tersebut terdiri dari mandibula, maxilla, TMJ, struktur gigi, dan struktur
pendukung lain seperti otot mastikasi, otot wajah, serta otot kepala dan leher.
Sistem stomatognatik dalam kedokteran gigi merupakan ilmu yang di
dalamnya mempertimbangkan hubungan antara gigi geligi, rahang
persendian temporomandibula, kraniofasial, dan oklusi gigi. Sistem
stomatognatik merupakan sistem yang bertanggung jawab terhadap fungsi
pengunyahan, bicara, dan penelanan. Sistem stomatognatik berfungsi
secara harmonis dan dikoordinasikan oleh sistem syaraf pusat. Gangguan
yang terjadi pada salah satu organ akan menyebabkan terganggunya fungsi
sistem pengunyahan dan kerusakan pada sistem stogmatognatik.
B. Komponen Sistem Stomatognatik
1. Gigi serta jaringan pendukungnya
Gigi yang telah diketahui terdapat berbagai fungsi yaitu gigi insisiv
untuk memotong, gigi caninus untuk merobek dan gigi geraham kecil
maupun besar untuk mengunyah makanan. Sedangkan pada jaringan
pendukungnya terdapat membrane periodontal, sementum, gingiva,
dan tulang alveolar.
2. Mandibula
Mandibula terdiri dari corpus berbentuk tapal kuda dan sepasang
ramus. Corpus mandibula bertemu dengan ramus masing-masing sisi
pada angulus mandibula. Bagian yang terdapat pada mandibula
diantaranya adalah foramen mentale yang merupakan tempat
keluarnya arteri dan nervus alveolaris inferior. Selain itu, terdapat
fovea submandibularis dimana terdapat pars superficialis glandula
submandibularis, terletak dibagian bawah posterior linea mylohyoid.
Lalu terdapat fovea subligualis, tempat dari glandula sublingualis
terletak dianterior linea mylohyoid.
Ramus mandibula terletak vertikal dan memiliki processus
coronoideus dan processus condylaris. Kedua processus dipisahkan
oleh incisura mandibula. Mandibula berperan penting dalam
stomatognatik, diantaranya sebagai tempat perlekatan otot mastikator,
gigi geligi, jaringan lunak sehingga memudahkan pengunyahan (Snell,
2007).
3. Mukosa oral
Mukosa oral dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
a. Lining mukosa, yang merupakan mukosa lembut, lentur dan non
keratin. Lining mukosa tidak digunakan dalam proses pengunyahan
oleh karena itu memiliki sedikit atrisi. Lining mukosa terdiri dari:
bibir, palatum mole, pipi, permukaan ventral lidah, dan dasar
mulut.
b. Masticatory mukosa, mengandung keratin, indikasi adanya atrisi
yang terjadi selama pengunyahan. Masticatory mukosa terdiri dari:
gingiva dan perlekatan epitel, attached gingiva, epitel junctional,
papilla interdental, palatum durum.
c. Specialized mukosa, yang berfungsi dalam proses pengunyahan.
Yang termasuk specialized mukosa yaitu ada papillae. Papillae
dibagi menjadi empat yaitu: papilla filiformis, papilla fungiformis,
papilla sirkumvalata, dan papilla foliate.

Fungsi dari mukosa oral adalah:


1. Membantu proses pengunyahan dan penelanan.
2. Fungsi digestif (kelenjar saliva) alfa amylase yang menghidrolisa
makanan menjadi maltose.
3. Informasi rasa.
4. Respon terhadap suhu, raba, sakit.
5. Melindungi jaringan yang lebih dalam.
4. TMJ
Sendi Temporomandibula merupakan sendi yang bertanggung jawab
terhadap pergerakan membuka dan menutup rahang, mengunyah serta
berbicara yang letaknya dibawah depan telinga. Sendi ini fleksibel,
dapat bergerak ke atas dan ke bawah serta ke samping. Otot yang
melekat di sekitar sendi rahang dan rahang bagian bawah mengatur
posisi dan pergerakan dari rahang. Sendi temporomandibula
merupakan satu-satunya sendi di kepala, sehingga bila terjadi sesuatu
pada salah satu sendi ini, maka seseorang mengalami masalah yang
serius. Masalah tersebut berupa nyeri saat membuka dan menutup
mulut, makan, mengunyah, berbicara, bahkan dapat menyebabkan
mulut terkunci.
Susunan anatomi normal dari sendi Temporomandibula ini dibentuk
oleh bagian – bagian:
a. Prosesus kondiloideus
Prosesus kondiloideus adalah struktur tulang berbentuk ellips dan
kasar yang melekat pada ramus mandibula. Dimensi
mediolateralnya (sekitar 20mm) lebih besar dari dimensi Antero-
posteriornya (8-10 mm). Permukaannya ditutupi oleh lapisan tipis
fibrocartilage.
b. Discus artikularis
Letak kondilus mandibula tidak berkontak langsung dengan
permukaan tulang temporal, tetapi dipisahkan oleh suatu discus
yang halus yang di sebut dengan menicus atau discus articularis.
Diskus ini tidak hanya perperan sebagai pembatas tulang keras tetapi
juga sebagai bantalan yang menyerap getaran dan tekanan yang
ditransmisikan melalui sendi. Discus articularis terletak antara
prosesus kondiloid dan fossa glenoidalis. Discus articularis terbagi
menjadi 3 bagian berdasarkan ketebalannya. Bagian tengah adalah
bagian paling tipis yang disebut zona intermediate (1mm), zona
intermediete memisahkan bagian yang lebih tebal yaitu anterior
band (2mm) dan posterior band (3mm).
c. Fossa glenoidalis
Fossa glenoidalis merupakan bagian dari tulang temporal yang
berbentuk cekungan yang ditempati kondilus mandibula. Fossa ini
terbungkus dalam lapisan tipis fibrocartilage (fibrous avaskuler).
d. Kapsula
Kapsula merupakan struktur ligamen tipis yang memanjang dari
bagian temporal fossa glenoidalis dibagian atas, bergabung dengan
tepi meniscus dan mencapai bawah leher processus kondileideus
untuk mengelilingi seluruh sendi. Kapsula ini dibagian lateral
diperkuat oleh ligamentum temporomandibularis, yang berfungsi
membatasi pergerakan processus kondiloideus ke anterior dan
posterior. Rongga sendi superior dan inferior yang dipisahkan oleh
discus dan berada dalam kapsula dilapisi oleh jaringan sinovial
yang menghasilkan cairan yang dibutuhkan untuk pelumasan
permukaan persendiaan. Rongga sebelah atas lebih lebar, dengan
kapasitas sekitar 1ml, sementara rongga bagian bawah besarnya
kurang lebih setengah dari rongga bagian atas.

e. Ligamen
Ligamen kapsul adalah jaringan fibrous elastis tipis yang melekat
pada pinggiran permukaan artikular. Fungsi dari ligamen yang
membentuk Sendi Temporomandibular ini adalah sebagai alat
untuk menghubungkan tulang temporal dengan prosesus
kondiloideus dari tulang mandibula serta membatasi gerak
mandibula membuka, menutup mulut, pergerakan ke samping, dan
gerakan lain.
Ligamen yang menyusun Sendi Temporomandibula terdiri dari :
1) Ligamen temporo mandibular
2) Ligamen spheno mandibular
3) Ligamen stylo mandibular (Henny, 1968).
Pada TMJ terdapat gerakan yang disebut gerakan bennett yaitu pada
saat rahang digerakkan dari sisi yang satu ke sisi lainya untuk
mendapat gerak pengunyahan antara permukaan oklusal premolar dan
molar, prosesus kondiloideus pada sisi tujuan arah mandibula yang
bergerak akan ditahan tetap pada posisi istirahat oleh serabut posterior
muskulus temporalis sedangkan tonus kontraksinya akan tetap
dipertahankan oleh otot-otot pengunyahan lain yang terdapat pada sisi
tersebut. Pada sisi berlawanan prosesus kondiloideus dan diskus
artikularis akan terdorong ke depan ke eminensia artikularis melalui
kontraksi muskulus pterygoideus lateralis dan medialis, dalam
hubungannya dengan relaksasi serabut posterior muskulus temporalis.
Jadi, gerak mandibula dari sisi satu ke sisi lain terbentuk melalui
kontraksi dan relaksasi otot-otot pengunyahan berlangsung bergantian,
yang juga berperan dalam gerak protrusi dan retrusi Pada gerak
lateral, caput mandibula pada sisi ipsilateral, ke arah sisi gerakan,
akan tetap ditahan dalam fosa mandibularis. Pada saat bersamaan,
caput mandibula dari sisi kontralateral akan bergerak translasional ke
depan. Mandibula akan berotasi pada bidang horizontal di sekitar
sumbu vertikal yang tidak melintas melalui caput yang ‘cekat’, tetapi
melintas sedikit di belakangnya. Akibatnya, caput ipsilateral akan
bergerak sedikit ke lateral, dalam gerakan yang dikenal sebagai
gerak Bennett. Selain menimbulkan pergerakan aktif, otot-otot
pengunyahan juga mempunyai aksi postural yang penting dalam
mempertahankan posisi mandibula terhadap gaya gravitasi. Bila
mandibula berada pada posisi istirahat, gigi geligi tidak beroklusi dan
akan terlihat adanya celah atau freeway space diantara arkus dentalis
superior dan inferior (Liebgot, 1994).
C. Mekanisme Proses Bicara, Pengunyahan dan Penelanan
1. Bicara
Berbicara menurut Kamus Kedokteran Dorlan (1998) adalah ekspresi
pikiran dan ide yang dikeluarkan melalui suara. Berbicara penting
dalam kehidupan sehari – hari karena berfungsi untuk berkomunikasi
dengan individu lainnya. Kemampuan berbicara ini tergantung dari
pada perkembangan dan fungsi normal daerah motorik pada cortex
cerebri serta pada pemanfaatan mekanisme otot-otot kompleks pada
larynx, pharyx dan cavum oris. Berbicara terdiri dari beberapa stuktur
yaitu organ respirasi, larynx, rongga pharynx, sinus-sinus dan cavum
oris.
Berikut merupakan otot-otot yang berpengaruh dalam berbicara adalah
a. Otot Larynx
No Otot Origo Insersio Fungsi Inervasi
1. Instrinsik
M. Arcus Lamina Menegangkan n.
cricothyroideus cartilaginis cartilaginis pita suara laryngeus
cricoidae tyroidae eksternal
M.arytenoideus cartilago Cartilago Menutup rima n.
Transversus arytenoidea arytenoidea dari glotis laryngeus
(tepi lateral sisi yang recurrent
dan berlawanan (tepi
permukaan lateral dan
posterior) permukaan
posterior)
M. Lamina Processus abduksi pita n.
cricoarylenoid cartilaginis muskularis suara laryngeus
eus posterior cricoideae cartilaginis recurrent
(permukaan arytenoudeae
belakang) dan permukaan
belakang
cartilago
arytenoidea
M. Arcus Processus adduksi pita n.
cricoarytenoid cartilaginis muskularis suara laryngeus
eus lateralis cricoidea cartilaginis recurrent
arytenoideae
M. Angle of Arytenoid relaksasi pita n.
thyroarytenoid hyoid thyroid (vocal process) suara laryngeus
eus cartolago recurrent
M. vocalis Cartilago Procesus vocalis Menegakkan n.
tyroidea dan fovea pita suara dan laryngeus
oblonga membentuk tepi recurrent
cartilaginis bibir pita suara
arytenoida

b. Otot Lidah

No Otot Origo Insersio Fungsi Inervasi


1. Ekstrinsik
M. Spina Aponeurosis Mendorong n.
Genioglossus mentalis lingua lidah kedepan, hypogloss
mandibula pemindahan us
kebawah,
penggerakan
ujung lidah
M. Cornu majus Aponeurosis Menarik balik n.
Hyoglossus dan corpus lingua (daerah lidah, hypoglossu

os hyoideus lateral) menurunkan s

punggung
lidah, dan
dasar lidah
M. Proccesus Tepi samping Menarik balik n.
Styloglossus stylohyoideus lidah dan hypoglossu
os temporalis (posteriorsuper mengangkat s
(tepi depan),
ior lingual) lidah
ligamen
stylomandibul
are dan
ligamen
stylohyoideum

2. Intrinsic
M. Apex lingue Radix lingue Menarik balik n.
Longitudinal lidah dan juga hypogloss
perluasan us
gerakan lidah
yang
berhubungan
dengannya
M. Tepi samping Tepi samping Pengerutan n.
Transversus lidah;septum lidah;aponeurosi lidah dan juga hypogloss
linguae lingua s lingua yang us
berhubungan
dengan
gerakan
menjulurkan
lidah
M. vertical Dorsum Permukaan Mendatarkan n.
linguae linguae inferior linguae dan hypogloss
melebarkan us
lingua

c. Otot Mastikator

No Otot Origo Insesio Fungsi Inervasi


1 M. masseter Tepi inferior Angulus Mengangkat, n.
Superficialis. ⅔ depan arcus mandibulae & pergerakan trigeminus
zygomaticus. bag. bawah lateral dan cab.
permukaan retrusi Mandibulari
lateral ramus. s

M. masseter Tepi inferior Angulus Mengangkat, n.


Profunda ⅓ belakang mandibulae & pergerakan trigeminus
arcus bag. bawah lateral dan cab.
zygomaticus. permukaan retrusi Mandibulari
lateral ramus. s

2. M. temporalis. Fossa permukaan Tonus istirahat, n.


temporalis di medial proc. elevasi, retrusi trigeminus
bawah linea Coronoideus & dan gerak cab.
temporalis dan tepi antero- ipsilateral Mandibulari
Linea medial ramus s
temporalis mandibulae.
inferior yg
melengkung.
3. M. Permukaan permukaan Elevasi,protrusi n.
Pterygoideus medial lamina medial ramus dan gerak trigeminus
medialis lateralis proc. mandibula kontralateral cab.
Pterygoideus. melebar ke Mandibulari
Sebagian bawah sulcus s
serabut keluar mylohyoideus
dari tuber ditepi inferior &
maxillae angulus
mandibula
4 M. Caput Caput inferior, Protrusi, n.
Pterygoideus superior, ke posterior, ke depresi dan trigeminus
lateralis berupa serabut superior dan gerak cab.
dari seluruh sedikit ke lateral kontralateral Mandibulari
atap fossa kemudian s
infratemporali berinsertio pada
s. fovea
pterygoideus di
permukaan
anterior collum
mandibula

d. Otot Ekspresi Wajah

No Otot Origo Insersio Fungsi Inervasi


1. M. orbicularis serabut serabut mulut n. facialis
oris ekstrinsik: ekstrinsik: menutup,
dari insersio serabut menekan
otot melintasi labium oris
sirkumolar cavum oris di terhadap gigi
serabut dalam pipi dan
intrinsik: dari sebagai memajukan
fossa spinchter labium oris
incisiva serabut
mandibula intrinsik:
serabut
berjalan oblik
ke depan dan
masuk ke kutis
labium oris

2. M. levator Fossa canina sudut mulut mengangkat n. facialis


anguli oris maxillae di sudut mulut.
bawah
foramen
infraorbitale

3. M. depressor linea obique sudut mulut menarik sudut n. facialis


anguli oris mandibulae mulut ke
bawah
4. M. Raphe Serabut otot n. facialis
Buccinator pterygomand berjalan ke
ibularis depan melalui
, Processus pipi sebagai
alveolaris suatu lapisan
superior, datar. Pada
Processus waktu
alveolaris mendekati
inferior sudut mulut,
serabut
superior
berjalan ke
inferior,
sedang serabut
inferior ke
superior untuk
bergabung
dengan m.
orbicularis
oris.
Ada 4 proses dalam berbicara:
a. Respirasi
1) Respirasi merupakan suatu proses inhalasi dan ekhalasi. Pada
bicara apparatus pernapasan selama ekhalasi menyediakan aliran
udara yang merupakan awal dari proses bicara. Organ yang
berpengaruh dalam proses ini adalah trakea, bronkus dan paru-
paru. Udara dari paru-paru keluar dari glottis dan menggetarkan
plica vocalis dan menjadi gelombang suara (Hermani dan
Hutauruk, 2006). Pada proses inspirasi maupun ekspirasi paru-
paru membutuhkan kinerja dari otot-otot disekitarnya. Pada saat
inspirasi, otot yang sangat berperan adalah m. interkostalis
eksternus yang membuat rongga dada membesar. Sedangkan
pada saat ekspirasi, otot yang sangat berperan adalah m. rectus
abdominal yang berperan untuk mengangkat diafragma. Inervasi
organ tersebut adalah n. Vagus dan trunkus simpatikus dan
vaskularisasinya adalah a. Bronkialis, a. Pulmonalis,
v.bronkialis, dan v.pulmonalis (Faiz dan Moffat, 2004).
b. Phonasi
Phonasi adalah suara yang dihasilkan dari aliran udara yang keluar
melalui laring. Didaloam laring pitasuara mengubah aliran udara ini
dengan mengatur kedua pita suara kiri dan kanan dan juga jaraknya
sehingga terbentuk suatu celah sempit yang besar dan konturns
bervariasi segingga menimbulkan tahanan terhadap aliran udara dan
menimbulkan suara atau bunyi. Bunyi tersebut dikenal sebagai
suara laring atau vocal (Somantri, 2007). Otot-otot yang berperan
dalam menghasilkan suara adalah m. Cricothyroideus
(menegangkan pita suara), m. Tyroarytenoideus (relaksasi pita
suara), m. Cricoarytenoideus lateralis, (adduksi pita suara), dan m.
Cricoarytenoideus posterior (abduksi pita suara). Inervasi organ
tersebut adalah n. Vagus dan vaskularisasinya adalah a.laryngeal
superior, a.laryngeal inferior, v.laryngeal superior, dan v.laryngeal
inferior (Putz dan Pabst, 2003).
c. Resonansi
Resonansi adalah memberikan kualitas karakteristik pada bunyi
gelombang suara yang ditimbulkan pita suara. Organ yang berfungsi
adalah sinus baik itu maksila, paranasal dan juga frontalis, rongga
pharynk yaitu orofaring dan nasofaring , rongga mulut, rongga
dinding dan rongga dada. Inervasinya berasal dari n.trigeminus
cabang opthalmicus dan maxillary dan vaskularisasinya berasal dari
a.opthalmicus dan a.maxillary (Norton, 2012).
d. Artikulasi
Artikulasi adalah proses penghasilan suara dalam berbicara oleh
pergerakan bibir, mandibula, lidah dan mekanisme palatopharingeal
dalam koordinasi dengan respirasi dan phonasi. Organ yang
berfungsi adalah bibir yang berguna untuk membendung suara pada
saat pembentukan suara letup, palatum molle dan durum yang
berguna untuk mengawasi proses artikulasi, lidah yang berguna
untuk membentuk suara dengan mengangkat, menarik, menipis,
menonjol, dan mendatar, pipi yang berguna untuk membendung
suara di bagian bukal dan gigi yang berguna untuk menahan aliran
udara dalam membentuk konsonan labiodental dan apiko alveolar.
Otot-otot yang bekerja m. Genioglossus, m. Hyoglossus, m.
Styloglossus, m. Longitudinal, m. Transversus, dan m. Vertical
dengan inervasi n.hypoglosus dan vaskularisasinya a. Lingual, a.
Submental, v. Lingual, dan v. Submental (Norton, 2012).
Kelainan dalam berbicara :
a. Yaitu terdiri dari Afasia, yang terbagi menjadi afasia sensorik dan
afasia motorik. Afasia sensorik yaitu terjadi kerusakan pada area
Wernicke sehingga tidak mampu menginterpretasi dan berbicara
kurang jelas. Afasia motorik yaitu terjadi kerusakan pada area
Broca sehingga bisa menginterpretasi namun tidak dapat berbicara
atau menyusun kata-kata (Guyton dan Hall, 2009). Kemudian juga
adalah Disartia, gangguan bicara akibat luka pada sistem saraf dan
gangguan artikulasi yang secara langsung tidak dapat mengontrol
otot-otot yang berperan dalam proses artikulasi dalam
pembentukan suara pengucapan (Sudiono, 2009).
2. Pengunyahan
Pengunyahan merupakan proses menggiling dan memecah partikel
makanan di dalam mulut sehingga bentuk dan konsistensinya menjadi
lebih kecil, membentuk bolus yang nantinya mudah di telan
(Sherwood, 2001).
Otot yang berperan dalam pengunyahan:
No Otot Origo Insersio Fungsi Inervasi
1. M. Temporalis Os temporal di Apex dan Serabut Nn.
bawah linea permukaan anterior Temporales
temporalis medial proc. menutup profundi
inferior, Coronoideuss (N.
mulut, serabut
lapisan dalam mandibulae mandibular
posterior
fascia is (V/3)
menarik
mandibula

2. M. Masseter Pars Pars menutup mulut N.


superficialis: superficialis : massetericu
2/3 anterior angulus s (N.
margo inferior mandibulae, mandibular
arcus tuberositas is (V/3)
zygomaticus, masseterica,
pars profunda: pars profunda :
sepertiga margo inferior
posterior madibulae
permukaan
dalam arcus
zygomaticus
3. M. Fossa Margo inferior menutup mulut N.
Pterygoideus pterygoidea, mandibulae, pterygoideu
medialis permukaan tuberositas s medialis
medial lamina pterygoidea (N.
lateralis proc. mandibular
Pyramidalis is (V/3)
4. M. Caput superius Caput superius : Caput inferius: N.
Pterygoideus : permukaan discus et capsula menarik Pterygoide
lateralis luar lamina articulationis mandibula us lateralis
lateralis proc. temporamandibu kearah dalam (N.
Pterygoidei, laris, Caput mandibular
tuber maxillae inferius : Fovea is (V/3)
(accessorius), pterygoidea
Caput proc. Condylaris
inferius : mandibulae
Facies
temporalis
alae majoris
ossis
sphenoidalis

Inervasi dan vaskularisasi


a. Suplai Arteri
Suplai dari cabang divisi kedua a. Maxillaris
1) A. Temporalis profunda M. temporalis
2) A. Pterygoidea M. pterygoideus lateralis &
medialis
3) A. Masseterica M. masseter
b. Suplai Vena
1) Suplai plexus venosus pterygoideus cabang vv.
musculares dan vv. Maxillares.
2) Plexus venosus pterygoideus memiliki ukuran cukup
besar antara m. Pterygoideus lateralis dan temporalis,
serta antara m. Pterygoideus lateralis dan medialis.
3) Plexus pterygoideus menerima vena yang berhubungan
dengan berbagai cabang a. Maxillaris.
Proses pengunyahan:
Mengunyah diawali dengan masuknya makanan ke dalam rongga
mulut, makanan dalam mulut tersebut menghambat refleks otot untuk
mengunyah yang dipersarafi oleh cabang motorik nervus trigeminus
(CN V), hal ini menyebabkan terjadinya penurunan rahang bawah dan
terjadi reflex regang otot-otot rahang bawah, kontraksi. Setelah
berkontraksi, rahang bawah terangkat lalu terjadi pengatupan gigi
sehingga bolus makanan tertekan dan melawan dinding mulut,
menghambat otot rahang bawah sehingga rahang bawah turun kembali,
kejadian ini terjadi secara berulang-ulang. Sementara rahang bawah
naik turun, gigi-geligi rahang bawah dan rahang atas akan beroklusi,
memotong, melumat, dan menggerus makanan sehingga menjadi lebih
kecil, halus dan mudah ditelan, serta meningkatkan luas permukaannya.
Rangsang ini juga memicu refleks saraf sehingga glandula salivarius
mensekresi saliva melalui duktus kerongga mulut, di saat yang
bersamaan lidah juga melakukan tugasnya dalam mengecap makanan,
memanipulasi, dan membentuk bolus, lalu lidah mendorongmakanan
untuk selanjutnya akan ditelan. Perangsangsangan terjadi pada daerah
retikularis spesifik di batang otak yang akan menimbulkan gerakan
yang ritmisdalam proses pengunyahan, dimana pengunyahan optimal
adalah 20-35 kali (Guyton dan Hall, 2007).
Kelainan dalam Pengunyahan:
Diantaranya adalah Ankilosis yang merupakan penyatuan jaringan
fibrous atau tulang antara kepala kondilar dengan fosa glenoidalis
yang dapat menyebabkan keterbatasan dalam membuka mulut
sehingga menimbulkan masalah dalam pengunyahan, berbicara,
estetis, kebersihan mulut pasien dan masalah psikologis (Triesti,
2010). Selain itu, adalah TMD (Temporomandibular Disorder)
TMD bisa terjadi karena trama mikro ataupun makro. Trauma
makro biasanya disebabkan oleh pukulan, kecelakaan. Trauma
mikro sering terjadi oklusi kurang baik, bruxism. TMD
menunjukan gejala-gejala seperti nyeri pada rahang, nyeri kepala,
nyeri pada leher (Sudiono, 2009). Dan trismus,merupakan
gangguan ada rahang sulit untuk membuka rahang sehingga
menyebabkan terganggunya proses pengunyahan (Raharja, 2011)
Palatoschisis, yaitu disebabkan oleh kegagalan processus
palatinus maksila untuk berfusi digaris median. Pada kasus yang
berat juga processus gagal bersatu dengan palatum
primer(premaksilla). Keadaan ini tentunya sangat menyulitkan
dalam proses pengunyahan dan penelanan karena palatum tidak
terbentuk dengan sempurna (Snell, 2007).
3. Penelanan
Menelan (deglutisi) merupakan peristiwa yang terjadi setelah
proses pengunyahan selesai didalam mulut, kemudian mulut
tertutup,lidah bagian ventral bergerak ke palatum sehingga mendorong
bolus ke ishtmus fausium menuju faring untuk diteruskan ke esofagus.
Menelan dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap buccal/volunter (sadar)
yang akan mencetuskan proses menelan, tahap faringeal (involunter)
yang membantu mendorong jalannya makanan melalui faring ke dalam
esofagus serta tahap esofageal (involunter) yang mempermudah
jalannya makanan dari faring ke lambung (Guyton, 2007). Proses
penelanan adalah aktivitas terkoordinasi yang melibatkan beberapa
macam otot dalam mulut, otot palatum lunak, otot faring dan otot
laring. Aktivitas otot penelanan di mulai sebagai kerja volunter dan
kemudian berubah menjadi refleks involunter
a. Fase Oral/ Bukal/ Volunter
Pada fase ini akan terjadi proses pembentukan bolus makanan oleh
gigi geligi, lidah, palatum mole, otot-otot pipi dan saliva untuk
menggiling dan membentuk bolus dengan konsistensi dan ukuran
yang siap untuk ditelan. Proses ini berlangsung secara disadari.
Setelah makanan di kunyah dan berbentuk bolus, pergerakan
vertikal lidah akan mendorong bolus ke isthmus fausium, ketika
makanan melewati isthmus fausium muskulus palatoglossus
berkontraksi menyempitkan isthmus fausium sehingga mencegah
kembalinya makanan ke rongga mulut. Setelah makanan sampai
orofaring dan adanya kontraksi muskulus levator dan muskulus
tensor veli palatine dibantu muskulus palatofaringeus sehingga
menutup hubungan antara nasofaring dan orofaring.hubungan ini
terjadi agar makanan tidak masuk dalam nasofaring tetapi makan
terdorong dalam orofaring. Nervus yang berperan dalam fase oral
adalah nervus V2 dan nervus V.3 sebagai serabut afferent
(sensorik) dan N. V, N. VII, N. IX, N. X, N. XI, N. XII sebagai
serabut efferent (motorik).
b. Fase Faringeal / Involunter
Bolus makanan akan diarahkan ke posterior mulut dan faring,
adanya bolus tersebut merangsang daerah reseptor menelan di
seluruh pintu faring khususnya di tiang tonsil. Kemudian impuls
akan dihantarkan ke batang otak untuk mencetuskan serangkaian
kontraksi otot faringeal. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Palatum molle tertarik keatas untuk menutupi nares
posterior, dengan cara ini dapat mencegah refluks makanan
ke rongga hidung.
2) Lipatan palatofaringeal pada kedua sisi faring tertarik
kearah medial untuk saling mendekat satu sama lain.
Dengan cara itu, lipatan-lipatan tersebut membentuk celah
sagital yang harus dilalui oleh makanan untuk masuk
kedalam faring posterior. Celah ini melakukan kerja selektif
sehingga makanan yang telah cukup dikunyah dapat lewat
dengan mudah sementara menghalangi lewatnya benda
yang besar.
3) Pita suara laring akan bertautan secara erat dan laring
ditarik keatas dan anterior oto-otot leher. Kerja ini
digabung dengan adanya ligamen yang mencegah
pergerakan epiglotis ke atas, menyebabkan epiglotis
bergerak ke belakang diatas pembukaan laring. Kedua efek
tersebut mencegah masuknya makanan kedalam trakea.
4) Gerakan laring keatas juga menarik dan membiarkan
pembukaan esofagus. Pada saat yang bersamaan, 3-4 cm
diatas dinding otot esofagus suatu area yang dinamakan
sfingter esofageal bagian atas atau sfingter faringoesofageal
berelaksasi sehingga makanan dapat bergerak dengan
mudah dan bebas dari faring posterior kedalam esofagus
bagian atas. Diantara penelanan sfingter ini tetap
berkontraksi dengan kuat sehingga mencegah udara masuk
ke esofagus selama respirasi. Gerakan laring keatas juga
mengangkat glotis keluar dari jalan utama makanan,
sehingga makanan biasanya melewati sisi-sisi esofagus dan
bukan melewati permukaannya.
5) Pada saat yang bersamaan dengan terangkatnya laring dan
relaksasi sfingter faringoesofageal, seluruh otot dinding
faring berkontraksi, mulai dari bagian superior faring dan
menyebar ke bawah sebagai gelombang peristaltik yang
cepat melintasi daerah faring media dan inferior sehingga
kemudian ke dalam esofagus. Trakea tertutup, esofagus
terbuka, gelombang peristaltik dari faring mendorong bolus
ke esofagus bagian atas.
Pada fase faringeal muskulus yang berperan adalah
muskulus stylofaringeus dan muskulus palatofaringius berkontraksi
sehingga menarik faring ke arah kranial yang memungkinkan
makanan terdorong ke arah laringofaring. Kontraksi dari muskulus
aritenoideus oblique dan muskulus transversus dan muskulus
krikoaritenoideus lateral menyebabkan penyempitan aditus
laringis. kedua kartilago aritenoidea berkontraksi, kemudian
tertarik dan saling mendekat dan bertemu epiglottis, rima glotidis
tertutup sehingga makanan tidak masuk ke dalam laring tetapi
berada dalam laringofaring. Pada fase faringeal saraf yang bekerja
adalah nervus V.2, nervus V.3 dan nervus X sebagai serabut
afferent dan N. V dan nervus VII, nervus IX, nervus X, nervus XI,
nervus XII.
c. Fase Esofageal
Pada tahap ini terjadi gerak peristaltik, gerak peristaltik dibedakan
menjadi 2 yaitu gerak peristaltik primer dan peristaltik sekunder.
Peristaltik primer merupakan kelanjutan gelombang peristaltik
yang dimulai di faring menyebar ke esofagus. Gelombang ini
berjalan dari faring ke lambung (8-10 deetik). Jika gelombang
peristaltik primer gagal mendorong makanan kedalam lambung
maka terjadi gelombang peristaltik sekunder yang dihasilkan dari
peregangan esofagus oleh makanan yang tertahan dan terus
berlanjut sampai makanan dikosongkan ke lambung. Gelombang
peristaltik sekunder diatur oleh refleks serat-serat aferen vagus ke
medula. Lalu kembali lagi ke esofagus melalui eferen vagus.
Dibagian bawah esofagus terdapat otot sirkular esofagus sebagai
sfingter esogfagus bagian bawah/sfingter gastroesofageal sewaktu
gelombang peristaltik penelanan melewati esofagus timbul refleks
reseptif yang merelaksasikan sfingter esofagus bagian bawah dan
memudahkan pendorongan makanan yang ditelan ke lambung.
Konstriksi tonik sfingter gastroesofageal akan mencegah refluks
dari isi lambung ke esofagus. Selain itu, juga terdapat katup-katup
pada esofagusbagian bawah yang mencegah tekanan abdominal
yang berisi dari desakan lambung ke esofagus (Guyton, 2007).
Pada tahap ini muskulus kontriktor faring berkontraksi
bergantian dari atas ke bawah mendorong bolus makanan ke
bawah melewati laring. Dengan terangkatnya laring dan relaksasi
sfingter faringoesofageal, seluruh otot-otot dinding faring
berkontraksi. Makanan yang telah memasuki esophagus akan
dialirkan ke lambung melalui gerak peristaltik. Gerak peristaltic
esophagus terdiri dari dua tipe yaitu: gerak peristaltic primer
merupakan gelombang peristaltik yang mendorong makanan di
faring menuju esophagus selama tahap faringeal. Jika gelombang
peristaltik primer gagal mendorong semua makanan yang ada di
esophagus ke lambung, maka gelombang peristaltik sekunder yang
dihasilkan dari pegangan esophagus oleh makan yang tertahan
akan mendorong sisa makanan ke lambung (Muthayya, 2002).
Gangguan dalam penelanan :
Gangguan dalam penelanan diantaranya adalah disfagia,
merupakan gangguan pada proses pemindahan bolus makanan dari
rongga mulut sampai ke lambung yang dipengaruhi oleh
terganggunya pergerakan otot. Selain itu disebabkan oleh adanya
tumor pada esophagus, kerusakan mekanik pasca trauma (Sudiono,
2009). Disfagia dapat dibedakan menjadi disfagia karena
melewatkan bolus ke bagian belakang tenggorokan dan tahap
mengawali refleks menelan makanan. Dan disfagia setelah
melewati refleks menelan yang disebabkan kelainan
neuromuskular, akibat adanya lesi laringofaring dan esofagus.
Bruxism merupakan kebiasan seseorang mengerot-kerotkan
giginya dan menekan kuat gigi tanpa fungsi. Keadaan ini sering
terjadi secara tidak sadar dan sering terjadi malam ketika tidur.
Efek negatif yang ditimbulkan yaitu bunyi gemerutuk gigi, rasa
capai pada otot saat bangun tidur, rahang terkunci sehingga akan
merasakan rasa sakit pada daerah sendi rahang dan kecenderungan
menggigit pipi, bibir, lidah. Selain itu, gigi akan menjadi cepat
haus akan pengaruh pada pengunyahan dan penelanan makanan
(Andriyani,2008).
Akhalasia merupakan suatu kegagalan fungsi motorik
berupa hilangnya garakan peristaltic dibagian bawah esophagus
dan kegagalan sfingter kardiak untuk mengendor (Sudiono, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

Guyton, 2007, Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta


Marzouk, M.A., dan Simonton, L.A., 1985, Operative Dentistry: Modern Theory
and
Practice, 1st ed., Ishiyaku Euro America, Tokyo.
Henny FA, 1968, The temporomandibular joint, In : Kruger GO, Textbook of Oral
Surgery, 3th
ed, Saint Louis : The C. V. Mosby Company.
Liebgot, B., 1994, Dasar-Dasar Anatomi Kedokteran Gigi, EGC, Jakarta.
Hermani B., Hutauruk S.M., Gangguan Suara Pada Penyanyi,
OtoRhinoLaryngologica
Indonesiana, 2006; 36: 42.
Faiz, O., Moffat, D., 2004, At a Glance Series Anatomi, Erlangga, Jakarta.
Somantri, I., 2007, Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan, Salemba Medika : Jakarta.
Putz, R., Pabst, R., 2003, Atlas Anatomi Manusia Sobotta, EGC, Jakarta.
Norton, N.S., 2012, Netter’s Head and Neck Anatomy for Dentistry, Elsevier,
Philadelphia.
Sherwood, L., 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, EGC, Jakarta.
Snell, 2007, Anatomi klinik, EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai