Anda di halaman 1dari 41

BLOK HARD TISSUE SURGERY

LAPORSAN PBL
“ANESTHESI”

DOSEN PEMBIMBING
drg. PRATIWI NUR WIDYANINGSIH

KELOMPOK :
ANGGIH NAWWIRA PUTRI G1G014009
VINOZA AYU WARDANI G1G014011
AISYAH NADIYAH G1G014013
RAKHMAWATI G1G014016
NILA SARI G1G014017
EKA APRIYANTI G1G014023
ALYSSA SYARAFINA G1G014024
SHAHNAZ DWI PERMATA G1G014033
ATHA PRIHANDA G1G014035
TRI UTOMO G1G014047

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

2017
BLOK HARD TISSUE SURGERY
LAPORSAN PBL
“ANESTHESI”

DOSEN PEMBIMBING
drg. PRATIWI NUR WIDYANINGSIH

KELOMPOK :
ANGGIH NAWWIRA PUTRI G1G014009
VINOZA AYU WARDANI G1G014011
AISYAH NADIYAH G1G014013
RAKHMAWATI G1G014016
NILA SARI G1G014017
EKA APRIYANTI G1G014023
ALYSSA SYARAFINA G1G014024
SHAHNAZ DWI PERMATA G1G014033
ATHA PRIHANDA G1G014035
TRI UTOMO G1G014047

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

2017

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan hidayatNya kami dapat menyelesaikan laporan kelompok ini. Terima
kasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing kami, drg. Pratiwi Nur
Widyaningsih yang telah membimbing kami selama berjalannya Problem Based
Learning. Tanpa bimbingan dari beliau kami tidak dapat menyelesaikan PBL dan
laporan kelompok dengan baik.

Kami menyadari dalam penulisan laporan kelompok ini masih banyak


kesalahan dan kekurangan, karena kami masih dalam proses belajar kemampuan
serta pengetahuan kami masih terbatas. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan agar laporan berikutnya dapat lebih baik lagi.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

Purwokerto, Maret 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB II
ISI.............................................................................................................................3
BAB III
PEMBAHASAN....................................................................................................22
BAB IV
PENUTUP..............................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................31

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi pada zaman modern ini mengalami banyak
kemajuan di berbagai bidang, khususnya di bidang kesehatan. Salah satunya
adalah anestesi atau yang sering disebut adalah pembiusan. Anestesi yang
dilakukan pada zaman dahulu oleh orang Mesir yaitu dengan menggunakan
narkotik, orang Cina menggunakan cannabis Indica dan pemukulan kepala
dengan tongkat kayu untuk menghilangkan kesadaran. Istilah anestesi
pertama kali dikemukakan oleh Oliver Wendel Holmes Sr tahun 1846 dari
bahasa Yunani yaitu anaisthēsia , dimana “an” artinya tanpa dan “aisthēsis”
artinya nyeri. Sehingga anestesi diartikan sebagai tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Latief, dkk, 2001).
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi lokal dan
anestesi umum. Anestesi lokal yaitu hilangnya rasa sakit tanpa disertai
kehilangan kesadaran, sedangkan anestesi umum merupakan suatu tindakan
untuk menghilangkan rasa nyeri atau sakit secara sentral yang disertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali atau reversible. Komponen
trias anestesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesik, dan  relaksasi otot. Sejak
jaman dahulu, anestesia dilakukan untuk mempermudah tindakan operasi
atau bedah.Obat anestesi umum adalah obat atau agen yang dapat
menyebabkan terjadinya efek anestesia umum yang ditandai dengan
penurunan kesadaran secara bertahap karena adanya depresi susunan saraf
pusat (Siahaan, 2000).
Sebelum melakukan tindakan anestesi, sebagai seorang dokter kita
wajib mengetahui prinsip-prinsip dasar anestesi sehingga kita bisa
melakukannya sesuai prosedur. Selain itu kita juga wajib memperhatikan
kontrol infeksi dengan baik. Kontrol infeksi harus dilakukan mulai dari
sebelum dilakukannya tindakan, ketika tindakan berlangsung dan ketika
tindakan tersebut telah dilakukan. Hal ini sangat penting guna menghindari

1
2

terjadinya kontaminasi mikroorganisme dan menjaga kelestarian lingkungan


dengan cara mengolah limbah medis dengan baik dan benar (Howe, 1992 ).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam laporan ini diantaranya
adalah:
1. Bagaimana kontrol infeksi dalam kedokteran gigi?
2. Apa yang dimaksud dengan anestesi?
3. Bagaimana prinsip anestesi?
4. Apa saja jenis anestesi?
5. Bagaimana indikasi dan kontraindikasi anestesi?
6. Bagaimana farmakokinetik dan farmakodinamik bahan-bahan
anestesi?
7. Bagaimana mekanisme kerja anestesi dan vasokonstriktor?
8. Bagaimana tahapan dilakukannya anestesi?
9. Apa saja kegagalan dan komplikasi yang terjadi dalam anestesi?
C. Tujuan
Tujuan dibuatnya laporan ini adalah:
1. Untuk mengetahui cara untuk melakukan kontrol infeksi dalam
kedokteran gigi.
2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan anestesi.
3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip anestesi.
4. Untuk mengetahui jenis anestesi.
5. Untuk mengetahui indikasi serta kontraindikasi anestesi.
6. Untuk mengetahui kerja bahan anestesi pada tubuh dan reaksi tubuh
terhadap bahan anestesi.
7. Untuk mengetahui cara kerja anestesi dan vasokonstriktor dalam tubuh
manusia.
8. Untuk mengetahui tahapan anestesi.
9. Untuk mengetahui kegagalan dan komplikasi yang terjadi dalam
anestesi.
D. Manfaat
3

Manfaat laporan ini adalah mahasiswa dapat memahami dan


mengaplikasikan pengontrolan infeksi dan anestesi dalam dunia
kedokteran gigi.
BAB II

ISI
A. Skenario
Seorang mahasiswa kedokteran gigi semester 6 menjadi pasien
koass RSGM Unsoed. Pasien tersebut akan mencabutkan gigi 46 yang sudah
berlubang besar. Sebelum dilakukan tindakan anastesi mahasiswa koass
menjelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan
melakukan kontrol infeksi terlebih dahulu pada area- area kerja yang
kemungkinan menjadi kontak infeksi. Setelah mahasiswa koass selesai
menjelaskan, pasien terlihat cemas karena sebelumnya pasien pernah
dicabut hanya dengan anastesi semprot untuk mencabut gigi desiuduinya.
Mahasiswa koas tersebut memutuskan untuk memberikan topikal anastesi
terlebih dahulu, baru dilanjutkan dengan blok anastesi dan anastesi infiltrasi.
Mahasiswa koass menggunakan larutan anastetikum lidokain 2 % untuk
melakukan anastesi blok dan infiltrasi. Setelah selesai di anastesi, pasien
merasakan daerah disekitar gigi yang akan dicabut menjadi baal akan tetapi
pada daerah lainnya tidak.

B. Tahap Seven Jumps


Step 1 (Claryfying Unfamiliar Term)
1. Anestesi : tindakan pembiusan, menghilangkan rasa nyeri dengan
blockade saraf untuk sementara
2. Anastesi infiltrasi: anestesi yang bertujuan untuk menimbulkan anestesi
ujung saraf melalui injeksi pada atau sekitar jaringan yang akan
dianestesi sehingga mengakibatkan hilangnya rasa dikulit dan jaringan
yang terletak lebih dalamt.
3. Anestesi blok : pembiusan pada area mandibular, langsung pada saraf
4. Anastesi Topikal : anasstesi yang dioleskan melebihi area yang akan
dianastesi.
5. Anestesi lokal : pembiusan terbatas pada area tertentu
6. Anastetikum : bahan- bahan anastesi

4
5

7. Kontrol infeksi : sebuah tindakan prosedur yang dilakukan untuk


melindungi diri dari infeksi.
8. Baal : mati rasa atau kebas yang dirasakan setelah dilakukan anastesi.

C. Step 2 (Problem Definition)


1. Persiapan sebelum melakukan anastesi ( kontrol infeksi)
2. Persyarapan apa saja yang teranastesi
3. Gambaran umum anastesi
4. Tujuan anastesi
5. Jenis-jenis anastesi
6. Indikasi dan kontra indikasi anatesi
7. Bahan-bahan anastesi
8. Tahapan anastesi
9. Kegagalan dalam anastesi
10. Komplikasi anastesi

D. STEP 3
1. Kontrol infeksi:
- Mencegah cross infeksi
- Tidakan dokter untuk pemakaian APD, mencuci tangan, vaksinasi
- Dari segi lingkuhan itu memperhatikan limbah
- Alat sterilisasi  sekali pakai
- Sebelum tindakan atau sesudah tindakan
- Pembuangan sambah setelah tindakan
2. Persarafan:
Nervus Trigeminal
a. Optalmicus
b. Maksila
 Nervus spenopalatina  Nervus nasopalatina
 Nervus nasalis supra
 Nervus palatina mayor
6

 Nervus palatina media


 Nervus alveolar supra anterior:
mensarafi insisiv1, insisiv2, caninus
 Nervus alveolar supra media
mensarafi premolar1, premolar2
 Nervus alveolar supra posterior
mensarafi molar1, molar2, molar3
c. Mandibula
 Nervus alveolar
- Rami dentalis
- Rami mentalis
- Myohiloid
- Canal insisiv
 Nervus bucalis lingual
 Nervus auricotemporal

3. Gambaran umum anestesi


- Bahasa yunani  ‘an’ yaitu tanpa atau tidak, ‘aesthetos’ yaitu rasa
- Anastesi dibagi menjadi lokal, umum, regional
- Dapat menghilangkan mati rasa pada tubuh
- Anastesi: bisa sadar/tidak, pereda rasa sakit
- Analgesik: menghilangkan rasa sakit
- Anastesi lokal; sulam alis, sulam bibir
- Anestesi umum: pengangkatan empedu
4. Tujuan anestesi:
- Diagnostik
- Terapeutik
- Pre-operatif
- Operatif
- Post-operatif
7

5. Jenis dan macam anestesi:


- Anestesi umum: paling berat, membutuhkan alat jantung dan
pernafasan
- Lokal: topical: salep, spray
- Infiltrasi  disuntukan pada terminal saraf: infiltrasi submandibula,
intraligamen, intraosea, intraseptal.
- Blok; disuntukan pada saraf pisat dan tulang belakang
- Refriferation anestesi: untuk membekukan protoplasma sel
- Anestesi intraligamen: di KGA (memblok membran periodontal)
6. Indikasi dan kontra indikasi anestesi
- Infiltrasi: indikasi  dekat gigi, konta indikasi  yang mengalami
infeksi
- Regional: insisif abses, desidui, gigi goyang
- Blok : untuk beberapa gigi, durasi operasi yang panjang
7. Bahan anestesi
- Suntukan  lidokain
- Spray  chlor etyl
- Golongan : ester benzokain, tetrakain, amida  lidokain, prilokain
antikain, pehakain, pemilakain
8. Tahapan anestesi;
- Anestesi infiltra supraprosional: penambahan iodine pada mukosa
- Injeksikan arah ke tulang ke apeks gigi
- Depolarisasi anestetikum secara perlahan
9. Kegagalan anestesi
- Jarum patah
- Trismus
- Salah deponir
10. Komplikasi anestesi
- Sinkop
- Syok
- Lesi ulser
- Parestesi
8

- Kontraksi
E. STEP 4
ANESTESI
 Kontrol infeksi
 Persarafan
 Gambaran umum anestesi
 Tujuan anestesi
 Jenis dan macam anestesi
 Indikasi dan kontra indikasi anestesi
 Bahan anestesi
 Mekanisme anestesi
 Prinsip anestesi
 Tahap anestesi
 Kegagalan anestesi
 Komplikasi anestesi

F. STEP 5
1. Prinsip dasar anestesi
2. Mekanisme anestesi
3. Persarafan berdasarkan jenis snestesi
4. Farmakodinamik dan famakokinetik golongan anestesi dan contohnya
5. Mekanisme kerja vasokonstriktor
6. Contoh anestesi
7. Kontrol infekai

G. Step 6 (Learning Objective)

H. Step 7
a. PRINSIP DASAR ANESTESI
1. Mempersiapkan peralatan
Persiapan peralatan sebelum anestesi diperlukan terkait dengan tata
letak penyusunan alat-alat. Ada beberapa pasien yang dapat menimbulkan
9

kecemasan dengan melihat beberapa peralatan yang ada maka sebaiknya


penyiapan peralatan seharusnya tidak langsung dihadapan pasien. Selain tata
letak persiapan peralatan, kelengkapan peralatan sebelum tindakan juga
harus diperhatikan. Apapun tipe suntikan yang akan dilakukan harus
tersedia sonde berujung lurus atau tang arteri yang kuat sebagai alat
pencegahan jika suatu saat dibutuhkan dalam keadan darurat.
2. Mempersiapkan mukosa
Mempersiapkan mukosa sebelum melakukan tindakan sangat penting
karena rongga mulut mengandung berbagai mikroorganisme bakteri.
Persiapan mukosa dapat dilakukan dengan pengaplikasian larutan antiseptik
seperti povidon iodine dan chlorhexidine pada mukosa selama 15 detik
untuk mengurangi bakteri dan mencegah adanya infeksi klinis. Mukosa pada
daerah suntikan harus dikeringkan terlebih dahulu sebelum pemberian
antiseptic.
3. Kecepatan suntikan
Kecepatan suntikan berpengaruh terhadapkenyamanan pasien, deponir
larutan yang yang terlalu cepat akan menyebabkan peningkatan resiko
terjadinya toksik, kerusakan jaringan dan kerusakan seluler. Selain itu pasien
akan merasakan rasa tidak enak dan terasa sakit setelah efek anestesi hilang.
Suntikan lambat umumnya diperlukan 1 ml larutan dideponirkan dalam
waktu 15 detik jika menggunakan teknik infiltrasi, untuk gigi inferior 2 ml
larutan dapat dideponirkan dalam waktu 20 detik dengan disuntikkan secara
perlahan.
4. Memeriksa anestesi
Memeriksa anestesi berguna untuk memberitahukan operator apakah
anestesi sudah memberikan efek atau belum. Memeriksa anestesi dapat
dilakukan dengan cara memberikan rangsangan terhadap dentin
menggunakan alat manual. Pasien ditanyakan ketika operator memberikan
rangangan masih terasa sakit atau tidak, jika pasien masih memberikan
respon sakit maka dapat diindikasikan pemberian anestesi selanjutnya
(Howe dan Goffrey, 2013).
10

b. MEKANISME KERJA ANESTESI


Anestesi lokal mengganggu fungsi kanal ion dalam membran sel
neuron mencegah transmisi potensi aksi neuronal. Hal ini diduga terjadi
melalui ikatan spesifik molekul anestesi lokal (pada bentuk yang terionisasi)
terhadap kanal sodium, membawa mereka pada keadaan inaktif sehingga
depolarisasi lebih lanjut tidak dapat terjadi. Efek ini dimediasi dari dalam
sel, karena itu anestesi lokal harus menyeberangi membran sel sebelum ia
dapat menggunakan efeknya. Mekanisme lainnya melibatkan disrupsi fungsi
kanal ion dengan inkorporasi anestesi lokal terhadap membran sel (teori
ekspansi membran). Hal ini diduga dimediasi terutama oleh aksi bentuk
tidak terionisasi dari luar neuron. Serabut-serabut saraf berbeda dalam hal
sensitivitas terhadap anestesi lokal. Serabut-serabut saraf kecil lebih sensitif
dari pada serabut-serabut saraf besar sedangkan serabut-serabut bermielin
diblok sebelum serabut-serabut yang tidak bermielin dengan diameter yang
sama. Jadi hilangnya fungsi saraf menghasilkan hilangnya nyeri, suhu,
sentuhan, propriosepsi, dan tonus otot skeletal. Hal ini menyebabkan orang
masih merasa saat disentuh, tapi tidak sakit saat menggunakan anestesi lokal
(Edgcombe dan Hocking, 2011).
Sel saraf memiliki cairan intrasel pada sitoplasma yang mengandung
protein potasium, sedangkan cairan ekstrasel mengandung sodium klorida.
Potasium dan sodium bersifat permeable yang artinya dapat keluar masuk
menembus membrane sel saraf. Pada saat keadaan istirahat potasium atau
yang mengandung ion K+ didalam sel bermuatan negatif 30 kali lebih besar
dari pada diluar sel sedangkan sodium atau yang mengandung Na + diluar sel
bermuatan positif 10 kali lebih besar dari pada didalam sel. Pada saat terjadi
rangsangan sel saraf bergerak terdapat penghantaran reseptor ke efektor
yang menimbulkan aksi potensial. Aksi potensial timbul karena sodium ion
Na+ melawan pompa sodium untuk masuk kedalam sel saraf, sehingga
berdesakan dengan ion K+ yang berada didalam sel menimbulkan
peningkatan tekanan. Pertukaran ion K+ dengan ion Na+ inilah yang
menyebabkan depolarisasi sehingga menimbulkan impuls saraf dan terjadi
rasa sakit. Obat anestsi bekerja dengan cara mengeblok ion Na + agar tidak
11

dapat masuk kedalam sel. ion Na+ didalam sel saraf memiliki reseptor. Obat
anestesi bekerja dengan cara menempati reseptor tersebut sebelum ion Na+
menempati reseptornya sehingga tidak terjadi pertukaran ion yang
menyebabkan tidak timbulnya impuls saraf. Tidak terjadinya pertukan ion
maka tidak terjadi depolarisasi sehingga tidak menimbulkan adanya rasa
sakit (Howe dan Goffrey, 2013).
Dengan kata lain obat anestesi lokal mencegah hantaran dan konduksi
impuls saraf. Lokasi utama kerja obat anestesi lokal adalah pada membran
sel. Obat anestesi lokal mencegah konduksi dengan menurunkan atau
mencegah peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion natrium.
Kunci proses hantaran dan konduksi impuls adalah pembukaan kanal
natrium. Pembukaan kanal ion natrium pada membran akson dan membran
saraf pada sinaptik dipicu oleh substansi neurotransmitter, dan di sepanjang
serabut saraf oleh muatan listrik dari depolarisasi pada segmen yang
berdekatan. Obat anestesi lokal dapat menghambat di mana saja, obat
anestesi lokal menghambat kanal natrium dan mencegah depolarisasi
membran sel. Gerbang natrium merupakan reseptor spesifik molekul obat
anestesi lokal.
Dua teori mekanisme kerja obat anestesi lokal dalam menghambat
kanal natrium. Teori pertama, obat anestesi lokal berikatan dengan reseptor
spesifik di kanal natrium dan ikatan ini mengubah struktur serta fungsi kanal
natrium dan menghambat pergerakan ion natrium ke luar sel. Teori ini
disebut natrium trap. Teori kedua dikenal sebagai teori ekspansi/expantion,
obat anestesi lokal diabsorbsi pada membran sel sehingga terjadi
pembengkakan membran dan menyebabkan penyempitan kanal natrium
(Skinner, 2000).

c. PERSARAFAN
Nervus trigeminus memiliki 3 cabang utama yaitu:
1) N. Opthalmicus
2) N. Maksilaris
- Cabang dari fossa cranii media :
12

Rami meningeal
- Cabang dari fossa pterygopalatina:
2 nervus ganglion pterygopalatina
a) n.alveolaris superior posterior : menginervasi sinus
maksilaris, gigi M3,M2 dan M1 (Kecuali akar mesiobukal) atas.

b) n.zygomatikus
c) n.infraorbitalis

- Cabang dari ganglion pterygopalatina :


a) n. Nasopalatina : menginervasi mukoperiosteum palatal dari regio
caninus ke caninus rahang atas
b) n. Nasalis superior media
c) n. nasalis superior posterior
d) n.nasalis superior lateral
e) n. palatina mayor : menginervasi gingiva palatal dan
mukoperiosteum palatal dari tuberositas maksilaris hingga regio
gigi caninus rahang atas
f) n. palatina minor : menginervasi palatum molle
g) n. pharingeal
- Cabang dari canalis infraorbita :
a) n. alveolaris superior media : menginervasi gigi M1 akar
mesiobukal, P2, P1 rahang atas
b) n. alveolaris superior anterior : menginervasi gigi caninus hingga
insisivus sentralis rahang atas
- Cabang dari foramen infraorbita:
a) n. palpebra inferior : menginervasi palpebra bawah
b) n. Nasalis
c) n. Labialis superior : menginervasi bibir atas
3) N. Mandibularis
- Divisi anterior terdiri dari:
13

a) n. bucalis longus (s) : menginervasi jaringan bukal regio


molar bawah
b) n. masseterica (m)
c) n. pterygoid lateralis (m)
d) n. temporalis profunda anterior dan posterior (m)

- Divisi posterior :
a) n. lingualis (s) : menginervasi jaringan lingualis regio molar
bawah
b) n. auriculotemporalis (s)
c) n. alveolaris inferior :
cabangnya:
- rami dentalis brevis (s) : menginervasi gigi Molar bawah
hingga gigi premolar bawah
- n. insisivus (s) : menginervasi gigi caninus hingga insisivus
sentralis
- n. mentalis (s) : menginervasi gigi premolar dan kulit dagu,
serta bibir bawah
- n. mylohyoid (m) : menginervasi dasar mulut

d. FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK GOLONGAN


BAHAN ANESTESI
Perbedaan klinis yang signifikan antara golongan ester dan golongan
amida adalah ikatan kimiawi golongan ester lebih mudah rusak
dibandingkan ikatan kimiawi golongan amida sehingga golongan ester
kurang stabil dalam larutan dan tidak dapat disimpan lama. Bahan
anestetikum golongan amida stabil terhadap panas, oleh karena itu bahan
golongan amida dapat dimasukkan kedalam autoklaf, sedangkan golongan
ester tidak bisa. Hasil metabolisme golongan ester dapat memproduksi
paraaminobenzoate (PABA), yaitu zat yang dapat memicu reaksi alergi. Hal
14

inilah yang menjadi alasan bahan anestetikum golongan amida lebih sering
digunakan daripada golongan ester.

1) Farmakokinetik
Metabolisme dan ekskresi anestesi lokal diubah dalam hati dan plasma
menjadi metabolit yang mudah larut dalam air dan kemudian diekskresikan
ke dalam urin. Karena anestesi lokal yang bentuknya tak bermuatan mudah
berdifusi melalui lipid, maka sedikit atau tidak ada sama sekali bentuk
netralnya yang diekskresikan kerana bentuk ini tidak mudah diserap kembali
oleh tubulus ginjal. Tipe ester anestesi lokal dihidrolisis sangat cepat di
dalam darah oleh butirilkolinesterase (pseudokolinesterase). Oleh karena itu,
obat ini khas sekali mempunyai waktu paruh yang sangat singkat, kurang
dari 1 menit untuk prokain dan kloroprokain.

a. Absorbsi
Pada saat diinjeksikan ke jaringan lunak, anestesi lokal menghasilkan
reaksi farmakologi pada pembuluh darah. Semua jenis anestesi lokal
memiliki tingkatan reaksi yang berbeda, yang sering terjadi yaitu
vasodilatasi pembuluh darah ketika di deposit, dan beberapa juga
menimbulkan vasokontriksi. Reaksi yang timbul berpengaruh pada
konsentrasi yang diberikan. Efek signifikan dari vasodilatasi meningkat
ketika anestesi lokal sudah diserap oleh pembuluh darah, sehingga
menurunkan durasi dan kualitas dari rasa sakit, tetapi meningkatkan
konsentrasi anestesi lokal pada pembuluh darah dan potensi overdosis
(reaksi toksik). Tingkatan reaksi anestesi lokal yang diserap oleh pembuluh
darah dan mencapai level maksimum bervariasi sesuai dengan cara
pemberiannya.
Anestesi topikal yang dioleskan melalui kulit akan mengalami
absorbsi menembus epidermis dan mengenai ujung saraf bebas pada dermis
tetapi tidak menembus bagian dermis. Penetrasi anestesi topikal pada
membran mukosa juga hanya terbatas pada ujung saraf di submukosa.
Umumnya obat anestesi topikal dapat menembus kedalaman sekitar 2-3
15

mm. Oleh karena itu sifat obat anestesi ini sangat terbatas untuk
menghilangkan sensasi pada bagian superfisial saja. Pada epitel yang
berkeratin obat anestesi memiliki barier sehingga lebih sulit mengalami
penetrasi dibandingkan dengan yang tidak berkeratin, seperti pada membran
mukosa. Obat anestesi topikal kemungkinan dapat menembus dermis hingga
mencapai sirkulasi ketika epitel atau mukosa mengalami kerusakan.
Anestesi lokal dengan teknik infiltrasi atau blok yang langsung
mendeponirkan anestetikum pada saraf yang dituju setelah bekerja didaerah
tersebut lalu akan mengalami absorbsi sistemik yang dipengaruhi aliran
darah serta beberapa faktor diantaranya adalah:
a) Adanya vasokonstriksi yaitu dengan penambahan epinefrin atau yang
lebih jarang fenilefrin menyebabkan vasokonstriksi pada tempat
pemberian anestesi. Sebabkan penurunan absorpsi dan peningkatan
pengambilan neuronal, sehingga meningkatkan kualitas analgesia,
memperpanjang durasi, dan meminimalkan efek toksik. Efek
vasokonstriksi yang digunakan biasanya dari obat yang memiliki masa
kerja pendek. Epinefrin juga dapat meningkatkan kualitas analgesia dan
memperlama kerja lewat aktivitasnya terhadap resptor adrenergik α2.
b) Agen anestesi lokal, anestesi lokal yang terikat kuat dengan jaringan
lebih lambat terjadi absorpsi. Dan agen ini bervariasi dalam vasodilator
intrinsik yang dimilikinya.

b. Distribusi
Setelah diserap ke pembuluh darah, anestesi lokal disalurkan ke
seluruh jaringan dalam tubuh. Organ yang sangat perfusi yaitu otak, hepar,
ginjal, paru-paru, limfe memiliki kadar anestesi yang paling tinggi
dibandingkan dengan organ yang kurang perfusi. Otot-otot skeletal
walaupun tidak berperfusi dengan tinggi, tetapi mengandung anestesi lokal
dengan persentasi yang tinggi dibandingkan organ atau jaringan lain karena
memiliki massa jaringan yang paling banyak di dalam tubuh. Konsentrasi
plasma dari anestesi lokal memiliki pengaruh pada organ tertentu yang
dapat menyebabkan potensi toksisitas. Tingkatan penurunan kadar anestesi
16

lokal pada darah disebut elimination halflife. Secara sederhana elimination


half-life adalah waktu yang diperlukan untuk mereduksi kadar anestesi lokal
dalam darah (half-life pertama mereduksi sebanyak 50%, half-life kedua
mereduksi sebanyak 75%, half-life ketiga mereduksi sebanyak 87,5%, half-
life ke empat mereduksi sebanyak 94%, half-life ke lima mereduksi
sebanyak 97%, half-life ke enam mereduksi sebanyak 98,5%. Semua jenis
anestesi lokal sangat mudah melewati barier- barier dari darah dan otak.

c. Metabolisme
Perbedaan yang signifikan antara dua jenis anestesi lokal yaitu ester
dan amida adalah mampu mengubah kerja anestesi lokal secara biologis
menjadi obat yang tidak berpengaruh secara farmakologi lagi. Metabolisme
(biotransformasi dan detoksifikasi) anestesi lokal sangat penting karena
secara keseluruhan toksisitasnya ditentukan oleh keseimbangan antara laju
penyerapannya ke dalam aliran darah dengan laju pembuangannya dari
pembuluh darah dan proses metabolisme.
Metabolisme dari anestesi lokal dibedakan menurut golongan
anestetikum. Ester merupakan anestesikum yang dominan dimetabolisme
oleh pseudokolinesterase (kolinesterase palsma atau butyrylcholinesterase)
di plasma darah. Hidrolisa ester sangat cepat, dan metabolitnya yang larut-
air diekskresikan ke dalam urin. Procaine dan benzocaine dimetabolisme
menjadi Para Amino Benzoid Acid (PABA), yang dikaitkan dengan reaksi
alergi. Pasien yang secara genetik memiliki pseudokolinesterase yang
abnormal memiliki resiko intoksikasi, karena metabolisme dari ester yang
menjadi lambat. Anestesi lokal amida dimetabolisme (N-dealkilasi dan
hidroksilasi) oleh enzim mikrosomal P-450 di hepar. Laju metabolisme
amida tergantung dari agent yang spesifik (prilocine > lidocaine >
mepivacaine > ropivacaine > bupivacaine), namun secara keseluruhan jauh
lebih lambat dari hidrolisis ester.

d. Ekskresi
17

Metabolit dan sisa yang tidak termetabolisme, baik dari golongan


amida maupun ester akan dieksresikan oleh ginjal. Sebagian kecil anestesi
dieskresikan dalam keadaan tidak mengalami perubahan. Senyawa anestesi
golongan ester biasanya jarang dijumpai pada urin karena golongan ini
hampir sempurna dimetabolisme di dalam darah (Dobson dan Michael,
1994).

2) Farmakodinamik
Onset dari kerja obat bergantung dari banyak faktor, termasuk
kelarutan lemak dan konsentrasi relatif bentuk larut-lemak tidak-terionisasi
(B) dan bentuk larut-air terionisasi (BH+), diekspresikan oleh pKa. Nilai
pKa merupakan konstanta disosiasi asam; pKa menunjukkan kekuatan
relatif dari gugus amin untuk berdisosiasi Pengukurannya adalah pH dimana
jumlah obat yang terionisasi dan yang tidak terionisasi sama. Anestesi lokal
dengan pKa yang mendekati pH fisiologis akan memiliki konsentrasi basa
tak-terionisasi lebih tinggi yang dapat melewati membran sel saraf, dan
umumnya memiliki onset yang lebih cepat. Daya larut dalam lemak tinggi
berarti anestesi berpotensi tinggi dan mudah berpenetrasi ke dalam
membran sel saraf. Durasi kerja umumnya berkorelasi dengan kelarutan
lemak. Anestesi lokal dengan kelarutan lemak tinggi memiliki durasi yang
lebih panjang, diperkirakan karena lebih lama dibersihkan dari dalam darah.
Selain itu durasi anestesi juga bergantung dari ikatan obat dengan reseptor
spesifik atau protein binding, semakin kuat ikatannya maka durasi semakin
panjang (Samodro, 2011).

e. MEKANISME KERJA VASOKONSTRIKTOR


Semua obat anestetik lokal bersifat vasodilator, kecuali kokain,
dengan derajat yang berbeda-beda. Contoh yang bersifat vasodilator kuat
adalah prokain sedangkan yang bersifat vasodilator lemah adalah prilokain
dan mepivakain. Berdilatasinya pembuluh darah ini akan menyebabkan
18

meningkatnya absorpsi obat ke dalam pembuluh darah sehingga anestetik


akan cepat menghilang dari tempat anestesi dan akibatnya efek anestesianya
pun akan cepat menghilang atau tidak efektif.
Penambahan vasokontriktor ke dalam anestetikum memberikan
beberapa keuntungan yakni diperolehnya peningkatan dalam durasi dan
kualitas anestesia, membantu berkurangnya pendarahan (membantu
hemostatis), dan meningkatkan keamanan yakni mengurangi risiko
terjadinya keracunan (toksisitas). Adanya vasokonstriktor akan
memperlambat penyerapan anestesi ke sistemik dan kardiovaskuler
sehingga kadar anestesi lokal dalam darah menurun, hal ini dapat
menurunkan kemungkinan terjadinya toksisitas. Durasi anestesia oleh
lidokain tanpa vasokontriktor berbeda dengan anestesia oleh lidokain yang
diberi vasokonstriktor. Hemostasis selama tindakan biasanya sangat
bermanfaat saat melakukan tindakan bedah di dalam rongga mulut. Infiltrasi
anestetik lokal yang mengandung epinefrin dapat mengurangi kehilangan
darah selama tindakan bedah dan memudahkan visualisasi daerah operasi
(Sumawinata, 2013).

f. CONTOH OBAT ANESTESI


Bahan-bahan anestesi lokal
1) Golongan ester
1) Kokain
Obat jenis golongan ester ini terutama digunakan untuk anestesi
permukaan yang memerlukan aktivitas vasokontriktor intrisiknya.
2) Benzokain
Benzokain merupakan anastetik lokal yang berpotensi rendah yang
bersifat netral dan tidak larut air. Kegunaanya hanya untuk anestesi
permukaan untuk jaringan yang meradang.
3) Prokain
Anatesi lokal kelompok ester ini bekerja dengan durasi yang singkat
tetapi mempunyai resoprpsi prokain dikulit yang buruk, prokain hanya
digunakan sebagai injeksi dan sering kali bersamaan dengan adrenalin
19

untuk memperpanjang daya kerjanya. Prokain sudah banyak digantikan


oleh lidokain denga efek samping yang lebih ringan.
4) Tetrakain
Tetrakain adalah obat anestesi lokal yang biasanya digunakan sebagai
obat untuk diagnosis atau terapi pembedahan. Tetrakain mempunyai
potensiasi lebih tinggi dibandikan dengan golongan ester lainnya.
Tetrakain mempunyai waktu onset 15 menit dengan durasi 200 menit.

2) Golongan amida
1) Lidokain
Lidokain digunakan sebagai larutan lidokain dengan konsentrasi 2%,
lidokain memberikan efek anestesi yang pendek pada jaringan lunak
tetapi tidak memberikan efek yang cukup pada pulpa gigi. Lidokain
mempunyai waktu onset 5 menit dengan durasi 30-60 menit.
2) Mepivakain
Obat jenis golongan ini mempunyai durasi yang cukup panjang.
Mepivekain digunakan untuk anesthesia infiltrasi, blockade saraf
regional dan anesthesi spinal.
3) Prilokain
Obat jenis golongan ini mempunyai durasi yang pendek.
4) Bupivakain
Obat jenis golongan ini mempunyai kerja panjang dan mula kerja yang
pendek
20

Amida
Bupivakain Marcaine Infiltrasi 8 2-10 8,1 3-10 175 250
Dibukain Nupercain Topikal cepat singkat mg mg
Etidokain Duranest Infiltrasi 6 3-5 3-10
Lidokain Xylocaine Infiltrasi/topikal 2 cepat 7,7 1-2 300 400
Mepivakain Carbocain Infiltrasi 2 3-20 2-3 mg mg
Prilokain e Infiltrasi 2 cepat 7,7 2-4 300 500
Prilokain/lidokai Citanest topikal 30- singkat mg mg
n EMLA 120 300 400
mg mg
400 600
mg mg
Ester
Benzokain Anbesol Topikal Cepat Singka
Kloroprokain Nesacaine Infiltrasi 1 Cepat t 600
Kokain Topikal 2-10 0,5-2 mg
Prokain Novocaine Infiltrasi 1 lambat 8,9 1-3 200 600
Proparakain Ophthaine Topikal cepat 1-1,5 mg mg
Tetrakain Pontocaine Infiltrasi 8 lambat 8,51 singkat 500
Tetrakain Cetacaine topikal cepat 2-3 mg
singkat
20-50
mg
(Neal, 2006).

g. Kontrol infeksi
Alat-alat yang digunakan oleh dokter gigi dapat dibedakan menjadi
alat-alat kritis, semikritis, dan non-kritis. Alat-alat kritis merupakan alat-alat
yang bersentuhan langsung dengan struktur tubuh ataupun jaringan yang
tertutup kulit maupun mukosa, seperti jarum suntik, scalpel, elevator, bur,
tang, jarum jahit, implan, bahan aloplastik, serta bahan hemostatik. Sebelum
digunakan, peralatan kritis ini harus steril sebelum dipakai. Jika
memungkinkan, peralatan-peralatan ini dapat disterilisasi terlebih dulu
21

dengan menggunakan autoklaf. Bila tidak, peralatan-peralatan tersebut dapat


disterilisasi dengan bahan kimia yang terdaftar pada EPA (US
Environmental Protection Agency) dengan waktu pemaparan sesuai
instruksi pabrik, kemudian diikuti dengan pembasuhan menggunakan air
steril, atau dapat juga sterilisasi dengan merendam pada air mendidih
minimal 10 menit (Pedersen, 2013).
Alat-alat semikritis seperti kaca mulut, diagnostic set, alat-alat yang
digunakan untuk tes, handpiece, merupakan alat-alat yang dapat
bersentuhan akan tetapi nyatanya alat-alat tersebut tidak digunakan untuk
penetrasi ke membran mukosa mulut. Meski terkontaminasi cairan tubuh
manusia, alat-alat semi kritis tidak membawa kontaminan ke daerah steril di
dalam tubuh. Handpiece yang dipakai untuk bedah mulut, dapat diautoklaf.
Apabila menggunakan handpiece yang lain, setiap selesai pemakaian
dilakukan pengurasan air pendingin selama 20 hingga 30 menit, lalu disikat
di dalam air dan kotorannya dihilangkan dengan sabun. Setelah itu dilap
dengan bahan pengisap yang mengandung antikuman dan mycobactericidal.
Sedangkan alat-alat nonkritis seperti pengontrol posisi kursi,
countertops, kran yang dinyalakan dengan tangan, pengontrol kotak yang
digunakan untuk melihat gambar rontgen, dapat didesinfeksi dengan cara
dilap dengan handuk pengisap, lalu didesinfeksi dengan larutan anti kuman.
Larutan antikuman yang digunakan yakni clorox atau sodium hipoklorit.
Apabila menggunakan clorox maka perbandingan untuk pengencerannya
adalah 1:10 atau 5000 ppm. Sedangkan bila menggunakan sodium
hipoklorit maka pengencerannya adalah 1:100 atau 500 ppm.
American Dental Association (ADA) dan CDC merekomendasikan
bahwa setiap pasien harus dianggap berpotensi menular dan standard
precautions harus diterapkan bagi semua pasien. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi dan mencegah infeksi iatrogenik, nosokomial atau paparan
darah, materi menular lainnya. Kontrol infeksi melalui proses sterilisasi
merupakan komponen penting dalam proses kontrol infeksi dan keselamatan
pasien. Proses sterilisasi dan pengaturan area yang tepat dapat menghasilkan
proses sterilisasi lebih efisien, meminimalisasi kontaminasi lingkungan,
22

mengurangi kesalahan, menjaga alat tetap steril dan keselamatan pasien dan
staf. Dokter gigi dan staf harus melindungi diri dengan mengikuti program
imunisasi yang rutin dan penyakit infeksi lainnya.
Berkaitan dengan kontrol infeksi pada tahun 2003 center for disease
control and prevention (CDC) memperkenalkan standar precaution.
Standar precaution terdiri dari standar tindakan pencegahan dan
transmission based precautions. Tindakan pencegahan dilakukan terhadap
semua pasien mengurangi resiko transmisi mikroorganisme dari sumber
infeksi yang diketahui dan tidak diketahui (darah, cairan tubuh, ekskresi dan
sekresi). Pencegahan ini diterapkan terhadap semua pasien tanpa
mempedulikan diagnosis atau status infeksi yang pasti. Dasar-dasar tindakan
pencegahan termasuk cuci tangan, pemakaian alat pelindung diri (APD),
manajemen health care waste, penanganan dan pembuangan secara tepat
jarum dan benda tajam. Cuci tangan adalah tindakan pencegahan penyakit
utama bagi tenaga kesehatan. Tangan harus dicuci secara cermat dengan
sabun cair disinfektan, dikeringkan dengan lap kertas 1 kali pakai sebelum
memakai dan setelah melepaskan sarung tangan. Transmission based
precaution untuk pasien beresiko baik yang telah diketahui terinfeksi atau
pasien dengan penularan yang tinggi sehingga membutuhkan tambahan
tindakan pencegahan. Transmission based precaution terdiri dari 4 tipe
yaitu tindakan pencegahan pertama melalui udara, kedua melalui percikan
saliva tindakan pencegahan ini harus membutuhkan masker bedah dan
kacamata pelindung yang dipakai oleh tenaga kesehatan. Tindakan
pencegahan ketiga melalui kontak yang membutuhkan sarung tangan dan
apron plastik yang dipakai tenaga kesehatan ketika melakukan prosedur
klinis. Keempat dengan tindakan sterilisasi (Lugito, 2013).
23
BAB III

PEMBAHASAN

Dokter gigi sebagai tenaga keehatan berperan dalam pencegahan,


penatalaksanaan dan perawatan gigi dan mulut masyarakat yang hidup
dengan berbagai kondisi. Maka dalam peberian pelayanan kesehatan gigi
dan mulut kepada masyarakat, tidaklah etis jika melakukan penolakan pada
pasien-pasien penderita beberapa penyakit terutama pada penyakit yang atau
berpotensi menular. Namun dengan tingginya resiko pekerjaan, seperti
terjadi transmisi silang atau penularan penyakit baik antara dokter-pasien
sebaliknya maupun pasien-pasien, masih terjadi kurangnya kesadaran tenaga
kesehatan dan rendahnya mutu pelaksanaan steriliasi juga mengakibatkan
semakin tingginya resiko tersebut. Jalur untuk terjadinya penyebaran agen
infeksius bisa melalui beberapa cara, yaitu :
1. Pasien ke Operator, melalui dua cara, yaitu kontak lansung dan tidak
langsung. Kontak lansung dengan saliva antara pasien bisa menjadi
jalan masuk mikroba melalui kulit yang luka, mukosa mata, hidung
dan mulut. Infeksi tidak langsung melibatkan perpindahan
mikroorganisme dari sumber tertentu (mulut pasien) ke suatu benda
dan kemudian operator bersentuhan dengan benda yang sudah
terkontaminasi tersebut. Bisa melalui penyebaran droplet dan
melalui udara yang terkontaminasi mikroorganisme.
2. Operator ke Pasien, melalui tenaga kesehatan yang tidak
menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). Tangan operator yang
terluka dan mengenai instrumen atau alat-alat lain yang kemudian
digunakan di mulut pasien, patogen dan mikroorganisme lainnya
yang terkandung dalam darah bisa berpindah ke mulut pasien.
Penularan juga bisa terjadi melalui droplet infeksi dari operator
kepada pasien, yang sebenarnya dapat terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, jadi tidak khusus diruang perawatan gigi.
3. Pasien ke Pasien, penyebaran secara tidak langsung melalui alat-alat
yang dipakai tanpa disterilkan dengan baik dan permukaan peralatan

24
25

4. Dental unit yang terkontaminasi yang paling sering disentuh tenaga


pelayanan kesehatan gigi.
5. Operator ke Lingkungan, mikroorganisme dari pasien
mengkontaminasi benda-benda yang akan dibuang dari klinik
apabila benda-benda tersebut tidak disterilkan terlebih dahulu
sebelum dibuang. Infeksi juga dapat berasal dari kontak tidak
langsung karena tidak menggunakan APD (misalnya melalui baju,
handphone, dan lain-lain ). Limbah medis (cair dan padat) yang tidak
dikelola sesuai aturan yang benar, untuk itu perlu memiliki instalasi
pengelolaan limbah medis.
6. Lingkungan Sekitar ke Pasien, dari sumber air yang digunakan di
tempat pelayanan kesehatan gigi.

Untuk mengatasi permasalahan ini, maka International Labour


Organization (ILO), Center for Disease Control and Prevention (CDC),
Occupational Safety and Health Administration (OSHA), World Health
Organization (WHO) dan United Nations and Acquired Immunodeficiency
Syndrome (UNAIDS) menghasilkan pedoman internasional baru yang
penting bagi tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, bidan staf teknik
seperti apoteker dan laborat, manajer kesehatan, petugas kebersihan, dan
tenaga kerja lainnya dalam melaksanakan kontrol infeksi (Lugito, 2013).
Pengertian dari kontrol infeksi sendiri, merupakan tindakan yang dilakukan
untuk meminimalkan transmisi agen yang bersifat infeksius. Dalam
pelaksaan kontrol infeksi, dibuatlah Standard Preccautions, yang
merupakan upaya-upaya pelaksanaan kontrol infeksi. Standard precaution
terdiri dari dua, yaitu standar tindakan pencegahan dan transmission based
precautions. Tindakan pencegahan, adalah standar tindakan yang
diaplikasikan terhadap semua pasien dan dirancang untuk mereduksi resiko
transmisi mikroorganisme dari sumber infeksi yang diketahui dan tidak
diketahui (darah, cairan tubuh, ekskresi dan sekresi). Pencegahan ini
diterapkan terhadap semua pasien tanpa mempedulikan diagnosis atau status
infeksi yang pasti, seperti cuci tangan, pemakaian alat pelindung diri (APD),
26

manajemen health care waste, penanganan dan pembuangan secara tepat


jarum dan benda tajam. Sedangkan Transmission based precaution
ditujukan bagi grup pasien yang beresiko baik yang telah diketahui atau
suspect terinfeksi atau terkolonisasi dengan transmisi penularan yang tinggi
sehingga membutuhkan tambahan tindakan pencegahan atas tindakan
pencegahan standar atau ketika pemberantasan agen infeksi dengan
sterilisasi tidak memungkinkan. Transmission based precaution terdiri dari
empat tipe, yaitu tindakan pencegahan pertama melalui udara (TB aktif,
influenza, varicella), percikan saliva (meningococcal atau batuk rejan),
kontak (Impetigo, Shingles, MRSA), untuk encephalopathies, spongiform
yang dapat bertransmisi. Pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan
melakukan dekontaminasi.
Proses dekontaminasi peralatan adalah rangkaian proses yang terdiri
dari lima tahap, yaitu transportasi, pembersihan melalui dekontaminasi,
persiapan pengepakan, sterilisasi instrumen dan penyimpanan instrumen
steril. Instrumen dibawa dalam wadah tertutup dan diletakkan di tempat
yang terpisah sehingga tidak ada kontak antara instrumen yang steril dan
tidak steril. Semua instrumen harus dibersihkan secara teliti untuk
menghilangkan kotoran yang terlihat atau kasat mata dengan menggunakan
mesin pencuci atau alat disinfeksi yang lebih efisien dibanding alat
pembersih ultrasonik pada saat sebelum proses sterilisasi. Alat pembersih
ultrasonik efektif untuk menghilangkan debris. Alat pembersih ultrasonik
harus dites berkala untuk menjamin alat berfungsi baik. Instrumen harus
dikeringkan dan diperiksa telah bersih dari kotoran, fungi dan kerusakan
sebelum pengepakan. Instrumen yang telah bersih diletakkan dalam kantong
sterilisasi yang memenuhi standar ADA. Pengepakan ini bertujuan untuk
mencegah kontaminasi setelah proses sterilisasi. Instrumen yang
terkontaminasi disterilkan setelah digunakan. Prosedur sterilisasi harus
efektif melawan semua jenis mikroorganisme patogen. Pilihan metode
sterilisasi kebanyakan instrumen adalah autoclave dengan menggunakan
salah satu kombinasi suhu dan waktu. Suhu tertinggi harus digunakan untuk
alat yang cocok disterilisasi dengan suhu tersebut. Pak harus kering sebelum
27

dipindahkan dari autoclave. Desinfektan mengeliminasi sebagian besar


mikroorganisme tapi tidak semua bentuk mikroorganisme. Sterilisasi
penting dilakukan untuk semua instrumen yang berkontak dengan jaringan
mulut baik yang berpenetrasi maupun tidak bepenetrasi jaringan lunak atau
tulang. Instrumen yang hanya berkontak dengan kulit utuh hanya
didisinfeksi setiap pergantian pasien. Instrumen yang telah steril dan
terbungkus disimpan pada tempat tertutup, jangan di bawah tempat
pembuangan untuk mencegah instrumen basah. Instrumen ini disimpan pada
rak penyimpanan yang steril. Instrumen yang disimpan harus dibungkus
(Pedersen, 1996).
Tindakan-tindakan pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah,
seperti :
1. Evaluasi Pasien, merupakan suatu kegiatan yang sama seperti ketika
menganamnesis pasien. Tenaga kesehatan gigi harus mengetahui
riwayat kesehatan pasien dengan lengkap dan jika memungkinkan
sebaiknya diperbaharui setiap kunjungan pasien. Pengumpulan
riwayat medis yang teliti mutlak dilakukan dan bisa membantu
identifikasi pasien dengan daya tahan tubuh rendah yang
membutuhkan perawatan khusus.
2. Perlindungan Diri, harus ditetapkan oleh badan yang berwenang
yang meliputi antara lain cara pemakaian maupun lama pemakaian.
Sehingga dengan adanya prosedur yang lengkap maka rantai infeksi
akan terputus, karena kesalahan sekecil apapun pada prosedur
proteksi diri dapat menyebabkan perpindahan penyakit dari penderita
ke penderita baru, seperti mencuci tangan, penggunaan masker,
sarung tangan, baju pelindung, penutup kepala, dan melakukan
imunisasi.
3. Penggunaan Alat Sekali Pakai, biasanya bahan tersebut terbuat dari
plastik atau bahan logam yang tidak mahal, dan biasanya bersifat
tidak tahan panas atau tidak bisa disterilkan dan harus dibuang
setelah dipakai.
28

4. Air Dental Unit, terdapat beberapa cara untuk mengurangi


kontaminasi mikroorganisme dari dental unit, yaitu menyediakan
tangki air yang berisi air yang telah direbus atau air destilasi dan
masukan kedalam sistem dental unit, sehingga air yang keluar dari
handpiece dan semprotan adalah air yang telah direbus, saluran-
saluran air di dental unit secara periodik di cuci dengan larutan
desinfektan dan dibilas sebelum merawat pasien, menggunakan
penyaring bakteri (mikrofiltrasi).

Pada kasus, tindakan kontrol infeksi yang dilakukan oleh operator


adalah melakukan kontrol infeksi pada area-area kerja yang kemungkinan
menjadi kontak infeksi. Area kerja yang dapat menjadi kontak infeksi pada
kasus ini, seperti mukosa atau bagian gusi pasien. Namun untuk penggunaan
APD tidak dijelaskan pada kasus. Prosedur pra anestesi yang dilakukan
operator dimulai dengan melakukan kontrol infeksi pada pasien, maka
barulah operator menjelaskan pada pasien mengenai prosedur pencabutan
berikut anetesi yang akan dilakukan oleh operator. Namun tidak dijelaskan
apakah operator melakukan pemeriksaan fisik dan anamnesa stasus keadaan
pasien secara umum.

Tindakan bedah minor dalam kedokteran gigi seperti pencabutan gigi


sebagaimana terjadi pada kasus diatas dibutuhkan anestesi untuk
menghilangkan rasa sakit yang ditimbulkan. Jenis anestesi yang dibutuhkan
untuk ekstraksi gigi adalah anestesi lokal. Anestesi lokal merupakan suatu
kondisi hilangnya berbagai sensasi seperti rasa sakit yang terjadi di sebagian
tubuh atau bagian yang spesifik. Anestesi lokal dipilih karena bersifat ringan
dan biasanya digunakan untuk tindakan yang hanya perlu waktu singkat.
Anestesi lokal digunakan sebagai penghilang rasa sakit sehingga pasien
merasa nyaman selama perawatan dan dokter gigi menjadi lebih tenang
dalam melakukan perawatan. Kerja sama yang baik dengan pasien juga
dapat dilakukan karena pada anestesi lokal pasien masih dalam keadaan
sadar selama perawatan. Penggunaan anestesi lokal juga lebih ekonomis
sehingga banyak digunakan dalam kedokteran gigi (Malamed, 2004).
29

Anestesi lokal yang digunakan untuk mengekstraksi gigi meliputi anestesi


topikal, infiltrasi, dan blok.

Anestesi topikal dipilih karena dapat membaalkan mukosa sebelum


injeksi dilakukakn. Anestesi topikal bisa berupa semprotan, salep, atau
emulsi. Merujuk pada kasus tersebut, anestesi topikal yang dipilih adalah
anestesi salep. Anestesi dalam bentuk salep mengandung lignokain
hidroklorida 5% dan diperlukan waktu sekitar 3-4 menit agar efek
anestesinya timbul. Setelah anestesi salep diberikan, berikutnya adalah
anestesi blok dan anestesi infiltrasi. Anestesi blok digunakan untuk
memblokir impuls saraf pada bagian batang saraf, sehingga akan terjadi baal
pada area yang lebih luas. Sedangkan anestesi inflitrasi dapat menimbulkan
baal pada bagian terminal saraf terdekat pada gigi yang akan diekstraksi
(Howe dan Whitehead, 1992).

Anestetikum yang digunakan dalam injeksi blok dan infiltrasi


memiliki berbagai macam pilihan. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di
negara Indonesia untuk golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan
amida adalah lidokain dan bupivakain. Komposisi dari larutan anestesi lokal
terdiri dari agen, vasokonstriktor, agen pengoksidasi, bahan pengawet,
antifungal dan solvent. Seperti larutan lidokain mengandung 2% Lidocaine
hydrocloride sebagai agen anestesi lokal, 1:80.000 sampai 1:100,000
epinefrine sebagai vasokonstriktor untuk memperpanjang masa kerja
anestesi lokal, Sodium metabisulphate sebagai agen pengoksidasi, methyl
paraben sebagai bahan pengawet, thymol sebagai antifungal, dan air suling
sebagai pelarut. Larutan lidokain dapat dipilih karena menimbulkan
hambatan hantaran yang lebih cepat, lebih kuat, lebih lama dan lebih
ekstensif serta termasuk golongan amida sehingga metabolismenya terjadi
di hati (Wray dkk., 2003).

Pengaplikasian anestesi topikal pada area yang akan dinjeksikan


anestetikum lainnya menggunakan tata cara sebagai berikut (Meechan,
2000):
30

1. Membran mukosa dikeringkan untuk mencegah larutnya bahan


anastesi topikal.
2. Bahan anastesi topikal dioleskan melebihi area yang akan disuntik
selama ± 15 detik, kurang dari waktu tersebut, obat tidak efektif
(tergantung petunjuk pabrik).
3. Anastesi topikal harus dipertahankan pada membran mukosa
minimal 2 menit, agar obat bekerja efektif. Salah satu kesalahan
yang dibuat pada pemakaian anastesi topikal adalah kegagalan
operator untuk memberikan waktu yang cukup bagi bahan anastesi
topikal untuk menghasilkan efek yang maksimum.

Injeksi yang digunakan untuk menganestesi gigi 46 adalah injeksi


blok mandibula. Dalam teknik injeksi mandibula, yang menjadi target
anestetikum adalah untuk memblok nervus alveolaris inferior. Hal yang
pertama dilakukan adalah pasien didudukkan di kursi dental dalam posisi
supine atau semi supine dengan mulut terbuka lebar upaya dataran
mandibula sejajar dengan lantai (Balaji, 2013). Setelah itu meraba fossa
retromolaris dengan jari telunjuk, sehingga kuku jari menempel pada line
obliqua. Syringe diletakkan di antara kedua premolar pada sisi yang
berlawanan, kemudian jarum diarahkan sejajar dengan dataran oklusal gigi-
geligi mandibula ke arah ramus dan jari. Setelah posisi sudah tepat, jarum
dapat disuntikan pada apeks trigonum pterygomandibularis dan diteruskan
hingga di antara ramus dan ligamentum-ligamentum serta otot-otot yang
menutupi facies interna ramus hingga ujung jarum berkontak dengan
dinding posterior sulkus mandibularis (Purwanto, 1997).

Tidak hanya injeksi blok mandibula, anestesi lain yang perlu diberikan
untuk ekstraksi gigi 46 adalah anestesi infiltrasi. Injeksi bukalis longus dan
injeksi lingual bisa juga sebagai pilihan tambahan. Injeksi bucalis longus
diperlukan karna gigi 46 pada jaringan sekitarnya bagian bukal diinervasi
oleh nervus bucalis longus. Dari sisi lingual, nervus lingualis menginervasi
jaringan sekitar gigi 46 sehingga kedua injeksi ini yaitu nervus bucalis
longus dan lingualis dapat dilakukan sebagiinjeksi tambahan.
31

Anestesi infiltrasi merupakan teknik anestesi lokal yang


mendeponirkan anestetikum disekitar apeks gigi untuk memblok akhiran
saraf atau terminal saraf. Indikasi dari anestesi ini adalah untuk semua gigi
rahang atas dan gigi anterior rahang bawah serta molar 1 rahang bawah
ketika pengobatan terbatas pada satu gigi. Kontraindikasinya yaitu tidak
ditujukan pada daerah infeksi atau inflamasi. Pada gigi 46 digunakan teknik
infiltrasi karna dengan teknik blok mandibula lebih efektif pada gigi M3,
M2 terutama dibagian lingualis, oleh karena itu dibutuhkan injeksi infiltrasi
supraperiosteal untuk menganestesi akhiran saraf disekitar apeks M1 dari
sisi bukal. Teknik nya adalah Kasa atau kapas kecil diletakkan diantara jari
dan membran mukosa mulut, tarik pipi atau bibir serta membran mukosa
yang bergerak kearah atas sehingga membran mukosa menjadi tegang,
untuk memperjelas daerah lipatan mukobukal atau mukolingual.
Aplikasikan terlebih dahulu anestesi topikal jika diperlukan sebelum insersi
jarum. Suntik jaringan pada lipatan mukosa dengan bevel jarum mengarah
ketulang dan sejajar bidang tulang, setelah posisi jarum tepat lanjutkan
insersi jarum menyelusuri periosteum sampai ujungnya mencapai setinggi
akar gigi lalu larutan dideposit. Suntikan dengan perlahan-lahan agar
memperkecil atau mengurangi rasa sakit (Skinner, 2000).

Setelah anestetikum dideponirkan, maka anestesi tersebut akan


bekerja pada membran sel dan mencegah konduksi impuls saraf dengan
menurunkan atau mencegah peningkatan permeabilitas membran sel
terhadap ion natrium. Kunci proses hantaran dan konduksi impuls adalah
pembukaan kanal natrium, oleh karena itu obat anestesi lokal berikatan
dengan reseptor spesifik di kanal natrium dan ikatan ini mengubah struktur
serta fungsi kanal natrium dan menghambat pergerakan ion natrium ke luar
sel sehingga tidak terjadi konduksi impuls saraf serta hilangnya sensasi pada
saraf sensible tersebut (Samodro, 2011). Anestetikum lidokain 2% akan
bekerja selama 60-180 menit. Saraf sasaran untuk ekstraksi gigi 46 adalah
nervus alveolaris inferior rami dentalis brevis dan n.buccalis longus dari sisi
bukal serta n. Lingualis dari sisi lingual maka saraf tersebut akan teranestesi.
Lidokain 2% yang merupakan golongan amida akan mengalami absorbsi ke
32

sistemik, kemudian didistribusikan ke organ dengan perfusi tinggi terlebih


dahulu dan dimetabolisme di hati oleh enzim mikrosom sitokrom p-450,
yang akan diekskresikan melalui urin oleh ginjal (Skinner, 2000).
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Anestesi adalah untuk menyediakan atau menghilangkan rasa sakit.
Dengan cara memblokir impuls saraf dari bagian bawah segmen tulang
belakang yang mengakibatkan penurunan sensasi dibagian bawah
tubuh.Obat golongan amida seperti bupivacaine, chloroprocaine, atau
lidokain.Mereka sering disampaikan dalam kombinasi dengan opioid
atau narkotika, seperti fentanyl, dan sufentanil, untuk mengurangi dosis
yang diperlukan bius lokal. Anestesi dibagian menjadi dua kelompok
yaitu :
a. Anestesia lokal : hilang rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran
b. Anestesia umum : hilang rasa sakit disertai hilang kesadaraan

B. Saran
Dengan laporan ini diharapkan agar mahasiswa dapat memahami
tentang Anestesi agar lebih mngetahui tujuan dan manfaat Anestesi.

33
DAFTAR PUSTAKA

Balaji, S. M., Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery 2nd Ed., India, Elvisier

Dobson dan Michael, 1994, Penuntun Praktis Anestesi, EGC, Jakarta.

Edgcombe, H., Graham H., 2011, Local Anaesthetic Pharmacology,


AnaesthesiaUK, Oxford.

Howe, 1992, Anestesi lokal. Ed 3, Hipokrates, Jakarta.

Howe, Geoffrey L., 2013, Anestesi Lokal, Ed. 3, EGC, Jakarta.

Latief., dkk., 2007, Petunjuk Praktis Anestesiologi, FKUI, Jakarta.

Lugito, 2013, kontrol infeksi dan keselamatan kerja dalam praktek kedokteran
gigi, Jurnal PDGI, vol.62 (1): 24-30

Lugito, Manuel DH., 2013, Jurnal Kontrol Infeksi dan Keselamatan kerja dalam
praktek kedokteran gigi, vol. 62 Ha.24-3

Malamed, S. F., 2004, Handbook of Local Anaesthesia 5th Ed., Philadelphia,


Elsevier Mosby.

Meechan, J. G., 2000, Intra-oral Topical Anaesthetics: A Review, Journal of


Dentistry, 28 (2000): 3–14.

Narlan Sumawinata, 2013, Anestesia Lokal dalam Perawatan Konservasi Gigi,


ECG, Jakarta.
Neal, M. J., 2006, Medical Pharmacology at a Galance Fifth Edition, Erlangga:
Jakarta.

Pedersen, G.W., 2013, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, EGC, Jakarta.

Purwanto, 1997, Petunjuk Praktis Anestesi Lokal, EGC, Jakarta.

Samodro, R, 2011, Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal, Jurnal Anestesiologi


Indonesia, Vol.3 (1) : 48-59
Samodro, R, 2011, Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal, Jurnal Anestesiologi
Indonesia, Vol.3 (1) : 48-59

34
Siahaan, 2000, Anestesi lokal dan regional, USU Press, Medan

35
36

Skinner IJ, 2000, Lokal Anaesthetics And Their Uses, In: Basic Surgical Skill
Manual, Mc Graw-Hill, Hongkong.
Skinner IJ, 2000, Lokal Anaesthetics And Their Uses, In: Basic Surgical Skill
Manual, Mc Graw-Hill, Hongkong.
Wray, D., Stenhouse, D., Lee, D., Clark, A. J., 2003, Textbook of General and
Oral Surgery, Philadelphia, Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai