Anda di halaman 1dari 6

TUGAS PRAKOAS

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER GIGI

NAMA MAHASISWA : NADYA AYUSTIA

NIM : G1G014008

ANGKATAN : XVI-B

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT

PURWOKERTO
Apabila menangani pasien dengan HIV positif atau pasien dengan suspect HIV

1. Menjadi konselor dasar dengan mempromosikan VCT dan memberikan konseling


dukungan termasuk edukasi tentang bahaya HIV/AIDS dan penularannya
Langkah awal yang dapat dilakukan oleh konselor dasar untuk mempromosikan VCT
(Volluntary, Counselling, and Testing) kepada klien dengan HIV positif atau klien
dengan suspect HIVadalah dengan menjelaskan terlebih dahulu apa itu VCT serta
pentingnya VCT sebagai langkah pencegahan dan penanganan HIV. Perlu dijelaskan
kepada klien bahwa VCT perlu dilakukan sebagai langkah awal untuk mendapatkan
informasi mengenai HIV/AIDS sehingga klien dapat segera melakukan deteksi sedini
mungkin dan mendapatkan pengobatan yang dibutuhkan. Setelah klien memahaminya,
konselor akan menjelaskan tahapan dan proses dalam VCT yang meliputi tahapan
konseling pra tes, informed concent, tes HIV dan konseling pasca tes.
a. Konseling Pra Tes
Pada tahap ini, konselor akan membangun kepercayaan klien pada konselor yang
merupakan dasar utama bagi terjaganya kerahasiaan sehingga terjalin hubungan
baik dan terbina sikap saling memahami. Selama konseling berlangsung, konselor
akan menanyakan alasan kunjungan serta memberikan klarifikasi tentang fakta
dan mitos mengenai HIV dan AIDS. Pada tahap ini, konselor juga akan
memberikan penilaian resiko untuk membantu klien mengetahui faktor resiko dan
menyiapkan diri untuk pemeriksaan darah. Di dalam konseling pra tes, seorang
konselor VCT harus membuat keseimbangan antara pemberian informasi,
penilaian resiko, dan merespon kebutuhan emosi klien. Selain itu, pada tahap ini
konselor juga harus menghimbau klien untuk jujur dan terbuka kepada konselor
dalam menceritakan riwayat kebiasaan atau aktivitas sebelumnya yang dicurigai
dapat beresiko terpapar virus HIV, misalnya riwayat pekerjaan, akivitas seksual
dan penggunaan narkoba dengan suntikan.
b. Informed Concent
Sebelum menjalani tes HIV, klien harus memberikan persetujuan tertulisnya pada
lembar persetujuan (informed concent).
c. Tes HIV
Konselor akan menjelaskan kepada pasien bahwa tes HIV ini memiliki prinsip
berupa sukarela dan terjaga kerahasiaannya. Perlu disampaikan pula bahwa tes ini
dilakukan untuk menegakkan diagnosa.
d. Konseling Pasca Tes
Pada tahap ini konselor akan menjelaskan bahwa setelah menerima hasil tes,
klien akan menjalani tahapan konseling pasca tes. Apabila hasil tes negatif,
konselor tetap akan memberi pemahaman mengenai pentingnya menekan risiko
HIV/AIDS. Misalnya, mengedukasi klien untuk melakukan hubungan seksual
dengan lebih aman dan menggunakan kondom. Namun, bila hasil tes positif,
konselor akan memberikan dukungan emosional agar penderita tidak patah
semangat. Konselor juga akan memberikan informasi tentang langkah berikutnya
yang dapat diambil, seperti penanganan dan pengobatan yang perlu dijalani.
Konselor juga akan memberi petunjuk agar klien dapat senantiasa menjalani pola
hidup sehat dan melakukan beberapa langkah pencegahan HIV agar tidak
menularkannya kepada orang lain. Pada tahapan berikutnya, peran konselor
adalah untuk lebih mendukung dan membangun mental para penderita HIV agar
mereka tetap semangat dalam menjalani aktivitas dan hidup sehari-hari serta
memastikan penderita HIV tetap mendapatkan pengobatan secara teratur.

Konselor juga dapat memberikan konseling dukungan termasuk edukasi mengenai


bahaya HIV/AIDS dan penularannya. Konselor dapat menjelaskan kepada klien bahwa
bahaya dari HIV/AIDS adalah sebagai berikut (Nursalam, dkk., 2018):

a. HIV/AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang mudah menular dan mematikan. Virus
tersebut merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang dapat menyebabkan
terjadinya penurunan atau hilangnya daya tahan tubuh penderitanya sehingga
penderita mudah terinfeksi berbagai macam penyakit lainnya seperti tuberculosis,
herpes, radang kulit, meningitis, kanker, penyakit neurologi, maupun gagal ginjal.
Dan sampai saat ini belum ditemukan vaksin pencegahnya atau obat untuk
penyembuhannya.
b. Bahaya HIV/AIDS dilihat dari aspek psikologis yaitu penderita akan mengalami
tekanan mental yang berat yang dapat menyebabkan kondisi tubuh semakin
lemah. Hal ini juga dapat memicu depresi dan perasaan ingin bunuh diri yang
sangat besar pada penderita HIV/AIDS. Oleh karena itu dukungan dari keluarga
dan lingkungan dapat membantu penderita HIV/AIDS agar mendapatkan
kehidupan yang layak.
c. Bahaya HIV/AIDS dilihat dari aspek sosial ekonomi meliputi:
 Tidak diterima lingkungan
Sikap sosial terhadap penderita HIV/AIDS masih sangat minim, hal ini
menyebabkan banyak penderita yang akhirnya harus hidup terisolasi
karena tidak diterima lingkungan. Bahkan banyak penderita HIV AIDS
yang merasa sulit untuk kembali ke keluarga atau lingkungan awal.
Meskipun sikap ini tidak benar namun masih banyak hambatan besar bagi
penderita HIV AIDS untuk kembali ke lingkungan yang baik.
 Tidak mampu beraktifitas
Berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan virus
menjadi kendala kesehatan yang besar untuk penderita HIV/AIDS.
Mereka mudah menjadi sakit dan tidak bisa melakukan berbagai macam
aktivitas dengan mudah. Karena itulah penderita HIV/AIDS akan merasa
sangat terbatas dalam menjalankan pekerjaan dan aktifitas lain.

Selain mengedukasi klien mengenai bahaya HIV/AIDS, konselor juga dapat


mengedukasi pasien mengenai penularan HIV/AIDS. Beberapa metode penularan
HIV/AIDS antara lain adalah melalui (Octavianty, dkk: 2015):
a. Hubungan seksual tanpa menggunakan kondom dengan seseorang yang mengidap
HIV/AIDS. Hubungan seksual ini bisa homoseksual atau heteroseksual.
b. Penggunaan jarum suntik atau alat tusuk lainnya seperti tatto, tindik atau
akupuntur yang tidak steril dan terkontaminasi dengan darah orang yang
terinfeksi HIV/AIDS. Oleh karena itu pemakaian jarum suntik secara bersamaan
pada pengguna narkoba akan beresiko sangat tinggi untuk tertular HIV/AIDS.
c. Ibu yang menderita HIV positif dapat beresiko menularkan HIV/AIDS kepada
bayinya, baik pada saat dalam kandungan, saat melahirkan atau melalui ASI.
d. Penularan HIV/AIDS juga dapat terjadi melalui transfusi darah.
2. Menerapkan Universal Precautions Untuk Perlindungan Diri
Noviana (2017) menjalaskan bahwa tenaga kesehatan harus memahami dan menerapkan
kewaspadaan universal atau universal precaution untuk mengurangi resiko penularan
HIV serta sebagai bentuk perlindungan diri. Pelaksanaan universal precaution meliputi:
a. Mencuci Tangan
Mencuci tangan harus selalu dilakukan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
keperawatan kepada pasien. Tindakan ini penting untuk menghilangkan atau
mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga dapat mencegah
terjadinya penyebaran infeksi. Cuci tangan yang dilakukan harus menggunakan
sabun antiseptik dan air mengalir. Tenaga kesehatan diwajibkan untuk mencuci
tangan setelah melakukan tindakan yang memungkinkan terjadinya penyebaran
infeksi seperti saat akan memeriksa pasien dan setelah memeriksa pasien serta
setelah terpapar cairan tubuh pasien (darah dan cairan infeksius lainnya).
b. Menggunakan Alat Pelindung Diri
Alat Pelindung Diri (APD) yang harus digunakan oleh tenaga medis meliputi
sarung tangan, pelindung mata (goggles), pelindung wajah seperti masker dan
face shield, penutup kepala, gaun pelindung, serta sepatu pelindung seperti shoe
cover dan waterproof boots.
c. Pengelolaan Alat Kesehatan
Pengelolaan alat kesehatan yang baik dapat mencegah terjadinya penyebaran
infeksi melalui alat kesehatan. Alat kesehatan yang digunakan untuk memeriksa
pasien harus senantiasa dalam keadaan bersih dan steril. Pengelolaan alat
kesehatan bekas pakai dengan melakukan dekontaminasi, desinfeksi, dan
sterilisasi dengan benar. Penggunaan alat dan pembuangan alat tajam juga harus
dilakukan secara hati-hati.
DAFTAR PUSTAKA

Noviana, N., 2017, Universal Precaution: Pemahaman Tenaga Kesehatan Terhadap


Pencegahan HIV/AIDS, Jurnal Kesehatan Reproduksi, 8(2): 143-151.
Octavianty, L., Rahayu, A., Rahman, F., Rosadi, D., 2015, Pengetahuan, Sikap, dan
Pencegahan HIV/AIDS Pada Ibu Rumah Tangga, Jurnal Kesehatan Masyarakat,
11(1): 53-58.
Nursalam, Kurniawati, N. D., Solikhah, F., K., 2018, Asuhan Keperawatan pada Pasien
Terinfeksi HIV/AIDS Ed.2, Salemba Medika, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai