Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN ANALISIS VIDEO PBK KEPERAWATAN HIV/AIDS

DI SUSUN OLEH :
IRNA SULISTIYANI
30901800097

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PRODI S1 ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2020
1. Konseling pre HIV
Pada prinsipnya, VCT bersifat rahasia dan dilakukan secara sukarela. Artinya, hanya
dilakukan atas inisiatif dan persetujuan pihak yang datang ke penyedia layanan VCT untuk
diperiksa. Hasil pemeriksaan yang dilakukan selama VCT pun terjaga kerahasiaannya.
Pertama Pasien HIV/AIDS
a) Tahap Konseling Sebelum Tes
Saat memberikan konseling, konselor akan memberikan informasi kepada
klien seputar HIV dan AIDS. Selama konseling berlangsung, konselor juga
akan menanyakan beberapa pertanyaan kepada klien. Klien dihimbau untuk
jujur dan terbuka kepada konselor dalam menceritakan riwayat kebiasaan atau
aktivitas sebelumnya yang dicurigai dapat berisiko terpapar virus HIV,
misalnya riwayat pekerjaan atau kegiatan sehari-hari, aktivitas seksual, dan
penggunaan narkoba dengan suntikan. Di sesi konseling, konselor juga
mungkin akan menanyakan riwayat penyakit atau pengobatan terdahulu yang
pernah dialami klien, misalnya riwayat infeksi menular seksual atau transfusi
darah.
b). Tes HIV
Setelah klien mendapatkan informasi yang jelas melalui konseling, konselor
akan menjelaskan mengenai pemeriksaan yang bisa dilakukan dan meminta
persetujuan klien (informed consent) untuk dilakukan tes HIV. Setelah
mendapat persetujuan tertulis, tes HIV dapat dilakukan. Bila hasil tes sudah
tersedia, klien akan diberi kabar dan diminta untuk datang kembali ke fasilitas
penyedia layanan VCT agar konselor dapat memberitahu hasil yang telah
dilakukan.

2. Konseling post HIV


a). Tahapan Konseling Setelah Tes
Setelah menerima hasil tes, klien akan menjalani tahapan pascakonseling.
Apabila hasil tes negatif, konselor tetap akan memberi pemahaman mengenai
pentingnya menekan risiko HIV/AIDS. Misalnya, mengedukasi klien untuk
melakukan hubungan seksual dengan lebih aman dan menggunakan kondom.
Namun, bila hasil tes positif, konselor akan memberikan dukungan emosional
agar penderita tidak patah semangat. Konselor juga akan memberikan
informasi tentang langkah berikutnya yang dapat diambil, seperti penanganan
dan pengobatan yang perlu dijalani. Konselor juga akan memberi petunjuk
agar klien dapat senantiasa menjalani pola hidup sehat dan melakukan
beberapa langkah pencegahan HIV agar tidak menularkannya kepada orang
lain. Pada tahapan berikutnya, peran konselor adalah untuk lebih mendukung
dan membangun mental para penderita HIV agar mereka tetap semangat dalam
menjalani aktivitas dan hidup sehari-hari serta memastikan penderita HIV
tetap mendapatkan pengobatan secara teratur. Beberapa Manfaat Melakukan
VCT

 Beberapa Manfaat Melakukan VCT


Infeksi HIV/AIDS harus diwaspadai karena infeksi HIV tidak memiliki
gejala awal yang jelas. Tanpa pengetahuan yang cukup, penyebaran HIV akan
semakin sulit dihindari. Oleh karena itu, VCT perlu dilakukan sebagai langkah
awal untuk mendapat informasi mengenai HIV sehingga penderita HIV bisa
segera melakukan deteksi sedini mungkin dan mendapat pengobatan yang
dibutuhkan. Cara ini sangat membantu sebagai langkah pencegahan dan
pengendalian HIV/AIDS. Kendati belum terdapat pengobatan yang dapat
menyembuhkan penyakit HIV/AIDS secara tuntas, pengobatan antiretroviral
(ARV) yang digunakan untuk mengobati HIV saat ini dapat menekan
perkembangan virus HIV dalam tubuh penderita. Dengan demikian, penderita
HIV/AIDS (ODHA) mampu meningkatkan kualitas hidup dan daya tahan
tubuh mereka. Dengan mendapatkan pengobatan ARV secara teratur seumur
hidup, para ODHA tetap bisa bekerja, sekolah, dan berkarya. Mayoritas orang
yang mengalami HIV/AIDS adalah anak-anak muda. Dengan berbagai
penyebab utama, seperti perilaku seksual berisiko, misalnya sering berganti
pasangan seksual dan tidak menggunakan kondom sebagai pengaman,
membuat tindikan atau tato, serta menggunakan narkoba melalui jarum suntik.
Namun, tidak hanya anak-anak muda, siapa saja bisa menjalani konseling HIV
dan tidak perlu takut untuk menjalani VCT. Langkah ini justru dapat
membantu meningkatkan pengetahuan setiap orang tentang pencegahan dan
penanganan HIV/AIDS.

3. Perawatan jenazah HIV


Selalu menerapkan kewaspadaan standar yakni memperlakukan semua jenis
cairan dan jaringan tubuh jenazah sebagai bahan yang infeksius dengan cara
menghindari kontak langsung.

2. Pastikan jenazah sudah didiamkan selama lebih dari dua jam sebelum dilakukan
perawatan jenazah.

3. Tidak mengabaikan etika, budaya, dan agama yang dianut jenazah.

4. Semua lubang-lubang tubuh ditutup dengan kasa absorben dan diplester kedap air.¨

5. Badan jenazah harus bersih dan kering.

6. Sebaiknya jenazah yang sudah dibungkus/dikafani/ dipakaikan baju tidak dibuka


lagi.

7. Jenazah yang dibalsem atau disuntik untuk pengawetan atau autopsi dilakukan oleh
petugas khusus yang terlatih.

8. Autopsi hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari pihak berwenang.

Kewaspadaan standar terkait penyelenggaraan jenazah meliputi:

1.Kebersihan tangan/cuci tangan.

2.Pemakaian alat pelindung diri (APD):

    a.Sarung tangan.

    b.Masker.

    c.Pelindung mata (goggle).

    d.Penutup kepala.

    e.Gaun pelindung.

    f.Sepatu pelindung.

3. Etika batuk untuk melindungi orang sekitar.

4. Pengelolaan linen.

5. Praktik penyuntikan yang aman.

6. Pengelolaan lingkungan.
Cara dekontaminasi bagian tubuh.

Beberapa bagian tubuh sangat mudah terkontaminasi oleh cairan atau kotoran yang
berasal dari jenazah, terutama jika cara kerja tidak berhati-hati dan tidak memakai alat
pelindung diri yang sesuai.

1. Bila yang terkontaminasi tangan, kaki atau kulit lain yang utuhmaka cukup dicuci
bersih dengan memakai sabun.Tetapi bila ada kulit yang tidak utuh seperti luka lecet
maka prosedur mencuci ini harus menggunakan antiseptik.ï‚· Bila yang
terkontaminasi mata maka segeralahmencuci mata dengan air bersih.

2. Bila yang terkontaminasi hidung maka segera keluarkan dengan melakukan bersin
dan bilas dengan air bersih.

3. Bila yang terkontaminasi bagian tubuh yang luas maka segeralah mandi bersih
menggunakan sabun dan cuci rambut menggunakan shampo.

Cara dekontaminasi peralatan bekas pakai

Dekontaminasiperalatan bekas pakai bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi


melalui alat seperti:

1. Bak/mejapemandian.

2. Perabot rumahtangga (ember, gayung, dll). Lantai.

3. Linen. Peralatan tersebut di atas termasuk perabot rumahtangga yang sangat mudah
terkontaminasi oleh cairan jenazah terutama jenazah dengan riwayat kecelakaan. Bila
tumpahan cairan atau darah banyak maka serap terlebih dahulu dengan kertas koran
atau tisu kemudian dikelola lebih lanjut sebagai bahan infeksiusdi tempat
tertentu.Bekas tumpahan diberi cairan deterjen kemudian didekontaminasi dengan
cairan disinfektankemudian serap lagi dengan kertas atau tisu.Bilas dengan air bersih
kemudian lap dengan kertas atau tisu. Disinfektan yang sering digunakan: Klorin
atau hipoklorit adalah disinfektan yang bekerja cepat untuk membunuh kuman dengan
harga yang cukup murah.Sediaannya ada yang berbentuk cair (seperti natrium
hipoklorit) dan ada yang padat (seperti kalsium hipoklorit). Natrium hipoklorit banyak
dipakaiuntuk pemutih pakaian dalam konsentrasi 5,8%. Untuk keperluan pembersihan
lantai atau perabot rumah tangga cukup dengan konsentrasi 0,5% yang dibuat dengan
mencampur larutan klorin dengan air dalam perbandingan 1:9.
Fenol atau karbol adalah cairan disinfektan yang sering dipakai dan banyak
dipasarkan dengan merek seperti Lysol dan Densol.Larutan ini kurang aman untuk
kulit dan mukosa (selaput lendir).

Pengelolaan sampah infeksius

Sampah yang bersifat infeksius dari jenazah biasanya berupa perban, kasa, dan plaster
yang berasal dari perawatan rumah sakit.Sampah tersebut dimasukkan ke dalam satu
wadah agar tidak berceceran.Wadah dapat berupa kardus atau kantong plastik untuk
kemudian dibakar pada tempat yang aman.Cara membakarnya harussecara sempurna
hingga semua menjadi abu. Apabila di lokasi setempat terdapat fasilitas pengelolaan
limbah infeksius (insenerator) maka dapat dikirimkan ke tempat dinas kesehatan
setempat.

Pengelolaan limbah cair

Limbah cair dari jenazah adalah cairan tubuh jenazah dan bekas air mandi jenazah.
Limbah cair ini juga harus tersalur ketempat pembuangan yang aman dan jangan
sampai mencemari sumber air minum seperti sumur serta halaman yang sering
menjadi tempat bermain anak-anak. Agar limbah cair ini aman tidak mencemari
lingkungan sekitar maka limbah diberi larutan klorin kemudian dialirkan ke saluran
air/selokan/septik tank. Apabila cairan jenazah pengidap infeksi menular seperti
kolera, disentri dantifoid, maka tempat pemandian jenazah harus diberi disinfektan
seperti kaporit. Dekontaminasi bekas lantai pemandian jenazah ini dapat juga dengan
menaburkan kapur gohor (gamping) Penyelenggaraanjenazah harus dilakukan dengan
hati-hati, tertib, dan tidak ceroboh.Air bekas memandikan jenazah jangan sampai
terpercik dan berserakan di lantai atau tempatpemandian.Setelah selesai
menyelenggarakan penyelenggaraanjenazah segera mandi bersih menggunakan sabun
dan apabila ada luka lecet pada kulit, maka pergunakan antiseptik seperti alkohol
70%, khlorhexidin atau povidone iodine.

4. Pemakaian standart precaution


a. Mencuci tangan Mencuci tangan harus selalu dilakukan sebelum dan sesudah
melakukan tindakan keperawatan walaupun memakai sarung tangan dan alat
pelindung lainnya. Tindakan ini penting untuk menghilangkan atau mengurangi
mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran infeksi dapat dikurangi dan
lingkungan kerja terjaga dari infeksi. Cuci tangan dilakukan dengan cara aseptic dan
cairan antiseptic. Cuci tangan dilakukan dengan antisipasi perpindahan kuman melalui
tangan, dilakukan pada saat tiba dikantor, akan memeriksa, memakai sarung tangan,
saat akan melakukan injeksi, saat akan pulang ke rumah, setelah menyentuh cairan
tubuh (darah, mukosa dan cairan infeksius lain).
b. Pemakaian Alat Pelindung Diri
1) Sarung tangan, untuk mencegah perpindahan mikroorganisme yang terdapat pada
tangan petugas kesehatan kepada pasien, dan mencegah kontak antara tangan petugas
dengan darah atau cairan tubuh pasien, selaput lendir, luka, alat kesehatan, atau
permukaan yang terkontaminasi.
2) Pelindung wajah (masker, kacamata, helm) : untuk mencegah kontak antara droplet
dari mulut dan hidung petugas yang mengandung mikroorganisme ke pasien dan
mencegah kontak droplet/darah/cairan tubuh pasien kepada petugas.
3) Penutup kepala : untuk mencegah kontak dengan percikan darah atau cairan tubuh
pasien.
4) Gaun pelindung (baju kerja atau celemek) : untuk mencegah kontak
mikroorganisme dari pasien atau sebaliknya.
5) Sepatu pelindung: mencegah perlukaan kaki oleh benda tajam yang terkontaminasi,
juga terhadap darah dan cairan tubuh lainnya.
-Indikasi pemakaian alat pelindung diri: tidak semua alat pelindung diri harus dipakai,
tergantung pada jenis tindakan atau kegiatan yang akan dilakukan.
c. Pengelolaan Alat Kesehatan Pengelolaan alat kesehatan dapat mencegah
penyebaran infeksi melalui alat kesehatan, atau menjamin alat tersebut selalu dalam
kondisi steril dan siap pakai. Pemilihan pengelolaan alat tergantung pada kegunaan
alat dan berhubungan dengan tingkat risiko penyebaran infeksi. Pengelolaan alat
dilakukan melalui empat tahap:
1) Dekontaminasi,Pencucian,Sterilisasi atau DTT,Penyimpanan, Komponen utama
Universal Precaution Komponen utama dalam universal precaution dan
penggunaannya a. Cuci tangan
1) Cuci tangan harus selalu dengan sabun antiseptik dan air mengalir.
2) Dilakukan setelah tindakan yang memungkinkan terjadi pencemaran seperti
memeriksa pasien, setelah memegang alat-alat bekas pakai dan menyentuh selaput
mukosa seperti darah atau cairan tubuh lainnya.
b. Sarung tangan
1) Digunakan bila terjadi kontak dengan darah, cairan tubuh dan bahan terkontaminasi
lainnya.
2) Digunakan bila terjadi kontak dengan selaput lendir dan kulit terluka.
3) Sarung tangan rumah tangga daur ulang, bisa dikenakan saat menangani sampah
atau melakukan pembersihan.
4) Gunakan prosedur ini mengingat risiko terbesar adalah paparan terhadap cairan
darah, tidak memperdulikan apa yang diketahui tentang pasien.
5) Jangan didaur ulang. Sarung tangan steril harus selalu digunakan untuk prosedur
antiseptik misalkan pembedahan.
6) Jangan mengurangi kebutuhan cuci tangan meskipun telah memakai sarung tangan.
c. Masker, masker muka
1) Melindungi selaput lendir mata, hidung dan mulut saat terjadi kontak atau untuk
menghindari cipratan dengan darah dan cairan tubuh.
2) Jangan gunakan untuk perawatan pasien rutin.
3) Ganti tiap berganti pasien. 4) Gunakan untuk pasien dengan infeksi respirasi.
d. Kacamata
1) Gunakan bila terdapat kemungkinan terpapar cairan tubuh.
2) Kacamata memberi sedikit perlindungan, tetapi tidak memberikan perlindungan
menyeluruh. e. Baju pelindung
1) Lindungi kulit dari darah dan cairan tubuh.
2) Cegah pakaian tercemar selama prosedur klinis yang dapat berkontak langsung
dengan darah dan cairan tubuh.
f. Kain
1) Tangani kain tercemar, cegah sentuhan dengan kulit dan selaput lendir.
2) Dekontaminasi-bilas-laundry
Peralatan layanan pasien
1) Tangani peralatan yang tercemar dengan baik untuk mencegah kontak langsung
dengan kulit atau selaput lendir dan mencegah kontaminasi pada pakaian dan
lingkungan.
2) Dekontaminasi-cuci-sterilisasi.
h. Pembersihan lingkungan
1) Lakukan perawatan rutin, pembersihan dan desinfektsi peralatan, dan perlengkapan
dalam ruang perawatan pasien.
i. Instrumen tajam
1) Hindari menutup ulang jarum bekas.
2) Gunakan teknik satu tangan jika penutupan ulang jarum bekas penting.
3) Gunakan sarung tangan jika menangani benda tajam.
4) Hindari melepas jarum bekas dari semprit habis pakai.
5) Hindari pembengkokkan, mematahkan, atau memanipulasi jarum bekas dengan
tangan.
6) Dekontaminasi instrumen tajam.
7) Masukkan instrumen tajam ke tempat yang tidak tembus tusukan.
8) Untuk kontainer pembuangan instrumen tajam, terdapat beberapa syarat, yakni
tahan tusukan, diberi label secara jelas, siap tersedia, tahan bocor, dan bisa ditutup.
j. Resusitasi pasien
1) Gunakan mounth piece, kantung resusitasi atau alat ventilasi yang lain untuk
menghindari resusitasi dari mulut ke mulut.
k. Penempatan pasien
1) Tempatkan pasien yang terkontaminasi lingkungan dalam ruangan khusus.
5. Pemeriksaan rapid test HIV (HIV tes kit)
Sebelum Tes HIV
Umumnya, pasien tidak memerlukan persiapan khusus sebelum menjalani tes HIV.
Namun, dokter akan menawarkan konseling sebelum dan setelah tes untuk membahas
berbagai hal, antara lain:
1. Bagaimana tes HIV dilakukan, interpretasi hasil tes, dan tes lain yang mungkin
dilakukan.
2. Bagaimana diagnosis infeksi HIV dapat memengaruhi pandangan sosial,
emosional, profesional, dan finansial pasien.
3. Berbagai manfaat diagnosis dan pengobatan sejak dini.
 Jenis tes HIV

Tes antibodi, yaitu jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi HIV dalam darah.
Antibodi HIV adalah protein yang diproduksi tubuh sebagai respons terhadap infeksi
HIV. Tes antibodi terdiri atas beberapa jenis, antara lain:

o ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay). ELISA merupakan tes HIV


yang umumnya digunakan sebagai langkah awal untuk mendeteksi antibodi
HIV. Sampel darah yang telah diambil akan dibawa ke laboratorium dan
dimasukkan ke dalam wadah yang telah diberi antigen HIV. Selanjutnya,
enzim akan dimasukkan ke dalam wadah tersebut untuk mempercepat reaksi
kimia antara darah dan antigen. Jika darah mengandung antibodi HIV, maka
darah akan mengikat antigen tersebut di dalam wadah.
o IFA (immunofluorescene antibody assay). Tes yang dilakukan dengan
menggunakan pewarna fluoresens untuk mengidentifikasi keberadaan antibodi
HIV. Pengamatan dilakukan dengan bantuan mikroskop beresolusi tinggi. Tes
ini biasanya digunakan untuk mengonfirmasi hasil tes ELISA.
o Western Blot. Tes yang dilakukan dengan menggunakan metode pemisahan
protein antibodi yang diekstrak dari sel darah. Sebelumnya, tes ini juga
digunakan untuk mengonfirmasi hasil tes ELISA, namun saat ini Western Blot
sudah jarang digunakan sebagai tes HIV.
 Tes PCR (polymerase chain reaction). Tes yang digunakan untuk mendeteksi RNA
atau DNA HIV dalam darah. Tes PCR dilakukan dengan cara memperbanyak DNA
melalui reaksi enzim. Tes PCR dapat dilakukan untuk memastikan keberadaan virus
HIV ketika hasil tes antibodi masih diragukan.
 Tes kombinasi antibodi-antigen (Ab-Ag test). Tes yang dilakukan untuk
mendeteksi antigen HIV yang dikenal dengan p24 dan antibodi HIV-1 atau HIV-2.
Dengan mengidentifikasi antigen p24, maka keberadaan virus HIV dapat terdeteksi
sejak dini sebelum antibodi HIV diproduksi dalam tubuh. Tubuh umumnya
membutuhkan waktu 2-6 minggu untuk memproduksi antigen dan antibodi sebagai
respons terhadap infeksi.

Prosedur Tes HIV

Tes HIV umumnya dilakukan melalui prosedur pengambilan sampel darah. Langkah-


langkah pengambilan darah adalah sebagai berikut:

 Lengan atas pasien akan diikat dengan tali elastis untuk membendung aliran darah,
sehingga pembuluh darah di bawah ikatan membesar dan akan lebih mudah menusuk
jarum ke pembuluh darah vena.
 Area kulit yang akan ditusuk jarum dibersihkan dengan alkohol.
 Dokter akan menusukkan ujung jarum ke dalam vena dan memasang tabung pada
ujung lainnya, kemudian darah akan terisi ke dalam tabung.

 Setelah jumlah darah yang diambil cukup, dokter akan melepaskan tali elastis dari
lengan pasien.
 Kapas atau kain kasa beralkohol digunakan untuk menekan area suntikan ketika jarum
dilepas.
 Dokter akan menutup area suntikan dengan perban atau plester luka.

Hasil Tes HIV dan Setelah Tes HIV


Sampel darah yang telah diambil akan dianalisa di laboratorium untuk mendeteksi respons
antibodi terhadap HIV atau materi genetik (DNA atau RNA) HIV di dalam darah. Hasil tes
ELISA umumnya akan keluar dalam 2-4 hari, hasil tes Western Blot atau IFA membutuhkan
waktu 1-2 minggu, sedangkan hasil tes PCR membutuhkan waktu 2-6 minggu.

Ada beberapa jenis hasil tes HIV, yaitu:

 Normal atau negatif. Hasil tes dikatakan normal atau negatif jika:


o Tidak ditemukan antibodi HIV di dalam darah pasien.
o Tes PCR tidak mendeteksi keberadaan RNA atau DNA HIV.
 Abnormal atau positif. Hasil tes dikatakan abnormal atau positif jika:
o Ditemukan antibodi HIV di dalam darah pasien.
o Tes PCR mendeteksi keberadaan materi genetik HIV (RNA atau DNA).
 Tidak dapat ditentukan (indeterminate result). Hasil tes tidak menunjukkan secara
jelas apakah pasien terinfeksi HIV atau tidak. Kondisi ini mungkin terjadi ketika
antibodi HIV belum berkembang atau ketika jenis antibodi lain mengganggu hasil tes.
Jika ini terjadi, tes PCR dapat dilakukan untuk melihat keberadaan virus. Pasien yang
tetap memiliki hasil tes tidak tentu selama 6 bulan atau lebih disebut stable
indeterminate dan dianggap tidak terinfeksi HIV.

6. Konseling perawatan paliatif HIV


 Prinsip perawatan paliatif Menghilangkan nyeri & gejala-gejala yang menyiksa lain
Menghargai kehidupan & menghormati kematian sebagai suatu proses normal Tidak
bermaksud mempercepat atau menunda kematian Perawatan yang mengintegrasikan
aspek psikologis dan spiritual, sosial, budaya dari pasien dan keluarganya, termasuk
dukungan saat berkabung. Memberi sistim dukungan untuk mengusahakan pasien
sedapat mungkin tetap aktif sampai kematiannya. Memberi sistim dukungan untuk
menolong keluarga pasien melalui masa sakit pasien, dan sewaktu masa
perkabungan
 Karakteristik perawatan paliatif Menggunakan pendekatan tim untuk mengetahui
kebutuhan pasien dan keluarganya, termasuk konseling kedukaan bila diperlukan.
Meningkatkan kwalitas hidup, dan juga secara positif mempengaruhi perjalanan
penyakit. Merupakan komponen esensial dari perawatan konprehensif kontinyu
ODHA Perawaatan aktif, total bagi pasien yang menderita penyakit yang tidak dapat
disembuhkan Pendekatan holistik : fisik, mental, spiritual, sosial Pendekatan multi-
disipliner : medis, non-medis, keluarga
 penatalaksanaan nyeri Nyeri merupakan masalah utama pada perawatan paliatif
Upaya penatalaksanaan nyeri : Tentukan penyebab nyeri : - sakit kepala berat pada
kriptokokus menigitis - nyeri neurogenik akibat mielopati, efek ARV Tentukan jenis
nyeri : somatik, viseral, propioseptif, neurogenik Tentukan beratnya nyeri : numeric
rating scale perilaku non-verbal Wong Baker Faces pain scale
 Penatalaksanaan nyeri Gunakan analgesik sesuai panduan penatalaksanaan nyeri dari
WHO : anak tangga analgesik Step 1. : aspirin, parasetamol + adjuvan Step 2. :
kodein + adjuvan + NSAID Step 3. : morfin, pethidin, fentanyl + non-opioid
(NSAID) Obat diberikan rutin tiap 3 6 jam, jangan hanya bila perlu Mulai dengan
dosis rendah lalu dititrasi Pada nyeri terobosan, berikan dosis ekstra ( dosis /4 jam)
Adjuvan : anti-depresant, steroid, terapi kognitif, akupuncture, TENS, hipnosis, dll.
 Penatalaksanaan gejala lain Muntah Mual Penyebab : efek samping obat infeksi
oportunistik gangguan fungsi hati / ginjal Terapi : metoclopamide Lemah Penyebab :
anemia o.k. ARV, atau Infeksi oportunistik misal TB Terapi : testosteron, androgen,
transfusi, eritropoetin
 Tempat pelayanan Perawatan dirumah ( Home-based care ) Umumnya pilihan pasien
Perlu pelatihan bagi anggota keluarga yang akan memberikan pengobatan paliatif
Perawatan di rumah sakit ( Hospital care ) Terutama di daerah insidensi < 1 %
Hospice care
 Kapan mulai perawatan paliatif Konsep tradisional : terapi paliatif sebagai end-of-
life care, sesudah pengobatan kausal gagal. Konsep kini : terapi paliatif diberikan
bersama seiring dengan pengobatan kausal Terapi paliatif pada pra-haart : good end-
of-life Terapi paliatif pada era HAART : kualitas hidup yg. Baik
 Pengembangan perawatan paliatif ada kebijakan nasional perawatan paliatif Hanya
sedikit negara berkembang yang memiliki kebijakan nasional dari Pemerintah /
DepKes Edukasi : pelatihan bagi profesional medis, dan pemberi pelayanan lainnya
Pengendalian nyeri : Latihan bagi petugas medis dan pemberi pelayanan lainnya
untuk penanganan nyeri Advokasi untuk melonggarkan sistim hukum yang
memungkinkan tersedianya obat penghilang nyeri.

Anda mungkin juga menyukai