Anda di halaman 1dari 58

MAKALAH KEPERAWATAN PALIATIF

ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF CARE


DENGAN KASUS AIDS

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
1. M.Luvfi Ardiansyah
2. Reti Apriani
3. Adelia Triputri
4. Putri Andeini
5. Rike Aldela
6. Rima Hayati
7. Yunita
8. Risa Fitriani
9. David Makmur
10. Treida Utami

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN STRATA SATU (S1)


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI HUSADA
BENGKULU
TAHUN AKADEMIK 2023/2024

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perawatan paliatif adalah bentuk perawatan medis dan kenyamanan pasien
yang mengontrol intensitas penyakit atau memperlambat kemajuannya, apakah
ada atau tidak ada harapan untuk sembuh. Perawatan paliatif tidak bertujuan untuk
menyediakan obat dan juga tidak sebaliknya perkembangan penyakit. Perawatan
paliatif merupakan bagian penting dalam perawatan pasien yang terminal yang
dapat dilakuakan secara sederhana sering kali prioritas utama adalah kulitas hidup
dan bukan kesembuhan dari penyakit pasien. Namun saat ini, pelayanan kesehatan
di Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien dengan penyakit yang sulit
disembuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut dimana prioritas pelay`anan
tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas
hidup yang terbaik bagi pasien dan keluarganya. Pada stadium lanjut, pasien
dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti
nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga
mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas
hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu
penyakit tidak hanya pemenuhan/ pengobatan gejala fisik,, namun juga
pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang
dilakukandengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif.
(Doyle & Macdonald, 2003: 5).
Karena pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien
paliatif care, maka masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya untuk pasien
dalam kondisi terminal yang akan segera meninggal. Namun konsep baru
perawatan paliatif menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih dini
agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan baik Perawatan
paliatif adalah pelayanan kesehatan yang bersifat holistik dan terintegrasi dengan
melibatkan berbagai profesi dengan dasar falsafah bahwa setiap pasien berhak

2
mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya. (Doyle & Macdonald,
2003: 5).
Sedangkan saat ini hanya beberapa rumah sakit yang mampu memberikan
pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih terbatas di 6 (enam) ibu kota
propinsi yait udimulai pada tanggal 19 Februari 1992 di RS Dr. Soetomo
(Surabaya), disusul RS Cipto Mangunkusumo (Jakarta), RS Kanker Dharmais
(Jakarta), RS Wahidin Sudirohusodo (Makassar), RS Dr. Sardjito (Yogyakarta),
dan RS Sanglah (Denpasar).. Keadaan sarana pelayanan perawatan paliatif di
Indonesia masih belum merata sedangkan pasien memiliki hak untuk
mendapatkan pelayanan yang bermutu, komprehensif dan holistik, maka
diperlukan kebijakan perawatan paliatif di Indonesia yang memberikan arah bagi
sarana pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan pelayanan perawatan
paliatif. (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor:
812/Menkes/SK/VII/2007 tantangan yang kita hadapi pada di hari-hari kemudian
nyata sangat besar. Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum
dapat disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit
degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis,stroke, Parkinson,
gagal jantung /heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/
AIDS yang memerlukan perawatan paliatif, disamping kegiatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Oleh sebab itu, kelompok kami membahas tentang ruang lingkup perawatan
paliatif care karena pelayanan kesehatan di Indonesia terutama perawat belum
menyentuh kebutuhan pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut,
atau penyakit yang termasuk dalam lingkup perawatan paliatif.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Teori HIV-AID pada Keperawatan Paliatif?
2. Bagaimana Tahap Berduka?
3. Bagaimana Tipe – Tipe Perjalana Menjelang Kematian?
4. Bagaimana Asuhan Keperawatan Paliatif pada pasien HIV-AIDS?

3
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Dengan tersusunnya makalah ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui
dan memahami tentang Asuhan Keperawatan pada pasien Terminal Illness
(Palliative Care) HIV / AIDS
2. Tujuan Kusus.
a. Untuk Mengetahui Konsep Teori HIV-AID pada Keperawatan Paliatif.
b. Untuk Mengetahui Tahap Berduka
c. Untuk Mengetahui Tipe – Tipe Perjalana Menjelang Kematian.
d. Untuk Mengetahui Asuhan Keperawatan Paliatif pada pasien HIV-
AIDS.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Teori
I. Definisi

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas


hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui
identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-
masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (KEPMENKES RI NOMOR: 812,
2007).
Menurut KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007 kualitas hidup pasien adalah
keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai konteks
budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan
niatnya.
Acquired Immune Defiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala
penyakit yang dapat disebabkan oleh Human Immuno Deficiency Virus (HIV).
Virus dapat ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan vagina,
cairan sperma, cairan Air Susu Ibu. Virus tersebut merusak system kekebalan
tubuh manusia dengan mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh
sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi.
Human Immuno Deficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang
salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel
darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut T. Limfosit atau “sel T-4”
atau disebut juga “sel CD – 4”

5
II. Etiologi

Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency


virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan
disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang
diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkan
dengan HIV Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV.

III. Patofisiologi

Tubuh mempunyai suatu mekanisme untuk membasmi suatu infeksi dari


benda asing, misalnya : virus, bakteri, bahan kimia, dan jaringan asing dari
binatang maupun manusia lain. Mekanisme ini disebut sebagai tanggap kebal
(immune response) yang terdiri dari 2 proses yang kompleks yaitu :
Kekebalan humoral dan kekebalan cell-mediated. Virus AIDS (HIV)
mempunyai cara tersendiri sehingga dapat menghindari mekanisme pertahanan
tubuh. “ber-aksi” bahkan kemudian dilumpuhkan. Virus AIDS (HIV) masuk ke
dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau berada di dalam sel limfosit.
Virus ini memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel yang mempunyai
molekul CD4. Sel-sel CD4-positif (CD4+) mencakup monosit, makrofag dan
limfosit T4 helper. Saat virus memasuki tubuh, benda asing ini segera dikenal
oleh sel T helper (T4), tetapi begitu sel T helper menempel pada benda asing
tersebut, reseptor sel T helper .tidak berdaya; bahkan HIV bisa pindah dari sel
induk ke dalam sel T helper tersebut. Jadi, sebelum sel T helper dapat mengenal
benda asing HIV, ia lebih dahulu sudah dilumpuhkan. HIV kemudian mengubah
fungsi reseptor di permukaan sel T helper sehingga reseptor ini dapat menempel
dan melebur ke sembarang sel lainnya sekaligus memindahkan HIV. Sesudah
terikat dengan membran sel T4 helper, HIV akan menginjeksikan dua utas benang
RNA yang identik ke dalam sel T4 helper.
Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV
akan melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi
untuk membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan

6
disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi
infeksi yang permanen.
Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan,
genom dari HIV ¬ proviral DNA ¬ dibentuk dan diintegrasikan pada DNA sel T
helper sehingga menumpang ikut berkembang biak sesuai dengan perkembangan
biakan sel T helper. Sampai suatu saat ada mekanisme pencetus (mungkin karena
infeksi virus lain) maka HIV akan aktif membentuk RNA, ke luar dari T helper
dan menyerang sel lainnya untuk menimbulkan penyakit AIDS. Karena sel T
helper sudah lumpuh maka tidak ada mekanisme pembentukan sel T killer, sel B
dan sel fagosit lainnya. Kelumpuhan mekanisme kekebalan inilah yang disebut
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau Sindroma Kegagalan
Kekebalan.

IV. Manifestasi Klinis

Menurut komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu
gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi) :
1. Gejala mayor
a. Berat badan menurun leih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demam/HIV ensefalopati
2. Gejala minor
a. Batuk menetap lebih dari satu bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpeszoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidas orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
h. Retinitis virus sitomegalo

7
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat
dibagikan mengikut fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3 - 6
minggu selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam,
faringitis, limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia,
penurunan berat badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal
neuropati, myelopathy, mucocutaneous ulceration, dan erythematous
maculopapular rash. Gejala-gejala ini muncul bersama dengan ledakan plasma
viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis dan mialgia jarang terjadi jika
seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba daripada kontak seksual.
Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang akibat respon sistem imun
terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV akan mengalami
limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV
akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit
secara langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan
tingkat RNA virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik
daripada pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir
pada penyakit yang disebut AIDS.

V. Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia
oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat.

8
2. Neurologik
a. kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia,
dan isolasi social.
b. Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia,
hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis /
ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise,
total / parsial.
c. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik,
dan maranik endokarditis.
d. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human
Immunodeficienci Virus (HIV)
3. Gastrointestinal
a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat
badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi
b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat
illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri
abdomen, ikterik,demam atritis.
c. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit
dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.
4. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas
pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal nafas.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan
efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.

9
6. Sensorik
a. Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek
kebutaan
b. Pendengaran : otitis eksternal akut

VI. Pemeriksaan Diagnostik


1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
a. ELISA
b. Western
blot
c. P24 antigen test
d. Kultur HIV
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
a. Hematokrit
b. LED
c. CD4 limfosit
d. Rasio CD4/CD limfosit
e. Serum mikroglobulin B2
f. Hemoglobulin

VII. Penatalaksanaan
1. Respon biologis / aspek fisik
a. Universal precaution
1) Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh
2) Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
3) Dekontaminasi cairan tubuh pasien
4) Memakai alat kedokteran sekali pakai atau mensterilisasi
semua alat kedokteran yang dipakai
5) Memelihara kebersihan tempat pelayanan kesehatan
6) Membuang limbah yang tercemar berbagai cairan tubuh
secara benar dan aman.

10
b. Peran perawat dalam pemberian ARV
Tujuan terapi ARV:
1) Menghentikan replikasi HIV
2) Memulihkan system imun dan mengurangi terjadinya
infeksi opurtunistik
3) Memperbaiki kualitas hidup
4) Menurunkan morbiditas dan mortalitas karena infeksi HIV
c. Pemberian nutrisi
Pasien dengan HIV – AIDS harus mengkonsumsi suplemen atau
nutrisi tambahan bertujuan untuk beban HIV – AIDS tidak
bertambah akibat defisiensi vitamin dan mineral
d. Aktivitas dan istirahat
2. Respon adaptif psikologis
1) Pikiran positif tentang dirinya
2) Mengontrol diri sendiri
3) Rasionalisasi
4) Teknik perilaku
3. Respon sosial
1) Dukungan emosional
2) Dukungan penghargaan
3) Dukungan instrumental
4) Dukungan informative
4. Respon spiritual
1) Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap
kesembuhan
2) Padai mengambil hikmah
3) Kestabilan hati
5. Resiko epidemiologis infeksi HIV sistomatik
1) Perilaku beresiko epidemiologis
2) Hubungan seksual dengan mitra seksual resiko tinggi tanpa
menggunakan kondom

11
3) Pecandu narkotik suntikan
4) Hubungan seksual yang tidak aman
 Memiliki banyak mitra seksual
 Mitra seksual yang diketahui pasien HIV / AIDS
 Mitra seksual di daerah dengan prevalensi HIV / AIDS
yang tinggi
 Homoseksual
5) Pekerjaan dan pelanggan tempat hiburan seperti: panti pijat,
diskotik, karaoke atau tempat prostitusi terselubung
6) Mempunyai riwayat infeksi menular seksual (IMS)
7) Riwayat menerima transfusi darah berulang
8) Riwayat perlukaan kulit, tato, tindik atau sirkumsisi dengan alat
yang tidak steril

B. Tahap Berduka

Dr.Elisabeth Kublerr-Ross telah mengidentifikasi lima tahap berduka yang dapat


terjadi pada pasien dengan penyakit terminal :
1. Denial ( pengingkaran )
Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia akan meninggal dan dia tidak
dapat menerima informasi ini sebagai kebenaran dan bahkan mungkin
mengingkarinya.
2. Anger ( Marah )
Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan bahwa ia
akan meninggal.
3. Bergaining ( tawar-menawar )
Merupakan tahapan proses berduka dimana pasien mencoba menawar
waktu untuk hidup.

12
4. Depretion ( depresi )
Tahap dimana pasien datang dengan kesadaran penuh bahwa ia akan
segera mati.ia sangat sedih karna memikirkan bahwa ia tidak akan lama
lagi bersama keluarga dan teman-teman.
5. Acceptance ( penerimaan)
Merupakan tahap selama pasien memahami dan menerima kenyataan
bahwa ia akan meninggal. Ia akan berusaha keras untuk menyelesaikan
tugas-tugasnya yang belum terselesaikan.

C. Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian


Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu:
1. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya
perubahan yang cepat dari fase akut ke kronik.
2. Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi
pada kondisi penyakit yang kronik.
3. Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya
terjadi pada pasien dengan operasi radikal karena adanya kanker.
4. Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada pasien
dengan sakit kronik dan telah berjalan lama.
D. Pengkajian

Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya

untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat

terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan

damai. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup

kedalam empat fase, yaitu :

1. Fase prediagnostik : terjadi ketika diketahui ada gejala atau factor resiko penyakit
2. Fase akut : berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada serangkaian
keputusasaan, termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun psikologis
3. Fase kronis : klien bertempur dengan penyakit dan pengobatnnya, Pasti terjadi. Klien

dalam kondisi terminal akan mengalami masalah baik fisik, psikologis maupun

social-spiritual.

I. Gambaran problem yang dihadapi pada kondisi terminal antara lain :

1. Problem Oksigenisasi : Respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheyne

stokes, sirkulasi perifer menurun, perubahan mental : Agitasi-gelisah, tekanan darah

menurun, hypoksia, akumulasi secret, dan nadi ireguler.

2. Problem Eliminasi : Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat peristaltic,

kurang diet serat dan asupan makanan jugas mempengaruhi konstipasi, inkontinensia

fekal bisa terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi penyakit (mis Ca Colon),

retensi urin, inkopntinensia urin terjadi akibat penurunan kesadaran atau kondisi

penyakit misalnya : Trauma medulla spinalis, oliguri terjadi seiring penurunan intake

cairan atau kondisi penyakit mis gagal ginjal.

3. Problem Nutrisi dan Cairan : Asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic

menurun, distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah

kering dan membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan

cairan menurun.

4. Problem suhu : Ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.

5. Problem Sensori : Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat mendekati

kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, Pendengaran menurun,

kemampuan berkonsentrasi menjadi menurun, pendengaran berkurang, sensasi

menurun.
4. Problem nyeri : Ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intra

vena, klien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan

kenyamanan.

5. Problem Kulit dan Mobilitas : Seringkali tirah baring lama menimbulkan masalah

pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang sering.

6. Masalah Psikologis : Klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami banyak

respon emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan. Problem

psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan, hilang

control diri, tidak mampu lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan

harapan, kesenjangan komunikasi atau barrier komunikasi.

7. Perubahan Sosial-Spiritual : Klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi akibat

kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian

sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Sebagian beranggapan bahwa

kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan mempersatukannya

dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut akan

perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan

sepanjang hidup.

6. Faktor Fisik

Pada kondisi terminal atau menjelang ajal klien dihadapkan pada berbagai

masalah pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada

penglihatan, pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi, kulit, tanda-tanda vital,

mobilisasi, nyeri.
Perawat harus mampu mengenali perubahan fisik yang terjadi pada klien, klien

mungkin mengalami berbagai gejala selama berbulan-bulansebelum terjadi kematian.

Perawat harus respek terhadap perubahan fisik yang terjadi pada klien terminal

karena hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan penurunan kemampuan klien

dalam pemeliharaan diri.

7. Faktor Psikologis

Perubahan Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal. Perawat harus

peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus bisa

mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah. Problem

psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan,

kehilangan harga diri dan harapan. Perawat harus mengenali tahap-tahap menjelang

ajal yang terjadi pada klien terminal.

8. Faktor Sosial

Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi terminal, karena

pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung, tidak ingin

berkomunikasi, dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya. Ketidakyakinan dan

keputusasaan sering membawa pada perilaku isolasi. Perawat harus bisa mengenali

tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat memberikan dukungan social bisa

dari teman dekat, kerabat/keluarga terdekat untuk selalu menemani klien.


9. Faktor Spiritual

Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan proses kematian,

bagaimana sikap pasien menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah semakin

mendekatkan diri pada Tuhan ataukah semakin berontak akan keadaannya. Perawat

juga harus mengetahui disaat-saat seperti ini apakah pasien mengharapkan kehadiran

tokoh agama untuk menemani disaat-saat terakhirnya.

Konsep dan prinsip etika, norma, budaya dalam pengkajian Pasien Terminal

Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural atau budaya yang

mempengaruhi reaksi klien menjelang ajal. Latar belakang budaya mempengaruhi

individu dan keluarga mengekspresikan berduka dan menghadapi kematian atau

menjelang ajal. Perawat tidak boleh menyamaratakan setiap kondisi pasien terminal

berdasarkan etika, norma, dan budaya, sehingga reaksi menghakimi harus dihindari.

Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah, ritual harus diberi dukungan. Perawat

harus mampu memberikan ketenangan melalui keyakinan-keyakinan spiritual. Perawat

harus sensitive terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan menghadapi kematian,

sehingga kebutuhan spiritual klien menjelang kematian dapat terpenuhi.

II. Saat Memulai Terapi ARV

Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah

CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal

tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat

terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai

terapi ARV pada ODHA dewasa.


a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4

Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah

didasarkan pada penilaian klinis.

b. Tersedia pemeriksaan CD4

Rekomendasi :

1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350

sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya.

2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu

hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

3. Memulai Terapi ARV pada Keadaan Infeksi Oportunistik (IO) yang

AktifInfeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu

pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel

di bawah ini.
Tabel 7.Tatalaksana IO sebelum memulai terapi ARV

Jenis Infeksi Opportunistik Rekomendasi

Progresif Multifocal

Leukoencephalopathy, ARV diberikan langsung setelah

Sarkoma Kaposi, Mikrosporidiosis,

CMV, diagnosis infeksi ditegakkan

Kriptosporidiosis

ARV diberikan setidaknya 2 minggu

setelah pasien mendapatkan

Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis, MAC

pengobatan infeksi opportunistik

c. Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan

Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV berdasarkan

pada 5 aspek yaitu:

• Efektivitas

• Efek samping / toksisitas

• Interaksi obat

• Kepatuhan

• Harga obat
d. Prinsip dalam pemberian ARV adalah

a. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan

berada dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas

penggunaan obat

b. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan

mendekatkan akses pelayanan ARV .

c. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan

manajemen logistik yang baik.

III.Kepatuhan

Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan dimana pasien mematuhi

pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah dokter. Hal

ini penting karena diharapkan akan lebih meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat.

Adherence atau kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap

kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidak-patuhan pasien

mengkonsumsi ARV. Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat kepatuhan

terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat supresi

virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan

terapi timbul jika pasien sering lupa minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan

dengan pasien serta komunikasi dan suasana pengobatan yang konstruktif akan membantu pasien

untuk patuh minum obat.


IV. Faktor-faktor yang mempengaruhi atau faktor prediksi kepatuhan:

1. Fasilitas layanan kesehatan. Sistem layanan yang berbelit, sistem pembiayaan

kesehatan yang mahal, tidak jelas dan birokratik adalah penghambat yang

berperan sangat signifikan terhadap kepatuhan, karena hal tersebut menyebabkan

pasien tidak dapat mengakses layanan kesehatan dengan mudah. Termasuk

diantaranya ruangan yang nyaman, jaminan kerahasiaan dan penjadwalan yang

baik, petugas yang ramah dan membantu pasien.

2. Karakteristik Pasien. Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jenis kelamin, ras /

etnis, penghasilan, pendidikan, buta/melek huruf, asuransi kesehatan, dan asal

kelompok dalam masyarakat misal waria atau pekerja seks komersial) dan faktor

psikososial (kesehatan jiwa, penggunaan napza, lingkungan dan dukungan sosial,

pengetahuan dan perilaku terhadap HIV dan terapinya).

3. Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan, bentuk

paduan (FDC atau bukan FDC), jumlah pil yang harus diminum, kompleksnya

paduan (frekuensi minum dan pengaruh dengan makanan), karakteristik obat dan

efek samping dan mudah tidaknya akses untuk mendapatkan ARV.

4. Karakteristik penyakit penyerta. Meliputi stadium klinis dan lamanya sejak

terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala yang berhubungan

dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit lain menyebabkan

penambahan jumlah obat yang harus diminum.


Hubungan pasien-tenaga kesehatan. Karakteristik hubungan pasien-tenaga kesehatan yang

dapat mempengaruhi kepatuhan meliputi: kepuasan dan kepercayaan pasien terhadap tenaga

kesehatan dan staf klinik, pandangan pasien terhadap kompetensi tenaga kesehatan, komunikasi

yang melibatkan pasien dalam proses penentuan keputusan, nada afeksi dari hubungan tersebut

(hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan kesesuaian kemampuan dan kapasitas tempat layanan

dengan kebutuhan pasien Sebelum memulai terapi, pasien harus memahami program terapi ARV

beserta konsekuensinya. Proses pemberian informasi, konseling dan dukungan kepatuhan harus

dilakukan oleh petugas (konselor dan/atau pendukung sebaya/ODHA).

V. Tiga langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan antara lain:

Langkah 1: Memberikan informasi

Klien diberi informasi dasar tentang pengobatan ARV, rencana terapi, kemungkinan

timbulnya efek samping dan konsekuensi ketidakpatuhan. Perlu diberikan informasi yang

mengutamakan aspek positif dari pengobatan sehingga dapat membangkitkan komitmen

kepatuhan berobat.

Langkah 2: Konseling perorangan

Petugas kesehatan perlu membantu klien untuk mengeksplorasi kesiapan pengobatannya.

Sebagian klien sudah jenuh dengan beban keluarga atau rumah tangga, pekerjaan dan tidak dapat

menjamin kepatuhan berobat.Sebagian klien tidak siap untuk membuka status nya kepada orang

lain. Hal ini sering mengganggu kepatuhan minum ARV, sehingga sering menjadi hambatan

dalam menjaga kepatuhan. Ketidak siapan pasien bukan merupakan dasar untuk tidak

memberikan ARV, untuk itu klien perlu didukung agar mampu menghadapi kenyataan dan

menentukan siapa yang perlu mengetahui statusnya.


Langkah 3:Mencari penyelesaian masalah praktis dan membuat rencana terapi.

Setelah memahami keadaan dan masalah klien, perlu dilanjutkan dengan diskusi untuk

mencari penyelesaian masalah tersebut secara bersama dan membuat perencanaan

praktis. Hal-hal praktis yang perlu didiskusikan antara lain:

Di mana obat ARV akan disimpan?

Pada jam berapa akan diminum?

Siapa yang akan mengingatkan setiap hari untuk minum obat?

Apa yang akan diperbuat bila terjadi penyimpangan kebiasaan sehari-hari?

Harus direncanakan mekanisme untuk mengingatkan klien berkunjung dan mengambil obat

secara teratur sesuai dengan kondisi pasien.Perlu dibangun hubungan yang saling percaya

antara klien dan petugas kesehatan. Perjanjian berkala dan kunjungan ulang menjadi kunci

kesinambungan perawatan dan pengobatan pasien. Sikap petugas yang mendukung dan

peduli, tidak mengadili dan menyalahkan pasien, akan mendorong klien untuk bersikap jujur

tentang kepatuhan makan obatnya.

VI. Kesiapan Pasien Sebelum Memulai Terapi ARV

Menelaah kesiapan pasien untuk terapi ARV. Mempersiapan pasien untuk memulai terapi

ARV dapat dilakukan dengan cara:

Mengutamakan manfaat minum obat daripada membuat pasien takut minum obat dengan

semua kemunginan efek samping dan kegagalan pengobatan.

Membantu pasien agar mampu memenuhi janji berkunjung ke klinik

Mampu minum obat profilaksis IO secara teratur dan tidak terlewatkan

Mampu menyelesaikan terapi TB dengan sempurna.

Mengingatkan pasien bahwa terapi harus dijalani seumur hidupnya.


Jelaskan bahwa waktu makan obat adalah sangat penting, yaitu kalau dikatakan dua kali

sehari berarti harus ditelan setiap 12 jam.

Membantu pasien mengenai cara minum obat dengan menyesuaikan kondisi pasien baik

kultur, ekonomi, kebiasaan hidup (contohnya jika perlu disertai dengan banyak minum

wajib menanyakan sumber air, dll).

Membantu pasien mengerti efek samping dari setiap obat tanpa membuat pasien takut

terhadap pasien, ingatkan bahwa semua obat

mempunyai efek samping untuk menetralkan ketakutan terhadap ARV.

Tekankan bahwa meskipun sudah menjalani terapi ARV harus tetap menggunakan

kondom ketika melakukan aktifitas seksual atau menggunakan alat suntik steril bagi para

pasien.

Sampaikan bahwa obat tradisional (herbal) dapat berinteraksi dengan obat ARV yang

diminumnya. Pasien perlu diingatkan untuk komunikasi dengan dokter untuk diskusi

dengan dokter tentang obat-obat yang boleh terus dikonsumsi dan tidak.

Menanyakan cara yang terbaik untuk menghubungi pasien agar dapat memenuhi

janji/jadwal berkunjung.

Membantu pasien dalam menemukan solusi penyebab ketidak patuhan tanpa

menyalahkan pasien atau memarahi pasien jika lupa minum obat.

Mengevaluasi sistem internal rumah sakit dan etika petugas dan aspek lain diluar pasien

sebagai bagian dari prosedur tetap untuk evaluasi ketidak patuhan pasien.
VII. Unsur Konseling untuk Kepatuhan Berobat

Membina hubungan saling percaya dengan pasien

Memberikan informasi yang benar dan mengutamakan manfaat postif dari ARV

Mendorong keterlibatan kelompok dukungan sebaya dan membantu menemukan

seseorang sebagai pendukung berobat

Mengembangkan rencana terapi secara individual yang sesuai dengan gaya hidup sehari-

hari pasien dan temukan cara yang dapat digunakan sebagai pengingat minum obat

Paduan obat ARV harus disederhanakan untuk mengurangi jumlah pil yang harus

diminum dan frekuensinya (dosis sekali sehari atau dua kali sehari), dan meminimalkan

efek samping obat.

Penyelesaian masalah kepatuhan yang tidak optimum adalah tergantung dari faktor

penyebabnya.

VIII. Konsep Spiritual dalam asuhan keperawatan

Konsep biopsikososiospiritual banyak dibahas oleh para tokoh-tokoh keperawatan. Salah

satunya adalah Henderson mengatakan fungsi khas perawat yaitu melayani individu baik sakit

maupun sehat dengan berbagai aktifitas yang memberikan sumbangan terhadap kesehatan dan

upaya penyembuhan (maupun upaya mengantar kematian yang tenang) sehingga klien dapat

beraktifitas mandiri dengan menggunakan kekuatan, kemauan dan pengetahuan yang

dimilikinya. Jadi, tugas utama perawat yaitu membantu klien menjadi lebih mandiri secepatnya.

Henderson memandang manusia secara holistik atau keseluruhan. Terdiri dari unsur fisik,

biologi, sosiologi dan spiritual. Neuman memandang manusia secara keseluruhan (holistik),

yaitu terdiri dari faktor fisiologis, psikologis, sosial budaya, faktor perkembangan, dan faktor

spiritual yang berhubungan secara dinamis dan tidak dapat dipisah-pisahkan, yaitu:
1. Faktor fisiologis meliputi struktur dan fungsi tubuh,

2. Faktor psikologis terdiri dari proses dan hubungan mental,

3. Faktor sosial budaya meliputi fungsi sistem yang menghubungkan sosial dan ekspektasi

kultural dan aktivasi,

4. Faktor perkembangan sepanjang hidup,

5. Faktor spiritual meliputi pengaruh kepercayaan spiritual

(Tomey & Alligood, 2006) Taylor, Lilis & Lemone (1997) mengatakan spiritualitas adalah

segala sesuatu yang menyinggung tentang hubungan manusia dengan sumber kekuatan hidup

atau Yang maha memiliki kekuatan; Spiritualitas adalah proses menjadi tahu, cinta dan

melayani Tuhan; spiritualitas adalah suatu proses yang melewati batas tubuh atau fisik dan

pengalaman energy universal. Agama bisa merupakan bagian dari spiritualitas.

Craven & Hirnle (2007) mengatakan spiritualitas adalah kualitas atau kehadiran dari

proses meresapi atau memaknai, integritas dan proses yang melebihi kebutuhan

biopsikososial. Inti spiritual menurut Murray & Zentner (1993 dalam Craven & Hirnle,

2007) adalah kualitas dari suatu proses menjadi lebih religius, berusaha mendapatkan

inspirasi, penghormatan, perasaan kagum, memberi makna dan tujuan yang dilakukan oleh

individu yang percaya maupun tidak percaya kepada Tuhan. Proses ini didasarkan pada

usaha untuk harmonisasi atau penyelarasan dengan alam semesta, berusaha keras untuk

menjawab tentang kekuatan yang terbatas, menjadi lebih fokus ketika individu menghadapi

stress emosional, sakit fisik atau menghadapi kematian. Karakteristik mayor dari spiritualitas

menurut Craven & Hirnle (2007) adalah perasaan yang menyeluruh dan harmonisasi

dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan Tuhan yang lebih besar yang dipengaruhi

oleh status perkembangan, identitas yang kuat, dan harapan.

26
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
PALIATIF PADA PASIEN HIV/AIDS

A. Pengkajian

Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal,
tujuannya untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga
pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal
dengan tenang dan damai.

Konsep dan prinsip etika, norma, budaya dalam pengkajian Pasien Terminal
Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural atau budaya yang
mempengaruhi reaksi klien menjelang ajal. Latar belakang budaya mempengaruhi
individu dan keluarga mengekspresikan berduka dan menghadapi kematian atau
menjelang ajal. Perawat tidak boleh menyamaratakan setiap kondisi pasien
terminal berdasarkan etika, norma, dan budaya, sehingga reaksi menghakimi
harus dihindari. Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah, ritual harus diberi
dukungan. Perawat harus mampu memberikan ketenangan melalui keyakinan-
keyakinan spiritual. Perawat harus sensitive terhadap kebutuhan ritual pasien yang
akan menghadapi kematian, sehingga kebutuhan spiritual klien menjelang
kematian dapat terpenuhi.

Faktor – Faktor Yang Dikaji


Masalah
Masalah
Masalah Fisik Masalah Psikis Masalah sosial ketergantung
spiritual
an
1. Sistem 1. Intergritas 1. Perasaan bagaimana Perasaan
Pernapasan: ego : minder dan keyakinan klien membutuhkan
Dispnea, TBC, perasaan tak tak berguna akan proses pertolongan
Pneumonia, berdaya/putus di kematian, orang lain
2. Sistem asa. masyarakat. bagaimana sikap

27
Pencernaan: 2. Faktor stress: 2. Interaksi pasien
Nausea- baru/lama. sosial: menghadapi saat-
vomiting, Diare, 3. Respon perasaan saat terakhirnya.
Dysphagia, BB psikologis : terisolaso/ Apakah semakin
turun 10%/3 Denial,marah, ditolak mendekatkan diri
bulan. cemas,irritabl pada Tuhan
3. Sistem e. ataukah semakin
persarafan : berontak akan
Letargi, Nyeri keadaannya.
sendi, Perawat juga
Encepalopathy. harus mengetahui
4. Sistem disaat-saat seperti
Integumen : ini apakah pasien
edema yang mengharapkan
disebabkan kehadiran tokoh
kaposis agama untuk
sarcoma, lesi di menemani disaat-
kulit atau saat terakhirnya.
mukosa, alergi.
5. Lain – lain :
Demam, resiko
menularkan.

B. Masalah Keperawatan

Masalah keperawatan yang sering muncul pada perawatan paliatif pasien


HIV/AIDS, adalah :
1. Gangguan body image : rambut rontok, luka, bau dll
2. Gangguan hubungan seksual
3. Gangguan pelaksanaan fungsi peran dalam keluarga
4. Gangguan komunikasi
5. Kurang pengetahuan/informasi
6. Gangguan pola tidur

28
7. Gangguan interaksi sosial
8. Koping pasien/ keluarga

C. Intervensi Keperawatan
Hal yang perlu diperhatikan pada intervensi keperawatan pada perawatan paliatif
pasien HIV/AIDS, adalah :
1. Strategi pencapaian tujuan dari askep
2. Prioritaskan intervensi keperawatan sesuai dengan masalah
keperawatan
3. Libatkan pasien dan keluarga
a. Intervensi keperawatan aspek Biologi
1. universal precautions
2. Pengobatan Infeksi Skunder
3. Pemberian ARV
4. Pemberian Nutrisi; dan (e) aktifitas dan istirahat.
b. Intervensi keperawatan aspek psikososialspiritual :
1. Berikan informasi dengan tepat dan jujur
2. Lakukan komunikasi terapeutik
3. Tunjukan rasa empati
4. Suport pasien
5. Tetap hargai pasien sesuai perannya dalam keluarga
6. Selalu libatkan pasien dalam proses keperawatan
7. Tingkatkan pendamping spiritual yang intensif

D. Implementasi Keperawatan
Dalam melaksanakan implementasi, hal yang harus diperhatikan :
1. Melaksanakan rencana tindakan yang telah dibuat
2. Memberikan askep sesuai masalah keperawatan
3. Langsung pada pasien dan keluarga
4. Hak pasien untuk menerima dan menolak pelaksanaan tindakan
keperawatan
5. Rasa empati, support, motivasi dari berbagai pihak, khususnya
perawat.

29
6. Kolaborasi tim paliatif

E. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi Keperawatan merupakan tahap akhir dari proses asuhan keperawatan


paliatif, namun bukan berarti asuhan keperawatan akan berhenti pada tahap ini,
melainkan lebih menekankan pada tahap mengevaluasi perkembangan pasien
dengan melakukan analisa perkembangan dari data subjektif dan objektif pasien,
melakukan reassesment dan reaplanning, melihat perkembangan kondisi pasien.

30
CONTOH KASUS ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF
DENGAN PASIEN HIV/AIDS

A. Pengkajian
1. Identitas pasien.
Nama : Tn. ABC
Umur :37 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku/bangsa : Banten/Indonesia.
Agama : Kristen Katholik
Status perkawinan : belum menikah
Pendidikan/pekerjaan : SMA Makasar Bahasa yang
digunakan : Indonesia

Alamat : Jl. Garuda

2. Alasan masuk rumah sakit


a. Alasan dirawat : Mencret sejak 1 bulan yang lalu, malam keringat
dingin dan kadang demam serta tubuh terasa lemah.
b. Keluhan utama : Diare tak terkontrol tanpa merasakan sakit perut
penyebab tidak diketahui, dengan faktor yang memperberat adalah
bila bergerak dan usaha yang dilakukan adalah diam.

3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sebelum sakit ini :
Pasien sebelumnya tidak pernah sakit serius kecuali batuk dan
pilek.
b. Riwayat kesehatan sekarang :
Sejak 12 tahun, yang lalu pasien mengkonsumsi obat putaw dengan
cara suntik. Karena menggunakan obat terlarang akhirnya
dikucilkan oleh saudara-saudaranya. Klien memakai obat karena
merasa terpukul akibat ditinggal menginggal ibunya. Sejak 1 bulan
yang lalu klin mencret-mencret 3-5 kali sehari. Sejak 15 hari yang

31
lalu mencretnya makin keras dan tak terkontrol. Klien tgl 10-1-
2016, memeriksakan diri ke UGD RS sobirin
c. Riwayat kesehatan keluarga :
Kedua orang tua sudah meninggal dunia ,tidak ada anggota
keluarga yang menderita penyakit yang sama atau PMS. Tidak ada
penyakit bawaan dalam keluarga klien.

4. Pengkajian Kasus Kelolaan


A. ktivitas hidup sehari – hari
Aktivitas sehari- Pre-masuk rumah
Di rumah sakit
hari sakit
Makan dan minum
1. Nutrisi Pola makan tidak teratur, Pola makan 3 kali/hari
tetapi tidak ada napsu bubur, namun tidak ada
makan, terutama jika napsu makan, nyeri saat
sudah memakai obat. menelan, makan hanya
1/2 porsi.
2. Minum Minum air putih dengan Minum air putih 2-3
jumlah tidak tentu gelas dan teh hangat 2-3
kadang minuman keras. gelas.
Eliminasi Mencret 5 X/hari,, Mencret dengan
seperti lendir, tidak frekuensi 5-7 X/hari,
bercampur darah dan encer, tidak ada isi tanpa
berbau. BAK 2 X hari diikuti sakit perut dan
dan tidak ada kelainan. BAK 2 X/hari serta tidak
ada kelainan.
Istirahat dan tidur Pasien tidak bisa Pasien istirahat di tempat
istirahat dan tidur tidur saja. Pasien tidak
karena terus keluar bisa istirahat dan tidur
memcret serta perasaan karena terus keluar
tidak menentu akibat mencret serta perasaan
tidak dapat putaw sejak tidak menentu akibat

32
20 hari. tidak dapat putaw sejak
20 hari.
Aktivitas Pasien sebagai guide Pasien mengatakan tidak
freelance sejak sebulan bisa melakukan
tidak bekerja. aktivitasnya karena
lemah, merasa tidak
berdaya dan cepat lelah.
Pasien partial care.
Kebersihan diri Jarang dilakukan. Mandi dibantu petugas,
dan menggosok gigi
dilakukan di tempat tidur.
Hambatan dalam
melakukan kebersihan
diri adalah lemah .
Rekreasi Tidak ada, hanya dengan Hanya ingin bercerita
memakai putaw. dengan petugas.

B. Psikososial.
a. Psikologis :
pasien belum tahu penyakit yang dialaminya, klien hanya merasa
ditelantarkan oleh teman dan keluarganya. Klien punya kaka di
Bandung, tetapi sejak lama tidak berkomunikasi.Klien tidak percaya
dengan kondisinya sekarang. Mekanisme koping pasrah. Klien ingin
diperlakukan manusiawi. Klien pada tanggal 1-1-2023 bermaksud
melakukan bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari lantai II akibat
merasa tidak berguna lagi.

b. Sosial :
sejak 12 tahun susah berkomunikasi dengan keluargasetelah kedua
orang tua nya meninggal , teman-temanya sebagian pemakai putaw
yang sekarang entah dimana.
c. Spiritual :

33
Pada waktu sehat sangat jarang ke Gereja. Klien minta didampingi
Pastur Jelanti dari Menara Kathedral Surabaya.

5. Pemeriksaan Fisik

TTV
Keadaan umum : Pasien tampak lemah, kurus, dan pucat
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg
N : 120 x/ mnt
R : 22 x/ mnt
SB : 37,8oC
BB : 40 kg

Head to toe :
 Kepala.
Bentuk bulat, dan ukuran normal, kulit kepala nampak kotor dan berbau,
Rambut ikal, nampak kurang bersih.
 Mata (penglihatan).
Ketajaman penglihatan dapat melihat, konjungtiva anemis, refleks cahaya
mata baik, tidak menggunakan alat bantu kacamata.
 Hidung (penciuman).
Bentuk dan posisi normal, tidak ada deviasi septum, epistaksis, rhinoroe,
peradangan mukosa dan polip. Fungsi penciuman normal.

 Teliga (pendengaran).
Serumen dan cairan, perdarahan dan otorhoe, peradangan, pemakaian alat
bantu, semuanya tidak ditemukan pada pasien. Ketajaman pendengaran
dan fungsi pendengaran normal.
 Mulut dan gigi.

34
Ada bau mulut, perdarahan dan peradangan tidak ada, ada karang
gigi/karies. Lidah bercak-bercak putih dan tidak hiperemik serta tidak ada
peradangan pada faring.
 Leher.
Kelenjar getah bening tidak membesar, dapat diraba, tekanan vena
jugularis tidak meningkat, dan tidak ada kaku kuduk/tengkuk.
 Thoraks.
Pada inspeksi dada simetris, bentuk dada normal. Auskultasi bunyi paru
normal. Bunyi jantung S1 dan S2 tunggal. Tidak ada murmur.
 Abdomen.
Inspeksi tidak ada asites, palpasi hati dan limpa tidak membesar, ada nyeri
tekan, perkusi bunyi redup, bising usus 14 X/menit.
 Repoduksi
Penis normal, lesi tidak ada.
 Ekstremitas
Klien masih mampu duduk berdiri dan berjalan sedikit, tetapi cepat lelah.
Ektremitas atas kanan terdapat tatoo dan pada tangan kiri tampak tanda
bekas suntikan.
 Integumen.
Kulit keriput, pucat, akral hangat.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium :
Tanggal28-12-2022
Hb : 8,7

Leukosit : 8,8
Trombosit : 208
PCV : 0,25
b. Terapi : tanggal 14-1-2016
 Diet TKTP

35
 RL 14 X/mnt
 Cotimoxazol : 2 X II tab
 Corosorb : 3 X 1 tab
 Valium : 3 X 1 tab

7. Klasifikasi Data

Data Subyektif Data Obyektif


 Pasien mengatakan lemah, cepat  Keadaan umum :
lelah, bila melaukan aktivitas, Pasien tampak lemah, kurus,
terbatas. dan pucat
 Pasien mengatakan kadang Kesadaran : Compos
demam. Mentis
 Pasien mengatakan tidak ada TD : 110/70
nafsu makan, saat menelan sakit, mmHg
mengatakan tidak bisa N : 120 x/ mnt
menghabiskan porsi yang R : 22 x/ mnt
disiapkan SB : 37,8oC
 Pasien mengatakan diare sejak 1  BB : 40 kg Turgor masih
bulan yang lalu, mengatakan baik, inkontinensia alvi,
menceret 5-7 kali/hari, kadang BAB encer, membran
demam dan keringat pada malam mukosa kering, bising usus
hari, minum 2-3 gelas/hari meningkat 20 X/menit
 Klien merasa diasingkan oleh  Lemah, 4 hari tidak makan,
keluarga dan teman-temannya, mulut kotor, lemah,
klien tidak punya uang lagi, klien holitosis, lidah ada bercak-
merasa frustasi karena tidak bercak keputihan, Hb
punya teman dan merasa 8,7g/dl, pucat, konjungtiva
terisolasi. Minta dipanggilkan anemis
Pastur Jelantik dari Gereja
Katedral.

36
8. Analisa Data

Data Penyebab Masalah


Ds :
Pasien mengatakan kadang demam
Do :
Keadaan umum : Pasien tampak
lemah, kurus, dan pucat Resiko
Immunocompromised
Kesadaran : Compos Mentis Infeksi
TD : 110/70 mmHg
N : 120 x/ mnt
R : 22 x/ mnt
SB : 38,oC
Ds :
Pasien mengatakan diare sejak 1
bulan yang lalu, mengatakan Resiko
menceret 5-7 kali/hari, kadang tinggi
demam dan keringat pada malam terhadap
Diare intake cairan
hari, minum 2-3 gelas/hari. kekurangan
Do : volume
Turgor masih baik, inkontinensia cairan
alvi, BAB encer, membran mukosa
kering, bising usus meningkat 20
X/menit
Ds : Intake yang tidak Perubahan
Pasien mengatakan tidak ada nafsu adekuat nutrisi
makan, saat menelan sakit, kurang dari
mengatakan tidak bisa kebutuhan
menghabiskan porsi yang disiapkan. tubuh
Do :
Lemah, 4 hari tidak makan, mulut
kotor, lemah, holitosis, lidah ada

37
bercak-bercak keputihan, Hb 8,7g/dl,
pucat, konjungtiva anemis
Ds :
Klien merasa diasingkan oleh
keluarga dan teman-temannya, klien
tidak punya uang lagi, klien merasa
frustasi karena tidak punya teman
dan merasa terisolasi. Minta Resiko
Harga diri rendah
dipanggilkan Pastur. bunuh diri
Do :
Mencoba melakukan percobaan
bunuh diri tanggal 14-1-2016,
dengan berusaha menceburkan diri
dari lantai II.

B. Diagnosa Keperawatan berdasarkan Prioritas


1. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d kehilangan yang berlebihan, diare berat
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang tidak adekuat
3. Resiko infeksi b/d immunocompromised
4. Resiko bunuh diri b/d harga diri rendah
DIAGNOSA & INTERVENSI

No Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
. Tujuan Intervensi Rasional
1 Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan Keseimbangan cairan dan  Monitor tanda-tanda  Volume cairan deplesi
b/d kehilangan yang berlebihan, diare berat, elektrolit dipertahankan dehidrasi. merupakan komplikasi dan
ditandai dengan : dengan kriteria intake dapat dikoreksi.
Ds : seimbang output, turgor
Pasien mengatakan diare sejak 1 bulan yang lalu, normal, membran mukosa  Monitor intake dan ouput  Melihat kebutuhan cairan
mengatakan menceret 5-7 kali/hari, kadang demam lembab, kadar urine normal, yang masuk dan keluar.
dan keringat pada malam hari, minum 2-3 tidak diare setelh 3 hari  Anjurkan untuk minum
gelas/hari. perawatan. peroral  Sebagai kompensasi akibat
Do : peningkatan output.
Turgor masih baik, inkontinensia alvi, BAB encer,
membran mukosa kering, bising usus meningkat 20  Atur pemberian infus dan  Memenuhi kebutuhan intake
X/menit eletrolit : RL 20 tetes/menit. yang peroral yang tidak
terpenuhi.
 Kolaborasi pemberian
antidiare antimikroba  Mencegah kehilangan cairan
tubuh lewat diare (BAB).
2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d Setelah satu 4 hari perawatan  Monitor kemampuan  Mengetahui jenis makanan
intake yang tidak adekuat ditandai dengan : pasien mempunyai intake mengunyah dan menelan. yang lebih cocok
Ds : kalori dan protein yang
Pasien mengatakan tidak ada nafsu makan, saat adekuat untuk memenuhi  Monitor intake dan ouput.  Untuk membandingkan
menelan sakit, mengatakan tidak bisa kebutuhan metaboliknya kebutuhan dengan suplai
menghabiskan porsi yang disiapkan. dengan kriteria pasien makan,  Rencanakan diet dengan sehingga diharapkan tidak
Do : serum albumin dan protein pasien dan orang penting terjadi kurang nutrisi
Lemah, 4 hari tidak makan, mulut kotor, lemah, dalam batas normal, lainnya.Anjurkan oral
holitosis, lidah ada bercak-bercak keputihan, Hb menghabiskan porsi yang hygiene sebelum makan.  Untuk mengurangi kotoran
8,7g/dl, pucat, konjungtiva anemis disiapkan, tidak nyeri saat dalam mulut yang dapat
menelan, mulut bersih.  Anjurkan untuk beri menurunkan nafsu makan.
makanan ringan sedikit tapi
sering.Timbang TB/BB
 Untuk mengatasi penurunan
keluhan makan
3 Resiko infeksi b/d immunocompromised ditandai Pasien akan bebas infeksi  Monitor tanda-tanda infeksi  Untuk pengobatan dini
dengan : oportunistik dan baru.
Ds : komplikasinya dengan
Pasien mengatakan kadang demam kriteria tak ada tanda-tanda  gunakan teknik aseptik pada  Mencegah pasien terpapar
Do : infeksi baru, lab tidak ada setiap tindakan invasif. Cuci oleh kuman patogen yang
Keadaan umum : Pasien tampak lemah, kurus, dan infeksi oportunis, tanda vital tangan sebelum meberikan diperoleh di rumah sakit.
pucat dalam batas normal, tidak ada tindakan.
Kesadaran : Compos Mentis luka atau eksudat.  Mencegah bertambahnya
TD : 110/70 mmHg  Anjurkan pasien metoda infeksi
N : 120 x/ mnt mencegah terpapar terhadap
R : 22 x/ mnt lingkungan yang patogen.  Mempertahankan kadar
SB : 37,8oC darah yang terapeutik.
 Atur pemberian antiinfeksi
sesuai order
4 Resiko bunuh diri b/d harga diri rendah ditandai Setelah 4 hari klien tidak  . Waspada pada setiap  Karena tanda tersebut
dengan : membahayakan dirinya ancaman bunuh diri sebagai tanda permintaan
Ds : sendiri secara fisik. tolong
Klien merasa diasingkan oleh keluarga dan teman-  Jauhkan semua benda
temannya, klien tidak punya uang lagi, klien merasa berbahaya dari lingkungan  Untuk mencegah
frustasi karena tidak punya teman dan merasa klien penggunaan benda
terisolasi. Minta dipanggilkan Pastur. tersebut untuk tindakan
Do :  Observasi secara ketat bunuh diri
Mencoba melakukan percobaan bunuh diri tanggal
14-1-2016, dengan berusaha menceburkan diri dari  Untuk mencegah jika
lantai II.  Observasi jika klien minum ditemukan gejala
obat perilaku bunuh diri

 Obat mengandung
 Komunikasikan kepedulian antidepresan dapat
perawat kepada klien. mengurangi perilaku
bunuh diri klien.
 Waspada jika tiba-tiba
menjadi tenang dan tampak  Untuk meningkatkan
tentram harga diri klien

 Dukung perilaku positif  Karena hal tersebut


klien. merupakan suatu cara
mengelabui petugas.

 Meningkatkan harga diri


klien
BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Perubahan spiritual yang dibutuhkan oleh klien setelah di diagnosis HIV/Aids Nilai-nilai

spiritual dan tujuan hidup klien pasca diagnosis HIV/Aids adalah menghargai hidup pasca

diagnosis HIV dengan lebih menghargai makna hidup sebenarnya, menikmati hidup dan pasrah

menerima keadaan. Dukungan yang kuat dari keluarga dalam hal ini pasangan hidup, teman

dekat membantu klien HIV/Aids melewati masa-masa sulit pasca diagnosis HIV sangat

penting. Harapan terhadap kehidupan yang lebih baik dihari depan setelah keluar dari rumah

sakit adalah mencari pekerjaan dan memulai hidup yang baru, masih ingin terus berkarya,

memanfaatkan kesempatan hidup yang telah diberikan Tuhan, memperbaiki diri kembali pada

kegiatan keagamaan dan memulihkan fisik.

4.2 Saran

Penderita HIV AIDS memerlukan dukungan dukungan dari keluarga mauapun orang

orang terdekat, Nilai-nilai spiritual dan tujuan hidup klien pasca diagnosis HIV/Aids adalah

menghargai hidup pasca diagnosis HIV dengan lebih menghargai makna hidup sebenarnya,

menikmati hidup dan pasrah menerima keadaan. Dukungan yang kuat dari keluarga dalam hal ini

pasangan hidup, teman dekat membantu klien HIV/Aids adalah sangat penting dan hindari

pengucilan pada paien HIV AIDS karena justru akan memperburuk dari segi kesehatan maupun

mentalnya dan perlunya untuk membimbing maupun menuntun pasien HIV AIDS untuk dekat

kepada Tuhan YME.


LAMPIRAN

Skenario Role Play

“Bimbingan Spiritual Pada Pasien HIV/AIDS”

Disalah satu rumah sakit di Kota Sumedang , terdapat pasien yang menderita penyakit

HIV/AIDS. Pasien bernama Intan yang berusia 20 tahun pada awalnya dibawa ke Rumah Sakit

dengan keluhan BAB lebih dari 3x dalam sehari dan tubuhnya mengeluarkan keringat yang

berlebih. Pasien mendapatkan perawatan dan meminum obat secara rutin. Akan tetapi, setelah

mendapatkan perwatan yang intensif selama seminggu , kondisi pasien bukannya membaik akan

tetapi sebaliknya, kondisi pasien justru kian hari kian memburuk. Pasien mengalami peningkatan

suhu tubuh serta mengalami penurunan berat badan yang sangat drastis. Dokter dan Perawat pun

melakukan pemeriksaan kembali berupa tes darah. Ternyata dari hasil pemeriksaan, pasien

positif terkena HIV/AIDS. Dokter pun memberitahukan hal tersebut kepada keluarga pasien.

Perawat : “Assalamualikum, apakah benar ini dengan keluarga dari pasien yang bernama

Intan?”

Keluarga : “Wa’alaikum salam, iya saya ibunya. Ada apa sus?”

Perawata : “Ibu boleh bicara sebentar?”

Keluarga : “Oh..baik sus ”

Perawat : “Baik, mari ikut dengan saya” dokter ingin bicara dengan ibu terkait dengan

penyakit anak ibu “

Perawat dan Ibu pasien pun pergi menuju Nurse Station.

Perawat : “Silahkan duduk bu” (sambil menunjuk kearah kursi)

Keluarga : (ibu pasien duduk)

Dokter : “Begini bu, setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium dan melihat


perkembangan penyakit anak ibu selama di rawat kondisinya malah menurun,

ternyata anak ibu positif terkena HIV/AIDS”(sambil memperlihatkan hasil

pemeriksaan)

Keluarga : “Astagfirullah, itu bukannya penyakit yang berbahaya dan mematikan

dok?” (dengan raut wajah kaget)

Dokter : “Iya bu, HIV/AIDS termasuk salah satu pentakit yang sangat berbahaya.

HIV/AIDS adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh, sehingga pasien sangat

rentang untuk terkena penyakit. Pada saat anak ibu batuk-batuk yang tak kunjung henti, itu

merupakan salah satu tanda bahwa sistem kekebalan tubuhnya sudah terserang oleh virus.

HIV/AIDS juga termasuk salah satu penyakit yang menular. Oleh sebab itu anak ibu akan kami

pindahkan ke ruangan isolasi, guna mencegah terjadinya penularan pada pasien lainnya”

Keluarga : “Bagaimana dengan pengobatannya dok , bisa sembuh kan?” (sambil menangis

dan terlihat panik)

Dokter : “Untuk sembuh, kemungkinannya memang kecil, akan tetapi kita dapat menekan

pergerakan dari virus tersebut, agar virus tidak menimbulkan kerusakan yang

semakin parah”

Keluarga : “Tapi.. apa penyebabnya apa dok ? (dengan wajah yang cemas)

Dokter : “Biasanya virus ini bisa ditularkan dari penggunaan jarum suntik, pergaulan

bebas, atau dari ibu yang terinfeksi HIV/AIDS yang kemudian menyusui
anaknya. Nah bagaimana dengan pola pergaulan dan lingkungan anak ibu

sendiri?”

Keluarga : “Setau saya anak saya sering keluar malam, dan saya tidak dapat

memantau anak saya selama 24 jam. Dikarenakan saya bekerja paruh

waktu”

Dokter : “ohh... kalau begitu sebaiknya kita fokus saja ke pengobatan yang akan

ditempuh anak ibu”

Keluarga : “Iya dok .. tolong sembuhkan anak saya ya sus..”

Dokter : “ Inshaallah, kami akan berusaha sebaik mungkin bu”.

Ibu pasien pun kembali menuju ke ruangan dimana anaknya dirawat, dan ia memberitahukan hal

tersebut kepada anaknya.

Keluarga : “Assalamualaikum” (dengan raut wajah yang lemas dan mata yang sembab)

Pasien : “Waalaikumsalam, mamah kenapa?”

Keluarga : (langsung memeluk anaknya)

Pasien : “kenapa mah?”

Keluarga : “Nak, ada yang ingin mamah sampaikan, kamu harus kuat ya nak...”

Pasien : “Memangnya ada apa mah? Aku sakit apa mah?”

Keluarga : “Tadi setelah mamah dipanggil sama perawat terkait dengan kondisi kamu saat

ini. (menghela nafas). Kamu harus rajin minum obat ya nak, biar kamu cepet sembuh”

Pasien : “Memangnya aku sakit apa?”

Keluarga : “ jangan terlalu dipikirkan nak , nanti juga akan sembuh “.

Setelah beberapa hari mendapatkan perawatan, kondisi pasien tak kunjung membaik.
Pasien : “Mah aku tuh kenapa sih? Kok semakin hari aku merasa kalau kondisi aku

semakin lemah, badan aku juga jadi kurus”

Keluarga : “Sebenarnya kamu itu sakit HIV/AIDS”

Pasien : (hanya terdiam dan menangis)

Keluarga : “Kamu yang sabar nak, mamah juga mengusahakan yang terbaik

buat kesembuhan kamu”

Semenjak pasien mengetahui penyakit yang dideritanya, pasien sangat terpukul. Pasien tidak

mau makan, tidak mau bertemu dengan siapa pun, dan kondisinya semakin memburuk.

Semangat hidupnya seakan sudah hilang.

Beberapa hari kemudian , perawat dan rohaniawan mengadakan doa bersama sebelum memulai

aktivitas. Perawat dan rohaniawan mendatangi pasiennya satu persatu untuk memimpin doa

untuk kesembuhan pasien.

Salah satu perawat dan rohaniawan pun datang ke ruangan dimana Intan

dirawat. Perawat : “Assalamualaikum”

Keluarga : “Waaliakum salam”

Pasien : (hanya terdiam)

Perawat : “,ibu, perkenalkan saya perawat yang shift pagi nama saya Eli, dan ini ibu Sri,

kami akan memimpin doa bersama untuk kesembuhan intan, bagaimana ibu

setuju?”.

Keluarga : “ohh, iya sus”

Rohaniawan : “Sekarang kita berdoa terlebih dahulu ya, untuk kesembuhan pasien, mari kita

berdoa bersama-sama ya bu.Bismillahirohmanirrohim,


Ya Allah, Rabb manusia, hilangkanlah kesusahan dan berilah dia

kesembuhan, Engkau Zat Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan

kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit

lain,

aamiin”. (HR Bukhari danMuslim)

Keluarga : “aminn, terimaksih sus”

Perawat : “Sama-sama bu, sekarang saya permisi dulu ya bu”

Setelah beberapa saat perawat pun datang ke ruangan pasien.

Perawat : “Assalamualaikum”

Pasien : (tidak menjawab salam dan hanya terdiam)

Perawat :” Intan masih kenal dengan saya ? nama saya Eli , saya sekarang akan

membantu intan minum obat karena’ Sekarang sudah waktunya makan dan

minum obat (sambil menyodorkan obat)

Pasien : “Untuk apa makan dan minum obat, penyakit saya juga kan ga sembuh-

sembuh” (menepis obat yang dipegang oleh perawat)

Perawat : “Intan kamu ga boleh kaya gitu, kamu harus yakin kalau kamu akan sembuh.

Kamu harus percaya bahwa ada kekuatan yang lebih besar, yaitu Allah SWT.

Allah akan memberikan yang terbaik bagi umatnya yang berikhtiar dan

sabar”

Pasien : “Engga, saya mending mati aja. Dari pada hidup, tapi saya hanya menyusahkan

dan mempermalukan keluarga saya”

Perawat : “Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, kamu harus percaya akan hal itu.

Kamu juga harus ingat bahwa orang di sekitar kamu itu sayang samu kamu,
dan menginginkan kamu sembuh. Keluarga kamu sudah berusaha untuk
kesembuhan kamu, sekarang tinggal kamu yang harus berjuang untuk

melawan penyakit kamu, kamu harus sembuh setidaknya untuk orang-orang

yang sayang sama kamu” dan untuk ibu atau keluarga yang lain mohon

untuk terus menyemangati intan ya ,untuk semangat hidupnya dan selalu terus

berobat dan berdoa jangan putus asa”.

Keluarga : “ iya sus,”

Pasien : (terdiam)

Perawat : “Apa yang kamu pikirkan?”

Pasien : “Saya merasa malu dengan masa lalu saya sus, jikalau saya hidup pun, saya

hanya akan membawa rasa malu yang akan di tanggung oleh keluarga

saya”

Perawat : “Tidak ada orang tua yang akan membenci anaknya sendiri, jika kamu hidup

itu tidak akan membuat mereka malu, melainkan akan membawa

kebahagiaan bagi mereka”

Pasien : “Apa itu benar sus?”

Perawat : “Tentu saja” iya kan bu ( menoleh kepada ibunya )

Keluarga : “ betul intan mamah sayang kamu, mamah ingin kamu cepat sembuh “.

Pasien : (mulai tersenyum)

Perawat : “Nah sekarang kan sudah waktunya sholat

Dzuhur, Intan bisa sekalian berdoa kepada Allah SWT agar diberikan

kesembuhan. Apakah Intan sudah sholat?”

Pasien : “Belum sus, saya tidak tahu caranya”

Perawat : “Baiklah saya akan menuntun Intan untuk melakukan sholat Dzuhur ya.

Apakah Intan bersedia?”


Pasien : “Iya sus”

Perawat : “Baiklah, sekarang kita lakukan tayamum dulu ya. Caranya intan pukulkan

kedua telapak tangan ke tembok, lalu tiup, kemudian usapkan pada

telapak tangan kanan dan kiri, lalu sebaliknya. Kemudian usapkan ke

wajah dengan

kedua telapak tangan. Dilakukan sekali usap saja ya. (sambil mempraktekan)

Pasien : (mengkuti cara tayamum yang dicontohkan oleh perawat)

Perawat : “Nah tayamumnya sudah selesai, sekarang Intan sholatya, niatkan didalam

hati Intan dan mintalah kesembuhan kepada Allah, karena hanya Allah lah

yang

maha menyembuhkan berbagai macam

penyakit” Pasien : “Baik sus, terimakasih banyak”

Perawat : “nah makan dan obatnya saya simpan disini, nanti jika Intan sudah

selasai sholatnya, Intan makan dan jangan lupa obatnya juga diminum

ya. Kalau begitu, saya permisi dulu ya”

Pasien : “Baik sus”

Perawat :

“Assalamualaikum” Pasien

: “Waalikumsalam”

Setelah berbincang dengan perawat cukup lama dan sering , pasien sudah mulai menerima

penyakit yang di deritanya. Sekarang pasien juga menjadi rajin sholat, mau makan dan

menunjukan perubahan kondisinya ke arah yang lebih baik.Sekian


DAFTAR PUSTAKA
Wan Nedra dkk, Buku Pegangan Perawatan Paliatif HIV/AIDS, Lembaga Kesehatan
Nadhlatul Ulama, Jakarta 2013
Dr. Nursalam, M.Nurs dkk, Asuhan Keperawatan pada pasien terinfeksi HIV/AIDS, Salemba
Medika Jakarta, 2007
Doyle, Hanks and Macdonald, 2003, oxford textbook of palliative medicine, oxford medical
publications (OUP) 3rd edn 2003
Fauci A. S., Lane H. C, 2010. Human Immunodeficiency Virus Disease: Aids and Related
Disorder, In: Harrison’s Infectious Disease, United States Of America :The McGraw-
Hill Companies, Inc p: 739-885
KEPMENKES RI NOMOR: 812/ MENKES/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan
Palliative Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai