Anda di halaman 1dari 6

https://www.cnbcindonesia.

com/market/20190329075353-17-63576/tiga-pilar-
dan-drama-penggelembungan-dana
 PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) alias TPS Food merupakan
perusahaan yang bergerak di bidang produksi barang-barang consumer good.
Perusahaan menjalankan bisnisnya melalui dua entitas anak usaha yang
kemudian dibagi dalam tujuh perusahaan di entitas food dan enam anak usaha
di entitas beras.

Nama produsen makanan ringan merk Taro ini terangkat ke permukaan setelah
adanya penggerebekan pemerintah ke PT Indo Beras Unggul (IBU) dengan
tuduhan mengepul beras petani yang menikmati subsidi pemerintah untuk
diproses dan dikemas ulang menjadi beras premium.
Sejak itu, bisnis beras yang sebelumnya menyumbang 50% pendapatan TPS
Food tidak lagi beroperasi sehingga perseroan kehilangan potensi pendapatan
Rp 2 triliun per tahun. Belum lagi akhirnya perusahaan memutuskan untuk
memecat 1.700 karyawannya dan menyatakan akan menjual IBU.

Kondisi ini menjadi awal dari permasalahan keuangan TPS Food. Perusahaan
hingga saat ini gagal bayar atas sukuk ijarah I tahun 2013 dengan pokok senilai
Rp 300 miliar dan jatuh tempo pada 5 April 2018 dan obligasi I tahun yang sama
dengan nilai emisi Rp 600 miliar, jatuh temponya pada 5 April 2018.

Lalu, laporan keuangan untuk tahun buku 2017 malah ditolak oleh investor dan
pemegang sahamnya karena ada dugaan penyelewangan dana. Hingga dalam
Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) 2018 yang dihelat pada 30
Juli 2018 direktur utama TPS Food kala itu, Stefanus Joko Mogoginta, merasa
bahwa salah satu pemegang sahamnya KKR melakukan hostile take over atau
pengambilalihan paksa.
Kisruh tak pernah selesai sejak saat itu. Komisaris perusahaan yang diwakili oleh
Jaka Prasetya dan Hengki Koestanto memberhentikan direksi yang ada saat itu,
sebaliknya direksi melakukan somasi atas komisarisnya.

Hingga pada Oktober 2018 komisaris mengadakan Rapat Umum Pemegang


Saham Luar Biasa (RUPSLB) dengan agenda penggantian direksi. Pihak direksi
yang dipimpin Joko Mogoginta menolak untuk hadir dengan alasan RUPSLB itu
tidak sah.

Nasib tak berpihak padanya, pemegang saham justru menyetujui penggantian


manajemen perusahaan, mengangkat Hengky Koestanto sebagai nahkoda
perusahaan yang baru.

Dalam RUPSLB yang sama pemegang saham mengajukan investigasi terhadap


laporan keuangan 2017 yang sebelumnya ditolak oleh para pemegang saham.
Dalam laporan Hasil Investigasi Berbasis Fakta PT Ernst & Young Indonesia
(EY) kepada manajemen baru AISA tertanggal 12 Maret 2019, dugaan
penggelembungan ditengarai terjadi pada akun piutang usaha, persediaan, dan
aset tetap Grup AISA.

Ditemukan fakta bahwa direksi lama melakukan penggelembungan dana senilai


Rp 4 triliun lalu ada juga temuan dugaan penggelembungan pendapatan senilai
Rp 662 miliar dan penggelembungan lain senilai Rp 329 miliar pada pos EBITDA
(laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi) entitas bisnis makanan
dari emiten tersebut.

Temuan lain dari laporan EY tersebut adalah aliran dana Rp 1,78 triliun melalui
berbagai skema dari Grup AISA kepada pihak-pihak yang diduga terafiliasi
dengan manajemen lama.

"Antara lain menggunakan pencairan pinjaman Grup AISA dari beberapa bank,
pencairan deposito berjangka, transfer dana di rekening bank, dan pembiayaan
beban pihak terafiliasi oleh Grup AISA," tulis laporan tersebut. Selain itu,
ditemukan juga adanya hubungan serta transaksi dengan pihak terafiliasi yang
tidak menggunakan mekanisme pengungkapan (disclosure) yang memadai
kepada stakeholders secara relevan.

Hal tersebut ditengarai EY berpotensi melanggar Keputusan Badan Pengawas


Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) No.KEP-412/BL/2009
tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu.
https://idxchannel.okezone.com/read/2019/04/11/278/2042034/kasus-aisa-bei-
konsultasi-dengan-ojk-dan-iapi

 PT Bursa Efek Indonesia (BEI) akan melakukan konsultasi dengan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dan Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), terkait permasalahan
laporan keuangan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA).
Manajemen AISA telah menunjuk PT Ernst and Young Indonesia (PT EY) untuk
memeriksa laporan keuangan perusahaan pada tahun 2017, yang saat itu masih
dikelola manajemen lama AISA. Hasilnya ditemukan penggelembungan dana hingga
Rp4 triliun.
Berdasarkan keterbukaan informasi AISA pada 24 Oktober 2018, pemeriksaan itu
sendiri merupakan amanat hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa
(RUPSLB) yang meminta manajemen menunjuk kantor akuntan publik (KAP) dan
atau konsultan hukum independen melakukan audit investigasi atas laporan keuangan
AISA 2017.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna Setia mengatakan, otoritas
bursa pada hari ini melakukan pertemuan dengan OJK untuk berkonsultasi soal kasus
perusahaan produsen snack Taro itu.
"Kami akan bertemu OJK jam 14.00 WIB hari ini, untuk berkonsultasi. Kemudian
bertemu dengan IAPI," ujarnya ditemui di Gedung BEI, Jakarta, Kamis (11/4/2019).
Melalui keterbukaan AISA pada 7 Desember 2018, menyatakan KAP EY telah
melakukan pemeriksaan, pemetaan, identifikasi, dan melakukan audit investigatif atas
berbagai aspek finansial, termasuk transaksi AISA dengan berbagai pihak untuk
mendapatkan informasi yang akurat atas keadaan keuangan untuk mengambil langkah
yang perlu dalam kerangka penyehatan dan restrukturisasi.
Namun perseroan pada keterbukaan informasi tertanggal 26 Maret 2019,
menyampaikan hasil laporan audit investigasi dilakukan oleh PT EY dan bukan oleh
KAP EY. Adapun PT EY ditunjuk untuk melakukan penelaahan atas beberapa akun
dalam laporan keuangan, di mana ruang lingkup penugasan adalah investigasi
berbasis fakta terhadap EBITDA dan Laporan Posisi Keuangan pada 2017.
Nyoman pun mengaku, soal penunjukan PT EY menjadi fokus BEI, oleh sebab itu
pihaknya berkonsultasi dengan OJK dan IAPI. "Tentunya ini (perbedaan penunjukan)
jadi concern kami. Saat ini informasi sedang kami pelajari. Kami pastikan dahulu,"
kata dia.
https://www.idnfinancials.com/archive/id/26961/investors-urges-ojk-resolve-aisa

Nasib investor ritel pemilik saham konsumer PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA)
kini masih terkatung-katung.   Investor yang tergabung dalam Forum Investor Ritel AISA
(Forsa) pun terus mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera menyelesaikan
kasus yang menjerat perseroan.

Ketua Forum Investor Ritel AISA Deni Alfianto Amris menuturkan saat ini nasib investor
ritel AISA terkatung-katung. Forsa saat ini mewakili 6% dari seluruh saham di
perusahaan produsen makanan ringan merek Taro tersebut. Rinciannya, 16.000
investor ritel publik, empat perusahaan dan 5.000 karyawan.

Kasus ini telah berdampak kepada kerugian investor. Bahkan menurut Deni, salah satu
anggotanya yang berdomisili di Bali yang telah meng investasikan dana sebesar Rp
500 juta, telah melakukan cut loss hingga 80%.

"Kami meminta OJK melakukan sinergi dengan penyidik Polri, kalau dengan sinergi
kasus ini akan lebih cepat terungkap," kata Deni, saat jumpa pers di Bursa Efek
Indonesia, Jakarta, Rabu (17//7/2019).

Data laporan keuangan terakhir AISA (per Desember 2017) mencatat saham publik di
AISA sebanyak 1.054.561.127 saham, atau 32,75% saham Seri B, sementara
mayoritas saham Seri B AISA dimiliki oleh PT Tiga Pilar Corpora 20,74%.  (AM)
https://investasi.kontan.co.id/news/forsa-mendesak-ojk-untuk-menyelesaikan-kasus-
tiga-pilar-aisa

Forum Investor Retail AISA (Forsa) mendesak seluruh pemangku kepentingan


khususnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai penjaga pasar modal berlaku tegas
menuntaskan kasus dugaan penggelapan, penipuan dan pencucian uang PT Tiga Pilar
Sejahtera Food Tbk (AISA). Sebab selama ini investor ritel merasa tidak mendapat
kepastian dan hukum di pasar modal menjadi rapuh.

Pada hari ini, Rabu (17/7) Forsa menggelar konferensi pers di Bursa Efek Indonesia
(BEI). Tambahan informasi, Forsa merupakan kumpulan investor retail AISA yang
forumnya didirkan pada Agustus 2018. Anggotanya sebanyak 16.000 investor retail
yang mewakili 6% kepemilikan saham AISA.

Ketua Forsa Deni Alfianto Amris menyatakan, dengan tegas salah satu penyebab kisruh yang
sudah setahun berjalan ini karena rapuhnya pengawasan pasar modal. “OJK juga tidak
melakukan langkah konkret dan tidak berlaku pro-aktif,” jelasnya saat konferensi pers di BEI,
Rabu (17/7).

Deni menyatakan, OJK tidak serius menjaga kepercayaan publik, khususnya investor AISA baik
dari lokal maupun luar negeri. Dia menceritakan, selama hampir satu tahun investor berjibaku
menagih kabar keberlanjutan penyelesaian kasus kepada OJK. Alih-alih mendapat update
penyelesaiannya, mereka hanya diberi jawaban bahwa kasus masih dalam proses.

Deni menceritakan nasib pedagang sate di Bali mengalami sakit menahun dan tekanan fisik
karena dibayangi mimpi buruk kehilangan uang yang dikumpulkannya selama puluhan tahun
untuk investasi di AISA sebesar Rp 500 juta.

Forsa mendorong OJK mengambil langkah proaktif yakni bersinergi dengan penyidik Polri atau
penegak hukum lainnya agar kasus ini lebih terang. Menurut Deni, kasus ini seperti jalan di
tempat. Padahal OJK punya regulasi POJK 22 tentang Penyidik Tindak Pidana di Sektor Jasa
Keuangan.

Investor semakin kecewa setelah mendapat kabar Joko Mogoginta dan Budhi Istanto mantan bos
AISA keluar dari tahanan karena mendapat penangguhan.

Deni bilang status penangguhan itu memberikan preseden buruk atas lemahnya transparansi,
mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan memperlemah stabilitas sistem keuangan di pasar
modal.

Dia menyatakan tidak ada yang bisa memastikan apakah Joko dan Budhi akan tetap di Indonesia
atau kabur ke luar negeri walau mereka dikenakan wajib lapor pada Senin dan Kamis. Investor
takut penangguhan penahanan ini bisa makin memperlama penyelesaian kasus.
“Kami berharap pemerintah dapat menahan kembali Joko Mogoginta beserta Budi Istanto supaya
tidak terjadi penghilangan barang bukti atau kabur ke luar negeri untuk menghindari kasus
hukum yang menimpa mereka,” jelasnya.

Walaupun sebelumnya manajemen baru telah melakukan gugatan terkait dugaan penggelapan,
penipuan, dan pencucian uang PT Putra Taro Paloma senilai Rp 20 miliar kasus ini belum
mendapat titik balik penyelesaian.

Menurut Deni, banyak yang akan merugi jika kasus ini tidak segera diselesaikan. Asal tahu saja
saat ini ada 16.000 investor retail (publik) dan 4 investor perusahaan, serta ada 5.000 karyawan
di AISA yang mengharapkan kepastian penyelesaian agar kisruh ini segera selesai.

Sekadar mengingatkan sejak 5 Juli 2018 saham AISA disuspensi oleh BEI. Berdasarkan
keterbukaan informasi pada SEnin (1/7), BEI memperpanjang pembekuan saham AISA hingga
waktu yang belum ditentukan.

Deni bilang, saat suspensi AISA dibuka ada potensi 5.000 investor atau bahkan lebih bakal cabut
dari AISA jika manajemen baru tidak segera mendapat solusi yang terbaik. Menurut Deni ada
dua tugas berat yang harus diselesaikan manajemen baru yakni mendapat investor untuk
mendanai keberlanjutan perusahaan dan berhasil menagih aset Rp 1,8 triliun.

Saat ini Forsa telah melakukan sejumlah upaya, yakni mengirimkan surat terbuka kepada
Presiden, Kapolri, Kepala Staf Presiden, Menteri terkait, hingga Mahkamah Agung.

Anda mungkin juga menyukai