Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS KASUS MANIPULASI LAPORAN KEUANGAN PT.

TIGA
PILAR SEJAHTERA FOOD, Tbk

Dibuat untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah Akuntansi Forensik.

Dosen : Najmatuzzahrah S.E., MBA., M.H., CA., CFE., CFrA., CPA (Aust)., Ak., ACPA

Disusun oleh :

Nama : Ignasius Ernest

NPM : 120110180098

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PADJADJARAN 2021


Profil Perusahaan

PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk (TPSF) merupakan perusahaan publik yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2003 yang pada awalnya hanya bergerak di bisnis makanan
(TPS Food). Sejalan dengan proses transformasi bisnis yang dimulai pada 2009, TPSF telah
menjadi salah satu perusahaan yang termasuk dalam Indeks Kompas 100. Pada 2011, TPSF
menjadi salah satu perusahaan yang termasuk dalam daftar “A List of the Top 40 Best
Performing Listed Company” dari Majalah Forbes Indonesia dan pada 2012, TPSF
mendapatkan penghargaan Indonesia Best Corporate Transformation dari Majalah SWA.
Selain itu, TPSF juga dianugerahi penghargaan Asia’s Best Companies 2014 kategori Best
Small Cap dari Finance Asia dan termasuk dalam daftar 20 Rising Global Stars dari Forbes
Indonesia pada 2014.

PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk hadir dalam industri makanan dengan kesadaran
bahwa industri ini harus dihadapi dengan inovasi dan penciptaan produk yang berkualitas serta
berdaya saing tinggi. Dalam upaya mengukuhkan keberadaan Perusahaan, kami memposisikan
diri untuk menjadi Perusahaan pengolahan pangan dengan teknologi modern. Diiringi dengan
komitmen yang kuat dan inovasi yang dijalankan secara berkelanjutan, kontribusi Perusahaan
terhadap perolehan industri akan semakin meningkat.

Latar Belakang

Dalam dunia keuangan kita mengenal yang namanya window dressing yang biasa
dilakukan manajemen untuk mempercantik laporan keuangan atau portofolio suatu perusahaan,
praktik window dressing ini sebenarnya masih menjadi perdebatan karena ada pihak yang
berpendapat bahwa window dressing boleh saja dilakukan selama tidak melanggar aturan dan
ada juga yang berpendapat bahwa praktik ini illegal atau sama saja dengan memanipulasi data.
Sebagai contoh window dressing yang legal dan sering dilakukan yaitu, misalkan sebuah asset
management mempercantik portofolio sahamnya dengan cara menjual saham-saham yang
laggard atau tidak perform dan membeli saham yang tahun itu kinerjanya baik, sehingga jika
dilihat isi portfolionya nanti hanya berisi saham-saham yang bagus saja.
Contoh Kasus

Pelaku usaha, terutama emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI), diminta agar
menyampaikan laporan kinerja tahunan secara benar jika tidak ingin berurusan dengan hukum.
Pasalnya, praktik mempercantik laporan keuangan di pengujung tahun atau biasa disebut
window dressing kerap merugikan investor. Pakar Hukum Bisnis Universitas Airlangga
Profesor Budi Kagramanto mengatakan, praktik rekayasa laporan keuangan yang merugikan
investor salahsatunya pada kasus laporan keuangan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA)
tahun 2017 yang saat ini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Menurut Budi, manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh manajemen lama
AISA merupakan tindak pidana yang merugikan banyak pihak. Pertama adalah investor yang
berinvestasi di saham AISA, lalu yang kedua perusahaan itu sendiri. Dan, yang ketiga citra
industri pasar modal menjadi tercoreng.

Bagusnya laporan keuangan tersebut membuat investor di pasar modal membeli saham
AISA. Harga saham AISA pun sempat melesat hingga Rp2.360 per saham pada tahun 2017.
Namun, kinerja tersebut hanya di atas kertas. Sebab, fundamental AISA saat itu bertolak
belakang dengan laporan keuangan.

Kejanggalan mulai terendus ketika AISA gagal bayar kewajiban bunga Obligasi dan
Sukuk. Pada waktu itu, Direktur Utama Tiga Pilar Sejahtera Food Joko Mogoginta dalam
keterbukaan Informasi ke Bursa Efek Indonesia menyampaikan posisi kas dan setara kas
perusahaan pertanggal 26 Juni 2018 belum memadai untuk membayar bunga obligasi dan
sukuk yang akan jatuh tempo 19 Juli 2018.

Padahal, dalam Laporan Keuangan 2017 tercantum adanya dana cash per 31 Desember
2017 sebesar Rp181,6 miliar. Namun, hanya selang beberapa bulan, dalam keterbukaan
informasi perusahaan, per 26 Juni 2018, posisi kas perusahaan hanya sebesar Rp48 miliar.
Harga saham AISA pun lantas sempat amblas hingga kekisaran level Rp168. BEI pun
menghentikan perdagangan saham AISA.

Tidak cukup sampai di situ, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lantas menyelidiki dan
hasilnya diketahui bahwa ada pelanggaran dalam laporan keuangan AISA di mana ada aliran
dana kepada perusahaan-perusahaan terafiliasi alias yang dimiliki pribadi oleh direksi AISA
pada waktu itu. Saat RUPS Tahunan, para pemegang saham pun meradang. Laporan Tahunan
sebagai bentuk pertanggungjawaban Direksi ditolak.

Dalam laporan Hasil Investigasi Berbasis Fakta PT Ernst & Young Indonesia (EY)
kepada manajemen baru AISA tertanggal 12 Maret 2019, dugaan penggelembungan ditengarai
terjadi pada akun piutang usaha, persediaan, dan aset tetap Grup AISA.

Uraian Kasus

Teknik audit yang dipakai dalam kasus ini yaitu pengumpulan bukti dan analisa data,
dengan mengumpulkan bukti-bukti dari laporan keuangan tahun 2017 auditor menyadari ada
hal yang janggal, seperti :

1. Berdasarkan laporan keuangan 2017 (Audited), terdapat uang muka sebesar Rp200 miliar
untuk investasi atas akuisisi PT Jaya Mas dari PT JOM Prawarsa Indonesia. Namun, dalam
data internal, tidak ditemukan pencatatan atas uang muka Rp200 miliar seperti yang tercatat di
laporan keuangan 2017 (audited).

2. Dari perbandingan yang dilakukan antara laporan keuangan 2017 (audited) dan data internal
perusahaan, ditemukan transaksi terkait aliran dana dari Grup TPSF ke pihak terafiliasi pada
data internal, yang berubah pada laporan keuangan 2017 (audited).

3. Dugaan aliran dana dari Grup TPSF kepada pihak terafiliasi yang pencatatannya dalam data
internal berbeda dengan laporan keuangan 2017 (audited), dengan total nilai transaksi
Rp288,45 miliar.

4. Terdapat dugaan overstatement senilai Rp4 triliun pada akun piutang usaha, persediaan,
dana set tetap Grup TPSF dan senilai Rp662 miliar pada penjualan serta Rp329 miliar pada
EBITDA entitas makanan dalam laporan keuangan 2017.

Sebelum laporan keuangan direkayasa ada beberapa fraud yang terjadi yaitu adanya
transaksi afiliasi yang melanggar hukum karena tidak adanya mekanisme pengungkapan
(disclosure) yang memadai.

Kegiatan rekayasa laporan keuangan ini dilakukan oleh Top Management dengan
tujuan agar laporan keuangan perusahaan terlihat bagus dan kinerjanya menjadi baik jika
dilihat oleh investor. Hal tersebut juga menjadi pemicu harga saham AISA melesat pada saat
laporan keuangan rekayasa tersebut dirilis.

Kesimpulan

Mantan direksi PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. serta jajarannya harus bertanggung
jawab dan dinyatakan bersalah atas kegiatan rekayasa laporan keuangan tersebut, saya melihat
ada beberapa motivasi atau dorongan dalam kasus ini yang membuat para mantan direksi
tersebut berbuat demikian.

Pertama ada kemungkinan paksaan dari pihak-pihak tertentu sehingga mereka terpaksa
melakukan ini, kedua karena memang tujuan individu masing-masing untuk mendapatkan
keuntungan dengan cara melakukan transaksi afiliasi dengan tanpa mekanisme pengungkapan
dan sengaja mempercantik laporan keuangan mereka untuk menipu agar para investor membeli
saham mereka sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga saham
perusahaan.

Daftar Pustaka

• https://market.bisnis.com/read/20190327/192/905016/kisruh-aisa-dugaan-
pembukuan-ganda-hingga-window-dressing-temuan-ernst-young
• https://fksfs.co.id/our-company/tentang-kami/
• https://ekbis.sindonews.com/read/290332/178/rekayasa-laporan-keuangan-rugikan-
investor-1609808479
• https://www.cnbcindonesia.com/market/20190327082221-17-63104/astaga-tiga-pilar-
disebut-gelembungkan-keuangan-rp-4-t
• https://nasional.kontan.co.id/news/manipulasi-laporan-keuangan-dua-eks-bos-tiga-
pilar-aisa-divonis-4-tahun-penjara

Anda mungkin juga menyukai