ARTIKEL DIGITAL LEARNING Keluar dari Sangkar Emas Rhenald Kasali, Jawa Pos, 18 Juni 2013
Ibarat sebuah buku, dunia dan isinya ini kaya
pengetahuan. Tetapi bagi Agustinus dari Hippo, “Those who do not travel read only one chapter.” Ya, mereka yang tak melakukan perjalanan, alias cuma belajar di kelas dan mengurung diri, dapat diibaratkan hanya membaca satu bab saja. Itulah yang mendorong saya mengirim mahasiswa-mahasiswa saya pergi ke luar negeri. Bukan bergerombol, tetapi kali ini harus sendiri-sendiri setiap negara yang berbeda. Tanpa orangtua, saudara, kenalan, atau jemputan. Pokoknya, pergilah ke tempat yang jauh dan cari uang sendiri. Kalau dulu dosennya yang menyubsidi, kini mereka harus cari sendiri. Dan ajaib, semua bisa pergi. Maklum, harus diakui, semakin ke sini, generasi baru Indonesia adalah generasi servis. Mereka dibesarkan dengan servis yang dibeli oleh orangtuanya yang bekerja. Yang punya uang sedikit membesarkan dengan asisten rumah tangga. Yang lebih sejahtera, membeli jasa baby sitter. Bahkan untuk belajar pun, mereka didampingi guru-guru les yang bisa disewa orangtua. Pergi ke luar negeri pakai travel. Urus paspor saja pakai calo. Akibatnya, anak-anak kurang inisiatif.
ORANGTUA JANGAN MEMBELENGGU
Kita orangtua sering kali khawatir, bahkan lebih dari seharusnya. Khawatir menderita di masa depan, maka kita pun memberikan segala yang mereka butuhkan. Padahal mereka bisa mencari sendiri. Lagi pula kalau sudah mendapatkan semua, mereka akan mencari apa lagi? Saya pun tertegun, mahasiswa usia 19-20 tahun yang saya bimbing ternyata punya nyali besar untuk menembus berbagai rintangan. Seorang mahasiswa saya menembus perbatasan Thailand dan tinggal bersama para biksu di Laos. Yang lainnya menyambangi Myanmar. Bahkan ada yang kesasar di Turki, India, Nepal, dan Islandia. Ada juga yang ke Belgia, Jerman, dan seterusnya. Semuanya kesasar dan semuanya belajar. Prinsip orang bekerja adalah berpikir, namun kalau setiap hari melakukan hal yang familier/rutin atau dibimbing orang lain, maka manusia punya kecenderungan menjadi “penumpang” bagi orang lain dan tidak berpikir lagi. Di lain pihak, orangtua juga punya tendensi mengawal dan menuntun. Mereka dilarang bepergian sendirian. Padahal di Vietnam, Thailand, dan Laos, anak-anak bimbingan saya bertemu dengan mahasiswa asing yang sudah berkelana pada usia yang jauh lebih muda. Mahasiswa saya tak semuanya punya uang yang cukup untuk bepergian ke luar negeri, tetapi begitu dipicu untuk berpikir, mereka pandai mencari uang sendiri. Salah seorang mahasiswa saya mencari uang dengan menjadi calo tiket Java Jazz. ORIENTATION TRAINING PT TASPEN
Jalan Mabes 2, Jatimurni, Pondok Melati, 17431, Indonesia