Anda di halaman 1dari 25

Keluar dari Sangkar Emas - Jawa Pos 18 Juni 2013

Ibarat sebuah buku, dunia dan isinya ini kaya pengetahuan. Tetapi bagi Agustinus dari Hippo, Those
who do not travel read only one chapter." Ya, mereka yang tak melakukan perjalanan, alias cuma belajar di
kelas dan mengurung diri dapat diibaratkan hanya baca satu bab saja.

Itulah yang mendorong saya mengirim mahasiswa-mahasiswa saya pergi ke luar negeri. Bukan
bergerombol, tetapi kali ini harus sendiri-sendiri pada setiap negara yang berbeda. Tanpa orang tua, saudara,
kenalan atau jemputan. Pokoknya pergilah ke tempat yang jauh dan cari uang sendiri. Kalau dulu dosennya
yang subsidi, kini mereka harus cari sendiri. Dan ajaib, semua bisa pergi.

Maklum harus diakui, semakin ke sini, generasi baru Indonesia adalah generasi service. Mereka
dibesarkan dengan service yang dibeli orang tua yang bekerja. Yang punya uang sedikit membesarkan dengan
pembantu rumah tangga. Yang lebih sejahtera, membeli jasa baby sitter. Bahkan untuk belajar pun, mereka
didampingi guru-guru les yang bisa disewa orang tua. Pergi keluar negri pakai travel. Urus paspor saja pakai
calo. Akibatnya anak-anak kurang kaya potensi.
Maka mengirim mereka keluar dari sangkar emas adakah sebuah kebutuhan.

Orang Tua Jangan Membelenggu


Kita orang tua seringkali khawatir, bahkan khawatir lebih dari seharusnya. Kita khawatir anak-anak
akan menderita di masa depan, maka kita pun memberikan segala yang mereka butuhkan. Padahal mereka
bisa mencari sendiri. Bahkan kalau mereka sudah mendapatkan semua, mereka akan mencari apalagi?

Saya pun tertegun, mahasiswa usia 19-20 tahun yang saya bimbing ternyata punya nyali yang besar
untuk menembus berbagai rintangan. Seorang mahasiswa saya menembus perbatasan Thailand dan tinggal
bersama para biksu di Laos. Yang lainnya menyambangi Myanmar. Bahkan ada yang kesasar di Turki, India
dan New Zealand. Ada yang sampai Belgia, Jerman dan seterusnya.

Semuanya kesasar dan semuanya belajar. Prinsip orang bekerja adalah berpikir, namun kalau setiap
hari melakukan hal yang familiar/rutin atau dibimbing orang lain, maka manusia punya kecenderungan
menjadi "penumpang" bagi orang lain dan tidak berpikir lagi. Namun di lain pihak, orangtua juga punya
tendensi mengawal dan menuntun anak secara berlebihan. Anak-anak yang berusia dewasa dilarang
bepergian sendirian. Khawatir kita sangat berlebihan. Padahal di Vietnam, Thailand, Bali dan Laos, anak-anak
bimbingan saya bertemu dengan mahasiswa asing yang sudah berkelana pada usia yang jauh lebih muda.

Mahasiswa saya tak semuanya punya uang yang cukup untuk bepergian ke luar negeri, tetapi begitu
dipicu untuk berpikir mereka pandai mencari uang sendiri. Salah seorang mahasiswa saya mencari uang
dengan menjadi calo tiket pada Java Jazz, atau saat bintang-bintang asing datang. Dengan uang itu saja
mereka bisa pergi ke Jerman, Prancis atau Italia.
Tak banyak orangtua yang menyadari bahwa anak-anak mereka punya potensi yang sangat besar untuk
menjadi sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan. John Maxwell mengatakan, kalau saja manusia bisa
membangunkan 25 persen dari potensi yang ia miliki, maka ia dudah bisa disebut sebagai genius. Jadi bisa
dibayangkan kalau Albert Einstein saja baru mengoptimalkan sebanyak 25 persen dari potensinya, berapa
persen yang dioptimalkan kita yang biasa mengandalkan orang lain, menjadi penumpang atau menjalani
kehidupan dengan belenggu yang dibuat orang tua?

Mahasiswa saya mengatakan, bukan mereka yang tak ingin, melainkan terlalu banyak kekhawatiran dan
larangan dari orangtua yang membuat mereka takut menjelajahi alam semesta dan dunia ini. Sebagian
mereka yang memutuskan berangkat terpaksa bertengkar dengan orangtua, bahkan tak jarang orangtua
menghubungi relasi-relasinya di luar negeri untuk mengawal anak-anaknya. Bahkan ada yang menyabot hak
anak untuk pergi mandiri dengan melibatkan anak-anaknya ke dalam perjalanan wisata yang diorganisir oleh
tour company. Ini tentu saja. Semakin mengunci potensi yang harusnya bisa dikembangkan.

Kalau saja orangtua mau memberi ruang dan kepercayaan pada anak-anaknya, maka saya percaya
mereka bisa membaca lebih dari sekedar kata pengantar atau Pendahuluan dari sebuah buku. Travelling
adalah salah satu caranya.

Lentera Jiwa (1) - Jawa Pos, 4 Maret 2013

Di STM (sekarang namanya SMK) 6 Kramat Raya tahun 1970-an akhir ada seorang siswa yang senangnya
membuat puisi dan karikatur. Meski lulus sebagai juara kelas dan dapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke
IKIP Negeri Padang, ia justru memilih kuliah di sekolah jurnalistik. Kalau ia mengambil opsi pertama, ia tentu
sudah menjadi guru STM. Tetapi meski tak punya biaya untuk bayar kuliah sendiri, hatinya berkata lain.

Setelah lulus, ia magang di sebuah majalah berita dan dilatih melakukan investigasi berita dengan prinsip tak
ada tokoh yang tak punya kesalahan. Dengan bekal itu, setelah bertahun-tahun menjadi reporter, di sebuah
stasiun TV, pada awal reformasi ia menjadi host talkshow politik yang sarat konflik. Tokoh-tokoh yang
berseberangan ia pojokkan sehingga tak berkutik dan saling menyalahkan. Tontonannya sangat menarik,
ratingnya tinggi. Tetapi setelah beberapa tahun menjalankan peran itu ia bertanya: apakah ini yang saya cari
dalam hidup saya?". Ia merasa ada yang salah telah ikut menaburkan kebencian dan permusuhan.

Berawal dari pertanyaan itulah ia berhenti dari seluruh kegiatannya dari talkshow politik dan mengundang
orang-orang biasa, pejuang perubahan sosial yang inspiratif. Anda mungkin tahu siapa yang saya maksud. Ya,
itulah Andy Noya dengan Kick Andy show-nya. Sewaktu saya gali untuk program TV yang saya asuh di TVRI,
Ia mengatakan Saya seperti tengah bercermin. Saat tamu-tamu itu bercerita, saya seperti melihat diri saya
sendiri di sana.

Chef Seno
Apa yang dilakukan Andy agak mirip dengan sahabat saya di UI yang suskses menjadi direktur keuangan di
sebuah bank. Sebagai akuntan senior ia punya semuanya: Keluarga yang harmonis, rumah yang besar, anak-
anak yang sehat dan karir yang bagus. Tetapi setelah krisis moneter berlalu dan ia selamat, Ia justru meminta
pensiun dini dan lama menghilang.

Akhirnya tahun lalu secara tak sengaja kami bertemu di sebuah lorong pertokoan di depan sebuah restoran
Jepang di kawasan Takapuna, dekat Auckland, New Zealand. Delapan tahun yang lalu ia berimigrasi kesini
dan memulai profesi baru. Ia mengambil kursus memasak selama 2 tahun, membeli alat-alat, dan memulai
kariernya sebagai tukang masak dari restoran-restoran kecil. Sekarang Chef Seno sudah menjadi koki di
sebuah hotel terkenal dan menemukan lentera jiwanya.

Saat kami diundang makan malam Saya melihat ia begitu piawai memotong dan menyajikan hidangan.
Karakter masa lalunya sebagai akuntan yang kritis mulai tak kelihatan. Memasak adalah kecintaannya sejak
kecil, namun sepertinya tak begitu macho bila dijalankan oleh pria, apalagi bila anda mengatakan itu adalah
cita-citanya di tahun 70-80an. Ini mirip dengan Harland Sanders yang sudah gemar menggoreng ayam sejak
usia kecil, namun setelah mendapat julukan kolonel, di usia 40-an Ia baru menggoreng ayam dan usahanya
baru meledak saat usianya 60-an dengan nama KFC. Chef Seno dan Harland Sanders bukan memasak seperti
ibu-ibu yang dipaksa nilai-nilai masyarakat berada di dapur: buku resep, kumpulkan bahan-bahan lalu masak.
Mereka bisa memasak tanpa resep, mengikuti naluri dari bahan-bahan yang ada di dapur.

Sekolah STM bagi Andy Noya, menjadi akuntan bagi Chef Seno, atau menjadi tentara bagi Harland Sanders
bukanlah lentera jiwa mereka. Brandon Burchard menyebut fase itu sebagai The Cage (kurungan jiwa). Di
seluruh dunia, hampir semua kaum muda kesulitan menyalakan lentera jiwanya dan hidup terkurung
menjalankan kehendak orang lain.

Saya juga melihat di usia dewasa, ribuan orang yang berkarir ternyata juga terperangkap dalam hidup yang
sama. Bahkan ada yang masuk ke fase ke dua: The Comfortable life seperti yang dirasakan Chef Seno saat
menjadi direktur keuangan, atau Andy Noya saat menjadi pemimpin redaksi dan Wakil Pemimpin Umum di
Media Indonesia dan Metro TV. Mereka beruntung mempertanyakannya: Inikah yang saya cari?

Hidup dalam The Cage membuat manusia patuh dan menjalankan sesuatu atas ekspektasi dan kehendak
orang lain sehingga sulit sekali mencapai prestasi tertinggi karena selalu terjadi pertentangan jiwa. The Caged
life hidup dalam kotak belief yang sempit yang banyak membatasi hidupnya. Ia membangun hidup dari
sesuatu yang didiktekan orang lain, dan tak pernah berani keluar dari garis-garis maya yang membatasinya,
untuk mengeksplorasi dunia baru. The Caged life sangat takut bertentangan dengan aturan yang dibuat
masternya, meski itu hanya ada dalam pikirannya. Sebegitu dalamnya peran sang master sehingga bila
dilanggar, merasa sangat berdosa.

Lantas bagaimana keluar dari ke 2 fenomena itu? Tentu saja diperlukan upaya massif, sebuah revolusi
kehidupan seperti kembali ke titik nol dengan meghidupkan lentera yang oksigennya mungkin sudah ada.
Saya akan melanjutkan minggu depan, tetapi anda bisa menyaksikan pergulatan-pergulatan itu setiap Selasa
malam di TVRI dengan tamu saya Andy Noya atau tamu-tamu inspiratif lainnya. Kalau kita bisa
menghidupkan lentera jiwa kita masing-masing, maka bangsa ini akan tumbuh menjadi bangsa yang besar
dan bermartabat. Bahkan saya percaya, iri, dengki, saling menghujat akan jauh berkurang. Artinya Persatuan
Indonesia akan lebih ideal kita rasakan.

Lentera Jiwa (2) - Jawa Pos, 11 Maret 2013

Ketika seseorang bertanya bagaimana caranya menjaga kebugaran agar selalu tampak segar dan
bersemangat, maka sebenarnya jawaban terbaik ada pada menyala atau tidaknya lentera jiwa seseorang. Di
rumah, kala saya sedang mengalami tekanan psikologis, istri saya selalu mengatakan "wajah saya sudah
berubah menjadi seperti pak dosen". Lama saya tak mendengar lagi kalimat itu, tetapi saya pernah
memikirkannya.
Rupanya ia tak mau wajah suaminya menjadi mirip rata-rata dosen yang kata dia "menjadi lebih tua dari
usianya". Saya baru menemukan jawabannya ketika suatu waktu Najwa Shihab mempertemukan saya, Prof
Emil Salim dengan Ninik L Karim, dosen Fakultas Psikologi UI untuk menyambut mahasiswa baru. Di atas
panggung auditorium UI, kami bercerita tentang kehidupan kami bagaimana meniti karier dan menembus
tembok-tembok kesulitan sepanjang masa. Saat jeda, saya sempat bertanya pada Ninik, apakah sosok seperti
dia klaim berada di kalangan dosen? Apakah tidak mengalami masalah dengan pola karier seperti ini?

Di luar dugaan saya, pemain teater yang pernah meraih beberapa kali piala Citra di layar lebar itu justru
bertanya balik ke pada saya. Saya katakan, justru itulah saya bertanya, karena sesungguhnya saya ingin tahu
apakah orang seperti saya di fakultas lain juga mengalami hal serupa? Selain mengajar, Ninik dikenal sebagai
selebritas, dan dulu sering muncul di layar lebar. Kalau sekarang anda menyaksikan akademisi menjadi
pengamat dan sering masuk TV adalah biasa, tidak demikian sepuluh-dua puluh tahun lalu.

Ninik bercerita panjang lebar bagaimana ia dianggap aneh oleh komunitasnya. Bahkan yang lain bercerita,
mereka seperti digunjingkan, tak diinginkan oleh komunitasnya. Tetapi Ninik kemudian mengatakan, "Tetapi
saya bahagia Mas, saya lakukan semua ini karena panggilan jiwa saya. Sementara ada ratusan dosen yang
melakukan profesinya bukan karena panggilan jiwanya. Maka layaklah mereka menjadi dosen killer, mudah
tertekan, cepat tersinggung, sulit mengungkapkan mau hatinya, bahkan sulit berprestasi optimal. Padahal,
seorang guru sejati bukanlah orang yang senang marah, mempersulit orang lain, mengatakan orang lain tak
mutu, bahkan mengatakan hanya dirinya yang bisa bernalar. Bagi saya semua in hanyalah cerminan dari tak
menyalanya lentera jiwa. Mereka bahkan the caged life (perangkap jiwa) atau bahkan sudah comfortable life
(mempertikai kenyamanan).

Pertanyaan Jiwa

Maka sampai di usia 30-40 an, seorang yang sedang meniti karier perlu bertanya pada jiwanya dan
pertanyaan itu adalah cermin dimana ia berada. The Caged Life, kata Brendon Burchard, akan selalu diwarnai
perasaan-perasaan takut setiap menyaksikan perubahan apa saja. "Apakah saya bisa survive"? Dan fokusnya
hanya pada "aman atau tersakiti".
The comfortable life sebaliknya akan bertanya, "Apakah saya akan diterima dan berhasil"? Dan fokusnya pada
penerimaan. Sedangkan pemantik lentera jiwa akan bertanya, "apakah daya telah menegakkan kebenaran
dan mengaktualiasikan potensi diri saya? Apakah saya telah melakukan hidup yang inspiratif dan mengirai
oang lain".

Bagi saya, maaf, percuma saja berteriak kejujuran dan etika, bila diri sendiri menjalani hidup yang
terpenjara. Orang yang terpenjara tidak hidup dalam apa yang ia inginkan, ia banyak menyimpan
pertanyaan-pertanyaan yang sulit ia jawab sendiri. Sementara bagi pemantik lentera jiwa, credo yang
dianutnya asalah, " ask not what you are getting from the world but, rather what you are giving to the world".

Maka, mereka tak pernah merasa keletihan karena setiap hari selalu menyaksikan hal-hal baru. Ini berbeda
dengan The Comfortabe Life yang selalu menjalani rutin dengan kebosanan. Bagi pemantik lentera jiwa, "life
is magical and meaningful". Mereka tak takut menghadapi gelombang-gelombang ancaman, mereka hanya
peduli" apakah ini benar atau tidak" dan "apakah ini meaningful". Selamat menyalakan lentera jwa masing-
masing...

Kurikulum baru dan Kritik dalam Pembaharuan - Sindo, 07 Maret 2013


Criticism may not be agreeable, but it is necessary. It fulfills the same function as pain in the human body. It
calls attention to an unhealthy state of things.
Winston Churchill

Dahlan Iskan pernah menyebutkan dalam setiap perubahan selalu saja ada kelompok 10% yang baiknya
"dieman-eman" (istilahnya) saja. Pokoknya mereka akan selalu menentang. Di komunitas perubahan, kami
biasa menyebut kelompok itu sebagai "oposan abadi". Kelompok ini unik dan kalau kita mengerti cara
berpikirnya, sebenarnya bisa menjadi hiburan ketimbang menjadi lawan yang menegangkan. Mereka terdiri
dari orang-orang yang bereaksi paling keras setiap kali ada perubahan. Namun begitu hasil perubahan ada,
pelahan-lahan mereka diam juga, lalu mengangkat kritik pada topik lain. Tetapi dasarnya tetap sama, senang
diperhatikan, senang memarahi, senang dianggap pandai atau penting. Ganggu sedikit, colek yang banyak,
sukur-sukur bisa masuk tv, walau cuma sekali-kali. Itu sudah menghibur hati. Sudah masuk dalam daftar CV
untuk kegiatan lebih jauh.

Tetapi Winston Churchill seperti kutipan di atas menyebutkan, sekalipun Anda tak setuju, kritik itu perlu.
Ngga apa- apa, apalagi di abad transformasi, abad perubahan di negeri demokrasi. Kritik katanya, ibarat rasa
sakit dalam tubuh manusia, pertanda perlunya perhatian untuk merawat kesehatan. Hanya saja, ia juga
pernah mengatakan kritik itu ada lima macam. Pertama, kritik yang tulus, bertujuan mengingatkan. Kedua
kritik yang bertujuan cari keuntungan. Ketiga, kritik untuk mengatasi rasa takut. Keempat, kritik cari
perhatian. Dan kelima, kritik untuk menunjukkan identitas.

Demikianlah kritik terhadap kurikulum baru. Saya kira lima-limanya ada. Mereka hanya dapat dibedakan
dari apa yang mereka kerjakan. Kalau orangtua yang punya anak gelisah menghadapi kurikulum baru yang
tidak jelas, saya kira wajar. Tapi juga ada khawatir yang besar dari ketidakpahaman sesuatu yang baru,
sehingga seakan-akan nasibnya akan terlunta-lunta. Sejumlah ilmuwan yang melihat subjeknya "tak ada lagi"
dalam susunan mata ajaran segera bereaksi. Tetapi benarkah subjeknya dihapuskan? Mungkin ini cara
berpikir saja. Atau mungkin ini pertanda pemerintahan tidak sehat, kejelasan tidak ada, sehingga alih-alih
menimbulkan dukungan, yang terjadi justru kritik yang tajam. Saya sendiri ikut kecipratan amarah, meski
hanya menulis dari apa yang saya pelajari dan saya alami. Lumayan, belajar meregangkan urat syaraf.

Tapi benar kata Dahlan Iskan. Ini layak dieman-eman, lumayan bisa menghibur. Kalau ilmuwan marah, selain
ada yang benar, ada juga yang lucu. Bukan logika yang dicari seperti layaknya ilmuwan sejati yang open mind,
tapi kalimat nggak penting yang menyinggung perasaannya. Kalimat itu dikutip dalam pesan twitter, lalu
dikomentari dengan gaya dosen zaman dulu yang uring-uringan memeriksa paper mahasiswa. Lalu dari situ
diharapkan mendapat dukungan dari komunitas yang tentu saja menjawab dengan jenaka dan lucu-lucuan
juga. Sebuah pergumulan yang indah yang kadang membingungkan bagi yang lain.

Menghujat Kurikulum Lama


Kalau Anda sempat mengumpulkan tulisan-tulisan saya tentang pendidikan, maka Anda mungkin tahu sudah
lama saya menunjukkan perhatian tentang pentingnya reform pada sistem ini. Kalau Anda googling nama
saya dengan kata-kata kunci berikut ini, maka Anda akan menemukan pemikiran-pemikiran itu:
Encouragement, Race of Going Nowhere, Sekolah 5 cm, Myelin, Passport, Sekolah untuk Apa, Tallent Merrit Vs
Exam Merrit, Generasi Bingung Bahasa, RSBI, Generasi Baru, dan seterusnya.

Di media ini saya juga berulang kali menunjukkan bahwa jumlah mata pelajaran yang diberikan kepada para
siswa di sini sudah kelewat batas, bahkan yang terbanyak di dunia. Saya berulangkali mengatakan akibat-
akibatnya sangat menyengsarakan anak didik: siswa yang bingung, tidak kreatif, tidak bisa mengungkapkan
isi pikiran dengan baik, dan kecemasan yang tampak dari tingginya angka kesurupan menjelang UN. Kritik-
kritik itu pun disertai jalan keluar yang saya tunjukkan dalam kajian.

Lantas, saat pemerintah meresponsnya dengan hadirnya kurikulum baru, tentu saja saya menyambutnya
dengan gembira. Jumlah mata ajaran dikurangi. katanya, suasana gembira harus ditumbuhkan agar anak-
anak generasi baru tidak lagi stress dalam belajar di sekolah. Ini persis sama dengan yang sering saya
suarakan.

Saya masih ingat saat diminta Rektor Universitas Andalas Padang, prof. Musliar Kasim memberi paparan
ilmiah di kampusnya, semua akar permasalahan pada dunia pendidikan dan kewirausahaan saya paparkan.
Dan tak lama setelah prof. Musliar menjadi Wakil Menteri Pendidikan, ia pun meresponsnya dengan
kurikulum baru. Saya sendiri tak tahu persis bagaimana Mendikbud merumuskan kurikulum baru, tetapi
saya dengar mereka mengumpulkan tokoh-tokoh pendidikan dan kaum cendekia. Saya sendiri tak termasuk
di dalamnya, tetapi sikap saya tidaklah berseberangan, sebab tujuannya sudah sama. Namun entah apa yang
terjadi, tampaknya banyak juga tokoh pendidikan yang tak diundang bicara, tapi juga tak diajak mengerti.
Akibatnya kritik mereka tumpah di berbagai tempat. Dari kajian change management, pro-kontra ini menarik
untuk dikaji.

Dari amarah itu saya menemukan kalimat-kalimat menarik yang diucapkan secara verbal, bahwa "kurikulum
baru ini dipastikan gagal". Ini menarik sekali. Bagi masyarakat, jelas saja belum, dimulai juga belum, dengar
saja cuma dari jauh, apalagi kalau tak terlibat dalam pergulatan perubahan, tetapi sudah ada yang berani
menjamin kurikulum ini "pasti gagal". Bisa diduga karena kredibilitas pemerintahan yang didera kasus
korupsi terus menerus ini turut memberi imbas.

Dari diskusi internal para pakar yang diselenggarakan Mendikbud itu, saya mendengar ada usulan yang
sangat extrem, yaitu bagaimana agar anak-anak di sekolah dasar "dimerdekakan" dari proyek-proyek buku,
dari beban yang berlebihan. Usulan extrem-nya adalah, "bila perlu, untuk anak SD mata ajar cukup satu saja,
yaitu Manusia dengan Alam Sekitarnya".

Saya teringat lima tahun lalu saya pernah menyampaikan kepada Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah
(Dikdasmen) agar "rela" memangkas mata ajaran yang sudah kebanyakan. Korbannya ya tentu saja anak-
anak kita, anak saya dan anak-anak Anda. Tetapi apa respons Dirjen Dikdasmen? "Itu masalahnya bukan di
kami, melainkan ada di UU Sisdiknas". Penasaran dengan itu saya pun membuka UU itu, dan disitu saya
membaca masalahnya. Nama-nama subjek yang disebut harus ada dalam sistem pendidikan nasional (seperti
agama, bahasa Indonesia, dan lain-lain) ternyata diterjemahkan jadi mata ajaran, yang tentu saja berarti
"proyek" bagi penerbit buku dan politisi yang berhubungan dengannya, dan inilah yang berakibat jumlah
mata ajaran di tingkat SMU mencapai 18 hingga 24. Padahal di berbagai negara maju, jumlah mata ajar hanya
6 dengan mata ajar wajib hanya 2 (Bahasa Inggris dan Matematika).

Maka bagi saya, wajarlah saat Mendiknas "berani" memangkas mata ajaran itu. Politiknya saya tak mengerti.
Tapi tentu saja saya was-was karena kabinet ini hanya punya waktu setahun lebih. Was-was kalau kurikulum
baru ini kelak dianulir lagi oleh penerusnya pada pemerintahan baru dan anak didik kembali harus
berurusan dengan beban lama. Apalagi kalau filosofinya tidak sama dan biaya politiknya yang harus ditarik
kembali lebih besar. Masih banyak pula yang berpikir kalau anak-anak diberi mata ajar yang banyak maka
mereka akan lebih hebat. Banyak yang berpikir belajar itu ya di sekolah. Maka kurikulum sekolah dipadatkan
dan peran orang tua diambil alih semua oleh sekolah.

Logika Keaksaraan
Salah satu ilmuwan yang terganggu oleh kurikulum baru tentu saja mathematician karena mata ajar ini tidak
tiba tak disebut dalam kurikulum baru untuk Sekolah Dasar. Saya kira bukan hanya mathematician yang
wajib bertanya, melainkan kita semua. Dalam social science seperti yang saya geluti saja, math menjadi
bahasa yang penting. Maka itu sayapun mengajukan pertanyaan kepada Mendikbud dan juga kepada Wakil
Menteri. Namun jawabannya mudah saya pahami: Matematika tidak dihapus, tetapi melebur terintegrasi
dalam kesatuan dengan yang lain.

Saya tentu bukan juru bicara Mendikbud, tetapi saya kira saya bisa mengerti dengan mudah, namun
bagaimana awam dan imuwan lainnya? Ini perlu kerja khusus untuk membuat masyarakat paham sebab
masih banyak diantara kita yang menggunakan paradigma lama dalam melihat dunia baru, termasuk
pendidikan. Saya masih ingat saat beberapa sekolah tertentu menerapkan metode integratif, pertanyaan juga
banyak diberikan oleh orangtua, bahkan banyak yang tiba-tiba menarik anaknya keluar. Baru belakangan ini
masyarakat menyadarinya, memang dunia baru sudah berbeda dan Indonesia butuh lulusan-lulusan baru
yang tak hanya pandai bagi dirinya sendiri, melainkan juga gaul, bisa berkomunikasi dengan baik, kreatif,
kaya perspektif dan mampu mengendalikan emosinya.

Lantas bagaimana saya memahami hal ini? Ceritanya begini, salah satu pergulatan yang digumuli Yayasan
Rumah Perubahan adalah pendidikan, khususnya anak-anak usia dini dan balita pra sekolah. Kami menaruh
perhatian untuk memberikan fondasi yang kuat pada anak-anak kampung yang kami lihat selalu
termarjinalkan, dan kalah dalam pertarungan kehidupan melawan anak-anak kelas menengah. Dari
pergaulan dengan para pendidik itulah saya diperkenalkan dengan metode Sentra yang belakangan mulai
banyak diadopsi. Celakanya metode ini sangat tidak dikenal ilmuwan tua. Meski tak diajarkan membaca dan
berhitung, dalam metode sentra, anak-anak sudah biasa diajak bernalar keaksaraan.

Ambil contoh saja dalam sentra bahan alam, diberikan berbagai permainan dengan media tertentu, bisa biji-
bijian, bahan cair, tumbuh-tumbuhan, serangga, pasir dan sebagainya. Pada saat sentra ini diperankan,
sekaligus anak-anak mendapatkan banyak hal mulai dari klasifikasi, logika volume, bentuk, ukuran,
menemukan warna baru, menghitung, berbahasa, bertutur, imajinasi dan seterusnya. Saya bisa bercerita
banyak dari proses pembelajaran yang hingga hari ini masih terus kami alami yang membuat istri saya tak
ingin melepaskan waktu barang sedetikpun mengamati anak-anak didiknya. Logika keaksaraan dibangun
dengan fondasi yang menurut hemat saya jauh lebih kokoh daripada menurunkan rumus di papan tulis yang
lalu dihafalkan, atau didikte oleh guru spesialis yang hanya paham matematika saja.

Beranjak dari pemahaman metode sentra ( yang harus saya akui ilmu saya belum seberapa ini) mungkin saya
bisa lebih mudah memahami makna pendekatan integratif yang sering diucapkan Mendiknas dalam
kurikulum baru.

Namun apakah anda masih akan menyangsikan bahwa guru-guru kita akan mampu menjalankannya?
Wallahu A'lam, saya tak tahu persis. Apalagi birokrasi kita masih kusut seperti ini. Tetapi saya mau
menyampaikan kepada anda, sekolah yang kami asuh tidak diajar oleh guru-guru bependidikan S1 atau S2.
Guru-guru kami adalah orang kampung yang bersahaja yang disekolahkan kembali. Mereka adalah ibu rumah
tangga yang juga punya anak-anak kecil biasa yang mencintai anak-anak. Nah, kalau mereka saja bisa, apa iya
guru-guru kita sebodoh yang diduga para elit? Saya kurang bisa mempercayai itu. Meski mereka orang
kampung, mereka bisa membuka mesin pencari Google dan memberi kita kalimat ini: Don't criticize what
you can't understand. Bob Dylan

Dalam peradapan continous improvement, lebih baik kita mengulurkan tangan kecerdasan kita untuk
memperbaharui pendidikan daripada adu pandai, saling mengunci. Kritik itu perlu, bagus buat membuat
kementerian lebih bersungguh-sungguh. Tetapi membuat jembatan untuk masa depan jauh lebih indah
daripada saling menakut-nakuti. Kurikulum ini hanya akan jadi bagus kalau ia terus disempurnakan dengan
logika baru yang lebih humanistik dan kreatif. Apalagi masa kerja kabinet ini cuma tinggal setahun lagi.

Rhenald Kasali, Guru Besar yang Pernah Tinggal Kelas


Depok -Rhenald Kasali dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Manajemen Universitas Indonesia
(UI). Gelar tersebut ternyata tidak didapat begitu saja. Pria bergelar Ph.D Consumer Science tersebut ternyata
pernah satu kali tinggal kelas.

"Saya pernah tidak naik kelas, waktu kelas 5 ke kelas 6 SD. Waktu itu saya malu banget, takut dan merasa
sudah menyakiti ibu saya. Akhirnya itu menjadi membuat saya terobsesi untuk maju. Jadi, saya menjadi guru
besar ini penuh dengan perjuangan" katanya dalam orasinya di acara pengukuhan Guru Besar UI, di Balai
Sidang, UI, Depok, Sabtu (4/7/2009).

Setelah kejadian itu, Rhenald bertekad untuk tidak mengulangi kesalahannya dengan belajar lebih giat lagi.
Salah satu cara yang dia lakukan adalah menempati kursi terdepan di ruangan kelasnya.

"Waktu tidak naik saya kalau duduk di (kursi) depan. Tapi tetap kalau ada apa-apa, saya juga yang
disalahin karena saya sudah distempel (tidak naik kelas)," ungkapnya.

Namun perjuangannya tersebut tidak sia-sia, tekat keras itu akhirnya mampu mengantarkan pria lulusan
Manajemen Fakultas Ekonomi itu sebagai guru besar.

Saat pengukuhannya sebagai guru besar, Rhenald membawakan orasi ilmiah berjudul "Keluar dari Krisis:
Membangun Kekuatan baru melalui core belief dan tata nilai"

Menurut Rhenald, dalam lima tahun terakhir ia mencatat ada berbagai krisis yang dialami Indonesia. Mulai
dari krisis garam, gula, pupuk, listrik, energi, rotan, demam berdarah, flu burung, air bersih dan sebagainya.

"Banyak hal yang tidak bisa kita atasi, namun berakhir begitu saja, membaik dengan sendirinya ayau cepat
dilupakan, namun kembali pada waktu yang berbeda," paparnya.

Menurut Rhenald, suatu masalah yang terjadi berulang-ulang tersebut mencerminkan lemahnya kendali
manajerial dalam pelaksanaan kebijakan, tidak adanya pembelajaran yang diambil, lemahnya penerapan
knowledge management serta kurangnya leadership dalam sistem perekonomian suatu negara.

"Insiden krisis yang datang terus menerus juga menunjukan tidak siapnya bangsa
Indonesia menghadapi perubahan. Perubahan dipandang lebih sebagai sebuah ancaman yang harus dilawan
dan dihindari, bukan untuk dihadapi," ungkapnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, Rhenald mengatakan, dengan perencanaan strategis yang didukung dengan
konsepsi manajemen modern yang dilandasi tata nilai, budaya ekonomi serta core belief yang mendukung
agar bangsa mampu beradaptasi dalam menghadapi berbagai perubahan yang semakin berat, lebih variatif
dan datang lebih cepat.
Prof. Rhenald Kasali dan Prof. Yohanes Surya-pun Ngak Bisa Bahasa Inggris???

Ini adalah zaman dimana bahasa Inggris menjadi keniscayaan untuk dikuasai oleh siapa saja. Bahasa
komunikasi yang tak dapat dielakkan apabila tidak ingin menjadi masyarakat terisolir dari pergaulan dunia.

Bisa apa kalau ngak bisa bahasa Inggris??? Ngak bisa apply beasiswa S2 baik di dalam negeri apalagi ngejar
yang di luar negeri. Ngak bisa lamar kerja di perusahaan-perusahaan ternama atau instansi pemerintah yang
bonafit. Jadi orang blo-on dengan pekerjaan seadanya atau jadi pengangguran kelas atas meskipun bisa kuliah
di universitas ternama.

Banyak orang yang merasa masa depannya suram, ketika tidak memiliki ability english yang memadai.
Terjerat dalam keterkungkungan keputusasaan karena dimana-mana ia selalu dikerubungi berbagai hal yang
berbau Inggris. Rasa-rasanya mau kiamat saja kalau ngak ngerti bahasa Inggris.

Kemarin malam, saat nonton acara Kick Andy, semua dogma itu terbang seketika. Saat mengetahui orang
hebat seperti Prof. Rhenald Kasali, pakar manajemen terkemuka di Indonesia, yang berhasil meraih Master
and PhD di Amerika Serikat ternyata juga bloon berbahasa Inggris saat lulus dari Fakultas Ekonomi UI.
Terperangah ketika Prof. Yohannes Surya, pakar fisika yang telah berhasil mengorbitkan ratusan anak-anak
cerdas Indonesia berprestasi di olympiade fisika tingkat internasional dengan raihan 70-an medali emas,
mengaku cuma punya toefl 415 saat mengajukan beasiswa ke Amerika Serikat.

Prof. Rhenald sempat mengikuti kursus bahasa Inggris di Indonesia menjelang berangkat ke USA. Tapi tetap
ngak bisa-bisa. Akhirnya memutuskan nyari kursus persiapan bahasa Inggris di USA dan menempuh program
itu selama 3 bulan. Prof. Yohanes lebih parah lagi, meski sudah mengantongi rekomendasi dari seorang
professor fisika dari Amerika yang saat itu sedang melakukan kunjungan di Indonesia, tetapi ngak bisa
ngomong Inggris. Hadangan semakin berat, ketika salah satu persyaratan scholarshipnya mesti menjadi
asisten professor yang mengharuskan ia mengajar students di university Amerika. Tak ayal lagi, Prof.
Yohanes pusing tujuh keliling. Tapi, namanya juga orang cerdik, beliaupun tak kehilangan akal. Maka
dicarilah universitas yang tidak mensyaratkan toefl untuk rekruitmen mahasiswa scholarship. Ketemulah
dengan College of William and Mary, Virginia, yang program fisika-nya termasuk 5 besar di Amerika Serikat.
Akhirnya Prof. Yohanes berhasil merampungkan gelar PhD dengan peringkat summa cumlaude alias 4,00.

Pengalaman Prof. Rhenald dan Prof. Yohanes bisa membangkit semangat kita-kita yang saat ini hanya punya
kemampuan english pas-pasan. Impian kuliah di luar negeri yang selama ini terasa teramat jauh, bisa
dikibarkan kembali. Kita masih punya waktu untuk memperbaiki kemampuan bahasa Inggris lewat berbagai
cara dan media. Meskipun terkadang harus memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk
meraih score toefl 550, janganlah menyerah. Apalagi kita sebenarnya lebih beruntung dari beliau berdua
yang notabene penuh keterbatasan saat mencari scholarship pada masanya. Kuliah di luar negeri bukan
sekedar impian kosong, apabila kita terus belajar dan belajar. Btw, saatnya bersemangat belajar bahasa
Inggris Yes, We Can :) He2.. (Jadi ingat Kampanye Barrack Obama) Ha2.

Minggu, 03 Maret 2013

Perubahan Selalu Bising - Sindo 28 Februari 2013


Change will not come if we wait for some other person, or if we wait for some other time. We are the ones
we've been waiting for. We are the change that we seek. Barrack Obama.

Tak dapat disangkal bahwa saat ini banyak orang menyenangi kata perubahan. Tetapi apakah mengerti
konsekuensi-konsekuensi dari perubahan? Rasanya belum tentu. Masih banyak orang yang berpikir Change
atau Perubahan adalah ganti orang, atau ganti pimpinan. Maka tak heran kata perubahan bukan cuma laku
dalam dunia usaha, melainkan juga dalam pilkada atau pemilu.

Dan kalau dibawa ke ranah itu, hampir pasti perubahan dibaca dari sisi politik. Atau bisa jadi kaum
profesional yang sedang melakukan transformasi berpotensi menjadi korban politisasi. Lagi asyik melakukan
transformasi yang bukan main banyak musuhnya, malahan dapat "musuh baru", yaitu kandidat pejabat
publik yang butuh suara. Mengapa begitu?

Selalu Ada Resistensi


Saya kira publik sudah semakin cerdas dan mengerti bahwa perubahan selalu berhubungan dengan
adanya kelompok yang melawan. Kaum resisten ini jumlahnya tidak banyak, tetapi mereka sangat vokal
dan berjuang agar tidak kehilangan. Di bumi yang perasa, orang yang pernah menduduki posisi terhormat
bila kehilangan jabatan karena tidak lolos fit and proper test bisa berarti kehilangan muka.

Dan kehilangan muka bisa berarti tsunami bagi pelaku-pelaku transformasi. Padahal transformasi
tidak bisa jalan bila tidak mendapatkan energy yang kuat. Transformasi butuh suasana persatuan dan
kepercayaan.

Banyak orang yang tak menyadari bahwa setiap langkah transformasi sangat beresiko bagi jabatan
seseorang. Kalau hanya kehilangan kursi saja itu belumlah seberapa. Dalam banyak kasus, kelompok yang
resisten tidak hanya mengungkit kursi, melainkan mencari cara untuk menemukan kesalahan-kesalahan kecil
yang bisa diperbesar. Padahal dalam era VUCA, manusia bekerja dalam iklim yang complex dan mudah
mengambil langkah yang salah, lupa atau ada saja kekurangananya.

The Burning Platform


Dalam buku ChaNgE! yang saya tulis tahun 2005, Robby Djohan memberikan kata pengantarnya. Ini mungkin
kata pengantar terpendek yang pernah saya terima, tapi isinya sungguh mengena pada sasaran. Saya
kutipkan saja sebagian: Perubahan adalah bagian yang penting dari manajemen dan setiap pemimpin diukur
keberhasilannya dari kemampuannya memprediksi perubahan dan menjadikan perubahan tersebut suatu
potensi.

Lalu, pada alinea kedua Robby menulis catatan yang menurut saya sangat penting bukan saja karena
pengakuannya yang jujur, tapi memang sering kita alami: Sering kali seorang CEO, termasuk saya sendiri,
berhadapan dengan perubahan setelah dia sudah berada di ambang pintu. Situasi seperti ini mungkin dapat
diatasi, tetapi hasilnya pasti bukan sebagai suatu potensi ataupun kegunaan.
Robby memang selalu bicara to the point.

Perubahan, bagi sebagian kita, adalah sesuatu yang menakutkan. Namun, manakala kita berhasil
mengendalikan rasa ketakutan itu, perubahan menjadi energi yang luar biasa untuk membuat kita bangkit
kembali. Namun manakala kita kalah, maka betapa bisingnya suara di luar. Apalagi bila anda melakukan
perubahan pada lembaga yang ada hubungannya dengan negara, milik negara atau milik pemerintah daerah.
Anda akan menyaksikan banyak "peluru nyasar" yang tidak jelas hendak ditembak kemana.
Perhatikan saja betapa "bisingnya" keributan di seputar Bank BJB yang muncul justru pada saat pemungutan
suara. Itupun bisa jadi ajang perpecahan sesama aktivis yang mulanya sama-sama mau memberantas
korupsi. Ada peluru yang ditujukan pada salah satu kandidat, meski informasi awalnya mungkin berasal dari
orang dalam yang ditujukan pada salah satu calon direksi yang jabatannya diinginkan orang lain. Lalu ada lagi
peluru yang disasarkan kepada CEO. Penembak yang lihay ternyata juga tak bisa menembakkan peluru ke
sasaran yang tepat karena begitu masuk ke ranah politik, masing-masing pihak punya kepentingan yang
berbeda dan sulit dikendalikan. Akhirnya tsunami terjadi betulan, bukan hanya change maker yang terlibat,
melainkan juga lembaganya akan sulit dibangun kembali.

Belajar dari berbagai perubahan yang dilakukan di sejumlah lembaga publik maupun BUMN besar yang
rumit, kemudian mengingatkan saya pada sosok panglima perang yang terkenal dalam sejarah Islam, Thariq
bin Ziyad. Kisahnya kurang lebih begini.

Thariq yang lahir sekitar tahun 670 Masehi dibesarkan kabilah Nafazah di Afrika Utara. Perawakannya
tinggi, keningnya lebar dan kulitnya putih kemerahan. Thariq adalah murid seorang komandan perang di
Afrika Utara yang dikagumi karena kegagahannya, kebijaksanaannya dan terutama keberaniannya.

Suatu ketika seorang pangeran Spanyol, Julian, meminta bantuan pembimbingnya untuk menaklukkan
Raja Roderick yang berkuasa di Spanyol. Lalu, Thariq diutus untuk mengintai kekuatan bangsa Visigoth dan
menjajaki kemungkinan pengiriman pasukan dalam jumlah besar.

Akhirnya, waktunya pun tiba. Ketika Raja Rodercik sedang sibuk menghadapi pemberontakan di
kawasan utara kerajaannya, Thariq datang dengan 7.000-an prajuritnya untuk menyerbu Spanyol.
Pengiriman pasukan dilakukan melalui laut. Pasukan ini mendarat di dekat gunung batu besar yang kelak
dinamai Jabal (gunung) Thariq. Orang-orang Eropa menyebutnya Gilbraltar.

Ketika sampai di Spanyol, Thariq mengambil keputusan yang sangat mengejutkan seluruh prajuritnya dan
dikenang sebagai langkah fenomenal hingga saat ini. Ia membakar semua perahu yang digunakan untuk
mengangkut para prajuritnya. Para prajuritnya tentu saja terperangah. Kaget, dan sebagian bahkan marah.
Setelah membakar semua perahu, Thariq berdiri di hadapan prajuritnya dan berkata, Di mana jalan pulang?
Laut ada di belakang kalian. Musuh ada di depan kalian. Mereka sudah siaga. Sementara, kalian tidak memiliki
bekal lain kecuali pedang, tidak ada makanan kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan musuh-musuh
kalian.

Dalam ilmu manajemen, apa yang dilakukan Thariq dikenal dengan istilah the burning platform. Dan, itu
pulalah yang dilakukan para change maker yang piawai kala dipercaya memimpin Transformasi.
Kebanyakan pemimpin mau tak mau harus menciptakan kondisi yang membuat semua orang tidak punya
pilihan lain, tidak bisa mundur lagi, sama seperti yang Thariq lakukan. Kalau mau bertahan hidup, Thariq dan
para prajuritnya hanya punya satu pilihan, yakni maju terus.

Begitu pula yang terjadi dengan kebanyakan perusahaan milik negara yang sarat politisasi. Kalau para
karyawannya ingin bertahan hidup, maka mereka harus maju membenahi bersama. Hanya itu pilihannya.
Masalahnya, apakah para aktivis kebijakan publik mengerti bahwa mereka bisa dipakai kaum resisten untuk
menaburkan peluru amarah mereka yang sedang kehilangan muka? Pilihannya hanya dua: bersekutu
dengan the losers yang resisten, atau memperkuat the winners agar menghasilkan transformasi yang berujung
kebaikan. Atau mungkin mereka berpikir ada opsi ketiga yang kita tak pernah tahu apa itu. Kala keributan
menjadi mahal, maka semua ada ongkosnya, dan tentu saja ada tukang catutnya.
Minggu, 24 Februari 2013

FLIP dan VUCA - Sindo 21 Februari 2013

Di sana gelap di sini terang. Ketika Eropa dilanda krisis, pengusaha Aksa Mahmud bisa memborong pesawat-
pesawat kecil yang dipakai untuk bisnis logistiknya menembus kota-kota terpencil di Papua. Susi Air juga
maju pesat, dari 22 pesawat carter kini sudah 45.

Di Hilman Restaurant yang asri di kantor pusat Susi Air di Pangandaran, suatu malam saya menikmati makan
malam bersama pilot-pilot muda Susi Air. Saya absen mereka satu persatu. Dua orang berkebangsaan
Spanyol, dan masing-masing satu dari Prancis, Belanda, Finlandia, Italia dan New Zealand. Muda, gagah,
disiplin dan sudah mulai mengerti bahasa Indonesia.

Mengapa mereka mau bekerja di Susi Air? Harap maklum, dari 700 pegawai Susi, 200 adalah berkebangsaan
asing. Jangan salah, gaji mereka tidak besar-besar amat, dibandingkan mahasiswa saya yang baru lulus
tentunya. Ada 2 hal, yang pertama mereka perlu jam terbang, dan pelatihan yang bagus (Susi Air memiliki
fasilitas pelatihan yang baik) dan kedua, yang lebih penting, negeri mereka sedang dilanda krisis yang
membuat mereka benar-benar menjadi generasi VUCA: Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity.
Lantas kalau Anda bertanya mengapa Susi Air tidak pakai pilot lokal saja, maka jawabnya adalah di sini
terjadi short supply. Pasokan pilot jauh di bawah kebutuhan industri jasa aviasi nasional yang melonjak tinggi
belakangan ini.

Lantas apakah generasi muda Indonesia yang sedang menikmati aneka gadget, gaya hidup, berangan-angan
jadi wirausaha hebat dan menikmati kemajuan ekonomi akan terbebas dari gejolak VUCA?

Pasca 2015
Benar investasi besar-besaran sedang banjir mendatangi Indonesia saat ini menyongsong pasar bebas Asean
bersama mitra-mitra dagang besar lainya di 2015. Indonesia telah dilirik sebagai ladang baru bagi investor
global. Kalau anda terbang rendah naik Susi Air dari Halim Perdanakusumah, anda bisa melihat secara kasat
mata. Geliat roda ekonomi tengah bergerak di kantong-kantong Industial Estate mulai dari Bekasi hingga
Purwakarta. Data-data di BKPM juga menunjukan kemajuan serupa di Jawa Tengah, Jawa Timur dan
propinsi-propinsi yang sudah siap lainnya.

Persaingan antara para pemberi kerja dan investor akan menjadi kenyataan di tahun ini. Sementara tahun
2015 indonesia akan memiliki presiden baru yang harus bertempur habis-habisan menegakan disiplin,
membuang tradisi asal bapak senang, menata kembali subsidi (yang kini banyak dihambur-hamburkan
kepada pihak yang tidak berhak), meremajakan birokrasi, memperbaiki mutu pendidikan, memperkuat
indrustri (dan menekan import), menjalankan komitmen moratorium ekspor tenaga kerja ke luar negri
(untuk sektor-sektor informal) terutama di kantong-kantong TKI, mengharmonisasikan hubungan pusat-
daerah, menghapus tumpang tindih yang begitu kuat antara satu kementrian dengan kementrian lainnya
(juga intra kementrian), menerapkan UU Aparatur Sipil Negara yang baru, menjalankan UU Pengolahan
sampah (yang harus sudah dijalankan sejak tahun ini), memperbaiki kualitas penegakkan hukum,
meningkatkan produksi pangan , mempercepat pembangunan infrastruktur, mengeksekusi mati penjahat-
penjahat narkotika, dan tentu saja memberantas korupsi.
Banyak juga ya PR nya?
Itu sebabnya Indonesia tidak lepas dari VUCA, sehingga akan ada banyak kejutan yang harus siap diantisipasi
sesaat setelah presiden baru terpikih. Sampai kini Anda belum tahu siapa calon terkuat kepala Negara,
apalagi kualitas mentri-mentrinya. Tetapi semakin mereka menunda masalah semakin besar Volatility
(dynamic change) dan Uncertainties yang harus dihadapi dunia usaha dan birokrasi. Apalagi bila
perekonomian Eropa membaik. Pilot-pilot asing akan kembali pulang, padahal dari kebutuhan 1200 1500
pilot baru setiap tahunnya, Indonesia hanya baru mampu menyediakan 100 150 orang. Belum lagi dana-
dana internasional yang begitu cepat berpindah. Jadi jauhkanlah diri anda dari pikiran kalau ekonomi
membaik semua pasti akan lebih baik. Sejarah mengajarkan kepada kita, ladakan-ledakan besar justru
banyak terjadi di tanjakan yang berat. Dan di sana akan ada banyak kendaraan-kendaraan yang terkapar,
mogok, bahkan harus ditarik ke belakang.

FLIP
Liz Guthridge, pakar VUCA memperkenalkan metode FLIP unuk mengantarkan generasi-generasi baru
menghadapi dunia VUCA. Ia mengatakan: If you stand still, youll fall behind. Movement alone, however, doesnt
guarantee success. Jadi diam saja tidak menyelesaikan masalah. Anda perlu mitra-mitra yang tepat dan bisa
menjadi komplemen yang tangguh.

FLIP adalah akronim dari: Focus, Listen, Involve, dan Personalize. Di abad VUCA ini, menurutnya, CEO-CEO dan
pemimpin yang berhasil adalah mereka yang mampu menfokuskan pikiran dan tindakannya pada sasaran
yang berdaya hasil tinggi (Focus), mendengarkan (Listen) pada siapa yang harus didengar (yang penting-
penting dan berdaya hasil tinggi), membangun keterlibatan yang luas dengan menghapus tradisi feodalisme
atau kebiasaan bekerja pada silo masing-masing (Involvement); dan menjalin percakapan penuh arti dengan
stakeholder secara personal, bahkan massal (Personalize).

Mungkin Anda mengatakan saya sudah FLIP kok, namun saya harus menyampaikan FLIP yang sudah Anda
jalankan mungkin tidak tepat. Telah banyak suara bising yang semuanya minta didengar di sini. Televisi saja
sering mengangkat isu-isu yang tidak penting, tetapi penuh drama sehingga seakan-akan sudah menjadi
masalah besar. Bayangkan, stasiun televisi berita (swasta, nasional) yang begitu besar saja menurunkan
berita pagi (pukul 06.00) dari Kota Medan tentang kebakaran sebuah bengkel kecil. Kalau kemampuan
reportase dan mengangkat berita para awak media saja masih seperti ini, bisa dibayangkan betapa kusutnya
persepsi kita tentang dunia yang kita hadapi. Demi kecil kita jadikan pegangan bahwa itu kemauan rakyat,
tuntutan orang luka batin kita anggap sebagai hal yang harus dimenangkan.

Saya juga memiliki banyak pengalaman pribadi dalam menerima umpan balik masyarakat dari tulisan-tulisan
yang saya angkat. Sebuah organisasi guru yang sangat vokal misalnya mati-matian menolak gagasan-gagasan
saya tentang perubahan pendidikan. Anehnya saya menduga pandangan mereka benar karena mereka adalah
kumpulan guru-guru. Mereka jugalah yang memberi umpan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
menghapuskan RSBI. Namun setelah saya dengarkan, dan pelajari ternyata mereka sebagian besar bukanlah
guru. Mereka hanya mewakili suara orang-orang iseng yang ingin eksis, ingin didengar, ingin terlihat pandai
namun mempunyai goresan-goresan tajam lukan batin yang tak jelas dari mana sumbernya. Mereka telah
menjadi alat kaum losers yang takut kehilangan proyek-proyek buku atau pelatihan-pelatihan yang
biasanya bisa didapat karena buruknya sistem pendidikan nasional. Tetapi demi impresi yang besar, orang-
orang seperti itu dibiarkan menjadi "member" aktif dakam beberapa organisasi guru. Bayangkan apa jadinya
bila pandangan oang-orang "sakit" diterima sebagai masukan penting oleh Mahkamah Konstitusi? Kalau para
pengambil keputusan sudah genit ingin jadi presiden, maka bukan masa depan lagi yang akan dibangun,
melainkan popularitas yang dapat dibaca dari "keras-tidaknya" aung-an kemarahan pada social media dan
social TV.
Jadi berhati-hatilah dalam berselancar di atas papan selancar FLIP. Pilih mana yang harus difokuskan,
bebaskan pemimpin dari kegenitan populos, pilih siapa yang harus didengar (dan perhatikan bahasa
mereka), bangun keterlibatan yang sehat, serta jalin hubungan personal (customize). Bersiaplah
memperbaharui kepemimpinan. Itulah FLIP untuk mengendalikan Volatilitas, Ketidakpastian, Kompleksitas
dan Keragu-raguan.

Susi Air - Jawa Pos 18 Februari 2013

Jeffri Van Novis bukan orang Belanda, melainkan aseli Minang. Di Pasar Aur Bukittinggi, Jeffri berjualan
celana dalam perempuan, mereknya Bonita, tetapi jangan salah, manusia tak bisa dinilai dari apa yang
dikerjakan hari ini, melainkan apa yang dipikirkannya. Uang bokek, dagangan kecil, lokasi terpencil bukan
ukuran kebesaran. Apa yang dipikirkan Jeffri adalah mendirikan perusahaan aviasi: Bonita Air.

Sudah jadi? Belumlah. Jeffri baru hijrah ke Jakarta 2 tahun ini, membuka outlet tiket pesawat terbang di
pasar Tanah Abang. Tetapi saat saya Tanya, ia selalu menjawab: masih menjadi passion saya. Jeffri sedang
mengumpulkan daya, tenaga dan modal untuk mewujudkan impiannya. Ia masih jungkir balik, berbeda
dengan rekan-rekannya yang langsung kaya dengan usaha kuliner yang mudah dibangun.

Hari Jumat kemarin saya mengunjungi kantor Susi Air di Pangandaran, menikmati terbang bersama pesawat-
pesawat carter milik ibu Susi Pudjiastuti. Dari bandara Halim ke Pangandaran, lalu terbang memakai pesawat
Caravan mendarat di lapangan rumput, beach strip, persis di tepi pantai. Apa bedanya Susi dengan Jeffri?
Yang jelas usianya. Yang satu duakali dari yang lain. Persamaannya? Keduanya sama-sama memulai dari
pasar. Susi dulu adalah bakul ikan yang membeli ikan-ikan basah dari nelayan di pasar Cilacap. Dengan
menyewa truk ia berhenti di Cirebob, lalu membawa ikan basah ke Jakarta. Hidupnya keras, tetapi cerdas.

Bersusah-susah Dulu
Di Banyuwangi juga ada seorang ibu, namanya Liza Lundin, aseli Banyuwangi. Juga pengusaha, hanya saja
bidangnya kapal-kapal laut tempur berteknologi tinggi berbahan komposit. Susi dan Liza sama-sama hebat.
Susi menikah dengan seorang Captain, ex. Pilot PTDI, berkebangsaan Swiss, sedangkan Liza menikah dengan
pria Swedia.

Semua yang besar berawal dari yang kecil-kecil, dari tepi-tepi pasar atau medan berkeringat dengan spirit
kewirausahaan yang tebal dan berani menjadi besar. Ya, besar itu berkaitan dengan teknologi, manajemen,
team ahli, pengetahuan, dan tentu saja modal. Bedanya dengan para pengeluh, mereka tak pernah marah-
marah saat kekurangan modal atau ditolak bank. Mereka selalu memperbaiki kepercayaan dengan kerja
keras. Yang besar adalah tekad dan pikiran mereka, bukan uang.

Susi Air memulai dari ikan basah. Dari situ ia punya mental menerobos yang tak kalah dengan kaum lelaki. Ia
menjadi pandai mengolah ikan, bahkan membuka restoran yang bersih dan enak di Pangandaran. Ia mengerti
betul, ikan bernilai tambah tinggi bukanlah ikan asin atau ikan mati, melainkan ikan hidup. Ikan hidup hanya
bisa diperdagangkan kalau ada pesawat dari kantong-kantong nelayan ke pasar tujuan. Itulah awalnya ia
menaruh perhatian pada pesawat. Bukan pesawat pnumpang, tetapi yang bisa angkut ikan hidup.

Pepatah mengatakan Kecerdasan dari pengetahuan baru berupa potensi belaka. Ia baru menjadi kekuatan
bila keduanya bertemu dengan pintunya. Susi membuka pintu restoran karena senang memasak. Di situ ia
bertemu orang yang kelak menjadi mitra usahanya. Ia mendatangi Bank, mengetuk pintu mereka selama 4
tahun. Namun begitu kredit cair, niatnya mengangkut ikan dari Aceh berubah saat Aceh dilanda gelombang
Tsunami. Bersama suaminya mereka menggunakan pesawat yang baru didapat kredit perbankannya itu
untuk kegiatan humanitarian di Aceh.

Di luar dugaan, saat misinya selesai di Aceh, LSM-LSM Internasional justru meminta agar pesawatnya bisa
dicarter. Sebuah pintu dibuka, pintu-pintu lainnya pun terbuka. Dari humanitarian effort dan dari angkutan
ikan menjadi armada carter yang bagasinya bisa diisi lobster hidup. Dari 1 pesawat, menjadi 2, kini menjadi
45, justru di saat Adam Air bangkrut, Batavia Air dipailitkan, atau bahkan saat SQ menghentikan direct flight
(nonstop services) Singapore-Newyork yang merugi (Oktober 2012). Belajar dari Susi, Liza dan Jeffri saya
hanya ingin mengatakan, usaha itu ada tahapannya, dan setiap pertemuan selalu memberikan input untuk
digeluti. Anda tak akan pernah tahu kemana muara ini akan berakhir, tetapi tahu semua langkah pasti ada
muaranya.

Entrepreneur muda harus bisa lebih gigih membanting diri di bawah, jangan cepat-cepat membeli
kemewahan padahal usaha masih sekedar gerobak di kaki lima yang di franchise kan. Lebih beranilah untuk
ber-evolusi menjadi besar, berani memulai usaha yang banyak menyita pikiran dan pengetahuan, dan berani
membuka pintu. Itu yang saya pelajari dari Jeffri, Susi dan Liza. Siapa takut?.

Minggu, 24 Februari 2013

Generasi Vuca - Sindo 14 Februari 2013

Pernahkah anda memperhatikan gaya berfoto antar generasi? Kemarin (13/2 2012) di PT Indocement, dalam
forum Generation Gap, direktur SDM dan pengembangan usaha Wijaya Karya, Tony Warsono menunjukkan 2
buah foto. Foto pertama adalah generasi telefon pintar yang lahir pasca 1980-an dan direkrut perusahaan
setelah 2006. Foto kedua adalah kumpulan para senior yang direkrut jauh sebelum krisisi moneter 1997.
Sebut saja generasi telefon. Ya, telefonnya telefon rumah, just a telephone. Atau kadang juga disebut generasi
komputer, atau Gen X. Lahir setelah tahun 1960-an.

Generasi telefon pintar saat diminta bergaya bebas terlihat sangat ekspresif, lepas, riang dan benar
benar bergaya bebas dengan gerakan tangan, mulut, dan badan yang merdeka. Sebaliknya, saat diminta
bergaya bebas, generasi telefon ternyata benar benar jadul. Kaku, tidak ekspresif, dengan gerakan tangan
yang terbatas. Paling-paling cuma sekedar angkat jempol. Entah karena umur, agak jaim, atau memang sejak
sekolah dibelenggu oleh banyak aturan yang menyebabkan menjadi generasi pasif yang menunggu, tak
banyak pilihan dan menghadapi banyak resiko. Beda benar dengan generasi telefon pintar yang dibesarkan
dalam iklim demokrasi yang lepas, banyak pilihan, penuh keberanian dan kebebasan.
Lantas apa hubungannya antara gaya berfoto dengan produktifitas kerja? Benarkah beda generasi telah
menjadi sebuah masalah bagi bangsa ini?

Empat Generasi
Di harian Kompas, Minggu lalu saya menjelaskan adanya 4 generasi yang menjelaskan mengapa kurikulum
baru disambut dengan berbagai pandangan. Adalah keyakinan saya, jurang antar generasi tak dipahami oleh
para pemikir pendidikan. Keempat generasi itu adalah generasi kertas-pensil (lahir sebelum 1960), generasi
telefon/komputer (lahir 1960-1970), generasi internet (lahir 1970-1980), dan generasi ponsel pintar (lahir
setelah 1980). Tentu saja selain masalah beda generasi, kita juga membedakan mana pandangan orang yang
mengerti masalah, yang senang melihat masalah, dan mana yang ingin mengatasi masalah.

Sebuah gap yang dulu terjadi tanpa perbedaan yang jelas, sekarang justru menjadi masalah besar. Anda
mungkin masih ingat, ketika apa yang dimainkan di rumah sama dengan yang dimainkan di sekolah. Misalnya
saja mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali, juga menjadi mainan di sekolah. Anak- anak perempuan bermain
boneka dengan dakocan yang kulitnya hitam gelap atau boneka barbie di rumah, juga di sekolah.
Masa emas itu kini telah berlalu. Apa yang mereka mainkan di rumah (video dan electronic games) kini tak
boleh lagi dibawa ke sekolah. Oleh generasi kertas-pensil dan generasi telefon, video game dianggap kurang
mendidik. Jangankan video games, kalkulator saja adalah pembodohan, sedangkan sekolah internasional yang
berbahasa Inggris, dinilai melanggar Sumpah Pemuda.

Begitulah generasi tua mendidik anak-anaknya. Selalu melihat dari kaca mata generasinya. Bagi generasi tua,
Indonesia itu gemah ripah loh jinawi, negri kaya raya, tetapi feelingnya adalah sebuah tragedi kemiskinan.
Bagi mereka, penduduk Indonesia masih miskin sehingga wajar dikasihani, diberi listrik yang murah, bensin
subsidi, sekolah gratis. Sedangkan bagi generasi muda, Indonesia adalah sebaliknya. Alamnya sudah habis
dikuras dan dikorupsi. Hutannya sudah gundul. Tanahnya sudah dikorek habis. Bagi generasi ponsel pintar,
Indonesia adalah negri dengan jumlah orang kaya yang fantastis. Alamnya miskin, tetapi orangnya kaya-kaya.
Jadilah generasi yang bingung: diberi subsidi oleh negara tetapi malah dipakai buat foya-foya, sedangkan
yang dari swasta, kalau semakin mahal, semakin diburu. Tak bisa sekolah internasional di sini, ya pindah ke
luar negri. Guru bilang A, murid melakukan B. Sekolah mengutamakan angka nilai dan otak kiri, tetapi
mereka mengembangkan ketrampilan lapangan dan otak kanan.

Gap ini bukan lah ilusi. Tetapi terjadi sungguhan. Seperti anda ketika ditanya orang tua apa cita-cita mu
kelak ke depan nak? Maka jawabannya adalah nama-nama fakultas seperti dokter, ekonomi, psikologi,
lawyer, sastrawan atau seniman. Semuanya ada fakultasnya. Tetapi bila hal serupa anda tanyakan pada anak-
anak sekarang maka anda akan terbengong-bengong sebab mayoritas keinginan mereka tidak atau belum ada
nama fakultasnya disini. Ada yang mau jadi sutradara film, fashion desainer, pelukis, fotografer, perancang
pesawat perbang, pembuat robot ruang angkasa, atau bahkan juru masak, social entrepreneur, atau
artpreneur.

Kegelisahan Ahok
Ahok, wakil gubernur DKI, bukanlah generasi kertas, ia dilahirkan pada tahun 1966, jadi ketika ia dewasa ia
merasakan nikmatnya komputer, lalu memakai internet belakangan. Tetapi Ahok gamang saat melihat
pegawai-pegawai nya yang masih muda (mungkin generasi ponsel pintar) justru membuat notulensi dengan
pensil (bolpoin) dan kertas, bukan langsung menulis di laptop. Ahok pantas berang, sebab setiap tahun
pegawai-pegawai itu mengajukan permintaan anggaran untuk membeli laptop.

Laptop di depan meja, tetapi tulisnya tetap saja di kertas. Ini benar-benar pemborosan. Tetapi para
eksekutif yang menjadi mentor untuk menjembatani generation gap mengajukan usul lebih jauh dari Ahok.
Jangan suruh orang lain menjadi notulis. Kita saja, pemimpin, harus bisa langsung menulis report di depan
mata, di komputer, yang langsung bisa di share melalui internal media, Inilah yang disampaikan oleh
sejumlah eksekutif. Memang ini merepotkan. Bagi saya saja repot, apalagi bagi kita yang sudah biasa dilayani.
Kegelisahan Ahok harusnya tidak boleh sekedar menjadi tontonan di Youtube atau TV saja,
melainkan juga signal bagi kita semua. Apa yang dialami Ahok adalah realita generation gap yang diakibatkan
oleh pembekuan yang dilakukan hampir semua lembaga dan badan pemerintah di era krisis moneter. Bukan
main, 7-8 tahun freezing merekrut pegawai antara 1997-2006, bahkan beberapa lembaga birokrasi
melakukan zero growth berkali- kali. Di banyak perusahaan, bahkan bukan Cuma freezing, melainkan juga
PHK. Maklum SDM ada dalam komponen biaya. Apa akibatnya? Kumpulan orang tua menguasai lembaga.
Kalau saya lihat, pegawai yang dimarahi Ahok itu rasanya dari wajahnya berkisar masuk pada Generasi
Telefon Pintar. Tetapi mengapa ia tak memakai laptop langsung? Pengalaman saya menemukan, dalam
konteks generation gap, kaum muda yang dinamis akan menjadi sama dengan seniornya, terbelenggu dan tak
ada bimbingan untuk menegakkan aura generasinya yang memberikan kekuatan kreativitas dan teknologi
yang besar.

Jadi generasi muda di banyak lembaga dan dunia usaha kita porsinya sudah tinggal sedikit, sedangkan
generasi tua begitu banyak. Sudah banyak, mereka menguasai pangkat teratas. Itulah yang disebut band
Slank sebagai feodalisme. Salah satu baik lirik lagu itu berbunyi begini:
Salah ngga salah, sama atasan selalu diturutin.
Maunya seumur hidup minta-minta dihormatin.....
......
Benar-ngga benar yang lebih tua
Sudah pasti benar
Suruh menyuruh, larang melarang
Dia-dia yang paling benar....

Jadi, sekarang jelas mengapa reformasi birokrasi susah, biaya perjalanan dinas terus membengkak
kendati peningkatan kesejahteraan PNS tidak terjadi, atau kendati rapat pakai BB Group, Skype, Kakao atau
pakai Line saja sudah cukup. Juga mengapa protokoler dimana-mana dominan. Kalau sudah begitu,
bagaimana kita mau memperbaiki pelayanan dan kecepatan? Bagaimana perusahaan lokal mau
mendapatkan kualitas SDM kaum muda yang lebih bagus? Tahun ini ribuan perusahaan asing berdatangan ke
sini bersiap-siap menyambut pasar bersama Asean 2 tahun lagi. Rebutan tallent sudah pasti. Sedangkan para
manager dari negara yang tak terbelenggu feodalisme, selain atasan berani turun langsung ke bawah, bahkan
melakukan wawancara di bursa-bursa tenaga kerja, memutuskan dengan cepat sendiri ke bawah. Kala
feodalisme merajalela, atasanlah sasaran pelayanan, mereka sulit turun ke bawah. Dan pantaslah
produktivitas terganggu.

Potensi besar generasi baru itu perlu didampingi oleh mentor-mentor hebat, karena mereka punya
kekuatan menembus batas yang mengalahkan kekuatan generasi di atasnya. Mereka kini disebut juga
sebagai generasi VUCA, yang dibesarkan dalam lingkungan yang Volatile, Uncertain, Complex dan Ambiguous.
Artinya, mereka generasi tahan banting dan adaptif ditempa dalam pergulatan yang cair dan tidak pasti tapi
punya kemembalan, daya penetrasi yang kuat dan lincah bergerak.

Jadi bagaimana sistem pendidikan yang dikomentari kaum tua yang kolot yang masih berpikir hanya
dirinya yang benar? Bagaimana reformasi birokrasi? Bagaimana meremajakan partai-partai politik dan
sekaligus meluruskan makna subsidi dan sosial? Semua hanya bisa dilakukan kalau jembatan antara generasi
segera dibangun. Yang tua sadar untuk memberi ruang bagi kaum muda untuk maju, yang muda tetap
respek, tapi yang jelas negri ini butuh manusia yang kaya perspektif. Bukan orang yang merasa paling benar,
padahal ada kacamata kuda di wajahnya.

Kamis, 14 Februari 2013

Cameragenic dan Auragenic - Jawa Pos 11 Februari 2013

Tak dapat dipungkiri bahwa televisi telah menjadi aktor penting yang mengubah peradaban manusia
Indonesia 20 tahun terakhir ini. Harus diakui bahwa bangsa ini belajar demokrasi versi tv, ketimbang versi
akademis. Melalui televisi pula, manusia Indonesia melompat ke peradapan modern, mulai dari kartu kredit,
ATM, sepeda motor sampai pulsa telefon. Dan, harus diakui sejarah pembentukan brand tidak pernah luput
dari televisi. Seseorang yang belum tampil dan menjadi perhatian publik di televisi, belum menjadi "brand".

Demikian pula dengan hasil-hasil karya kewirausahaan, belum menjadi "brand"-kendati sudah mempunyai
logo. Namun tampil ditivi, tanpa aura positif dan content yang kuat, hanya akan menjadi gunjingan.
Dalam buku Camera Branding, saya menyinggung pula kehadiran brand kuat yang tak bisa lepas dari person
tertentu. Siapa misalnya yang bisa memisahkan Microsoft dari Bill Gates, atau Apple dari Steve Jobs. Atau
siapa yang bisa memisahkan Maspion dari Alim Markus, Mustika Ratu dari Moryati Soedibyo, Garuda
Indonesia dari Emirsyah Satar, dan seterusnya. Peradapan social tv tidak hanya menyuarakan product atau
corporate branding, melainkan juga personal branding.

Indonesia memiliki banyak ekonom, tetapi mengapa yang branded hanya dua-tiga nama. Demikian pula
fisikawan, sejarawan, sosiolog, psikolog, lawyer, bahkan ustaz, ulama, ahli tafsir dan seterusnya. Jutaan anak
muda di seluruh dunia saat ini bukan lagi sekedar bekerja atau berwirausaha, melainkan membangun brand.
Mereka tak mau lagi diperbudak oleh perangkap komoditi seperti yang dihadapi Negara-negara
berkembang yang produk buatannya hanya dihargai $1-$10, sementara barang yang sama yang dibangun
brand-nya bisa dihargai 4 hingga 50 kali lipat. Dalam Camera Branding, ada dua kekuatan yang harus
dibangun yaitu cameragenic dan auragenic.

Cameragenic
Karena gambar ditangkap dengan mata oleh pemirsa televisi di rumah, maka setiap objek yang tampil
di televisi harus atraktif. Atractiveness akan menentukan apakah pemirsa ingin terus melihat atau cepat
merasa bosan. Pemilihan warna, penampilan yang tidak membosankan, setting panggung yang menarik dan
cara berpakaian yang tidak berlebihan, serasi harus menjadi perhatian. Bila cameragenic mengesankan
atraktif secara fisik dengan tingkat familiritas yang memadai (berkali-kali ditampilkan dengan beberapa
penyegaran), maka satu hal yang sering dilupakan generasi muda saat ini adalah auragenic.

Auragenic
Auragenic adalah apa yang dirasakan pemirsa. Auragenic tidak bisa didapat dari objek yang diam.
Karena televisi mendeteksi gerakan, maka ia menciptakan interaksi. Dalam interaksi itu dibentuk rasa,
apakah orang lain merasa nyaman atau tidak dengan kehadiran diri atau produk anda. Aura adalah sesuatu
yang keluar dari interaksi itu.

Apa saja sumbernya?


Aura bersumber dari sifat yang dibawa oleh seseorang. Bila seseorang berpandangan dan
berperilaku negative, maka ia dapat menimbulkan aura negative. Demikian pula sebaliknya. Jadi pertama-
tama adalah aura yang berasal dari pikiran seseorang, yang dikendalikan atau tidak. Orang-orang yang
memiliki auragenic biasanya menekan sikap-sikap negatif yang ada pada dirinya: merasa diperlakukan tidak
adil, menyimpan dendam, tidak terpilih, rasa dikalahkan, iri hati, arogansi, menuntut perhatian berlebihan,
dan seterusnya.

Dari sikap seseorang pulalah sebuah naskah iklan dihasilkan. Orang-orang beraura negatif akan
menghasilkan iklan-iklan yang provokatif, yang menganggap dirinya atau produknya lebih baik, namun
menimbulkan antipati publik. Dan produk yang demikian hanya akan diterima oleh orang-orang dengan aura
yang sama.

Auragenic juga terwujud dari reaksi seseorang terhadap ucapan-ucapan orang yang ada disekitarnya. Apakah
dari host, nara sumber lainnya, atau telepon yang masuk. Ini akan tampak dalam bagaimana seseorang
merespons pertanyaan, komentar melalui ucapan, intonasi, getaran tangan, atau bahasa tubuh lainnya.
Seseorang yang secara atraktif belum tentu memiliki auragenic yang kuat, demikian pula sebaliknya.
Melatih aura harus dimulai dari pikiran yang jernih, objektif yang jelas dan bersih, self awareness yang kuat
serta self confidence yang memadai.

Baik cameragenic maupun auragenic bisa dipelajari dengan memperhatikan bagaimana para aktor menguasai
seni peran. Belajarlah dari tokoh-tokoh yang disukai dan jauhkanlah televisi atau layar tweeter anda dari
pesan-pesan orang yang memiliki luka batin, sebab aura negatif mereka akan ikut membentuk anda.

Kamis, 14 Februari 2013

Guru dan Perubahan - Kompas 7 Februari 2013

Tak dapat disangkal, guru merupakan sosok penting yang mengawal perubahan di awal abad XXI.

Guru berpikir jauh ke depan, bukan terbelenggu ilmu masa lalu, sebab tak banyak orang yang melihat anak-
anak telah hidup di sebuah peradaban yang berbeda dengannya. Sementara kurikulum baru yang belum
tentu sempurna sudah dihujat, kaum muda mengatakan kurikulum lama sudah tidak relevan mengisi masa
depan mereka.

Untuk pertama kali dalam sejarah, dunia kerja dan sekolah di- isi empat generasi sekaligus, generasi kertas-
pensil, generasi komputer, generasi internet, dan generasi telepon pintar. Terjadi celah antargenerasi, tulis
dan temui saya (generasi kertas), telepon saja (generasi komputer), kirim via surel (generasi internet),
tetapi generasi terbaru mengatakan, Cukup SMS saja. Yang tua rapat dengan perjalanan dinas, yang muda
pakai skype.

Generasi kertas bersekolah dalam sistem linier terpisah-pisah antarsubyek, sedangkan kaum muda belajar
integratif, lingkungannya dinamis, bersenang- senang, dan multitasking. Sekolah bahkan tidak lagi
memisahkan kelas (teori) dari lab.

Lewat studinya, The Institute for the Future, University of Phoenix (2012), menemukan, kaum muda akan
mengalami usia lanjut yang mengubah peta belajar dan karier. Mereka pensiun di usia 70 tahun, harus
terbiasa dalam budaya belajar seumur hidup dan merawat otaknya. Generasi yang terakses jaringan TI bisa
lebih cepat dari orangtuanya merencanakan masa depan. Pandangan mereka sama sekali bertentangan
dengan celoteh kaum tua di media massa atau suara sumbang yang menentang pembaruan. Ketika guru kolot
yang baru belajar Facebook mengagung-agungkan Wikipedia, kaum muda sudah menjelajahi literatur terbaru
di kampus Google.

Saat orang tua berpikir kuliah di fakultas tradisional (hukum, ekonomi, kedokteran), generasi baru
mengeksploitasi ilmu masa depan (TI kreatif, manajemen ketel cerdas, atau perdapuran kreatif). Cita-citanya
menjadi koki, perancang busana, atau profesi independen lain. Ketika geologiman generasi kertas
menambang di perut bumi, mereka merancang robot-robot raksasa untuk menambang di meteor. Bila
eksekutif tua rindu diterima di Harvard, generasi baru pilih The Culinary Institute of America.

Bahasa dan fisika

Sulit bagi generasi kertas menerima pendidikan yang integratif. Bagi kami, fisika dan bahasa adalah dua
subyek terpisah, beda guru dan keahlian. Satu otak kiri, satunya otak kanan. Kita mengerti karena dibesarkan
dalam rancang belajar elemen, bukan integratif. Dengan cara lama itu, bingkai berpikir kita bahasa diajarkan
sarjana sastra, fisika diajarkan orang MIPA. Dari model sekolah itu wajar kebanyakan aktuaris kurang
senyum, ilmunya sangat serius, matematika. Namun, saat meluncurkan program MM Aktuaria minggu lalu,
saya bertemu direktur aktuaria sebuah perusahaan asuransi lulusan Kanada yang punya hobi melukis dan
mudah senyum. Mengapa di sini orang pintar susah senyum?

Sewaktu mengambil program doktor, saya menyaksikan Gary Stanley Becker (Nobelis Ekonomi, 1992)
menurunkan rumus matematika Teori Ekonomi Kawin-Cerai dengan bahasa yang indah. Mendengarkan
kuliahnya, saya bisa melihat dengan jelas mengapa pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa membuat
keluarga-keluarga Indonesia berevolusi menjadi orangtua tunggal.

Rendahnya komunikasi dan pengambilan putusan dalam pen- didikan dasar jelas akan membuat generasi
baru kesulitan meraih pintu masa depannya. Di Jepang, seorang kandidat doktor asal Indonesia digugurkan
komite penguji bukan karena kurang pandai, melainkan buruk bahasanya. Ia hanya pakai bahasa jari dengan
kalimat from this, and then this , this, this, and proof. Waktu saya tanya, para penguji berkata,
Sahabatku, tanpa bahasa yang baik, orang ini tak bisa ke mana-mana. Ia harus belajar berbahasa kembali.

Tanpa kemampuan integratif, kemampuan kuantitatif, anak- anak pintar Indonesia tak akan mencapai
impiannya. Jadi, kurikulum mutlak harus diperbaiki. Jangan hanya ngomel atau saling menyalahkan. Ini saat
mengawal perubahan. Namun, catatan saya, Indonesia butuh life skills, yakni keterampilan melihat
multiperspektif untuk menjaga persatuan dalam keberagaman, assertiveness untuk buang sifat agresif, dan
asal omong dalam berdemokrasi. Indonesia butuh mental yang tumbuh, jiwa positif memulai cara-cara baru,
keterampilan berpikir kritis melawan mitos, dan metode pengajaran yang menyemangati, bukan budaya
menghukum dan bikin bingung.

Inilah saat guru dan orangtua berubah. Dimulai dari kesadaran, dunia baru beda dengan dunia kita. Cara
berpikir kita harus bisa mengawal anak-anak jadi pemenang di akhir abad XXI dengan rentang usia jauh lebih
panjang.

Kamis, 14 Februari 2013

Menuai Masalah di Hari Esok - Sindo 7 Februari 2013

Tidak ada yang menyangkal bahwa mayoritas orang yang tinggal di daerah perkotaan Indonesia saat ini
telah menikmati kehidupan yang jauh lebih baik. Apalagi bila anda kalangan kelas menengah. Bensin
murah, listrik bisa dicuri, uang negara atau uang perusahaan bisa dengan mudah dipat-gulipatkan,
penjualan naik terus, berwirausaha banyak yang mendukung, mau jadi presiden tinggal berucap, marah
mudah, bebas berbicara, bahkan pelaku korupsi pun bisa memberi keterangan pers sambil tersenyum.
Sekalipun harga pangan sudah termahal di dunia, kita bisa tetap makan enak. Dan meski harga properti
naik terus, pembelinya tetap banyak.

Dengan segala kenikmatan itu, perilaku orang Indonesia telah berubah dalam segala sektor kehidupan.
Penjualan sepeda motor di akhir tahun 2012 turun, konon karena kebijakan Bank Indonesia (15/3/2012)
tentang batas minimal uang muka kredit. Namun penjualan mobil (2012) naik cukup signifikan.
Demikian juga jumlah wisatawan asal Indonesia yang berkunjung ke luar negeri, meningkat pesat.
Mereka yang terbang dari Bandara Soekarno Hatta melonjak terus, dari 50 jutaan menjadi 60 jutaan,
tanpa fiscal, dengan tarif pesawat low cost. Bahkan orang tua yang pasca krisis moneter (1997-1998)
menarik anak-anaknya dari luar negeri, kini mulai kembali menyekolahkan anak-anaknya ke Singapura,
Australia, Eropa, dan USA. Di Paris saja, saya menyaksikan 30% dari pelancong yang berburu tas-tas
bermerek adalah pelancong asal Indonesia, mereka berburu tas-tas mewah yang harganya di atas Rp. 15
juta rupiah.

Signal Tanjakan atau Turunan


Setiap kali seseorang merasa jalannya enak, maka satu hal yang pasti tengah terjadi: Kita tengah
melewati jalan yang menurun. Dan sebaliknya, di Eropa dan Amerika Serikat, saat krisis menekan hidup,
sesungguhnya mereka tengah bekerja keras menelusuri jalan tanjakan yang berat.
Mereka yang berada dalam lingkungan ekonomi yang berat itu adalah buah dari apa yang ditanam oleh
para pemimpin yang berkuasa di zaman tersenyum. Pemimpin-pemimpin yang berkuasa di era yang sulit
adalah pemimpin yang memimpin untuk dinikmati hari esok. Jaringan televisi CNN belum lama ini
misalnya menurunkan liputan gaya hidup Haruka Nishimatsu, CEO JAL yang memimpin dengan berbagai
fasilitas jauh dari yang bisa dinikmati rata-rata CEO Indonesia.

Haruka Nishimatsu berangkat ke kantor dengan bis pegawai, tak ada sopir pribadi, tas dibawa sendiri,
tak ada protokoler yang mengawal, duduk di kelas ekonomi, makan siang bersama pegawai di kantin
kantor dengan menu siap saji seperti yang bisa dinikmati rata-rata pegawai.
Video itu dengan cepat menjadi bahan diskusi di antara para eksekutif di negara-negara yang matahari
ekonominya masih bersinar terang, termasuk di sini, Korea, China, Mexico, India dan Brazil. Bagi CEO-
CEO seperti itu, kerja keras diperlukan untuk mewariskan kebaikan pada pemimpin dan generasi
berikutnya.

Hal serupa sebenarnya juga dilakukan oleh para kepala negara yang memimpin dalam ekonomi yang
sulit. Obama berjuang memangkas biaya perang dan memperbaiki sistem jaminan hari tua dan
kesehatan. Istrinya menjadi role model untuk merubah gaya hidup warga negaranya, mulai dari
pendidikan hingga obesitas. Mereka berupaya keras mengurangi aneka kenikmatan, dan memperbaiki
corporate governance di sector keuangan.

Demikian juga dengan pemimpin-pemimpin di benua Eropa. Mereka memperbaiki mata rantai produksi,
meningkatkan nilai dari produk-produk dan jasa yang dihasilkan, memperbaiki produktivitas,
mengembalikan kepercayaan, mempercepat pengambilan keputusan, mengurangi subsidi dan
memperbaiki infrastruktur.

Lantas apa yang dilakukan para CEO dan kepala-kepala negara di negri yang tengah merasa sedang
kaya?. Tentu saja ada 2 macam pemimpin. Ada pemimpin yang sadar betul bahwa mereka tengah
hidup di era uncertainties yang tidak bisa diatasi dengan bersenang-senang sepanjang waktu dan ada
yang senang menunda masalah.

Menunda Masalah
Ya, pemimpin erat hubungannya dengan masalah. Dan untuk itulah mereka harus mengambil
keputusan. Pilihannya hanya ada 2: Bergelut dengan, atau menundanya. Orang-orang yang bergelut
melawan masalah adalah petarung yang tak mudah mengalah terhadap masalah, melibatkan diri secara
mendalam, dan membuat rencana-rencana tindak yang tegas.

Sebaliknya pemimpin yang menunda masalah tidak berkeinginan menyelesaikan masalah di era mereka.
Mereka justru berkolaborasi untuk menunda penyelesaian aneka masalah yang dapat menyengsarakan
generasi muda, membuat mereka mabuk subsidi, berani berhutang, membiarkan korupsi menjadi
budaya.
Mari kita bercermin apa yang tengah terjadi di negeri ini. Ekonomi bagus sekali. Semua elit tengah
menari dan meng-entertain subsidi untuk kalangan yang bersuara lantang, membiarkan korupsi
berlarut-larut, kemiskinan hanya dijadikan retorika, infrastruktur sudah menjadi agenda namun tidak
diorkestrasikan, buruh-buruh dijadikan alat gerakan politik, ketika harga pulsa telefon naik kita tidak
ribut, namun saat tarif parkir atau tarif kereta api dinaikkan seribu rupiah saja bisa jadi berita besar;
sekolah internasional dilarang; kurikulum baru dihujat; koruptor berpura-pura sakit namun bisa
menggerakkan demo; sepakbola dijadikan alat berjudi; pembawa acara televisi dibebaskan berceloteh
dengan bahasa banci dan kata-kata kotor; rektor yang korup dibela kawan-kawannya; pintu impor
dibuka lebar-lebar dibiarkan mematikan ekonomi rakyat, dan seterusnya.

Yang di atas menari, di tengah mengunci, di bawah resistensi. Saya tak bisa membayangkan siapa yang
akan sanggup menjadi presiden negeri ini setahun dari sekarang. Penyanyi dangdut, pengacara yang
suka bersensasi, politisi yang terbiasa berpolitik uang, pengusaha yang punya masalah besar, tentara
yang dimusuhi teman-temannya, atau entahlah siapa yang punya keberanian menegakkan benang-
benang yang tampak sudah membasah ini. Atau jangan-jangan mereka hanya akan menghibur kita,
menenangkan hati, atau mungkin karena mereka sama sekali tidak mengerti persoalan-persoalan besar
yang tengah kita hadapi.
Betapa kejamnya generasi yang memimpin dengan membuang-buang waktu. Menunda masalah adalah
membuat masalah menjadi besar. Siapkah generasi telefon pintar menghadapinya? PR nya banyak lho!

Senin, 04 Februari 2013

MM Aktuaria - Sindo 31 Januari 2013

Ketika sebagian besar lulusan universitas mengambil bidang-bidang yang general, profesi-profesi baru
yang lebih spesifik justru bermunculan. Siapa yang menyangka profesi berbayaran tinggi sekarang
diidamkan oleh para spesialis.

Ambil saja contoh profesi aktuaris dan geologis yang sangat kurang diminati. Bukan karena prospeknya
tidak bagus, tetapi mungkin ketidaktahuan atau kurangnya minat belajar yang ilmunya sedikit agak sulit
ketimbang ilmu-ilmu sosial pasaran yang modalnya cukup membaca, menghafal atau analisis sederhana.
Menjadi aktuaris dan geologis membutuhkan keahlian menghitung dan science yang tinggi. Padahal
anak-anak Indonesia sejak kecil sudah dilatih dengan kemampuan matematika yang advance. Mengapa
anak-anak yang sekolah dasar dan menengahnya sudah diberi beban yang sangat berat dengan
matematika dan fisika itu justru tak bermuara pada bidang-bidang studi berbasis ilmu yang penting itu?

Kurang Pasokan
Kurangnya pasokan geologis sudah lama dirasakan sehingga wajar bila perusahaan-perusahaan
minyak dunia, termasuk dari Qatar dan Malaysia sering beriklan mencari SDM dan "membajak" mereka
dari perusahaan perusahaan migas disini. Sudah lulusannya sangat terbatas, yang sudah ada saja masih
dibajak. Memang pekerjaan mereka bisa jauh dari kota dan keluarga, tetapi bayaran yang diterima
sangat tinggi. Bisa sepuluh kali lipat dari rata-rata sarjana bidang ilmu lainnya.

Di sisi lain, untuk menjadi aktuaria, seorang ahli tidak harus bekerja di daerah pedalaman atau di lautan
lepas seperti geologist. Aktuaris bekerja di sektor keuangan, khususnya asuransi dan dana pensiun.
Dengan latar belakang matematika, fisika atau engineering atau juga financial economics, mereka bisa
menjadi aktuaris yang tangguh. Aktuaris adalah tenaga ahli yang mengaplikasikan matematika dalam
bidang keuangan, dengan menghitung besarnya resiko yang akan terjadi di kemudian hari.

Dengan begitu dibutuhkan keahlian membaca peta ekonomi makro, statistik dan accounting. Apalagi
kalau ini berkaitan dengan produk-produk asuransi yang resikonya harus diukur yang berbeda dari satu
kasus ke kasus-kasus lainnya. Dalam asuransi jiwa, hal ini menjadi lebih kompleks karena berhubungan
dengan tradisi menjaga kesehatan, dan demografi. Dan dalam dunia perasuransian Indonesia, ada
Surat Keputusan Menteri Keuangan (Nomor 426/KMK.06/2003) yang mewajibkan setiap perusahaan
asuransi jiwa untuk mengangkat aktuaris yang memiliki kualifikasi yang ditetapkan dan disertifikasi
oleh Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI). Dan diijinkan pula pemegang sertifikasi dari asosiasi sejenis
luar negeri yang terdaftar sebagai anggota penuh International Association of Actuaries.

Dengan melihat langkanya jumlah aktuaris yang dapat menghambat pertumbuhan industri
asuransi Indonesia, Minggu lalu MMUI yang saya pimpin membuka program MM aktuaria. Bukannya
apa-apa. Data dari PAI (Perusahaan Aktuaria Indonesia) menunjukkan negeri ini butuh sekitar 600-an
aktuaris. Namun yang tersedia baru 170-an. Itupun, menurut alumnus kami yang menjadi ketua PAI,
Budi Tampubolon, setiap tahun selalu ada anggota yang pensiun atau meninggal dunia. Kalau MMUI
meluluskan 20 orang saja setahunnya, dalam 10 tahun, sudah pasti kebutuhan itu belum terkejar.
Memang ada program S1, tetapi proses ujian untuk menamatkan status sebagai Fellow Society of
Actuaries of Indonesia (FSAI) membutuhkan waktu yang panjang. Hanya memiliki keahlian menghitung
(matematika) saja ternyata belum mencukupi.

Padahal kebutuhan aktuaris di Indonesia terasa semakin meningkat. Saat ini industri asuransi
jiwa Indonesia terus mengalami pertumbuhan. Apalagi 2-3 tahun lagi diramalkan pendapatan perkapita
masyarakat Indonesia akan menjadi $6.000, Deutche Bank bahkan meramalkan GDP Indonesia akan
menjadi kekuatan ke 6 dunia pada tahun 2030, mengalahkan Jerman. Kalau Anda rajin berkeliling
Indonesia Anda akan terheran-heran, dimana-mana kelas menengah baru memenuhi bandara, hotel,
tempat-tempat rekreasi, sekolah-sekolah internasional dan seterusnya.

Pertumbuhan kelas menengah yang tinggi ini mengakibatkan dunia perasuransian tumbuh terus.
Para CEO perusahaan asuransi asing yang saya temui brlakangan ini mengakui ruang besar untuk
tumbuh hanya ada disini. William Kuan, CEO Prudential Indonesia misalnya, tak melihat ruang
pertumbuhan industri perasuransian di Singapore, atau Inggris sekalipun. Itu sebabnya Indonesia harus
terus memperbarui sistem pendidikannya. Bayangkan saja, industri asuransi jiwa Indonesia baru sekitar
1,3% dari GDP. Padaha l Malaysia-Singapura dan Thailand sudah sekitar 3-4%, Jepang 10% dan di
Amerika Serikat sudah di atas 10%.

Dunia asurans i Indonesia tumbuh karena pergerakan ekonomi dan saya yakin dapat tumbuh
lebih besar lagi bila pemerintah mengeluarkan paket-paket regulasi yang membuat industri ini lari lebih
kencang. Di Amerika Serikat sendiri industri ini tumbuh karena digerakkan peraturan-peraturan pada
level state dan county. Bahkan untuk merayakan pesta di taman saja, panitia harus membeli asuransi.
Belum lagi profesi-profesi tertentu yang rawan dituntut oleh pengacara-pengacara yang lihai. Ada
berita oang terpeleset saja, atau pahanya tersiram air panas minuman di sebuah restauran, sebuah
tuntutan hukum segera di layangkan. Dan untuk menghindari hal itulah pengusaha menutup premi
asuransi.

Namun di pasar yang besar-besar itu , ruang untuk tumbuh sudah stagnan. Dan bila Indonesia
tidak segera menghasilkan aktuaris-aktuaris handal, maka ia akan diisi oleh aktuaris-aktuaris dari negeri
tetangga. Di MMUI, program kami didukung oleh salah satu perusahaan asuransi jiwa terkemuka dunia
yang berkedudukan di Inggris. Perusahaan ini menawarkan berbagai bantuan mulai fasilitas gedung,
kurikulum serta bantuan teknis. Dan program ini di desain untuk mengisi kebutuhan industri sehingga
memberi ruang bagi praktisi dari segala perusahaan untuk berkarir dimanapun.

Sepuluh Tahun
Seorang calon aktuaris memberi tahu saya, salah satu faktor yang membuat langkanya aktuaris di
Indonesia adalah kurangnya pengetahuan dalam matematika keuangan dan ekonomi makro. Padahal,
untuk mendapatk an sertifikasi dari PAI, mereka harus mengikuti 10 buah ujian. Dari ketua PAI yang
pernah mengambil program serupa di MMUI, saya mendapatkan keyakinan lulusan-lulusan MM
aktuaria bisa jadi hanya tinggal menyelesaikan 2-3 ujian, khususnya yang berkaitan dengan industri.
Ketua PAI meyakinkan ujian dari mata kuliah yang diketahui lebih dalam diberikan di UI akan lebih
mempercepat masa kelulusan.

Tentu saja tantangan ini harus dijawab dengan kesungguhan mengembangkan program berkualitas.
Setahun ini kami telah menjembatani pogram dengan industri dan pihak regulator yang kebetulan dulu
adalah mahasiswa atau dosen-dosen kami sendiri. Selain itu kami juga mendatangkan profesor-
profesor terkemuka dari luar negeri. Dua bulan yang lalu misalnya, mereka mengirimkan Prof. Keng
Seng Tan, Ketua program studi aktuaria dari Waterloo University Canada.

Anda mungkin juga menyukai