Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

A. Da’I ( Teori Citra )


Makna dakwah tidak hanya sekedar menyeru atau mengajak
manusia, tetapi juga mengubah manusia sebagai pribadi maupun
kelompok agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrahnya.
Dalam rangka menegakkan dakwah sehingga ajaran Islam diketahui,
dipahami,dihayati dan dilaksanakan oleh umat diperlukan juru dakwah
yang berkualitas. Juru dakwah tersebut adalah orang yang mengerti
hakikat islam dan mengetahui apa yang sedang berkembang dalam
kehidupan masyarakat. Keberhasilan kegiatan dakwah sangat ditentukan
oleh kualitas dan kepribadian seorang da’i. Dengan kualitas dan
kepribadian tersebut seorang da’I akan mendapatkan kepercayaan dan citra
yang positif di mata mad’u baik individu atau masyarakat.
Kata citra pada pemahaman mayoritas seseorang adalah suatu
kesan dan penilaian terhadap seseorang, kelompok, lembaga dan lain-lain.
Citra yang berhubungan dengan seorang da’I dalam perspektif komunikasi
sangat erat kaitanya dengan kredibilitas yang dimilikinya. Kredibilitas
sangat menentukan citra seseorang. Teori citra da’I menjelaskan penilaian
mad’u terhadap kredibilitas da’I apakah da’I mendapat penilaian positif
atau negatif, dimata mad’unya. Persepsi mad’u baik positif maupun
negatif sangat berkaitan erat dengan penentuan penerimaan informasi atau
pesan yang disampaikan da’i. Semakin tinggi kredibilitas da’I maka
semakin mudah mad’u menerima pesan-pesan yang disampaikannya,
begitu juga sebaliknya.
Kredibilitas seseorang tidak tumbuh dengan sendirinya, tidak
secara instan, tetapi harus dicapai melalui usaha yang terus menerus, harus
dibina dan dipupuk, serta konsisten sepanjang hidup.
Dakwah dalam salah satu bentuknya melalui lisan, ada empat cara
seorang da’I dinilai oleh mad’unya :

1
Seorang da’I dinilai dari reputasi yang mendahuluinya, apa yang
sudah seorang da’I lakukan dan memberikan karya-karya, jasa dan sikap
akan memperbaiki atau menghancurkan reputasi seorang da’i.
Mad’u menilai da’I melalui informasi atau pesan-pesan yang disampakan
seorang da’i. Cara memperkenalkan diri seorang da’I juga berpengaruh
dengan pandangan kredibilitas seorang da’I oleh mad’u.
Ungkapan kata-kata yang kotor, tidak berarti atau rendah menunjukan
kualifikasi seseorang.
Cara penyampain pesan dari da’I kepada mad’u sangat penting
untuk pemahaman pesan yang ditangkap mad’u, sebab apabila cara
penyampaiannya tidak sistematis maka akan kurang efektif di mata mad’u.
Penguasaan materi dan metodologi juga kemestian yang harus dimiliki
seorang da’i.
Dari cara-cara diatas menyimpulkan bahwa seorang da’I harus
sikap yang baik agar menjadi suri tauladan bagi ma’unya, bahkan dari cara
memperkenalkan dirinyapun dinilai, bertutur kata yang baik,
menyampaikan pesan dengan sistematis, efektif dan memiliki penguasaan
materi, seperti dalam firman Allah surat Al-Taubah :122 :

‫ ِذرُوا‬3‫دِّي ِن َولِيُ ْن‬3‫وا فِي ال‬33ُ‫ةٌ لِيَتَفَقَّه‬3َ‫طائِف‬ َ ‫ ٍة ِم ْنهُ ْم‬3َ‫ ِّل فِرْ ق‬3‫ َر ِم ْن ُك‬3َ‫وْ ال نَف‬33َ‫رُوا َكافَّةً فَل‬3ِ‫َو َما َكانَ ْال ُم ْؤ ِمنُونَ لِيَ ْنف‬
‫قَوْ َمهُ ْم إِ َذا َر َجعُوا ِإلَ ْي ِه ْم لَ َعلَّهُ ْم يَحْ َذرُون‬

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (Q.S.
Al-Taubah :122 )[8]
Kredibilitas juga erat kaitannya dengan kharisma, walau demikian
kredibilitas dapat ditingkatkan sampai batas optimal. Seorang da’I yang

2
berkredibilitas tinggi adalah seseorang yang mmepunyai kopetensi di
bidangnya, integritas kepribadian, ketulusan jiwa, serta mempunyai status
yang cukup walau tidak harus tinggi. Apa kredibilitas ini dimiliki seorang
da’I, maka da’I tersebut akan memiliki citra positif dihadapan mad’unya.
Seorang da’I yang kreatif harus memiliki wawasan manajemen
Muhammad. Manajemen Muhammad adalah perkawinan subtansi metode
Nabi Musa yang kukuh dalam menggenggam aspirasi kebenaran dengan
Nabi Isa yang lemah lembut dan indah.
Dalam rangka mengoptimalkan kredibilitas dan membangun citra
positif seorang da’I perlu melingkupi tiga dimensi diantaranya yaitu :
a. Kebersihan batin
b. Kecerdasan mental
c. Keberanian mental
Rasulullah Muhammad SAW sosok figur da’I yang paling ideal,
Beliau memiliki ketiga kriterian di atas. Sehingga beliau memiliki citra
positif di masyarakat. Beliau selalu memberikan solusi yang adil ketika
terjadi perselisihan. Ketika diangkat menjadi Rasul beliau menjadi suri
tauladan dalam berbagai aspek seperti aqidah, ibadah, muamalah dan
akhlaq, terpancar kesejatian, menjadi figur nyata bagi masyarakatnya, dan
segala kesempuranaan yang dimilikinya, beliau mampu menjadi pemimpin
agama sekaligus negara. Kurang dari 23 tahun beliau mampu melakukan
perubahan dari kejahiliahan kepada peradaban dunia yang tinggi.
1. Citra Da’I di Mata Masyarakat
Konsep diri ada yang bersifat positif dan negative. Ciri – ciri
seorang da’I yang memilki konsep positif adalah sebagai berikut:
a. Memiliki keyakinan mampu mengatasi masalah yang akan
dihadapi. Apa pun kesulitan yang dibayangkan, ia merasa yakin
akan menemukan jalan keluarnya.
b. Dalam pergaulan dengan orang banyak, ia merasa setara dengan
orang lain, tidak merasa rendah diri, kecil hatii, merasa sebagai

3
orang kampong yang ketinggalan zaman (meskipun ia berasal dari
kampong).
c. Jika suatu saat dipuji orang, ia tidak tersipu malu karena merasa
pujian itu wajar saja, sekedar mengungkapkan keberhasilan atau
kelebihan yang dimiliki. Baginya, pujian tidak membuatnya
merasa tinggi dari apa yang ada pada dirinya atau merasa kagum
terhadap dirinya (‘ujub)
d. Menyadari bahwa setiap orang memiliki kecenderungan yang tidak
mungkin disetujui atau memuaskan seluruh masyarakat. Ia
menyadari dapat melakukan suatu hal yang berguna dan
menyenangkan orang lain, tetapi juga sadar bahwa tidak semua
orang dapat menrimanya secara positif.
e. Mampu memperbaiki diri. Ia mampu menerima kritik dan saran
dari orang lain sebagai masukan untuk memperbaiki diri.
Ciri – ciri seorang dai yang memiliki konsep diri negatif adalah
sebagai berikut :
1) Peka terhadap kritik. Jika dikritik orang lain, ia tidak tahan.
Ia memersepsi kritikan orang lain sebagai upaya untuk
menjatuhkan dirinya. Oleh karena itu, da’I yang tidak
dapat menjalankan dialog tebuka, tidak dapat menangkap
pikiran-pikiran yang bagus dari para pengkritiknya karena
telinganya ternjur “merah”. Ia bersikukuh untuk
mempertahankan logika berpikirnya yang keliru.
2) Bersifat hiperkritis. Ia terlalu kritis sehingga cenderung me-
rendahkan dan meremehkan orang lain. Ia begitu berat
mengakui kelebihan yang dimiliki orang lain, apalagi yang
menjadi saingannya. Baginya, yang benar adalah dirinya
jika berhubungan dengan pujian terhadap dirinya.
3) Merasa tidak disenangi oleh orang lain. Ia merasa tidak
diperhatikan dan tiddak dianggap seabagi “orang”. Oleh
karena itu, ia mudah memersepsi orang lain sebagai lawan,

4
saingan, atau musuh yang mrngancam keberadaan dirinya.
Orang yang ememiliki sifat ini biasanya susah untuk dapat
bergaul secara akrab dan hangat karena ia sendiri merasa
tidak diakrabi. Jika suatu saat rivalnya datang dengan
keakraban, ia mencurigai keakraban lawannya adalah pura-
pura. Ia susah mengakui kesalahan dirinya.
4) Pesimis dapat bersaing dengan orang lain secara trbuka. Ia
enggan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Ia mrasa
bahwa sistem persaingnan akan merugikan dirinya. Ia
sudah memastikan jika ikut kompetisi psti akan dikalahkan
oleh sistem yang tidak adil terhadapnya dirnya.
Seorang da’I sudah sepantasnya memiliki konsep diri yang positif
karena dari konsep tersebut akan lahir pula pola sikap pemikiran positif.
Da’I diharapakan tidak keliru dalam memersepsi orang lain dan mampu
mengeksrpresikan diri agal menimbulkan kesan positif. Sebagai orang
harus mengetuk hati nurani dalam dakwahnya, seorang da’I harus
memiliki citra “terbuka” di hadapan mad’u-nya. Hanya orang yang
memiliki konsep diri positif yang sanggup membuka diri.
Orang yang terbuka atau berani membuka diri adalah orang yang tahu
betul terhadap hal-hal apa yang telah diketahui orang lain tentang dirinya
sehingga tidak perlu menutupnya dengan topeng (kata-kata atau perilaku
tertentu). Ia juga tahu betul terhadap hal-hal yang ada pada dirinya yang
tidak perlu diberitahukan keppada orang lain.

5
B. Metode (Uslub)
1. Pengertian Metode Dakwah
Dalam bahasa arab, al-ushlub identik dengan kata: thariq atau
thariqah, yang berarti jalan atau cara. Dikutip oleh Tata Sukayat dalam
bukunya Quantum Dakwah mengatakan bahwa metode dalam bahasa
Yunani berasal dari akar kata methodos berarti jalan. Sedangkan dalam
bahasa Jerman, metode berasal dari akar kata methodica yang berarti
ajaran tentang metode. Dalam bahasa lain, metode dipahami berasal dari
dua akar kata, yaitu meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalan
atau cara.
Ada beberapa pendapat tentang definisi metode dakwah, antara
lain:
a. Al-Bayanuny (1993: 47) mengemukakan definisi metode
dakwah sebagai cara-cara yang ditempuh oleh pendakwah
dalam berdakwah atau cara menerapkan strategi dakwah.
b. Said bin Ali al-Qathani (1994: 101) membuat definisi
metode dakwah sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana
cara berkomunikasi secara langsung dan mengatasi
kendala-kendalanya.
c. Moh. Ali Aziz memaknai metode dakwah adalah cara yang
digunakan subyek dakwah untuk menyampaikan materi
dakwah yaitu al-Islam atau serentetan kegiatan untuk
mencapai tujuan tertentu

Dalam kamus ilmiah populer, metode adalah cara yang sistematis


dan teratur untuk melaksanakan sesuatu atau cara kerja (Paus A. Partanto,
1994; 461). Dari beberapa definisi ini, setidaknya ada tiga karakter yang
melekat dalam metode dakwah.
a. Metode dakwah merupakan cara-cara sistematis yang
menjelaskan arah strategi dakwah yang telah ditetapkan. Ia
bagian dari strategi dakwah.

6
b. Karena menjadi bagian dari strategi dakwah yang masih
berupa konseptual, metode dakwah lebih bersifat konkret
dan praktis. Ia harus dapat dilaksanakan dengan mudah.
c. Arah metode dakwah tidak hanya dengan meningkatkan
efektivitas dakwah, melainkan pula bisa menghilangkan
hambatan-hambatan dakwah. Setiap strategi memiliki
keunggulan dan kelemahan. Metodenya berupaya
menggerakkan keunggulan tersebut dan memperkecil
kelemahannya.
Hakikat dakwah menurut al-Ghazali merupakan proses
mengakkan syari’at Islam secara terencana dan teratur agar manusia
menjadikannya sebagai satu-satunya tatanan hidup yang haq dan cocok
dengan fitrahnya.
2. Metode Dakwah Menurut al-Quran
Menurut Shihab materi dakwah yang disajikan oleh al-Quran
dibuktikan kebenarannya dengan argumentasi yang dipaparkaan atau
dapat dibuktikan manusia melalu penalaran akalnya, kenyataan ini
dapat ditemui hampir pada setiap permasalahan yang disajikan oleh
al-Quran, ada kalanya al-Quran menuntun manusia dengan redaksi-
redaksi yang sangat jelas dan dengan tahapan pemikiran yang
sistematis sehingga manusia menemukan sendiri kebenaran yang
dikehendakinya.
Metode ini digunakan agar manusia merasa ikut berperan
dalam menentukan suatu kebenaran. Dengan demikian ia merasa
memiliki dan bertanggung jawab untuk mempertahankannya, untuk
menunjang tercapainya target yang diinginkan dalam penyajian
materi-materinya alQuran menempuh metode sebagai berikut:
a. Mengemukakan kisah-kisah yang bertalian dengan salah satu
tujuan materi, kisah-kisah dalam al-Quran berkisar pada
peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi dengan menyebut

7
pelaku-pelaku dan tempat terjadinya, sebagaimana dilihat
dalam kisah nabi-nabi.
b. Nasihat dan panutan, al-Quran menggunakan kalimat-kalimat
yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia pada ide-ide
yang dikehendakinya, nasihat itu tidak banyak manfaatnya jika
tidak dibarengi keteladanan dan pemberi atau penyampai
nasihat
c. Pembiasan-pembiasan mempunyai peranan yang sangat besar
dalam kehidupan manusia. Dengan kebiasaan seseorang
mampu melakukan hal-hal penting dan berguna tanpa
memerlukan energi dan waktu yang banyak.
Banyak ayat al-Quran yang mengungkapkan masalah dakwah.
Namun dari sekian banyak ayat itu yang dapat dijadikan acuan utama
dalam prinsip metode dakwah qurani secara umum menunjuk pada surat
an-Nahl: 125 yanga artinya:
“Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”
Dari ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwa metode
dakwah itu meliputi tiga cakupan, yaitu:
a. Metode bi al-Hikmah yaitu berdakwah dengan
memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan
menitik beratkan pada kemampuan mereka.
b. Metode al-Mau’idzah al-Hasanah yaitu berdakwah dengan
memberikan nasihat-nasihat atau menyampaikan ajaran-
ajaran Islam dengan rasa kasih sayang, sehingga nasihat
dan ajaran Islam yang disampaikan itu dapat menyentuh
hati mereka.

8
c. Metode al-Mujadalah yaitu berdakwah dengan cara
bertukar pikiran dan membantah dengan cara yang sebaik-
baiknya dengan tidak memberikan tekanan-tekanan dan
tidak pula dengan menjalankan yang menjadi sasaran
dakwah.

Metode dakwah sangat penting peranannya dalam penyampaian


dakwah. Metode yang tidak benar, meskipun materi yang disampaikan
baik, maka pesan yang baik tersebut bisa ditolak. Seorang da’i mesti jeli
dan bijak dalam memilih metode, karena metode sangat mempengaruhi
kelancaran dan keberhasilan dakwah. Dalam hal ini, cara dan strategi yang
di gunakan oleh KH. Moh. Ali Hamzah Aminullah dalam melangsungkan
dakwahnya agar mengena kepada sasaranya yaitu dengan mengacu pada
surat an-Nahl ayat 125.

Anda mungkin juga menyukai