Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Orang islam belum tentu berkepribadian muslim. Kepribadian muslim adalah seperti
digambarkan oleh Al-qur’an tentang tujuan dikirimkan Rasulullah Muhammad saw kepada
umatnya, yait menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Maka, seseorang yang telah mengaku muslim seharusnya memiliki kepribadian sebagai sosok
yang selalu dapat member rahmat dan kebahagiaan kepada siapa dan apapun di lingkunagnnya.
Taat dalam mejalankan ajaran agama, tawadhu, suka membantu, memiliki sifat kasih sayang tidak
suka menipu, tidak suka mengambi hak orang lain, tidak suka mengganggu dan tidak suka
menyakiti orang lain.
Persepsi (gambaran) masyarakat tentang muslim yang berkepribadian qur’ani memang
berbeda-beda. Bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim
itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah. Padahal itu
hanyalah satu aspek saja dan masih banyak aspek lain yang harus melekat pada pribadi seorang
muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang berdasarkan Al Qur’an merupakan sesuatu
yang harus dirumuskan, sehingga dapat menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim.

B. Tujuan Pembahasan
1. Memahami pengertian kepribadian Qur’ani
2. Mengetahui tujuan membentuk kepribadian Qur’ani seorang Muslim
3. Mengetahui aspek-aspek pembentuk kepribadian Qur’ani seorang Muslim
4. Mengetahui langkah-langkah pembentuk kepribadian Qur’ani seorang Muslim

C. Rumusan Masalah

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tentang kepribadian
Kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psikofisik yang
menentukan caranya yang khas (unik) dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Segala
tindakan manusia, baik positif maupun negative, tidak lepas dari dorongan atau pengaruh
kepribadiannya. Tindakan-tindakan manusia pastinya merupakan refleksi dan manifestasi sifat-
sifat kepribadiannya itu.
Manusia yang mempunyai kepribadian seimbang dan produktif dicirikan dengan sejumlah
karakter pembentuk simbol proses realisasi potensi yang terpendam dan bersifat fitrah dalam diri.
Abraham Moslow berpendapat, seseorang tidak dapat mengaktualisasikan diri sebelum ia
mempunyai sarana yang cukup untuk memberi kepuasan terhadap tuntutan fisiologis, rasa aman,
afiliasi, pengakuan dan penghargaan. Moslow mendeskripsikan pribadi yang dapat
mengaktualisasikan diri, sebagai berikut :
a. Dapat menerima dirinya, orang lain, dan lingkungan sekitar.
b. Berpandangan relistik.
c. Banyak bersikap pasrah (pasif).
d. Berorientasi pada problem-problem eksternal, bukan pada dirinya.
e. Mengapresiasi kebebasan dan kebutuhan akan spesialisasi.
f. Berkepribadian independen dan bebas dari pengaruh orang lain.
g. Mengapresiasi segala sesuatu secara progresif, tidak terjebak pada pola-pola baku.
h. Integratif dan akomodatif terhadap semua kalangan.
i. Hubungan dengan orang lain sangat kuat dan mendalam, bukan sekedar formalitas.
j. Arah dan norma demokratisnya diliputi oleh sikap toleran dan sensitivitasnya.
k. Tidak mencampuradukkan antara sarana dan tujuan.
l. Gemar mencipta, berkreasi, dan menemukan penemuan-penemuan dalam skala besar.
m. Menentang ketaatan dan kepatuhan buta terhadap budaya.
n. Berjiwa riang secara filosofis, tidak bermusuhan.

2
Jika seorang individu mau dikatakan mempunyai kepribadian yang bagus, ia harus
menampilakan tindakan-tindakan yang bagus, sebagai manifestasi dari sifat-sifat
kepribadiannya yang positif. Kepribadian yang positif meliputi :
a. Adventurous: sifat berani karena benar,
b. Energetic: bersemangat tinggi,
c. Consciention: sifat jiwa yang mendorong untuk jujur dalam bertindak,
d. Responsible: bertanggung jawab atas segala kepercayaan yang diberikan,
e. Sociable: supel dan pandai bergaul,
f. Ascendant: kecenderungan menjadi pemimpin,
g. Intelligent : cerdas,
h. Generous: berjiwa pemurah,
i. Talkactive: aktif berbicara,
j. Persistent: gigih dalam berusaha,
k. Tenderhearted: rendah hati,
l. Realible: dapat dipercaya.

“Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyuciakan jiwa, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS, asy-Syams/91: 7-10).

Pada dasarnya, menurut tabiat dan bentuk kejadiannya, manusia diberi bekal kebaikan dan
keburukan serta petunjuk dan kesesatan. Manusia harus bertanggung jawab atas anugerah yang
diberikan Allah SWT berupa kemampuan memilih dan mengarahkan potensi fitri pada kebaikan dan
keburukan.

Al-Qur’an mengklasifikasikan manusia berdasarkan akidah menjadi tiga kelompok, yaitu :


1)Al-Mukminun: orang-orang mukmin. “Seorang mukmin adalah pandai, cerdik, waspada, hati-hati,
teguh, pemberani, tidak tergesa-gesa, berilmu, dan sederhana dalam kehidupannya (selalu takut
berbuat salah dan dosa)” (HR. ad-Dailami); 2)Al-Kafirun: orang-orang kafir. Mereka tidak
mempercayai akidah tauhid, para rasul dan kitab-kitab yang diturunkan, hari akhir, hari kebangkitan,
perhitungan surga dan neraka; 3)Al-Munafiqun: orang-orang munafik. Kelompok manusia yang
berkepribadian lemah, sikapnya tidak jelas, posisi keimanannya juga tidak jelas.

Kepribadian Qur’ani adalah kepribadian yang dibentuk dengan susunan sifat-sifat yang
sengaja diambil dari nilai-nilai yang diajarkan Allah dalam Al-Qur’an, sehingga strukturnya
terbangun dari elemen-elemen ajaran Al-Qur’an. Selain itu dilengkapi dengan nilai-nilai atau sifat-
sifat yang diajarkan Al-Qur’an.

3
B. Jiwa Qur’ani
Sifat-sifat yang sepatutnya dilekatkan dalam jiwa muslim, karena sifat-sifat yang dimaksud
betul-betul diajarkan Al-Qur’an dengan tujuan manusia yang menerapkannya dalam kehidupan
memiliki kepribadian Qur’ani, menjadi individu yang berkualitas baik menurut pandangan Allah
maupun masyarakat.
a. Jiwa yang beriman
Jiwa yang secara langsung memperoleh cahaya iman yang tertanam secara mantap di
dalam hati.
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan
kezhaliman (utamanya, syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat kedamaian dan
keamanan, dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. al-An’am/6: 82).
Dengan demikian jiwa yang beriman ialah jiwa yang memiliki sifat-sifat utama
kepribadian, yang mendorong pemiliknya memiliki semangat tinggi untuk mewujudkan hak-
hak Islam, yakni segala hak yang diajarkan Islam, sehingga pemiliknya mendapat dan
merasakan kehidupan yang aman dan damai serta selamat dari segala malapetaka, baik di dunia
maupun di akhirat.
b. Jiwa yang tenang
Jiwa yang dimiliki orang-orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benar iman,
yang banyak mengerjakan amal salih dengan ikhlas dan dengan yakin optimis bahwa Allah
pasti akan membalasi amal-amalnya di alam akhirat.
“Siapapun yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan beramal salih, mereka
mendapat ganjaran dari sisi Tuhan mereka, dan tidak ada kecemasan akan menimpa mereka,
dan juga mereka tidak bersedih” (QS. al-Baqarah/2: 62).
Jadi ketenangan itu lahir atau terjadi karena mereka telah memenuhi persyaratan-
persyaratannya, yaitu: iman kepada Allah dan hari akhir, amal salih dalam arti yang luas, dan
tidak terlalu terbelenggu dengan hal-hal duniawi dan mengikuti keinginan rendah yang
biasanya menggagahi hati dan jiwa manusia.
c. Jiwa yang rela
Jiwa yang puas dalam menerima segala pembagian dan pemberian Allah, sehingga orang
yang memilikinya merasa kaya, puas dan berbahagia.
d.  Jiwa yang sabar
Jiwa yang tekun dan bersungguh-sungguh dalam mencapai cita-cita, sebab tiada
keberhasilan yang luar biasa selain suatu cita-cita yang diraih dengan kesabaran. Sesungguhnya
Allah selalu menyertai orang-orang yang sabar.

4
e.  Jiwa yang tawakkal
Jiwa individu yang setiap kali melakukan dan memperjuangkan sesuatu perbuatan,
dipasrahkannya perbuatan itu kepada Allah, dan penuh optimisme kepadaNya bahwa amal
perbuatannya akan mendapatkan balasan dari pada-Nya.
“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan
(kebutuhan)nya” (QS. al-Thalaq/65: 3). Dengan demikian, betapa penting posisi bertawakal
kepada Allah, dan kita mendapatkan jaminan segala kebutuhan kita akan dipenuhi-Nya, amin.
f. Jiwa yang jujur
Jiwa yang mendorong tercetusnya penuturan atau perbuatan secara jujur, sesuai kata hati,
tidak terbesit untuk berkata atau berbuat secara curang sehingga orang lain tidak dirugikan.
Nabi Muhammad saw memerintahkan dengan tegas : berpeganglah pada kejujuran,
ketahuilah kejujuran itu akan membawa pada kebaikan, dan kebaikan akan membawa ke
syurga. Dan jauhilah kebohongan, ketahuilah kebohongan itu akan menyeret terjadinya
keburukan, dan keburukan akan membawa ke neraka.
g. Jiwa yang amanah
Jiwa yang tidak hanya jujur, teapi juga teguh untuk mengemban kepercayaan yang
diberikan kepada individu, serta menyadari bahwa amanah yang diterima itu berasal dari Allah.
h. Jiwa yang syukur
Jiwa yang menjadi sumber pendorong untuk mengelola dan mensyukuri segala yang
dianugerahkan Allah sesuai tuntunannya demi memperoleh keridlaanNya.
“Sekiranya kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu
menghitungnya. Sesungguhnya, manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat)”
(QS. al-Nahl/16 : 18).
i.  Jiwa yang cerdas
Jiwa manusia yang menjadi inspirator lahirnya tindakan-tindakan yang tepat untuk
menyayangi dan mengasihi pihak/ orang lain, serta menghindari impuls yang meledak-ledak.
Tindakan yang lahir itu muncul dari dorongan jiwa yang sangat peka dan sensitif pada
lingkungan.
Orang dengan ketermpilan/ kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) yang
berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan,
menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka.
j. Jiwa yang berani
Jiwa yang mendorong sifat keberanian dan tidak diliputi oleh rasa takut, sehingga tindakan
hidup individu dinamis, penuh rasa percaya diri dan sukses serta dengan rasa aman.

5
k. Jiwa yang optimistis
Jiwa orang yang melihat kehidupan ini penuh peluang dan harapan, sehingga melahirkan
sikap jiwa yang besar dan pikiran positif terhadap ke Maha Kuasaan Tuhan yang selalu
menjamin kebutuhan-kebutuhan hambaNya.
Pikirkan keberhasilan, jangan pikirkan kegagalan. Terus menerus mengingat bahwa kita
lebih baik dari yang kita pikirkan. Orang yang sukses buaknlah manusia super. Orang yang
sukses tidak lain adalah orang biasa yang mempunyai keyakinan pada dirinya sendiri, dan apa
yang mereka kerjakan. Dan kesuksesan ditentukan oleh ukuran dari keyakinan.
l. Jiwa yang pemurah
Jiwa yang mendorong untuk suka member, menolong dan membantu orang lain yang tidak
lagi dikuasai oleh sifat pelit yang merupakan suatu penyakit jiwa yang tidak baik untuk
kepentingan pergaulan hidup bersama.
“Siapa yang dijaga jiwanya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang
beruntung” (QS. al-Hasyr/ 59: 9; al-Tagabun/ 64: 16). Al-Qur’an demikian mantap menjamin
orang pemurah, bahwa ia akan berubah menjadi orang beruntung.
m.  Jiwa yang tobat
Jiwa yang setiap kali terjadi tindakan salah menurut pandangan agama dan masyarakat,
segera kembali ke jalan kebenaran dengan jalan menyesali tindakan salahnya, tidak
mengulanginya, secara lestari berencana melakukan kebaikan-kebaikan, dan meninggalkan
kejahatan yang dilakukan. “Mohon ampunlah (istighfar) kepada Tuhanmu, dan bertobatlah
kepadaNya, sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih”. Tobat yang
dilakukan sungguh-sungguh, tentu saja diterima.
n. Jiwa yang takwa
Jiwa individu yang dalam kehidupan ini berkomitmen untuk secara sungguh-sungguh
menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan buruk yang memang dilarang Tuhan, dan
melengkapinya dengan melaksanakan hal-hal yang diperintahkanNya.
Ketakwaan dan kesalihan akan merebak dengan suburnya disebabkan oleh dorongan kuat
jiwa yang terdapat dalam diri manusia. Jiwa yang rabbaniy akan menghasilkan ketakwaannya,
dan sebaliknya jiwa yang syaitaniy menghasilkan kedurhakaannya. “Demi jiwa serta
penyempurnaan (ciptaannya); maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan
(kedurhakaan) dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa
itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.
o. Jiwa yang ihsan

6
Jiwa yang senantiasa mendorong peningkatan amal-amal lebih baik ketimbang
sebelumnya dan setiap amal dikerjakan seolah-olah Allah menyaksikan kinerja yang dilakukan.
Orientasi utamanya adalah peningkatan amal lebih berkualitas dan bagus, seraya Tuhan
menyaksikan perbuatannya itu.
p. Jiwa yang konsisten (istiqamah)
Jiwa yang selalu merasa sadar untuk taat asas dan berpegang teguh pada apa yang
diyakini, serta berpegangan pada pedoman yang ada. Jika kebenaran agama yang diyakini,
maka agamalah yang dijadikan rujukannya. Jika Tuhan yang diyakini sebagai sumber ajaran,
maka tuntunan-Nyalah yang diutamakannya.
Al-Qur’an mengajarkan istiqamah kepada manusia, utamanya dalam berpegang teguh pada
keyakinan akan Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa. “Sesungguhnya orang-orang yang berkata,
“Tuhan kami adalah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah, tidak aka nada rasa kuatir pada
mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati” (QS. al-Ahqaf/46: 13).
q.  Jiwa yang bahagia
Jiwa yang merasakan suasana baik, menyenangkan, dan menggembirakan, dimana segala
yang terjadi dan dirasakan dalam kehidupan sesuai dengan keinginan yang ada.
“Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, sungguh dia
memperoleh kemenangan (kebahagiaan). Sedangkan kehidupan dunia hanyalah kesenangan
yang menipu” (QS. Ali Imran/3: 185).

C. Kepribadian Qurani
Istilah Qurani memiliki akar yang sama dengan qarinah ( indikator, bukti, petunjuk),
qarana ( menggabungkan ), qar’u ( menghimpun) dan qar’a ( membaca )  yang secara
bahasa berarti mengumpulkan dan menghimpun.Kepribadian Qurani adalah kepribadian
individu yang didapat setelah mentransformasikan isi kandungan Al-Quran kedalam
dirinya untuk kemudian diinternalisasikan dalam kehidupan nyata. Atau dalam bahasa
sederhana, kepribadian Qurani adalah kepribadian individu yang mencerminkan nilai-nilai
Al-Quran.
1. Kerangka Dasar Kepribadian Qurani
Manusia diberi potensi nafsani oleh Allah SWT untuk mengetahui segala sesuatu,
agar dengan pengetahuannya ia dapat berbuat baik. Namun karena kemampuan akal
manusia terbatas, sehingga pengetahuan yang diperoleh (1) belum menjangkau seluruh
fenomena kehidupan, (2) tidak akan mampu mengetahui yang gaib, (3) kekuatan pikir
manusia kadang-kadang dihalangi oleh hawa nafsu sehingga tidak mampu berpikir
jernih (4) sebagai produk budaya, pengetahuan manusia bias budaya yang karenanya

7
tidak dapat berlaku secara universal. Dalam kondisi yang seperti ini, petunjuk dari
Allah SWT, sangat diperlukan untuk melengkapi bahkan menyempurnakan
pengetahuan akliah manusia. Seluruh petunjuk-Nya terhimpun dalam kitab suci Al-
Quran .

Fungsi Al-Quran diantaranya adalah

a. Menjadi petunjuk, penjelasan dan pembeda yang hak dan yang batil ( QS Al-
Baqarah [2] ) ,
b. Memperingatkan manusia yang lupa ( QS An’am[6]),
c. Satu bacaan yang patut didengar agar mendapatkan rahmat dari Allah ( QS Al-
A’raf[7]),
d. Mengajak manusia untuk berpikir ( QS Yusuf[12]),
e. Terapi yang penuh rahmat ( QS-Isra [17])
f. Menjadi petunjuk manusia agar berkepribadian saleh. Firman Allah dalam QS
Al-Isra [17]: 9.
2. Pola dan Bentuk Kepribadian Qurani
Dalam QS Al-An’am [6]:38 disebutkan : “dan tiadalah binatang-binatang yang
ada dibumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan
umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun didalam al-Kitab,
kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. Hal ini mengandung arti bahwa
seluruh fenomena yang ada sudah tercantum didalam Al-Quran. namun pada intinya,
kepribadian Qurani adalah kepribadian yang melaksanakan sepenuh hati nilai-nilai Al-
Quran, baik pada dimensi ( 1) I’tiqadiyyah, yang berkaitan dengan nilai-nilai keimanan,
(2) Khuluqiyyah, yang berkaitan dengan nilai-nilai etika, yang bertujuan untuk
membersikan diri dari perilaku rendah dan menghiasi diri dengan perilaku terpuji, (3)
Amaliyyah, yang berkaitan dengan nilai-nilai tingkah laku sehari-hari.
Al-Quran merupakan petunjuk, rahmat, terapi dan mengandung kemashlahatan
bagi yang mau melaksanakannya. Dimensi sekunder merupakan dimensi yang penting
dalam kehidupan sekalipun tidak seasasi dimensi primer. Tujuan dari dimensi ini adalah
untuk menghilangkan kesulitan dan menarik kemashalatan dalam kehidupan manusia.
Dimensi primer merupakan dimensi esensial dalam kehidupan manusia yang apa
bila diabaikan maka hilang eksistensi kemanusiaan. Dimensi ini meliputi :

8
a. Menjaga Agama
b. Menjaga jiwa
c. Menjaga akal pikiran
d. Menjaga keturunan
e. Menjaga kehormatan dan harta benda.

3. Cara Transinternalisasi Kepribadian Qurani


Terdapat 5 cara untuk transinternalisasi kepribadian Qurani, yaitu :
a. Tahsin al-tilawah, yaitu memperbaiki bacaan sesuai kaidah ilmu tajwid dan ilmu
Qira’ah
b. Al-Tahfidh, yaitu menghafal seluruh atau sebagian ayat-ayat dalam Al-Quran,
terutama surat yang wajib dalam bacaan sholat.
c. Al-Tafsir, yaitu menafsirkan dan menerjemahkan isi kandungan Al-Quran yang
dimulai dengan pemahaman terjemahan ayat.
d. Al-Amal, yaitu mengaplikasikan nilai-nilai Qurani dalam kehidupan sehari-hari.
e. Al-Da’wah, yaitu mendakwahkan ajaran-ajaran Al-Quran kepada masyarakat luas.

D. Ciri- Ciri Kepribadian Qurani


a. Menjaga Agama
b. Menjaga jiwa
c. Menjaga akal pikiran
d. Menjaga keturunan
e. Menjaga kehormatan dan harta benda
f. Memberi nasehat

E. Menghidupkan Hati
Tidak semua orang yang beragama hatinya betul-betul hidup. Ada diantaranya yang hatinya
mati, seolah-olah tidak berisi apa-apa. Hati disebut mati, karena tidak mampu mendorong lahirnya
tindakan-tindakan ruhaniah yang lazimnya muncul dari hati yang telah beriman kepada Tuhan.
“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka
memiliki hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), punya mata tetapi
tidak dipakai untuk melihat …” (QS. al-A’raf/7: 179).
Menurut Al-Qur’an, dan juga hadits, seorang mukmin mestilah mengembangkan cintanya
untuk Allah dan RasulNya, karena Dialah yang telah memberi segalanya dan berbuat baik sesuai

9
dengan keputusanNya yang terbaik bagi hambaNya. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang
yang beriman (tentunya) lebih besar cintanya kepada Allah”(QS. al-Baqarah/2: 165). Tidak hanya
lebih besar, tetapi juga lebih tinggi dari cinta kepada apa dan siapa pun yang pantas dicintai di
dunia ini.
Cinta kepada Allah dengan berbagai konsekwensinya merupakan sesuatu yang niscaya, tidak
boleh tidak, sehingga upaya pengembangan hati menuju cinta kepada Allah pastinya merupakan
upaya terpuji dan mulia. Hasinya berupa kualitas cinta di hati, yang berujung pada ketaatan yang
tinggi kepadaNya.
Membuka hati untuk beriman merupakan syarat mutlak untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Tanpa kerelaan diri membuka hati, mustahil seseorrang bias dekat dengan Allah, karena
hakekatnya ia tidak beriman kepada Allah, karena Allah tidak pernah ada dalam hatinya; Allah
belum masuk dalam kalbunya. Mana mungkin manusia yang belum beriman bias dekat dengan
Allah.
Kewajiban mukmin ialah menjaga hati dan iman yang terdapat di dalamnya agar produktif
menghasilkan amal-amal salih. Pada sisi lain, mukmin wajib menjaga imannya agar jangan sampai
campur-aduk dengan tindakan-tindakan zhalim, baik kepada Allah, sesame manusia, lingkungan,
maupun kepada diri sendiri.
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur iman mereka dengan kezhaliman (terutama
syirk), mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk” (QS.
al-An’am/6: 82).
Oleh karena itu, demi kesehatan hati, yang sekaligus kesehatan si mukmin secara
keseluruhan, mukmin wajib menghilangkan penyakit-penyakit hatinya, antara lain: syirk, sikap
ragu (al-syakk), sombong (al-kibr), iri, dengki (al-hasad), ‘ujub, merasa diri besar (istikbar),
pengecut (al-jubn), bakhil/pelit (al-syuhh), kemunafikan (nifaq), dan lain-lain penyakit hati yang
mengindikasikan lemahnya keyakinan/iman.

Membersihkan hati dengan dzikrullah, dalam arti selalu mengingat Allah, akan membuat
hati bersih dan sehat serta cenderung tanggap (sensitif) mendorong terjadinya amal-amal
kebajikan, dan selanjutnya amal-amal kebajikan yang dihasilkan semakin memperindah kondisi
hati yang dibersihkan itu. Ada suasana timbal balik antara hati dengan amal kebajikan yang
dihasilkan. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama
Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya kepada mereka bertambah kuat
imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal” (QS. al-Anfal/8: 2).

Keadaan selalu ingat kepada Allah karena selalu melakukan dzikrullah merupakan rem yang
paling ampuh untuk tidak terjerumus ke dalam limbah nista yang mengotori, sehingga dengan
begitu dzikrullah betul-betul merupakan upaya atau cara yang paling efektif dalam proses
pembersihan hati/diri.

10
Hati yang bersih akan menerima limpahan rahmat dan cinta Allah Subhanahu wa ta’ala.
Yang menerima rahmat, cinta, dan ridla Allah bukan hanya hatinya, tetapi manusia atau orang
yang dalam kehidupan ini memiliki hati yang bersih.

“Orang-orang penting/ terhormat umatku tidaklah masuk surga dengan sebab banyaknya
salat dan juga banyaknya puasa, tetapi yang menyebabkan mereka masuk surge adalah karena hati
yang salim (bersih), kedermawanan jiwa, dan karena sifat rahmat dan kasih sayang mereka kepada
kaum muslimin” (al-Hadits, dalam kitab Mukasyafat al-Qulub). Untuk mendapatkan rahmat dan
surga bukanlah hanya amal ibadat saja, tetapi juga kondisi hati yang bersih-suci, kemampuan nyata
dalam menyebarkan rahmat dan kasih sayang dirinya kepada orang banyak, dan jiwa yang
dermawan.

Untuk meraih cinta Allah (hub Allah), kita mesti mengembangkan cinta kita kepada Allah.

“Katakanlah (Muhammad), jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Ali
Imran/3: 31).

F. Pesan Membumikan Al-Qur’an


“. . . Dan Kami turunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu,
sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri” (QS. al-Nahl/16: 89),
ditambah penegasan firmanNya: maa farrathna fi al-kitab min syai’ (tidak ada sesuatu pun yang
Kami luputkan di dalam al-kitab) (QS, al-An’am/6: 38).
Berdasarkan penjelasan di atas, apa pun yang dibutuhkan manusia dalam hidup dan
kehidupannya, ada dalam Al-Qur’an. Dengan begitu, Al-Qur’an semacam kekayaan yang
sempurna akan dengan mudah memenuhi segala kebutuhan manusia, dahulu, sekarang, dan nanti.
Al-Qur’an telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, dan tuntunan untuk
masalah mental dan moral untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
Upaya manusia untuk melanggengkan Al-Qur’an dan membumikan ajarannya, bukan saja
melalui upaya memelihara otensitasnya, dengan hafalan, tulisan dan rekaman tetapi juga dengan
memahami pesan-pesannya yang harus disesuaikan dengan perkembangan positif masyarakat
tanpa menyimpang dari teks atau keluar dari Ushuluddin (prinsip-prinsip pokok ajaran agama).
“Maka, apakah mereka tidak mendalami Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu (atau kitab apa
pun) bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya”
(QS. al-nisa/4: 82). Dalam Al-Qur’an tidak tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Yang cukup
menonjol dari Al-Qur’an adalah al-wahdat al-qur’aniyyah (kesatupaduan Al-Qur’an), kata Sa’id
Hawwa, dalam Tafsir Al-Asas.

11
Oleh karena itu orisinalitas Al-Qur’an tidak cukup hanya dibanggakan sebagai kitab suci
yang masih asli, tetapi hendaknya juga mendorong umat Islam untuk mengamalkannya dalam
hidup keseharian agar hidup ini lurus dan maju, berkemajuan berdasarkan cahaya petunjuk Allah
dalam Al-Qur’an. Dan juga agar bumi yang disediakan Tuhan untuk tempat tinggal sementara
manusia betul-betul diwarnai olrh pengalaman titah-titah Tuhan dalam Al-Qur’an. Alangkah
indahnya keadaan bumi yang memperoleh cahaya Tuhan, baik cahaya dalam makna yang
sebenarnya maupun cahaya dalam arti metafor, yakni cahaya Al-Qur’an.

Dalam tafsir Departemen Agama RI dijelaskan tingkatan-tingkatan orang mukmin yang


mengamalkan Al-Qur’an, yaitu:
1. Zhalimun li nafsih (orang yang zalim kepada dirinya). Maksudnya orang yang mengerjakan
perbuatan wajib dan juga tidak meninggalkan perbuatan yang haram.
2. Muqtashid, yakni orang-orang yang melaksanakan segala kewajiban dan meninggalkan
larangan-laranganNya, tetapi kadang-kadang ia tidak mengerjakan perbuatan yang dipandang
sunnah atau masih mengerjakan sebagian pekerjaan yang dipandang makruh.
3. Sabiqun bi al-khairat, yaitu orang yang selalu mengerjakan amalan yang wajib dan sunnah,
meninggalkan segala perbuatan yang haram dan makruh, serta sebagian hal-hal yang mubah.

Ke dalam kelompok mana pun seorang muslim masuk, tetapi yang pasti, selain nabi,
semuanya belum optimal dalam melaksanakan atau membumikan Al-Qur’an. Masih banyak
kesempatan dan peluang untuk mengoptimalkannya, baik dalam aspek ibadat maupun muamalat
yang amat luas.

12

Anda mungkin juga menyukai