Anda di halaman 1dari 22

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN

DAYEUHLUHUR
CERITA  SINGKAT  KERAJAAN DAYEUHLUHUR
A.  KEADAAN ALAM
     Keadaan alam Dayeuhluhur merupakan daerah yang
berupa perbukitan, letaknya di tengah Pegunungan
Pembarisan pulau Jawa, menjadikan daerah ini
keadaaannya banyak lembah dan tebing. Sungai-sungai
kecil disela tebing menjadi hulu sungai di hilirnya.
Sungai yang agak besar yaitu sungai Cijolang
membelah wilayah dan seakan-akan menjadi batas
antara penduduk Sunda dan Jawa. Daerah tebing,
lembah, dan perbukitan ini diselimuti hutan
lebat  karena curah hujan yang tinggi sehingga
membuat hawa terasa sejuk dan kadang dingin.
     Sebenarnya di tepian sebelah timur sungai Cijolang
masih merupakan daerah dengan ciri pasundan.
Ditandai dengan bahasa sehari-hari dan juga adat
kesenian masyarakatnya. Kesenian rakyat yang biasa
digelar diantaranya seni gamelan, keleningan, seni tari
(ronggeng), seni pencak silat, dan seni cerita pantun
sunda. Begitu pula adat dan budaya yang lain hampir
sama dengan wilayah pasundan, seperti cara dan istilah
bercocok tanam, kegiatan upacara adat, upacara
perkawinan, serta bentuk bangunan rumah.
     Saat ini, Dayeuhluhur merupakan sebuah kecamatan
yang termasuk bagian wilayah kabupaten Cilacap,
Jawa Tengah. Sebuah daerah yang berbatasan langsung
dengan provinsi Jawa Barat. Tidak banyak yang
mengetahui bahwa sebenarnya pada zaman dahulu
Dayeuhluhur adalah sebuah kerajaan yang cukup luas
wilayah kekuasaannya.
B. ASAL USUL NAMA DAYEUHLUHUR
     Ada beberapa versi yang menyebutkan asal usul
penamaan daerah ini, diantaranya:
1) Nama Dayeuhluhur diambil dari 2 kata yaitu
‘dayeuh’ yang artinya kota/tempat, dan ‘luhur’ yang
artinya tinggi. Nama Dayeuhluhur diberikan untuk
menggambarkan suatu daerah pemukiman yang
terletak di lokasi pegunungan yang tinggi.
2) Nama Dayeuhluhur diambil dari sebuah kota di
wilayah kabupaten Ciamis yang namanya sama:
Dayeuhluhur. Konon pada zaman itu, Dayeuhluhur ini
merupakan pusat kerajaan Kawali. Sehingga ketika
Gagak Ngampar yang keturunan Kawali tiba di suatu
wilayah di timur sungai Cijolang dan mendirikan
kerajaan, beliau menamakan kerajaannya dengan nama
yang sama: Dayeuhluhur.
3) Nama Dayeuhluhur pada asal mulanya adalah Daya
Luhur. Diambil dari kata ‘daya’ yang artinya
kekuatan/kemampuan, dan ‘luhur’ yang artinya tinggi.
Daerah ini merupakan tempat berkumpulnya orang-
orang dengan kekuatan atau kesaktian yang tinggi pada
zaman dahulu. Ada juga yang menyebutkan bahwa
daerah ini adalah tempat orang-orang bertapa dan
berlatih untuk mendapatkan kekuatan/kesaktian/ilmu
kanuragan yang tidak bisa didapatkan di tempat lain.
     Banyaknya versi asal usul nama Dayeuhluhur ini
disebabkan karena belum adanya keterangan sejarah
yang secara eksplisit menyebutkan nama seseorang
sebagai pencetus nama daerah tersebut.
C. ASAL USUL GAGAK NGAMPAR SEBAGAI
PENDIRI KERAJAAN DAYEUHLUHUR
     Jaman dahulu, berdiri kerajaan Kawali yang
dipimpin oleh Prabu Niskala Wastu Kencana. Raja ini
memiliki 2 orang istri. Dari istri yang pertama, lahirlah
seorang putra yang kemudian hari dikenal sebagai
Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Sedangkan dari istri
kedua, melahirkan putra bernama Prabu Dewa Niskala.
     Prabu  Niskala Wastu Kencana mempunyai adik
sepupu yang memiliki putra bernama Gagak Ngampar.
Dan setelah Prabu Niskala Wastu Kencana tidak
mampu lagi memimpin kerajaan Kawali, beliau
mewariskan tahtanya kepada putranya, Prabu Dewa
Niskala. Karena adanya pertalian darah itu, maka bisa
disebut bahwa Prabu Dewa Niskala adalah saudara
sepupu Gagak Ngampar.
     Di kerajaan Kawali, Gagak Ngampar yang berusia
muda itu rupanya menginginkan tahta kerajaan Kawali.
Padahal itu bukanlah bagiannya. Karena yang paling
berhak adalah Prabu Dewa Niskala. Oleh karena itu,
untuk menghindari perpecahan serta pertumpahan
darah di kerajaan Kawali, dan sekaligus untuk
memperkuat pertahanan kerajaan Kawali terhadap
serangan dari daerah timur, maka Gagak Ngampar
kemudian diberi wilayah kekuasaan di sebelah timur
sungai Cijolang yang kemudian dikenal dengan nama
kerajaan Dayeuhluhur.
     Gagak Ngampar dilepas oleh Prabu Dewa Niskala
raja Kawali disertai beberapa ponggawa dan prajurit
serta perbekalan secukupnya. Jalan yang dilalui oleh
rombongan ini untuk mencapai Dayeuhluhur
diperkirakan melalui Pongpet, Matenggeng, Cilulu lalu
sampai di bukit kecil di daerah Dayeuhluhur yang
kemudian diberi nama Geger Nya’an (Geger
Na’an/Geger Na’ang). Daerah tersebut letaknya
berdekatan dengan Salang Kuning. Di Geger Nya’an
inilah rombongan Gagak Ngampar bermukim
sementara selama pembangunan karaton Salang
Kuning yang merupakan pusat kerajaan Dayeuhluhur.
D. WILAYAH KERAJAAN DAYEUHLUHUR
     Kekuasaan kerajaan Dayeuhluhur di bawah
pimpinan Prabu Gagak Ngampar, yang merupakan
bagian dari kerajaan Kawali, meliputi wilayah yang
cukup luas.
Batas-batasnya adalah sebagai berikut:
Sebelah barat   : sungai Cijolang
Sebelah timur   : kademangan Caduk/wangon
Sebelah selatan: Segara Anakan dan pegunungan
Tugel Igel (sungai Cibeureum) Kawunganten.
Sebelah utara   : Leuweung Wates, yaitu hutan rimba
di tengah-tengah Pegunungan Pembarisan yang belum
pernah terjamah manusia.
     Wilayah-wilayah dengan penamaan yang identik
dengan kesundaan seperti yang menggunakan awalan
‘ci-‘ di daerah sebelah timur sungai Cijolang, dapat
diduga sebagai bekas wilayah kerajaan Dayeuhluhur
sejauh batas-batas yg disebut di atas.
     Daerah hunian yang diduga sudah ada sejak zaman
Prabu Gagak Ngampar di pusat Dayeuhluhur sekarang
diantaranya:
–       Blok balai desa Dayeuhluhur sekarang
–       Beber
–       Salang Kuning
–       Karang birahi
E.  RAJA-RAJA YANG MEMIMPIN KERAJAAN
DAYEUHLUHUR
     Berikut adalah nama raja-raja yang pernah
memimpin kerajaan Dayeuhluhur:
1.  PRABU GAGAK NGAMPAR
     Setalah Gagak Ngampar datang di Dayeuhluhur
beserta pengikutnya, beliau kemudian mendirikan
pusat pemerintahan di Salang Kuning. Lokasi tersebut
dipilih karena letaknya strategis untuk dijadika
istana/karaton. Pada tebing di Salang Kuning tersebut
terdapat dataran yang cukup luas,  diapit oleh mata air
di sisi timur dan barat. Di bagian selatan dilindungi
tebing curam yang membentuk setengah lingkaran
yang merupakan benteng alami bagian belakang
karaton. Sementara sebelah utara juga terdapat tebing
yang curam, sehingga memudahkan untuk menyusun
pertahanan dan pengawasan wilayah pemukiman
penduduk. Agama yang dianut oleh Gagak Ngampar
pada waktu itu adalah agama Hindu, sebagaimana
kebanyakan kerajaan di tatar pasundan pada zaman itu.
Kehidupan penduduknya sangat kental dipengaruhi
budaya sunda.
     Prabu Gagak Ngampar memiliki keturunan yang
bernama:
1)  Candi kuning/ Ki Adeg Cisagu, yang kemudian
menurunkan raja-raja Dayehluhur
2) Candi Laras/ Ki Adeg Ciluhur.
     Prabu Gagak Ngampar setelah meninggal
dimakamkan di pasarean Gagak Ngampar, daerah
Kiadeg, Dayeuhluhur sekarang. Adapun Candi Kuning
dimakamkan di pasarean Kiadeg, sebelah atas pasarean
Gagak Ngampar. Sementara Candi Laras dimakamkan
di pasarean Karang Birahi, blok Kebon Sahang,
Dayeuhluhur sekarang.
2.  PRABU ARSAGATI
     Arsagati merupakan putra dari Candi Kuning.
Dengan demikian pewaris tahta kerajaan Dayeuhluhur
yang kedua adalah cucu Prabu Gagak Ngampar.
Jauhnya rentang waktu pewarisan kekuasaan ini
disebabkan oleh masa pemerintahan Prabu Gagak
Ngampar yang sangat panjang. Disebutkan masa
pemerintahan Prabu Gagak Ngampar adalah selama
104 tahun.
     Tetapi ada juga yang menyebutkan bahwa
keturunan Prabu Gagak Ngampar adalah perempuan
semua, sehingga tidak dapat mewarisi tahta. Karena itu
kemudian tahta kerajaan Dayeuhluhur dilanjutkan oleh
cucu laki-laki beliau, Arsagati.
     Prabu Arsagati dimakamkan di pasarean Karang
Birahi.
3.  PRABU RAKSAGATI
     Raksagati adalah putra dari Prabu Arsagati dan
menjadi raja ke-3 kerajaan Dayeuhluhur, sekaligus
merupakan raja Dayeuhluhur terakhir yang menduduki
tahta di karaton Salang Kuning. Setelah meninggal
beliau dimakamkan di pasarean Makam
Jangkung/pasarean Palalangon, Dayeuhluhur sekarang.
     Di sebelah pusaranya terdapat makam seseorang
yang diperkirakan berasal dari Panjalu-Ciamis yang
berjasa membuka areal persawahan Sawah Lega –
Dayeuhluhur, yang sekarang menjadi sawah bengkok
desa.
 
4.  ADIPATI RAKSAPRAJA
     Raksapraja merupakan putra dari Prabu Raksagati.
Pada waktu itu pengaruh Mataram sudah kuat sehingga
Raksapraja kemudian menganut agama Islam, berbeda
dengan raja-raja pendahulunya yang beragama Hindu.
     Pada masa pemerintahan Prabu Raksapraja,
Mataram tengah berekspansi ke daerah barat demi
persiapan melakukan penyerangan besar terhadap
Belanda di Batavia. Untuk itu, Mataram melakukan
siasat menaklukan kerajaan Dayeuhluhur dengan cara
halus. Yaitu dengan memberikan seorang putri untuk
diperistri oleh  Raksapraja yang kemudian putri
tersebut menjadi permaisuri kerajaan. Tetapi
belakangan diketahui bahwa putri tersebut ternyata
adalah janda selir dari kerajaan Mataram yang sedang
hamil 5 bulan pada waktu dinikahi Raksapraja.
     Setelah putri tersebut melahirkan, jabang bayi itu
kemudian diberi nama Wirapraja. Pada waktu
Wirapraja berumur 7 tahun, ia dibawa ke Mataram.
Setelah Wirapraja dewasa, barulah ia kembali ke
Dayeuhluhur.
     Pada masa pemerintaha Adipati Raksapraja, pusat
pemerintahan kerajaan Dayeuhluhur dipindahkan dari
karaton Salang Kuning ke karaton Pasir Nangka, dan
gelar Prabu berubah menjadi Adipati karena sudah
kuatnya pengaruh kerajaan Mataram. Adipati
Raksapraja diduga dimakamkan di Pasarean Kulon,
daerah Cipancur, Dayeuhluhur sekarang.
5.  ADIPATI WIRAPRAJA
     Wirapraja kemudian menjadi raja ke-5 setelah
Adipati Raksapraja. Dengan adanya skandal tersebut
diatas, maka sebenarnya Adipati Wirapraja bukanlah
raja turunan sunda, melainkan raja keturunan Mataram.
     Beliau ikut membantu rencana ekspansi Mataram ke
arah barat sebelum dilakukannya serangan besar
Mataram ke Batavia. Bantuan Adipati Wirapraja
adalah berupa serangan ke daerah Ciancang, Ciamis
sampai 3 kali (baca: sejarah Kabupaten Ciamis).
Serangan Adipati Wirapraja yang pertama dan kedua
berhasil membumi hanguskan pusat pemerintahan
kerajaan Ciancang, tetapi setiap kali selesai diserang,
Ciancang selalu bangkit kembali. Hingga pada
serangan yang ketiga Adipati Wirapraja tidak dapat
membumihanguskan atau gagal menaklukan pusat
kerajaan Ciancang dan meninggal disana. Jasadnya
kemudian dibawa kembali ke Dayeuhluhur dan
dimakamkan di Pasarean Kulon.
Menurut sumber sejarah Kabupaten Ciamis, pasukan
Adipati Wirapraja yang dibantu Mataram ini disebut
‘Gerombolan ti Wetan’.
     Di daerah sunda dikenal falsafah ‘Nista, Maja,
Utama’. Sehingga atas dasar tersebut, daerah Ciancang
yang dapat tetap berdiri setelah serangan pertama
(Nista), kedua (Maja), dan ketiga (Utama), sekarang
dinamakan Utama.
6.  ADIPATI WIRADIKA I
     Wiradika I adalah putra kedua Adipati Wirapraja.
Beliau berjasa dalam bidang pertanian dengan
membuka areal persawahan seluas 7 bau (± 49.000 M2)
di sebelah selatan Pasir Nangka dan membangun 2
kolam pusaka (Sawah Situ).
     Adipati Wiradika I tidak memiliki keturunan
(mandul/gabug) karena itu pewaris tahta kerajaan
Dayeuhluhur ditetapkan berdasar jalur keturunan yang
lain yang masih sama-sama segaris dengan Prabu
Wirapraja, raja sebelumnya.
7.  ADIPATI WIRADIKA II
     Wiradika II adalah putra kedua kakak Adipati
Wiradika I yang bernama Raden Rangga
Wirasraya.Adipati Wiradika II berjasa dalam bidang
pertanian dengan membuka areal persawahan seluas 7
bau (± 49.000 M2) juga di komplek Sawah Jero. Adik
beliau yang bernama Mas Patih Wijaya Krama juga
berjasa membuka areal persawahan seluas 12 bau (±
84.000 M2) di sekitar sungai Cibaganjing, yang
sekarang dikenal dengan nama sawah Gintung.
     Setelah meninggal Adipati Wiradika II  dan juga
Mas Patih Wijaya Krama dimakamkan di pasarean
Gunung Purwa.
8.  ADIPATI WIRADIKA III
     Wiradika III adalah putra keenam dari Adipati
Wiradika II dengan gelar RADEN TUMENGGUNG
PRAWIRANEGARA. Beliau aktif membantu dalam
Perang Diponegoro secara sembunyi-sembunyi. Tetapi
kemudian pihak Belanda mengetahui peran Adipati
Wiradika III ini dalam membantu Pangeran
Diponegoro sehingga beliau ditangkap dan diasingkan
ke Padang-Sumatra pada tahun 1831 sampai
meninggal.
     Sejak itu kerajaan Dayeuhluhur bubar, dan
wilayahnya dirubah atas keputusan Belanda menjadi
wilayah kabupaten Cilacap berdasarkan Besluit
Gubernur Jendral Belanda Nu. 21 tanggal 21 Maret
1856. Sampai sekarang, tanggal 21 Maret diperingati
sebagai hari jadi kabupaten Cilacap. Bekas wilayah
kerajaan Dayeuhluhur merupakan 2/3 bagian dari
keseluruhan luas kabupaten Cilacap. Adapun 1/3
sisanya merupakan bekas wilayah kekuasaan
Kademangan/Distrik Adireja, bekas bagian dari
kerajaan Pasir Luhur.
F.  PUSAT PEMERINTAHAN
     Pusat pemerintahan kerajaan Dayeuhluhur dimulai
di karaton Salang Kuning dan berpindah ke karaton
Pasir Nangka.
a.  Salang Kuning
     Sebagaimana disebutkan di muka, bahwa pusat
pemerintahan kerajaan Dayeuhluhur dengan alasan
tertentu didirikan di Salang Kuning. Bukti lain yang
memperkuat dugaan tempat tersebut menjadi pusat
pemerintahan adalah adanya daerah tepat di sebelah
selatan Salang Kuning yang bernama Pamidangan
yaitu tempat untuk bercengkerama/bersantai.
     Di areal bekas istana, sampai sekarang masih
dianggap keramat, ditandai dengan adanya petilasan
berupa batu. Pada waktu lampau, masyarakat sekitar
masih sering mendengar bunyi alunan gamelan seperti
orang hajatan yang sumbernya berasal dari petilasan
tersebut. Hingga sekarang, masyarakat disana pada
waktu senja hingga malam masih pamali (tabu)
menjawab pertanyaan dari orang tidak dikenal, karena
sering kedapatan ada pejalan kaki tak dikenal yang
dapat menghilang secara tiba-tiba dengan ciri pakaian
adat sunda zaman dahulu. Masyarakat Salang Kuning
manganggap sosok tersebut sebagai salah satu orang
kerajaan Dayeuhluhur dahulu dari karaton Salang
Kuning.
     Pada waktu awal pemerintahan yang berpusat di
Salang Kuning, wilayah kerajaan Dayeuhluhur
kemudian dipecah menjadi 3 Kademangan, yaitu:
Kademangan Dayeuhluhur dipimpin langsung oleh
Gagak Ngampar, Kademangan Majenang dengan pusat
di Gunung Padang dipimpin oleh Candi Laras, dan
Kademangan Sidareja dengan pusat di Pegadingan,
Sidareja dipimpin oleh Candi Kuning.
Adapun rute jalan dari pusat karaton Salang Kuning
adalah sebagai berikut:
·      Ke arah Kademangan Majenang : Salang Kuning
– Beber – sisi sungai Cibaganjing – hutan tutupan
perhutani – leutak (Kaduomas) – Cipicung –
Candipura – Karang Gendot – Salebu
·      Ke arah Kademangan Sidareja : Salang Kuning –
Beber – sisi sungai Cibaganjing – hutan tutupan
perhutani – leutak (Kaduomas) – Cipicung –
Candipura – Madura – Cukang Leuleus – Cipari –
Pegadingan
·      Ke arah Barat Daya : Salang Kuning – Cilulu –
Matenggeng – Kamuning – Kuta (Jalur 1) – Panulisan
(jalur 2)
·      Ke arah Barat : Salang Kuning – Cilulu –
Matenggeng – Pongpet – Marga (Jawa Barat)
·      Ke arah barat laut : Salang Kuning – Sindang
Langu – Pasir Manggu – Bingkeng – Kaso (Jawa
barat)
·      Ke arah utara : Salang Kuning – Hanum – Serang
– Cikondang – dst
     Mengingat bahwa kerajaan Dayeuhluhur didirikan
salah satunya kerena alasan hendak dijadikan benteng
terhadap serangan dari timur oleh kerajaan induk
(Kawali), maka diduga rute jalan untuk melakukan
hubungan dengan kerajaan Kawali adalah menempuh
jalur Barat atau Barat laut.
b.  Pasir Nangka
     Pada waktu pengaruh Mataram Islam menguat,
kerajaan Dayeuhluhur pun terkena imbasnya, ditandai
dengan Adipati Raksapraja yang kemudian memeluk
agama Islam. Karaton Salang Kuning nampak kurang
memenuhi syarat sebagai pusat pemerintahan kerajaan
yang memeluk agama Islam. Diantaranya adalah
masalah kebutuhan air. Maka pusat pemerintahan atau
karaton dipindahkan ke Pasir nangka yang relatif
memenuhi syarat untuk perkembangan tata cara
kehidupan secara agama Islam.
     Bukti-bukti adanya karaton Pasir Nangka adalah:
1)   Adanya 2 buah kolam yang sekarang disebut
Sawah Situ. Menurut bahasa sunda, Situ berarti kolam
besar. Pada waktu lampau, di daerah tersebut banyak
ditemukan tambang ijuk sebagai bekas tanggul kolam.
2)  Di daerah Pasir Nangka terdapat bukit kecil yang
dinamakan Gunung Putri, tempat para putri bersantai.
3)  Di sebelah barat Pasir Nangka terdapat kuburan
yang disebut Pasarean Kulon, itu berarti orang yang
menyebut ‘kulon/barat’ tentu berada di timur.
4)  Di sebelah utara pusat kerajaan (Pasir Nangka)
disebut Gunung Purwa yang maknanya
‘awal/permulaan’
5)   Di sebelah selatan Pasir nangka, di jalur selokan
(sumber air) pernah ditemukan bekas bangunan
masjid kuno.
     Raja-raja yang memerintah di istana Pasir Nangka
diduga kuat merupakan raja yang sudah memeluk
agama Islam atau sudah terpengaruh Mataram Islam,
dimulai dari Adipati Raksapraja.
     Sebagaimana kebanyakan karajaan di tatar
Pasundan yang lain, kerajaan Dayeuhluhur pun tidak
meninggalkan warisan  bangunan yang terbuat dari
batu, sehingga sangat sulit menemukan jejak/bekas
karaton  kerajaan.
G. RINEKSA PANCA SATYA
     Rineksa Panca Satya merupakan dasar falsafah  dan
jadi pedoman kehidupan di kerajaan Dayeuhluhur.
Rineksa Panca Satya diucapkan pertama kali pada
waktu penobatan Gagak Ngampar sebagai seorang raja
di istana Salang Kuning.
Rineksa Panca Satya dapat diartikan secara harfiah
sebagai berikut:
–       RINEKSA  : berasal dari akar kata ‘reksa’ yg
berarti memperhatikan sungguh-sungguh, dan
mendapat sisipan ‘in’. Sehingga Rineksa bermakna
berbagai upaya untuk mencurahkan perhatian dengan
sungguh-sungguh.
–       PANCA      : lima
–       SATYA       : janji
Sehingga secara keseluruhan Rineksa Panca Satya
bermakna berbagai upaya untuk mencurahkan
perhatian dengan sungguh-sungguh terhadap lima janji.
1.  Satya pertama : ‘ANDIKA KUDU APAL RAGRAG
NA KALAKAY DI WALUNGAN CIJOLANG NEPI KA
WALUNGAN GEDE’
Dalam bahasa Indonesia:
‘Kamu harus mengetahui gugurnya daun kering di
sungai Cijolang sampai sungai besar’
‘Sungai besar’ yang dimaksud disini adalah Segara
Anakan.
Falsafah yang terkandung:
     Dalam menjalani kehidupan, khususnya berkaitan
dengan tugas dan tanggung jawab, kita harus
mengetahui segala yang berkenaan dengan tugas dan
tanggung jawab tersebut sampai hal yang sekecil-
kecilnya. Satya pertama ini menghendaki manusia
untuk manjadi orang yang berpikir luas dan
menyeluruh, bersikap adil, dan bijaksana.
2.  Satya kedua : ‘ANDIKA ULAH TANGGAH KA
GUNUNG, TAPI KUDU TUNGKUL KA LAUT
JEUNG SING JADI SAGARA KAHIRUPAN’
Dalam bahasa Indonesia:
‘Kamu jangan tengadah ke gunung, tetapi harus
menunduk ke laut dan hendaknya menjadi lautan
kehidupan’
Falsafah yang terkandung:
     Orang tidak boleh sombong, tetapi sebaiknya mesti
rendah hati, menyejukkan, dan berkenan menampung
segala permasalahan orang lain dan memberikan
bantuan selagi kita masih menjalani kehidupan.
3.   Satya ketiga : ‘ANDIKA ULAH NGALEUTIKEUN
HATE BATUR KOMO NGAHINA BISI MANTAK
SIAL’
Dalam bahasa Indonesia:
‘Kamu jangan mengecilkan hati orang lain, apalagi
menghina sebab dapat menyebabkan sial’
Falsafah yang terkandung:
     Orang tidak boleh menyepelekan, apalagi menghina
orang lain. Sebab hinaan tersebut bisa saja suatu ketika
berbalik dan membuat kesialan bagi orang yang
menghina. Hendaknya kita memperlakukan orang lain
dengan baik sebagaimana kita ingin diperlakukan
demikian.
4.  Satya keempat : ‘ANDIKA KUDU SARE BARI
NYARING JEUNG NYARING BARI SARE’
Dalam bahasa Indonesia:
‘Kamu harus tidur dalam bangun, dan bangun dalam
tidur’
Falsafah yang terkandung:
     Orang janganlah terlena oleh suatu keadaan.
Malainkan harus waspada dan selalu bersiap atas
segala kemungkinan, tetapi itu pun jangan membuat
seseorang menjadi terbebani secara berlebihan. Harus
pandai membawa diri dan bersikap dalam situasi yang
berbeda-beda.
5.  Satya kelima : ‘LEMAH CAI JEUNG SAEUSINA
ALAM IEU TEH GETIH JEUNG NYAWA ANDIKA
ANU KUDU DIPUSTI-PUSTI JEUNG
DIAGUNGKEUN’
Dalam bahasa Indonesia:
‘Tanah air dan seisi alam ini adalah darah dan nyawa
kamu yang harus dirawat dan diagungkan’
Falsafah yang terkandung:
Orang harus mencintai, menghargai, serta mampu
merawat tanah airnya sendiri dan juga alam seisinya
sebab semua itu adalah bagian dari kehidupan.
Janganlah melupakan asal-usul, apalagi merusak.
     Jika diperhatikan, direnungkan, dan dihayati
sungguh-sungguh dari mulai judul sampai satya
terakhir, maka Rineksa Panca Satya masih relevan
sebagai pedoman dalam kehidupan pribadi dan
bermasyarakat. Oleh karena itu falsafah bernilai luhur
ini seyogyanya dapat dijadikan pegangan dalam
kehidupan oleh siapapun.
H. TEMPAT KERAMAT DI DAYEUHLUHUR
1)  ARYA SALINGSINGAN/RADEN PERWATASARI
     Beliau adalah seorang adipati Kawali yang berasal
dari Panjalu. Pada masa hidupnya, Raden Perwatasari
adalah seorang yang menentang pendudukan Belanda.
Beberapa kali beliau melakukan perlawanan, tetapi
karena perbedaan kekuatan yang jauh, akhirnya beliau
kalah dan hidup berpindah-pindah demi menghindari
kejaran Belanda. Hingga akhirnya Raden Perwatasari
dapat ditangkap di Aria (sebuah dusun di Desa
Bingkeng, Kecamatan Dayeuhluhur sekarang).
     Selama dalam pengejaran, sebenarnya Raden
Perwatasari sering berpapasan (pasalingsingan; bhs.
sunda) dengan patroli Belanda, namun tidak ketahuan.
Dari kejadian tersebut (berpapasan/pasalingsingan)
akhirnya Raden Perwatasari mendapat julukan Arya
Salingsingan.
     Raden Perwatasari dimakamkan di Dusun Aria,
Desa Bingkeng, Kecamatan Dayeuhluhur sekarang. Di
komplek pemakaman tersebut dikuburkan pula
beberapa orang pengikut beliau. Makam Raden
Perwatasari tersebut pernah dicari dan dikunjungi
pihak Pemda Cianjur. Menurut orang Cianjur, Raden
Perwatasari adalah pejuang dan pahlawan kabupaten
Cianjur yang akan diusulkan menjadi pahlawan
nasional.
2)  SABAKINGKIN
     Adalah sebuah komplek pekuburan di tengah sawah
di sebelah barat lapangan Sabakingkin. Alkisah setelah
kekalahan Sultan Ageng Tirtayasa – Banten dalam
pertempuran melawan Sultan Haji yang dibantu
Belanda, seorang yang sakti dari pihak Sultan Ageng
Tirtayasa merasa kecewa atas peristiwa tersebut dan
merantau ke timur, ke daerah di mana banyak kerajaan
yang menentang Belanda. Hingga akhirnya orang ini
sampai ke wilayah kerajaan Dayeuhluhur dan diterima
oleh raja. Bahkan dipersilahkan memilih tempat tinggal
yang dikehendaki. Konon kesaktian orang ini adalah
lidahnya dapat menjulur sangat panjang dan dapat
dipergunakan pada pertempuran. Orang ini kemudian
meninggal di kemudian hari di tempat yang dipilihnya.
     Nama Sabakingkin berasal dari dua suku kata, yaitu
‘saba’ yg artinya pergi, dan ‘kingkin’ yang artinya
sangat sedih. Keramat Sabakingkin sampai sekarang
masih banyak dikunjungi oleh orang-orang yang
menghendaki kesaktian.
I.    CERITA LAIN
     SURADIKA
     Zaman dahulu, kerajaan Dayeuhluhur menganut
agama Hindu. Sedangkan pada waktu itu pula
berkembang kesultanan Cirebon yang menganut agama
Islam. Sultan Cirebon berkeinginan untuk
mengembangkan wilayah sekaligus syiar agama ke
kerajaan Dayeuhluhur. Maka diutuslah orang yang
memiliki kesaktian yang bernama Suradika. Beliau
diperkirakan diutus ke Dayeuhluhur antara zaman
pemerintahan Prabu Arsagati atau Prabu Raksagati.
Suradika datang ke kerajaan Dayeuhluhur menuju
istana dan menantang raja Dayeuhluhur untuk
mengadu kesaktian.
     Adu kesaktian pertama yang dilakukan oleh kedua
orang tersebut adalah lomba makan. Pertandingan
tersebut dilaksanakan di halaman karaton dan
disaksikan oleh pembesar serta rakyat kerajaan
Dayeuhluhur. Suradika diberi hidangan dengan lauk
daging ayam, sementara sang Prabu makan dengan
lauk daging kambing. Ketika lomba tersebut
berlangsung, terjadilah keanehan. Daging ayam dalam
hidangan Suradika ternyata mengeluarkan suara
berkokok, sedangkan daging kambing yang dimakan
Raksagati bersuara seperti kambing mengembik. Atas
kejadian itu, adu kekuatan yang pertama ini dianggap
seimbang.
     Kemudian dilakukan adu kekuatan yang kedua,
yaitu memasang bubu (perangkap ikan) di halaman
istana yg tidak ada airnya. Suatu kejaiban, di halaman
istana yang tidak berair itu bubu sang Prabu ternyata
berhasil menangkap ikan. Tetapi lebih ajaib lagi,  bubu
Suradika ternyata berhasil menangkap putri sang
Prabu. Dengan kejadian itu, sang Prabu kemudian
menyatakan diri kalah, dan sebagai imbalan, Suradika
kamudian dinikahkan dengan putri yang terperangkap
bubunya tersebut. Suradika lalu diangkat menjadi
pejabat kerajaan.
     Nama Suradika masih disebut-sebut di daerah-
daerah Kaso, Bingkeng, Panulisan (daerah
persawahan) di sisi sungai Cijolang. Menurut
masyarakat di daerah itu, Suradika berjasa membuka
areal persawahan di beberapa tempat di sisi sungai
Cijolang. Setelah meninggal, Suradika dimakamkan di
Cicadas, Malabar, kecamatan Wanareja sekarang.

Anda mungkin juga menyukai