Anda di halaman 1dari 4

Cerita Rakyat Jawa Barat Legenda Ciung Wanara

Ada sebuah kerajaan yang sangat makmur, kerajaan itu bernama kerajaan Galih Pakunan.
uang dipimpin oleh seorang raja bernama Raden Barma Wijaya Kusuma. Rakyat sangat
mencintai sang raja, karena kepemimpinannya yang adil dan bijak. Raja selalu
mengutamakan kepentingan rakyat, selalu memberi solusi yang terbaik untuk rakyat
kerajaan Galih Pakunan.

Raja memiliki patih yang bernama Uwak Batara Lengser, dan juga memiliki dua orang
permaisuri, ialah Dewi Naganingrum dan Dewi Pengreyep. Kehidupan kerajaan pun
berjalan dengan tenang dan damai.

Namun pada suatu hari, kedua permaisuri tersebut hamil dalam waktu yang bersamaan.
Hingga beberapa saat waktu berjalan, Dewi Pengreyep ternyata melahirkan bayi terlebih
dulu, ia melahirkan bayi laki-laki yang sangat tampan dan diberi nama Hariangbanga.
setelah beberapa hari, Dewi Naganingrum pun juga melahirkan seorang bayi yang tak kalah
tampan dari Hariangbanga.

Dewi Pengreyep tidak suka dengan kelahiran bayi Dewi Naganingrum, karena dianggap
menjadi saingan putranya untuk menjadi raja tunggal di kerajaan Galih Pakunan dan
menguasai seluruh harta kerajaan. Ternyata ia menyusun rencana jahat untuk menukar
bayi Dewi Naganingrum dengan seekor anak anjing yang masih kecil.

Seluruh isi kerajaan gempar karena hilangnya bayi Dewi Naganingrum. Raja sangat gelisah
dan sedikit tidak percaya karena permaisuri Dewi Naganingrum melahirkan seekor anjing.
Dengan perasaan marah, raja memerintahkan sang patih untuk membunuh Dewi
Naganingrum di tengah hutan.

Patih Uwak Batara Lengser tidak tega membunuh Dewi Naganingrum, ia membuat rencana
kalau seakan-akan permaisuri sudah dibunuhnya. Kemudian sang patih mengajak Dewi
Naganingrum ke hutan dan membuatkan sebuah gubuk disana.

“Permaisuri, maafkan hamba. Hanya ini yang bisa hamba lakukan untuk menyelamatkan
permaisuri” ucap Uwak Batara Lengser.

“Terima kasih, patih. kamu tidak membunuhku. Aku tahu, ada seseorang yang ingin
mengancurkanku dan anakku” jawab Dewi Naganingrum.

Di tengah hutan, Dewi Naganingrum hidup sendirian. Ia berharap, anak kandungnya yang
hilang segera ditemukan. Karena ia sangat rindu sekali dengan anak itu. Sementara itu sang
patih mengahadap raja dan melapor bahwa ia sudah membunuh Dewi Naganingrum
dengan menunjukkan pedang yang berlumuran darah binatang. Sang raja pun percaya
dengan patih Uwak Batara Lengser.

Bayi Dewi Naganingrum yang dibuang dibuang oleh Dewi Pengreyep, ditemukan oleh
sepasang suami istri yang sudah tua dan tidak memiliki anak. Mereka menemukan bayi itu
ditepi sungai saat hendak mencari ikan, alangkah bahagianya kedua suami istri itu
menemukan bayi yang tampan dan lucu.

Waktu terus berjalan, Bayi itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan
gagah rupawan dan diberi nama Ciung Wanara. Ia ingin sekali mengembara ke Galih
Pakunan, namun tidak di ijinkan oleh kedua orang tua angkatnya. Ciung Wanara tetap
mambujuk agar di ijinkan kesana. Sebelum berangkat Ciung Wanara bertanya siapakah
sebenarnya orang tua kandungnya, orang tua angkat Ciung memberitahu bahwa Ayah
kandungnya adalah Raja Galuh Pakunan dan Ibunya adalah Dewi Naganingrum yang telah
dibuang di hutan.
Berangkatlah Ciung Wanara ke Galuh Pakunan, ia membawa ayam jantan kesayangannya.
Sesampainya disana, Ciung Wanara menantang ayam milik raja untuk di adu. Raja pun
menyetujuinya.

“Bila ayam hamba kalah, hamba rela melepas nyawa hamba. Namun bila ayam hamba
menang, hamba minta separuh kerajaan untuk hamba” ucap Ciung Wanara.
“Baiklah anak muda, saya setujui permintaanmu” jawab raja.

Setelah itu ayam mulai di sabung, pertarungan sangat seru. Ayam jantan milik raja tampak
kewalahan melawan ayam jantan milik Ciung Wanara. Dan pada akhirnya, ayam jantan
milik raja kalah.

“Ampun baginda, ayam jantan hamba berhasil menang” ucap Ciung Wanara.

“Siapakah nama kamu, anak muda?” tanya raja.

“Hamba Ciung Wanara, dari desa seberang” jawab Ciung Wanara.

“Apa sebenarnya tujuanmu datang kemari?” tanya raja.

“Ampun baginda, hamba memiliki telur ayam yang selama setahun induknya mengandung
namun telur itu dibuang sebelum induk ayam melihat telur itu” jawab Ciung Wanara.

mendengar kata-kata Ciung wanara, raja tiba-tiba teringat dengan permaisuri Dewi
Naganingrum. Raja pun menepati janjinya kepada Ciung Wanara untuk memberi separuh
kerajaan dan membaginya dengan Raden Hariangbanga.

Setelah beberapa saat, Ciung Wanara berhasil mengungkap kejahatan Dewi Pengreyep dan
menjebloskannya ke penjara kerajaan, mendengar berita itu, Raden Hariangbanga marah,
ia menantang Ciung Wanara untuk bertarung. Pertarungan kakak beradik itu tak bisa
dihindari. Raden Hariangbanga harus mengakui kesaktian Ciung Wanara, ia kalah dalam
pertarungan.

Sejak saat itu, kerjaan galuh terbagi menjadi dua. Ciung Wanara berhasil menjemput ibu
kandung nya di hutan, kini mereka kembali bersatu. Sementara orang tua angkat Ciung
Wanara diajak ke kerajaan dan hidup disana.

“Jauhi sifat iri dan dengki, karena itu akan menghancurkanmu. Kejahatan walau ditutupi
serapat apapun suatu saat pasti akan terungkap.”
Legenda “Situ Lengkong” dan “Kerajaan” Panjalu

Ciamis merupakan salah satu kota kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang terletak di
bagian timur Kota Priangan, julukan lain Jawa Barat. Di bagian utara kota Ciamis terdapat
salah satu kota kecil (kota kecamatan), yaitu Panjalu. Kota Panjalu terletak sekitar 100 km
dari kota Bandung (ibu kota Propinsi Jawa Barat), sekitar 75 km dari kota Cirebon, dan
sekitar 30 km dari arah kota Ciamis.
Kota kecil ini, ternyata memiliki satu legenda kehidupan masa lalu yang cukup menarik. Di
kawasan Panjalu terdapat sebuah danau buatan yang sangat indah, yaitu ‘Situ Lengkong’.
Seiring berkembangnya pembangunan sektor pariwisata dan budaya, Pemerintah Daerah
Propinsi Jawa Barat menetapkan Panjalu sebagai Kota Wisata Budaya Ziarah.
Sebagai tempat pariwisata, ‘Situ Lengkong’ Panjalu memiliki pesona alam yang sangat
menarik. Bentuk danaunya melingkar dengan air yang jernih serta di tengah-tengah danau
tersebut terdapat daratan atau disebut dengan ‘nusa’. Daratan di sekelilingnya dipenuhi
dengan berbagai jenis tumbuhan (kayu) dan hidup beberapa jenis margasatwa. Dijadikan
sebagai tempat wisata budaya dan ziarah, karena di sekitar ‘Situ Lengkong’ Panjalu
terdapat bangunan kecil tempat menyimpan benda-benda pusaka peninggalan ‘Kerajaan
Panjalu’, yang diberi nama ‘Museum Bumi Alit’. Sejak ‘Kerajaan Panjalu’ itulah Agama Islam
mulai menyebar luas. Salah satu kebudayaan yang sampai sekarang masih tetap dilakukan
secara turun-temurun, yaitu upacara adat sakral ‘Nyangku’. Pelaksanaan upacara adat
‘Nyangku’ dilakukan oleh sesepuh Panjalu, para tokoh, penjaga makam (kuncen), dan unsur
pemerintahan, yang dikordinir oleh Yayasan Boros Ngora dan Pemerintahan Desa Panjalu.

Terjadinya Situ Lengkong Panjalu, tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Panjalu. Konon
sekitar abad VII salah satu leluhur Panjalu bernama ‘Prabu Sanghyang Boros Ngora’ (Haji
Dul Iman bin Umar bin Muhamad) berkelana dengan maksud mencari ilmu pengetahuan,
sehingga sampailah di sebuah tempat yang di sekitarnya terdiri dari bebatuan dan pasir.
Rupanya tanah yang diinjaknya itu adalah tanah suci Mekkah. Di sanalah ia beroleh ilmu
sejati (Islam) yaitu ilmu yang membawa pada keselamatan dunia dan akhirat. Prabu
Sanghyang Boros Ngora menguasai ilmu tersebut dengan sempurna. Setelah itu, ia pulang
dengan membawa oleh-oleh dari seorang sahabat Nabi Muhammad SAW sekaligus sebagai
gurunya, yakni Baginda Ali, r.a. Oleh-oleh dari sahabat Nabi tersebut tiada lain adalah
pakaian kehajian, dan air zam-zam. Air zam-zam dibawanya dalam sebuah gayung yang
permukaannya bolong-bolong, pemberian ayahnya Prabu Sanghyang Cakra Dewa. Dengan
izin Yang Maha Kuasa ia dapat membawa air zam-zam itu pulang ke tempat asalnya,
Panjalu. Setibanya di Panjalu, air zam-zam itu ditumpahkannya di sebuah tempat yaitu
Pasir Jambu, yang hingga kini menjadi sebuah danau yang indah yakni ‘Situ Lengkong’. Di
tengah-tengah danau terdapat daratan yang dinamai ‘Nusa Gede’. Sampai saat ini, maka
diyakinilah bahwa danau buatan ‘Situ Lengkong’ Panjalu terjadi karena tumpahan air zam-
zam yang dibawa oleh leluhur Panjalu pada saat itu, yakni ‘Sanghyang Prabu Boros Ngora’.

Catatan sejarah Yayasan Boros Ngora, mengungkapkan bahwa Kerajaan Panjalu (jaman
dahulu) terbentuk dari gabungan 2 kerajaan, yakni kerajaan Gunung Bitung (Soko
Galuhnya) dan kerajaan Karantenan Gunung Syawal. Tersebutlah ‘Sanghyang Tunggal Ratu
Galuh Nyakra Wati Ing Tanah Jawa’ yang memimpin kerajaan Gunung Bitung, dan
mewariskan kepemimpinannya kepada ‘Batara Babar Sajagat’ dan ‘Prabu Sanghyang Cipta
Permana Dewa’. Keturunan ‘Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa’, yaitu; 1) Sanghyang
Bleg Tambleg Raja Gulingan, 2) Sanghyang Pamunggang Sangrumanghyang, dan 3)
Sanghyang Ratu Permana Dewi, ketiganya merupakan anak kembar. Sanghyang Bleg
Tambleg Raja Gulingan, menguasai ilmu keduniawian yang akhirnya pergi ke Kuningan,
dan Sanghyang Pamunggang Sangrumanghyang, menguasai ilmu kedugalan yang akhirnya
pergi ke Talaga, sedangkan Sanghyang Ratu Permana Dewi memiliki sifat yang berbeda
dengan kedua kakaknya, ia menguasai ilmu kerahayuan dan kedamaian.
Sanghyang Ratu Permana Dewi, berdiam di Panjalu lalu menikah dengan keturunan
kerajaan Karantenan Gunung Syawal yakni ‘Rangga Gumilang’, putra dari Raja Marangga
Sakti sebagai buyut dari ‘Prabu Tisna Jati’ yang mewariskannya kepada putranya ‘Batara
Layah’, diteruskan oleh ‘Karimun Putih’, dan akhirnya kepada ‘Marangga Sakti’ (ayah
Rangga Gumilang).
Ketika memerintah kerajaan Panjalu (Negara Soko Galuh), Sanghyang Ratu Permana Dewi
mendapat gelar dari rakyatnya yaitu gelar ‘Soko Galuh Panjalu’. Panjalu beasal dari kata
‘jalu’ yang berarti laki-laki, kemudian ditambah awal kata ‘pan’, sehingga maksudnya
berubah menjadi bukan laki-laki (melainkan perempuan). Palsafah hidup yang diajarkan
oleh Sanghyang Ratu Permana Dewi adalah ‘Mangan Karna Halal, Pake Karna Suci, Tekad
Ucap Lampah Sabenere’, yang artinya makan makanan yang halal, berpakaian yang bersih,
itikad ucapan perilaku yang benar. Sampai saat ini palsafah tersebut masih dipegang teguh
oleh masyarakat Panjalu.
Hasil pernikahan Sanghyang Ratu Permana Dewi dengan Rangga Gumilang melahirkan
seorang putra bernama ‘Prabu Sanghyang Lembu Sampulur’, yang meneruskan
memerintah kerajaan Panjalu, dan pada akhirnya diserahkan kepada ‘Prabu Sanghyang
Cakra Dewa’. Nama Prabu Sanghyang Cakra Dewa, berarti menolak dewa, karena ia
menguasai ilmu yang tinggi sehingga kurang percaya dengan adanya dewa ilmu ‘Sunda
Wiwitan’ yang diajarkan oleh Prabu Sanghyang Cakra Dewa. Prabu Sanghyang Cakra Dewa,
berputra 6 orang yaitu; 1) Sanghyang Lembu Sampulur, 2) Sanghyang Prabu Boros Ngora,
3) Sanghyang Panji Barani, 4) Ratu Marangprang Kencana Artas Wayang, 5) Ratu Pundut
Agung, dan 6) Angga Runtin.

Sanghyang Prabu Boros Ngora (salah seorang putra Sanghyang Prabu Cakra Dewa),
dinobatkan menjadi Raja Panjalu, kemudian memindahkan pusat kerajaan Panjalu dari
Dayeuh Luhur ke Pasir Jambu, yang saai ini menjadi Nusa Gede di tengah-tengah Situ
Lengkong. Dua orang putra dari Prabu Sanghyang Boros Ngora yakni Prabu Haryang
Kuning dan Prabu Haryang Kancana, adalah penerus leluhur kerajaan Panjalu berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai