Disusun oleh
NIM : P1337420920144
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi adalah suatu gangguan kardiovaskular yang umum terjadi
(Karo, 2016). Hipertensi juga dikenal sebagai penyakit yang menyebabkan
permasalahan besar dan serius. Penyebab dari hal tersebut adalah peningkatan
prevalensi hipertensi secara menerus dan tinggi (Dilianti, Candrawati, & Adi,
2017). Hipertensi juga diketahui sebagai faktor yang sering berpengaruh
terhadap permasalahan kesehatan pada jantung dan pembuluh darah
(Hutajulu, Hotnida Elisabet,. & Malinti, 2017).
Menurut WHO (World Health Organization) pada tahun 2015,
sebanyak 1.13 miliar orang mengalami hipertensi, hal tersebut juga dapat
diartikan bahwa 1 dari 3 orang di dunia mengalami hipertensi. Setiap tahun,
jumlah klien hipertensi mengalami peningkatan. Bahkan, diperkirakan
sebanyak 1.5 miliar orang akan mengalami hipertensi pada tahun 2025 dan
sebanyak 10.44 juta di antaranya meninggal dunia (World Health
Organization, 2015). Hasil Riskesdas tahun 2018 menyatakan bahwa
Indonesia memiliki jumlah estimasi kasus hipertensi sebanyak 63.309.620
orang dan 427.218 kematian dikarenakan hipertensi (Riskesdas, 2018).
Penyakit hipertensi mempunyai proporsi paling besar di Jawa Tengah
dan mencapai angka 1.377.356 orang dalam kategori penyakit tidak menular
(Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2018). Hipertensi juga menempati
urutan pertama dalam kategori tesebut di Kota Semarang. Dalam data Profil
Kesehatan Kota Semarang, telah ditemukan sebanyak 161.283 kasus
hipertensi di Puskesmas dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP),
lalu terdapat 18.007 kasus di rumah sakit (Dinas Kesehatan Kota Semarang,
2018).
Hipertensi mempunyai faktor resiko yang menyebabkan tingginya
kasus hipertensi dunia bahkan di Indonesia. Faktor resiko yang dimaksud di
antaranya adalah keturunan, merokok, dan stress. Di antara factor resiko
tersebut, beberapa faktor dapat dikontrol secara mandiri. Berat badan
merupakan satu dari faktor-faktor tersebut. Orang dewasa dengan
peningkatan berat badan diestimasikan menyumbang kasus baru hipertensi
sebanyak 70%. Diduga, apabila terdapat peningkatan berat badan, maka
volume darah juga akan meningkat sehingga beban jantung ikut bertambah.
Selanjutnya, faktor yang berkontribusi merupakan faktor stress. Stress dapat
menyebabkan hipertensi dengan melalui saraf simpatis. Dalam kondisi stress,
adrenalin terpacu masuk ke aliran darah, sehingga peningkatan darah dapat
terjadi (Situmorang, 2015).
Penyakit hipertensi merupakan hal yang dapat membahayakan siapapun
yang mengalaminya, sehingga perlu untuk segera diatasi. Sekitar 80 – 95%
kasus hipertensi merupakan hipertensi esensial yang peningkatan tekanan
darah tanpa adanya penyebab yang spesifik. Kondisi ini umumnya jarang
menimbulkan gejala juga seringkali tidak disadari, sehingga dapat
menimbulkan morbiditas lain seperti gagal jantung kongestif, hipertrofi
ventrikel kiri, stroke, gagal ginjal, atau bahkan kematian (Kasper et al., 2015).
Kemenkes membuat kebijakan untuk pengelolaan penyakit tidak
menular, kebijakan yang berkaitan dengan hipertensi adalah pengelolaan
hipertensi. Kebijakan tersebut di antaranya adalah skrining, pelayanan deteksi
dini dengan kegiatan Posbindu PTM, dan peningkatan sarana prasarana
promotif-preventif, serta diagnostik dan pengobatan. Dalam pencegahan
sekunder, puskesmas melakukan pengobatan dini. Sementara itu, pencegahan
tersiernya adalah dengan penindaklanjutan secara dini serta ketepatan
mengelola hipertensi termasuk memberikan obat untuk mengontrol tekanan
darah. Kebijakan tersebut dapat mencegah terjadinya komplikasi lain seperti
permasalahan pada jantung dan ginjal (Omeoo, 2017).
Mengacu pada pencegahan tersier tersebut, penatalaksanaan
farmakologis hipertensi terdiri dari beberapa macam pengobatan yang wajib
dikonsumsi yaitu Angiotensin Converting Enzym (ACE), beta blocker, direct
renin inhibitor, dan lain-lain (Triyanto, 2014). Berbagai obat tersebut dapat
menyebabkan turunnya tekanan darah secara cepat. Akan tetapi, berbagai
macam dampak akan muncul tergantung lama dan durasi pemakaiannya.
Pengobatan tersebut dapat menimbulkan efek samping berupa sakit kepala,
gangguan pada hati dan jantung, lemas, dan mual (Lalage, 2015). Upaya
untuk meminimalkan efek samping farmakologis dan membantu supaya
tekanan darah menurun, maka perlu pendekatan non farmakologis sebagai
pendamping penatalaksanaan farmakologis.
Penanganan hipertensi secara non farmakologis dapat digunakan untuk
membantu tekanan darah supaya tidak semakin meningkat dan mengurangi
timbulnya komplikasi hipertensi (Triyanto, 2014). Terapi nonfarmakologi
tersebut di antaranya dengan mengurangi konsumsi alkohol, rokok, garam,
dan lemak, meningkatkan konsumsi sayur dan buah, diet, latihan fisik, dan
terapi alternatif komplementer slow stroke back massage. SSBM dapat
membantu menurunkan tekanan darah apabila dilakukan secara rutin.
Mekanisme slow stroke back massage adalah pada pelepasan
endorphin, vasodilatasi sistemik dan penurunan kontraktilitas yang terjadi
akibat peningkatan aktivitas sistem saraf parasimpatis yang mengeluarkan
neurotransmitter asetilkolin yang dapat menghambat depolarisasi SA node
dan AV node yang berakibat pada penurunan aktivitas sistem saraf simpatis
sehingga menimbulkan dampak penurunan kecepatan denyut jantung, curah
jantung dan volume sekucup sehingga terjadi penurunan tekanan darah
(Muttaqin, 2009; dalam Kusumoningtyas et al., 2018).
Dalam keberhasilan prosedur SSBM tentunya juga tak luput dari
berbagai peran perawat. Peran tersebut di antaranya yaitu sebagai caregiver,
educator, dan researcher. Sebagai care giver, perawat membantu dalam
pengelolaan kesehatan dan penyakit, serta proses penyembuhan yang
maksimal dan mandiri. Sedangkan sebagai edukator, perawat membantu klien
untuk mempelajari kesehatan dan prosedur perawatan kesehatan yang
berguna untuk menjaga maupun memulihkan kesehatannya sendiri.
Berikutnya, perawat juga berperan sebagai peneliti, dimana perawat
mengidentifikasi fenomena kesehatan serta melakukan penelitian tentang
fenomena tersebut dalam praktek keperawatan.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, pemenuhan peran perawat,
serta tingkat kemudahan penerapan SSBM, penulis tertarik melakukan
penerapan EBP yaitu melakukan SSBM untuk menurunkan tekanan darah
klien hipertensi.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk menerapkan SSBM sebagai alternatif untuk menurunkan tekanan
darah pada klien hipertensi.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi hasil pengkajian fisik klien.
b. Mengidentifikasi perbedaan tekanan darah sebelum dan sesudah
dilakukan SSBM pada klien.
c. Mendidentifikasi pengaruh SSBM terhadap tekanan darah.
C. Manfaat
1. Manfaat Aplikatif
a. Bagi klien hipertensi dan keluarga
Hasil penerapan EBNP ini dapat dimanfaatkan oleh klien sebagai
tindakan keperawatan mandiri untuk menjaga tekanan darah supaya
stabil. Tindakan mandiri keperawatan SSBM diharapkan dapat
menjadi pendamping terapi farmakologis untuk mengontrol tekanan
darah dan mengurangi timbulnya komplikasi. Keluarga dapat
merasakan manfaat atas kolaborasi bersama klien dibuktikan dengan
tekanan darah yang terkontrol.
b. Bagi perawat
Hasil penerapan EBNP ini dapat dimanfaatkan oleh perawat sebagai
alternatif intervensi mandiri untuk pasien. Perawat juga dapat
mengembangkan hasil penerapan EBNP untuk pemeliharaan maupun
pemulihan kesehatan pasien.
c. Bagi puskesmas dan rumah sakit
Hasil penerapan EBNP ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu
pertimbangan dalam memilih alternatif terapi untuk menurunkan
hipertensi. Selain itu, institusi pelayanan juga dapat memanfaatkan
hasil penerapan EBNP sebagai pertimbangan pembuatan SOP terapi
mandiri pasien.
2. Manfaat Keilmuan
Hasil penerapan EBNP ini dapat digunakan sebagai dasar mahasiswa
keperawatan dalam mengembangkan terapi nonfarmakologis untuk
menurunkan tekanan darah, salah satunya adalah SSBM. Instrumen
penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi karakteristik dan
mengobservasi penurunan tekanan darah pada klien hipertensi. Selain itu,
hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai referensi untuk terapi
nonfarmakologi guna menurunkan tekanan darah.
3. Manfaat Metodologis
Diharapkan penerapan EBNP ini dapat menjadi data dasar dalam
melakukan penelitian tentang pengaruh SSBM terhadap tekanan darah
pada klien hipertensi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Lansia
1. Pengertian Lansia
Lansia merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang
ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi
dengan stres lingkungan. Lansia juga dapat diartikan sebagai
seseorang yang telah berusia >60 tahun dan tidak berdaya mencari
nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari
(Ratnawati, 2017).
2. Karakteristik Lansia
a. Usia
Menurut UU No.13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut
usia, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia diatas 60
tahun (Ratnawati, 2017).
b. Jenis kelamin
Data Kemenkes RI (2015), lansia didominasi oleh jenis kelamin
perempuan. Artinya, ini menunjukkan bahwa harapan hidup yang
paling tinggi adalah perempuan (Ratnawati,2017).
c. Status pernikahan
Berdasarkan Badan Pusat Statistik RI SUPAS 2015, penduduk
lansia ditilik dari status perkawinannya sebagian besar berstatus
kawin (60 %) dan cerai mati (37 %). Adapun perinciannya yaitu
lansia perempuan yang berstatus cerai mati sekitar 56,04 % dari
keseluruhan yang cerai mati, dan lansia laki-laki yang berstatus
kawin ada 82,84 %. Hal ini disebabkan usia harapan hidup
perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan usia harapan hidup
laki-laki, sehingga presentase lansia perempuan yang berstatus
cerai mati lebih banyak dan lansia laki-laki yang bercerai
umumnya kawin lagi (Ratnawati, 2017).
d. Pekerjaan
Mengacu pada konsep active ageing WHO, lanjut usia sehat
berkualitas adalah proses penuaan yang tetap sehat secara fisik,
sosial dan mental sehingga dapat tetap sejahtera sepanjang hidup
dan tetap berpartisipasi dalam rangka meningkatkan kualitas
hidup sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan data Pusat Data
dan Informasi Kemenkes RI 2016 sumber dana lansia sebagian
besar pekerjaan/usaha (46,7%), pensiun (8,5%) dan (3,8%)
adalah tabungan, saudara atau jaminan sosial (Ratnawati, 2017).
e. Kondisi kesehatan
Angka kesakitan, menurut Pusat Data dan Informasi Kemenkes
RI (2016) merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk
mengukur derajat kesehatan penduduk. Semakin rendah angka
kesakitan menunjukkan derajat kesehatan penduduk yang
semakin baik. Angka kesehatan penduduk lansia tahun 2014
sebesar 25,05%, artinya bahwa dari setiap 100 orang lansia
terdapat 25 orang di antaranya mengalami sakit. Penyakit
terbanyak adalah penyakit tidak menular (PTM) antar lain
hipertensi, artritis, stroke, diabetes mellitus (Ratnawati, 2017).
3. Klasifikasi Lansia
WHO memberi batasan yaitu usia pertengahan (middle age) antara 45
sampai dengan 59 tahun, usia lanjut (elderly) dari 60 sampai dengan
74 tahun, dan usia lanjut tua (old) dari 75 sampai dengan 90 tahun,
serta usia sangat tua (very old) lebih dari 90 tahun (Nugroho,
2016).
B. Konsep Hipertensi
1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah sebuah peningkatan tidak normal pada
pembuluh darah arteri yang berfungsi untuk mengalirkan darah dan
memompa ke seluruh jaringan serta organ tubuh secara terus menerus
(Irianto, 2014). Sedangkan menurut Triyanto (2014) hipertensi terjadi
apabila tekanan darah meningkat melebihi batas normal. Peningkatan
tekanan darah tersebut membuat morbiditas dan mortilitas meningkat.
Pengertian lain dari hipertensi yaitu gangguan dalam sistem
peredaran darah yang sering ditemukan pada lansia. Hipertensi
ditandai dengan adanya kenaikan tekanan darah. Kenaikan tekanan
darah pada sistolik melebihi 150mmHg akan tetapi masih dalam
rentang 150-155 mmHg, masih dianggap normal jika terjadi pada
lansia. Pada tekanan darah diastol, dikategorikan hipertensi apabila
mencapai angka lebih dari 90 mmHg (Sudarta, 2013).
2. Etiologi Hipertensi
3. Patofisiologi Hipertensi
Menurut (Triyanto, 2014), peningkatan tekanan darah dapat
terjadi karena beberapa cara. Cara yang dimaksud yaitu daya pompa
jantung yang lebih kuat dari biasanya sehingga mengalirkan lebih
banyak cairan. Oleh sebab itu, arteri besar kehilangan kelenturan dan
kaku. Sehingga, arteri besar tidak dapat mengembang saat jantung
memompa darah. Darah dari jantung yang dipaksa mengalir melalui
pembuluh darah yang sempit menyebabkan meningkatnya tekanan
darah. Penebalan dan kakunya pembuluh darah arteri terjadi pada
lansia, dimana hal tersebut disebabkan oleh arterioskalierosis.
Selain itu, peradangan dan cidera pada ginjal, serta terjadinya
penyempitan arteri yang menuju ginjal (stenosis arteri renalis) dapat
menyebabkan adanya kenaikan tekanan darah. Hal ini disebabkan
karena salah satu fungsi ginjal adalah mengendalikan tekanan darah.
Apabila tekanan darah meningkat, maka ginjal akan mengeluarkan
garam dan air yang akan mengembalikan tekanan darah ke batas
normal. Begitu pula sebaliknya, apabila tekanan darah menurun, ginjal
akan membatasi pengeluaran garam dan air sehingga tekanan darah
meningkat (Triyanto, 2014).
4. Klasifikasi Hipertensi
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi
(Triyanto, 2014)
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2015), tanda dan gejala hipertensi dapat
dibedakan menjadi :
a. Tidak ada gejala
Peningkatan tekanan darah dapat terjadi tanpa adanya gejala yang
spesifik selain dengan penentuan tekanan arteri oleh dokter.
Hipertensi arterial tidak akan terdiagnosa dengan tidak terukurnya
tekanan arteri.
b. Gejala yang lazim
Gejala yang sering dialami oleh klien hipertensi adalah nyeri pada
kepala dan juga kelelahan. Dua hal tersebut merupakan gejala
lazim yang dirasakan klien hipertensi untuk mencari pertolongan
medis. Gejala lain yang sering dialami yaitu :
1. Nyeri kepala
2. Lemas
3. Kelelahan
4. Gelisah
5. Kesulitan bernapas
6. Mual
7. Muntah
8. Epistaksis
9. Penurunan kesadaran
a. Non farmakologi
Melakukan pola hidup sehat dapat menurunkan tekanan darah dan
sangat bermanfaat untuk menurunkan risiko permasalahan
kardiovaskular. Klien yang mengalami hipertensi derajat 1 tanpa
faktor risiko kardiovaskular lain mempunyai tatalaksana awal.
Tatalaksana awal tersebut yaitu menjalani pola hidup sehat
selama setidaknya 4-6 bulan. Apabila tidak ada penurunan
tekanan darah yang diharapkan, makan dianjurkan untuk
menjalani terapi farmakologi (PERKI, 2015). Berikut adalah pola
hidup sehat yang dianjurkan oleh beberapa guidelines (PERKI,
2015) :
1. Penurunan berat badan
Mengubah kebiasaan memakan makanan tidak sehat dengan
memperbanyak konsumsi sayuran dan buah akan
memberikan manfaat lebih selain penurunan tekanan darah.
Manfaaat lain yang didapat yaitu menghindari diabetes dan
dislipidemia.
2. Mengurangi asupan garam
Diet rendah garam tidak jarang dapat berfungsi untuk
mengurangi dosis obat antihipertensi pada klien hipertensi
derajat ≥ 2. Anjuran asupan garam perharinya tidak melebihi
2gr.
3. Olahraga
Olahraga teratur selama 30-60 menit/hari yang dilakukan
minimal 3hari/minggu dapat membantu penurunan tekanan
darah.
4. Mengurangi konsumsi alkohol
Mengkonsumsi alkohol sebanyak 1 gelas pada wanita dan 2
gelas pada pria dapat meningkatkan tekanan darah. Sebab
itulah pembatasan konsumsi alkohol dapat membantu
penurunan tekanan darah.
Selain itu, terdapat pula terapi non farmakologi lain yang dapat
membantu penurunan tekanan darah :
1. Pembatasan Kafein
Konsumsi kafein yang berlebihan dapat meningkatkan
tekanan darah. Hal ini disebabkan karena kafein dapat
memicu hormon adrenalin dan menyebabkan peningkatan
tekanan darah. Pengaruh kafein sendiri dapat dirasakan dalam
waktu 5-30 menit dan dapat bertahan sampai 12 jam.
Peningkatan tekanan darah juga bergantung pada seberapa
banyaknya kafein yang dikonsumsi (Wahyuni, 2013).
2. Menghentikan Kebiasaan Merokok
Rokok mengandung nikotin, zat ini akan meningkatkan
denyut jantung dan mengakibatkan vasokontriksi perifer
yang akan meningkatan tekanan darah arteri. Penghentian
kebiasaan merokok sangat dianjurkan, karena untuk
mengurangi resiko terhadap, kanker, penyakit paru-paru,
dan penyakit kardiovaskular (Black & Hawks, 2014).
b. Farmakologi
Terapi farmakologi dimulai apabila klien hipertensi derajat I
belum mengalami penurunan tekanan darah setelah menjalani
pola hidup sehat selama 6 bulan. Terapi farmakologi juga
diterapkan pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Prinsip dasar terapi
farmakologi yang perlu diperhatikan untuk meminimalisir efek
samping serta menjaga kepatuhan yaitu :
1. Memberikan obat dosis tunggal apabila memungkinkan.
2. Memberikan obat generic apabila dapat mengurangi biaya
dan sesuai.
3. Perhatikan faktor komorbid saat memberikan obat pada
pasien usia lanjut.
4. Jangan memberikan angiotensin II receptor blockers (ARBs)
dengan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i).
5. Memberikan edukasi menyeluruh kepada klien mengenai
terapi farmakologi.
6. Melakukan pemantauan efek samping obat secara rutin.
C. Konsep SSBM
1. Pengertian SSBM
SSBM adalah tindakan massage pada punggung dengan
usapan perlahan selama 3-10 menit (Potter & Perry, 2005; dalam
Wibowo, 2018). SSBM merupakan tindakan keperawatan mandiri
perawat non famakologi yang efektif menurunkan depresi dengan
tidak mempunyai efek samping (minim risk) dibandingkan dengan
farmakologi yang dapat mempengaruhi disfungsi seksual,
peningkatan berat badan, dan gangguan tidur selama terapi jangkla
panjang (Wong, 2010; dalam Wibowo, 2018).
2. Manfaat SSBM
Slow stroke back massage dapat menurunkan tekanan darah,
frekuensi jantung dan suhu tubuh (Smeltzer, 2010; dalam
Kusumoningtyas, 2018).
3. Prosedur SSBM
Prosedur teknik relaksasi slow stroke back massage yang akan
dilakukan adalah sebagai berikut,
Gerakan I : Memberikan tekanan pada punggung dengan telapak
tangan dan jari tangan dari bawah ke atas dilanjutkan atas ke
bawah dengan gerakan memutar.
Gerakan II : Memberikan tekanan pada punggung dengan ibu jari
dari bawah ke atas dilanjutkan atas ke bawah dengan gerakan
memutar.
Gerakan III : Memberikan tekanan pada punggung dengan telapak
tangan dan jari dari bawah ke atas dilanjutkan atas ke bawah
dengan gerakan menyilang.
Gerakan IV : Memberikan tekanan pada punggung dengan telapak
tangan dan jari dari bawah ke atas dilanjutkan atas ke bawah
dengan gerakan zigzag.
Gerakan V : Memberikan tekanan pada punggung dengan telapak
tangan dan jari dari bawah ke atas dilanjutkan atas ke bawah
dengan gerakan lurus.
BAB III
RANCANGAN SOLUSI
A. PICOT
PICOT adalah mnemonic yang memudahkan seseorang untuk mencari
informasi klinis dalam praktik ilmu kesehatan berbasis bukti ilmiah. PICOT
sendiri merupakan suatu akronim dari kata-kata berikut:
1. P untuk Patient, Population, Problem
Kata-kata ini mewakili pasien, populasi, dan masalah yang diangkat
dalam karya ilmiah yang ditulis.
2. I untuk Intervention, Prognostic Factor, atau Exposure
Kata ini mewakili intervensi, faktor prognostik atau paparan yang akan
diangkat dalam karya ilmiah.
3. C untuk Comparison atau Intervention (jika ada atau dibutuhkan)
Kata ini mewakili perbandingan atau intervensi yang ingin dibandingkan
dengan intervensi atau paparan pada karya ilmiah yang akan ditulis.
4. O untuk Outcome yang ingin diukur atau ingin dicapai
Kata ini mewakili target apa yang ingin dicapai dari suatu penelitian
misalnya pengaruh atau perbaikan dari suatu kondisi atau penyakit
tertentu.
5. T untuk Time frame atau batas waktu
1. P : klien hipertensi
2. I : SSBM
3. C : -
4. O : tekanan darah menurun
5. T : 1 sampai 5 hari intervensi
B. Artikel Penelitian
Peneliti mendapatkan 5 artikel penelitian dengan judul dan penulis sebagai
berikut :
1. Dwinta Nuke Kusumoningtyas, Diah Ratnawati: Efektifitas Terapi
Slow Stroke Back Massage Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia di
RW001 Kelurahan Jombang Kecamatan Ciputat Kota Tangerang
Selatan (2018)
2. Ni Kadek Dewi Ayu Prtaiwi, Citra Sepriana, Nia Firdianty
Dwiatmojo, Dina Fithriana: Pengaruh Terapi SSBM Terhadap
Perubahan TD Pada Lansia Dengan Hipertensi Di Bslu Mandalika
NTB (2019)
3. Fakhrudin Nasrul Sani, Mellia Silvy Irdianty: The Effects of Slow
Stroke Back Massage and Lavender Aromatherapy on Blood Pressure
in Hypertensive Patients (2020)
4. Thomas Ari Wibowo : Pengaruh Slow Stroke Back Massage (SSBM)
Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Hipertensi Lansia (2018).
5. Ni Wayan Trisnadewi, Theresia Anita Pramesti, I Made Sudarma
Adiputra : Efektivitas Slow Stroke Back Massage Dengan
Menggunakan Minyak Esensial Kenangan (Cananga Odorata) Dan
Minyak Esensial Lavender (Lavandula Angustifolia) Terhadap
Penurunan Tekanan Darah Pada Lansia Dengan Hipertensi (2018)
C. Analisis Artikel
Berdasarkan hasil analisis sebanyak 5 artikel, dapat ditarik kesimpulan bahwa
SSBM efektif dalam menurunkan tekanan darah pada klien hipertensi.
Adapun ringkasan artikel yang telah dianalisis tercantum pada tabel 3.1
Tabel 3.1
Ringkasan artikel SSBM sebagai alternatif terapi dalam menurunkan tekanan darah pada klien hipertensi tahun 2015-2020
Black, J., & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan. Jakarta: Salemba Emban Patria.
Dinas Kesehatan Kota Semarang. (2018). Profil Kesehatan Kota Semarang 2018.
In dinkes.semarangkota.go.id.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2018). Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2018. In dinkesjatengprov.go.id. Retrieved from
http://dinkesjatengprov.go.id/v2018/dokumen/profil_2018/mobile/index.html
Doumas, Papademetriou, M. &, Faselis, V. &, Kokkinos, C. &, & Peter. (2013).
Gender Differences in Hypertension: Myths and Reality. Current
Hypertension Reports.
Hu, B., Liu, X., Yin, S., Fan, H., Feng, F., & Yuan, and J. (2015). Effects of
Psychological Stress on Hypertension in Middle-Aged Chinese: A Cross-
Sectional Study.
Ilkafah. (2016). Obat Anti Hipertensi Dan Terapi Rendam Air Hangat Di Wilayah
Kerja Puskesmas Antara Tamalanrea Makasar. Pharmacon, 5(2), 228–235.
Karo, S. K. (2016). Cegah & Atasi Penyakit Jantung & Pembuluh Darah. Jakarta:
Praninta Aksara.
Lalage, Z. (2015). Hidup Sehat Dengan Terapi Air. Klaten: Abata Press.
Omeoo. (2017). Hipertensi dan Penanganannya. Retrieved October 13, 2019, from
p2ptm.kemkes.go.id website: http://p2ptm.kemkes.go.id/artikel-
sehat/hipertensi-dan-penanganannya
Sani, F. N., & Irdianty, M. S. (2020). The Effects of Slow Stroke Back Massage
and Lavender Aromatherapy on Blood Pressure in Hypertensive Patients.
Indonesian Journal of Medicine, 5(3), 178-184.