LN Char6021 02 R0
LN Char6021 02 R0
Week 2
1
Sebagian besar materi ini diadaptasi dari Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. CBDC
Bina Nusantara University: Jakarta.
LO2 : Menjelaskan pengenalan akan Tuhan melalui sesama dan lingkungan hidup
Istilah alam lingkungan memiliki banyak arti dan makna. Namun dari banyak makna
itu kiranya kita sepakat bahwa secara praktis, alam lingkungan terdiri dari unsur-unsur non
manusiawi (infrahuman) yang terdapat di dalam kosmos atau semesta ini. Unsur-unsur yang
dimaksud di antaranya sinar matahari, tanah, udara, air, flora (tumbuhan), fauna (hewan),
iklim, suhu, dan lain sebagainya. Dalam perspektif ekologi, manusia hanyalah salah satu
elemen saja di dalam jejaring ekosistem alam lingkungan itu. Paradigma seperti ini tentu
kontradiktoris dengan paradigma antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat
dalam tatanan alam semesta atau realitas kosmos ini.
Jika segala entitas ada di dalam alam merupakan satu kesatuan ekosistem,
maka terdapat sebuah korelasi fundamental antara berbagai unsur kosmik di dalam alam ini.
Ada rerantai hubungan integral yang erat satu unsur dengan unsur yang lain.
Matahari memberikan sinar yang berfungsi untuk memperlancar proses fotosintesis
tumbuhan yang akhirnya menghasilkan daun dan buah yang bisa dikonsumsi oleh manusia
dan hewan demi kelangsungan hidupnya. Siklus ini berevolusi, terus berlangsung sepanjang
waktu untuk memastikan eksistensi kehidupan itu tetap ada menuju masa depan kehidupan
alam itu sendiri.
Kondisi lingkungan alam bumi kita saban hari terus dihantui problem krusial yang
menderanya. Krisis ekologi yang disebabkan oleh aktivitas pembangunan manusia membuat
alam tempat kita hidup menjadi tidak seimbang lagi. Bumi hampir di ambang kepunahannya.
Apa akar masalah krisis alam lingkungan bumi ini? Bisa dikedepankan dua (2)
penyebab utama krisis alam lingkungan dewasa ini: yakni pada tataran hidup praktis dan pada
tataran wilayah teori atau cara berpikir. Pertama, pada tataran praktis, kerusakan alam
muncul karena sikap dan perilaku manusia yang tidak berlandaskan nilai-nilai moral-etis
dalam mengembangkan relasi dengan alam (perilaku yang tidak etis-ekologis). Model ini
menunjukkan cara bersikap tidak ramah lingkungan yang berujung pada penciptaan pola
relasi eksploitatif terhadap alam. Pola ini dinilai tidak etis dari sudut pandang kebaikan alam
lingkungan karena hanya mengedepankan sikap tamak/rakus manusia.
Kedua, pada tataran paradigma atau cara berpikir manusia. Bicara soal paradigma
berpikir, tentu kita tidak bisa lepas dari prinsip filosofi atau cara pandang manusia terhadap
alam. Cara berpikir sesat-keliru pada alam akan terwujud dalam perilaku tidak bijak dalam
relasi manusia dengan alam. Mindset pikiran manusia yang keliru menjadi salah faktor
penyebab kerusakan alam semesta.
Tentu bagi kita orang-orang yang menghayati agama dan spiritualisme, eko-filosofi
bisa menjadi suatu kewajiban/kesadaran moral religius-spiritual yang dipakai sebagai modal
atau instrumen efektif untuk mengubah cara pikir kita yang keliru/salah pada lingkungan
alam. Manusia telah berdosa terhadap alam dengan kejahatan-kejahatan ekologis seperti
menebang pohon, membuang sampah sembarangan, merambah hutan secara liar, mengotori
air, mempolusikan udara dan lain sebagainya. Perlu dilakukan sebuah metanoia (pertobatan)
ekologis untuk mengembalikan kembali keindahan dan kesakralan alam semesta. Cara pikir
yang sudah kita ubah, niat luhur yang sudah ada dalam hati, kita tunjukkan juga dalam
komitmen tindak-nyata untuk membangun relasi yang lebih etis, estetis, humanis, harmonis
dan selaras dengan alam lingkungan. Sesudahnya, mari kita sama-sama songsong sebuah
tatanan dunia baru yang bebas dari krisis ekologis. Kita sambut masa depan ekologi bumi
yang semakin baik.
Semua agama dan aliran spiritual memiliki satu keyakinan mendasar bahwa alam
lingkungan termasuk manusia di dalamnya diciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang indah dan
baik adanya sejak semula. Alam adalah emanasi, pancaran atau mengalir keluar dari Tuhan
itu sendiri. Agama-agama yakin dan percaya bahwa Tuhan berbicara kepada kita umat-Nya
melalui fenomena alam yang kita lihat sehari-hari. Oleh karena itu alam semesta (universum)
adalah tanda kehadiran Tuhan. Alam semesta adalah epifani (penampakan) Tuhan itu sendiri.
Adanya dunia dan proses evolusinya dalam dinamika waktu yang panjang tidak
mengurangi kualitas nilai luhur alam semesta sebagai ciptaan Tuhan. Lingkungan alam
tempat manusia hidup merupakan sebuah realitas yang bernilai intrinsik pada dirinya sendiri.
Nilai intrinsik alam tidak ditentukan oleh manusia, namun memiliki nilai internal pada
dirinya sendiri (in se) sejak awal mula diciptakan Tuhan. Nilai intrinsik lingkungan alam
diberikan Tuhan sejak proses penciptaan dan berlangsung sampai sekarang dan hingga ke
masa depan sepanjang keberadaan alam ini. Manusia tidak berhak sedikitpun menentukan
nilai dan martabat lingkungan alam. Lingkungan alam adalah sebuah faktisitas atau
kenyataan yang terberikan oleh Tuhan untuk manusia. Karenanya lingkungan alam adalah
berkat (rahmat) instimewa Tuhan yang perlu disyukuri oleh setiap manusia di kolong langit
ini. Bentuk syukur tersebut harusnya direalisasikan dalam wujud sikap tanggung jawab
manusia untuk menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh satu akademi pertanian tentang produksi 3640
liter jagung di ladang seluas 1 hektar. Manusia menyumbangkan tenaganya. Tuhan
menyumbangkan beberap hal juga: 4 juta pon air, 6800 pon oksigen, 5200 pon karbon,
1900 pon karbon dioksida, 160 pon nitrogen, 125 pon potasium, 40 pon fosfor, 74 sulfur
kuning, 50 pon magnesium, 50 pon kalsium, 2 pon besi dan sejumlah partikel kecil
iodine, seng, tembaga dan lain-lain. Dan semuanya itu berada di dalam 3640 liter
jagung. Siapa yang membuatnya? (Frank Mihalic).
Tuhan berperan tak terlihat menjadikan segala proses yang terjadi di dalam alam ini
berlangsung dan mencapai hasil yang indah, tepat, efektif, efisien dan sempurna pada
waktunya. Tak satu pun yang tahu bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang agung dan
mengagumkan sekali. Tuhan merajut berbagai unsur (elemen) dalam alam semesta dan
menciptakan berbagai jenis makhluk hidup termasuk tumbuhan bebijian jagung seperti kisah
di atas.
Alam adalah ciptaan Tuhan yang sungguh indah dan luar biasa tak terselami akal budi
dan logika pikir manusia. Kita manusia pantas dan layak bersyukur atas semua keindahan
yang diberikan oleh Tuhan ini. Bentuk rasa syukur itu dapat manusia sampaikan dalam
untaian doa dan syair religius pada Tuhan sebagai Sang Pemberi Kehidupan.
Terima kasih ya Tuhan untuk bunga-bunga yang menghias taman dan kamar
Yang dapat kami hadiahkan kepada kekasih tanda cinta dan kesetiaan
Untuk buah durian dan buah segala buah. Amin (Y. Lalu).
Segala kehidupan yang berlangsung di dalam alam berlangsung dalam Tuhan dan
kelak akan kembali ke fitrah, ke pangkuan Ilahi Tuhan. Filsuf Teilhard de Cardin mengatakan
hidup adalah gerakan dari Tuhan sebagai titik alfa (awal) menuju titik omega (akhir) dalam
Tuhan sendiri. Karena itulah manusia perlu menyadari kebenaran religio-spiritual ini dan
menghayati relasi dengan lingkungan alam dalam suatu hubungan iman/keyakinan pada
Tuhan Sang Pencipta alam semesta.
Pandangan teologi tentang ekologi alam bisa disarikan dalam konsep Eco-Theology
atau eko-teologi. Ekologi berasal dari kata Yunani oikos, artinya rumah. Ekologi merupakan
studi tentang bagaimana organism di dalam alam saling beriteraksi satu sama lain dalam
konteks lingkungannya (Bdk, Roderick Frazier Nash: 1989, hal. 55). Sedangkan teologi
artinya pandangan atau filosofis tentang keTuhanan. Inti pemikiran eko-teologi yakni
terdapat adanya satu kesatuan intrinsik antara berbagai elemen yakni Tuhan, manusia dan
segala entitas ada di dalam alam. Untuk menegaskan prinsip kebenaran ini, Allan R.
Brockway menulis: “sebuah teologi tentang dunia alam semesta…..mengandung makna
instrinsik bahwa terdapat kesatuan segala sesuatu di dalam alam antara dunia manusia
dengan dunia non manusia. Terdapat kesatuan antara dunia manusia dengan dunia non
manusiawi yang saling memancarkan dimensi ilahi itu mulai dari batu-batu, pohon-pohon,
udara, air, minyak dan mineral, hewan-hewan dan termasuk di dalamnya kita manusia juga”
(Ibid., 87).
Sudah umum diterima pandangan atau pemahaman bahwa alam semesta ini sungguh
adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Banyak filsuf yang berbicara tentang alam dari
perspektif agama-agama dunia ini yakni Islam, Kristiani, Budha, Hindu, Konghucu,
Yudaisme, Jainisme dll. Agama-agama memandang alam sebagai suatu kenyataan yang
bernilai luhur religius sebagai ciptaan Tuhan dan oleh karena itu alam perlu dijaga
keberlanjutannya di masa depan.
2
Pandangan-pandangan yang diuraikan menurut agama-agama di sini diadaptasi dari Mary Evelyn Tucker &
John A. Grim (ed.) Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy, and the Environment. New York: Orbis
Book. Bdk. edisi Indonesia berjudul “Agama, Filsafat dan Lingkungan” (2003) terjemahan P. Hardono Hadi.
Yogyakarta: Kanisius.
Pandangan Islam juga tak kalah menariknya atas alam. Dalam Bukunya
The Translation of the Meaning of Sahih Al-Bukhari (terjemahan Muhammad Muhsin Khan)
Muhammad Ibn Isma’il al-Bukhari mengatakan di Al-Qur’an Allah adalah Pencipta dunia ini
yang dilakukan dalam enam hari (7:54; 10:3; 11:7; 25:59; 32:4 dan 57:4). Ini menunjukkan
pandangan Islam yang mendasar bahwa alam semesta adalah ciptaan Tuhan. Alquran juga
menegaskan bahwa Allah itu Esa dan Allah berkuasa atas seluruh ciptaan di dalam alam
semesta ini, langit dan bumi adalah milik Allah (2:107; 3:189; 9:116; 23:84-89; 35:13; dan
57:2). Kebiasaan Muhammad SAW berdoa pagi dan sore dihubungkan dengan kuasa Allah
atas dunia( bdk. Mishkat, 506. Lihat juga J.M.S. Baljon, “The Amr of God in the Koran”,
Acta Orientalia). Implikasinya bahwa pandangan monoteistik Islam tidak mendukung
eksploitasi atas bumi oleh karena itu Islam juga memiliki pandangan yang ekologis atas alam
sebagai realitas yang bernilai religius yang perlu dijaga dan dipelihara.
Di dalam Hinduisme, alam memiliki nilai religius yang mendalam. Di dalam sejarah
India ditemukan kebudayaan kota yang disesuaikan dengan ritme alami, lambang kota
Mohenjodaro dan Harapa di lembah Indus melukiskan seseorang yang sedang bermeditasi-
yang oleh beberapa filsuf dianggap sebagai wujud pertama dewa Siwa-dengan penuh damai
dikelilingi oleh tumbuhan lebat dan hewan-hewan jinak. Sementara itu Rig Veda melukiskan
pujian-pujian yang tinggi atas pelbagai kekuatan alam, menganggap alam sebagai keilahian
yang pantas disembah puji. Sungai-sungai (Ganga, Yamuna, Sarasvati, Sindhu) dan tanah
(Prthivi) dilihat sebagai dewa-dewi, sementara angin (Maruts) dan api (Agni) disebut sebagai
dewa laki-laki. Malah di dalam nyanyian Purusa Sukta dinyatakan: “Bulan lahir dari budinya,
Matanya melahirkan matahari, Indra dan Agni muncul dari mulutnya; Dan Vayu (angin) lahir
dari nafasnya; dari pusarnya muncul udara; langit muncul dari kepalanya; dari kaki, bumi;
dari telinga, mata angin. Begitulah mereka membentuk dunia-dunia (Bdk. Rig Veda 10:190,
13-14. Terj. Antonio T, de Nicolas, Meditations through the Rig Veda: Four Dimensions
Man(New York: Nicolas Hays, 1976).
Iman itu bukan hanya keyakinan, melainkan juga perbuatan. Iman tanpa perbuatan tak
mungkin atau sia-sialah belaka. Karena iman tanpa perbuatan akan kehilangan relevansi
praksisnya. Iman kepada Tuhan tidak hanya ditunjukkan dalam ritual ibadah atau perbuatan
etis pada sesama, tetapi juga harus dinyatakan dalam relasi yang etis dengan alam. Di sinilah
iman ekologis menjadi urgen. Iman ekologis bukan hanya soal masalah pengetahuan,
keyakinan dan kata-kata saja. Iman ekologis menuntut realisasi di dalam praksis dalam
bentuk perbuatan atau aksi konkret-nyata. Untuk itu kita perlu segera bertindak. Saat ini yang
lebih penting adalah keberanian untuk bertindak nyata peduli pada alam daripada sebuah
renungan bijak tentang alam. Lalu bagaimana caranya kita menunjukkan iman ekologis itu?
Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat tentang cara-cara yang dapat
dikembangkan untuk menunjukkan sikap peduli pada lingkungan alam. Semua upaya tersebut
tentu sangat bermanfaat positif bagi terciptanya situasi masa depan alam yang lebih baik lagi
dibandingkan sekarang ini. Buah-buah dari sikap peduli pada lingkungan alam dimaksud bisa
diproyeksikan dalam lima (5) pokok pikiran berupa pengkondisian masa depan alam yang
lebih baik lagi, yakni: terciptanya situasi lingkungan alam yang seimbang (ekuilibrasi),
terciptanya situasi keadilan terhadap alam (yustisial), terciptanya situasi kebaikan alam
(etika), terciptanya situasi keindahan alam (estetika), terciptanya kondisi sakralitas alam
(spiritualisme). Kita akan melihat pembahasannya satu per satu.
Pertama, terciptanya lingkungan alam yang seimbang. Jika kita menerapkan cara-cara
peduli pada alam secara konsisten dan konsekuen, maka akan tercipta lingkungan alam yang
Kedua, terciptanya situasi keadilan terhadap alam. Segala bentuk tindakan eksploitasi
yang berlebihan pada alam menggambarkan perlakukan tidak adil manusia terhadap alam.
Perlakuan tidak adil manusia pada alam menunjukkan kekuasaan manusia dan
mengedepankan suatu bentuk kolonialisme baru (kriptokolonialisme) manusia pada
lingkungan alam. Padahal, hidup manusia seluruhnya tergantung pada alam dan tidak
mungkin tanpa lingkungan alam. Sikap peduli pada alam akan menciptakan sikap adil
manusia pada alam yang selama ini tidak dipertimbangkan atau bahkan tidak disadari sama
sekali. Sikap adil bukan hanya perlu diwujudkan dalam relasi antarmanusia, melainkan juga
dalam relasi dengan alam. Keadilan pada alam artinya manusia mau kembalikan nilai-nilai
intrinsik luhur yang sudah dirampas dari alam itu sendiri. Kita mau kembalikan apa yang
menjadi hak-hak alam untuk bertumbuh secara natural tanpa intervensi kekuasaan
manipulatif berlebihan dari pihak manusia. Kita biarkan alam menentukan jalannya sendiri
menuju kesempurnaan dirinya. Kesempurnaan alam terletak pada dirinya sendiri (inheren),
dan tidak ditentukan oleh tanggapan indrawi-irasional ataupun keputusan rasional-logis
manusia.
Ketiga, terciptanya situasi kebaikan alam. Alam yang tetap dalam kondisi terjaga baik
menjadi arah atau orientasi dasar semua orang yang peduli pada alam. Tindakan peduli pada
alam alhasil akan menghasilkan situasi ideal bagi kebaikan alam lingkungan kita sendiri.
Alam yang dalam kondisi baik akan tampak dalam nuansanya yang asri, yang tersenyum,
yang ramah dan bersahabat dengan manusia dan makhluk lainnya. Alam yang baik tidak akan
memberikan bencana bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya di bumi ini.
Kelima, memulihkan sakralitas alam. Tindakan eksploitatif manusia pada alam telah
mengggeruskan sakralitas alam. Dan kita mau peduli pada alam untuk memulihkan sakralitas
alam itu. Salah satu hasil atau buah penting dari tindakan peduli pada lingkungan alam
tampak dalam kondisi alam yang sakral, kudus, suci. Alam yang sakral sungguh bernilai
luhur dan mulia serta kudus karena diciptakan oleh Tuhan sendiri. Sebagai ciptaan Tuhan,
alam memiliki kualitas keilahian dan kekudusan di dalam dirinya sendiri. Kualitas sakral ini
patut diinsyafi oleh setiap manusia yang masih punya hati nurani yang murni dan bening.
Sikap peduli pada lingkungan alam harus dilandasi oleh iman ekologis yang tinggi dan
mendalam pada alam sebagai ciptaan Tuhan yang bernilai agung-luhur.
Alam ini, dan semua isinya, merupakan ciptaan Tuhan. Bagi kita manusia, alam ini
merupakan sumber kehidupan, yang menjamin kehidupan kita bisa berlangsung, yang
menyediakan berbagai kebutuhan hidup bagi kita. Kalau alam rusak maka kita akan binasa.
Jadi, kalau kita orang-orang beragama mengatakan bahwa Tuhan atau Allah begitu baik bagi
kita, mencintai kita, memenuhi kebutuhan hidup kita, maka wujud konkrit bagi kita akan hal
itu adalah alam sendiri, yang menyediakan segala yang kita perlukan, yang menyediakan
segala kebutuhan hidup kita. Dengan demikian alam dapat kita pandang sebagai penampakan
kasih Tuhan kepada kita. Dengan melihat alam, menikmati segala yang disediakan untuk kita,
disitu seharusnya hati kita terbuka untuk mengalami betapa baiknya Tuhan bagi kita, yang
selalu mencintai kita, yang hadir dalam hidup kita melalui alam ciptaan-Nya.
David C. Korten (2006). The Great Turning From Empire to the Earth Community. Berret
Koehler Publisher, San Francisko.
FranK Mihalic SVD (2009 terj). 1500 Cerita Bermakna, untuk Renungan dan Khotbah dan
Ceramah Anda. Bogor: Grafika Mardi Yuana.
Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. CBDC Bina Nusantara University:
Jakarta.
Hubert Leteng (2005). “Filsafat dan Spiritualitas” dalam Jurnal Ledalero Vol. 4 No. 2.
Maumere: Penerbit Ledalero
Henryk Skolimowski (1992). Eco-Philosophy as A Tree of Life. Arkana Penguin Books.
Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (ed.) Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy,
and the Environment. New York: Orbis Book
Roderick Frazier Nash (1989). The Rights of Nature (A History of Environmental Ethics).
London: The University of Wisconsin Press.