Anda di halaman 1dari 19

LECTURE NOTES

Character Building: Agama

Week 2

MENGENAL TUHAN MELALUI ALAM1

1
Sebagian besar materi ini diadaptasi dari Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. CBDC
Bina Nusantara University: Jakarta.

CHAR6021 – Character Building: Agama


LEARNING OUTCOMES

LO2 : Menjelaskan pengenalan akan Tuhan melalui sesama dan lingkungan hidup

OUTLINE MATERI (Sub-Topic):

 Alam ciptaan sebagai penampakan Tuhan


 Pengertian dan makna Eco-Teologi
 Cara-cara peduli pada alam
 Buah-buah yang didapatkan dari kepedulian pada alam

CHAR6021 – Character Building: Agama


MENGENAL TUHAN MELALUI ALAM

A. Memahami Alam Lingkungan

Istilah alam lingkungan memiliki banyak arti dan makna. Namun dari banyak makna
itu kiranya kita sepakat bahwa secara praktis, alam lingkungan terdiri dari unsur-unsur non
manusiawi (infrahuman) yang terdapat di dalam kosmos atau semesta ini. Unsur-unsur yang
dimaksud di antaranya sinar matahari, tanah, udara, air, flora (tumbuhan), fauna (hewan),
iklim, suhu, dan lain sebagainya. Dalam perspektif ekologi, manusia hanyalah salah satu
elemen saja di dalam jejaring ekosistem alam lingkungan itu. Paradigma seperti ini tentu
kontradiktoris dengan paradigma antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat
dalam tatanan alam semesta atau realitas kosmos ini.

Jika segala entitas ada di dalam alam merupakan satu kesatuan ekosistem,
maka terdapat sebuah korelasi fundamental antara berbagai unsur kosmik di dalam alam ini.
Ada rerantai hubungan integral yang erat satu unsur dengan unsur yang lain.
Matahari memberikan sinar yang berfungsi untuk memperlancar proses fotosintesis
tumbuhan yang akhirnya menghasilkan daun dan buah yang bisa dikonsumsi oleh manusia
dan hewan demi kelangsungan hidupnya. Siklus ini berevolusi, terus berlangsung sepanjang
waktu untuk memastikan eksistensi kehidupan itu tetap ada menuju masa depan kehidupan
alam itu sendiri.

Hubungan atau interaksi antarunsur di dalam alam semesta saling menentukan


keberadaan masing-masing. Jika salah satu unsur alam rusak/langka, maka dipastikan bagian
lain dari alam ikut rusak, hancur dan binasa. Misalnya ketika mata air di gunung mengering,
maka dipastikan segala unsur biotik seperti tumbuhan, hewan dan manusia langsung terkena
imbasnya. Krisis air dipastikan melanda seluruh makhluk hidup yang membutuhkan air
sebagai sumber kehidupannya. Karena itu ketika alam rusak atau dirusakkan, maka tamatlah
riwayat hidup manusia dan seluruh makhluk hidup (biologis) dalam realitas alam semesta ini.
Karena itu alam lingkungan kita mutlak dijaga dan dipelihara.

Kondisi lingkungan alam bumi kita saban hari terus dihantui problem krusial yang
menderanya. Krisis ekologi yang disebabkan oleh aktivitas pembangunan manusia membuat
alam tempat kita hidup menjadi tidak seimbang lagi. Bumi hampir di ambang kepunahannya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Dan semua makhluk hidup termasuk kita umat manusia berada pada titik kritis kalau tak mau
dikatakan genting atau gawat.

Apa akar masalah krisis alam lingkungan bumi ini? Bisa dikedepankan dua (2)
penyebab utama krisis alam lingkungan dewasa ini: yakni pada tataran hidup praktis dan pada
tataran wilayah teori atau cara berpikir. Pertama, pada tataran praktis, kerusakan alam
muncul karena sikap dan perilaku manusia yang tidak berlandaskan nilai-nilai moral-etis
dalam mengembangkan relasi dengan alam (perilaku yang tidak etis-ekologis). Model ini
menunjukkan cara bersikap tidak ramah lingkungan yang berujung pada penciptaan pola
relasi eksploitatif terhadap alam. Pola ini dinilai tidak etis dari sudut pandang kebaikan alam
lingkungan karena hanya mengedepankan sikap tamak/rakus manusia.

Kedua, pada tataran paradigma atau cara berpikir manusia. Bicara soal paradigma
berpikir, tentu kita tidak bisa lepas dari prinsip filosofi atau cara pandang manusia terhadap
alam. Cara berpikir sesat-keliru pada alam akan terwujud dalam perilaku tidak bijak dalam
relasi manusia dengan alam. Mindset pikiran manusia yang keliru menjadi salah faktor
penyebab kerusakan alam semesta.

Diskursus filsafat lingkungan kontemporer memunculkan kritik atas filsafat rasional


(logika) yang diagungkan manusia sejak zaman auflaerung atau masa pencerahan (abad 18).
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dielu-elukan filsafat rasional (logika-atomistik)
memunculkan kemajuan di berbagai bidang pembangunan manusia, namun serentak pada
saat yang sama membawa petaka berupa kemunduran/ketidakmajuan dalam pembangunan
yang tampil dalam wajah alam yang rusak dan memprihatinkan kita. Mestinya
kemajuan/kebaikan manusia dibarengi juga dengan kemajuan dalam kebaikan alam itu
sendiri. Inilah ambivalensi pembangunan.

Banyak kritik ditujukan kepada filsafat rasional (logika-atomistik) yang tidak


mempedulikan masa depan alam lingkungan bumi. Salah satu pemikir yang gencar
menyerang filsafat rasional yakni Filsuf Polandia, Hendrick Skolimowski. Dalam bukunya
Living Philosophy: Eco-Philosphy as A Tree of Life (1992), Skolimowski mengkritik cara
berpikir rasional (logika) dan ilmu pengetahuan modern yang cendrung mekanistik-
reduksionistik yang berujung pada tindakan eksploitasi atas lingkungan alam. Karena itu
Skolimowski memperkenalkan suatu paradigma pikir baru yang disebutnya eko-filosofi (eco-

CHAR6021 – Character Building: Agama


philosophy). Kekuatan utama prinsip eko-filosofi yakni cara berpikir baru yang melihat alam
secara religius-spiritual. Maka eko-filosofi sama artinya dengan sebuah eco-spiritual
(spiritualitas ekologis alam) baru demi kebaikan alam lingkungan hidup itu sendiri.

Eco-spiritual memberikan suatu imperatif religius-spiritual bagi manusia untuk


kembali menghargai nilai-nilai intrinsik yang mengkristal di dalam alam. Eco-spiritual
mengarahkan kembali tindakan manusia untuk mengembalikan nuansa keindahan dan pesona
alam yang luar biasa namun yang kini telah hilang nuansanya karena ekspresi logika
rasionalitas keliru dan tindakan tak etis-destruktif atas alam. Saatnya semua manusia
melakukan total action (gerakan menyeluruh), sebagaimana dilansir oleh Arne Naess untuk
kembali ke alam (back to nature). Gerakan sadar lingkungan ini bukan hanya untuk segelintir
orang namun harus menjadi gerakan bersama seluruh masyarakat dunia (total action) semua
pihak mulai dari individu, unsur politik, pengambil kebijakan ekonomi, akademisi, tidak
secara terpisah-pisah (terkotak-kotak), tetapi dilakukan secara bersamaan (menyeluruh).
Gerakan ini harusnya menjadi gerakan semua orang di bumi yang masih memiliki semangat
kepedulian tinggi pada kebaikan alam kita. Jika tidak, kita akan kehilangan kesempatan untuk
menyelamatkan alam kita dan kita tunggu kebinsaan kita semua secara total, lambat tapi
pasti.

Tentu bagi kita orang-orang yang menghayati agama dan spiritualisme, eko-filosofi
bisa menjadi suatu kewajiban/kesadaran moral religius-spiritual yang dipakai sebagai modal
atau instrumen efektif untuk mengubah cara pikir kita yang keliru/salah pada lingkungan
alam. Manusia telah berdosa terhadap alam dengan kejahatan-kejahatan ekologis seperti
menebang pohon, membuang sampah sembarangan, merambah hutan secara liar, mengotori
air, mempolusikan udara dan lain sebagainya. Perlu dilakukan sebuah metanoia (pertobatan)
ekologis untuk mengembalikan kembali keindahan dan kesakralan alam semesta. Cara pikir
yang sudah kita ubah, niat luhur yang sudah ada dalam hati, kita tunjukkan juga dalam
komitmen tindak-nyata untuk membangun relasi yang lebih etis, estetis, humanis, harmonis
dan selaras dengan alam lingkungan. Sesudahnya, mari kita sama-sama songsong sebuah
tatanan dunia baru yang bebas dari krisis ekologis. Kita sambut masa depan ekologi bumi
yang semakin baik.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Sebagai orang-orang yang beragama dan beriman, kita harus sadar untuk menjaga
alam. Kita tidak hanya perlu berpikir atau berdoa saja, tapi perlu juga untuk bertindak nyata
mengekspresikan kesadaran religius-spiritual untuk peduli pada alam. Menyelamatkan dan
menjaga alam adalah bagian dari usaha manusia untuk menjaga keutuhan dan kelanggengan
alam. Menjaga dan memelihara alam adalah bagian dari hidup iman keagamaan dan
keyakinan spiritual hakiki kita umat manusia di bumi ini.

B. Alam Semesta sebagai Penampakan (Epifani) Tuhan

Semua agama dan aliran spiritual memiliki satu keyakinan mendasar bahwa alam
lingkungan termasuk manusia di dalamnya diciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang indah dan
baik adanya sejak semula. Alam adalah emanasi, pancaran atau mengalir keluar dari Tuhan
itu sendiri. Agama-agama yakin dan percaya bahwa Tuhan berbicara kepada kita umat-Nya
melalui fenomena alam yang kita lihat sehari-hari. Oleh karena itu alam semesta (universum)
adalah tanda kehadiran Tuhan. Alam semesta adalah epifani (penampakan) Tuhan itu sendiri.

Adanya dunia dan proses evolusinya dalam dinamika waktu yang panjang tidak
mengurangi kualitas nilai luhur alam semesta sebagai ciptaan Tuhan. Lingkungan alam
tempat manusia hidup merupakan sebuah realitas yang bernilai intrinsik pada dirinya sendiri.
Nilai intrinsik alam tidak ditentukan oleh manusia, namun memiliki nilai internal pada
dirinya sendiri (in se) sejak awal mula diciptakan Tuhan. Nilai intrinsik lingkungan alam
diberikan Tuhan sejak proses penciptaan dan berlangsung sampai sekarang dan hingga ke
masa depan sepanjang keberadaan alam ini. Manusia tidak berhak sedikitpun menentukan
nilai dan martabat lingkungan alam. Lingkungan alam adalah sebuah faktisitas atau
kenyataan yang terberikan oleh Tuhan untuk manusia. Karenanya lingkungan alam adalah
berkat (rahmat) instimewa Tuhan yang perlu disyukuri oleh setiap manusia di kolong langit
ini. Bentuk syukur tersebut harusnya direalisasikan dalam wujud sikap tanggung jawab
manusia untuk menjaga dan melestarikan lingkungan alam.

CHAR6021 – Character Building: Agama


PERAN TUHAN DI LADANG

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh satu akademi pertanian tentang produksi 3640
liter jagung di ladang seluas 1 hektar. Manusia menyumbangkan tenaganya. Tuhan
menyumbangkan beberap hal juga: 4 juta pon air, 6800 pon oksigen, 5200 pon karbon,
1900 pon karbon dioksida, 160 pon nitrogen, 125 pon potasium, 40 pon fosfor, 74 sulfur
kuning, 50 pon magnesium, 50 pon kalsium, 2 pon besi dan sejumlah partikel kecil
iodine, seng, tembaga dan lain-lain. Dan semuanya itu berada di dalam 3640 liter
jagung. Siapa yang membuatnya? (Frank Mihalic).

Tuhan berperan tak terlihat menjadikan segala proses yang terjadi di dalam alam ini
berlangsung dan mencapai hasil yang indah, tepat, efektif, efisien dan sempurna pada
waktunya. Tak satu pun yang tahu bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang agung dan
mengagumkan sekali. Tuhan merajut berbagai unsur (elemen) dalam alam semesta dan
menciptakan berbagai jenis makhluk hidup termasuk tumbuhan bebijian jagung seperti kisah
di atas.

Alam adalah ciptaan Tuhan yang sungguh indah dan luar biasa tak terselami akal budi
dan logika pikir manusia. Kita manusia pantas dan layak bersyukur atas semua keindahan
yang diberikan oleh Tuhan ini. Bentuk rasa syukur itu dapat manusia sampaikan dalam
untaian doa dan syair religius pada Tuhan sebagai Sang Pemberi Kehidupan.

CHAR6021 – Character Building: Agama


TERIMA KASIH UNTUK BUMI

Terima kasih, ya Tuhan untuk bumi yang hijau

Tak dapat dibayangkan dunia ini tanpa lumut dan rerumputan

Tanpa ilalang dan pepohonan

Tanpa kembang dan bebuahan

Terima kasih, ya Tuhan untuk pohon-pohon

Yang memagar pantai dan menghijaukan pegunungan

Yang kami tebang untuk membangun

Rumah, jembatan dan perkantoran

Terima kasih, ya Tuhan untuk hutan yang menahan erosi

Yang menyuburkan tanah

Dan yang mendatangkan batu bara dan minyak tanah

Terima kasih ya Tuhan untuk dedaunan yang menyedot polusi

Dan memberi kami zat untuk bernapas

Yang dapat kami olah menjadi

Sambal, lalapan, tahu, tempe dan kangkung cah

Terima kasih ya Tuhan untuk bunga-bunga yang menghias taman dan kamar

Yang dapat kami hadiahkan kepada kekasih tanda cinta dan kesetiaan

Yang dapat kami taburkan di atas pusara

Tanda kasih dan sayang, kenangan dan persahabatan

Terima kasih ya Tuhan untuk buah mangga dan buah salak

Untuk buah durian dan buah segala buah. Amin (Y. Lalu).

CHAR6021 – Character Building: Agama


Manusia religius-spiritual yang bijak adalah persona yang memiliki visi jauh dan
intuisi mendalam untuk menjaga dan mempertahankan panorama alam sebagai hadiah
terindah Tuhan bagi manusia. Bahwa alam bukan semata-mata ada untuk dieksploitasi bagi
kebutuhan manusia, melainkan ia hadir sebagai ciptaan yang ikut membuktikan jejak
kehadiran Tuhan di dalam realitas dunia ini. Karena itu alam harus dijaga dan dilestarikan
sebagai realitas yang bermakna religius-spiritual. Artinya alam adalah salah satu bentuk
kesaksian tentang hakikat Tuhan sebagai Maha Pencipta.

Segala kehidupan yang berlangsung di dalam alam berlangsung dalam Tuhan dan
kelak akan kembali ke fitrah, ke pangkuan Ilahi Tuhan. Filsuf Teilhard de Cardin mengatakan
hidup adalah gerakan dari Tuhan sebagai titik alfa (awal) menuju titik omega (akhir) dalam
Tuhan sendiri. Karena itulah manusia perlu menyadari kebenaran religio-spiritual ini dan
menghayati relasi dengan lingkungan alam dalam suatu hubungan iman/keyakinan pada
Tuhan Sang Pencipta alam semesta.

C. Makna Religius Alam dan Eco-Teologi

Pandangan teologi tentang ekologi alam bisa disarikan dalam konsep Eco-Theology
atau eko-teologi. Ekologi berasal dari kata Yunani oikos, artinya rumah. Ekologi merupakan
studi tentang bagaimana organism di dalam alam saling beriteraksi satu sama lain dalam
konteks lingkungannya (Bdk, Roderick Frazier Nash: 1989, hal. 55). Sedangkan teologi
artinya pandangan atau filosofis tentang keTuhanan. Inti pemikiran eko-teologi yakni
terdapat adanya satu kesatuan intrinsik antara berbagai elemen yakni Tuhan, manusia dan
segala entitas ada di dalam alam. Untuk menegaskan prinsip kebenaran ini, Allan R.
Brockway menulis: “sebuah teologi tentang dunia alam semesta…..mengandung makna
instrinsik bahwa terdapat kesatuan segala sesuatu di dalam alam antara dunia manusia
dengan dunia non manusia. Terdapat kesatuan antara dunia manusia dengan dunia non
manusiawi yang saling memancarkan dimensi ilahi itu mulai dari batu-batu, pohon-pohon,
udara, air, minyak dan mineral, hewan-hewan dan termasuk di dalamnya kita manusia juga”
(Ibid., 87).

CHAR6021 – Character Building: Agama


Bahkan para teolog dan filsuf aliran agama-agama mengatakan bahwa teologi yang
baik seharusnya memperhatikan etika ekologi (ecology ethics) yakni memperhatikan dimensi
keadilan terhadap alam. Artinya iman kita tidak boleh hanya sebatas doktrin saja, melainkan
harus diwujudkan ke dalam tindakan ekologis yang peduli terhadap hak-hak dan kebaikan
alam lingkungan hidup kita. Inilah saatnya kita melakukan penghijauan terhadap agama atau
lebih popular dalam istilah Roderick Frazier Nash, “The Greening of Religion” (Ibid., hal.
87-120).

Pandangan yang religius agama-agama 2 terhadap alam bakal memunculkan


sikap-sikap yang manusiawi dan bersahabat dengan alam, etis, bermoral, integratif, holistik
dan menyeluruh. Visi religius kita terhadap alam kita realisasikan juga dalam realitas sosial
kita dalam relasi dengan segala makhluk hidup (biotic) dan makhluk tidak hidup (abiotik).
Visi ekologi-religius akhirnya menjadi bagian dari iman kita kaum beragama dalam
menghayati eksistensinya di bumi ini dalam mengembangkan relasi yang harmonis dengan
dengan alam. Iman kita kepada Tuhan perlu kita realisasikan dalam relasi harmonis dengan
alam. Relasi manusia dengan alam ini bukan jangka pendek saja, melainkan suatu relasi ideal
yang perlu dilanjutkan dalam jangka panjang untuk generasi manusia dan makhluk hidup lain
di masa depan. Keberlanjutan hidup generasi kehidupan masa depan tergantung pada pikiran,
tindakan dan perilaku kita saat ini. Kita perlu menjaga alam pada saat ini untuk menjamin
kelangsungan hidup banyak pihak di masa depan. Inilah sikap religius kita sebagai orang-
orang yang mengaktualisasikan iman kepada alam sebagai ciptaan Tuhan sendiri.

Sudah umum diterima pandangan atau pemahaman bahwa alam semesta ini sungguh
adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Banyak filsuf yang berbicara tentang alam dari
perspektif agama-agama dunia ini yakni Islam, Kristiani, Budha, Hindu, Konghucu,
Yudaisme, Jainisme dll. Agama-agama memandang alam sebagai suatu kenyataan yang
bernilai luhur religius sebagai ciptaan Tuhan dan oleh karena itu alam perlu dijaga
keberlanjutannya di masa depan.

2
Pandangan-pandangan yang diuraikan menurut agama-agama di sini diadaptasi dari Mary Evelyn Tucker &
John A. Grim (ed.) Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy, and the Environment. New York: Orbis
Book. Bdk. edisi Indonesia berjudul “Agama, Filsafat dan Lingkungan” (2003) terjemahan P. Hardono Hadi.
Yogyakarta: Kanisius.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Pandangan Kristiani (Katolik dan Protestan) tentang alam sebagai ciptaan Tuhan bisa
ditelusuri di dalam Alkitab maupun para pemikiran para filsuf kristiani. Di dalam Kitab
Kejadian Bab 1 di situ jelas ditegaskan bahwa langit dan bumi beserta isinya diciptakan oleh
Allah sendiri. Artinya kehadiran alam semesta ini terjadi karena kekuasaan Tuhan.
Sementara itu di dalam pandangan filsuf-filsuf kristiani (Teologi Barat), alam dipersepsikan
sebagai realitas yang melulu bernilai rohani yakni berasal dari Tuhan sendiri. Pandangan ini
tampak dalam pemikiran Origenes (185-254 M), Santo Thomas Aquinas (1225-1274), Santo
Bonaventura (1221-1274), Dante (1265-1321), Karl Barth (1886-1968), dan Teilhard de
Chardin (1881-1955). Pandangan mereka umumnya mengklaim bahwa alam semesta adalah
ciptaan Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Sementara itu pandangan kristiani yang melihat
alam dalam perspektif motiv ekologis masa depan tampak dalam pemikiran Santo Agustinus
(354-430), Santo Fransiskus Asisi (1182-1226), Martin Luther (1483-1546), Calvin (1509-
1564) yang semuanya mengatakan bahwa alam semesta ini dan manusia serta segala makhluk
akan ditebus/diselamatkan pada akhir zaman. Artinya kondisi kebaikan manusia, alam dan
segala makhluk akan disempurnakan, diselamatkan pada zaman eskatologis, zaman parusia,
akhir zaman ketika Tuhan datang menyelamatkan manusia yang percaya kepadaNya.

Pandangan Islam juga tak kalah menariknya atas alam. Dalam Bukunya
The Translation of the Meaning of Sahih Al-Bukhari (terjemahan Muhammad Muhsin Khan)
Muhammad Ibn Isma’il al-Bukhari mengatakan di Al-Qur’an Allah adalah Pencipta dunia ini
yang dilakukan dalam enam hari (7:54; 10:3; 11:7; 25:59; 32:4 dan 57:4). Ini menunjukkan
pandangan Islam yang mendasar bahwa alam semesta adalah ciptaan Tuhan. Alquran juga
menegaskan bahwa Allah itu Esa dan Allah berkuasa atas seluruh ciptaan di dalam alam
semesta ini, langit dan bumi adalah milik Allah (2:107; 3:189; 9:116; 23:84-89; 35:13; dan
57:2). Kebiasaan Muhammad SAW berdoa pagi dan sore dihubungkan dengan kuasa Allah
atas dunia( bdk. Mishkat, 506. Lihat juga J.M.S. Baljon, “The Amr of God in the Koran”,
Acta Orientalia). Implikasinya bahwa pandangan monoteistik Islam tidak mendukung
eksploitasi atas bumi oleh karena itu Islam juga memiliki pandangan yang ekologis atas alam
sebagai realitas yang bernilai religius yang perlu dijaga dan dipelihara.

Di dalam Budhisme khususnya Budha Mahayana, terdapat tradisi Tathagatagarbha


dan Alayavijanana yang menggambarkan suatu kosmologi dan antropologi saling berkaitan.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Dikatakan semua mahkluk hidup akan mencapai pencerahan atau kebijaksanaan tertinggi dan
sempurna dalam KeBudhaan. Jalan Budhis sebagai proses di mana kesadaran individual
diubah menjadi kebijaksanaan sempurna. Menurut Budha, segala objek dalam alam
berhubungan satu sama lain. Prinsip pratityasamutpada, atau kemunculan bersama benda-
benda merupakan suatu proses dinamis dan kolaboratis banyak hal lain. Tidak ada satu objek
pun di dalam alam yang ada dari dirinya sendiri, tetapi hanya sebagai suatu konteks
hubungan, suatu nexus/jalinan faktor-faktor yang berhubungan satu sama lain. Ada sebuah
kanon Pali dari Budha yang mengatakan keterkaitan segala sesuatu di dalam alam ini: “Ini
ada, itu menjadi; dari munculnya ini, itu muncul; ini bukan menjadi, itu tidak menjadi; dari
mandeknya ini, itu mandek” (Bdk. Najjhima-Nikaya, 2: 32; Samyutta-Nikaya 2:28).

Di dalam Hinduisme, alam memiliki nilai religius yang mendalam. Di dalam sejarah
India ditemukan kebudayaan kota yang disesuaikan dengan ritme alami, lambang kota
Mohenjodaro dan Harapa di lembah Indus melukiskan seseorang yang sedang bermeditasi-
yang oleh beberapa filsuf dianggap sebagai wujud pertama dewa Siwa-dengan penuh damai
dikelilingi oleh tumbuhan lebat dan hewan-hewan jinak. Sementara itu Rig Veda melukiskan
pujian-pujian yang tinggi atas pelbagai kekuatan alam, menganggap alam sebagai keilahian
yang pantas disembah puji. Sungai-sungai (Ganga, Yamuna, Sarasvati, Sindhu) dan tanah
(Prthivi) dilihat sebagai dewa-dewi, sementara angin (Maruts) dan api (Agni) disebut sebagai
dewa laki-laki. Malah di dalam nyanyian Purusa Sukta dinyatakan: “Bulan lahir dari budinya,
Matanya melahirkan matahari, Indra dan Agni muncul dari mulutnya; Dan Vayu (angin) lahir
dari nafasnya; dari pusarnya muncul udara; langit muncul dari kepalanya; dari kaki, bumi;
dari telinga, mata angin. Begitulah mereka membentuk dunia-dunia (Bdk. Rig Veda 10:190,
13-14. Terj. Antonio T, de Nicolas, Meditations through the Rig Veda: Four Dimensions
Man(New York: Nicolas Hays, 1976).

Konfusianisme awal, seperti Taoisme, secara kosmologis memahami dunia ini


sebagai bagian dari semesta yang berubah, dinamis dan mekar (Bdk. Terjemahan Arthur
Waley mengenai Analects dan D.C. Lau mengenai Mencius, 1970). Proses pemekaran dan
kesinambungan dari alam dan harmoni musim sangatlah ditegaskan oleh para Konfusian.
Semesta dilihat muncul dengan sendirinya, dibimbing oleh pemekaran Tao, sebuah term yang
dipegang teguh oleh Konfusian dan Taoisme dengan makna yang berbeda. Mereka juga

CHAR6021 – Character Building: Agama


mengakui adanya kekuatan-kekuatan yang berlawanan di dalam alam misalnya dalam konsep
yin dan yang.

D. Cara-Cara Peduli pada Alam Lingkungan

Visi eko-spiritual sebagai imperatif religius-spiritual kelompok agama dan penganut


spiritualisme harusnya tidak hanya sampai pada cara berpikir, tetapi perlu diaktualisasikan
secara nyata dalam aktivitas hidup sehari-hari. Ia perlu diekspresikan, ditunjukkan dan
diwujudkan dalam hidup nyata. Visi ini harus tercermin dalam perbuatan yang hidup sebagai
bentuk kesaksian yang paling otentik di dalam dunia.

Iman itu bukan hanya keyakinan, melainkan juga perbuatan. Iman tanpa perbuatan tak
mungkin atau sia-sialah belaka. Karena iman tanpa perbuatan akan kehilangan relevansi
praksisnya. Iman kepada Tuhan tidak hanya ditunjukkan dalam ritual ibadah atau perbuatan
etis pada sesama, tetapi juga harus dinyatakan dalam relasi yang etis dengan alam. Di sinilah
iman ekologis menjadi urgen. Iman ekologis bukan hanya soal masalah pengetahuan,
keyakinan dan kata-kata saja. Iman ekologis menuntut realisasi di dalam praksis dalam
bentuk perbuatan atau aksi konkret-nyata. Untuk itu kita perlu segera bertindak. Saat ini yang
lebih penting adalah keberanian untuk bertindak nyata peduli pada alam daripada sebuah
renungan bijak tentang alam. Lalu bagaimana caranya kita menunjukkan iman ekologis itu?

Pertama, menyadari lingkungan alam sebagai sumber kehidupan segala makhluk


di dunia termasuk hewan dan manusia tentunya. Kesadaran ini wajib dihayati oleh setiap
orang beragama dan penganut spiritual. Kesadaran akan nilai dasar lingkungan alam ini akan
membuat kita menghargai alam, menghormati alam dan bertoleransi pada alam. Toleransi
pada lingkungan alam artinya kita membiarkan alam bertumbuh dan berkembang sesuai
dengan tendensi alamiah di dalam dirinya sendiri, tanpa adanya intervensi berlebihan dari
pihak manusia. Kalau kita menghidupkan lingkungan alam, maka lingkungan alam juga akan
menghidupkan kita manusia dan seluruh makhluk. Sebaliknya jika kita membunuh kehidupan
alam, maka alam pun akan semakin sadis lagi membinasakan kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya. Kalau kita menjaga alam, alam pun akan menjaga kita. Kalau kita
tidak menjaga alam, maka alam pun tidak akan menjaga kita. Kesadaran akan lingkungan
alam sebagai sumber kehidupan akan mendorong kita untuk rajin menanam pohon hijau,
tidak menebang hutan secara sembarangan, membuang sampah pada tempatnya dan lain

CHAR6021 – Character Building: Agama


sebagainya. Menyitir David C. Korten, “orang yang memiliki kesadaran spiritual akan
menginsafi bahwa lingkungan alam merupakan “integral world” dan memaknai keberadaan
dirinya sebagai partner aktif atau co-creator dalam melayani evolusi ciptaan untuk
mengaktualisasikan kemungkinan-kemungkinannya” (Korten: 2006, hal.47). Kesadaran
spiritual membuat manusia melakukan tindakan-tindakan kreatif untuk menjaga
keberlangsungan hidup alam semesta. Tentu dengan membiarkan alam merealisasikan dan
mewujudkan dirinya secara bebas dan otonom tanpa intervensi-dominatif manusia.

Kedua, melakukan gerakan minimalis dalam hidup nyata sehari-hari.


Gerakan minimalis artinya kita hanya butuh sedikit untuk hidup daripada butuh banyak.
Kita tidak perlu hidup maksimalis dalam memperlakukan lingkungan alam. Kita cukup
mengambil sedikit manfaat saja dari alam tanpa proyeksi nafsu ekstrim untuk menguasainya,
apalagi mengedepankan rasa rakus berlebihan untuk menghisap hasil lingkungan alam (bumi)
secara sembarangan dan tidak wajar. Gerakan minimalis membuat kita mencukupkan diri
dengan hidup apa adanya, tanpa ambisi untuk menguras alam sebesar-besarnya. Gerakan
minimalis harusnya terpancar keluar dalam sikap tidak boros dalam memanfaatkan sumber
energi alam misalnya hemat air, hemat listrik, hemat menggunakan minyak bumi, bersepeda
saja ke kampus atau tempat kerja dan lain sebagainya. Gerakan minimalis urgen kita hayati
secara konsisten dalam hidup kita mulai saat ini.

Ketiga, berani mengkritik kegiatan pembangunan yang tidak mendukung kebaikan


lingkungan alam. Iman ekologis menuntut kita untuk kritis pada segala usaha pembangunan
yang tidak mendukung kebaikan lingkungan alam kita. Jika kelompok politik atau pun kaum
kapitalis tidak mempedulikan kebaikan dan keselamatan lingkungan alam, maka kelompok
spiritualis dan kelompok agama perlu menyuarakan suara kritis menegakkan nilai-nilai
kebaikan ekologis kita. Jika ada penjahat lingkungan yang masih saja melakukan kejahatan
ekologis, kita perlu mengkampanyekan nilai yang berseberangan dengannya. Kita perlu kritis
pada orientasi pembangunan yang tidak pro-life dan gagasan pembangunan berkelanjuntan.
Kejahatan ekologis akan terus berkembang jika kita kelompok agama dan spiritual tidak
melakukan tindakan apapun untuk menyelamatkan bumi. Artinya kita tidak boleh diam
menyaksikan eksploitasi lingkungan yang merusak terus terjadi di depan mata kita. Kita perlu

CHAR6021 – Character Building: Agama


berani melakukan kritik-positif sebagai komitmen mulia untuk menjaga kebaikan lingkungan
alam demi keutuhan dan kebaikan bumi.

Keempat, mengembangkan hubungan yang spiritual dengan lingkungan alam.


Lingkungan alam perlu dipandang sebagai realitas bernilai spiritual pada dirinya sendiri.
Visi ini mendorong kita untuk menghargai kesucian, kekudusan dan kekeramatan intrinsik
yang melekat pada alam. Sejarah sudah membuktikan bahwa pengrusakan alam terjadi ketika
manusia tidak menghargai lagi kesucian alam. Maka usaha menjaga dan melestarikan alam
hanya bisa kita lakukan jika melihat alam sebagai realitas yang suci di dalam dirinya sendiri.
Visi ini akan mencegah kita untuk mengeksploitasi alam secara membabi-buta untuk
kepentingan egoistik manusia. Sudah saatnya kita membangun, menjaga dan melestarikan
pola relasi baru dengan alam dalam nuansa spiritual. Pola hidup spiritual seperti ini akan
memunculkan semangat respek yang tinggi pada lingkungan alam sebagai realitas keramat
yang mutlak dilindungi nilai dan martabatnya. Pola relasi spiritual dengan alam akan
membuat kita melakukan tindakan-tindakan positif untuk menjaga kebaikan, keindahan dan
kesucian alam tanpa berikhtiar untuk memburukkan, menjelekkan dan menodai lingkungan
alam kita.

E. Buah-Buah Kepedulian pada Alam Lingkungan

Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat tentang cara-cara yang dapat
dikembangkan untuk menunjukkan sikap peduli pada lingkungan alam. Semua upaya tersebut
tentu sangat bermanfaat positif bagi terciptanya situasi masa depan alam yang lebih baik lagi
dibandingkan sekarang ini. Buah-buah dari sikap peduli pada lingkungan alam dimaksud bisa
diproyeksikan dalam lima (5) pokok pikiran berupa pengkondisian masa depan alam yang
lebih baik lagi, yakni: terciptanya situasi lingkungan alam yang seimbang (ekuilibrasi),
terciptanya situasi keadilan terhadap alam (yustisial), terciptanya situasi kebaikan alam
(etika), terciptanya situasi keindahan alam (estetika), terciptanya kondisi sakralitas alam
(spiritualisme). Kita akan melihat pembahasannya satu per satu.

Pertama, terciptanya lingkungan alam yang seimbang. Jika kita menerapkan cara-cara
peduli pada alam secara konsisten dan konsekuen, maka akan tercipta lingkungan alam yang

CHAR6021 – Character Building: Agama


seimbang. Keseimbangan yang dimaksud di sini artinya kerusakan alam yang signifikan dan
dampaknya yang merusakkan kehidupan manusia dan makhluk lain akan semakin berkurang
atau bisa diminimalisasi. Sebuah surga di dunia dalam kondisi lingkungan alam yang
seimbang dan harmonis mau kita ciptakan kembali sejak sekarang di dunia fana ini. Alam
yang seimbang tampak dalam berkurangnya bencana alam banjir, angin topan, badai ganas,
krisis energi, pemanasan global, tanah longsor dan lain sebagainya. Peristiwa bencana alam
akibat ulah manusia mau kita eliminasi sehingga manusia semakin nyaman tinggal di bumi
ini.

Kedua, terciptanya situasi keadilan terhadap alam. Segala bentuk tindakan eksploitasi
yang berlebihan pada alam menggambarkan perlakukan tidak adil manusia terhadap alam.
Perlakuan tidak adil manusia pada alam menunjukkan kekuasaan manusia dan
mengedepankan suatu bentuk kolonialisme baru (kriptokolonialisme) manusia pada
lingkungan alam. Padahal, hidup manusia seluruhnya tergantung pada alam dan tidak
mungkin tanpa lingkungan alam. Sikap peduli pada alam akan menciptakan sikap adil
manusia pada alam yang selama ini tidak dipertimbangkan atau bahkan tidak disadari sama
sekali. Sikap adil bukan hanya perlu diwujudkan dalam relasi antarmanusia, melainkan juga
dalam relasi dengan alam. Keadilan pada alam artinya manusia mau kembalikan nilai-nilai
intrinsik luhur yang sudah dirampas dari alam itu sendiri. Kita mau kembalikan apa yang
menjadi hak-hak alam untuk bertumbuh secara natural tanpa intervensi kekuasaan
manipulatif berlebihan dari pihak manusia. Kita biarkan alam menentukan jalannya sendiri
menuju kesempurnaan dirinya. Kesempurnaan alam terletak pada dirinya sendiri (inheren),
dan tidak ditentukan oleh tanggapan indrawi-irasional ataupun keputusan rasional-logis
manusia.

Ketiga, terciptanya situasi kebaikan alam. Alam yang tetap dalam kondisi terjaga baik
menjadi arah atau orientasi dasar semua orang yang peduli pada alam. Tindakan peduli pada
alam alhasil akan menghasilkan situasi ideal bagi kebaikan alam lingkungan kita sendiri.
Alam yang dalam kondisi baik akan tampak dalam nuansanya yang asri, yang tersenyum,
yang ramah dan bersahabat dengan manusia dan makhluk lainnya. Alam yang baik tidak akan
memberikan bencana bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya di bumi ini.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Keempat, terciptanya situasi keindahan alam. Tindakan peduli pada alam akan
menghasilkan kembali lingkungan alam yang indah. Kita mau lingkungan alam menjadi
realitas surgawi bagi kita manusia. Lingkungan alam yang indah tampak dalam pemandangan
alam yang menarik, hutan-hutan lebat menghijau, burung berkicau di atas pohon, hingga
embun yang bercahaya pada dedaunan. Situasi indah alam memancarkan pesona eksotis yang
menenteramkan hati dan menghidupkan berbagai makhluk hidup. Keindahan alam ibarat ibu
yang memberikan rasa nyaman dan kebahagiaan batin bagi manusia yang mampu merasakan
nilai estetis. Santo Agustinus pernah bermadah: “Lihatlah keindahan bumi, lihatlah
keindahan samudera, tanyakanlah keindahan udara yang menyebarluas, tanyakan keindahan
langit, tanyakanlah semua benda dan makhluk; dan semuanya akan menjawab: lihatlah betapa
indahnya kami, siapakah yang menciptakan benda-benda yang indah di dunia ini kalau bukan
Yang Ilahi? (Leteng:2005, hal. 24). Keindahan alam adalah hasil ciptaan Tuhan yang perlu
dipelihara dan dilestarikan eksistensinya oleh manusia. Dan ini hanya mungkin jika manusia
memiliki intuisi dan visi spiritual untuk peduli pada alam.

Kelima, memulihkan sakralitas alam. Tindakan eksploitatif manusia pada alam telah
mengggeruskan sakralitas alam. Dan kita mau peduli pada alam untuk memulihkan sakralitas
alam itu. Salah satu hasil atau buah penting dari tindakan peduli pada lingkungan alam
tampak dalam kondisi alam yang sakral, kudus, suci. Alam yang sakral sungguh bernilai
luhur dan mulia serta kudus karena diciptakan oleh Tuhan sendiri. Sebagai ciptaan Tuhan,
alam memiliki kualitas keilahian dan kekudusan di dalam dirinya sendiri. Kualitas sakral ini
patut diinsyafi oleh setiap manusia yang masih punya hati nurani yang murni dan bening.
Sikap peduli pada lingkungan alam harus dilandasi oleh iman ekologis yang tinggi dan
mendalam pada alam sebagai ciptaan Tuhan yang bernilai agung-luhur.

CHAR6021 – Character Building: Agama


KESIMPULAN

Alam ini, dan semua isinya, merupakan ciptaan Tuhan. Bagi kita manusia, alam ini
merupakan sumber kehidupan, yang menjamin kehidupan kita bisa berlangsung, yang
menyediakan berbagai kebutuhan hidup bagi kita. Kalau alam rusak maka kita akan binasa.
Jadi, kalau kita orang-orang beragama mengatakan bahwa Tuhan atau Allah begitu baik bagi
kita, mencintai kita, memenuhi kebutuhan hidup kita, maka wujud konkrit bagi kita akan hal
itu adalah alam sendiri, yang menyediakan segala yang kita perlukan, yang menyediakan
segala kebutuhan hidup kita. Dengan demikian alam dapat kita pandang sebagai penampakan
kasih Tuhan kepada kita. Dengan melihat alam, menikmati segala yang disediakan untuk kita,
disitu seharusnya hati kita terbuka untuk mengalami betapa baiknya Tuhan bagi kita, yang
selalu mencintai kita, yang hadir dalam hidup kita melalui alam ciptaan-Nya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


DAFTAR PUSTAKA

David C. Korten (2006). The Great Turning From Empire to the Earth Community. Berret
Koehler Publisher, San Francisko.

FranK Mihalic SVD (2009 terj). 1500 Cerita Bermakna, untuk Renungan dan Khotbah dan
Ceramah Anda. Bogor: Grafika Mardi Yuana.

Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. CBDC Bina Nusantara University:
Jakarta.
Hubert Leteng (2005). “Filsafat dan Spiritualitas” dalam Jurnal Ledalero Vol. 4 No. 2.
Maumere: Penerbit Ledalero
Henryk Skolimowski (1992). Eco-Philosophy as A Tree of Life. Arkana Penguin Books.

Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (ed.) Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy,
and the Environment. New York: Orbis Book

Roderick Frazier Nash (1989). The Rights of Nature (A History of Environmental Ethics).
London: The University of Wisconsin Press.

CHAR6021 – Character Building: Agama

Anda mungkin juga menyukai