Anda di halaman 1dari 39

BLOK 3.

4
MODUL 1

oleh :

Kelompok 19C
Anggota kelompok :
1. Zaki Ihsan Kamil (1810311077)
2. Jovanny (1810313008)
3. Bella Dwi Catika (1810312038)
4. Khairani Nur Hakim (1810311023)
5. Helviyana (1810311064)
6. Elsa Putri Andriani (1810312005)
7. Fachri Husaini Adhiatma (1810313029)
8. Dhianisa Salsabila (1810311059)
9. Cahya Hanifa (1810312065)
10. Rifqah Wardah Astarini (1810313043)

Tutor : dr. Husnil Wardiyah


SKENARIO 1: Telinga Omedi Berair

Omedi laki-laki berusia 24 tahun datang ke dokter layanan primer dengan keluhan keluar
cairan dari telinga kanan sejak 1 minggu yang lalu, tidak disertai nyeri. Sebenarnya keluhan cairan
dari telinga kanan ini sudah berulang sejak kecil, kata Omedi, menurut orang tuanya sudah sejak bayi,
namun akhir - akhir ini sudah jarang. Telinga kembali berair biasanya apabila pilek atau masuk air ke
telinga. Pasien biasanya membeli obat sendiri, namun setelah mendengar ada tetangganya minggu
yang lalu operasi karena infeksi telinga yang dapat meluas ke otak dan wajah mencong,
menyebabkannya datang ke dokter. Pendengaran telinga kanan memang sudah dirasakan berkurang
sejak lama, dan kadang-kadang terasa kurang seimbang tapi tidak pernah pusing berputar. Omedi juga
kuatir pendengarannya hilang tiba-tiba seperti pamannya yang sudah pakai alat bantu dengar sejak
dua tahun yang lalu. Telinga kiri saat ini tidak ada keluhan, dulu telinga kiri juga pernah nyeri dan
tersumbat setelah dicongkel sendiri, namun kata dokter waktu itu peradangan hanya pada telinga luar.

Dari pemeriksaan telinga, didapatkan adanya sekret mukoid pada liang telinga kanan, setelah
dilakukan ear toilet tampak adanya perforasi membran timpani tipe sentral. Pemeriksaan garpu tala
didapatkan Rinne telinga kanan negatif, Weber lateralisasi ke kanan dan Schwabach telinga kanan
memanjang.

Dokter keluarga memberi terapi dengan antibiotika tetes telinga dan menganjurkan pasien
untuk menjaga telinga kanan tidak masuk air termasuk berenang . Dokter meminta pasien kontrol
kembali dan menerangkan apabila pasien bersedia dioperasi akan dirujuk ke rumah sakit untuk
pemeriksaan dan penatalaksanaan selanjutnya.

Bagaimana saudara menerangkan permasalahan di atas?

Step 1
1. Ear toilet = klinisi membersihkan telinga pasien secara manual, dapat berupa dry mopping,
suction clearance, dan irrigation.
2. Perforasi membran timpani = berlubangnya membran timpani, dapat di sentral, marginal
ataupun atik.
3. Pemeriksaan garpu tala = menempatkan garpu tala pada area tertentu dari telinga untuk
menentukan jenis ketulian.
4. Tes Rinne = tes garpu tala untuk membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara
pada satu telinga.
5. Tes Weber = tes garpu tala untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan.
6. Tes Schwabach = tes garpu tala untuk membandingkan hantaran tulang yang diperiksa
dengan pemeriksa, dimana pemeriksa harus normal.
Step 2 dan 3
1. Apa penyebab keluar cairan dari telinga kanan Omedi yang tanpa disertai nyeri ?
Etiologi trauma dan otitis eksterna bisa disingkirkan karena telinga Omedi tidak nyeri. Etiologi
termungkin adalah otitis media supuratif ataupun non-supuratif.
2. Mengapa keluhan cairan di telinga kanan sering timbul saat Omedi kecil dan mulai jarang
saat Omedi dewasa ?
Karena pada saat anak - anak, anatomi tuba eustachius lebih pendek dan horizontal sehingga
bakteri dari nasofaring bisa dapat dengan mudah ascending ke telinga tengah. Pada saat
dewasa, posisi anatomi tuba eustachius menjadi lebih panjang dan tidak datar, sehingga Omedi
jarang mengalami otorrhea lagi. Namun, pengobatan yang tidak tuntas mengakibatkan otitis
media Omedi terus berulang.
3. Apa hubungan pilek/kemasukan air ke telinga dengan telinga kembali berair ?
Saat pilek, akan terjadi oklusi pada pada tuba eustachius sehingga sekret yang dihasilkan oleh
sel epitel tuba tidak bisa keluar ke nasofaring. Sekret yang bertumpuk tersebut menyebabkan
otorrhea pada telinga Omedi.
Kemasukan air pada telinga tidak menyebabkan otitis media, namun memungkinkan untuk
terjadinya otitits eksterna. Namun, pada pasien otitis media supuratif kronik, dimana sudah
terdapat perforasi pada membran timpani, dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya
otitis media dan bertambah parah.
4. Apakah ada hubungan antara membeli obat sendiri dengan keluhan sekarang ?
Otitis media yang sudah timbulkan perforasi pada membran timpani tidak boleh diberi obat
yang bersifat ototoksik. Sedangkan beberapa antibiotik, terutama streptomisin dapat
menimbulkan efek ototoksik. Apabila Omedia memberikan obat pada telinganya yang bersifat
ototoksik maka dapat memperparah keluhannya.

5. Kenapa terganggunya menalami infeksi telinga meluas ke otak dan wajah mencong ?
Karena batas telinga tengah dengan otak hanya os. Temporal, apabila otitis media tidak
diobati dengan baik, maka dapat mendestruksi os. Temporal dan infeksi menyebar ke otak.
Sedangkan, wajah mencong diakibatkan oleh penekanan Nervus Facialis oleh kolesteatom
yang merusak tulang-tulang pendengaran.
6. Mengapa fungsi pendengaran Omedi berkurang sejak lama dan juga terasa tidak seimbang ?
Karena kolesteatom yang terbentuk pada OMSK sudah merusak organ keseimbangan pada
telinga dalam sehingga Omedi merasa tubuhnya tidak seimbang. Fungsi pendengaran Omedi
yang berkurang diakibatkan oleh rusaknya alat-alat pendengaran seperti membran timpani dan
tulang-tulang pendengaran yang berada di telinga tengah, atau bisa disebut gangguan
pendengaran konduktif.
7. Mengapa paman Omedi mengalami pendengaran yang tiba-tiba menghilang ?
Paman Omedi bisa jadi mengalami Tuli mendadak yang penyebabnya tidak diketahui /
idiopatik. Tuli mendadak merupakan kasus kegawatdaruratan pada bagian THT-KL. Onset
dari tuli mendadak ini kurang dari 1 bulan.
8. Mengapa telinga kiri Omedi mengalami peradangan dan nyeri ?
Apabila Omedi suka mencongkel-congkel telinga dengan tangan atau cotton bud, maka
kotoran telinga akan terdorong ke membran timpani sehingga gelombang suara tidak sampai
secara optimal di membran timpani.
Nyeri yang dirasakan oleh Omedi diakibatkan oleh otitis eksterna, karena mencongkel telinga
dalam keadaan tidak steril dapat menimbulkan inflamasi pada kelenjar sebasea pada liang
telinga tersebut.

9. Bagaimana interpretasi pemeriksaan telinga Omedi ?


Membran timpani yang sudah perforasi menunjukkan otitis media supuratif kronik.
Rinne telinga kanan negatif, menunjukkan terjadinya gangguan pendengaran konduktif pada
telinga kanan.
Weber lateralisasi ke kanan/ke telinga yang sakit, menunjukkan adanya gangguan
pendengaran konduktif.
Scwhabach memanjang menunjukkan adanya gangguan pendengaran konduktif.
10. Mengapa dokter memberikan antibiotik dan menganjrkan untuk menjaga telinga kanan
Omedi ?
Antibiotik diberikan agar proses infeksi oleh bakteri dapat berhenti dengan mematikan bakter
tersebut. Dokter menganjurkan Omedi untuk menjaga telinga kanannya agar perforasi yang
terjadi pada membran timpani kanan Omedi tidak kemasukan air sehingga tidak memperparah
OMSK yang dialaminya.
11. Kenapa dokter menganjurkan terapi operasi pada Omedi ?
Operasi dilakukan untuk pengangkatan kolesteoma yang terbentuk, apabila tidak diangkat,
maka akan menimbulkan kerusakan telinga dalam yang lebih patah. Pengangkatan kolesteoma
ini tidak dapat dilakukan dengan medikamentosa.
Step 4

Step 5
1. Definisi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, prinsip diagnosis, tatalaksana,
komplikasi, dan prognosis gangguan pendengaran akibat bising.
2. Definisi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, prinsip diagnosis, tatalaksana,
komplikasi, dan prognosis gangguan pendengaran kongenital, konduktif, dan sensorineural.
3. Definisi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, prinsip diagnosis, tatalaksana,
komplikasi, dan prognosis otitis eksterna.
4. Definisi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, prinsip diagnosis, tatalaksana,
komplikasi, dan prognosis otitis media akut.
5. Definisi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, prinsip diagnosis, tatalaksana,
komplikasi, dan prognosis otitis media efusi.
6. Definisi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, prinsip diagnosis, tatalaksana,
komplikasi, dan prognosis otitis media supuratif kronik.
7. Definisi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, prinsip diagnosis, tatalaksana,
komplikasi, dan prognosis gangguan penghidu.
8. Definisi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, prinsip diagnosis, tatalaksana,
komplikasi, dan prognosis gangguan nervus facialis.
9. Definisi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, prinsip diagnosis, tatalaksana,
komplikasi, dan prognosis gangguan keseimbangan.

Step 6
Gangguan Pendengaran Akibat Bising

1. Definisi

Gangguan pendengaran akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dan dalam jangka waktu
lama, seperti pada lingkungan kerja yang bising. Bising merupakan sumber bunyi yang
mengganggu indera pendengaran manusia.

Tingkat kepekaan indera manusia terhadap bunyi berkisar dari 0 - 140 dB. Apabila sumber
bising bernilai 70 dB maka akan muncul gangguan psikologis pada manusia, seperti perasaan
gelisah. Apabila sumber bising >85 dB maka akan sebabkan gangguan pendengaran akibat bising.

2. Epidemiologi

Menurut WHO, pada tahun 2020 terdapat 466 juta orang kehilangan fungsi pendengaran, 34
juta diantaranya merupakan anak-anak dan 60% diantaranya dapat dicegah. 1,1 juta remaja yang
mnegalami gangguan pendengaran akibat bising umumnya disebabkan oleh penggunaan
headphones dan personal music player. Sebanyak 7-21% gangguan pendengaran akibat bising
dialami oleh dewasa yang bekerja dan lebih tinggi kasusnya pada negara berkembang daripada
negara maju.

3. Faktor Risiko

Orang - orang yang bekerja di sektor militer, perhutanan, agrikultur, perikanan, perburuan,
pemurnian minyak, adhesive materials manufacturing, petugas di pesawat, petugas di kereta api
memiliki faktor risiko yang tinggi untuk terkena gangguan pendengaran akibat bising. Hal tersebut
dikarenakan tingginya intensitas bunyi yang dihasilkan pada lingkungan kerja disana, seperti
berikut :

 Gun shoot = 140 - 170 dB

 Take off pesawat = 130 dB

 Diskotek = 120 - 130 dB

 Rock concert, chain saw dokter gigi = 110 - 120 dB

 Pabrik = 100 dB

 Headphone, diesel = 100 dB

 Sepeda motor = 90 dB
 Kereta api = 90 dB

 Vacum cleaner = 70 dB

 Berteriak = 60 dB

4. Patogenesis

Normalnya, akibat getaran pada membran basilar, stereosilia pada hair cell organ corti
akan mencetuskan listrik. Ketika intensitas bising (dB) tinggi, maka terjadi overload activity
cellular pada organ corti, akibat aktifitas yang berlebihan tersebut, maka terjadi kerusakan pada sel,
apabila terus menerus terjadi maka sel akan mengalami kematian.

Kerusakan sel tersebut dapat bersifat sementara apabila dapat menghindari sumber bising
selama minimal 2x24 jam dan memakai alat pelindung telinga. Namun, apabila terus menerus
terpapar pada sumber bising, maka sel yang rusak tidak akan kembali sehat tetapi akan mengalami
kematian sel yang menyebabkan menurunnya fungsi pendengaran.

5. Manifetasi Klinis

a) Tinnitus

b) Penurunan fungsi pendengaran. Misalnya, tidak dapat mendengar percakapan dengan


volume suara normal, harus dengan volume yang agak keras

c) Telinga terasa penuh

6. Diagnosis

 Anamnesis = riwayat bekerja atau kebiasaan yang menyebabkan telinga terpapar oleh
intensitas bunyi yang tinggi selama 5 tahun atau lebih.

 Rinne test +, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, Schwabach memendek, yang merupakan
pertanda untuk gangguan pendengan sensorineural.

 Pemeriksaan audiometri didapatkan takik pada volume 4000 Hz dan setelah frekuensi tersebut
kembali normal.

7. Tatalaksana

1) Preventif (Pindah kerja atau pembatasan jam kerja di lingkungan yang bising tersebut,
mengurangi mendengar musik dengan volume keras, memakai pelindung telinga saat
bekerja)

2) Jika sudah sulit untuk berkomunikasi sehari-hari, maka menggunakan alat bantu dengar.
3) Jika alat bantu dengar tidak membantu karena kerusakan yang sudah parah, maka hanya
dilakukan psikoterapi untuk menerima keadan yang sekarang dan rehabilitasi untuk
memaksimalkan fungsi pendengaran, seperti auditory training, lip reading.

4) Choclear implant unuk pilihan terakhir jika fungsi pendengaran sudah sama sekali tidak
ada.

8. Prognosis

Prognosisnya buruk karena kerusakannya berada di sensorineural, dimana kerusakannya


bersifat menetap.

GANGGUAN PENDENGARAN

A. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk
gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan
membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan
mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke
stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran
diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan
gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik
yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan
terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi
sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan
potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks
pendengaran (area 39 - 40) di lobus temporalis.

B. Fisiologi Gangguan Pedengaran

Gangguan telinga luar dan lelinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif, sedangkan
gangguan telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural, yang terbagi atas tuli koklea dan tuli
retrokoklea. Sumbatan tuba eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah dan akan terdapat tuli
konduktif. Gangguan pada vena jugulare berupa aneurisma akan menyebabkan telinga berbunyi
sesuai dengan denyut jantung. Antara inkus dan maleus berjalan cabang n. fasialisis yang disebut
korda timpani. Bila terdapat radang di telinga tengah atau trauma mungkin korda timpani terjepit,
sehingga timbul gangguan pengecap. Di dalam telinga dalam terdapat alat keseimbangan dan alat
pendengaran. Obat-obat dapat merusak stria vaskularis, sehingga saraf pendengaran rusak, dan terjadi
tuli sensorineural. Setelah pemakaian obat ototoksik seperti streptomisin, akan terdapat gejala
gangguan pendengaran berupa tuli sensoneural dan gangguan..keseimpangan.

C. Epidemiologi Gangguan Pendengaran

Bising merupakan masalah utama penyebab gangguan pendengaran di negara maju. Pajanan
bising secara kontinyu dan berlebihan menjadi salah satu penyebab gangguan pendengaran yang
semestinya bisa dihindari. Di dukung dengan fakta bahwa gangguan pendengaran pada daerah industri
menempati urutan pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa.

Dari hasil “WHO Multi Centre Study” tahun 1998, Indonesia termasuk empat negara di Asia
Tenggara dengan prevalensi gangguan pendengaran yang cukup tinggi (4,6%), tiga negara lainnya
adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%). Prevalensi gangguan pendengaran pada
populasi penduduk Indonesia diperkirakan sebesar 4,2%. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2002
adalah 221.900.000 jiwa, sehingga jumlah penduduk yang menderita gangguan pendengaran
diperkirakan 9.319.800 jiwa.

D. Jenis Gangguan Pedengaran

Gangguan pendengaran adalah tidak dapat mendengar suara sebagian atau seluruhnya di salah
satu atau kedua telinga. Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji
pendengaran yakni: gangguan konduktif, gangguan sensorineural dan gabungan keduanya atau tipe
campuran.

1. Tuli konduktif (Conductive Hearing Loss)

Terjadi akibat adanya gangguan pendengaran karena masalah dengan saluran telinga, gendang
telinga, atau telinga tengah dan tulang yang kecil (maleus, inkus, dan stapes).

Penyebab tuli konduktif:

a. Malformasi telinga luar, saluran telinga, atau struktur telinga tengah


b. Cairan di telinga tengah dari pilek
c. Infeksi telinga
d. Fungsi tuba eustachius yang menurun
e. Gendang telinga berlubang
f. Tumor jinak
g. Dampak kotoran telinga
h. Infeksi pada saluran telinga
i. Benda asing di telinga
j. Otosklerosis
2. Tuli Sensorineural (Sensorineural Hearing Loss)
Disebabkan oleh kerusakan pada koklea atupun retrokoklea. Tuli sensorineural dapat bersifat
akut (acute sensorineural deafness) yakni tuli sensorineural yang terjadi tiba-tiba dimana penyebab
tidak diketahui dengan pasti dan sensorineural kronik deafness merupakan tuli sensorineural yang
terjadi secara perlahan.

Penyebab tuli sensorial:

a. Trauma kepala
b. Virus atau penyakit
c. Penyakit autoimun telinga bagian dalam
d. Gangguan pendengaran yang dialami dalam lingkungan keluarga
e. Penuaan (presbikusis)
f. Malformasi telinga bagian dalam
g. Tumor
h. Otosklerosis - gangguan menurun di mana bentuk pertumbuhan tulang di sekitar tulang kecil
di telinga tengah, mencegah dari bergetar saat dirangsang oleh suara.
3. Tuli Campuran (Mixed Hearing Loss)

Gangguan ini mengacu pada kombinasi dari gangguan pendengaran konduktif dan
sensorineural. Ini berarti bahwa mungkin ada kerusakan di telinga luar atau tengah dan di telinga
bagian dalam (koklea) atau saraf pendengaran. Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari
kedua komponen gejala gangguan pendengaran jenis konduktif dan sensorineural.

E. Gejala

Saat terjadi gangguan dari proses pengiriman getaran suara dan penerimaan suara yang telah diolah,
maka pendengaran akan terganggu. Di bawah ini adalah gejala yang dapat timbul akibat gangguan
pendengaran:

a. Suara atau perkataan terdengar pelan


b. Selalu menyetel suara TV dan musik dengan volume keras
c. Telinga berdenging atau tinnitus
d. Kesulitan mendengar perkataan orang lain dan salah menangkap hal yang dimaksud, terutama
ketika berada di keramaian
e. Kesulitan mendengar suara konsonan dan suara bernada tinggi
f. Perlu berkonsentrasi keras untuk mendengar hal yang dikatakan orang
g. Sering meminta orang lain untuk mengulang pembicaraan, berbicara dengan lebih jelas, pelan,
atau keras
F. Pengukuran Gangguan Pendengaran
1. Audiometri
Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti mendengar dan mengukur (uji
pendengaran) Audiometri adalah teknik untuk mengidentifikasi dan menentukan ambang
pendengaran seseorang dengan mengukur sensitivitas pendengarannya menggunakan alat
yang disebut audiometer, sehingga perawatan medis atau salah satu alat bantu dengar yang
tepat dapat diresepkan. Dengan teknik ini, rangsangan pendengaran dengan taraf intensitas
yang berbeda-beda disajikan kepada pasien yang akan menanggapi rangsangan ini. Tingkat
intensitas minimum rangsangan yang diperoleh dari respon yang konsisten diambil sebagai
ambang pendengaran. Berdasarkan ambang pendengaran, sensitivitas pendengaran pasien
dapat diestimasi dengan mengunakan sebuah audiogram. Sebuah audiogram adalah grafik
taraf intensitas ambang dan frekuensi. Ada berbagai macam prosedur audiometri yang
berbeda-beda tergantung pada rangsangan digunakan, diantaranya adalah audiometri nada
murni dan audiometri tutur
2. Audiometer
Audiometer adalah peralatan elektronik untuk mengukur ambang pendengaran yang biasa
digunakan untuk mendiagnosis pendengaran seseorang. Pada audiometer nada murni, kedua
telinga akan diperiksa satu persatu. Untuk memeriksa gangguan pendengaran konduksi kedua
telinga akan dipasang oleh headphone, sedangkan untuk memeriksa gangguan pendengaran
sensorineural kedua telinga akan dipasang oleh bone vibrator Audiometer terdiri dari berbagai
jenis, tergantung pada rentang frekuensi ,berbagai output akustik, modus penyajian akustik,
fasilitas masking, prosedur yang digunakan, dan jenis stimulus akustik. Audiometer mampu
menghasilkan nada murni pada frekuensi tertentu, taraf intensitas tertentu, dan durasi, baik
tunggal atau gabungan. Sebuah audiometer konvensional terdiri dari tombol-tombol dengan
skala kalibrasi untuk menyeleksi frekuensi nada tingkat tertentu. Terdapat dua macam
audiometer yakni audiometer nada murni dan tutur
a. Audiometer nada murni
adalah suatu alat uji pendengaran dengan yang dapat menghasilkan bunyi nada-nada
murni dari berbagai frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz
dan taraf intensitas dalam satuan (dB). Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui
headphone ke telinga orang yang diperiksa pendengarannya. Masing-masing untuk
menukur ketajaman pendengaran melalui hantaran udara (untuk keluaran dari
headphone) pada tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan didapatkan kurva
hantaran tulang dan hantaran udara. Telinga manusia normal mampu mendengar
suara dengan kisaran frekuensi 20-20.000 Hz. Frekuensi dari 500- 2000 Hz yang
paling penting untuk memahami percakapan sehari-hari
b. Audiometer tutur
Audiometer tutur adalah alat uji pendengaran menggunakan kata-kata terpilih yang
telah dibakukan dan dikaliberasi, untuk mengukur beberapa aspek kemampuan
pendengaran. Prinsip audiometri tutur hampir sama dengan audiometri nada murni,
hanya disini alat uji pendengaran menggunakan daftar kata terpilih yang dituturkan
pada penderita. Kata-kata tersebut dapat dituturkan langsung oleh pemeriksa melalui
mikrofon yang dihubungkan dengan audiometri tutur, kemudian disalurkan melalui
headphone ke telinga yang diperiksa pendengarannya secara langsung, atau kata-kata
direkam terlebih dahulu dan disimpan di dalam file PC, kemudian diputar kembali
dan disalurkan melalui headphone penderita. Penderita diminta untuk menebak dan
menirukan dengan jelas setiap kata yang didengar
G. Pengobatan Gangguan Pendengaran
Tujuan pengobatan gangguan pendengaran untuk mengatasi penyebab yang mendasari dan
mencegah semakin memburuknya gangguan yang terjadi. Jika disebabkan oleh penumpukan
kotoran telinga, infeksi telinga luar, atau infeksi telinga tengah, umumnya gangguan
pendengaran bisa disembuhkan.
Sementara itu, pada gangguan pendengaran sensorineural, terutama akibat proses penuaan,
pengobatan bertujuan untuk meningkatkan fungsi pendengaran atau membantu pasien untuk
beradaptasi dan mampu berkomunikasi dengan cara lain.
Metode pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengobati gangguan pendengaran dan
membantu penderita berkomunikasi antara lain:
a. Membersihkan tumpukan kotoran di dalam telinga dengan pemberian obat tetes
telinga, irigasi telinga, atau penggunaan alat penyedot khusus
b. Melakukan operasi untuk mengobati kelainan pada gendang telinga dan tulang telinga
c. Mengganti obat atau menyesuaikan dosis obat yang diduga menyebabkan gangguan
pendengaran
d. Mengobati penyakit lain yang diduga memicu gangguan pendengaran
e. Menggunakan alat bantu dengar untuk membantu proses penghantaran suara
f. Memasang implan koklea untuk menstimulasi saraf pendengaran, khususnya bagi
penderita yang saraf audiotorinya normal namun tidak dapat dibantu dengan alat
bantu dengar
g. Memasang implan auditori batang otak untuk mengirimkan sinyal listrik langsung ke
otak dengan kabel khusus, yang ditujukan bagi penderita gangguan pendengaran yang
parah
h. Melakukan implan telinga bagian tengah untuk melipatgandakan gelombang suara
sehingga terdengar lebih jelas dan keras, khususnya bagi orang yang telinganya tidak
pas dengan bentuk alat bantu dengar
i. Mengajarkan dan melatih penggunaan bahasa isyarat atau pembacaan bibir, baik oleh
penderita gangguan pendengaran maupun orang di sekitarnya agar mampu saling
berkomunikasi
j. Menggunakan assistive listening devices (ALDs) untuk membantu agar suara tv,
musik, atau telepon dari seseorang bisa langsung tersambung ke alat bantu dengar
yang digunakan.

OTITIS MEDIA EFUSI

Otitis Media Efusi (OME) adalah suatu proses inflamasi mukosa telinga tengah yang ditandai
dengan adanya cairan non-purulen di telinga tengah tanpa tanda infeksi akut.

OME sering menyerang anak usia 1 tahun hingga 3 tahun, diikuti pada usia masuk sekolah,
yaitu 4 tahun hingga 6 tahun.3 Sebanyak 90% anak usia 10 tahun sekurang-kurangnya pernah
mengalami satu kali episode OME.3 Meskipun banyak kasus OME sembuh spontan, tetapi 30%
hingga 40% mengalami rekurensi setelah 3 bulan dan 5% sampai 10% kasus bisa bertahan hingga 1
tahun.

ETIOLOGI

Etiologi OME bersifat multipel. OME terjadi karena interaksi berbagai faktor host, alergi,
faktor lingkungan, dan disfungsi tuba Eustachius. Tekanan telinga tengah negatif, abnormalitias
imunologi, atau kombinasi kedua faktor tersebut diperkirakan menjadi faktor utama. Faktor penyebab
lain adalah hipertrofi adenoid, adenoiditis kronik, palatoskisis, barotrauma, dan radang penyerta
seperti sinusitis atau rinitis. OME bisa juga terjadi saat fase resolusi OMA. Saat proses inflamasi akut
sudah sembuh, 45% pasien OMA mengalami efusi persisten setelah 1 bulan, berkurang menjadi 10%
setelah 3 bulan.

PATOFISIOLOGI

Teori klasik menjelaskan disfungsi persisten tuba Eustachius (TE). Fungsi TE adalah sebagai
ventilasi, proteksi, dan drainase. Fungsi ventilasi untuk menyeimbangkan tekanan udara telinga
tengah sama dengan tekanan udara luar. Fungsi proteksi untuk perlindungan telinga tengah terhadap
tekanan dan sekret nasofaring. Fungsi drainase untuk mengalirkan produksi sekret dari telinga tengah
ke nasofaring.

TE tidak hanya tabung melainkan sebuah organ yang mengandung lumen dengan mukosa,
kartilago, dikelilingi jaringan lunak, musculus tensor veli palatine, levator veli palatine,
salpingofaringeus, dan tensor timpani. Tuba terdiri atas tulang rawan pada 2/3 ke arah nasofaring dan
sepertiganya terdiri atas tulang. Panjang tuba pada anak 17,5 mm, lebih pendek, lebih lebar, dan lebih
horizontal daripada TE dewasa. Anatomi tuba pada anak inilah yang mengakibatkan sekret dari
nasofaring dapat lebih mudah refluks ke dalam telinga tengah melalui TE.

Disfungsi TE bisa terjadi karena upper respiratory tract infection (URTI), trauma, obstruksi
mekanis, atau alergi yang mengakibatkan inflamasi. Jika disfungsi tuba persisten, akan terbentuk
tekanan negatif dalam telinga tengah akibat absorpsi dan/ atau difusi nitrogen dan oksigen ke dalam
sel mukosa telinga tengah. Selanjutnya sel mukosa akan menghasilkan transudasi, kemudian akan
terjadi akumulasi cairan serous, berupa efusi steril sehingga terjadi OME. Jika disfungsi tuba
Eustachius berlanjut, efusi menjadi media ideal untuk tumbuhnya bakteri, sehingga OME berubah
menjadi OMA. Beberapa ahli mengoreksi teori ini karena ditemukan patogen pada OME, sama seperti
pada kasus OMA.

Dari 62 kasus OME yang diteliti terdapat 28 kasus dengan kultur positif. Bakteri yang sering
ditemukan antara lain S. pneumoniae, M. catarrhalis, dan H. influenzae, semuanya mampu
membentuk biofilm. Biofilm adalah kumpulan sel mikroorganisme, khususnya bakteri yang
menempel pada permukaan mukosa dan memproduksi struktur tiga dimensi yang ditutupi matriks
eksopolisakarida. Biofilm ini mengakibatkan resistensi terhadap azitromisin dan terjadinya OME
persisten karena mencegah penetrasi obat. Terdapat 9% kasus telinga sehat dengan biofilm dan
semuanya tidak bergejala klinis.

DIAGNOSIS

Anamnesis

Anak mengeluh pendengaran berkurang, biasanya ringan dan bisa dideteksi dengan
audiogram. Selain itu, anak juga mengeluh rasa tersumbat pada telinga atau suara sendiri terdengar
lebih nyaring atau berbeda (diplacusis binauralis) pada telinga yang sakit. Otalgia sering ringan. Pada
anak balita, gejala sulit dikenali, tetapi timbul gangguan bicara dan bahasa karena pendengaran
berkurang, kadang orang tua mengeluh anaknya berbicara dengan suara keras dan tidak respons saat
dipanggil. Kadang tidak ada gejala pada anak. Temuan lain yaitu adanya riwayat bepergian dengan
pesawat, diving, atau riwayat alergi.

Otoskopi

Pada pemeriksaan otoskopi terlihat membran timpani suram dan retraksi, kadang kekuningan,
atau efusi kebiruan.

Otoskopi Pneumatik

Pemeriksaan ini menunjukkan membran timpani retraksi atau bombans dengan mobilitas
menurun. Sensitivitas pneumatik otoskopi adalah 94% dan spesifisitasnya 80%; merupakan metode
diagnosis primer dan untuk membedakan OME dari OMA. Otoskopi pneumatik dilakukan sebelum
timpanometri.

Audiometri Nada Murni

Pada pemeriksaan ini didapatkan tuli konduksi ringan sampai sedang. Tuli konduksi bilateral
persisten lebih dari 25 dB dapat mengganggu perkembangan intelektual dan kemampuan berbicara
anak.

Derajat ketulian menurut International Standard Organization (ISO):

 0-25 dB : normal
 >25-40 dB : tuli ringan
 >40-55 dB : tuli sedang
 >55-70 dB :tuli sedang berat
 >70-90 dB : tuli berat
 >90 dB : tuli sangat berat

Timpanometri

Timpanometri memberikan penilaian objektif mobilitas membran timpani, fungsi TE, dan
fungsi telinga tengah dengan mengukur jumlah energi suara yang dipantulkan kembali oleh probe
kecil yang ditempatkan pada liang telinga. Prosedur ini tidak nyeri, relatif sederhana, dan dapat
dilakukan dengan portable screening unit. Hasil pemeriksaan timpanometri disebut timpanogram.

Timpanometri digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis OME. Pada timpanogram


didapatkan hasil tipe B atau C. Tipe ini menunjukkan gerakan membran timpani terbatas karena
adanya cairan atau perlekatan dalam kavum timpani. Sensitivitas dan spesifisitas timpanometri cukup
tinggi (sensitivitas 94%, spesifisitas 50-70%) jika dibandingkan dengan miringotomi.

TATALAKSANA

Pengobatan OME masih menjadi perdebatan karena cara konservatif ataupun operatif masing-
masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Harus diteliti adanya faktor risiko yang akan menjadi
predisposisi sekuele atau memprediksi OME persisten.

Anti-histamin/ dekongestan
Pada berbagai percobaan klinis, efikasi anti-histamin/dekongestan tidak dapat dibuktikan.
Meta analisis dari 3 uji coba acak yang membandingkan antihistamin- dekongestan dengan plasebo
untuk terapi OME tidak menunjukkan perbedaan (0%, confidence interval 95%:-7 s/d 7%). Tidak ada
bukti untuk mendukung pemberian obat ini pada OME.

Kortikosteroid

Secara teori, kortikosteroid bermanfaat untuk pengobatan OME. Mekanisme anti-inflamasi


terjadi karena penghambatan fosfolipase A2, yang kemudian menghambat pembentukan asam
arakidonat, sehingga menghambat sintesis mediator inflamasi, peningkatan regulasi ion natrium
transepitelial, menyebabkan pengosongan cairan dari telinga tengah dan menekan produksi musin
dengan cara menekan musin5ac (MUC5AC). Bukti ilmiah perbaikan jangka pendek penggunaan
kortikosteroid intranasal masih terbatas.
Antibiotik

Banyaknya studi yang menunjukkan bakteri pada cairan efusi, menyebabkan amoksisilin
dipergunakan sebagai antibiotik lini pertama. Mendel, et al, melaporkan pada 518 pasien anak dengan
OME, penyembuhan dengan amoksilin dengan atau tanpa kombinasi antihistamin dekongestan 2 kali
lebih tinggi dibandingkan plasebo. Namun, antibiotik rutin tidak dianjurkan karena risiko resistensi.
Penggunaan antibiotik jangka panjang dengan atau tanpa kortikosteroid tidak terbukti efektif untuk
OME.

Ciprofloxacin topikal (fluoroquinolon ototopikal) juga dapat digunakan. Fluoroquinolon tidak


menyebabkan toksisitas koklear atau vestibuler. Penggunaannya diindikasikan pada pasien OME
bilateral pediatrik yang sudah dioperasi dengan myringotomi-tube insertion. Dosisnya 6 mg pada
masing-masing telinga kemudian cairan efusi diisap dengan suction.

Miringotomi

Miringotomi (timpanostomi) merupakan pemasangan pipa ventilasi untuk evakuasi cairan


dari dalam telinga tengah. Tujuannya adalah menghilangkan cairan di telinga tengah, mengatasi
gangguan pendengaran, mencegah kekambuhan, mencegah gangguan perkembangan kognitif, bicara,
bahasa, dan psikososial.

Indikasi pembedahan pada OME tergantung status pendengaran, gejala, risiko tumbuh
kembang, dan kemungkinan efusi sembuh spontan. Operasi dilakukan setelah pengobatan konservatif
selama 3 bulan gagal. Daniel, et al, menemukan bahwa seperempat kasus perlu miringotomi dengan
pemasangan pipa ventilasi dalam 2 tahun. Untuk kasus OME unilateral dengan pendengaran normal
pada telinga kontralateral, pipa ventilasi direkomendasikan setelah 6 bulan.

Adenoidektomi

Adenoidektomi dengan pemasangan miringotomi pipa ventilasi direkomendasikan pada anak


usia 4 tahun atau lebih. Untuk anak usia di bawah 4 tahun, adenoidektomi dilakukan jika terdapat
hipertrofi adenoid yang menimbulkan keluhan hidung buntu dan adenoiditis kronik. Pasien OME usia
2-11 tahun yang menjalani adenoidektomi atau miringotomi dengan pemasangan pipa ventilasi
hasilnya lebih baik daripada tanpa pipa.
PROGNOSIS

Secara umum prognosis OME baik. Kasus OME pada anak usia 2-4 tahun, sebanyak 50%
sembuh dalam 3 bulan dan 95% dalam setahun. Sekitar 5% anak-anak OME yang tidak dibedah
mengalami OME persisten dalam setahun.

KOMPLIKASI

Gangguan pendengaran merupakan komplikasi OME yang paling sering, biasanya konduktif,
mungkin sensorineural, atau keduanya. Jenis sensorineural biasanya permanen.

OTITS MEDIA AKUT

Definisi

Infeksi saluran telinga meliputi, infeksi saluran telinga luar (otitis eksterna), saluran telinga
tengah (otitis media), mastoid (mastoiditis) dan telinga bagian dalam (labyrinthitis). Otitis media,
suatu inflamasi telinga tengah berhubungan dengan efusi telinga tengah, yang merupakan
penumpukan cairan ditelinga tengah. Otorrhea merupakan discharge telinga yang dapat berasal dari
membran timpani. Otitis media diklasifikasikan berdasarkan gejala klinis, otoskopi, lama sakit dan
komplikasi. Otitis media terjadi karena aerasi telinga tengah yang terganggu, biasanya disebabkan
karena fungsi tuba eustakius yang terganggu. Diagnosis dan tatalaksana yang benar sangatlah penting,
karena otitis media merupakan penyakit yang sering ditemukan dan dapat menyebabkan komplikasi
penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Epidemiologi

Hampir 85% anak memiliki episode otitis media akut paling sedikit satu kali dalam 3 tahun
pertama kehidupan dan 50% anak mengalami 2 episode atau lebih. Anak yang menderita otitis media
pada tahun pertama, mempunyai kenaikan risiko otitis media kronis ataupun otitis media berulang.
Insiden penyakit akan cenderung menurun setelah usia 6 tahun. Di Amerika Serikat, hampir semua
anak pada usia 2 tahun akan mengalami otitis media, dan kira-kira 17 persen anak usia 6 bulan telah
mengalami 3 episode atau lebih. Episode yang sering berulang mengakibatkan peningkatan
kekhawatiran dan kecemasan orang tua, disamping juga biaya kesehatan yang harus ditanggung. Pada
negara berkembang komplikasi yang sering ditemukan adalah gangguan pendengaran, untuk itu
pemberian vaksinasi pneumokokus penting untuk mencegah otitis media dan komplikasinya.

Patogenesis

Ada beberapa faktor yang menyebabkan otitis lebih sering terjadi pada anak dibandingkan
dewasa. Tuba eustakius anak berbeda dibandingkan dengan orang dewasa yakni tuba eustakius anak
lebih horizontal dan lubang pembukaan tonus tubarius dikelilingi oleh folikel limfoid yang banyak
jumlahnya. Adenoid pada anak dapat mengisi nasofaring, sehingga secara mekanik dapat menyumbat
lubang hidung dan tuba eustakius serta dapat berperan sebagai fokus infeksi pada tuba. Tuba eustakius
secara normal tertutup pada saat menelan. Tuba eustakius melindungi telinga tengah dari sekresi
nasofaring, drainase sekresi telinga tengah, dan memungkinkan keseimbangan tekanan udara dengan
tekanan atmosfer dalam telinga tengah. Obstruksi mekanik ataupun fungsional tuba eustakius dapat
mengakibatkan efusi telinga tengah. Obstruksi mekanik intrinsik dapat terjadi akibat dari infeksi atau
alergi dan obstruksi ekstrinsik akibat adenoid atau tumor nasofaring. Obstruksi fungsional dapat
terjadi karena jumlah dan kekakuan dari kartilago penyokong tuba. Obstruksi fungsional ini lazim
terjadi pada anak-anak.

Obstruksi tuba eustakius mengakibatkan tekanan telinga tengah menjadi negatif dan jika
menetap mengakibatkan efusi transudat telinga tengah. Bila tuba eustakius mengalami obstruksi tidak
total, secara mekanik, kontaminasi sekret nasofaring dari telinga dapat terjadi karena refluks (terutama
bila membran timpani mengalami perforasi), karena aspirasi, atau karena peniupan selama menangis
atau bersin. Perubahan tekanan atau barotrauma yang cepat juga dapat menyebabkan efusi telinga
tengah yang bersifat hemoragik. Bayi dan anak kecil memiliki tuba yang lebih pendek dibandingkan
dewasa, yang mengakibatkannya lebih rentan terhadap refluks sekresi nasofaring. Faktor lain yaitu
respon imun bayi yang belum sempurna. Infeksi saluran nafas yang berulang juga sering
mengakibatkan otitis media melalui inflamasi dan edema mukosa dan penyumbatan lumen tuba
eustakius. Kuman yang sering menyebabkan otitis media diantaranya Streptococcus pneumonia,
Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis.

Otitis media akut merupakan inflamasi telinga tengah dengan onset gejala dan tanda klinis
yang cepat, seperti nyeri, demam, anoreksia, iritabel, atau juga muntah. otitis media yang disertai
efusi ditandai dengan ditemukannya efusi telinga tengah yang asimtomatik. Dari pemeriksaan
otoskopi didapatkan gerakan membran timpani yang menurun, dengan bentuk menjadi cembung,
kemerahan dan keruh.

Otitis media akut

Otitis media akut paling sering terjadi pada anak-anak dan termasuk diagnosis yang paling
sering pada anak dengan gejala panas. Membran timpani yang cembung merupakan salah satu 1437
tanda kecurigaan terhadap otitis media.

Manifestasi klinis

Gejala dapat diawali dengan infeksi saluran nafas yang kemudian disertai keluhan nyeri
telinga, demam, dan gangguan pendengaran. Pada bayi gejala ini dapat tidak khas, sehingga gejala
yang timbul seperti iritabel, diare, muntah, malas minum dan sering menangis. Pada anak yang lebih
besar keluhan biasanya rasa nyeri dan tidak nyaman pada telinga.

Diagnosis

Diagnosis otitis media akut dibuat berdasarkan pada pemeriksaan membran timpani. Tetapi
pada anak pemeriksaan ini mungkin sulit dilakukan karena saluran telinga yang kecil, adanya serumen
dan juga keadaan anak yang tidak kooperatif. Dari pemeriksaan otoskopi didapatkan gerakan
membran timpani yang berkurang, cembung, kemerahan dan keruh, dapat juga dijumpai sekret
purulen. Adanya penurunan gerak dari membran timpani merupakan dasar kecurigaan pada otitis
media akut. Bila diagnosis masih meragukan, perlu dilakukan tindakan aspirasi dari telinga tengah.

Para dokter, khususnya dokter anak, seringkali misdiagnosis terhadap otitis media, dan untuk
menghindarinya perlu dilakukan pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan otoskopi dapat mengurangi lebih
dari 30% dari kesalahan yang terjadi. Hal ini dapat dijelaskan karena sebagai klinisi, dokter
mendiagnosa berdasarkan gejala klinis dan warna dari membran timpani, sedangkan ahli THT lebih
memperhatikan gerak dan posisi membran timpani.

Pengobatan

Terapi tergantung dari kuman dan hasil uji sensitivitas. Organisme penyebab yang paling
sering adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza. Pada neonatus berusia kurang dari 2
minggu, bakteri gram negatif, Staphylococcus aureus, Streptococcus grup B lebih sering ditemukan.
Sebelum didapatkannya hasil uji sensitivitas, amoksisilin oral merupakan antibiotik pilihan awal.
Amoksisilin diberi dengan dosis 40 mg/kgbb/24 jam, 3 kali sehari selama 10 hari. Pemberian obat
tersebut selama 5 hari dapat memperkecil resiko timbulnya efek samping terapi. Akan tetapi telah
banyak kuman yang resisten terhadap amoksisilin, khususnya penghasil BLaktamase, dalam kasus ini
perlu kiranya memberikan antibiotika dari kelas yang berbeda. Pilihan obat lainnya adalah Eritromisin
(50 mg/kgbb/24 jam) bersama dengan sulfonamid (100mg/kgbb/24 jam trisulfa atau 150 mg
mg/kgbb/24 jam sulfisoksazol) empat kali sehari, trimetroprim-sulfametoksasol (8 dan 40 mg/kgbb/24
jam) diberi 2 kali sehari, sefaklor (40 mg/kgbb/24 jam, 3 kali sehari, amoksisilin-klavulanat 40
mg/kgbb/24 jam 3 kali sehari, atau sefiksim 8 mg/kgbb/24 jam sekali atau 2 kali sehari. Jika penderita
sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin, maka dapat diberikan kombinasi dari eritromisin dan
sulfonamid atau sulfisoksazol.

Pada Otitis Media tanpa komplikasi, pemberian antibiotika cukup selama 5 hari. Apabila
dalam perjalanannya terdapat perburukan gejala klinis atau ditemukannya kuman yang telah resisten,
maka timpanosentesis perlu dilakukan untuk mengidentifikasi kuman penyebab. Terapi suportif lain
dapat diberikan, antara lain analgetik, antipiretik, dekongestan. Pada penderita dengan nyeri telinga
berat, miringotomi dapat dilakukan untuk memberi kelegaan. Kadang insisi yang besar perlu
dilakukan ketika miringotomi agar memungkinkan drainase telinga tengah yang cukup. Jika dalam 24
jam terdapat penambahan gejala dan tanda sedangkan pasien masih dalam pemberian antibiotik, maka
kita harus mencurigai adanya infeksi bersama seperti meningitis dan komplikasi otitis media supuratif.
Anak harus dilakukan pemeriksaan 1438 ulang dan timpanosentesis serta miringotomi harus segera
dilakukan. Setelah 2 minggu, penderita perlu dievaluasi, khususnya penyembuhan otoskopik.
Diagnosis otitis media akut dibuat berdasarkan pada pemeriksaan membran timpani. Tetapi pada anak
pemeriksaan ini mungkin sulit dilakukan karena saluran telinga yang kecil, adanya serumen dan juga
keadaan anak yang tidak kooperatif.

Dari pemeriksaan otoskopi didapatkan gerakan membran timpani yang berkurang, cembung,
kemerahan dan keruh, dapat juga dijumpai sekret purulen. Adanya penurunan gerak dari membran
timpani merupakan dasar kecurigaan pada otitis media akut. Bila diagnosis masih meragukan, perlu
dilakukan tindakan aspirasi dari telinga tengah. Para dokter, khususnya dokter anak, seringkali
misdiagnosis terhadap otitis media, dan untuk menghindarinya perlu dilakukan pemeriksaan otoskopi.
Pemeriksaan otoskopi dapat mengurangi lebih dari 30% dari kesalahan yang terjadi. Hal ini dapat
dijelaskan karena sebagai klinisi, dokter mendiagnosa berdasarkan gejala klinis dan warna dari
membran timpani, sedangkan ahli THT lebih memperhatikan gerak dan posisi membran timpani.

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK


Definisi
Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah radang kronis pada mukosa telinga tengah ditandai
dengan adanya perforasi membran timpani dan riwayat keluar sekret dari telinga tengah lebih dari 2
bulan baik terus menerus maupun hilang timbul, di mana sifat sekretnya mukoid atau mukopurulen.
Hal ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran terutama bila terjadi OMSK pada kedua
telinga (Helmi, 2005). Di Indonesia penyakit OMSK dikenal dengan istilah yakni “congek” dan di
daerah Bali dikenal dengan istilah “curek”.
OMSK selain merusak jaringan lunak pada telinga tengah dapat juga merusak tulang yang
disebabkan karena terbentuknya suatu jaringan patologis sehingga tidak pernah atau sedikit terjadi
resolusi atau penyembuhan. Secara klinis OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu : tipe tubotimpanal
(tipe mukosa atau tipe benigna) dan tipe atikoantral (tipe tulang atau tipe maligna). Sedangkan
berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dari telinga dikenal OMSK fase aktif dan OMSK fase tenang.
Pada OMSK aktif didapatkan sekret yang keluar dari kavum timpani aktif dan pada OMSK tenang
keadaan kavum timpani terlihat basah atau kering, tidak didapatkan adanya sekret yang keluar dari
kavum timpani (Helmi, 2005).
Epidemiologi

Epidemiologi penyakit OMSK bervariasi, prevalensi tertinggi didapatkan pada anak-anak


Eskimo Indian-Amerika dan pada suku Aborigin di Australia berkisar antara 7-40%. Negara industri
seperti Amerika Serikat dan Ingris prevalensinya kurang dari 1% (Chole dan Nisson, 2009).
Prevalensi OMSK di Asia Tengara adalah antara 1,4-7,8%. Seperti dikutip Helmi (2005) secara
umum prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8% dan pasien OMSK merupakan 25% dari pasien-
pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia (Aboet, 2007) sedangkan di Provinsi
Bali data prevalensi OMSK berkisar 3,9 % dari seluruh kabupaten (Prapyatiningsih, 2015).
Usia terbanyak penderita OMSK adalah pada rentang usia 7 hingga 18 tahun, di mana sekitar
20% penderita OMSK adalah anak-anak sekolah. Shrikrishna dkk., 2010 dalam penelitiannya
terhadap 60 pasien di India menyimpulkan bahwa sebanyak 26,7% pasien berusia 10-20 tahun dan
56,7% pasien berusia 21-30 tahun. Biswas dkk., 2011 menyebutkan prevalensi OMSK pada anak
adalah sekitar 2-17% dan anak-anak usia sekolah yang menderita OMSK, sebanyak 64% diantaranya
mengalami gangguan pendengaran.
Etiologi dan faktor resiko

Otitis media akut dengan perforasi membran timpani akan menjadi OMSK apabila prosesnya
sudah lebih dari 2 bulan. Infeksi pada telinga bagian tengah biasanya masuk melalui tuba Eustachius
karena adanya infeksi virus yang merusak siliar pada saluran napas atas (retrograde movement). Pada
OMSK keadaan ini agak berbeda dengan otitis media akut, karena didapatkan adanya perforasi
membran timpani sehingga infeksi lebih sering berasal dari luar masuk melalui perforasi membran
timpani (Ballenger, 2002). Tutwuri pada tahun 2003 melaporkan pada penelitiannya bakteri gram
positif penyebab OMSK adalah Staphylococcus aureus sebesar 39,4%; Bacillus sp 3,03% dan bakteri
gram negatif adalah Pseudomonas aeruginosa 13,64% dan Proteus sp 7,58%. Susmita, 2012
mendapatkan bakteri gram positif terbanyak penyebab OMSK adalah Staphylococcus aureus sebesar
31% dan bakteri gram negatif terbanyak adalah Pseudomonas aeruginosa 43,2%.
Beberapa faktor yang mengakibatkan otitis media akut menjadi OMSK adalah patensi tuba
Eustachius, infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien
dengan daya tahan tubuh yang rendah.
Klasifikasi

OMSK terbagi atas dua tipe: tipe tubotimpanal (mukosa atau benigna atau jinak) dan tipe
atikoantral (tulang atau maligna). Letak perforasi membran timpani penting dalam menentukan tipe
OMSK. Perforasi membran timpani dapat ditemukan pada daerah sentral, marginal atau atik. Pada
perforasi sentral, perforasi didapatkan pada pars tensa membran timpani dan seluruh tepi perforasi
masih didapatkan adanya sisa membran timpani. Pada perforasi marginal sebagian tepi perforasi
langsung berhubungan dengan anulus atau sulkus timpanikum. Perforasi atik merupakan perforasi
yang terletak di pars flaksida membran timpani.
Pada OMSK tipe benigna proses peradangan terjadi pada mukosa telinga tengah saja dan tidak
mengenai tulang. Perforasi membran timpani terletak di sentral.Dan pada OMSK tipe benigna tidak
dijumpai adanya kolesteatoma. OMSK tipe maligna merupakan OMSK yang disertai dengan
kolesteatoma. Perforasi membran timpani pada tipe maligna ini letaknya marginal atau di atik dan
didapatkan adanya kolesteatoma.

Penatalaksanaan

Diagnosis OMSK dapat ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan THT dengan menggunakan
otoskopi, audiometri dan pemeriksaan penunjang lainnya. Prinsip penatalaksanaan OMSK dibagi atas
penatalaksanaan medis dan bedah. Penyebab penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan
pada faktor-faktor penyebabnya dan pada stadium penyakitnya. Dengan demikian pada waktu
pengobatan haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan penyakit menjadi kronis, perubahan-
perubahan anatomi yang menghalangi penyembuhan serta menganggu fungsi, dan proses infeksi yang
terdapat di telinga.
Penatalaksanaan OMSK tipe benigna dibagi menjadi 2 yaitu: 1) OMSK dengan fase tenang
dimana pada keadaan ini tidak memerlukan pengobatan dan pasien diberikan nasehat untuk tidak
mengorek-ngorek telinga, air tidak boleh masuk ke dalam telinga sewaktu mandi ataupun aktivitas
yang berhubungan dengan air serta segera memeriksakan diri bila menderita infeksi saluran napas atas.
Bila fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi seperti miringoplasti dan
timpanoplasti untuk mencegah terjadinya infeksi berulang serta gangguan pendengaran; 2) OMSK
fase aktif, prinsip pengobatan pada tipe ini: a) Toilet telinga dengan tujuan membuat lingkungan yang
tidak sesuai untuk perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang baik
bagi perkembangan mikroorganisme (Nursiah, 2003; Helmi, 2005). Toilet telinga dengan irigasi
menggunakan larutan antiseptik, dapat digunakan asam asetat 1-2%, hidrogen peroksida 3%, povidon
iodine 5% atau garam fisiologis; b) Pemberian antibiotik. Antibiotik topikal dapat digunakan sebagai
lini pertama dan sebagai obat tunggal. Helmi, 2005 menyebutkan bahwa penggunaan antibiotik
topikal lebih efektif daripada antibiotik oral di mana pada penggunaan antibiotik topikal mampu
memberikan dosis adekuat. Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk sampai
telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin dan lamanya tidak
lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik dengan berdasarkan kultur kuman
penyebab dan uji resistensi. Pengobatan antibiotik topikal dapat digunakan secara luas untuk OMSK
aktif yang dikombinasi dengan pembersihan telinga, baik pada anak maupun dewasa. Pemakaian
jangka panjang lama obat tetes telinga yang mengandung aminoglikosida akan merusak foramen
rotundum, yang akan menyebabkan ototoksik.Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada OMSK
adalah : 1) Polimiksin B atau polimiksin E yaitu obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram
negative dan gram positif. Obat ini memiliki efek toksik terhadap ginjal dan susunan saraf; 2)
Neomisin yaitu obat bakterisid pada kuman gram positif dan negatif. Resisten pada semua
anaerob.Obat ini memiliki efek toksik terhadap ginjal dan telinga; 3) Chloramphenicol 1% yaitu obat
ini bersifat bakterisid terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.Hanya penggunaan obat ini
belakangan berkurang karena efek sampingnya yang dapat menyebabkan terjadinya anemia aplastik,
depresi sumsum tulang, glositis, enterokolitis.

OTITIS EKSTERNA

Otitis eksterna (OE) adalah peradangan, baik menular ataupun tidak, dari liang telinga luar. Dalam
beberapa kasus, peradangan dapat meluas ke telinga luar, seperti pinna atau tragus. OE dapat
diklasifikasikan sebagai akut (berlangsung kurang dari 6 minggu) atau kronis (berlangsung hingga
lebih dari 3 bulan). Dikenal juga sebagai ‘swimmer's ear’ karena sering terjadi selama musim panas
dan di iklim tropis. Penyebab paling umum dari otitis eksterna akut adalah infeksi bakteri. Kondisi ini
memiliki keterkaitan dengan alergi, eksim, dan psoriasis.

Otitis eksterna (OE) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

 OE akut
o OE akut difus
o OE akut sirkumskripta, yaitu infeksi folikel rambut yang menimbulkan furunkel di
liang telinga luar.
 OE kronik
 OE ekzematoid, yang merupakan manifestasi dari kelainan dermatologis, seperti dermatitis
atopik, psoriasis, atau SLE.
 OE nekrotikans

Otitis eksterna adalah kondisi umum dan dapat terjadi pada semua kelompok umur. Prevalensi rerata
kejadian otitis eksterna di dunia diperkirakan sekitar 10%.
Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus adalah patogen tersering yang terlibat dalam
otitis eksterna. Otitis eksterna juga dapat terjadi akibat infeksi polimikroba, dan jarang, dapat
disebabkan oleh infeksi jamur seperti Candida atau Aspergillus.

Faktor risiko otitis eksterna diantaranya yakni:

 Riwayat sering beraktifitas di air, seperti berenang, berselancar, mendayung.


 Riwayat trauma yang mendahului keluhan, misalnya: membersihkan liang telinga dengan alat
tertentu, memasukkan cotton bud, memasukkan air ke dalam telinga.
 Riwayat penyakit sistemik, seperti: diabetes mellitus, psoriasis, dermatitis atopik, SLE, HIV.
 Kelembaban
 Trauma atau perangkat eksternal (cotton bud, penyumbat telinga, alat bantu dengar)
 Kondisi dermatologis seperti eksim dan psoriasis
 Saluran telinga luar yang sempit
 Obstruksi saluran telinga (obstruksi serumen, benda asing)
 Radioterapi atau kemoterapi
 Stress

Saluran pendengaran eksternal ditutupi oleh folikel rambut dan kelenjar penghasil serumen. Serumen
memberikan perlindungan dan lingkungan asam yang menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur.
Respon inflamasi pada otitis eksterna diyakini disebabkan oleh gangguan pH normal dan faktor
pelindung di dalam saluran pendengaran. Ini termasuk proses berurutan dari kerusakan epitel,
hilangnya lapisan pelindung, dan akumulasi kelembaban yang mengarah ke pH yang lebih tinggi dan
pertumbuhan bakteri.

Keluhan pasien dapat berupa:

 Rasa sakit pada telinga (otalgia), yang bervariasi dari ringan hingga hebat, terutama saat daun
telinga disentuh dan mengunyah
 Rasa penuh pada telinga
 Pendengaran dapat berkurang
 Terdengar suara mendengung (tinnitus)
 Keluhan biasanya dialami pada satu telinga dan sangat jarang mengenai kedua telinga dalam
waktu bersamaan
 Keluhan penyerta lain yang dapat timbul: demam atau meriang, telinga terasa basah

Pada Pemeriksaan Fisik bisa didapatkan:

 Nyeri tekan pada tragus


 Nyeri tarik daun telinga
 Otoskopi:
o OE akut difus: liang telinga luar sempit, kulit liang telinga luar hiperemis dan edem
dengan batas yang tidak jelas, dan dapat ditemukan sekret minimal.
o OE akut sirkumskripta: furunkel pada liang telinga luar
 Tes garpu tala: Normal atau tuli konduktif

Presentasi klinisnya dapat bervariasi tergantung pada stadium atau tingkat keparahan penyakit.
Awalnya, penderita OE akan mengeluhkan pruritus dan nyeri telinga yang biasanya bertambah parah
dengan manipulasi tragus, pinna, atau keduanya. Nyeri telinga sering kali tidak proporsional dengan
temuan pemeriksaan fisik, dan ini disebabkan oleh iritasi periosteum yang sangat sensitif di bawah
dermis tipis saluran telinga bertulang. Bisa juga muncul dengan otorrhea, sensasi telinga penuh, dan
gangguan pendengaran.

Gejala sistemik seperti demam lebih dari 101 F (38,3 C) dan malaise menunjukkan perluasan di luar
saluran telinga luar.

Otitis eksterna dapat diklasifikasikan menurut tingkat keparahannya sebagai berikut:

 Ringan: pruritus, ketidaknyamanan ringan, dan edema saluran telinga


 Sedang: saluran telinga tersumbat sebagian
 Parah: Saluran telinga luar sepenuhnya tertutup dari edema. Biasanya ada nyeri hebat,
limfadenopati, dan demam.

Pengujian laboratorium rutin dan / atau kultur saluran telinga tidak diperlukan atau diindikasikan
untuk kasus yang tidak rumit. Namun, biakan direkomendasikan untuk kasus otitis eksterna yang
berulang atau resisten, terutama pada pasien dengan gangguan sistem imun.

Penatalaksanaan

A. Non-medikamentosa:
 Membersihkan liang telinga secara hati- hati dengan pengisap atau kapas yang dibasahi
dengan H2O2 3%.
 Bila terdapat abses, dilakukan insisi dan drainase.
B. Medikamentosa:
 Topikal
o Larutan antiseptik povidon iodine
 OE akut sirkumskripta pada stadium infiltrat:
o Salep ikhtiol, atau
o Salep antibiotik: Polymixin-B,
o Basitrasin.
 OE akut difus: Tampon yang telah diberi campuran Polimyxin-B, Neomycin, Hidrocortisone,
dan anestesi topikal.
 Sistemik
o Antibiotik sistemik diberikan bila infeksi cukup berat.
o Analgetik, seperti Paracetamol atau Ibuprofen dapat diberikan.

Konseling dan Edukasi

Pasien dan keluarga perlu diberi penjelasan, di antaranya:

 Tidak mengorek telinga baik dengan cotton bud atau alat lainnya
 Selama pengobatan pasien tidak boleh berenang
 Penyakit dapat berulang sehingga harus menjaga liang telinga agar dalam kondisi kering dan
tidak lembab

Sebagian besar pasien yang didiagnosis otitis eksterna akan menjalani manajemen rawat jalan.
Pengobatan utama otitis eksterna tanpa komplikasi biasanya melibatkan tetes antibiotik topikal dan
pengendalian rasa sakit. Nyeri bisa menjadi intens dan parah; oleh karena itu, harus dikelola dengan
tepat. Acetaminophen atau obat antiinflamasi nonsteroid telah terbukti cukup untuk nyeri ringan
sampai sedang. Selain itu, opioid (misalnya oxycodone atau hydrocodone) direkomendasikan untuk
nyeri hebat dan harus diresepkan dalam jumlah terbatas karena gejala OE tanpa komplikasi akan
membaik dalam waktu 48 jam setelah memulai terapi antibiotik topikal. Jika tidak ada perbaikan rasa
sakit dalam 48 sampai 72 jam, pemeriksaan ulang oleh dokter perawatan primer sangat dianjurkan.

Secara umum, tetes telinga antibiotik aman dan dapat ditoleransi dengan baik. Keamanan dan
kemanjurannya dibandingkan dengan plasebo telah dibuktikan dengan hasil yang sangat baik dalam
uji coba acak dan meta-analisis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tetes antibiotik topikal yang
mengandung steroid dapat mengurangi peradangan dan sekresi, dan mempercepat peredaan nyeri.
Terlepas dari antibiotik topikal yang digunakan, sekitar 65% hingga 90% kasus akan memiliki
resolusi klinis dalam 7 hingga 10 hari.

Antibiotik topikal umum yang diindikasikan untuk otitis eksterna meliputi:

 Polymyxin B, neomycin, dan hydrocortisone 3 sampai 4 tetes ke telinga yang terkena empat
kali sehari
 Ofloxacin 5 tetes ke telinga yang terkena dua kali sehari
 Ciprofloxacin dengan hidrokortison 3 tetes ke telinga yang terkena dua kali sehari

Pasien dengan edema saluran telinga yang ditandai memerlukan penempatan sumbu telinga
(hidroselulosa terkompresi atau kain kasa pita) untuk memfasilitasi pemberian obat dan mengurangi
edema saluran telinga. Sumbu dibasahi dengan tetes antibiotik dan dimasukkan ke dalam liang telinga.
Sumbu biasanya akan lepas secara spontan, dan jika perlu, harus dilepas oleh dokter dalam waktu
sekitar dua hingga tiga hari.

Sangat penting untuk mendidik pasien tentang bagaimana cara memberikan tetes telingadengan benar
dan pentingnya kepatuhan terhadap pengobatan. Pasien harus berbaring dengan sisi yang terkena
menghadap ke atas, mengoleskan dua hingga lima tetes tergantung pada obat yang diresepkan, dan
tetap dalam posisi itu selama sekitar 3 hingga 5 menit. Ini akan memaksimalkan efektivitas
pengobatan. Pasien juga harus disarankan untuk menghindari paparan air dan meminimalkan
manipulasi atau trauma pada telinga.

Meskipun biasanya tidak dilakukan di pusat perawatan primer, toilet aural atau pembersihan saluran
telinga luar direkomendasikan untuk pengobatan OE akut oleh American Academy of
Otorhinolaryngology. Lavase lembut atau penyedotan harus dilakukan hanya jika tidak ada bukti atau
kecurigaan perforasi membran timpani. Juga, harus dihindari pada pasien dengan riwayat diabetes
karena berpotensi menyebabkan otitis eksterna maligna.

Antibiotik oral belum terbukti bermanfaat, dan penggunaan yang tidak tepat akan meningkatkan
resistensi di antara patogen otitis eksterna yang umum. Indikasi antibiotik oral meliputi:

 Penderita diabetes dan morbiditas meningkat


 Penderita HIV / AIDS
 Diduga otitis eksterna maligna
 Otitis media akut yang terjadi bersamaan

Agen antijamur topikal tidak dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk OE. Mereka hanya
direkomendasikan jika etiologi jamur dicurigai melalui pemeriksaan otoscopic atau hasil kultur.

Pada populasi anak-anak, penting untuk mempertimbangkan otitis media dengan drainase telinga dari
membran timpani yang pecah sebagai bagian dari diagnosis banding. Karena sulit untuk membedakan
OE dari otitis media dengan perforasi, jika diferensiasi tidak jelas, maka sebaiknya terapi kedua
kondisi tersebut. Kondisi lain yang menyerupai OE meliputi:

 Otitis media akut


 Dermatitis kontak pada saluran telinga
 Psoriasis
 Furunculosis
 Herpes zoster oticus (sindrom Ramsey Hunt)
 Sindrom TMJ
 Benda asing
 Karsinoma saluran telinga
 Perikondritis yang berulang, Kondritis, Otomikosis

Komplikasi

Jika pengobatan tidak adekuat, dapat timbul abses, infeksi kronik liang telinga, jaringan parut, dan
stenosis liang telinga.

 Otitis eksterna maligna


 Selulitis periaurikuler
 Myringitis
 Perikondritis
 Selulitis wajah
 Osteomielitis pada tulang temporal

Kriteria Rujukan
1. Otitis eksterna dengan komplikasi
2. Otitis eksterna maligna

Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam

Pasien yang diobati dengan obat tetes antibiotik / steroid dapat mengharapkan gejala berlangsung
selama kurang lebih 6 hari setelah pengobatan dimulai. Dalam banyak kasus, OE akan sembuh secara
spontan dalam periode akut. Di sisi lain, episode akut bisa berulang; risiko kekambuhan tidak
diketahui. Ada potensi gangguan pendengaran dan stenosis kanal akibat peradangan kronis, yang
dapat terjadi dengan satu episode OE akut.

GANGGUAN PENGHIDU

Klasifikasi
Macam-macam kelainan penghidu :
1. hiposmia bila daya penghidu berkurang;
2. anosmia bila daya penghidu hilang;
3. parosmia bila sensasi penghidu berubah; dan
4. kakosmia bila ada halusinasi bau.

Etiologi

Hiposmia, dapat disebabkan oleh obstruksi hidung, seperti pada rhinitis alergi, rhinitis
vasomotor, rhinitis atofi, hipertrofi konka, deviasi septum, polip, tumor.Dapat juga terjadi pada
beberapa penyakit sistemis, misalnya diabetes, gagal ginjal, gagal hati serta pada pemakaian obat anti
histamine, dekongestan, antibiotika, antimetabolite, antiperadangan, dan antitiroid.
Anosmia, dapat timbul akibat trauma di daerah frontal atau oksipital.Selain itu anosmia dapat
juga terjadi setelah infeksi oleh virus, tumor seperti osteoma, atau meningioma, dan akibat degenerasi
pada orang tua.
Parosmia, terutama disebabkan oleh trauma. Kakosmia, dapat timbul pada epilepsy unsinatus,
lobus temporalis.Mungkin juga terdapat kelainan psikologik, seperti rendah diri, atau kelainan
psikiatrik depresi dan psikosis.
Gangguan pembauan dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang jalur
olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu berupa defek konduktif
atau sensorineural. Pada defek konduktif (transport) terjadi gangguan transmisi stimulus bau menuju
neuroepitel olfaktorius. Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan struktur saraf yang lebih
sentral. Secara keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama adalah penyakit pada rongga
hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas atas karena virus; dan trauma kepala.
Berikut adalah defek konduktif dari gangguan penciuman:
1) Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan. Kelainannya meliputi
rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut, atau toksik
(misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit mukosa yang
progresif dan seringkali diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski telah dilakukan
intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif.
2) Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi aliran odorant ke
epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting papilloma, dan
keganasan.
3) Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat menyebabkan
obstruksi.
4) Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hiposmia karena berkurang atau
tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakheotomi dan dipasang
kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang tetap menderita
gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi karena tidak adanya
stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.
Sedangkan untuk defek sentral/sensorineural adalah sebagi berikut:
1) Proses infeksi/inflamasi : menyebabkan defek sentral dan gangguan pada transmisi sinyal.
Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis (mempengaruhi
stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.
2) Penyebab congenital : menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman syndrome ditandai oleh
anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius dan hipogonadisme hipogonadotropik.
Salahsatu penelitian juga menemukan bahwa pada Kallman syndrome tidak terbentuk VNO.
3) Gangguan endokrin; (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi pembauan.
4) Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid; dapat menyebabkan regangan,
kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan anosmia.
5) Toksisitas dari obat-obatan sistemik atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyakobat-
obatan dan senyawa yang dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan
terlarut organik, dan pengolesan garam zink secara langsung.
6) Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan.
7) Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun. Berkurangnya
struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya sel-sel sensorik pada
mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan saraf pusat.
8) Proses degeneratif ; pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer disease, proses
penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer disease, hilangnya fungsi
pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses
penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan, dimana
penurunannya tampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh.
Diagnosis
a) Anamnesis
Tahapan pertama dalam mendiagnosis adalah melakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik secara menyeluruh.Pada anamnesis perlu ditanyakan lama keluhan, apakah dirasakan
terus-menerus atau hilang timbul dan apakah unilateral. Selain itu perlu diketahui apakah ada
riwayat trauma, masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang diminum.
b) Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan lengkap pada telinga, saluran napas
bagian atas, kepala, dan leher.Kelainan pada masing-masing daerah kepala dan leher dapat
menyebabkan disfungsi penciuman. Keberadaan otitis media serosa dapat menunjukkan
adanya massa nasofaring atau peradangan. Pemeriksaan hidung yang seksama untuk mencari
massa hidung, gumpalan darah, polip, dan peradangan membran hidung sangat penting. Bila
ada, rinoskopi anterior harus ditunjang dengan pemeriksaan endoskopik pada rongga hidung
dan nasofaring. Keberadaan telekantus pada pemeriksaan mata dapat mengarah ke massa atau
peradangan di sinus. Massa nasofaring yang menonjol ke rongga mulut atau drainase purulen
di orofaring dapat ditemukan pada pemeriksaan mulut. Leher harus dipalpasi untuk mencari
massa atau pembesaran tiroid. Pemeriksaan saraf yang menekankan pada nervus kranialis dan
fungsi sensorimotorik sangat penting.
c) Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan sensorik fungsi penciuman dibutuhkan untuk (1) memastikan keluhan
pasien, (2) mengevaluasi kemanjuran terapi, dan (3) menentukan derajat gangguan permanen.
1. Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif. Langkah pertama dalam pemeriksaan
sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif.
Beberapa metode sudah tersedia untuk pemeriksaan penciuman diantaranya :
a) Tes Odor stix – Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang
menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari
hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar.
b) Tes alkohol 12 inci – Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau, tes
alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan
dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien.
c) Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium) – Tersedia scratch and sniff card
yang mengandung 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar.
The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT) – Tes yang jauh
lebih baik dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat dianjurkan untuk
pemeriksaan pasien dengan gangguan penciuman. Tes ini menggunakan 40 item
pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch and sniff berkapsul mikro. Sebagai
contoh, salah satu itemnya berbunyi “Bau ini paling mirip seperti bau (a) coklat, (b)
pisang, (c) bawang putih, atau (d) jus buah,” dan pasien diharuskan menjawab salah
satu dari pilihan jawaban yang ada. Tes ini sangat reliabel (reliabilitas tes-retes
jangka pendek r = 0,95) dan sensitif terhadap perbedaan usia dan jenis kelamin. Tes
ini merupakan penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit
penciuman. Orang-orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan
mencapai skor pada kisaran 7-19 dari maksimal 40. Skor rata-rata untuk pasien-
pasien anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding yang diperkirakan menurut
peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-bauan yang beraksi melalui
rangsangan trigeminal.
2. Langkah kedua menentukan ambang deteksi. Setelah dokter menentukan derajat
sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua pada pemeriksaan sensorik
adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang ini ditetapkan
menggunakan rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing-masing lubang hidung
ditentukan dengan ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil karbinol. Tahanan hidung
juga dapat diukur dengan rinomanometri anterior untuk masing-masing sisi hidung.

Sebenarnya pemeriksaan olfaktorius dapat juga terbagi menjadi 2 macam yaitu


pemeriksaan olfaktorius subjektif dan objektif. Pada pemeriksaan olfaktorius subjektif,
pelbagai bahan diletakkkan di depan hidung penderita secara terpisah antara kedua lubang
hidung sebelum dan setelah dekongesti dari mukosa hidung. Beberapa jenis substansi
digunakan, yaitu yang mempunyai bau yang akan menstimulasi hanya nervus olfaktorius
(kopi, coklat, vanilla, lavender), substansi yang menstimulasi komponen trigeminal (menthol,
asam asetat), serta substansi yang turut mempunyai komponen pengecapan (kloroform
piridine).
Pemeriksaan olfaktorius subjektif juga bisa dilakukan menggunakan alat test yang
siap pakai, misalnya Sniffin’ Sticks. Sniffin’ Sticks menggunakan sejumlah stik n-butanol
yang berbentuk seperti pen dan mengandung bau dengan konsentrasi yang berbeda.Melalui
penggunaan alat ini, kemampuan mendeteksi bau, membedakan bau-bau yang berlainan serta
kemampuan mengidentifikasi bau dapat dinilai. Pasien yang dites akan ditutup matanya,
kemudian pemeriksa akan meminta pasien menghidu tiga stik, dimana antara ketiga-tiga stik
tersebut hanya satu stik yang mempunyai bau. Jika pasien tidak bisa mendeteksi sebarang bau
atau mengidentifikasi stik yang salah, maka digunakan stik dengan konsentrasi yang lebih
tinggi. Konsentrasi stik yang diberikan akan terus meningkat sehingga pasien dapat
mengidentifikasi dengan benar paling kurang dua kali. Setelah itu dinilai pada konsentrasi
yang mana pasien bisa mendeteksi bau tersebut dengan benar. Tes ini hanya memerlukan
waktu 10 menit dan mudah dilakukan.
Pemeriksaan olfaktorius objektif jauh lebih mahal dibanding pemeriksaan subjektif
dan biasanya dilakukan di pusat-pusat yang lebih besar.Bau murni serta stimulan nervus
trigeminus diberikan kepada pasien secara terpisah, kemudian respon yang terjadi diukur dan
dianalisis menggunakan komputer. Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan adalah tes
gula darah, tes reduksi urin dan lain- lain

d) Pencitraan
CT scan atau MRI kepala dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii
anterior, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya, sinusitis paranasalis,
dan neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis. Kelainan tulang paling bagus
dilihat melalui CT, sedangkan MRI bermanfaat untuk mengevaluasi bulbus olfaktorius,
ventrikel, dan jaringan-jaringan lunak lainnya di otak. CT koronal paling baik untuk
memeriksa anatomi dan penyakit pada lempeng kribiformis, fossa kranii anterior, dan
sinus.

Penatalaksanaan

A. Kurang Penciuman Hantaran


Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis alergi, rinitis dan
sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada rongga hidung dapat
dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan yang tinggi. Terapi berikut ini
seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau: (1) pengelolaan alergi; (2) terapi antibiotik;
(3) terapi glukokortikoid sistemik dan topikal; dan (4) operasi untuk polip nasal, deviasi septum nasal,
dan sinusitis hiperplastik kronik.
B. Kurang Penciuman Sensorineural
Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman sensorineural.
Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter menganjurkan terapi seng dan
vitamin. Defisiensi seng yang mencolok tak diragukan lagi dapat menyebabkan kehilangan dan
gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan masalah klinis kecuali di daerah-daerah geografik
yang sangat kekurangan. Terapi vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A. Degenerasi epitel
akibat defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi vitamin A bukanlah
masalah klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat. Pajanan pada rokok dan bahan-bahan
kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan
spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan; karenanya, konseling pasien sangat
membantu pada kasus-kasus ini.
C. Kurang Penciuman Akibat Penuaan (Presbiosmia)
Seperti dijelaskan sebelumnya, lebih dari separuh orang yang berusia di atas 60 tahun
menderita disfungsi penciuman. Belum ada terapi yang efektif untuk presbiosmia namun sangat
penting untuk membicarakan masalah ini dengan pasien-pasien usia lanjut; dapat menenangkan bagi
pasien ketika seorang dokter mengenali dan membicarakan bahwa gangguan penciuman memang
umum terjadi. Selain itu, manfaat langsung dapat diperoleh dengan mengidentifikasi masalah tersebut
sejak dini; insidensi kecelakaan akibat gas alam sangat tinggi pada usia lanjut, kemungkinan sebagian
karena penurunan kemampuan membau secara bertahap. Merkaptan, bau busuk pada gas alam, adalah
perangsang olfaktorius, bukan trigeminal. Banyak pasien yang lebih tua dengan disfungsi penciuman
mengalami penurunan sensasi rasa dan lebih suka memakan makanan-makanan yang lebih kaya rasa.
Metode yang paling umum adalah meningkatkan jumlah garam dalam diitnya. Konseling dengan
seksama dapat membantu pasien-pasien ini mengembangkan strategi-strategi yang sehat untuk
mengatasi gangguan kemampuan membaunya.
Prognosis

Hasil akhir disfungsi penciuman sebagian besar bergantung pada etiologinya. Disfungsi
penciuman akibat sumbatan yang disebabkan oleh polip, neoplasma, pembengkakan mukosa, atau
deviasi septum dapat disembuhkan. Bila sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan penciuman
semestinya kembali. Sebagian besar pasien yang kehilangan indra penciumannya selama menderita
infeksi saluran napas bagian atas sembuh sempurna kemampuan penciumannya; namun, sebagian
kecil pasien tak pernah sembuh setelah gejala-gejala ISPA lainnya membaik. Karena alasan-alasan
yang belum jelas, pasien-pasien ini sebagian besar adalah wanita pada dekade keempat, kelima, dan
keenam kehidupannya. Prognosis penyembuhannya biasanya buruk. Kemampuan dan ambang
pengenalan bau secara progresif turun seiring bertambahnya usia. Trauma kepala di daerah frontal
paling sering menyebabkan kurang penciuman, meskipun anosmia total lima kali lebih sering terjadi
pada benturan terhadap oksipital. Penyembuhan fungsi penciuman setelah cedera kepala traumatik
hanyalah 10% dan kualitas kemampuan penciuman setelah perbaikan biasanya buruk. Pajanan
terhadap racun-racun seperti rokok dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan
dapat terjadi dengan penghilangan bahan penyebabnya.

GANGGUAN PENGHIDU KARNA COVID 19


Wabah penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 dimulai
di Wuhan, Cina, pada akhir 2019. Pasien mengalami sindroma gangguan pernapasan akut, dan rasio
kematian sekitar 1% -2%. Karakteristik klinis COVID-19 termasuk gejala pernapasan, demam, batuk,
dispnea, dan pneumonia.
Perhimpunan Telinga, Hidung, dan Tenggorokan Inggris dan Lembaga Rhinologi Inggris
mengusulkan bahwa anosmia, Hiposmia dan dysgeusia (tanpa adanya penyakit pernapasan lainnya)
harus ditambahkan sebagai gejala yang digunakan untuk skrining infeksi SARS-CoV-2, dan
mendesak melakukan isolasi sebagai pencegahan untuk individu dengan gejala ini.2
Gangguan penciuman mungkin timbul dikarenakan perubahan konduksi bau yang
disebabkan peradangan yang diinduksi SARS-CoV-2, diduga SARS-CoV-2 menginfeksi dan
merusak sel-sel dalam epitel hidung yang diperlukan untuk fungsi penciuman normal. SARS-CoV-2
menginfeksi sel melalui interaksi antara protein S dan protein ACE2 pada sel target.
Baru-baru ini telah dibuktikan bahwa sel-sel dari saluran napas bagian atas manusia -
termasuk sel goblet, sel basal dan sel bersilia diduga dapat berfungsi sebagai virus reservoir selama
infeksi SARS-CoV-2. Infeksi tipe sel non-saraf ini mungkin bertanggung jawab untuk anosmia dan
gangguan terkait persepsi bau pada pasien COVID-19.2
Banyak mekanisme yang memungkinkan virus dapat mengubah fungsi penciuman, termasuk
defisit terkait peradangan dalam konduksi bau dan kerusakan primer pada epitel penciuman, defisit
yang diinduksi oleh virus dalam fungsi penciuman juga dapat disebabkan oleh disfungsi sentral dalam
struktur penciuman. Banyak virus, termasuk coronavirus, telah terbukti menyebar dari epitel hidung
melewati cribriform plate untuk menginfeksi penciuman dan seperti piriform cortex; bentuk infeksi
sentral ini telah dicurigai sebagai penyebab defisit penciuman, bahkan tanpa adanya kerusakan
olfactory ephitelium (OE).
Secaa opastinya Mekanisme patofisiologis yang mengarah ke disfungsi penciuman pada
infeksi COVID-19 masih belum diketahui.

PARASE NERVUS FACIALIS


Definisi
Kelumpuhan otot-otot wajah dimana pasien tidak atau kurang dapat menggerakkan otot wajah,
sehingga wajah pasien tidak simetris.
Nervus fasialis merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan di dalam tulang, sehingga sebagian
besar kelainan N.Fasialis terletak di dalam tulang temporal
N.Fasialis terdiri atas 3 komponen, yaitu :
1. Motoris
2. Sensoris
3. Parasimpatis

Etiologi
• kongenital
• infeksi
• tumor
• trauma
• gangguan pembuluh darah
• idiopatik ( Bells’s palsy )
Klasifikasi Paresis N.Fasialis
1. Grade I : normal
2. Grade II : disfungsi ringan
3. Grade III : disfungsi sedang
4. Grade IV : disfungsi sedang-berat
5. Grade V : disfungsi berat
6. Grade VI : total parese
Pemeriksaan Diiagnostik
1. Pemeriksaan Saraf Motorik
pemeriksaan terhadap 10 otot utama wajah
2. Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan terhadap kesempurnaan
ekspresi muka
3. Gustometri
Pemeriksaan fungsi pengecapan pada 2/3 anterior lidah
4. Sinkinesis
sinkinesis menentukan komplikasi dari parese nervus fasialis yang sering dijumpai
5. Hemispasme
komplikasi pada penyembuhan parese nervus fasialis
6. Cchirmer test atau naso-lacrymal reflex
pemeriksaan fungsi serabut-serabut sensoris pada nervus fasialis
7. Refleks stapedius
pemeriksaan dengan menggunakan alat elektroakustik impedans meter
Penatalaksanaan
• Pengobatan terhadap kasus parese N.VII dikelompokkan dalam 2 bagian

– pada kasus dengan gangg. hantaran ringan dan fungsi motor masih baik pengobatan
ditujukan untuk menghilangkan edema saraf dengan memakai obat-obat : anti edem,
vasodilatansia, dan neurotro-nika

– pada kasus dengan gangg. hantaran berat atau sudah terjadi denervasi total tindakan
operatif segera harus dilakukan dengan telnik dekompresi N.VII transmastoid.

GANGGUAN KESEIMBANGAN

Definisi

Keseimbangan adalah hal yang penting karena memungkinkan kita untuk berjalan dan berdiri
tanpa terjatuh atau mengalami cedera. Keseimbangan bertanggung jawab untuk memastikan kita
dapat melakukan berbagai kegiatan seperti olahraga dan bahkan tugas sehari-hari dengan aman

Berbagai gangguan perkembangan gerak disebabkan karena keseimbangan yang tidak baik, yang
mana mengakibatkan kesulitan dari banyak perkembangan aktivitas fungsional sehari-hari. Gangguan
keseimbangan dapat disebabkan oleh cedera atau penyakit dari tiga tingkat proses informasi yakni
sensory input, sensorimotor integration, motor output generation.

• Gangguan pada sensory input


Defisit propioseptif terlibat sebagai penyebab penurunan keseimbangan menyusul cedera atau
penyakit pada ekstremitas dan trunk. Defisit pada somatosensoris, visual atau vestibular
mengakibatkan penurunan pada keseimbangan dan mobilitas. Gangguan penglihatan yang disebabkan
oleh penyakit, trauma atau penuaan dapat menurunkan keseimbangan dan beresiko untuk jatuh.
Individu dengan kerusakan sistem vestibular yang disebabkan oleh cedera otak, infeksi virus atau
penuaan mungkin mengalami vertigo dan instabilitas postur

• Gangguan pada integrasi sensori motor

Kerusakan basal ganglia, cerebelum atau area motor suplement mengganggu proses datangnya
informasi sensoris, mengakibatkan kesulitan mengadaptasikan informasi sensoris dalam menanggapi
perubahan lingkungan dan terganggunya antisipasi dan reaksi penyesuaian postural

• Gangguan pada biomekanik dan motor output

Defisit dalam komponen motor kontrol keseimbangan dapat disebabkan oleh gangguan sistem
muskuloskeletal dan neuromuskuler. Malalignment postur mengakibatkan COM (Center of Mass)
bergeser dari pusat BOS (Base of Support) meningkatkan perubahan pada batas stabilitasnya. Karena
kaki beroperasi sebagai rantai tertutup, gangguan LGS (Lingkup Gerak Sendi) atau kekuatan otot di
salah satu sendi dapat mengubah postur dan keseimbangan gerakan di seluruh tungkai. Nyeri dapat
mengubah batas normal stabilitas seseorang dan jika berlangsung terus-menerus mengakibatkan
gangguan mobilitas

• Proses penuaan

Hal ini disebabkan oleh adanya kemunduran pada semua sistem sensori (somatosensoris, vision,
vestibular) dan ketiga tahap proses informasi (prosessensori, integrasi sensori motor dan motor
output).

Masalah keseimbangan dapat disebabkan oleh masalah telinga dan saraf yang ditandai dengan
perasaan pusing, berputar, dan terkadang pingsan tiba-tiba. Terdapat banyak gangguan keseimbangan
tergantung pada gejalanya. Gangguan yang paling umum terjadi adalah:

1. Vertigo posisional paroksimal benigna (BPPV)

2. Penyakit Ménière

3. Labirinitis dan vestibular neuorinitis

Vertigo posisional paroksimal benigna (BPPV)

Juga disebut sebagai vertigo posisional, kondisi ini melibatkan sensasi kepala berputar atau
pusing yang berlangsung selama beberapa detik. Kondisi ini umumnya terjadi ketika seseorang
mencoba untuk mengubah posisi tubuhnya, terutama bagian kepala.
Penyakit Ménière

Penyakit ini adalah gangguan keseimbanagn yang menyerang telinga bagian dalam atau
sistem vestibular. Kondisi ini tidak hanya dialami penderita vertigo, namun juga penderita gangguan
pendengaran sementara atau tinnitus (telinga berdenging).

Labirinitis dan vestibular neuorinitis

Kondisi ini adalah kondisi peradangan yang menyerang bagian sistem vestibular. Masalah
keseimbangan sering dikaitkan dengan masalah telinga bagian dalam, yang juga dikenal sebagai
sistem vestibular. Sistem ini terdiri dari banyak bagian yang berbeda seperti labirin. Di dalam labirin
terdapat kanalis semisirkularis, yang mengandung saluran berisi cairan. Saluran ini bekerja sama
dengan otak untuk membentuk keseimbangan dengan mengirimkan sinyal ketika seseorang mengubah
posisi tubuh atau kepalanya.

Namun terdapat juga masalah lain yang dapat menyerang sistem vestibular, termasuk infeksi
bakteri atau virus, yang merupakan alasan mengapa terkadang gangguan keseimbangan muncul
bersamaan dengan penyakit seperti flu. Patogen ini juga dapat menyebabkan peradangan pada telinga
bagian dalam. Luka pada telinga bagian dalam, terutama trauma akut, tidak hanya dapat merusak
koklea namun juga labirin.

Anda mungkin juga menyukai