Anda di halaman 1dari 11

Makalah 

filsafat ilmu
etika keilmuan
disusun

O
L
E
H

Ibrahm Ihksan Lubis


Nim: 21144049
Al-Ahwal Al-Syakhshiyah - D
Semester II

Fakultas Syari’ah dan Hukum


Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Medan

T.A 2014/2015

Kata Pengantar
            Alhamdulillah... atas rahmat Allah, dengan segala limpahan karunia-Nya, Makalah ini
dapat disusun dengan sedemikian rupa. Makalah ini berjudul “MAKALAH ETIKA
KEILMUAN. Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi standar proses
perkulliahan di Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Sumatera
Utara Medan.
  

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
            Filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang hendak merefleksikan konsep-konsep yang
diandaikan begitu saja oleh para ilmuwan, seperti konsep metode, obyektivitas, penarikan
kesimpulan, dan konsep standar kebenaran suatu pernyataan ilmiah. Hal ini penting, supaya
ilmuwan dapat semakin kritis terhadap pola kegiatan ilmiahnya sendiri, dan
mengembangkannya sesuai kebutuhan masyarakat.
            Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi
seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan
buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha
mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing
golongan dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan.
            Secara metodologi, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika.
Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena
itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku
manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku
manusia, etika memiliki sudut pandang normatif, yaitu melihat perbuatan manusia dari sudut
baik dan buruk .

B.   Rumusan Masalah
            Pengertian Etika Keilmuwan
            Problem Etika Keilmuwan
            Ilmu Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai
            Sikap Ilmiah Yang Harus Dimiliki Ilmuwan

Daftar isi
Kata Pengantar---i

BAB I
Pendahuluan---ii
Daftar isi---iii

BAB II PEMBAHASAN---1
Pengertian Etika Keilmuan---1
Problem Etika Keilmuan---2
Ilmu Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai---6
Sikap Ilmiah Yang Harus Dimiliki Ilmuwan---7
Kesimpulan---9
Daftar Pustaka---12

BAB II
PEMBAHASAN
 A. Pengertian Etika Keilmuan
            Dari segi etimologi, etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti watak
kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia etika berarti ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Sedangkan etika menurut filsafat dapat
disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan
memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.
Pada dasarnya,etika membahasa tentang tingkah laku manusia.
            Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi
seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan
buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha
mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing
golongan dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan.
            Secara metodologi, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika.
Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena
itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku
manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku
manusia, etika memiliki sudut pandang normatif, yaitu melihat perbuatan manusia dari sudut
baik dan buruk .
            Etika berasal dari dari kata Yunani ‘Ethos’ (jamak – ta etha), berarti adat istiadat.
Etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada
suatu masyarakat. Etika berkaitan dengan nilai-nilai, tatacara hidup yg baik, aturan hidup yg
baik dan segala kebiasaan yg dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau
dari satu generasi ke generasi yg lain.
Hubungan Etika , Filsafat, dan Ilmu pengetahuan
            Filsafat sendiri merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Jadi bisa didefinisikan
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berfungsi sebagai interpretasi tentang hidup
manusia, yang tugasnya meneliti dan menentukan semua fakta konkret sampai pada yang
paling mendasar. Etika merupakan bagian dari filsafat, yaitu filsafat moral.
            Dalam konteks etika sebagai filsafat dan ilmu pengetahuan ini, perlu dilakukan
pemisahan antara etika dan moral. Yaitu bahwa etika adalah ilmu pengetahuan, sedangkan
moral adalah obyek ilmu pengetahuan tersebut.
·  Etika secara umum dapat dibagi menjadi:
a) Etika Umum, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak
secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-
prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur
dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan
ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
b) Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang
kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana saya mengambil
keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan,
yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat
juga berwujud : Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang
kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan
manusia bertindak etis. Cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau
tidanakn, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.
·  Etika Khusus dibagi lagi menjadi dua bagian:
1) Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya
sendiri.
2) Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia
sebagai anggota umat manusia.

 B. Problem Etika Keilmuwan


              Peranan moral akan sangat kentara ketika perkembangan ilmu terjadi pada saat
tahap peralihan dari kontemplasi ke tahap manipulasi. Pada tahap kontemplasi, masalah
moral berkaitan dengan metafisik keilmuan, sedangkan pada tahap manipulasi masalah
moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah itu sendiri. Dengan kata lain
ketika ilmu dihadapkan pada kenyataan, maka yang dibicarakan adakah tentang aksiologi
keilmuan.
            Sebelum menentukan sejauh mana peran moral dalam penggunaan ilmu atau
teknologi, ada dua kelompok yang memandang hubungan antara ilmu dan moral. Kelompok
pertama, memandang bahwa ilmu itu harus bersifat netral, bebas dari nilai-nilai ontologi dan
aksiologi. Dalam hal ini, fungsi ilmuwan adalah menemukan pengetahuan selanjutnya
terserah kepada orang lain untuk mempergunakan untuk tujuan baik atau buruk. Kelompok
pertama ini ingin melanjutkan tradisi kenetralannya secara total seperti pada waktu Galileo.
Kelompok kedua, berpendapat bahwa kenetralan terhadap nilai hanyalah terbatas pada
metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian,
kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Hal ini ditegaskan oleh Charles
Darwin bahwa kesadaran kita akan moral dalam penggunakan ilmu kita sejogyanya
menggunakan pikiran kita .
            Analisa perkembangan selanjutnya dengan apa yang sudah terjadi, kelompok yang
mengedepankan nilai moral mengkhawatrirkan terjadinya de-humanisasi, di mana martabat
manusia menjadi lebih rendah, manusia akan dijadikan obyek aplikasi teknologi kelimuan.
Hal ini berkaitan peristiwa yang terjadi selama ini, yaitu : (1) Secara faktual telah
dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya Perang Dunia
II. (2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan sangat esoterik (hanya diketahui oleh
orang-orang tertentu saja) sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui ekses-ekses yang
mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan. (3) Ilmu telah berkembang sedemikian rupa
dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaannya
yang paling hakiki seperti pada revolusi genetika dan teknik perubahan sosial.
            Persoalan baru yang muncul saat menerapkan nilai moral ialah konflik yang
menimbulkan dilema nurani mana yang baik, benar, yang mana yang tidak dan mana yang
selayaknya. Disinilah, etika memainkan peranannya, etika berkaitan dengan “apa yang
seharusnya” atau terkait dengan apa yang baik dan tidak baik untuk kita lakukan serta apa
yang salah dan apa yang benar. Menurut J.Osdar, oleh filsuf Yunani kuno, Aristoteles, kata
etika dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Kata moral punya arti sama dengan
kosakata etika. Kata moral berasal dari bahasa Latin, yakni mos (jamaknya mores). Artinya
kebiasaan, adat. Disini kata moral dan etika punya arti sama.
            Dari pemahaman tersebut, maka etika menjadi acuan atau panduan bagi ilmu dalam
realisasi pengembangannya. Untuk mengatasi konflik batin dikemukakan teori-teori etika
yang bermaksud untuk menyediakan konsistensi dan koheren dalam mengambil keputusan–
keputusan moral. Teori–teori etika tersebut adalah :
1. Konsekuensialisme. Teori ini menjawab “apa yang harus kita lakukan”, dengan
memandang konsekuensi dari bebagai jawaban. Ini berarti bahwa yang harus dianggap etis
adalah konsekuensi yang membawa paling banyak hal yang menguntungkan, melebihi
segala hal merugikan, atau yang mengakibatkan kebaikan terbesar bagi jumlah orang
terbesar. Manfaat paling besar daru teori ini adalah bahwa teori ini sangat memperhatikan
dampak aktual sebuah keputusan tertentu dan memperhatikan bagaimana orang
terpengaruh. Kelemahan dari teori ini bahwa lingkungan tidak menyediakan standar untuk
mengukur hasilnya.
2. Deontologi, berasal dari kata Yunani deon yang berarti “kewajiban”. Teori ini
menganut bahwa kewajiban dalam menentukan apakah tindakannya bersifat etis atau tidak,
dijawab dengan kewajiban-kewajiban moral. Suatu perbuatan bersifat etis, bila memenuhi
kewajiban atau berpegang pada tanggungjawab, Jadi yang paling penting adalah kewajiban-
kewajiban atau aturan-aturan, karena hanya dengan memperhatikan segi-segi moralitas ini
dipastikan tidak akan menyalahkan moral. Manfaat paling besar yang dibawakan oleh etika
deontologis adalah kejelasan dan kepastian. Problem terbesar adalah bahwa deontologi
tidak peka terhadap konsekuensi-konsekuensi perbuatan. Dengan hanya berfokus pada
kewajiban, barangkali orang tidak melihat beberapa aspek penting sebuah problem.
3. Etika Hak. Teori ini memandang dengan menentukan hak dan tuntutan moral yang
ada didalamnya, selanjutnya dilema-dilema ini dipecahkan dengan hirarkhi hak. Yang
penting dalam hal ini adalah tuntutan moral seseorang yaitu haknya ditanggapi dengan
sungguh-sungguh. Teori hak ini pantas dihargai terutama karena terkanannya pada nilai
moral seorang manusia dan tuntutan moralnya dalam suatu situasi konflik etis. Selain itu
teori ini juga menjelaskan bagiaman konflik hak antar individu. Teori ini menempatkan hak
individu dalam pusat perhatian yang menerangkan bagaimana memecahklan konflik hak
yang bisa timbul.
4. Intuisionisme, teori ini berusaha memecahkan dilema-dilema etis dengan berpijak
pada intuisi, yaitu kemungkinan yang dimiliki seseorang untuk mengetahui secara langsung
apakah sesuatu baik atau buruk. Dengan demikian seorang intuisionis mengetahui apa yang
baik dan apa yang buruk berdasarkan perasaan moralnya, bukan berdasarkan situasi,
kewajiban atau hak. Dengan intuisi kita dapat meramalkan kemungkinan-kemunginan yang
terjadi tetapi kita tidak dapat mempertanggungjawabkan keputusan tersebut karena kita
tidak dapat menjelaskan proses pengambilan keputusan.
Etika menjadi acuan bagi pengembangan ilmu pengetahuan karena penghormatan atas
manusia. Sebagaimana dikemukakan, fisuf Jerman, Imanuel Kant, penghormatan kepada
martabat manusia adalah suatu keharusan karena manusia adalah satu-satunya makhluk
yang merupakan tujuan pada dirinya, tidak boleh ditaklukkan untuk tujuan lain.

Problematika Etika dan Tanggungjawab Ilmu Pengetahuan


            Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai yang
letaknya diluar  ilmu pengetahuan, dapat diungkapkan juga dengan rumusan singkat bahwa
ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas. Namun demikian jelaslah kiranya bahwa
kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan ketidakterikatan
mutlak. Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai yang
letaknya di luar ilmu pengetahuan , dapat diungkapkan juga dengan rumusan singkat bahwa
ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas . Patutlah kita menyelidiki lebih lajut bagaimana
kebebasan ini.
            Bila kata “kebebasan” dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal: kemungkinan
untuk memilih dan kemampuan atau hak subjek bersangkutan untuk memilih sendiri.
Supaya terdapat kebebasan, harus ada penentuan sendiri dan bukan penentuan dari luar.
Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom, tetapi
tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan.
            Tanggungjawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun
penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan
kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab
pada kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat universal .
Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh
eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
            Tanggungjawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan
“menghancurkan” otonomi ilmu pengetahuan, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik bagi
pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang sekaligus akan memperkokoh eksistensi
manusia.
            Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak dapat dan tidak perlu di cegah
perkembangannya, karena sudah jamaknya manusia ingin lebih baik, lebih nyaman, lebih
lama dalam menikmati hidupnya. Apalagi kalau melihat kenyataan bahwa manusia sekarang
            hidup dalam kondisi sosio-tekhnik yang semakin kompleks. Khususnya ilmu
pengetahuan – berbentuk tekhnologi – pada masa sekarang tidak lagi sekedar memenuhi
kebutuhan manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi keinginan manusia. Sehingga
seolah-olah sekarang ini tekhnologilah yang menguasai manusia bukan sebaliknya
            Kita yakin adanya kenyataan bahwa antara ilmu pengetahuan theoria dengan
penerapan praksisnya sukar sekali dipisahkan. Tetapi jelas karena sudah menyangkut relasi
antar manusia yang bersifat nyata, dan bukan sekedar perbincangan teoritik “awang-awang”
harus dikendalikan secara moral. Sebab ilmu pengetahuan dan penerapannya yang – yang
berupa tekhnologi – apabila tidak tepat dalam mewujudkan nilai intrinsiknya sebagai
pembebas beban kerja manusia akan dapat menimbulkan ketidakadilan karena ada yang
diuntungkan dan ada yang dirugikan, pengurangan kualitas manusia karena martabat
manusia justru direndahkan dengan menjadi budak teknologi, kerisauan social yang
mungkin sekali dapat memicu terjadinya penyakit sosial seperti meningkatnya tingkat
kriminalitas, penggunaan obat bius yang tak terkendali, pelacuran dan sebagainya. Terjadi
pula fenomena depersonalisasi, dehumanisasi, karena manusia kehilangan peran dan
fungsinya sebagai makhluk spiritual. Bahkan dapat memicu konflik-konflik sosial- politik,
karena menguasai ilmu pengetahuan (tekhnologi) dapat memperkuat posisi politik atau
sebaliknya orang yang berebut posisi politik agar dapat menguasai aset ilmu dan tekhnologi.
Semuanya mengisyaratkan pentingnya etika yang mengatur keseimbangan antar ilmu
pengetahuan dengan manusia, antara manusia dengan lingkungan, antara industriawan
selaku produsen dengan konsumen. Dalam bahasa Jacob lebih lanjut dikatakan bahwa ilu
pengetahuan jangan sampai merugikan manusia dan lingkungan serta tidak boleh
menimbulkan konflik internal maupun politik.
            Tanggungjawab ilmu pengetahuan menyangkut juga tanggungjawab terhadap hal-
hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dimasa lalu, sekarang, maupun apa
akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan-keputusan bebas manusia dalam
kegiatannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan terbukti ada yang dapat
mengubah sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut
tanggungjawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkan dalam perubahan tersebut
akan merupakan perubahan yang baik, yang seharusnya ; baik bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi itu sendiri maupun bagi perkembangan eksisitensi manusia
secara utuh. Dalam bahasa Melsen : Tanggungjawab dalam
ilmu pengetahuan menyangkut problem etis karena menyangkut ketegangan-ketegangan
antara realitas yang ada dan realitas yang seharusnya ada.
            Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal yaitu membuat
manusia rendah hati karena memberikan kejelasan tentang jagad raya, kedua
mengingatkan bahwa kita masih bodoh dan masih banyak yang harus diketahui dan
dipelajari. Ilmu pengetahuan tidak mengenal batas, asalkan manusia sendiri yang menyadari
keterbatasannya. Ilmu pengetahuan tidak dapat menyelesaikan masalah manusia secara
mutlak, namun ilmu pengetahuan sangat berguna bagi manusia.
            Keterbatasan ilmu pengetahuan mengingatkan kepada manusia untuk tidak hanya
mengekor secara membabi buta kearah yang tak dapat dipanduinya, sebab ilmu
pengetahuan saja tidak cukup dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit
ini. Keterbatasan ilmu pengetahuan membuat manusia harus berhenti sejenak untuk
merenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.
            Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan demikian, memerlukan visi moral yang tepat.
Manusia dengan ilmu pengetahuan akan mampu untuk berbuat apa saja yang
diinginkannya, namun pertimbangan tidak hanya sampai pada “apa yang dapat diperbuat”
olehnya tetapi perlu pertimbangan “apakah memang harus diperbuat dan apa yang
seharusnya diperbuat” dalam rangka kedewasaan manusia yang utuh. Pada dasarnya
mengupayakan rumusan konsep etika dalam ilmu pengetahuan harus sampai kepada
rumusan normatif yang berupa pedoman pengarah konkret, bagaimana keputusan tindakan
manusia dibidang ilmu pengetahuan harus dilakukan. Moralitas sering dipandang banyak
orang sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan kesulitan apabila harus diterapkan
begitu saja terhadap masalah manusia konkret. Realitas permasalahan manusia yang
bersifat konkret-empirik seolah-olah mempunyai “kekuasaan” untuk memaksa rumusan
moral sebagai konsep abstrak menjabarkan kriteria-kriteria baik buruknya sehingga menjadi
konsep normatif, secara nyata sesuai dengan daerah yang ditanganinya.
            Dewasa ini pengetahuan dan perbuatan, ilmu dan etika saling bertautan. Tidak ada
pengetahuan yang pada akhirnya tidak terbentur pertanyaan, “apakah sesuatu itu baik atau
jahat”. “Apa” yang dikejar oleh pengetahuan, menjelma menjadi “Bagaimana” dari etika.
Etika dalam hal ini dapat diterangkan sebagai suatu penilaian yang memperbincangkan
bagaimana tekhnik yang mengelola kelakuan manusia. Dengan demikian lapangan yang
dinilai oleh etika jauh lebih luas daripada sejumlah kaidah dari perorangan, mengenai yang
halal dan yang haram. Tetapi berkembag menjadi sesuatu etika makro yang mampu
merencanakan masyarakat sedemikian rupa sehingga manusia dapat belajar
mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang dibangkitkannya sendiri.
            Terkait dengan keterbukaan yang disebutkan diatas, maka etika hanya menyebut
peraturan-peraturan yang tidak pernah berubah, melainkan secara kritis mengajukan
pertanyaan, bagaimana manusia bertanggungjawab terhadap hasil-hasil tekhnologi
moderen dan rekayasanya. Etika semacam itu tentu saja harus membuktikan
kemampuannya menyelesaikan masalah manusia konkret. Tidak lagi sekedar memberikan
isyarat dan pedoman umum, melainkan langsung melibatkan diri dalam peristiwa aktual dan
factual manusia, sehingga terjadi hubungan timbale balik dengan apa yang sebenarnya
terjadi. Etika seperti itu berdasarkan “interaksi” antara keadaan etika sendiri dengan
masalah-masalah yang mem-“bumi”.

 C. Ilmu Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai


            Bebas nilai merupakan tuntutan agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi
ilmu pengetahuan dan karena itu ilmu pengetahuan tidak boleh dikembangkan dengan
didasarkan pada pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan. Namun tuntutan bebas nilai ini
tidak mutlak karena tuntutan ini hanya berlaku bagi nilai lain di luar nilai yang menjadi
taruhan utama dan perjuangan ilmu pengetahuan bahwa ilmu pengetahuan harus tetap
peduli akan nilai kebenaran dan kejujuran.
pada pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan.

Teori Tentang Nilai


            Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik
baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai
netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan
pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value baound. Sekarang mana yang
lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada
keterikatan nilai?
            Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu
pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan
penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan maupun penggunaan
produk penelitian.
            Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan
akan terjadi sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh
nilai. Kendati demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai
ternyata melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan
pengetahuan sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian penemuannya
tersebut justru menambah masalah bagi manusia. Meminjam istilah carl Gustav Jung “bukan
lagi Goethe yang melahirkan Faust melainkan Faust-lah yang melahirkan Goethe”.

ILMU, Antara Bebas atau Terikat Nilai


            Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tidak selalu melalui logika
penemuan yang didasarkan pada metodologi objektivisme yang ketat. Ide baru bisa saja
muncul berupa kilatan intuisi atau refleksi religius, di mana netralitas ilmu pengetahuan
kemudian rentan permasalahan di luar objeknya. Yaitu terikat dengan nilai subjektifitasnya
seperti hal yang berbau mitologi. Dengan demikian netralitas ilmu semakin dipertanyakan.
            Setiap buah pikiran manusia harus kembali pada aspek ontologi, epistimologi, dan
aksiologi. Hal ini sangat penting bahwa setelah tahap ontologi dan epistimologi suatu ilmu
dituntut pertanyaan yaitu tentang nilai kegunaan ilmu (aksiologi). Dari sudut epistemologi,
sains (ilmu pengetahuan) terbagi dua, yaitu sains formal dan sains empirikal. Sains formal
berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol, merupakan
implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sains formal netral karena berada di
dalam pikiran kita dan diatur oleh hukum-hukum logika. Adapun sains empirical tidak netral.
Sains empirikal merupakan wujud kongkret jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab
akibat. Sains empirikal tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma
yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan terhadap jagad
raya. Pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Tetapi sebaliknya pada dasar ontologi dan
aksiologi bahwa ilmuwan harus menilai antara yang baik dan buruk pada suatu objek, yang
hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap.
            Objek ilmu memiliki nilai intrinsik sementara di luar itu terdapat nilai-nilai lain yang
mempengaruhinya. Objek tidak dapat menghindari nilai dari luar dirinya karena tidak akan
dikenal sebagai ilmu pengetahuan apabila hanya berdiri sendiri dan sibuk dengan nilainya
sendiri. Dengan kata lain ilmu bukan hanya untuk kepentingan ilmu sendiri tetapi ilmu juga
untuk kepentingan lainnya, sehingga tidak dapat diabaikan kalau ilmu terikat dengan lainnya
seperti nilai. Paradigmalah yang menentukan jenis eksperimen dilakukan para ilmuwan,
jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan masalah yang mereka anggap penting dan
manfaatnya. Ketidaknetralan ilmu disebabkan karena ilmuwan berhubungan dengan realitas
bukan sebagai sesuatu yang telah ada tanpa interpretasi, melainkan dibangun oleh skema
konseptual, ideologi, permainan bahasa, ataupun paradigma.
            Di samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi lepasnya secara
otomatis tanggungjawab sosial para ilmuwan terhadap masalah negatif yang timbul, karena
disibukkan dengan kegiatan keilmuan yang diyakini sebagai bebas nilai alias tak bisa
diganggu gugat. Jika ilmuwan berlepas terhadap persoalan negatif yang ditimbulkannya,
maka secara ilmiah mereka dianggap benar. Hal yang sangat menggelikan. Seharusnya
ilmuwan menerima kebenaran yang didapat dalam penyelidikan ilmu dengan kritis. Setiap
pendapat yang dikemukakan diuji kebenarannya, itulah yang membawa kemajuan ilmu.
Kelanggengannya dapat diganti dengan penemuan yang baru. Kemudian di mana letak
kenetralan ilmu?
            Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan sering
menimbulkan permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi ternyata seringkali
menimbulkan fatal error sehingga tuntutan nilai sangat dibutuhkan sebagai acuan moral bagi
pengembangannya. Dalam konteks ini, eksistensi nilai dapat diwujudkan dalam visi, misi,
keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan moral.
            Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang tidak bebas nilai atau terikat nilai
(valuebond) memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai dan harus dikembangkan
dengan mempertimbangkan aspek nilai. Pengembangan ilmu yang terikat nilai jelas tidak
mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, lepas dari kepentingan-kepentingan baik politis,
ekonomis, sosial, religius, ekologis dsb.

 D. Sikap Ilmiah Yang Harus Dimiliki Ilmuwan


            Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang demikian saja sebagai barang
yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi ilmu merupakan suatu cara
berpikir yang demikian dalam tentang sesuatu obyek yang khas dengan pendekatan yang
khas pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengeta-huan yang ilmiah.
Ilmiah dalam arti bahwa sistem dn struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan seca-ra
terbuka. Disebabkan oleh karena itu pula ia terbuka untuk diuji oleh siapapun.
            Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik
kritis, rasional, logis, obyektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang
ilmuwan untuk melakukannya. Namun selain itu juga masalah mendasar yang dihadapi
ilmuwan setelah ia membangun suatu bangunan yang kokoh kuat adalah masalah
kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. Memang tak dapat disangkal bahwa ilmu telah
membawa manusia kearah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi dapatkah ilmu yang
kokoh, kuat, dan mendasar itu menjadi penyelamat manusia bukan sebaliknya. Disinilah
letak tang-gung jawab seorang ilmuwan, moral dan akhlak amat diperlukan. Oleh karenanya
penting bagi para ilmuwan memiliki sikap ilmiah.
            Manusia sebagai makhluk Tuhan berada bersama-sama dengan alam dan berada di
dalam alam itu. Manusia akan menemukan pribadinya dan membudayakan dirinya bilamana
manusia hidup dalam hubungannya dengan alamnya. Manusia yang merupakan bagian
alam tidak hanya merupakan bagian yang terlepas darinya. Manusia senantiasa berintegrasi
dengan alamnya. Sesuai dengan martabatnya maka manusia yang merupakan bagian alam
harus senantiasa merupakan pusat dari alam itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa
diantara manusia dengan alam ada hubungan yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh
sebab itulah, maka manusia harus senantiasa menjaga keles-tarian alam dalam keseimba-
ngannya yang bersifat mutlak pula. Kewajiban ini merupakan kewajiban moral tidak saja
sebagai manusia biasa lebih-lebih seorang ilmuwan dengan senantiasa menjaga kelesta-
rian dan keseimbangan alam yang juga bersifat mutlak.
            Para ilmuwan sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuan sudah barang
tentu mereka juga perlu memiliki visi moral yaitu moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah
di dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap ilmiah. (Abbas Hamami M., 1996, hal. 161)
            Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Hal ini disebabkan oleh karena sikap
ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai suatu pengetahuan ilmiah yang
bersifat obyektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan
dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka
pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan seca-ra sosial untuk melestarikan dan
keseimbangan alam semesta ini, serta dapat dipertanggungawabkan kepada Tuhan. Artinya
selaras dengan kehendak manusia dengan kehendak Tuhan.

Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan menurut Abbas Hamami M., (1996) sedikitnya
ada enam , yaitu:
1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu sikap yang diarahkan untuk
mencapai pengetahuan ilmiah yang obyektif dengan menghilangkan pamrih atau
kesenangan pribadi.
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu
mengadakan pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi. Misalnya hipotesis yang
beragam, metodologi yang masing-masing menunjukkan kekuatannya masing-masing,
atau , cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan
akurasinya.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat
indera serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa
pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai
kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas
terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan
riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
6. Seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk
mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus
untuk pembangunan bangsa dan negara.
Norma-norma umum bagi etika keilmuan sebagaimana yang dipaparkan secara normatif
berlaku bagi semua ilmuwan. Hal ini karena pada dasarnya seorang ilmuwan tidak boleh
terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau apa saja yang hendak
menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku
secara universal dan komunal.
            Disamping sikap ilmiah berlaku secara umum tersebut, pada kenyataannya masih
ada etika keilmuan yang secara spesifik berlaku bagi kelompok-kelompok ilmuwan tertentu.
Misalnya, etika kedokteran, etika bisnis, etika politisi, serta etika-etika profesi lainnya yang
secara normatif berlaku dan dipatuhi oleh kelompoknya itu. Taat asas dan kepatuhan
terhadap norma-norma etis yang berlaku bagi para ilmuwan diharapkan akan
menghilangkan kegelisahan serta ketakutan manu-sia terhadap perkembangan ilmu dan
teknologi. Bahkan diharapkan manusia akan semakin percaya pada ilmu yang
membawanya pada suatu keadaan yang membahagiakan dirinya sebagai manusia. Hal ini
sudah barang tentu jika pada diri para ilmuwan tidak ada sikap lain kecuali pencapaian
obyektivitas dan demi kemajuan ilmu untuk kemanusiaan.

Kesimpulan
            Ilmu merupakan suatu cara berpikir tentang sesuatu objek yang khas dengan
pendekatan tertentusehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan
ilmiah. Ilmiah dalam artisistem dan struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan secara
terbuka. Suatu keharusan bagiilmuwan memiliki moral dan akhlak untuk membuat
pengetahuan ilmiah menjadi pengetahuanyang didalamnya memiliki karakteristik kritis,
rasional, logis, objektif, dan terbuka. Disampingitu, pengetahuan yang sudah dibangun harus
memberikan kegunaan bagi kehidupan manusia,menjadi penyelamat manusia, serta
senantiasa menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Disinilah letak tanggung jawab
ilmuwan untuk memiliki sikap ilmiah.Para ilmuwan sebagai profesional di bidang keilmuan
tentu perlu memiliki visi moral, yangdalam filsafat ilmu disebut sebagai sikap ilmiah, yaitu
suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif, yang
bebas dari prasangka pribadi, dapatdipertanggungjawabkan secara sosial dan kepada
Tuhan.
Adapun sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan sedikitnya ada enam, yaitu:
1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness)
merupakan sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dan
menghilangkan pamrih
1.  Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu
mengadakan pemilihan terhadap segala sesuatu yang dihadapi.
2. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat
indera serta budi (mind).
3.  Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa
pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai
kepastian.
4.  Adanya suatu kegiatan rutin bahwa ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap
penelitian yangtelah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset. Dan riset atau
penelitian merupakanaktifitas yang menonjol dalam hidupnya.
5. Memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu
bagikemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia.Secara terminologi, etika adalah
cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatanmanusia dalam
hubungannya dengan baik dan buruk.

Yang dapat dinilai baik dan buruk adalahsikap manusia yang menyangkut perbuatan,
tingkah laku, gerakan, kata dan sebagainya. Dalametika ada yang disebut etika normatif,
yaitu suatu pandangan yang memberikan penilaian baik dan buruk, yang harus dikerjakan
dan yang tidak.Penerapan dari ilmu membutuhkan dimensi etika sebagai pertimbangan dan
yang mempunyai pengaruh pada proses perkembangannya lebih lanjut. Tanggung jawab
etika menyangkut padakegiatan dan penggunaan ilmu. Dalam hal ini pengembangan ilmu
pengetahuan harusmemperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, keseimbangan
ekosistem, bersifat universaldan sebagainya, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan
adalah untuk mengembangkan danmemperkokoh eksistensi manusia dan bukan untuk
menghancurkannya. Penemuan baru dalamilmu pengetahuan dapat mengubah suatu
aturan alam maupun manusia. Hal ini menuntuttanggung jawab etika untuk selalu menjaga
agar yang diwujudkan tersebut merupakan hasil yangterbaik bagi perkembangan ilmu dan
juga eksistensi manusia secara utuh

Anda mungkin juga menyukai