Anda di halaman 1dari 7

Artikel Adat Jawa Tengah

Jawa Tengah adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau
Jawa. Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia
dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut
Jawa di sebelah utara. Luas wilayahnya 34.548 km², atau sekitar 28,94% dari luas pulau
Jawa. Provinsi Jawa Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (dekat
dengan perbatasan Jawa Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa.

Pengertian Jawa Tengah secara geografis dan budaya kadang juga mencakup wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta. Jawa Tengah dikenal sebagai “jantung” budaya Jawa.
Meskipun demikian di provinsi ini ada pula suku bangsa lain yang memiliki budaya yang
berbeda dengan suku Jawa seperti suku Sunda di daerah perbatasan dengan Jawa Barat.
Selain ada pula warga Tionghoa-Indonesia, Arab-Indonesia dan India-Indonesia yang
tersebar di seluruh provinsi ini.

Rumah Adat

Rumah Adat Jawa Tengah yaitu Joglo. Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi
penting di Pulau Jawa. Selain karena hiruk-pikuk ekonominya, Provinsi ini juga tersohor
karena unsur kebudayaannya yang masih terjaga. Salah satu warisan leluhur yang menjadi
daya pikat provinsi ini adalah Joglo. Hakekatnya Joglo adalah sebutan bagi rumah adat Jawa
Tengah. Bangunan ini menarik dikaji, baik itu dari segi historis maupun arsitekturnya yang
sarat dengan nilai filosofis khas Jawa.

Joglo Dan Unsur Pembangunnya

Sangat menarik untuk mengkaji rumah adat Jawa Tengah ini sebab kita secara
langsung akan bersinggungan dengan nilai-nilai luhur. Jadi, Joglo bukan sekedar hunian.
Lebih dari itu, ia adalah simbol. Simak saja kerangka rumahnya yang berupa soko guru. Jika
diamati, ada empat pilar utama yang menjadi penyangga utama rumah. Tiang utama ini
masing-masing mewakili arah angin, barat-utara-selatan-timur. Lebih detil lagi, di dalam
soko guru terdapat apa yang dikenal dengan tumpangsari yang disusun dengan pola yang
terbalik dari soko guru.

Jika bagian-bagiannya dibedah, maka rumah adat Jawa Tengah ini terdiri atas
beberapa bagian yakni pendhopo, pringgitan dan juga omah ndalem/omah njero. Yang
dimaksud dengan Pendhopo adalah bagian Joglo yang lazim dipakai untuk menjamu tetamu.
Sementara itu, Pringgitan sendiri merupakan bagian dari ruang tengah yang umum dipakai
menerima tamu yang lebih dekat. Sementara itu, yang dikenal dengan istilah Omah Ndalem
atau Omah Njero adalah ruang dimana keluarga bisanya bercengkrama. Ruang keluarga ini
pun dibagi lagi ke dalam beberapa ruangan (kamar/senthong), yakni senthong tengah,
kanan dan juga kiri. Tak hanya pembagian ruangan, beberapa fitur Joglo juga
melambangkan nilai filosofis yang dalam. Sebut saja bagian pintu rumah Joglo yang
berjumlah tiga. Pintu utama di tengah, dan pintu lainnya ada di kedua sisi (kanan dan kiri)
rumah.Tata letak pintu ini tidak sembarangan. Ia melambangkan kupu-kupu yang sedang
berkembang dan berjuang di dalam sebuah keluarga besar.

Selain itu, di dalam Joglo juga dikenal sebuah ruangan khusus yang diberi nama
Gedongan. Ia berperan sebagai tempat perlindungan, tempat kepala keluarga mencari
ketangan batin, tempat beribadah dan masih banyak lagi kegiatan sakral lainnya. Di
beberapa rumah Joglo, Gedongan biasa digunakan multirangkap sebagai ruang istirahat
atau tidur. Di lain waktu, ia juga bisa dialihfungsikan sebagai kamar pengantin yang baru saja
menikah.

Simbol Status Sosial

Sama seperti rumah adat di daerah lainnya, Joglo juga bisa dijadikan acuan untuk
menakar status sosial seseorang. Meski diakui sebagai rumah adat Jawa Tengah, tapi tidak
semua rakyat atau masyarakat Jawa Tengah memiliki rumah ini. Karena meski tampilannya
cukup sederhana, namun kerumitan bahan baku serta pembuatan menjadikan proses
pembangunan Joglo memakan biaya juga waktu yang melimpah. Dahulu, hanya kalangan
priyayi dan bangsawan yang memiliki rumah apin ini.

Joglo sebagai rumah tradisional dikenal memiliki desain yang tidak sembarangan.
Desain juga struktur ini kemudian mengerucut pada pembagian rumah Joglo itu sendiri,
antara lain :

Rumah Joglo Pangrawit.


Rumah Joglo Jompongan.
Rumah Joglo Limasan Lawakan.
Rumah Joglo Semar Tinandhu.
RUmah Joglo Mangkurat.
RUmah Joglo Sinom.
RUmah Joglo Hageng.

Oleh karena cita rasa seni yang tinggi tercermin dari rumah adat Jawa Tengah
tersebut, tidak heran jika ia menjadi salah satu aset budaya yang wajib untuk dilestarikan
dari generasi yang satu hingga generasi selanjutnya

Kebudayaan Jawa Tengah

Suku

Mayoritas penduduk Jawa Tengah adalah Suku Jawa. Jawa Tengah dikenal sebagai
pusat budaya Jawa, di mana di kota Surakarta dan Yogyakarta terdapat pusat istana
kerajaan Jawa yang masih berdiri hingga kini. Suku minoritas yang cukup signifikan adalah
Tionghoa, terutama di kawasan perkotaan meskipun di daerah pedesaan juga ditemukan.
Pada umumnya mereka bergerak di bidang perdagangan dan jasa. Komunitas Tionghoa
sudah berbaur dengan Suku Jawa, dan banyak di antara mereka yang menggunakan Bahasa
Jawa dengan logat yang kental sehari-harinya. Selain itu di beberapa kota-kota besar di Jawa
Tengah ditemukan pula komunitas Arab-Indonesia. Mirip dengan komunitas Tionghoa,
mereka biasanya bergerak di bidang perdagangan dan jasa. Di daerah perbatasan dengan
Jawa Barat terdapat pula orang Sunda yang sarat akan budaya Sunda, terutama di wilayah
Cilacap, Brebes, dan Banyumas. Di pedalaman Blora (perbatasan dengan provinsi Jawa
Timur) terdapat komunitas Samin yang terisolir, yang kasusnya hampir sama dengan orang
Kanekes di Banten.

Bahasa

Meskipun Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi, umumnya sebagian besar


menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Jawa Dialek Solo-Jogja
dianggap sebagai Bahasa Jawa Standar. Di samping itu terdapat sejumlah dialek Bahasa
Jawa; namun secara umum terdiri dari dua, yakni kulonan dan timuran. Kulonan dituturkan
di bagian barat Jawa Tengah, terdiri atas Dialek Banyumasan dan Dialek Tegal; dialek ini
memiliki pengucapan yang cukup berbeda dengan Bahasa Jawa Standar. Sedang Timuran
dituturkan di bagian timur Jawa Tengah, di antaranya terdiri atas Dialek Solo, Dialek
Semarang. Di antara perbatasan kedua dialek tersebut, dituturkan Bahasa Jawa dengan
campuran kedua dialek; daerah tersebut di antaranya adalah Pekalongan dan Kedu. Di
wilayah-wilayah berpopulasi Sunda, yaitu di Kabupaten Brebes bagian selatan, dan
kabupaten Cilacap utara sekitar kecamatan Dayeuhluhur, orang Sunda masih menggunakan
bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-harinya.

Berbagai macam dialek yang terdapat di Jawa Tengah:

- dialek Pekalongan
- dialek Kedu
- dialek Bagelen
- dialek Semarang
- dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
- dialek Blora
- dialek Surakarta
- dialek Yogyakarta
- dialek Madiun
- dialek Banyumasan (Ngapak)
- dialek Tegal-Brebes

Agama

Sebagian besar penduduk Jawa Tengah beragama Islam dan mayoritas tetap
mempertahankan tradisi Kejawen yang dikenal dengan istilah abangan. Agama lain yang
dianut adalah Protestan, Katolik, Hindu , Budha, Kong Hu Cu, dan puluhan aliran
kepercayaan. Penduduk Jawa Tengah dikenal dengan sikap tolerannya. Sebagai contoh di
daerah Muntilan, kabupaten Magelang banyak dijumpai penganut agama Katolik, dan
dulunya daerah ini merupakan salah satu pusat pengembangan agama Katolik di Jawa.
Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi dengan populasi Kristen terbesar di Indonesia.
Kesenian Jawa Tengah

Gamelan Jawa

Gamelan Jawa merupakan Budaya Hindu yang digubah oleh Sunan Bonang, guna
mendorong kecintaan pada kehidupan Transedental (Alam Malakut)”Tombo Ati” adalah
salah satu karya Sunan Bonang. Sampai saat ini tembang tersebut masih dinyanyikan
dengan nilai ajaran Islam, juga pada pentas-pentas seperti: Pewayangan, hajat Pernikahan
dan acara ritual budaya Keraton.

Wayang Kulit

Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu
masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa. Pertunjukan Kesenian
wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari
kepercayaan animisme dan dynamisme. Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang
Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya
dari Kerajaan Mamenang / Kediri. Sekitar abad ke-10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan
gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang
tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Cerita
Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa
Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara
Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang
Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.

Keris Jawa

Keris dikalangan masyarakat di jawa dilambangkan sebagai symbol “ Kejantanan “


dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam
upacara temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka.
Di kalender masyarakat jawa mengirabkan pusaka unggulan keraton merupakan
kepercayaan terbesar pada hari satu sura. Keris pusaka atau tombak pusaka merupakan
unggulan itu keampuhannya bukan saja karena dibuat dari unsure besi baja, besi, nikel,
bahkan dicampur dengan unsure batu meteorid yang jatuh dari angkasa sehingga kokoh
kuat, tetapi cara pembuatannya disertai dengan iringan doa kepada sang maha pencipta
alam ( Allah SWT ) dengan duatu apaya spiritual oleh sang empu. Sehingga kekuatan
spiritual sang maha pencipta alam itu pun dipercayai orang sebagai kekuatan magis atau
mengandung tuah sehingga dapat mempengaruhi pihak lawan menjadi ketakutan kepada
pemakai senjata pusaka itu.

Ukiran Jepara

Para pengukir jepara pandai menyesuaikan diri dengan gaya ukiran baru. Mereka
tidak hanya membuat gaya ukiran khas Jepara saja tapi ukiran lainnya yang tak kalah
menarik. Meskipun ukiran Jepara beragam, sebaiknya kita tidak melupakan gaya ukiran khas
Jepara. Biasanya disebut ornamen Jepara. Meskipun tak ada sebutan khusus, tapi ia dapat
dikenali dari ciri khasnya. Ukiran Jepara mengambil bentuk dedaunan. Ada yang
mengatakan itu adalah daun tanaman wuni. Wuni adalah jenis rerumputan liat yang banyak
tumbuh di Jepara. Tanaman itu memiliki buah kecil-kecil yang digemari burung. Bentuk
tanaman wuni itu diolah seniman ukir menjadi bentuk desain ukiran yang indah. Ciri khas
ukiran itu, daunnya digambarkan melengkung-lengkung luwes. Seolah ada iramanya. Ujung
daunnya runcing. Buah-buah kecil diukir menggerombol. Kadang, ditambahkan
ukiranburung yang hendak mematuk buah itu. Ukiran gaya Jepara ini dulu banyak diukirkan
pada peti-peti kayu. Meja kursi juga ada. Tapi, sekarang jarang diukirkan pada meubel lagi.

Bedhaya Ketawang

Bedhaya Ketawang adalah tarian sakral yang rutin dibawakan dalam istana sultan
Jawa (Keraton Yogyakarta dan Keraton Solo). Disebut juga tarian langit, bedhaya ketawang
merupakan suatu upacara yang berupa tarian dengan tujuan pemujaan dan persembahan
kepada Sang Pencipta.

Pada awal mulanya di Keraton Surakarta tarian ini hanya diperagakan oleh tujuh
wanita saja. Namun karena tarian ini dianggap tarian khusus yang amat sacral, jumlah
penarik kemudian ditambah menjadi sembilan orang. Sembilan penari terdiri dari delapan
putra-putri yang masih ada hubungan darah dan kekerabatan dari keraton serta seorang
penari gaib yag dipercaya sebagai sosok Nyai Roro Kidul.

Tarian ini diciptakan oleh Raja Mataram ketiga, Sultan Agung (1613-1646) dengan
latar belakang mitos percintaan raja Mataram pertama (Panembahan Senopati) dengan
Kanjeng Ratu Kidul (penguasa laut selatan). Sebagai tarian sakral, terdapat beberapa aturan
dan upacara ritus yang harus dijalankan oleh keraton juga para penari.

Bedhaya ketawang bisa dimainkan sekitar 5,5 jam dan berlangsung hingga pukul
01.00 pagi. Hadirin yang terpilih untuk melihat atau menyaksikan tarian ini pun harus dalam
keadaan khusuk, semedi dan hening. Artinya hadirin tidak boleh berbicara atau makan, dan
hanya boleh diam dan menyaksikan gerakan demi gerakan sang penari. Tarian Bedhaya
Ketawang besar hanya di lakukan setiap 8 tahun sekali atau sewindu sekali. Sementara,
Tarian Bedhaya Ketawang kecil dilakukan pada saat penobatan raja atau sultan, pernikahan
salah satu anggota keraton yang ditambah simbol-simbol.

Batik

Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi
salah satu kebudayaan keluarga kerajaan di masa lampau, khususnya di Kerajaan Mataram
kemudian Kerajaan Keraton Solo dan Yogyakarta.

Awalnya batik dikerjaan terbatas dalam keraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja,
keluarganya, serta para pengikutnya. Oleh karena banyaknya pengikut raja yang tinggal di
luar keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar keraton untuk dikerjakan
di tempat masing-masing. Seiring berjalannya waktu, kesenian batik ini ditiru oleh rakyat
setempat dan kemudian menjadi pekerjaan kaum wanita di dalam rumahnya untuk mengisi
waktu senggang. Selain itu, batik yang awalnya hanya untuk keluarga keraton, akhirnya
menjadi pakaian rakyat yang digemari pria dan wanita.

Dahulu, bahan kain putih yang dipergunakan untuk membatik adalah hasil tenunan
sendiri. Sementara bahan pewarnanya diambil dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia.
Beberapa bahan pewarna tersebut antara lain pohon mengkudu, soga, dan nila. Bahan
sodanya dibuat dari soda abu dan garamnya dari tanah lumpur. Sentra kerajinan batik
tersebar di daerah Pekalongan, Kota Surakarta, dan Kab. Sragen.

Tarian Jawa

Tarian merupakan bagian yang menyertai perkembangan pusat baru ini. Ternyata
pada masa kerajaan dulu tari mencapai tingkat estetis yang tinggi. Jika dalam lingkungan
rakyat tarian bersifat spontan dan sederhana, maka dalam lingkungan istana tarian
mempunyai standar, rumit, halus, dan simbolis. Jika ditinjau dari aspek gerak, maka
pengaruh tari India yang terdapat pada tari-tarian istana Jawa terletak pada posisi tangan,
dan di Bali ditambah dengan gerak mata.

Tarian yang terkenal ciptaan para raja, khususnya di Jawa, adalah bentuk teater tari
seperti wayang wong dan bedhaya ketawang. Dua tarian ini merupakan pusaka raja Jawa.
Bedhaya Ketawang adalah tarian yang dicipta oleh raja Mataram ketiga, Sultan Agung (1613-
1646) dengan berlatarbelakang mitos percintaan antara raja Mataram pertama
(Panembahan Senopati) dengan Kangjeng Ratu Kidul (penguasa laut selatan/Samudra
Indonesia) (Soedarsono, 1990). Tarian ini ditampilkan oleh sembilan penari wanita.

Seni Tari Jawa Tengah

Tari sering disebut juga ”beksa”, kata “beksa” berarti “ambeg” dan “esa”, kata
tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah
benar-benar menuju satu tujuan, yaitu menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud
gerak yang luluh. Seni tari adalah ungkapan yang disalurkan / diekspresikan melalui gerak-
gerak organ tubuh yang ritmis, indah mengandung kesusilaan dan selaras dengan gending
sebagai iringannya. Seni tari yang merupakan bagian budaya bangsa sebenarnya sudah ada
sejak jaman primitif, Hindu sampai masuknya agama Islam dan kemudian berkembang.
Bahkan tari tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan upacara adat sebagai sarana
persembahan. Tari mengalami kejayaan yang berangkat dari kerajaan Kediri, Singosari,
Majapahit khususnya pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk.

Surakarta merupakan pusat seni tari. Sumber utamanya terdapat di Keraton


Surakarta dan di Pura Mangkunegaran. Dari kedua tempat inilah kemudian meluas ke
daerah Surakarta seluruhnya dan akhirnya meluas lagi hingga meliputi daerah Jawa Tengah,
terus sampai jauh di luar Jawa Tengah. Seni tari yang berpusat di Kraton Surakarta itu sudah
ada sejak berdirinya Kraton Surakarta dan telah mempunyai ahli-ahli yang dapat
dipertanggungjawabkan. Tokoh-tokoh tersebut umumnya masih keluarga Sri Susuhunan
atau kerabat kraton yang berkedudukan. Seni tari yang berpusat di Kraton Surakarta itu
kemudian terkenal dengan Tari Gaya Surakarta.
Macam-macam tariannya: Srimpi, Bedaya, Gambyong, Wireng, Prawirayuda,
Wayang-Purwa Mahabarata-Ramayana. Yang khusus di Mangkunegaran disebut Tari
Langendriyan, yang mengambil ceritera Damarwulan.

Dalam perkembangannya timbulah tari kreasi baru yang mendapat tempat dalam
dunia tari gaya Surakarta. Selain tari yang bertaraf kraton (Hofdans), yang termasuk seni tari
bermutu tinggi, di daerah Jawa Tengah terdapat pula bermacam-macam tari daerah
setempat. Tari semacam itu termasuk jenis kesenian tradisional, seperti: Dadung Ngawuk,
Kuda Kepang, Incling, Dolalak, Tayuban, Jelantur, Ebeg, Ketek Ogleng, Barongan, Sintren,
Lengger, dll.

Pedoman tari tradisional itu sebagian besar mengutamakan gerak yang ritmis dan
tempo yang tetap sehingga ketentuan-ketentuan geraknya tidaklah begitu ditentukan sekali.
Jadi lebih bebas, lebih perseorangan. Dalam seni tari dapat dibedakan menjadi klasik,
tradisional dan garapan baru

Anda mungkin juga menyukai