Anda di halaman 1dari 148

Kepaskibraan

A. Pengertian
Paskibraka adalah sekelompok pemuda dari tingkat SMA yang telah diseleksi mulai
dari tingkat kota hingga nasional untuk bertugas mengibarkan bendera duplikat
pusaka.
- Definisi ini juga dapat diartikan dalam berbagai ragam, silahkan untuk
mengutarakannya menurut pemikiran pribadi
B. Sejarah
1. 4 Januari 1946 : ibukota Indonesia dipindah dari Jakarta menuju Yogyakarta.
Presiden saat itu, Bapak Soekarno, meminta Husein Mutahar (ajudan presiden)
untuk mempersiapkan peringatan Hari Ulang Tahun RI yang pertama. Peringatan
akan dilakukan dengan upacara pengibaran bendera pusaka. Husein Mutahar
berpikiran, bendera pusaka hendaknya dikibarkan oleh pemuda pemudi dari
seluruh daerah di Indonesia. Karena Untuk itu diambillah 5 orang pemuda (3 putra
2 putri) perwakilan daerah yang kebetulan sedang berada di Yogyakarta. 5
pemuda tersebut merupakan penggambaran dari Pancasila. Pengibaran bendera
pusaka masih ditangani oleh H. mutahar hingga tahun 1949.
2. Tahun 1950 ibukota Indonesia kembali berpindah di Jakarta, sejak saat itulah H.
Mutahar sudah tidak lagi menangani pengibaran bendera. Oleh karena itu tugas
tersebut diampu oleh Rumah Tangga Kepresidenan hingga tahun 1966. Selama
periode tersebut, pengibar diambil dari para pelajar dan mahasiswa yang ada di
Jakarta
3. Tahun 1967 H. Mutahar kembali dipanggil oleh presiden saat itu, Suharto, untuk
kembali menangani lagi masalah pengibaran bendera pusaka. Dengan ide dasar
pada tahun 1946 di Yogyakarta, beliau mengambangkan lagi formasi yang ada
menjadi 3 kelompok, yaitu :
a. Pasukan 17 sebagai pengiring yang beranggotakan siswa
b. Pasukan 8 sebagai pasukan inti yang membawa bendera dan beranggotakan
siswa
c. Pasukan 45 sebagai pasukan pengawal yang beranggotakan Pasukan Pengawal
Presiden karena ketidaktersediaan anggota.
Ketiga pasukan tersebut diberi nama Paskeraka (Pasukan Pengerek Bendera
Pusaka)
4. Mulai tahun 1968 petugas pengibaran bendera pusaka adalah para pemuda utusan
provinsi. Tetapi karena belum seluruh provinsi mengirim utusannya karena
keterbatasan transportasi, sehingga harus ditambah oleh eks-anggota pasukan
tahun 1967. Pada tahun ini juga terakhir kali bendera pusaka terakhir dikibarkan
sebelum digantikan oleh bendera duplikat tahun 1969. Kini bendera pusaka
disimpan di sebuah kotak kaca di Istana Merdeka, pernah juga disimpan di dalam
Museum Nasional
5. Tahun 1973, Kepala Dinas Pengembangan dan Latihan saat itu, Idik Sulaeman.
Beliau banyak membantu H. Mutahar dalam mewujudkan gagasannya membentuk
pasukan pengibar bendera. Akhirnya tercetuslah nama Paskibraka (Pasukan
Pengibar Bendera Pusaka) oleh Bapak Idik Sulaeman.
Lambang
Paskibraka memiliki 2 lambang, yaitu lambang Korps Paskibraka dan Lambang Purna
Paskibraka.
1. Lambang Korps Paskibraka
a. Bentuk perisai bermakna “Siap bela negara” termasuk bangsa dan tanah air
Indonesia, warna hitam sebagai dasar bermakna teguh dan percaya diri
b. Sepasang anggota Paskibraka bermakna bahwa Paskibraka terdiri dari putra dan
putri
c. Bendera merah putih yang sedang berkibar adalah bendera kebangsaan dan utama
Indonesia yang harus dijunjung tinggi seluruh bangsa Inodnesia termasuk generasi
mudanya
d. 3 garis horizon menunjukkan Paskibraka berada dalam 3 tingkatan, yaitu
Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota
e. Warna kuning bermakna kebanggaan dan keagungan juga ketauladanan dalam hal
perilaku dan sikap setiap anggota Paskibraka
2. Lambang Purna Paskibraka
a. Lambang bunga terati yang sedang mekar bermakna bahwa anggota Paskibraka
adalah pemuda yang tumbuh dari bawah (orang biasa) dari tanah air yang sedang
berkembang (mekar) dan membangun
b. 3 helai yang tumbuh ke atas bermakna belajar, bekerja, dan berbakti. 3 helai yang
tumbuh mendatar bermakna aktif disiplin, dan gembira
c. 18 mata rantai yang berkaitan melambangkan persaudaraan yang akrab dari ke-18
arah mata angin dari seluruh Indonesia.
Lagu
1. Lagu kebangsaan
Adalah lagu yang menjadi simbol suatu negara / daerah yang ditetapkan oleh
hukum, resmi, dan hanya ada satu di setiap negara. Lagu kebangsaan negara
Indonesia adalah Indonesia Raya. Pencetus dan pembuat lagu ini adalah W. R.
Supratman. Beliau membawakan lagu ini pertama kali menggunakan biola yang
dipelajari dari kakak iparnya. Motivasi beliau dalam membuat lagu kebangsaan
muncul saat beliau membaca majalah “Timbul” dan terdapat tantangan dari seorang
musisi Indonesia untuk membuat lagu kebangsaan. Pada akhirnya tahun 1924 lahirlah
Indonesia Raya dan didengunggan pertama kali pada Kongres Pemuda tanggal 28
Oktober 1928. Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 pada sidang PPKI I lagu
Indonesia Raya disahkan secara hukum sebagai lagu kebangsaan
Pada saat kependudukan Belanda, lirik Indonesia Raya yang mengandung kata
“merdeka” diubah menjadi “mulia” dikarenakan pihak Belanda mengira bangsa
Indonesia sedang memberontak.
2. Lagu patriotik
Adalah lagu yang mempunyai lirik yang dapat membangkitkan semangat cinta tanah
air.
3. Lagu nasionalisme
Adalah lagu mengenai nasionalisme dan perjuangan bangsa.
Bendera
Adalah secarik kain yang berbentuk segitiga atau segiempat yang bertiang dan
sebagai simbol suatu kelompok atau suatu tanda. Dapat dikatakan sebagai bendera
apabila fungsinya untuk dikibarkan atau direntangkan. Bendera negara Indonesia
adalah Bendera Merah Putih atau Sang Merah Putih atau Sang Dwiwarna. Bendera
Merah Putih pertama kali berkibar pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pada
saat pembacaan Proklamasi Kemerdekaan.
Bendera Merah Putih yang pertama kali dikibarkan adalah bendera pusaka
yang dijahit oleh ibu Fatmawati menggunakan mesin jahit merek SINGER. Terdapat
sekitar 200 jahitan di bendera tersebut. Pengibibar bendera pusaka saat Proklamasi
Kemerdekaan adalah Latief Hendraningrat sebagai pengerek, S. Suhud sebagai
menbentang dan Trimurti / Sukarni sebagai pembawa bendera.
Mental Ideologi

Garuda Pancasila
 Merupakan lambang resmi NKRI
1. Pasal 36 A UUD 1945
“ Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”
2. UU No 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu
kebangsaan.
 Terdapat semboyan Bhinneka Tunggal Ika berdasar pada Kitab Sutasoma karya Mpu
Tantular
Rwaneka Dhatu Winuwus Buddha Wisma
Bhinneki Rakwa Ring Apan Kena Parwanosen
Mangka ng Jinatwa Kalawan Siwatatwa Tunggal
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa
( Terpecah belah lah itu, tetaapi satu jugalah itu.Tidak ada kerancuan dalam
kebenaran)
 Pada mulanya, dilakukan sayembara untuk menciptakan desain lambang negara
Indonesia.Tokoh yang terpilih memiliki desain lambang negara terbaik ialah Sultan
Hamid Al Kadrie II dari Pontianak dan Mohammad Yamin.
 Sultan Hamid mengambil burung garuda yang diambil dari mitologi Hindu-Buddha
dimana Dewa Wisnu mengendarai (wahana) burung garuda tersebut.Selain itu,
muncul juga tokoh dewa burung lainnya seperti Jatayu dalam kisah Ramayana yang
mencoba menyelamatkan Dewi Sinta dari Rahwana.
 Burung garuda dianggap memiliki nilai-nilai baik bagi bangsa seperti kebajikan,
keberanian, kekuatan, kesetiaan, dan menurunkan sifat Dewa Wisnu yang memelihara
tatanan alam semesta.Diharapkan bangsa Indonesia dapat tumbuh menjadi bangsa
yang besar dan kuat.
 Untuk pertama kalinya, Sultan Hamid melukiskan lambang negara tersebut dengan
bentuk asli sepertii burung mitologi namun berlengan manusia dengan tangan
mencengkram perisai berbentuk jantung berisi lambang kelima sila Pancasila
 Desain lambang negara pun juga dikerjakan oleh Mohammad Yamin (Aditya
Chandra) , namun dikarenakan terdapat unsur Jepang berupa sinar matahari sehingga
ditolak.
 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Lencana Negara (dibawah koordinasi Sultan Hamid
II sebagai Menteri Negara Zonder) dengan Mohammad Yamin sebagai ketua.Susunan
kepanitiaan nya antara lain :
1. Mohammad Yamin
2. Ki Hajar Dewantara
3. Pellaupessy
4. M.Natsir
5. R.M Poerbatjaraka
 Desain lambang negara milik Sultan Hamid kemudian disempurnakan bersama
Soekarno dan Moh.Hatta.Penyerpunaan yang dilakukan ialah mengganti warna merah
putih pada pita yang dicengkram menjadi warna putih saja.
 8 Februari 1950 Sultan Hamid II resmi mengajukan lambang negara tersebut dan
mendapat kritikan dari Partai Masyumi mengenai keberatan terhadap lambang burung
garuda tersebut yang dianggap terlalu mitologis ( setengah burung dengan tangan dan
bahu manusia yang memegang perisai) sehingga kembali disempurnakan menjadi
Rajawali-Garuda Pancasila atau Garuda Pancasila.
 Garuda Pancasila resmi digunakan sebagai lambang negara pada tanggal 11 Februari
1950 di Sidang Kabinet RIS dan diperkenalkan kepada khalayak umum poada tanggal
15 Februari 1950 di Hotel Des Indes Jakarta.
 Pada tanggal 20 Maret 1950, Presiden Soekarno meminta pelukis istana , Dullah,
untuk menyempurnakan kembali lambang negara tersebut dengan :
1. Menambahkan jambul (identik dengan elang jawa agar tidak seperti bald eagle
milik Amerika Serikat)
2. Mengubah posisi cakar yang mencengkram pita semboyan yang semula berada di
belakang menjadi di depan (Atas masukan Presiden Soekarno)
3. Menambah skala ukuran dan tata warna
 Rancangan final Garuda Pancasila ini dibuatkan patung besar dari perunggu berlapis
emas dan disimpan di Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional.
 Makna lambang Garuda Pancasila :
 Warna emas : Keagungan dan kejayaan
 Paruh, sayap, ekor : Kekuatan dan tenaga pembangunan
 Bentuk : Bangsa yang besar dan kuat
 Menoleh ke kanan : Identik dengan kebenara ( Pada gedung MPR-DPR
menghadap ke kanan dengan maksud agar tidak memihak pada suatu
kehendak dan hanya fokus kepada satu titik untuk menyejahterakan
rakyat)
 Perisai berbentuk jantung dengan rantai kuning keemasan di leher.Perisai
sendiri bermakna perjuangan, pertahanan, dan perlindungan untuk mencapai
tujuan bangsa.
 Garis tebal horizontal di tengah perisai yang melambangkan bahwa Indonesia
dilalui oleh Garis Khatulistiwa, dimana Tugu Khatulistiwa sendiri berada di
Pontianak,
 Makna jumlah bulu :
 17 helai bulu pada masing-masing sayap (17 pasang) melambangkan tanggal
kemerdekaan RI
 8 helai bulu pada ekor melambangkan bulan kemerdekaan yang jatuh pada
bulan Agustus
 19 helai bulu di bawah perisai atau pangkal ekor dan 45 helai bulu di leher
melambangkan tahun kemerdekaan yang jatuh pada tahun 1945
 Makna lambang pancasila :

Bintang emas : 5 sudut pada bintang melambangkan lima keyakinan di
Indonesia
 Rantai emas : Kemanusiaan dengan tolong menolong ( tali rantai
bermata bulatan melambangkan putri dan persegi melambangkan putra)
 Pohon beringin : Akar tunggang yang menancap di tanah dengan kokoh
( persatuan Indonesia yang kuat dan kokoh) dan akar napas yang berarti
keberagaman budaya serta adat istiadat di Indonesia
 Kepala banteng : Banteng sebagai lambang binatang sosialis ( binatang
yang tidak pernah sendiri dengan jiwa kekeluargaan yang tinggi)
 Padi dan Kapas : Kesejahteraan pangan (padi) dan sandang (kapas) bagi
rakyat Indonesia
 Makna warna :
 Emas : Keluhuran, kemegahan
 Hitam : Keabadian
 Merah : Keberanian
 Putih : Kebenaran, kesucian, kemurnia
 Hijau : Kesuburan, kemakmuran

Pancasila
 Pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 diselenggarakan sidang BPUPKI dimana beberapa
anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan dasar negara.
 Usulan pertama oleh Mohammad Yamin (29 Mei 1945)
Rumusan Pidato :
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat

Rumusan Tertulis :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan persatuan Indonesia
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
 Usulan kedua oleh Mr.Soepomo (31 Mei 1945)
Rumusan Pidato :
1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Keseimbangan lahir dan batin
4. Musyawarah
5. Keadilan Rakyat
Selain itu juga dikenal dengan Teori Individualistik, golongan, integral
yang memuat asas persatuan Indonesia.
 Usulan ketiga oleh Ir. Soekarno (1 Juni 1945)
Ir.Soekarno memunculkan dasar bernama Philosophishe Gronslag tentang
filsafat, fundamental, pikiran sedalam-dalamnya yang diatasnya didirikan gedung
bernama Indonesia Merdeka dengan nama Pancasila.
Rumusan Pidato :
1. Kebangsaan Indonesia atau Nasionalisme
2. Internasionalisme atau peri kemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan yang berbudaya
Ir. Soekarno pun melahirkan 5 usulan sila dengan nama Pancasila yang dapat
disederhanakan lagi menjadi 3 usulan sila dengan nama Trisila (Sosio-nasional,
Sosio-demokratis, ketuhanan), dan 1 usulan sila dengan nama Ekasila (Gotong-
royong sebagai kepribadian bangsa)
 Pembentukan Panitia Kecil (9 orang) yang bertugas untuk menampung dan
mengidentifikasi usulan dasar negara pada sidang BPUPKI pertama yang telah
dilaksanakan.
 Panitia 9 ini kemudian membentuk sebuah kumpulan panitia lagi yang diberi nama
“Panaitia Kecil” untuk memutus perkara mengenai hubungan Negara dan Agama
antara golongan Islam dengan golongan kebangsaan.
 Persetujuan antara dua golongan tersebut dilakukan oleh Panitia 9 dalam suatu
dokumen disebut Piagam Jakarta atau Jakarta Charter pada tanggal 22 Juni 1945.
Dalam Piagam Jakarta, alenia pertama hingga ketiga berisi tentang pernyataan
kemerdekaan Indonesia dan pada alenia keempat berisi tentang rancangan dasar
negara.
 Pada penyusunan UUD di Sidang kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan sebagai
Muqaddimah (Preambule) dan pada tanggal 18 Agustus 1945 berubah menjadi
Pembukaan.Pada butir pertama yang berisi “Kewajiban menjalankan Syariat
Islam bagi pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” oleh Drs.
Moh. Hatta atas usul A.A Maramis, Teuku Muhammad Hassan, Kasman
Singodimejo, dan Ki Bagus Hadikusumo.
 Pancasila terdiri atas suku kata Panca (Lima) dan Sila (Batu/ sendi/ dasar )
 Pancasila sendiri sudah ada sejak zaman Majapahit dan terdapat pada Kitab
Negarakertagama (Mpu Prapanca) serta Sutasoma (Mpu Tantular)
 Pancasila memuat lima silakrama atau sendi utama antara lain :
1. Dilarang melakukan kekerasan
2. Dilarang mencuri
3. Dilarang berbuat dengki
4. Dilarang berbohong
5. Dilarang mabuk
Sistem Pemerintahan di Indonesia
 Pemerintahan berasal dari kata perintah yang artinya mengatur
 Sistem pemerintahan adalah suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen
yang saling bergantungan dan mempengaruhi dalam mencapai tujuan dan fungsi
pemerintahan
 Sistem pemerintahan merupakan sarana pemerintah untuk menjalankan roda
pemerintahan guna menjaga kestabilan masyarakat, tingkah laku kaum mayoritas
maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, serta menjaga kekuatan politik,
ekonomi, dan keamanan sehingga menjadi suatu sistem yang continue dan demokrasi
dimana masyarakat dapat turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan
tersebut
 Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI meresmikan Pancasila sebagai dasar negara,
UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, serta menetapkan Ir.Soekarno sebagai
presiden dan Drs.Moh.Hatta sebagai wakil presiden pertama Indonesia
 Periodesasi sistem pemerintahan di Indonesia antara lain :
 18 Agustus 1945-27 Desember 1949
 Merupakan era kepemimpinan pertama pasca kemerdekaan RI dengan bentuk
negara Kesatuan, bentuk pemerintahan Republik, dan sistem pemerintahan
Presidensil berdasar kepada UUD 1945
 Terjadi Agresi Militer I pada tanggal 19 Desember 1948 dimana Soekarno dan
Hatta ditangkap oleh sekutu. Syarifuddin Prawiranegara diberi mandat untuk
membentuk Pemerintahan darurat Indonesia di Bukittinggi per tanggal 22
Desember 1948-13 Juli 1949.
 Pada tanggal 27 Desember 1949 terjadi penyerahan kedaulatan Kerajaan
Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS dengan tidak bersyarat dan
tidak dapat dicabut) dalam KMB di Den Haag, Belanda.
 27 Desember 1949-15 Agustus 1950
 Dimulainya konstitusi RIS setelah KMB dengan bentuk negara Serikat,
bentuk pemerintahan Republik, dan sistem pemerintahan Parlementer Semu
 Kepala negara sendiri dipimpin oleh Presiden (Ir.Soekarno) sedangkan kepala
pemerintahan oleh Perdana Menteri
 15 Agustus 1950-5 Juli 1959 (Orde Lama)
 Adanya perubahan konstitusi yang semula berupa konstitusi RIS menjadi
UUDS 1950 (Undang-Undang Dasar Sementara) dimana bentuk negara
Kesatuan, bentuk pemerintahan Republik, dan sistem pemerintahan
Parlementer.Selain itu dibentuklah Konstituante yang bertujuan untuk
membentuk konstitusi baru
 Pada tahun 1955, terjadi Pemilu (Pemilihan Umum) pertama
 Pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 5 sore, Presiden Soekarno mengeluarkan
Dekrit Presiden di Istana Merdeka yang menyatakan bahwa :
1. Pengembalian konstitusi dari UUDS 1950 kepada UUD 1945 dikarenakan
UUDS 1950 memiliki kepastian hukum yang lemah
2. Pembubaran Konstituante dikarenakan tidak gagal menjalankan tugas
dalam membuat konstitusi baru selama 9 tahun
3. Dibentuknya MPRS dan DPAS
 22 Februari 1966-21 Mei 1998 (Orde Baru)
 Dalam Orde Baru ini, bentuk negara ialah Kesatuan, bentuk pemerintahan
Republik, dan sistem pemerintahan Presidensil berlandaskan kepada
konstitusi UUD 1945
 Merupakan era masa jabatan Presiden Soeharto selama 32 tahun lamanya.Pada
tanggal 22 Februari 1966 – 24 Maret 1973, Presiden Soeharto tidak memiliki
wakil presiden.Meskipun begitu, terdapat beberapa wakil presiden yang
pernah mendapingi Presiden Soeharto antara lain :
1. 24 Maret 1973 - 23 Maret 1978 : HB IX
2. 23 Maret 1978 - 11 Maret 1983 : Adam Malik
3. 11 Maret 1983 - 11 Maret 1988 : Umar Wirahadikusuma
4. 11 Maret 1988 - 11 Maret 1993 : Soedarmono
5. 11 Maret 1993 - 10 Maret 1998 : Try Sutrisno
6. 10 Maret 1998 - 21 Mei 1998 : B. J Habibie
 21 Mei 1998 – Sekarang ( Reformasi)
 Pada era Reformasi, Indonesia memiliki bentuk negara Kesatuan, bentuk
pemerintahan Republik, dan sistem pemerintahan Presidensil dengan
konstitusi UUD 1945
 Presiden dan wakil presiden yang pernah menjabat dalam era ini adalah :
1. 21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999 : B.J Habibie (sendiri)
2. 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001 : Adurrahman Wahid dan
Megawati Soekarnoputri
3. 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004 : Megawati Soekarnoputri dan
Hamzah Haz
4. 20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2009 : Susilo Bambang Yudhoyono
dan Jusuf Kalla
5. 20 Oktober 2009 – 20 Oktober 2014 : Susilo Bambang Yudhoyono
dan Boedhiono
5. 20 Oktober 2014 – sekarang : Joko Widodo dan Jusuf Kalla
PU

Kota Yogyakarta
 SEJARAH Kota Yogyakarta

Terbentuknya Kota Yogyakarta memang tidak bisa lepas dari perjuangan Pangeran


Mangkubumi (adik dari Sunan Paku Buwana II) dalam mewujudkan kedaulatan
Kerajaan Mataram dari pengaruh Belanda. Setelah melalui perjuangan yang panjang,
pada hari Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiulakhir 1680 atau bertepatan dengan 13
Februari 1755, Pangeran Mangkubumi yang telah bergelar Susuhunan Kabanaran
menandatangani Perjanjian Giyanti atau sering disebut dengan Palihan Nagari.
Palihan Nagari inilah yang menjadi titik awal keberadaan Kasultanan Yogyakarta.
Pada saat itulah Susuhunan Kabanaran kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku
Buwana Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah
Ingkang Jumeneng Kaping I. Setelah Perjanjian Giyanti ini, Sri Sultan Hamengku
Buwana mesanggrah di Ambarketawang sambil menunggui pembangunan fisik
kraton.

Sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tepatnya hari Kamis Pon


tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Sultan Hamengku Buwana I
memproklamirkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota
Ngayogyakarta dan memiliki separuh dari wilayah Kerajaan Mataram. Proklamasi ini
terjadi di Pesanggrahan Ambarketawang dan dikenal dengan peristiwa Hadeging
Nagari Dalem Kasultanan Mataram – Ngayogyakarta. Pada hari Kamis Pon tanggal 3
sura 1681 atau bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1755, Sri Sultan Hamengku
Buwana I memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di Desa
Pacethokan dalam Hutan Beringan yang pada awalnya bernama Garjitawati.

Pembangunan ibu kota Kasultanan Yogyakarta ini membutuhkan waktu satu tahun.


Pada hari Kamis pahing tanggal 13 Sura 1682 bertepatan dengan 7 Oktober 1756, Sri
Sultan Hamengku Buwana I beserta keluarganya pindah atau boyongan dari
Pesanggrahan Ambarketawan masuk ke dalam Kraton Ngayogyakarta. Peristiwa
perpindahan ini ditandai dengan candra sengkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal
berupa dua ekor naga yang kedua ekornya saling melilit dan diukirkan di atas
banon/renteng kelir baturana Kagungan Dalem Regol Kemagangan dan Regol
Gadhung Mlathi. Momentum kepindahan inilah yang dipakai sebagai dasar penentuan
Hari Jadi Kota Yogyakarta karena mulai saat itu berbagai macam sarana dan
bangunan pendukung untuk mewadahi aktivitas pemerintahan baik kegiatan sosial,
politik, ekonomi, budaya maupun tempat tinggal mulai dibangun secara bertahap.
Berdasarkan itu semua maka Hari Jadi Kota Yogyakarta ditentukan pada tanggal 7
Oktober 2009 dan dikuatkan dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6
Tahun 2004.
 KONDISI GEOGRAFIS KOTA YOGYAKARTA
I     BATAS WILAYAH
      Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II
yang berstatus Kota di samping 4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus Kabupaten
      Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut
Sebelah utara : Kabupaten Slema
Sebelah timur : Kabupaten Bantul & Slema
Sebelah selatan : Kabupaten Bantul
Sebelah barat : Kabupaten Bantul & Sleman

II     KEADAAN ALAM


      Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat ke timur relatif datar dan dari
utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat, serta terdapat 3 (tiga) sungai yang melintas Kota Yogyakarta,
yaitu :
      Sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong
      Bagian tengah adalah Sungai Code
      Sebelah barat adalah Sungai Winongo

III     LUAS WILAYAH


      Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah tingkat II lainnya, yaitu 32,5
Km² yang berarti 1,025% dari luas wilayah Propinsi DIY

 Lambang kota jogja

 Dasar Hukum

Ketetapan DPRD Nomor 2 Tahun 1952 tentang Penetapan Lambang Kota Praja Yogyakarta
 Makna Lambang
    Perbandingan ukuran 18 : 25 , untuk memperingati tahun permulaan perjuangan Pangeran
Diponegoro di Yogyakarta (tahun 1825)
    Warna Hitam : Simbol Keabadian
    Warna Kuning dan Keemasan : Simbol Keluhuran
    Warna Putih : Simbol Kesucian
    Warna Merah : Simbol Keberanian
    Warna Hijau : Simbol Kemakmuran

    Mangayu Hayuning Bawono : Cita-cita untuk menyempurnakan masyarakat


    Bintang Emas : Cita-cita kesejahteraan yang dapat dicapai dengan usaha dibidang
kemakmuran

     Padi dan kapas: Jalan yang ditempuh dalam usaha kemakmuran pangan dan sandang

    Perisai : Lambang Pertahanan


    Tugu : Ciri khas Kota Yogyakarta
    Dua sayap : Lambang kekuatan yang harus seimbang
    Gunungan : Lambang kebudayaan

    Beringin Kurung : Lambang Kerakyatan


    Banteng : Lambang semangat keberanian
    Keris : Lambang perjuangan

    Terdapat dua sengkala

    Gunaning Keris Anggatra Kota Praja : Tahun 1953 merupakan tahun permulaan pemakaian
Lambang Kota Yogyakarta
    Warna Hasta Samadyaning Kotapraja : Tahun 1884

FLORA DAN FAUNA IDENTITAS KOTA YOGYAKARTA

Dalam rangka menumbuhkan menjadi kebanggaan dan maskot daerah telah ditetapkan pohon
Kelapa Gading (Cocos Nuciferal vv.Gading) dan Burung Tekukur (Streptoplia Chinensis
Tigrina) sebagai flora dan fauna identitas Kota Yogyakarta

Keberadaan pohon Kelapa Gading begitu melekat pada kehidupan masyarakat Yogyakarta,
karena dikenal sebagai tanaman raja serta mempunyai nilai filosofis dan budaya yang sangat
tinggi, sebagai kelengkapan pada upacara tradisional/religius, mempunyai makna simbolis
dan berguna sebagai obat tradisional.

Burung tekukur dengan suara merdu dan sosok tubuh yang indah mampu memberikan
suasana kedamaian bagi yang mendengar, menjadi kesayangan para pangeran dilingkungan
kraton.  Dengan mendengar suara burung tekukur diharapkan orang akan terikat kepada Kota
YogyakartaDasar Hukum

 PR !!!

1. Visi misi kota jogja


2. Jumlah penduduk kota jogja terbaru
3. Kecamatan di kota jogja
4. Walkot dan wawalkot kota jogja yang terbaru

PU DIY

 Sejarah Singkat DIY


Daerah Istimewa Yogyakarta atau biasa disingkat dengan DIY adalah salah satu daerah otonom
setingkat provinsi yang ada di Indonesia. Propinsi ini beribukota di Yogyakarta. 

Dari nama daerah ini yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus statusnya sebagai Daerah Istimewa.
Status sebagai Daerah Istimewa berkenaan dengan runutan sejarah berdirinya propinsi ini, baik sebelum
maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa) adalah nama yang diberikan Paku
Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati.
Yogyakarta berarti Yogya yang kerta, Yogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta
Hadiningrat berarti Yogya yang makmur dan yang paling utama. Sumber lain mengatakan, nama
Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana. Dalam penggunaannya
sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa). 

Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena Yogyakarta
adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai
asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di jaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende
Landschappen. Di jaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja. 

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang
kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh
Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I.  

Baik Kasultanan maupun Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai kerajaan dengan
hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Terakhir kontrak
politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941 No. 47 dan kontrak politik Pakualaman
dalam Staatsblaad 1941No.577. 

Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII
mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah
Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu
mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku
Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden
Republik Indonesia. Pegangan hukumnya adalah :

1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945
dari Presiden Republik Indonesia.
2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945
( yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah).
3. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 ( yang
dibuat bersama dalam satu naskah ).

Dari 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia,
justru dimasa perjuangan bahkan mengalami saat-saat yang sangat mendebarkan, hampir-hampir saja
Negara Republik Indonesia tamat riwayatnya. Oleh karena itu pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia yang
berkumpul dan berjuang di Yogyakarta mempunyai kenangan tersendiri tentang wilayah ini. Apalagi
pemuda-pemudanya yang setelah perang selesai, melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada, sebuah
Universitas Negeri yang pertama didirikan oleh Presiden Republik Indonesia, sekaligus menjadi monumen
hidup untuk memperingati perjuangan Yogyakarta. 
Pada saat ini Kraton Yogyakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Puro Pakualaman
oleh Sri Paduka Paku Alam IX. Keduanya memainkan peranan yang sangat menentukan di dalam
memelihara nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta. 

Dengan dasar pasal 18 Undang-undang 1945, Dewan Perwakilan Rakyat Propisni Daerah Istimewa
Yogyakarta menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari
dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya
dihormati. 

Pasal 18 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa “ pembagian Daerah Indonesia atas daerah
besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-
usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa “. 

Sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi, Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang-
undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut. Disebutkan bahwa Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman. 

Sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Yogyakarta kaya predikat, baik berasal dari
sejarah maupun potensi yang ada, seperti sebagai kota perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota
pariwisata. 

Sebutan kota perjuangan untuk kota ini berkenaan dengan peran Yogyakarta dalam konstelasi perjuangan
bangsa Indonesia pada jaman kolonial Belanda, jaman penjajahan Jepang, maupun pada jaman perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Yogyakarta pernah menjadi pusat kerajaan, baik Kerajaan Mataram
(Islam), Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman. 

Sebutan kota kebudayaan untuk kota ini berkaitan erat dengan peninggalan-peninggalan budaya bernilai
tinggi semasa kerajaan-kerajaan tersebut yang sampai kini masih tetap lestari. Sebutan ini juga berkaitan
dengan banyaknya pusat-pusat seni dan budaya. Sebutan kata Mataram yang banyak digunakan sekarang
ini, tidak lain adalah sebuah kebanggaan atas kejayaan Kerajaan Mataram. 

Predikat sebagai kota pelajar berkaitan dengan sejarah dan peran kota ini dalam dunia pendidikan di
Indonesia. Di samping adanya berbagai pendidikan di setiap jenjang pendidikan tersedia di propinsi ini, di
Yogyakarta terdapat banyak mahasiswa dan pelajar dari seluruh daerah di Indonesia. Tidak berlebihan bila
Yogyakarta disebut sebagai miniatur Indonesia. 

Sebutan Yogyakarta sebagai kota pariwisata menggambarkan potensi propinsi ini dalam kacamata


kepariwisataan. Yogyakarta adalah daerah tujuan wisata terbesar kedua setelah Bali. Berbagai jenis obyek
wisata dikembangkan di wilayah ini, seperti wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata pendidikan,
bahkan, yang terbaru, wisata malam. 
 Makna Dan Lambang DIY
• Landasan Idiil Pancasila, digambarkan dengan bintang emas bersegi lima (Ketuhanan Yang
Maha Esa), tugu dan sayap mengembang (Kemanusiaan yang adil dan beradab), bulatan-bulatan
berwarna merah dan putih (Persatuan Indonesia), ombak, batu penyangga saka guru/tugu
(Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan), dan
padi-kapas (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).

• 17 bunga kapas, 8 daun kapas dan 45 butir padi, adalah lambang Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia.

• Bulatan (golong) dan tugu berbentuk silinder (giling), adalah lambang tata kehidupan gotong
royong.

• Nilai-nilai keagamaan, pendidikan dan kebudayaan, digambarkan dengan bintang emas bersegi
lima dan sekuntum bunga melati di puncak tugu. Bunga melati dan tugu yang mencapai bintang
menggambarkan rasa sosial dengan pendidikan dan kebudayaan luhur serta ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Bunga melati yang sering digunakan dalam upacara sakral mengandung
nilai seni, budaya dan religius.

• Warna-warna merah putih yang dominan, serta tugu yang tegak, adalah lambang semangat
perjuangan dan kepahlawanan tatanan “mirong” pada hiasan saka guru sebagai hiasan spesifik
Yogyakarta, adalah lambang semangat membangun.

• Sejarah terbentuknya Daerah Istimewa Jogjakarta dilukiskan dengan sayap mengembang


berbulu 9 helai di bagian luar dan 8 helai di bagian dalam, menggambarkan peranan Sri sultan
Hangmengkubuwono IX dan Sri Paku alam VIII, yang pada tanggal 5 September 1945
mengeluarkan amanatnya untuk menggabungkan daerah Kasultanan Jogjakarta dan Kadipaten
Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Jogjakarta.

• Warna hijau tua dan hijau muda, adalah lambang keadaan alam Daerah Istimewa Jogjakarta
dilukiskan dengan karena ada bagian ngarai yang subur dan ada daerah perbukitan yang kering.
• Candrasengkala / Suryasengkala terbaca dalam huruf jawa adalah lambang rasa Suka Ngesthi
Praja, Yogyakarta Trus Mandhiri, yang artinya dengan berjuang penuh rasa optimisme
membangun Daerah Istimewa Jogjakarta untuk tegak selama-lamanya: rasa (6) suka (7) ngesthi
(8) praja (1) tahun jawa 1876, Jogja (5) karta (4) trus (9) mandhiri (1) tahun masehi 1945, yaitu
tahun de facto berdirinya Daerah Istimewa Jogjakarta.

• Tugu yang dilingkari dengan padi dan kapas, adalah lambang persatuan, adil dan makmur.

 Flora dan Fauna


Flora = pohon kepel, Fauna = perkutut

Daerah Tingkatan di DIY

Logo
Jumlah
No Kabupaten/K Kecama Kelurahan/d Luas Kepadat
pendud Lokasi
. ota tan esa (km2) an (/km2)
uk

Kabupaten
1 17 -/75 506,86 911.503 1.798
Bantul

Kabupaten 1.485,3
2 18 -/144 748.119 503,66
Gunungkidul 6

Kabupaten
3 12 1/87 586,27 470.520 802,57
Kulon Progo

Kabupaten 1.093.11
4 17 -/86 574,82 1.901,66
Sleman 0

Kota
5 14 45/- 32,50 636.660 13.340
Yogyakarta

1. Kota Yogyakarta
Slogan : Yogyakarta Berhati Nyaman = bersih, sehat, indah, nyaman dan aman
Makanan khas : kipo, gudeg, bakpia
2. Kabupaten Sleman (kab. Terkaya)
Slogan : Sleman Sembada = sehat, elok dan edi, makmur dan merata, bersih dan berbudaya, damai
dan dinamis, aman dan adil, agamis
Flora : salak pondoh & Fauna : burung punglor
Makanan Khas : jadah tempe, salak
3. Kabupaten Bantul
Slogan : Bantul Projotamansari = produktif, profesional, ijo royo-royo, tertib, aman, sehat, asri.
Flora : sawo kecik & Fauna : burung kuter
Makanan khas : geplak, adrem, peyek undur undur
4. Kabupaten Kulonprogo
Slogan : Kulonprogo Binangun = beriman, indah, nuhoni, aman, nalar, guyub, ulet, dan nyaman
Flora : manggis kalagesing & fauna : burung kacer
Makanan khas : gebleg, tempe benguk, growol
5. Kabupaten Gunungkidul
Slogan : Gunungkidul Handayani = hijau, aman, normatif, dinamis, amal, yakin, asah asih asuh,
nilar tambah indah
Flora : pohon nangka & Fauna : lebah madu
Makanan Khas: gatot, tiwul

 PR !!! Wisata alam dan buatan di masing2 kab/kota di DIY


 PR !!! Bupati dan WaBupati di tiap tiap kabupaten di DIY
 Baca cara membuat makanan khas

BANGUNAN CAGAR BUDAYA


Cagar budaya merupakan warisan budaya berupa kebenaan (bangunan atau tempat) yang memiliki nilai
sejarah dan dilestarikan oleh pemerintah. Lembaga yang bertugas untuk menjaga kelestarian bangunan cagar budaya
adalah BPCB (balai pelestarian cagar budaya). Ciri ciri BCB :

1. Berusia minimal 50 tahun


2. Memiliki arti khusus untuk sejarah, iptek, pendidikan, agama, budaya
3. Pengetahuan (membangun penguatan kepibadian berbangsa dan bernegara)

 PR !!! carilah bangunan cagar budaya (bcb) di jogja beserta alamat

NAMA KECIL SULTAN

1. Sri Sultan HB I = Bendara Raden Mas Sujono


2. Sri Sultan HB II = Gusti Raden Mas Sundara
3. Sri Sultan HB III = Gusti Raden Mas Suraja
4. Sri Sultan HB IV = Gusti Raden Mas Jarot
5. Sri Sultan HB V = Gusti Raden Mas Gatot Menol
6. Sri Sultan HB VI = Gusti Raden Mas Mustojo
7. Sri Sultan HB VII = Gusti Raden Mas Murtejo
8. Sri Sultan HB VIII = Gusti Raden Mas Sujadi
9. Sri Sultan HB IX = Gusti Raden Mas Darojatun / Menir Hengki
10. Sri Sultan HB X = Bendara Raden Mas Herjuna Darpito

*Nb : Bendara = anak dari selir & Gusti = anak dari permaisuri
*Nb : PR ditulis dibuku materi.

KOTA YOGYAKARTA
Kota Yogyakarta (Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta) adalah sebuah kota besar di
Indonesia. Kota ini pernah menjadi ibukota Indonesia pada masa revolusi. Selain itu kota ini
juga menjadi Ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku
Buwana X dan Paku Alam IX.
Makanan khas kota ini adalah gudeg. Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, karena hampir
20% penduduk produktifnya adalah pelajar.Jogja merupakan kota yang diwarnai dinamika
pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia.

Motto : Mangayu Hayuning Bawono . (cita—cita menyempurnakan masyarakat)

Walikota : Haryadi Suyuti (2011-2016) Wakil walikota

Motto : Mangayu Hayuning Bawono Jawa: Cita-cita untuk menyempurnakan


masyarakat

Wilayah  : 32,8 km²

Kecamatan  : 14

Penduduk : 511.744 jiwa (2004)

MISI KOTA YOGYAKARTA

Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan yang berkualitas, Pariwisata yang
berbudaya, pertumbuhan dan pelayanan jasa yang prima, ramah lingkungan serta masyarakat
madani yang dijiwai semangat Mangayu Hayuning Bawana.

MISI KOTA YOGYAKARTA

1. Menjadikan dan mewujudkan lembaga pendidikan formal, non formal dan sumber
daya manusia yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan tehnologi serta kompetitif
dalam rangka mengembangkan pendidikan yang berkualitas.
2. Menjadikan dan mewujudkan pariwisata , seni dan budaya sebagai unggulan daerah
dalam rangka mengembangkan kota sebagai kota pariwisata yang berbudaya.
3. Menjadikan dan mewujudkan Kota Yogyakarta sebagai motor penggerak
pertumbuhan dan pelayanan jasa yang prima  untuk wilayah Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan .
4. Menjadikan dan mewujudkan masyarakat yang menyadari arti pentingnya kelestarian
lingkungan yang dijiwai semangat ikut memiliki/handarbeni.
5. Menjadikan dan mewujudkan masyarakat demokrasi yang dijiwai oleh sikap
kebangsaan Indonesia yang berketuhanan, berkemanusiaan yang adil dan beradab,
berkerakyatan dan berkeadilan sosial dengan semangat persatuan dan kesatuan

SEJARAH KOTA YOGYAKARTA


Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13
Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur
Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara
Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi
menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi
diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan
Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar
Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam
kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta
(Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.

Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut
Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat
suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu
dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas
diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad
hutan tadi untuk didirikan Kraton.

Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan
Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan
tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi
dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan

Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai
peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah
Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan
Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi
Tanggal 7 Oktober 1756

Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan
Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu
kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategis
menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu.

Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan
Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil
Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau
mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman
merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18
UUD 1945.

LAMBANG KOTA YOGYAKARTA


Dasar Hukum: Ketetapan DPRD Nomor 2 Tahun 1952 tentang penetapan lambang Kota
Praja Yogyakarta

Makna Lambang :

1. Perbandingan ukuran 18 : 25 , untuk memperingati tahun permulaan perjuangan


Pangeran Diponegoro di Yogyakarta (tahun 1825)
2. Warna Hitam : Simbol Keabadian
o Warna Kuning dan Keemasan : Simbol Keluhuran
o Warna Putih : Simbol Kesucian
o Warna Merah : Simbol Keberanian
o Warna Hijau : Simbol Kemakmuran
3. Mangayu Hayuning Bawono : Cita-cita untuk menyempurnakan masyarakat
4. Bintang Emas : Cita-cita kesejahteraan yang dapat dicapai dengan usaha dibidang
kemakmuran
o  Padi dan kapas: Jalan yang ditempuh dalam usaha kemakmuran pangan dan
sandang
5. Perisai : Lambang Pertahanan
6. Tugu : Ciri khas Kota Yogyakarta
7. Dua sayap : Lambang kekuatan yang harus seimbang
8. Gunungan : Lambang kebudayaan
o Beringin Kurung : Lambang Kerakyatan
o Banteng : Lambang semangat keberanian
o Keris : Lambang perjuangan
9. Terdapat dua sengkala
o Gunaning Keris Anggatra Kota Praja : Tahun 1953 merupakan tahun
permulaan pemakaian Lambang Kota Yogyakarta
o Warna Hasta Samadyaning Kotapraja : Tahun 1884

FLORA DAN FAUNA

Kelapa Gading (Cocos Nuciferal vv.Gading)

Keberadaan kelapa gading begitu melekat pada kehidupan


masyarakat Yogyakarta, karena dikenal sebagai tanaman raja
serta memppunyai nilai filosofis dan budaya yang sangat tinggi, sebagai kelngkapan pada upacara
tradisional/ religius, mempunyai makna simbolis dan berguna sebagai obat.

Burung Tekukur (Streptoplia Chinensis Tigrina)


Burung tekukur dengan suara merdu dan sosok tubuh yang
indah mampu memberikan suasana kedamaian bagi yang
mendengar, menjadi kesayangan para pangeran lingkungan
kraton.  Dengan mendengar suara burung tekukur
diharapkan orang akan terikat pada Kota Yogyakarta

KONDISI GEOGRAFIS KOTA YOGYAKARTA


Batas-Batas

UTARA : Kabupaten Sleman

SELATAN : Kabupaten Bantul

TIMUR : Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul

BARAT : Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul

Sungai

TIMUR : Sungai Gajah Wong

TENGAH : Sungai Code

BARAT : Sungai Winongo

INSTANSI

Walikota : Haryadi Suyuti


Wakil Walikota : Imam Priyono
Sekretaris Daerah : Titik Sulastri
Kecamatan
 KECAMATAN MANTRIJERON
 KECAMATAN KRATON
 KECAMATAN  MERGANGSAN
 KECAMATAN NGAMPILAN
 KECAMATAN PAKUALAMAN
 KECAMATAN GONDOKUSUMAN
 KECAMATAN WIROBRAJAN
 KECAMATAN GONDOMANAN
 KECAMATAN TEGALREJO
 KECAMATAN JETIS
 KECAMATAN DANUREJAN
 KECAMATAN UMBULHARJO
 KECAMATAN KOTAGEDE
 KECAMATAN GEDONGTENGEN

IMPORTANT PLACE
Balai Kota Yogyakarta : Jalan Kenari No.56
Gedung DPRD Kota Yogyakarta : Jalan Ipda Tut Harsono
Rumah Dinas Walikota : Jalan Kenari (Timur Balai Kota)
Dinas Pendidikan : Jalan Hayam Wuruk no. 11
Taman Pintar : Jalan Pangeran Senopati
Among Raga : Jalan Cendana dan Jalan Kenari
Stadion Mandala Krida : Jalan Gayam dan Jalan Gondosuli
Taman Makam Pahlawan : Jalan Kusumanegara

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

VISI
Bertitik tolak dari kondisi dan potensi diatas, maka visi pembangunan daerah adalah sebagai berikit :
 Terwujudnya pembangunan Regional sebagai wahana menuju pada kondisi Daerah Istimewa
Yogyakarta pada Tahun 2020 sebagai pusat pendidikan, budaya dan Daerah tujuan wisata terkemuka,
dalam lingkung-an masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera lahir batin didukung oleh nilai-nilai
kejuangan dan pemerintah yang bersih dalam pemerintahan yang baik dengan mengembangkan
Ketahanan Sosial Budaya dan sumberdaya berkelanjutan.

Kondisi yang secara bertahap ingin dicapai dengan ditetapkannya visi tersebut, antara lain :
 Terbentuk citra Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wilayah pengem-bangan sosiokultural dan
sosioekonomi yang dinamis dan inovatif, berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi maju serta
moral masyarakat yang berlandaskan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
 Tersedianya lapangan kerja yang memberikan penghasilan yang cukup bagi masyarakat secara adil dan
merata .
 Terciptanya tingkat kesehatan dan gizi masyarakat yang cukup baik, sehingga sumber daya manusia
yang maju, mandiri dan sejahtera dalam lingkungan yang sehat, sehingga dapat diandalkan dalam
persaingan global.
 Terciptanya kondisi yang kondusif bagi partisipasi masyarakat secara luas dalam pembangunan daerah
yang bertumpu pada tata nilai budaya serta sumberdaya yang berkelanjutan, dengan mengembangkan
kerukunan hidup antar komponen masyarakat, baik antara agama, suku dan budaya .
 Terciptanya masyarakat yang menghormati dan menegakkan Hak Azasi Manusia (HAM) dalam segala
aspek kehidupan .
 Terlaksananya pelayanan pemerintah yang handal, effisien dan transparan didalam suasana kehidupan
yang aman dan tentram dalam kerangka otonomi daerah.

MISI
Berdasarkan visi pembangunan serta kondisi daerah yang diharapkan akan terbentuk secara bertahap tersebut
diatas, maka ditetapkan misi pem-bangunan daerah, sebagai berikut :
 Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Pusat Pendidikan Terkemuka di Indonesia yang
didukung oleh masyarakat yang berilmu pe-ngetahuan dan teknologi (IPTEK) tinggi .
 Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Pusat Kebudayaan Terkemuka di Indonesia dengan
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat seba-gai Pusat Budaya, dan bertaqwa (IMTAQ), serta mampu
memilih dan me-nyerap Budaya Modern yang positif dan tetap melestarikan Budaya Daerah .
 Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah otonom yang maju dan didukung oleh
aparatur yang terpercaya, professional, trans-paran dan akuntabel, menuju penyelenggaraan
kepemerintahan yang baik, demokratis dan berlandaskan pada supremasi hukum dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia .
 Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wilayah pembangunan yang terpadu,
komplementatif dan sinergi antar Wilayah dan antar sektor yang efisien dan efektif serta didukung
pelibatan secara langsung dan aktif peran masyarakat dalam pembangunan daerah, melalui ketahanan
social budaya dan ketahanan sumberdaya, yang berwawasan lingkungan, untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
 Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Daerah Tujuan Wisata MICE (Meeting Incentive,
Conference and exibition) utama di Indonesia dan sekaligus mengembalikan posisi DIY sebagai
Daerah Tujuan Wisata kedua setelah Bali, yang didukung posisi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai
simpul strategis dan penting dalam perhubungan dan komunikasi di Pulau Jawa .
 Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Wilayah pengembangan Industri sedang dan kecil
non polutan serta industri rumah tangga modern yang didukung oleh pengembangan teknologi tepat
guna dan sepadan seni daerah dalam rangka mendukung pengembangan pariwisata daerah dan
permintaan pasar global.
 Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wilayah pengembangan pertanian dalam arti luas
(Pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan) yang didukung oleh
berkembangnya perekonomian rakyat yang berkualitas dalam rangka memenuhi tuntutan pasar local,
regional dan global dengan produk Agrobisnis dan Agroindustri yang kompetitif.

SEJARAH
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan, karena
Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran
Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Kadipaten Pakualaman,
berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku
Buwono II) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I.
Baik Kasultanan maupun Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai
kerajaan dengan hak mengatur rumah tangganya sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam
kontrak politik.
Pada saat proklamasi kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam
VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta
dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara RI, serta bergabung menjadi satu,
mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX
dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab
langsung kepada Presiden RI. Pegangan hukumnya adalah :
 
1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII
tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden RI.
2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal
5 September 1945 (yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah).
3. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30
Oktober 1945 (yang dibuat bersama dalam satu naskah).
 
Dari 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara RI,
justru dimasa perjuangan bahkan mengalami saat-saat yang sangat mendebarkan, hampir-
hampir saja Negara RI tamat riwayatnya. Oleh karena itu pemimpin-pemimpin bangsa
Indonesia yang berkumpul dan berjuang di Yogyakarta pada waktu itu mempunyai kenangan
tersendiri terhadap kota Yogyakarta. Apalagi pemuda-pemudanya yang setelah perang
selesai, melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada, sebuah Universitas Negeri yang
pertama didirikan oleh Pemerintah RI, sekaligus menjadi monumen hidup untuk
memperingati perjuangan Yogyakrta.
Pada saat ini Kraton Yogyakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Puro
Pakualaman dipimpin oleh Sri Paduka Paku Alam IX. Keduanya memainkan peran yang
sangat menentukan didalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat-istiadat jawa dan
merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.
Dengan dasar pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, Dewan Perwakilan Rakyat Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk
Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan
Pemerintah-an Daerahnya yang sepatutnya dihormati.
Pasal 18 Undang-undnag Dasar 1945 itu menyatakan bahwa "pembagian Daerah Indonesia
atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem
Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa".
Sesuai dengan latar belakang sejarah berdirinya Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang
bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka keberadaan dan posisi raja-
raja yang berada di Yogyakarta pun berubah karena tidak lagi bersifat politik namun lebih
bersifat sebagai pemimpin dan pengayom di bidang pelestarian kebudayaan. Di Yogyakarta,
terdapat 2 (dua) orang tokoh pemangku adat yang juga merupakan pemimpin di lingkungan
kraton yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam ke IX.
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa mempunyai
sumbangan yang cukup besar dalam memajukan kebudayaan Nasional. Jumlah suku/etnis asli
yang ada cenderung homogen yaitu 1 (satu) yaitu suku Jawa, meskipun demikian karena
sebagai pusat pendidikan, budaya dan pariwisata maka sebetulnya para pendatang yang
berasal dari luar DIY maupun luar Jawa juga banyak berdatangan di DIY. Seiring dengan
jumlah suku/etnis asli hanya 1 (satu) buah, maka bahasa lokal yang digunakan selain bahasa
Indonesia adalah hanya 1 (satu) buah bahasa lokal yaitu bahasa Jawa.

LAMBANG
Lambang Daerah Istimewa Yogyakarta mengandung
makna sebagai berikut :
1. L a n d a s a n I
Maha Esa), tugu dan sayap mengembang (Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab), bulatan-bulatan berwarna merah
dan putih (Persatuan Indonesia), ompak, batu penyangga
saka guru/tugu (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan), dan
padi-kapas (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia).
2. P r o k l a m a s i
kapas dan 45 butir padi.
3. Tata kehidupan gotong royong digambarkan dengan bulatan (golong) dan tugu
berbentuk silinder (gilig).
4. Nilai-nilai keagamaan, pendidikan dan kebudayaan, digambarkan dengan bintang
emas bersegi lima dan sekuntum bunga melati di puncak tugu. Bunga melati dan tugu yang
mencapai bintang menggambarkan rasa susila dengan pendidikan dan kebudayaan luhur serta
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bunga Melati yang sering digunakan dalam
upacara sakral mengandung nilai seni, budaya dan religius.
5. Semangat perjuangan dan kepahlawanan digambarkan dengan warna-warna merah
putih yang dominan, serta tugu yang tegak.
6. Semangat membangun digambarkan dengan tatahan mirong pada luasan soko guru
sebagai luasan spesifik Yogyakarta.
7. Sejarah terbentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta dilukiskan dengan sayap
mengembang berbulu 9 helai di bagian luar dan 8 helai di bagian dalam, menggambarkan
peranan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII, yang pada
tanggal 5 September 1945 mengeluarkan amanatnya untuk menggabungkan daerah
Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta.
8. Keadaan alam Daerah Istimewa Yogyakarta dilukiskan dengan warna hijau tua dan
hijau muda, karena ada bagian ngarai yang subur dan ada daerah perbukitan yang kering.
9. Candrasengkala/Suryasengkala terbaca dalam huruf Jawa : Rasa Suka Ngesthi Praja,
Yogyakarta Trus Mandhiri, yang artinya dengan berjuang penuh rasa optimisme membangun
Daerah Istimewa Yogyakarta untuk tegak selama-lamanya : rasa (6) suka (7) trus (9)
mandhiri (1) tahun Masehi 1945, yaitu tahunde facto berdirinya Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Bersatu, adil dan makmur, dilukiskan dengan tugu tegak yang dilingkari dengan padi dan
kapas. Nilai-nilai peradaban yang luhur digambarkan secara menyeluruh berwujud ukiran,
sungging dan prada yang indah.
Pemikiran band image diawali oleh Sri Sultan pada tahun 2001

Latar Belakang
1. krisis multidimensional sejak beberapa yang silam telah membawa dampak yang
serius terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial. Kondisi ini
menyebabkan investor, trader, dan wisatawan merasa khawatir untuk berkunjung.
Dalam kondisi yang penuh dengan ketidakpastian tersebut, Yogyakarta telah
membuktikan sebagai kawasan yang relatif aman dan damai dengan semangat
keharmonisan (harmony), saling menghormati (respect to each other)dan demokrasi.
Kondisi yang kondusif dan menguntungkan ini harus senantiasa dipelihara
sehingga image  baik tentang Yogyakarta akan terus tertanam dibenak para investor,
pelaku usaha dan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara
2. Yogyakarta perlu secara serius membangun posisi yang jelas (clear
positioning),  kekuatan yang berbeda/khas (strong differentiation)  dan
membangun brand image yang unik (brand image)untuk memenangkan kompetisi
dalam pasar global.
3. Yogyakarta melihat bahwa strategi membangun brand image sangatlah diperlukan,
karenabrand tersebut akan menjadi indikator nilai (value indicator) yang akan
didukung oleh seluruh stakeholder  di Yogyakarta.

Nilai—nilai utama
Yogyakarta dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa yang kaya akan warisan budaya.
Disamping itu, Yogyakarta juga selalu terbuka untuk menerima kebudayaan nasional dan
regional lainnya yang selaras, termasuk budaya global yang positip dan memperkaya
kebudayaannya. Jadi, warisan budaya yang ada secara alami tidak bersifat eksklusif dan
statis, melainkan inklusif dan dinamis dari waktu ke waktu. Yogyakarta juga selalu
mendorong terjadinya dialog, interaksi dan akulturasi dengan dunia luas. Dengan demikian
budaya Yogyakarta akan tumbuh dan berkembang bersamaan dengan proses pewarisan dan
revitalisasi dari generasi ke generasi. Yogyakarta juga mendorong terjadinya proses
modernisasi dan universalisasi mengikuti perkembangan serta kemajuan teknologi. Artinya,
Yogyakarta akan merangkul dunia dan dunia secara antusias disambut di Yogyakarta (Jogja
shall intimately embrace the world will enthusiascally welcome Jogja)

FLORA DAN FAUNA KHAS


Pohon Kepel menjadi kegemaran para putri keraton di Jawa selain lantaran memiliki nilai filosofi
sebagai perlambang kesatuan dan keutuhan mental dan fisik, buah kepel juga dipercaya mempunyai
berbagai khasiat dibidang kecantikan. Buah Kepel telah menjadi deodoran (penghilang bau badan)
bagi para putri keraton. Sayang justru karena itu masyarakat jelata tidak berani menanam pohon ini
sehingga menjadi langka.

Perkutut

DATI II
Kota Yogyakarta (Berhati Nyaman) : Haryadi Suyuti dan Imam
Priyono

Kabupaten Sleman (Sembada) : Sri Purnomo dan Yuni Setia Rahayu

Kabupaten Bantul (Projo Tamansari) : Sri Suryawidati dan Sumarno

Kabupaten Kulonprogo : Hasto Wardoyo dan Sutedjo

Kabupaten Gunungkidul (Handayani) : Badingah dan Imawan Wahyudi

OBYEK WISATA
Objek wisata yang menarik di Jogjakarta: Malioboro, Istana air Taman Sari, Monumen Jogja Kembali, Museum
Keraton, Museum Sonobudoyo, Lereng Merapi, Kaliurang, Pantai Parangtritis, Pantai Baron, Pantai Samas, Goa
Selarong, candi Prambanan, Candi Sewu, Candi mendut.

 Obyek Wisata Alam

Kabupaten Bantul
Goa Selarong, Pantai Pandansimo, Pantai Pandanpayung, Pantai Samas, Gunung Pasirlanang, Pantai
Parangtritis, Pantai Parangkusumo, Pantai Parangwedang.

Kabupaten Kulonprogo
Goa Kiskendo, Pegunungan Samigaluh, Gunung Gajah, Sendangsono, Pantai Congot, Pantai Pasir Mendit,
Pantai Dukuh Bayeman, Pantai Palihan, Pantai Glagah, Pantai Dukuh Trukan, Pantai Pandan Segegek

Kabupaten Gunungkidul
Goa Girijati, Goa Langse, Goa Grengseng, Goa Ngluaran, Goa Parang Kencono, Pemandangan Ereng, Gunung
Batur, Gunung Gambar, Lokasi Olahraga Layang Gantung (bukit Kecamatan Pathuk dan Kecamatan
Panggang), Hutan pendidikan Wabagama, Hutan Bunder, Pantai Langkap, Pantai Butuh, pantai Baron, Pantai
Slili, Pantai Krakal, Pantai Sungap, Pantai Wediombo, Pantai Sadeng, Pantai Ngongap

Kabupaten Sleman
Lereng Gunung Merapi

 Obyek Wisata Buatan


Kotamadya Yogyakarta
Benteng Vrederburg, peninggalan-peninggalan kraton seperti Panggung Krapyak, Kraton Pakualaman, Makam
Kotagede

Kabupaten Bantul
Makam Imogiri

Kabupaten Gunungkidul
Situs Sokoliman, Situs Mangunan, Situs Beji, Situs Ngluweng, Candirejo, Candi Risan

Kabupaten Sleman
Candi Gebang, Candi Sambisari, Candi Banyunibo, Petilasan Ratu Boko, Candisari Sokogedhug, Candi Ijo,
Candi Prambanan, Candi Kalasan

 Kesenian dan Tradisi


Kotamadya Yogyakarta
Wayang kulit, wayang golek, wayang klitik, wayang wong, kesenian tari, tari klasik, tari modern, seni Tayub,
Ketoprak, Serandul, upacara siraman pusaka kraton, upacara Sekaten, kuda lumping

Kabupaten Bantul
Obyek wisata kesenian dan tradisi Jathilan, Gejok Lesung, Kethoprak, upacara Rebo Wekasan, upacara Kupatan
Jolosutro, upacara labuhan

Kabupaten Kulonprogo
Upacara adat Labuhan (oleh keluarga Pakualaman)

Kabupaten Gunungkidul
Jathilan, Gejog Lesung, Reyok, Kethoprak, Upacara Rebo Wekasan, upacara Kupaten Jolosutro, upacara
Labuhan, upacara Bersih Telaga

Kabupaten Sleman
Kesenian Angguk, Jathilan, Badui, Wayang Kulit

 Peninggalan Sejarah Perjuangan dan Monumen


Petilasan Sunan Kalijogo, Petilasan Ki Ageng Pemanahan, Monumen Gelaran, Monumen Stasiun Radio AURI,
Rute Gerilya Jendral Sudirman, Makam Nyi Ageng Serang, Makam Girigondo, Monumen Yogya Kembali.

 Museum
Museum Sonobudoyo, Museum Pangeran Diponegoro Wirotomo, Museum Angkatan Darat, Museum
Perjuangan, Museum Biologi UGM, Museum Khusus Dirgantara, Museum Dewantoro Kirti Griya, Museum
Affandi, Museum Kraton, Benteng Vrederburg.

MAKANAN KHAS
GUDEG

Gudeg adalah makanan khas dari Yogyakarta yang terbuat adri


nangka muda yang dimsak dengan santan. Warna coklat
dihasilkan oleh daun jati. Biasanya gudeg disajikan dengan areh
(santan kental), ayam kampung, telur, tahu, dan sambal goreng
krecek (kulit sapi). Ada tiga variasi : gudeg basah yaitu dengan
areh encer; gudeg kering yaitu dengan areh kental (lebih kental
dari kuah masakan padang ; Gudeg solo yaitu gudeg dengan areh
berwarna putih.

BAKPIA

Bakpia berasal dari kata Bak artinya babi dan Pia artinya kue/roti.
Pada mulanya memang sedemikian adanya, namun denikian
seiring perkembangan zaman isi bakpia lebih variatif. Umumnya
ada isi kacang ijo, coklat, keju dan lain—lain. Sentra bakpia ada
di patuk (sebelah barat malioboro).

YANGKO

Yangko merupakan makanan khas dari daerah kotagede (kota


perak). Makanan ini terbuat dari ketan dibungkus dengan kertas
tipis dan mempunyai aneka rasa buah.

GEPLAK

Geplak merupakan makanan khas bantul. Terbuat dari kelapa


yang diparut dan dicampur tepung beras. Manisnya berasal dari
gula jawa atau gula pasir.

GEBLEK

Geblek dibaca ge-black. Merupakan makanan khas dari kota


wates, kulonprogo. Rasanya empuk, gurih, dan enak.

TIWUL DAN GATHOT


Tiwul dan Gathot merupakan makanan khas dari Gunung Kidul. Merupakan makanan alternatif
pengganti nasi. Terbuat dari gaplek (ketela yang dikeringkan) lalu ditumbuk. Keduanya mempunyai
rasa manis.

GROWOL

Growol merupakan makanan khas Kulonprogo juga yang


terbuat dari singkong. Bedanya dengan gathot dan tiwul adalah
growol terbuat dari singkong yang masih mentah lau direndam
selama 3 hari sehingga baunya bacin.

KIPO

Kipo berasal dari kata iki opo? Merupakan makanan khas dari
kotagede. dibuat dari ketan yang diisi campuran kelapa dan gula
jawa yang kemudian dipanggang. Warna hijau yang dihasilkan
berasal dari daun suji.

TEMPE BENGUK

Tempe Benguk merupakan makanan khas dari kulonprogo.


Bedanya dengan tempe biasa adalah bahan dasarnya dari kacang
koro sehingga ukuran tempe ini relatif besar. Sedangkan proses
lainnya sama dengan tempe biasa.
Bangsal yang ada di Keraton Yogayakarta
1. KOMPLEKS PAGELARAN

 Bangsal Pagelaran
Pada mulanya bangsal ini memiliki julukan Tratag Rambat yang atapnya terbuat dari
anyaman kayu.Pada tahun 1921, bangunan ini oernah dipugar oleh HB VIII.ZPada tanggal 13
Mater 1946-1973 Bangsal Pagelaran pernah dipinjam oleh pihak UGM untuk kegiatan kuliah
 Bangsal Pemandengan
Bangsal ini digunakan oleh sultan dan para panglima perang untuk melihat latihan perang
(Gladi Watangan) Bangsal Pemandengan berjumlah sepasang dan berada di depan mengapit
Bangsal Pagelaran
 Bangsal Pengapit / Pasewakan
Tempat para senopati perang (Manggalayudha) mengadakan pertemuan serta menunggu
perintah langsung dari sultan.Bangsal ini terletak di sisi kanan dan kiri Bangsal Pagelaran.
 Bangsal Pangrawit
Tempat dimana raja melantik patih kerajaan.Mulai tahun 1942, bangsal ini sudah tidak
digunakan lagi dan berada di sebelah kanan dalam Bangsal Pagelaran
 Bangsal Pacikeran
Tempat para abdi dalam (Singonegoro dan Mertalurut) untuk melakukan eksekusi tahanan
keraton.Bangsal ini terletak di sisi kanan dan kiri bagian selatan halaman Bangsal Pagelaran
 Bangsal Siti Hinggil
Berasal dari kata “Siti” yang berarti tanah dan “Hinggil” atau Inggil yang berarti tinggi,
dikarenakan bangunan ini berada lebih tinggi daripada bangunan lainnya di keraton.Berfungsi
sebagai tempat penobatan / pelantikan raja-raja Kesultahan Yogyakarta dan upacara
Pisowanan Agung.Pada tanggal 17 Desember 1949, bangsal ini menajdi saksi penting
pelantikan Presiden Ir.Soekarno sebagai presiden RIS.Pada zaman HB VIII, Bangsal Siti
Hinggil dilakukan pemugaran dan spernah juga digunakan sebagai tempat kuliah UGM (Pada
zaman HB IX).
Di dalam Bangsal Siti Hinggil, terdapat beberapa bangsal seperti Bangsal Manguntur Tangkil
(Sebagai tempat singgasana raja dan konon dapat melihat Tugu Yogyakarta), dan Bangsal
Mitono sebagai tempat menaruh pusaka utama keraton Yogyakarta.
 Balai Bang
Tempat yang digunakan untuk menyimpan gamelan sekaten (Kyai Guntur Madu dan Kyai
Nagawilaga).Bangsak ini terletak di sebelah timur Bangsal Siti Hinggil
 Balai Angun-Angun
Bangsal ini digunakan untuk menyimpan pusaka tombak (Kanjeng Kyai Sura Angu-Angun)
dan berada di sebelah barat Bangsal Siti Hinggil
 Bangsal Kori
 Sebagai tempat jaga Abdi Dalem Kori dan Abdi Dalem Jaksa, serta menyampaikan
permohonan / pengaduan rakyat kepada raja.Bangsal ini berada di kanan dan kiri Tarub
Agung
 Tarub Agung
Digunakan sebagai ruang tunggu para tamu sultan
 Regol Brojo Nolo
Regol yang berarti pintu gerbang berfungsi untuk menghubungkan daerah satu dengan daerah
lainnya di dalam bangsal keraton.Regol Brojo Nolo berfungsi untuk menghubungkan Siti
Hinggil Lor dengan Kamandungan Lor dan berada di selatan halaman Siti Hinggil

2. KOMPLEKS PELATARAN KAMANDUNGAN LOR

 Bangsal Ponco Niti


Bangsal ini digunakan untuk sidang pengadilan keraton, di bagian tengahnya terdapat “Sela
Gilang” sebagaai tempat singgasana raja.Bangsal Ponco Niti berada do tengah halaman
kompleks Kamandungan Lor
 Bangsal Pacaosan
Sebagai tempat jaga Abdi Dalem keraton yang melaksanakan ronda atau “caos”.Berada di sisi
kanan dan kiri Regol Sri Manganti
 Regol Sri Manganti
Sebagai pintu gerbang yang menghubungkan halaman Kamandungan Lor denggan halaman
Sri Manganti, berada di Selatan Bangsal Ponco Niti

3. KOMPLEKS PELATARAN BANGSAL SRI MANGANTI

 Bangsal Sri Manganti


Bangsal ini digunakan untuk menyambut tamu sultan dan berada di sebelah barat halaman Sri
Manganti
 Bangsal Trajumas
Bangsal Trajumas berfungsi sebagai tempat pejabat istana mendampingi sultan saat
menyambut tamu, berada di timur Bangsal Sri Manganti
 Patung Raksasa Dwarapala (membawa gadha)
Terdapat dua patung raksasa antara lain Cingkarabala yang berada di timur depan dan Bala
Upata yang berada di barat depan Regol Dana Pratapa

4. KOMPLEKS HALAMAN BANGSAL KENCANA

 Gedong Purwaretna
Gedung ini baru dibangun pada masa pemerintahan HB V dan digunakan sebagai kantor
pribadi pada masa pemerintahan HB IX.Saat ini Gedung Purwaretna beralih fungsi sebagai
Kantor Kawedanan Hageng Sri Wandawa dan berada di utara Bangsal Kencana
 Gedong Jene (Gedong Kuning)
Gedung ini dibangun oada masa pemerintahan HB II dan sempat menjadi tempat tinggal raja
hingga masa HB IX.Gedong Jene berada di utara Bangsal Prabayeksa
 Bangsal Kencana
Merupakan pusat keraton yang digunakan sebagai singgasana raja sehari-hari dan ketika
upacara penting.Bangsal ini menghadap ke arah timur selatan Gedong Purwaretna
 Bangsal Prabayeksa
Bangsal Prabayeksa atau Gedong Pusaka merupakan tempat yang digunnakan untuk
menyimpan pusaka keraton.Terdapat lampu minyak Kyai Wiji yang dijaga oleh abdi dalem
kerajaan agar tidak padam.Berada di belakang Bangsal Kencana
 Bangsal Manis
Bangsal ini terletak di belakang Bangsal Kencana dan digunakan untuk menyelenggarakan
pesta / jamuan bagi keluarga istana
 Keputren
Sebagai tempat tinggalnya para putri raja yang belum menikah.Terdapat di barat daya
Bangsal Manis
 Masjid Panepen
Masjid ini digunnakan sebagai tempat sholat keluarga kerajaan dan para abdi dalem serta
tempat menyelenggarakan ijab qobul pernikahan bagi putra-putri sultan.Berada di barat
Gedong Jene
 Keraton Kilen
Ialah tempat tinggal resmi HB X beserta keluarga, berada di tengah kompleks ini (ujung
sebelah barat / kilen )
 Gedong Kantor Parintah Hageng
Kantor pejabat keraton yang memiliki wewenang untuk menyampaikan perintah sultan oada
seluruh abdi dalem keraton.Berada di timur laut Bangsal Mandala Sana
 Bangsal Mandala Sana
Merupakan tempat pentas bagi para pemain musik keraton ketika ada acara penting dan
berada di utara Bangsal Kotak
 Bangsal Kotak
Sebagai tempat para penari keraton untuk menunggu giliran pementasan.Bangsal ini
berjumlah sepasang serta berada di sisi kanan dan kiri depan Bangsal Kencana
 Gedong Gongso
Gedung ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan gamelan keraton dan dimainkan saat ada
tamu kerajaan datang.Berada di timur Bangsal Kencana
 Kasatriyan
Sebagai tempat tinggal para putra sultan yang belum menikah, berada di timur Gedong
Gongso
 Gedong Kaca
Merupakan bangunan baru yang berfungsi sebagai museum HB IX, berada di timur Gedong
Danartapura
 Gedong Danartapura
Merupakan kantor bendahara keraton.Gedong ini berada di timur Gedong Patehan
 Gedong Patehan
Tempat para Abdi Dalem istana membuat minuman untuk keluarga raja, berada di samoing
barat Gedong Danartapura
 Regol Kamagangan
Pintu gerbang yang menghubungkan Bangsal Kencana dengan halaman Kamagangan

5. KOMPLEKS HALAMAN KAMAGANGAN

 Bangsal Kamagangan
Sebagai tempat penyelenggaraan Bedol Songsong (Pagelaran wayang kulit semalam suntuk)
dan ditonton oleh sultan di Sela Gilang, berada di selatan Regol Kamagangan
 Panti Pareden
Bangunan ini digunakan untuk membuat gunungan sekaten.Terdapat dua bangunan yang
berada di sudut tenggara dan barat daya Bangsal Kamagangan
 Regol Gadung Mlati
Pintu gerbang yang menghubungkan halaman Kamagangan dengan halaman Kamandungan
Kidul, berada di selatan halaman Kamagangan

6. KOMPLEKS HALAMAN KAMANDUNGAN KIDUL

 Bangsal Kamandungan
Berada di tengah halaman Kamandungan Kidul
 Bangsal Pacaosan
Digunakan sebagai tempat jaga Abdi Dalem yang sedang melaksanakan tugas ronda, berada
di kanan dan kiri bagian utara halaman Kamandungan Kidul
 Regol Kamandungan
Sebagai pintu gerbang yang menguhubungkan Kamandungan Kidul denggan Halaman Siti
Hinggil Kidul, berada di Selatan Halaman Kamandungan Kidul

7. KOMPLEKS HALAMAN SITI HINGGIL KIDUL


 Bangsal Sasana Hinggil
Pernah mengalami pemugaran pada masa pemerintahan HB IX tahun 1956, memperingati
200 tahun berdirinya Keraton Yogyakarta (Sasana Hinggil Dwi Abad, setelah
dipugar).Bangunan ini mengahadap selatan bagian utara Alun-Alun Kidul

Pertempuran Kotabaru
 Pertempuran Kotabaru terjadi pada tanggal 7 Oktober 1945
 Berawal dari keinginan BKR untuk mengusir Jepang yang masih berada di Kotabaru dan
merebut gudang persenjataan yang bermarkas di Korem 072 Pamungkas (dekat SMP Negeri 5
)
 Pada tanggal 5 Oktober 1945, para pemuda mengadakan rapat untuk penyerbuan Kotabaru
ini.Mereka berkeinginan untuk melumpuhkan pendudukan Jepang di Kotabaru saat Indonesia
sudah merdeka
 Pada tanggal 6 Oktober 1945, para pemuda melakukan perundingan dengan pihak Jepang
untuk mau menyerahkan senjata secara sukarela.Perundingan tersebut diadakan di dalam
markas Osha Butai di Kotabaru dimana Indonesia diwakilkan oleh Moh.Saleh ( KNI ) dan
Bardosono ( BKR ) sedangkan dari Pihak Jepang diwakilkan oleh Mayor Otsuka
 Dalam perundingan tersebut, Jepang menyatakan jika pelucutan senjata tersebut harus
berdasar pada perintah Jendral Nakamura di Magelang dan mengusulkan agar perundingan ini
dilanjutkan keesokan harinya pukul 10.00 WIB.Namun dikarenakan gagal menemukan jalan
atau buntu, akhirnya perundingan diakhiri dengan suara dentuman meriam pada pukul 20.00
 Beberapa taktik yang pemuda Yogyakarta lakukan sebelum penyerbuan ialah memutus aliran
listrik Kotabaru serta mencegah kereta api masuk ke Kotabaru agar Jepang tidak memiliki
bala bantuan.Banyak pemuda dari luar Yogyakarta yang turut membantu penyerbuan ini
 Pada tanggal 7 Oktober 1945 pukul 03.00 WIB terdengar lagi detuan meriam tanda bahwa
aliran listrik yang mengelilingi markas Jepang sudah dipadamkan.Artinya, para pemuda dan
rakyat Yogyakarta dapat segera menyerbu markas Jepang tersebut dan melakukan
penyerangan secara mendadak
 Mengetahui bahwa kondisi tentara Jepang di Kotabaru sedang kewalahan menghadapi
gencatan senjata, Butaicho Pingit pun segera meminta TKR agar menghentikan perlawanan
agar anak buah Jepang di Kotabaru dapat selamat dari penyerbuan.Namun sayangnya, para
tentara Jepang di Kotabaru tidak ingin menuruti perintah Butaicho Pingit dan tetap
melancarkan serangan balik kepada pemuda Yogyakarta
 Dikarenakan kondisi Jepang yang ulai kewalahan, akhirnya Jepang meminta kontak kepada
TKR agar berdamai dan pihak Indonesia boleh memasuki markas Kotabaru tersebut. Namun,
ketika para pemuda mulai memasuki pintu markas, terjadilah gencatan senjata secara
mendadak dari dalam markas yang menandakan bahwa pihak Jepang telah melancarkan siasat
licik hingga menewaskan 21 orang pemuda dan sekitar 32 orang mengalami luka-luka
 Akibat siasat licik itu, para pejuang Indonesia pun kembali mengamuk.Mereka marah kepada
Jepang yang sudah melancarkan serangan hingga merugikan pihak Indonesia.Akhirnya, para
pemuda pun kembali melakukan penyerbuan melalui selokan saluran air dan berhadapan
langsung dengan Mayor Otsuka dan menginginkan agar Jepang segera menyerah.Pada pukul
10.00 WIB pihak Jepang resmi menyerah dan markas Kotabaru kembali dikuasai Indonesia
 Para pejuang langsung mengibarkan bendera merah putih di markas Kotabaru, menangkap
tentara Jepang yang masih tersisa dan merampas senjatanya.
 Perebutan kekuasaan dari Jepang tersebut semakin meluas dimana R.P Sudarsono memimpin
pelucutan senjata Kaigun di Maguwo dan berhasil mengambil ratusan senjata dan granat serta
15 truk perlengkapan perang milik Jepang.Dengan jatuhya Maguwo ke tangan pemuda,
menandakan kembalinya Yogyakarta di bawah kekuasaan RI
 Setelah penyerbuan Kotabaru berlangsung, KN kumpul di Malioboro untuk memberikan
penghormatan terakhr kepada para pejuang Kotabaru yang telah gugur di medan perang.18
pejuang yang gugur disemayamkan di Bethesda dan dimakamkan di Semaki
 Untuk mengenang jasa para pejuang yang telah gugur, maka para pahlawan tersebut dijadikan
nama jalan di sekitar Kotabaru dan berdasarkan pada Musyawara Pembangunan Kota Praja
( Oktober 1958) , dibangunlah MONUMEN PENYERBUAN Kotabaru di Jln.Wardani dan
Jln.Jegalan, Purwokinanti, Pakualaman
Serangan Umum 1 Maret 1949
Puncak serangan dilakukan dengan seangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1
Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, setelah
terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta. Serangan dilakukan pada kurang lebih pukul 06.00.

Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto dengan tujuan


utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara
Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan.
Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada bulan Desember 1949, TNI
mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan
memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya.
Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang
telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh
daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-
pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda. Puncak serangan dilakukan dengan serangan
umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan
Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan
dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Serangan dilakukan pada kurang
lebih pukul 06.00.
Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah
merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00,
sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol
Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor barat
dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno.
Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan.
TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah
ditentukan semula pasukan TNI mengundurkan diri.

PRAJURIT KERATON
TEMBANG MACAPAT
Tembang Macapat merupakan salah satu kelompok tembang yang sampai saat ini masih
diuri-uri (dilestarikan) oleh orang Jawa. Macapat ada sejak masa-masa akhir kerajaan
Majapahit dan mulai masuknya Islam di tanah jawa. Pada jaman Walisongo tembang
macapat banyak digunakan sebagai media dakwah dalam penyebaran agama Islam di tanah
Jawa. Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali, Madura, dan
Sunda. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin.
Tembang macapat sudah ada sebelum kedatangan Islam, khususnya di Jawa Timur dan Bali.
Menurut pakar budaya jawa Poerbatjaraka dan Zoetmulder (Belanda), macapat sebagai puisi
asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin.
Macapat digolongkan kepada kepada kategori tembang cilik dan juga tembang tengahan.
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru, pada umumnya ditulis
menggunakan metrum macapat. Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam
tembang macapat termasuk Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha.
Banyak tafsir terhadap asal-muasal kata macapat. Ada yang berpendapat berasal dari kata
”mocone papat papat” (membacanya empat empat), ada yang menafsirkan dari kata Maca
Asipat (Membaca sifat manusia), dan ada juga yang berpendapat Janmo Koco Asifat
(cerminan sifat manusia).
Ada sebelas tembang dalam macapat, masing-masing memiliki karakter dan ciri yang
berbeda, dan memiliki aturan-aturan penulisan khusus dalam membuatnya. Aturan khusus
tersebut biasa disebut sebagai wewaton (guru/patokan). Dalam macapat terdapat 3 guru yakni
:
1. Guru gatra (banyaknya jumlah baris dalam satu bait)
2. Guru wilangan (banyaknya suku kata dalam setiap baris)
3. Guru lagu (jatuhnya suara vokal dalam setiap baris/dhong-dhing)

Tembang macapat memiliki makna proses hidup manusia, proses dimana Tuhan memberikan
ruh-Nya, hingga manusia tersebut kembali kepada-Nya. Sifat-sifat manusia sejak lahir hingga
kematiannya digambarkan dengan runtut dalam sebelas tembang macapat.
Tembang macapat dan filosofi :
1. Maskumambang
 Maskumambang menjadi pratanda dimulainya kehidupan manusia di dunia, tembang
macapat ini memberi gambaran tentang janin dalam kandungan ibu ketika sedang
hamil. Arti kata Maskumambang sendiri banyak yang memaknai sebagai emas yang
terapung (emas kumambang).

2. Mijil
 Awal hadirnya manusia di dunia ini digambarkan dalam tembang Mijil yang berarti
seorang anak terlahir dari gua garba Ibu. Kata lain dari mijil dalam bahasa jawa
adalah wijil, wiyos, raras, medal, sulastri yang berarti keluar.
3. Kinanthi
 Kinanthi banyak diyakini berasal dari kata dikanthi-kanthi (diarahkan, dibimbing,
atau didampingi)
4. Sinom
 Dalam bahasa jawa Sinom bisanya digunakan untuk menyebut daun asam yang masih
muda, beberapa kalangan mengartikan Sinom sebagai si enom, isih enom (masih
muda)
5. Asmaradhana
 Macapat Asmaradana merupakan salah satu tembang yang banyak menggambarkan
gejolak asmara yang dialami manusia. Sesuai dengan arti kata, Asmaradana memiliki
makna asmara dan dahana yang berarti api asmara.
6. Gambuh
 Jika merujuk dari Bausastra Jawa, Gambuh berarti kulina (sudah terbiasa), wis lantih
(sudah terlatih), namun ada juga yang memaknai Gambuh sebagai sebuah kecocokan
(dari kata “jumbuh”).
7. Dandhanggula
 Dhandhanggula berasal dari kata dhandhang yang berarti burung gagak yang
melambangkan duka, dan dari kata gula yang terasa manis sebagai lambang suka.
Kebahagiaan dapat dicapai setelah sebuah pasangan dapat melampaui proses suka-
duka dalam berumah tangga.
8. Durma
 Sifat-sifat buruk digambarkan tembang macapat Durma. Durma bagi beberapa
kalangan diartikan sebagai munduring tata krama (mundurnya etika), namun ada juga
yang berpendapat berasal dari kata Derma yang berarti suka berbagi rejeki pada orang
lain.
9. Pangkur
 Pangkur yang juga berarti mungkur (mundur/mengundurkan diri), memberi gambaran
bahwa manusia mempunyai fase dimana ia akan mulai mundur dari kehidupan ragawi
dan menuju kehidupan jiwa atau spiritualnya.
10. Megatruh
 Megatruh merupakan salah satu tembang macapat yang menggambarkan tentang
kondisi maunisa di saat sakaratul maut. Kata megatruh sendiri dipercaya berasal dari
kata megat/pegat (berpisah) dan ruh, yang artinya berpisahnya antara jiwa dan raga.
11. Pocung
 Badan yang telah ditinggalkan oleh ruhnya biasanya akan dirawat dan disucikan
sebelum ia dikembalikan dari asalnya yaitu rahim ibu pertiwi (tanah). Jasad akan
dimandikan dan dibungkus dengan kain mori putih sebagai lambang kesucian.

Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap
pupuh dibagi menjadi beberapa pada.[9] Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama.
Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.
Jumlah padha per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan.
Sementara setiap padha dibagi lagi menjadi larik atau gatra. Sementara setiap larik atau
gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda.

Metrum Gatr I II III IV V VI VII VIII IX X


a
Tembang cilik / Sekar alit
Dhandhanggula 10 10i 10a 8é 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a
Maskumamban 4 12i 6a 8i 8a
g
Sinom 9 8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12
a
Kinanthi 6 8u 8i 8a 8i 8a 8i
Asmarandana 7 8i 8i 8é 8a 7a 8u 8a
Durma 7 12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i
Pangkur 7 8a 11i 8u 7a 12 8a 8i
u
Mijil 6 10i 6o 10é 10i 6i 6u
Pocung 4 12u 6a 8i 12a
Tembang tengahan / Sekar madya
Gambuh 5 7u 10 12i 8u 8o
u
Megatruh 5 12u 8i 8u 8i 8o
Sinom
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada
Arti :

Hidup di jaman edan


Memanglah repot
Mau mengikuti tidak tahan
Tapi jika tidak ikut-ikutan
Tidak mendapat bagian apa2
Akhirnya menderita kelaparan
Namun sudah kehendak Allah
Meskipun orang yang lupa itu bahagia
Namun lebih bahagia lagi
Orang yang selalu ingat dan Waupaca
Dhandhanggula
Yogyanira kang para prajurit
Lamun bisa samya anulada
Kadya nguni caritane
Andelira sang Prabu
Sasrabau ing Maespati
Aran Patih Suwanda
Lalabuhanipun
Kang ginelung tri prakara
Guna kaya purunne kang denantepi
Nuhoni trah utama
Arti :
Seyogyanya para prajurit
Bila dapat semuanya meniru
Seperti masa dahulu
(tentang) andalan sang Prabu
Sasrabau di Maespati
Bernama Patih Suwanda
Jasa-jasanya
Yang dipadukan dalam tiga hal
(yakni) pandai mampu dan berani (itulah) yang ditekuninya
Menepati sifat keturunan (orang) utama
Gambuh
Sekar gambuh ping catur
Kang cinatur polah kang kalantur
Tanpa tutur katula-tula katali
Kadaluwarsa kapatuh
Kapatuh pan dadi awon
Arti :
Tembang gambuh keempat
Yg membicarakan tentang perilaku yg kebablasan
Tanpa nasihat terjerat penderitaan
Terlanjur menjadi kebiasaan
Kebiasaan bisa berakibat buruk

Aja nganti kabanjur


Barang polah ingkang nora jujur
Yen kebanjur sayekti kojur tan becik
Becik ngupayaa iku
Pitutur ingkang sayektos
Arti :
Jangan sampai terlanjur
Bertingkah polah yang tidak jujur
Jika telanjur tentu akan celaka dan tidak baik
Lebih baik berusahalah
(mengikuti) ajaran yang sejati

Asmaradana (slendro pathet 9)


Poma-poma wekas mami
Anak putu aja lena
Aja katungkul uripe
Lan aja duwe kareman
Marang pepaes donya
Siyang dalu dipun emut
Yen urip manggih hantaka

Arti :
Ayo-ayo bersama di perhatikan
Anak dan cucu jangan melupakan
Jangan gagal dalam hidup
Dan jangan punya keinginan
Terhadap indahnya dunia
Siang malam selalu ingat
Bahwa hidup bertemu dengan karma

Mijil
Poma kaki padha dipun eling
Ing pitutur ingong
Sira uga satriya arane
Kudu anteng jatmika ing budi
Wuruh sarta wasis
Samubarang ipun

Arti :
Tingkah laku harus diperhatikan
Pada perkataan dan perbuatan
Bertindak yang adil
Harus berhati-hati dalam bertingkah laku
Berpengetahuan tinggi
Segala-galanya

Kinanthi

Padha gulangen ing kalbu


Ing sasmitha amrih lantip
Aja pijer mangan nendra
Kaprawiran den kaesthi
Pesunen sariranira
Cegahen dhahar lan guling

Arti :

Mari latih dan fahami hati


Agar batin bisa lebih tajam
Jangan cuma makan dan tidur
Watak ksatria haruslah di pelajari
Latihlah tubuh (fisik) kamu
Kurangi makan dan tidur
SEKATEN
Di wilayah Kotamadya Yogyakarta, terdapat upacara adat yang disebut sebagai
Sekaten atau yang lebih dikenal dengan istilah Pasar Malam Perayaan Sekaten karena
sebelum upacara Sekaten diadakan kegiatan pasar malam terlebih dahulu selama satu bulan
penuh. Tradisi yang ada sejak zaman Kerajaan Demak (abad ke-16) ini diadakan setahun
sekali pada bulan Maulud, bulan ke tiga dalam tahun Jawa, dengan mengambil lokasi di
pelataran atau Alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Asal usul istilah Sekaten berkembang dalam beberapa versi. Ada yang berpendapat
bahwa Sekaten berasal dari kata Sekati, yaitu nama dari dua perangkat pusaka Kraton berupa
gamelan yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang ditabuh dalam rangkaian acara peringatan
Maulud Nabi Muhammad SAW. Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata
suka dan ati (suka hati, senang hati) karena orang-orang menyambut hari Maulud tersebut
dengan perasaan syukur dan bahagia dalam perayaan pasar malam di Alun-alun Utara.
Pendapat lain mengatakan bahwa kata Sekaten berasal dari kata syahadataini, dua
kalimat dalam Syahadat Islam, yaitu syahadat aukhid (Asyhadu alla ila-ha-ilallah) yang
berarti "saya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah" dan syahadat rasul (Waasyhadu
anna Muhammadarrosululloh) yang berarti "saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan
Allah".
Upacara Sekaten dianggap sebagai perpaduan antara kegiatan dakwah Islam dan seni.
Pada awal mula penyebaran agama Islam di Jawa, salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan
Kalijaga, mempergunakan kesenian karawitan (gamelan Jawa) untuk memikat masyarakat
luas agar datang untuk menikmati pergelaran karawitan-nya dengan menggunakan dua
perangkat gamelan Kanjeng Kyai Sekati. Di sela-sela pergelaran, dilakukan khotbah dan
pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama
Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat, sebagai pernyataan taat kepada ajaran
agama Islam.
Di kalangan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, muncul keyakinan bahwa dengan
ikut merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang bersangkutan akan mendapat
pahala dari Yang Maha Agung, dan dianugerahi awet muda. Sebagai syarat, mereka harus
menguyah sirih di halaman Masjid Agung Yogyakarta, terutama pada hari pertama
dimulainya perayaan Sekaten. Oleh karena itu, selama perayaan, banyak orang berjualan sirih
dengan ramuannya, nasi gurih beserta lauk-pauknya di halaman Kemandungan, di Alun-alun
Utara atau di depan Masjid Agung Yogyakarta. Bagi para petani, dalam kesempatan ini
memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini,
mereka membeli cambuk untuk dibawa pulang.
Sebelum upacara Sekaten dilaksanakan, diadakan dua macam persiapan, yaitu
persiapan fisik dan spiritual. Persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara
Sekaten, yaitu Gamelan Sekaten, Gendhing Sekaten, sejumlah uang logam, sejumlah bunga
kanthil, busana seragam Sekaten, samir untuk niyaga, dan perlengkapan lainnya, serta naskah
riwayat maulud Nabi Muhammad SAW.
Gamelan Sekaten adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai Sekati
dalam dua rancak, yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu.
Gamelan Sekaten tersebut dibuat oleh Sunan Giri yang ahli dalam kesenian karawitan dan
disebut-sebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali dibuat. Alat pemukulnya
dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau dan untuk dapat menghasilkan bunyi pukulan
yang nyaring dan bening, alat pemukul harus diangkat setinggi dahi sebelum dipuk pada
masing-masing gamelan.
Sedangkan Gendhing Sekaten serangkaian lagu gendhing yang digunakan, yaitu
Rambu pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet
nem, Andong-andong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet
nem, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet em, Muru putih, Orang-aring pathet
nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet nem, Supiatun pathet barang, dan Srundeng
gosong pelog pathet barang.
Untuk persiapan spiritual, dilakukan beberapa waktu menjelang Sekaten. Para abdi
dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara
mempersiapkan mental dan batin untuk mengembang tugas sakral tersebut. Terlebih para
abdi dalem yang bertugas memukul gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan
berpuasa dan siram jamas.
Keramaian Sekaten
Sekaten merupakan pasar malam yang diadakan antara 1 sampai 2 minggu sebelum
acara tradsional Sekaten di alun-alun utara Yogyakarta. Selain berisi penjual makanan dan
minuman, ada beberapa atraksi di perayaan ini. Semuanya bisa dinikmati pengunjung secara
cuma-cuma alias gratis. Keramaian ini merupakan kegiatan awal sebelum acara Sekaten itu
sendiri.
Upacara Sekaten
Penanda Sekaten resmi dibuka saat para abdi dalem Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat mengeluarkan gamelan Kyai Sekati pada tanggal 5 Maulud. Gamelan itu terdiri
atas dua gamelan yaitu Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogowilongo. Keduanya diletakkan di
sisi kiri dan kanan bangsal Ponconiti, Keben. Lalu, mulai dimainkan setelah shalat al Isya.
Pemain gamelan atau biasa disebut niaga wajib mensucikan diri terlebih dulu. Setelah
berpuasa selama 24 jam, mereka ikut kenduri.  Kebiasaan “bersih diri” itu dilakukan para
niaga atas kesadaran pribadi. Bukan “dawuh dalem” atau perintah dari Sri Sultan. Kebiasaan
“bersih diri” itu sekarang mulai jarang dilakukan.
Para niaga memainkan gamelan itu dengan tempo sangat lamban selepas shalat Al-
Isya sampai tengah malam. Sesudahnya, dua korps prajurit Mantrijero dan Ketanggung lalu
memindahkan gamelan tersebut ke kompleks masjid Besar di bangsal Pagongan – yang
disediakan khusus untuk gamelan itu. Letak bangsal itu sendiri ada di sebelah kanan dan kiri
pintu gerbang Masjid Besar.
Biasanya, beberapa anggota masyarakat setia menunggu di halaman Keben. Selain
mereka ingin melihat gamelan Kyai Sekati dari dekat ada penyebaran uang koin yang
dilakukan Udik-Udik atas perintah Sri Sultan. Menurut kepercayaan yang ada di masyarakat,
uang itu bisa membawa keberuntungan bagi yang memperolehnya. Bahkan, ada yang cuma
ingin menikmati euforia atau keriuhan mereka yang berdesak-desakan. Pada malam itu juga,
ada banyak penjual nasi gurih, makanan khas saat Sekaten.
Selain kepercayaan itu, ada juga mitos awet muda. Caranya dengan mengunyah sirih
pas bedug dibunyikan pertama kali. Sedangkan nasi gurih atau nama lainnya nasi wudug
menggantikan makanan dari Arab yang terbuat dari beras dicampur minyak samin. Menurut
salah satu sumber, nasi tersebut merupakan makanan kesukaan Nabi.  Bahkan setiap kali ada
perayaan penghormatan kepada Nabi, dikenal juga sebagai Rasulan, nasi gurih menjadi
hidangan wajib.
Dulu, para puteri Keraton meminta para pelayannya menjual nasi gurih. Uniknya,
mereka yang membeli tidak membayar dengan uang, melainkan mnggunakan potongan
genteng. Dalam bahasa Jawa-nya disebut Wingko.  Pada malam tanggal 5 Maulud, setelah
gamelan Kyai Sekati ada di sebelah kiri dan kanan bangsal Ponconiti,
Setelah berpindah, gamelan itu dimainkan setiap hari kecuali Kamis Petang sampai
Jumat Siang, selama 6 hari 6 malam sesudah sholat Al Isya sampai tengah malam. Lalu,
dimulai lagi sehabis sholat Subuh sampai petang hari lagi.
Tanggal 11 Maulud atau malam terakhir gamelan Kyai Sekati ada komplek Masjid
Besar.  Malam itu disebut juga “Malam Garebeg.” Saat itu sebagian besar anggota
masyarakat berduyun-duyun  ke Alun-Alun Utara. Lalu berkumpul di samping pintu masuk
Pagelaran dan Masjid Besar.
Ketika malam Garebeg Maulud, Sri Sultan berada di Serambi Masjid Besar bersama
Pangeran dan Bupati.  Sri Sultan beserta rombongan berangkat dari pintu gerbang
Srimanganti menuju pintu gerbang Masjid Besar lewat Rotowijayan. Dari pintu masuk, Sri
Sultan belok ke kiri ke bangsal Pagongan Selatan. Di tempat tersebut dilangsungkan upacara
Udik-Udik yang dilakukan Pangeran Tertinggi.
Kyai Pengulu dan stafnya menunggu di Masjid Besar. Upacara Udik-Udik dilakukan
lagi. Bedanya, kali ini Sri Sultan sendiri atau Kyai Pengulu yang melakukannya. Setelah
rampung, Sri Sultan kembali ke masjid Besar. Beliau lalu duduk di serambi sambil
menghadap ke timur. Kyai Pangulu dan stafnya duduk berhadapa muka dengan Sri Sultan.
Para Pangeran dan bupati di sisi selatan. Sedangkan para tamu ada di utara.
Setelah semuanya ada di posisi masing-masing, lalu prosesi pembacaan riwayat hidup
Nabi Muhammad S.A.W. dimulai. Begitu rampung, Sri Sultan dan para pengiring kembali ke
kraton melewati jalan Pagelaran – Sitinggil bersama 2 korps prajurit Mantrijero dan
Ketanggung.
Setelah gamelan Kyai Sekati kembali ke keraton, upacara Sekaten selesai. Meski
begitu, pasar malamnya terus berlangsung sampai seminggu lebih lama. Lalu, esoknya,
tanggal 12 Maulud dilangsungkan upacara Garebeg.
Sekaten
Perayaan/festival Sekaten (ejaan Jawa Latin: sekatèn; hanacaraka: ꧋ꦱꦼꦏꦠꦺꦤ꧀꧉ )
adalah rangkaian kegiatan tahunan sebagai peringatan ulang tahun Nabi Muhammad yang
diadakan oleh keraton Surakarta dan Yogyakarta. Rangkaian perayaan secara resmi
berlangsung dari tanggal 5 dan berakhir pada tanggal 12 Mulud penanggalan Jawa (dapat
disetarakan dengan Rabiul Awal penanggalan Hijriah). Beberapa acara penting perayaan ini
adalah dimainkannya gamelan pusaka di halaman Masjid Agung masing-masing keraton,
pembacaan riwayat hidup Nabi Muhammad dan rangkaian pengajian di serambi Masjid
Agung dan, puncaknya, Garebeg Mulud sebagai bentuk syukur pihak istana dengan
keluarnya sejumlah gunungan untuk diperebutkan oleh masyarakat.
Perayaan ini dimeriahkan pula oleh pasar malam (biasa disebut "Sekatenan") yang
berlangsung selama sekitar 40 hari, dimulai pada awal bulan Sapar (Safar).
Istilah
Kebanyakan pustaka bersepakat bahwa nama "sekaten" adalah adaptasi dari
istilah bahasa Arab, syahadatain, yang berarti "persaksian (syahadat) yang dua". Perluasan
makna dari sekaten dapat dikaitkan dengan istilah Sahutain (menghentikan atau menghindari
perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng), Sakhatain (menghilangkan perkara dua,
yaitu watak hewan dan sifat setan), Sakhotain (menanamkan perkara dua, yaitu selalu
memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada
Tuhan), Sekati(setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik
dan buruk, dan Sekat (batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta
tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan[1]
Perayaan
Menurut Puger (2002), awal mula dan maksud perayaan Sekaten dapat ditarik sejak
mulainya kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa, yaitu zaman Kesultanan Demak[2]. Sekaten
diadakan sebagai salah satu upaya menyiarkan agama Islam. Karena orang Jawa saat itu
menyukai gamelan, pada hari raya Islam yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad di
halaman Masjid Agung Demak dimainkanlah gamelan, sehingga warga masyarakat
berduyun-duyun datang di halaman masjid untuk mendengarkan gamelan dan sekaligus
khutbah-khutbah mengenai keislaman.
Tradisi arak-arakan semacam sekaten, menurut satu cerita rakyat yang digali oleh
Saddhono, telah dilakukan pada masa Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak, sebagai pelanjut
dari "wahyu" kerajaan, mencoba meneruskan tradisi tersebut atas saran dari Wali Sanga[3].
Prosesi
Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan
abdi dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan Jawa Kyai
Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendapa Ponconiti menuju
masjid Agung di Alun-alun Utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo
akan menempati sisi utara dari Masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di
Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan
sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud, selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari
terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton.
Tradisi
Grebeg Muludan
Acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan
pada tanggal 12 (persis pada hari ulang tahun Nabi Muhammad) mulai jam 08.00 hingga
10.00 WIB. Dengan dikawal oleh 10 macam bregada (kompi) prajurit Kraton: Wirabraja,
Dhaheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrijero,
Surakarsa, dan Bugis. Sebuah gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan, dan buah-
buahan serta sayur-sayuan akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan
Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah didoakan, gunungan yang melambangkan
kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa
bagian dari gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian gunungan yang
dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka
menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.
Numplak Wajik
Dua hari sebelum acara Grebeg Muludan, suatu upacara Numplak Wajik diadakan di
halaman istana Magangan pada jam 16.00. Upacara ini berupa kotekan atau permainan lagu
dengan memakai kentongan, lumpang (alat untuk menumbuk padi), dan semacamnya yang
menandai awal dari pembuatan gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg
Muludan nantinya. Lagu-lagu yang dimainkan dalam acara Numplak Wajik ini adalah
lagu Jawa populer seperti: Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal awil, atau lagu-lagu rakyat
lainnya.
Pakaian Keprajuritan
Kasultanan Yogyakarta
Pakaian keprajuritan telah
dikenal dalam sejarah Kasultanan
Yogyakarta sejak Pangeran
Mangkubumi masih berperang
melawan pemerintah VOC (Kompeni
Belanda). Pakaian keprajuritan ini
kemudian berubah dari waktu ke waktu
hingga yang kita kenal saat ini. 

Pakaian perang Pangeran Mangkubumi berupa semacam seragam, celana


dan bebed (kain yang menutup badan bagian bawah dan kaki), baju sikepan (baju luar yang
dipakai saat membawa senjata), udheng atau ikat kepala, sebilah keris yang diselipkan dalam
sabuk, dan satu buah keris lagi yang digantungkan pada sabuk.

Pakaian Prajurit pada Awal Kesultanan

Gubernur VOC Nicolaas Hartingh pernah mendeskripsikan pakaian yang dikenakan


Pangeran Mangkubumi saat pertemuan pribadi mereka di Pedagangan, Grobogan, saat
mereka menegosiasikan tuntutan Pangeran Mangkubumi atas bumi Mataram. Pangeran
Mangkubumi menggunakan pakaian putih dan kain, memakai dua keris, tutup kepala ulama
yang dibalut dengan ikat kepala
linen halus berjahit benang
emas. Para pengiring Pangeran
Mangkubumi juga mengenakan
pakaian yang mirip.

Deskripsi mengenai
pakaian yang dikenakan
Pangeran Mangkubumi dalam
berperang menunjukkan bahwa
pakaian keprajuritan pada awal
Kasultanan Yogyakarta telah
dipengaruhi oleh kebudayaan
Islam. Namun menilik beberapa
lukisan tentang prajurit Jawa pada masa-masa awal Kasultanan Yogyakarta, tidak dapat
dikatakan bahwa corak Islam ada dalam tiap seragam prajurit.
Masuknya Pengaruh Eropa pada Pakaian Prajurit Keraton Yogyakarta

Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana IV (1816-1823), desain Eropa mulai dipakai
pada pakaian prajurit keraton. Hal ini bersamaan dengan diterimanya pengaruh-pengaruh
Eropa pada beberapa hal, termasuk pemberian pangkat Mayor Jenderal tituler pada Sultan
yang berkuasa.

Selepas kekalahan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830), pemerintah


Hindia Belanda memangkas kemampuan militer Kasultanan Yogyakarta hingga prajurit
keraton hanya berfungsi sebagai kesatuan pengawal istana dan upacara keraton saja. Mulai
masa inilah pakaian prajurit keraton berkembang menjadi yang dikenal sekarang. Saat ini kita
melihat unsur-unsur Eropa tersebut diselipkan secara bijak dalam bentuk kaos kaki, sepatu,
maupun topi.

Makna Warna pada Pakaian Prajurit Keraton

Desain dari pakaian prajurit keraton tidak sekadar mengejar keindahan semata. Mulai
warna hingga motif kain memiliki muatan filosofisnya sendiri. Dalam dunia simbolik Jawa
terdapat istilah mancapat dan mancawarna. Segala sesuatu dalam dunia dibagi ke dalam
empat bagian yang tersebar seusai arah mata angin, dan satu lagi bagian di tengah sebagai
pusatnya. Begitu juga dengan empat macam nafsu manusia, yaitu aluamah, amarah, supiyah,
dan mutmainah. Keempat nafsu ini kemudian diwujudkan dalam empat macam warna, yaitu
warna hitam, merah, kuning, dan putih. 

Warna hitam terletak di utara. Warna merah berada di selatan. Warna putih di timur.
Warna kuning bertempat di barat. Sedang sebagai pusat adalah perpaduan berbagai warna
tersebut. Masing-masing warna tersebut memiliki asosiasi dengan berbagai macam hal.
Seperti sifat, benda-benda, maupun titah alus.

Pada pakaian prajurit keraton, warna-warna ini juga memiliki makna maupun
asosiasinya masing-masing.

Warna hitam digunakan secara dominan pada baju, celana, dan topi Prajurit Bugis,
baju prajurit Prawiratama, baju sebagian Prajurit Nyutra Ireng, dan topi mancungan dari
Prajurit Dhaeng. Warna hitam adalah warna tanah. Dalam masyarakat Jawa, warna ini dapat
diartikan sebagai keabadian dan kekuatan.

Warna wulung, yaitu hitam keunguan, digunakan oleh hampir semua prajurit.


Misalnya untuk blangkon Prajurit Dhaeng atau untuk dodot yang dikombinasikan dengan
warna putih. Warna wulung dekat dengan warna hitam sehingga bermakna sama.

Warna biru digunakan secara terbatas. Misalnya pada kaos kaki


Prajurit Jagakarya, lonthong (sabuk) Prajurit Dhaeng (Jajar Sarageni, Jajar Sarahastra, dan
Prajurit DhaengUngel-ungelan). Makna dari penggunaan biru dekat dengan makna warna
biru yang berkonotasi teduh dan ayom.
Warna hitam dalam mancapat berasosiasi dengan arah utara, besi,
burung dhandang (semacam bangau hitam), lautan nila (warna biru indigo), hari
pasaran Wage, serta Dewa Wisnu. Warna ini merupakan perwujudan dari nafsu aluamah,
yaitu nafsu yang dasar seperti nafsu untuk makan dan minum.

Warna merah digunakan pada beberapa pasukan.


Prajurit yang paling dominan menggunakan warna
merah adalah Prajurit Wirabraja, yang menggunakan
warna ini pada topi centhung, baju sikepan,
celana, srempang, dan endhong. Prajurit lain yang
juga menggunakan warna merah adalah
Prajurit Dhaeng. Warna merah diterapkan pada
hiasan di depan dada, ujung lengan baju,
serta plisir pada samping celana.

Prajurit Nyutra Abang menggunakan warna merah pada baju tanpa lengan dan celana.
Prajurit Prawiratama menggunakannya sebagai celana. Prajurit Patangpuluh menggunakan
warna merah untuk pelapis baju serta rangkapan baju dan celana. Warna merah juga
digunakan dalam kain cindhe yang dikenakan oleh berbagai pasukan prajurit. Warna jingga
atau oranye digunakan untuk baju dalam Prajurit Jagakarya. Warna ini jarang digunakan dan
sering dimasukkan ke dalam warna merah.

Merah sering dikonotasikan dengan keberanian. Dalam mancapat, warna merah


berasosiasi dengan api, arah selatan, logam swasa (campuran antara emas dan tembaga),
burung wulung, lautan darah, hari pasaran Pahing, serta Dewa Brahma. Warna ini merupakan
perwujudan nafsu amarah, dimana manusia memiliki nafsu untuk bercita-cita hidup
sejahtera, termasuk nafsu untuk memiliki harga diri.

Warna kuning tidak digunakan secara dominan pada prajurit keraton. Warna ini hanya
digunakan sebagai hiasan saja. Warna kuning bermakna keluhuran, ketuhanan, dan
ketentraman.

Warna emas dianggap dekat dengan warna kuning. Warna kuning emas digunakan
misalnya oleh Prajurit Wirabraja untuk plisir pada topi centhung Panji dan plisir pada
baju sikepan Panji. Warna emas digunakan antara lain untuk membedakan
antara Lurah dan Prajurit Jajar. Warna emas adalah lambang kemuliaan dan keagungan.

Warna kuning dalam mancapat berasosiasi dengan udara, arah barat, logam emas,


burung podhang, lautan madu, hari pasaran Pon, serta Dewa Bayu. Warna ini merupakan
perwujudan nafsu supiyah, di mana manusia memiliki cita-cita untuk menikmati keindahan
(lukisan, pemandangan, kecantikan, dll).

Warna putih digunakan oleh hampir semua prajurit dalam berbagai bentuk, terutama
untuk bagian yang sekunder seperti baju rangkap, atau sayak. Pasukan yang menggunakan
warna putih secara dominan adalah Prajurit Dhaeng dan Surakarsa. Kedua pasukan ini
menggunakan warna putih untuk baju dan celana panjang. Sebagian lain yang menggunakan
warna putih untuk celana panjang adalah Prajurit Ketanggung, Prawiratama,
dan Patangpuluh.

Warna putih berdekatan dengan makna dengan kebersihan dan kesucian.


Dalam mancapat, warna putih berasosiasi dengan arah timur, perak, burung kuntul, air,
santan, hari pasaran Legi, serta Dewa Komajaya. Warna ini merupakan perwujudan
nafsu mutmainah, di mana manusia memiliki jiwa yang bersih dan bisa membedakan hal baik
dan hal buruk.

Makna Motif pada Pakaian Prajurit Keraton

Selain dibedakan atas warna, kain yang digunakan untuk bahan dan perlengkapan
pakaian prajurit juga memiliki motif. Motif yang ada antara lain batik, lurik, dan cindhe.

Kain dengan motif batik digunakan oleh para Manggala, Wedana Ageng, Pandhega,


dan Panewu Bugis. Prajurit lain yang mengenakan kain batik adalah Surakarsa. Kain batik
digunakan secara simbolik untuk menunjukkan adanya hirarki. Kain batik dengan ragam
hiasnya yang bervariasi tersebut memiliki lebih banyak makna dan relatif lebih mahal
memiliki lebih banyak makna daripada sekadar kain polos.

Kain dengan motif lurik digunakan sebagai baju luar untuk


Prajurit Jagakarya, Ketanggung, Mantrijero, Patangpuluh, dan Langenastra. Baik
untuk Lurah Parentah maupun untuk Prajurit Jajar. Kain lurik bukanlah kain mahal seperti
batik. Filosofinya juga tidak sesarat kain batik. Kain ini cenderung digunakan untuk pakaian
sehari-hari seperti surjan dan peranakan. Oleh karena itu, makna kain ini cenderung kepada
kesederhanaan, kesetiaan, dan kejujuran.

Motif lurik yang digunakan sebagai pakaian seragam prajurit keraton


dinamakan Lurik Ginggang yang berarti renggang karena antara lajur warna yang sama diisi
oleh lajur warna yang lain. Namun makna yang lebih dalam lagi adalah kesetiaan prajurit
kepada rajanya, serta hubungan antar prajurit jangan sampai ada kerenggangan.

Warna lurik yang mendekati abu-abu melambangkan kasih sayang dan restu raja
terhadap prajurit laksana abu yang tak dapat dibakar oleh api. Meskipun demikian, terdapat
motif lurik yang berbeda di antara prajurit-
prajurit tersebut. Dalam hal ini, perbedaan
motif dapat dianggap bermakna identitas.

Kain dengan motif cindhe digunakan untuk


celana panji-panji, lonthong (misalnya
untuk Manggala, Prajurit Ketanggung,
Prajurit Patangpuluh, dan
Prajurit Mantrijero), serta bara(misalnya
untuk Manggala, Prajurit Patangpuluh, dan
Prajurit Mantrijero). Cindhe merupakan motif kain yang terpengaruh dari India. Penggunaan
motif ini dapat bermakna teknis sebagai aksen dari kain-kain polos dan batik. Biasanya
berdasar warna merah. Penggunaan warna yang cenderung menegaskan makna keberanian
yang disandang oleh para prajurit.

Mengenal Bregada Prajurit Keraton Berdasar Pakaiannya

Dengan mengamati warna dan motif pakaian, prajurit keraton dapat dibedakan dengan
mudah. Prajurit Wirabraja mudah dikenali lewat pakaian yang dominan merah. Termasuk
topinya yang berujung lancip sehingga sering disebut sebagai Prajurit Lombok Abang.

Prajurit Nyutra terbagi dua. Prajurit Nyutra yang memakai baju merah dan yang


memakai baju hitam. Persamaannya adalah kedua prajurit tersebut menggunakan lengan baju
berwarna kuning. Pada masa lalu, warna kuning itu dimunculkan dengan lulur yang langsung
diberikan pada kulit lengan dan kaki prajurit.

Ada dua prajurit yang dapat dikenali lewat pakaiannya yang dominan putih.
Prajurit Surakarsa dan Prajurit Dhaeng. Bedanya adalah Prajurit Dhaeng memiliki hiasan
berwarna merah di dada.

Adapun prajurit yang pakaiannya dominan hitam adalah Prajurit Bugis dan


Prajurit Prawiratama. Bedanya adalah Prajurit Bugis menggunakan topi tinggi berbentuk
silindris.

Ada empat bregada prajurit yang menggunakan pakaian bermotif lurik.


Prajurit Ketanggung, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Mantrijero, dan Prajurit Jagakarya.
Perbedaannya mudah dilihat dari celana dan kaus kaki. Prajurit Ketanggung menggunakan
celana hitam. Prajurit Patangpuluh menggunakan celana merah.
Prajurit Mantrijero dan Jagakaryasama-sama menggunakan celana bermotif lurik, namun
Prajurit Mantrijero menggunakan kaos kaki putih sedang Prajurit Jagakarya menggunakan
kaos kaki hitam/biru tua.

Pakaian prajurit keraton memang telah kehilangan fungsi praktisnya dalam


peperangan. Hal ini sesuai dengan fungsi
prajurit keraton yang sebelumnya sebagai
kesatuan militer berubah menjadi pengawal
kebudayaan. Walau demikian, simbol-
simbol yang diwakili oleh pakaian dan
atribut yang dikenakan oleh prajurit keraton
tidak lantas pudar. Watak ksatria yang
dimiliki oleh prajurit keraton diharapkan
tetap dipegang teguh oleh para prajurit dan
dapat dipancarkan kepada masyarakat yang
lebih luas.
Keberadaan Prajurit Keraton Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari perang antara
Pangeran Mangkubumi melawan VOC (1746-1755). Dalam perang yang disebut juga
sebagai "Perang Mangkubumen" ini, Pangeran Mangkubumi dibantu oleh banyak pihak,
termasuk kerabat dari lingkungan keraton. Di antaranya ada Raden Rangga Prawirasentika,
Pangeran Hadiwijaya, Pangeran Singasari, Pangeran Hangabehi, dan Raden Mas Said.
Beberapa kerabat tersebut memiliki pasukan sendiri yang tentu saja turut serta dalam
perang yang dijalankan oleh pemimpin mereka.

Perang Mangkubumen berakhir dengan disepakatinya Perjanjian Giyanti.


Perjanjian Giyanti menandai pula lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Dengan terbentuknya
kerajaan baru, maka sudah menjadi kewajaran apabila dibentuk pula perangkat untuk
menjalankannya. Abdi Dalem sebagai aparatur sipil, dan prajurit sebagai aparatur militer.
Kesatuan-kesatuan prajurit yang berperang dalam Perang Mangkubumen itulah yang
kemudian menjadi cikal bakal Prajurit Keraton Yogyakarta.

Tidak mengherankan apabila kemudian kekuatan militer Keraton Yogyakarta pada


masa Sri Sultan Hamengku Buwono I tergolong sangat kuat. Sebagai gambaran, pada
tahun 1781, Sri Sultan Hamengku Buwono I mampu memenuhi permintaan bantuan dari
Belanda yang sedang berperang melawan Inggris. Sri Sultan Hamengku Buwono I
mengirim 1132 prajurit ke Batavia. Jumlah itu terdiri dari 1000 prajurit biasa, 100 pasukan
milik Putra Mahkota (Adipati Anom), dan 32 perwira yang terdiri dari para pangeran.

Kekuatan militer Keraton Yogyakarta berkembang lagi pada masa Sri Sultan
Hamengku Buwono II. Sri Sultan Hamengku Buwono II sangat membenci Belanda yang ia
nilai terus merongrong kewibawaan dan kekuasaannya. Karena itu ia terus memperkuat
kekuatan pertahanan sebagai persiapan jika harus berperang.

Keempat sudut benteng dibangun lebih menonjol dan diperlengkapi


dengan bastion (menara pantau) sehingga tampak seperti yang kita kenal saat ini. Meriam-
meriam baru di cor di Gresik, sedang perlengkapannya dikerjakan di pabrik senjata
kerajaan di Kota Gedhe.
Pada 1808, Sri Sultan Hamengku Buwono II memiliki sekitar 1.765 prajurit, 976 di
antaranya menyandang senapan. Semuanya merupakan pengawal pribadi Sultan yang
digaji dalam bentuk tanah dan tinggal sangat dekat dengan keraton.
Selain pasukan istimewa tersebut, Sultan dapat juga mengerahkan pasukan para pejabat
yang disebut sebagai prajurit arahan. Ada sebanyak 7.246 prajurit milik para pangeran
keraton. Sedangkan dari para bupati, Sultan masih bisa mendapatkan 2.126 prajurit lagi.
Dapat dikata, Sultan mampu menghimpun pasukan lebih dari 10.000 prajurit jika
dibutuhkan.

Kesatuan-kesatuan prajurit yang dimiliki keraton saat itu memiliki kekhasannya


masing-masing. Seperti misalnya Prajurit Suronoto, adalah pasukan yang terdiri dari
kelompok pejabat agama bersenjata.

Begitu juga Prajurit Dhaeng, yang berasal dari Sulawesi. Pasukan ini didatangkan


ke Jawa dan menjadi bagian dari kekuatan Raden Mas Said. Awalnya Pangeran
Mangkubumi (yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I) dan Raden Mas
Said bersekutu. Tapi terjadi perselisihan yang berujung pada perceraian Raden Mas Said
dengan istrinya, Ratu Bendara, yang merupakan putri dari Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Raden Mas Said kemudian memulangkan mantan istrinya itu dengan pengawalan
prajurit pilihan yang tidak lain adalah Prajurit Dhaeng. Sesampainya di Keraton
Yogyakarta, rombongan ini disambut dengan sangat baik oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono I. Atas keramahan itu, Prajurit Dhaeng memutuskan tidak pulang dan malah
mengabdi setia kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Ada juga Prajurit Langenkusumo. Kadang disebut juga sebagai


prajurit estri  (perempuan). Prajurit Langenkusumo terdiri dari prajurit perempuan yang
berasal dari anak perempuan pejabat tinggi atau keluarga lapisan atas di pedesaan.
Kemampuan Prajurit Langenkusumo pernah mengundang decak kagum Daendels pada
kunjungannya di tahun 1809. Selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu, ia
disuguhi pertunjukan berupa perang-perangan yang dilakukan empat puluh
anggota Prajurit Langenkusumo di alun-alun selatan. Prajurit-prajurit perempuan tersebut
mampu menunggang kuda dengan begitu tangkas dan mampu menembakkan salvo dengan
sangat baik.
Seperti yang sudah diperhitungkan, ketegangan antara Sri Sultan Hamengku
Buwono II dengan pemerintah kolonial semakin memuncak. Perselisihan ini berakibat
pada penyerbuan tentara Inggris, yang saat itu menguasai Hindia Belanda, ke dalam
Keraton Yogyakarta. Pada tanggal 20 Juni 1812 pertahanan Keraton berhasil dijebol.
Peristiwa ini dikenal dengan Geger Sepehi, yang mengambil nama dari resimen Sepoy asal
India yang direkrut oleh Inggris untuk menyerang Keraton.

Kekalahan Keraton Yogyakarta mengakibatkan Sri Sultan Hamengku Buwono II


turun dari tahta. Posisi Sri Sultan Hamengku Buwono II kemudian digantikan oleh Putra
Mahkota yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono III. Akibat kekalahan ini,
Sultan yang baru terpaksa menandatangi perjanjian yang disodorkan oleh pemerintah
kolonial. Perjanjian tersebut antara lain melarang keraton untuk memiliki pasukan militer
apapun kecuali yang diizinkan oleh pemerintah kolonial. Prajurit Keraton tidak lebih
hanya berfungsi sebagai pengawal Sultan dan penjaga keraton.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV, usaha untuk
melemahkan pertahanan keraton terus dilakukan. Jumlah prajurit dikurangi kembali.
Pemukiman prajurit yang sebelumnya ada di dalam benteng dipindahkan keluar dengan
alasan pemukiman di dalam benteng sudah terlalu padat.

Tak ayal pemindahan prajurit ke luar benteng melemahkan pertahanan keraton.


Menanggapi hal trsebut, Sri Sultan Hamengku Buwono IV kemudian menempatkan
pemukiman baru tersebut mengelilingi keraton sehingga membentuk tapal kuda dari arah
barat, timur, dan selatan. Dengan demikian para prajurit masih bisa segera melindungi
keraton apabila diperlukan.

Dalam masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V, terjadilah perang


terbesar dalam sejarah Pulau Jawa. Perang tersebut dicetuskan oleh Pangeran Diponegoro,
putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III. Oleh karenanya sering disebut sebagai Perang
Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830).

Perang yang sangat luas dan berkepanjangan ini menimbulkan trauma pada pihak
Belanda. Mereka tidak mau lagi ada prajurit yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk
melawan mereka. Sekali lagi terjadi pemangkasan Prajurit Keraton secara besar-besaran.
Jumlah kesatuan prajurit dikurangi separuhnya hingga tinggal tiga belas saja. Pada tiap
kesatuan dilakukan pelucutan senjata hingga kekuatan personil berkurang sampai hanya
tinggal seperempatnya. Prajurit Keraton yang awalnya merupakan penjaga kedaulatan kini
benar-benar hanya berfungsi sebagai prajurit seremonial belaka.

Tatkala sisi militer keraton dipangkas hingga habis, sisi kebudayaan menjadi
berkembang pesat. Pada saat itulah seragam Prajurit Keraton yang sederhana mulai
dikembangkan hingga tampak semarak dan menarik dipandang.

Keadaan ini terus berlanjut hingga sepeninggal Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Gubernur Jenderal Hindia L. Adam mendekati calon raja terpilih, GRM. Dorojatun (yang
kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono IX). Gubernur Adam menyodorkan
kontrak politik yang salah satu pasalnya menginginkan supaya Prajurit Keraton
Yogyakarta diubah sifatnya. Prajurit yang semula hanya bersifat seremonial diangkat
menjadi legiun dan bernaung di bawah panji-panji KNIL, Tentara Kerajaan Hindia
Belanda. Sedang pembinaan dan anggaran pasukan itu diambil dari kas Keraton
Yogyakarta.

GRM. Dorojatun menolak dengan tegas permintaan Gubernur Adam. Selain


memandang hal itu tidak adil, GRM. Dorojatun juga sudah memperhitungkan gerak
serbuan Jepang yang mengarah ke selatan. Besar kemungkinan legiun baru itu akan
dikirim untuk membantu pasukan Belanda melawan Jepang sedangkan Keraton
Yogyakarta tidak bisa berbuat apa-apa.

Perundingan ini terus berlarut sampai Jepang berhasil mengalahkan Belanda di


Jawa. Jepang mengambil alih pemerintahan Hindia Belanda dan menunjuk Sri Sultan
Hamengku Buwono IX sebagai koo (penguasa
daerah) Yogyakarta.

Pada tanggal 1 Agustus 1942, Jepang


mengeluarkan petunjuk yang salah satunya adalah
pembubaran balatentara Kesultanan Yogyakarta. Mulai saat itu, Keraton Yogyakarta
benar-benar tidak lagi mempunyai prajurit.

Ada yang menyatakan pendapat bahwa pembubaran ini sebenarnya taktik dari Sri
Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan tidak mau Prajurit Keraton dipergunakan Jepang
untuk kepentingannya. Hal ini sejalan dengan strategi Sri Sultan Hamengku Buwono IX
yang membangun selokan Mataram agar penduduk Yogyakarta tidak dikerahkan Jepang
untuk melakukan romusha, kerja paksa untuk membangun proyek-proyek militer Jepang.

Prajurit Keraton dihidupkan kembali pada tahun 1970. Keberadaannya


direkonstruksi atas prakarsa BRM. Herjuna Darpita (yang kemudian bergelar Sri Sultan
Hamengku Bawono ka 10), RM. Tirun Marwita, Karebet Sutardi, RM. Mudjanat Tistama,
KRT. Brajanegara, dan RB. Niti Gumito. Kemunculannya didorong oleh penyelenggaraan
karnaval budaya waktu itu.

Dhaeng adalah kesatuan pertama yang dihidupkan kembali.


Kesatuan Dhaeng  dinilai paling menarik karena instrumennya yang ramai sehingga
mampu menarik perhatian masyarakat. Kelengkapan
instrumen Prajurit Dhaeng terdiri dari tambur, seruling,
ketipung, dhodhog, bendhe besar, bendhe kecil, kecer,
dan pui-pui.

Mulai saat itu, satu persatu kesatuan-kesatuan


prajurit yang disebut sebagai bregada mulai dihidupkan
kembali guna melengkapi acara-acara kebudayaan
Keraton. Ada kesatuan-kesatuan yang dihidupkan kembali
namun ada juga yang dilebur menjadi kesatuan baru.
Jumlah keseluruhan terdapat 10 kesatuan (bregada) yang
dipertahankan hingga hari ini. Bregada-bregada Prajurit
Keraton ditempatkan di bawah kepengurusan Tepas Kaprajuritan. Secara struktural
merupakan bagian dari Keraton Yogyakarta, namun para anggota prajuritnya tidak terikat
oleh pangkat dan kedudukan tertentu dalam Keraton.
Keberadaan prajurit ini tidak lagi memiliki fungsi pertahanan. Semata hanya untuk
kegiatan budaya. Dari masa ke masa, keberadaan Prajurit Keraton mengikuti dinamika
zaman. Prajurit yang awalnya berfungsi sebagai penjaga kedaulatan berangsur-angsur telah
berganti fungsi menjadi pengawal kebudayaan.

1. KETHOPRAK
Kethoprak adalah kesenian tradisional di Yogyakarta yang dipentaskan dalam bahasa Jawa.
Bercerita tentang sejarah sampai cerita fantasi dan didahului dengan tembang Jawa. Kostum
dari pemain ketoprak menyesuaikan dengan adegan dan jalan cerita serta selalu diiringi dengan
irama gamelan dan keprak.

2. WAYANG KULIT
Sesuai dengan namanya, wayang kulit biasanya dibuat dari kulit kerbau atau kulit lembu.
Wayang kulit saat ini telah menjadi warisan budaya nasional dan sudah sangat terkenal di dunia
sehingga banyak orang asing yang datang dan mempelajari seni perwayangan. Sampai saat ini
wayang kulit  tetap digemari sebagai tontonan yang menarik, biasanya disajikan semalam
suntuk.

3. WAYANG WONG
Sesuai dengan namanya juga, wayang wong adalah wayang yang diperankan oleh manusia.
Ceritanya juga hampir sama dengan cerita-cerita pada wayang kulit namun dalangnya
disamping sebagai piñata cerita tetapi juga sekaligus sebagai sutradara di atas panggung.

4. WAYANG GOLEK
Berbeda dengan wayang kulit dan wayang wong, wayang golek adalah wayang yang terbuat
dari dari kayu. ceritanya berasal dari kisah Menak. Wayang ini banyak disukai karena gerakan-
gerakan wayang yang didandani seperti manusia ini sangat mirip dengan gerakan orang.

5. JATHILAN
Jathilan adalah tarian yang penarinya menggunakan kuda kepang, Barongan dan dilengkapi
unsur magis. Tarian ini digelar dengan iringan beberapa jenis alat gamelan seperti Saron,
Bende, kendang, Gong, dll.

6. KARAWITAN
Karawitan merupakan musik gamelan tradisional Jawa yang dimainkan oleh sekelompok
Wiyaga dan diiringi oleh nyayian dari Waranggono dan Wiraswara biasanya disebut dengan
‘Uyon-uyon’, sedangkan kalau tanpa diiringi oleh nyayian dari Waranggono atau Wiraswara
disebut dengan ‘Soran’.
7. TARI KREASI BARU
Seni Tari dan seni Karawitan Jawa selalu berkembang dengan munculnya tata gerak tari dan
iram-irama yang baru. Salah seorang perintis tari kreasi baru adalah seniman Bagong
Kusudiarjo, padepokannya terletak di daerah Gunung Sempu, Kabupaten Bantul.

8. SENDRATARI RAMAYANA
Sendratari Ramayana mempunyai keistimewaaan tersendiri karena ceritanya mengisahkan
antara pekerti yang baik (ditokohkan oleh Sri Rama dari negara Ayodyapala) melawan sifat jahat
yang terjelma dalam diri Rahwana (Maharaja angkara murka dari negara Alengka)

Sendaratari Ramayana dipentaskan di Panggung Terbuka Prambanan secara rutin pada


bulan Mei sampai Oktober, masing-masing dalam 4 (empat) episode yaitu :
 Episode satu: Hilangnya Dewi Shinta
 Episode dua: Hanoman Duta
 Episode Ketiga: Kumbokarno Leno atau gugurnya Pahlawan Kumbokarno
 Episode Keempat: Api suci

Apabila ingin menyaksikan ceritera Ramayana secara ringkas (full story), dapat menonton di
Teater Tri Murti Prambanan pada setiap hari selasa, rabu, dan kamis. Bisa juga untuk Anda
yang ingin menonton Sendratari Ramayana di kota Yogyakarta, beberapa tempat yang
menyajikan diantaranya di Jl. Brigjen Katamso (Pura Wisata dan Ndalem Pujokusuman)

9. LANGEN MANDRA WANARA


Langen Mandra Wanara adalah keseniatan yang merupakan perpaduan antara berbagai jenis
tarian, tembang, drama dan irama gamelan adalah salah satu bentuk kesenian tradisional
Yogyakarta. Karakteristik tarian ini adalah para penarinya berdiri dengan lutut atau jengkeng
sambil berdialog dan menyanyi ‘mocopat’. Cerita langen mandra wanara diambil dari kisah
ramayana dengan lebih banyak menampilkan wanara/kera.

1. Museum Sonobudoyo
Mu
seum Sonobudoyo via Instagram/@icadasongo

Museum ini memiliki koleksi yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa terlengkap
setelah Museum Nasional Indonesia. Ada lebih dari 43 ribu benda bersejarah dan
penting. Mulai dari kategori filologi, seni rupa, arkeologi, hingga historika. Di
waktu tertentu, kamu dapat menonton pagelaran wayang. Lokasi tempat wisata
Jogja ini berada di  Jalan Pangurakan No. 6, Ngupasan, Gondomanan. 

2. Museum Affandi
Museum Afandi via Instagram/@voselinda

Museum di Jogja ini bertema seni dan berada di tepi Sungai Gajah Wong. Sesuai
namanya, koleksi yang dipamerkan di sini merupakan karya-karya keren buatan
Affandi. Yaitu maestro seni lukis Indonesia. Area museum dibagi menjadi empat
geleri. Yang pertama menampilkan barang-barang yang sering dipakai oleh
Affandi. Ada juga galeri khusus untuk karya pelukis lain. Untuk menikmatinya,
datang saja langsung ke Jalan Laksda Adisucipto No.167, Caturtunggal, Sleman.

3. Museum Wayang Kekayon


Museum Wayang Kekayon via Instagram/@goten444

Berbagai hal yang berkaitan dengan wayang bisa kamu lihat di museum di
jalan  Jalan Raya Yogya-Wonosari Km. 7. Pembangunannya dimulai tahun 1990
dan menyimpan koleksi wayang dari abad ke-6 hingga abad ke-20. Beberapa di
antaranya ada yang terbuat dari kulit, kayu, kain, hingga kertas.

4. Museum Ullen Sentalu


Museum Ullen Sentalu via Instagram/@arpeni.rahma

Ullen Sentalu berada di Pakem, Kaliurang, Kabupaten Sleman. Destinasi ini


menyimpang barang-barang bersejarah yang berkaitan dengan Kesultanan
Mataram dan penerusnya. Yaitu Kasunanan Surakarta, Kesultanan
Yogyakarta, Praja Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman. Beberapa jenis
dan informasi mengenai batik juga ada di Ullen Sentalu. Bahkan kamu juga bisa
belajar bagaimana sejarah dan cara membatik.

6. Museum Benteng Vredeburg


Benteng Vredeburg via Instagram/@wachintul

Museum ini berada di pusat Kota Jogja, kamu pun bisa sekalian berkunjung saat
ada di Jalan Malioboro. Bangunan buatan Belanda ini menyimpang diorama-
diorama tentang perjuangan rakyat jogja. Beberapa patung hingga koleksi digital
semakin membuat Benteng Vredeburg penuh daya tarik. Selain itu, bangunannya
juga instagenic.

7. Museum Monumen Pahlawan Pancasila


Museum Monumen Pahlawan Pancasila via sahabatmusea.com

Dulunya, tempat ini adalah lokasi terbunuhnya Brigjen Katamso dan Kolonel
Sugiyono oleh gerakan komunis. Untuk menghormati para pahlawan, maka
dibangunlah monumen dan museum. Ada dua buah patung pahlawan revolusi
tersebut, lubang tempat membuang mayat mereka, hingga pakaian dinas yang biasa
dikenakan. Untuk masuk ke sini, kamu tidak perlu membayar tiket masuk.

8. Museum Keraton Ngayogyakarta


Mus
eum Keraton Ngayogyakarta via gudeg.net

Keraton Ngayogyakarta adalah tempat bersejarah. Tahta penerus Mataram


diwariskan secara turun-temurun. Begitu juga dengan adat dan istiadat yang
mengakar menjadi daya tarik bagi wistawan. Area yang dibuka berisi museum
yang menampilkan jejak Sultan Hemngkubuwono IX dan benda-benda keraton
lainnya. Mulai dari foto-foto hingga pakaian kebesaran keraton.

9. Museum Kereta Keraton


Museum Kereta Keraton via GudegNet

Pembangunan museum ini sudah dimulai sejak masa Sultan Hamengkubuwono VII
yang bertahta di Jogja. Lokasinya berada di bagian barat Alun-alun Utara Keraton.
Koleksi yang ada di sini adalah kereta-kereta kesultanan yang umurnya sudah
puluhan hingga ratusan tahun. Biasanya pada tanggal 1 Suro menurut penanggalan
Jawa, diadakan ritual jamansan. Yaitu memandikan kereta-kereta pusaka tersebut.
Salah satu yang tertua adalag Kereta Kenjeng Nyai Jimat yang diproduksi tahun
1750.

10. Museum Batik Yogyakarta


Museum Batik Yogyakarta via Instagram/kumon.green.orchid_lumajang

Batik tak bisa dilepaskan dari budaya Indonesia, terutama masyarakat Jawa. Jogja
sebagai pusat kebudayaan, memiliki ciri khas tersendiri yang nampak pada gaya
dan motif batik. Beberapa informasi dan koleksi mengenai perkembangan batik,
bisa kamu lihat di Museum milik Hadi Nugroho dan R. Ng.Jumima Dewi
Sukaningsih di Jl. Dr. Sutomo 13A Yogyakarta. Selain itu, di sini juga ada
kegiatan pelatihan membatik.

11. Museum Pura Pakualaman


Muse
um Pura Pakualaman via Instagram/@Jogja Empat Roda

Dua kilometer dari Malioboro ada Museum Pura Pakualaman yang diresmukan
pada 29 januari 198. Areanya masih menjadi satu kawasan dengan Keraton
Pakualaman. Sebelum masuk ke museum, kamu akan disambut dengan Gerbang
Regol Wiwara Kusuma. Koleksi yang ada di dalam sini merupakan penginggalan
para raja Pakualaman. Mulai dari Singgasana, keris, hingga payung tanggul naga.

12. Museum Dewantara Kirti Griya


Museu
m Dewantara Kirti Griya via Wikipedia

Ini adalah museum peninggalan dari tokoh pendidikan Indonesia yaitu Ki Hadjar
Dewantara. Bangunannya berupa pendopo dengan bagian dalam menyimpang
barang-barang miliki Bapak Pendidikan Nasional beserta keluarga. Termasuk juga
barang bersejarah Taman Siswa. Di bagian depan pendopo ada patung perunggu Ki
Hadjar Dewantara dengan tulisan Tut Wuri Handayani.

13. Museum Perjuangan Yogyakarta


Museu
m Perjuangan Yogyakarta via Jogja Empat Roda

Letak Museum Perjuangan Yogyakarta berada di Jalan Kolonel Sugiono No. 24


atau sekitar 2 km dari pusat Kota Jogja. Benda yang dipamerkan di sini adalah
patung-patung pahlawan nasional seperti Pangeran Diponegaro dan R.A. Kartini.
Kemudian ada relief yang menceritakan perjuangan bangsa. Yang paling menarik
adalah perlengkapan perang milik para pahwlawan di zaman dulu.

14. Museum Sasmitaloka
M
useum Sasmitaloka via Wikipedia

Museum ini didedikasikan untuk Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Sudirman.


Nama Sasmita sendiri berarti pengingat yang merujuk pada benda-benda untuk
menginang perjuangan dan pengorbanan sang pahlawan. Untuk bangunannya, dulu
sempat digunakan sebagai rumah dinas pejabat keuangan Pura Pakualaman. Di
dalamnya terdapat 14 runagan dengan 599 koleksi berjenis logam, kulit, kayu,
hingga kain.

15. Museum Monumen Yogya Kembali


Museum Monumen Yogya Kembali via rentalmobiljogja.id/

Museum Yogya kembali dibangun sebagai pengingat atas perjuangan


kemderdekaan Indonesia. Yang unik dari tempat ini selain koleksi-koleksinya
adalah bangunan yang berbentuk kerucut. Setiap hari museum yang terletak di
utara Kota Jogja ini, dikunjungi oleh wisatawan yang ingin tahu seperti apa
Indonesia di masa dulu. Informasi sejarah ditampilkan dengan keren melalui relief
hingga diorama.

16. Museum Tembi
Museu
m Tembi via negaranegiri

Museum Tembi dibangun untuk memamerkan kebesaran budaya Jawa. Wisata


yang juga disebut sebagai rumah budaya ini sering menggelar pertunjukan seni.
Mulai dari musik hingga tarian. Kamu bisa melihat perlatan dapur, senjata
tradisional, gamelan, hingga batik dengan motif khas. Kemudian masih ada juga
perpustakaan dengan ribuan naskah.

17. Museum Biologi UGM

Museu
m Biologi UGM via Museum Biologi UGM

Museum yang terletak di Universitas Gadjah Mada Jogaj ini memiliki berbagai
koleksi tentang flora dan fauna. Kamu bisa melihat berbagai herbarium berkurukan
besar. Baik yang basah maupun kering. Ada juga awetan berbagai jenis hewan
hingga kerangkanya. Sebagian besar koleksi Museum Biologi UGM berasal dari
berbagai pelosok Indonesia. Tempat ini dibangun sebagai wahana pendidikan
untuk masyarakat umum.

18. Museum Candi Prambanan

Museu
m Candi Prambanan via Jogja Budaya

Candi Prambanan adalah destinasi wisata Jogja yang terkenal dan memiliki
keindahan istimewa. Di area candi terdapat museum yang menyimpang
peninggalan bersejarah. Bangunannya bergaya tradisional jawa dengan beberapa
ruang koleksi. Proses pembuatan candi pun bisa kamu pelajari di sini. Taman-
taman di sekitar museum juga menawarkan kesejukan.

19. Museum Anak Kolong Tangga


Muse
um Anak Kolong Tangga via 2JogJa.Com

Di Jogja ada museum khusus mainan anak-anak bernama Kolong Langit.


temoatnya begitu asyik dengan dinding bergambar warna-warni. Di sini,
pengunjung bisa melihat-lihat bagimana mainan zaman dulu hingga sekarang. Jadi,
bisa sekalian nostalgia masa kecil.  Contohnya seperti mianan kuda-kudaan yang
terbuat dari kayi buatan tahun 1930.
20. De Mata Trick Eye Museum

D
e Mata Trick Eye Museum via KSMTour.com

Yang satu ini cukup unik dan kekinian. De Mata adalah tempat seru-seruan favorit
anak muda zaman sekarang. Tersedia berbagai macam mural dan gambar tiga
dimensi untuk bergaya. Mulai dari tema alam, olahraga, hewan, super hero, hingga
angka. Lokasinya sendiri berada di XT Square Jogja.

Itulah dua puluh musuem yang ada di Jogja. Sebenarnya masih ada beberapa lagi
yang belum disebutkan dan tidak kalah menarik. Keberadaan museum-museum
tersebut merupakan aset dan harus dijaga kemudian dikenalkan sebagai media
belajar.
Sri Sultan Hamengku Buwono I
Dikenal dengan nama Pangeran Mangkubumi, pendiri dan pembangun Keraton
Yogyakarta ini lahir pada tanggal 5 Agustus 1717 dengan nama Bendara Raden Mas (BRM)
Sujono. Pangeran Mangkubumi merupakan putra Sunan Amangkurat IV melalui garwa
selir yang bernama Mas Ayu Tejawati. Kelak, sebagai peletak dasar budaya Mataram, beliau
akan memberi warna dan ruh tidak hanya bagi lingkungan keraton tetapi seluruh masyarakat
Yogyakarta.
Sedari kecil, BRM Sujono dikenal sangat cakap dalam olah keprajuritan. Beliau mahir
berkuda dan bermain senjata. Selain itu, beliau juga dikenal sangat taat beribadah sembari
tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Budaya Jawa.
Berkat kecakapan itulah, ketika paman beliau yang bernama Mangkubumi meninggal
pada tanggal 27 November 1730, beliau lalu diangkat menjadi Pangeran Lurah. Yaitu
pangeran yang dituakan di antara para putera raja. Kelak, ketika sudah dewasa, beliau juga
menyandang nama yang sama dengan pamannya. BRM Sujono kemudian lebih dikenal
sebagai Pangeran Mangkubumi.
Mengenai ketaatan beribadah Pangeran Mangkubumi secara rinci dikisahkan
dalam Serat Cebolek. Disitu digambarkan mengenai kebiasaan beliau puasa Senin-Kamis,
sholat lima waktu dan juga mengaji Al Quran. Dalam serat ini pula dikisahkan bahwa beliau
gemar mengembara dan mengadakan pendekatan dengan masyarakat, serta memberikan
pertolongan kepada yang lemah.
Sifat beliau ini menghasilkan kesetiaan yang mendalam di antara para pengikutnya.
Pada tahun 1746, ketika mengangkat senjata melawan Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC), Pangeran Mangkubumi memiliki pengikut sebanyak 3000 prajurit. Pada
tahun 1747 jumlahnya meningkat pesat menjadi 13000 prajurit, dimana diantaranya terdapat
2500 prajurit berkuda. Kesetiaan dan kesediaan mengikuti beliau ini kemudian meluas hingga
ke masyarakat umum pada tahun 1750.

Perjuangan atas Bumi Mataram


Era tahun 1740 adalah masa-masa berat bagi bumi Mataram. Pemberontakan
merajalela, dimulai dengan Geger Pacina yang dipimpin oleh Sunan Kuning dibantu
Pangeran Sambernyawa, hingga gerakan-gerakan sporadis yang dipimpin oleh Pangeran
Sambernyawa sendiri pada hari-hari selanjutnya. Akibatnya keraton harus berpindah dari
Kartasura ke Surakarta pada tanggal 17 Februari 1745.
Untuk memadamkan pemberontakan Sambernyawa, Raja Mataram saat itu
-Susuhunan Paku Buwono II mengadakan sayembara yang disambut dan dimenangkan oleh
Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi kemudian bermaksud untuk mengendalikan
pesisir utara Jawa sebagai langkah strategis mengurangi pengaruh VOC di bumi Mataram.
Akan tetapi, akibat penghianatan dan kecurangan yang dilakukan oleh Patih Pringgoloyo
yang didukung VOC, langkah Pangeran Mangkubumi menemui jalan buntu.
Atas dasar peristiwa tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian memutuskan untuk
keluar dari lingkup istana dan memulai serangan terbuka terhadap VOC. Keputusan tersebut
menuai dukungan dari Pangeran Sambernyawa. Bersama Sambernyawa, Pangeran
Mangkubumi berhasil membebaskan beberapa daerah dari cengkeraman VOC.
Di sisi lain, pada akhir tahun 1749, kondisi kesehatan Paku Buwono II semakin
menurun. Belanda memanfaatkan kondisi ini sehingga muncul traktat yang berisi penyerahan
Kerajaan Mataram seluruhnya kepada VOC pada tanggal 16 Desember 1749. Hanya
berselang hari, Paku Buwono II wafat dan kemudian digantikan oleh puteranya Paku Buwono
III. Mengetahui adanya kesepakatan tersebut, maka Pangeran Mangkubumi dan
Sambernyawa semakin sengit bertempur. Akibatnya, garis depan VOC terdesak dan
pasukannya banyak yang tewas. Hanya dalam hitungan bulan, hampir seluruh wilayah
Kerajaan Mataram sudah berada di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi.
Kegagalan menghadapi perjuangan Pangeran Mangkubumi ini mengakibatkan
Gubernur Jawa Utara, Baron van Hohendroff, mengundurkan diri. Selain itu, Gubernur
Jenderal Baron van Imhoff yang berkedudukan di Batavia juga turut merasakan tekanan atas
kekalahan tersebut. Baron van Imhoff kemudian jatuh sakit hingga akhirnya meninggal
dunia. Berikutnya, tampuk kepimpinan Gubernur Jawa Utara yang berkedudukan di
Semarang diserahkan kepada Nicholas Hartingh.
Perubahan kepemimpinan VOC ini membawa perubahan dalam corak penyelesaian
masalahnya. Hartingh yang dikenal supel dan lancar berbahasa Jawa, mendapatkan ide bahwa
untuk menyelesaikan masalah ini hanya bisa didapat dengan cara mendekati Pangeran
Mangkubumi dan menawarkan jalan perdamaian. Sadar bahwa dia tidak bisa melakukannya
sendiri maka Hartingh mengutus seorang keturunan Arab, Syekh Ibrahim atau lebih dikenal
dengan Tuan Sarip Besar, untuk menawarkan jalan perundingan kepada Pangeran
Mangkubumi.
Pada tanggal 23 September 1754, pertemuan antara Hartingh dengan Pangeran
Mangkubumi membuahkan hasil. Kesepakatan yang diperoleh merupakan rancangan awal
perjanjian yang kemudian dikenal sebagai Palihan Nagari. Hasil kesepakatan ini
disampaikan kepada Gubernur Jenderal dan Paku Buwono III. Kata sepakat dari Paku
Buwono III diperoleh pada tanggal 4 November 1754. Kemudian butir-butir kesepakatan
tersebut dituangkan dalam naskah Perjanjian Giyanti. Puncaknya pada tanggal 13 Februari
1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh pihak-pihak terkait.
Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, babak awal Kasultanan Yogyakarta
dimulai. Pada Kemis Pon, 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal 1680 TJ) Pangeran Mangkubumi
dinobatkan sebagai raja pertama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan
Hamengku Buwono I.

Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat


Dalam Babad Nitik Ngayogya, digambarkan mengenai kebijaksanaan dan kearifan
Sultan Hamengku Buwono I. Juga disebutkan mengenai kecerdasan beliau terkait ilmu tata
kota dan arsitektur. Dalam menentukan posisi Keraton Yogyakarta, menurut catatan itu,
beliau mempertimbangkan letak dan keadaan lahan agar berpotensi menyejahterakan dan
memberi keamanan untuk penduduk Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta yang berdiri kokoh hingga saat ini menempati posisi yang sangat
strategis. Terdapat batas-batas alam berupa Kali Code di sebelah timur dan Kali Winongo di
sebelah barat. Di sebelah utara dibatasi oleh Gunung Merapi, sementara di selatan berbatasan
dengan pantai Laut Selatan. Arsitektural Keraton Yogyakarta sendiri sepenuhnya dirancang
oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I yang juga merupakan arsitek Keraton Surakarta. Tidak
hanya tata ruang dan bangunannya, semua hiasan bahkan tumbuh-tumbuhan yang ditanam di
kompleks keraton dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki nilai filosofis, dan spiritual
yang tinggi. Selain kompleks keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono juga membangun
kompleks istana air Taman Sari. Atas hasil karya serta karakter kuat Sri Sultan Hamengku
Buwono I, sejarawan menjuluki beliau sebagai “a great builder”, sejajar dengan Sultan
Agung.
Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I bagi Yogyakarta begitu besar. Beliau
mencetuskan konsep Watak Satriya seperti: Nyawiji (konsentrasi total), greget (semangat
jiwa), sengguh (percaya diri) dan ora mingguh (penuh tanggung jawab). Konsep-konsep
luhur ini menjadi credo atau prinsip bagi Prajurit Keraton, Abdi Dalem, dan juga gerak tari
yang disebut Joged Mataram. Sri Sultan Hamengku Buwono I juga mengajarkan
falsafah golong gilig manunggaling kawula Gusti (hubungan yang erat antara rakyat dengan
raja dan antara umat dengan Tuhan) serta Hamemayu Hayuning Bawono (menjaga
kelestarian alam). Semuanya menjadi nilai-nilai utama yang menjadi pedoman karakter tidak
hanya bagi keraton tetapi juga masyarakat Yogyakarta.
Dalam bidang seni, peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I diantaranya
adalah: Beksan Lawung, Tarian Wayang Wong Lakon Gondowerdaya, Tarian Eteng, dan
seni Wayang Purwo. Gendhing kehormatan raja “Raja Manggala” dan “Tedhak Saking” juga
diciptakan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Sri Sultan Hamengku Buwono I wafat pada tanggal 24 Maret 1792 (1 Ruwah 1718
TJ), dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri. Kelak, pada tanggal 3
November 2006, sebuah negara non kerajaan yang proses kelahirannya sangat lekat dengan
keturunan beliau akan menganugerahi Sri Sultan Hamengku Buwono I sebagai Pahlawan
Nasional atas jasa-jasa dalam memperjuangkan jati diri bangsa
Sri Sultan Hamengku Buwono II
Lahir di lereng Gunung Sindoro pada tanggal 7
Maret 1750 dari permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku
Buwono I, ia diberi nama kecil Raden Mas (RM) Sundoro.
Masa kecilnya dilalui bersama ibunda, Gusti Kanjeng
Ratu (GKR) Kadipaten, di wilayah pengungsian akibat
perang melawan VOC. Situasi tersebut kelak membentuk
karakter yang keras pada diri Sri Sultan Hamengku
Buwono II.

Ketika tiba masa perjanjian Giyanti, dan berlanjut


ke perpindahan keluarga besar Sri Sultan Hamengku
Buwono I ke Keraton Yogyakarta, RM. Sundoro mulai
tinggal di dalam keraton dengan status putera raja.
Semenjak itu pula kecintaan dan kepercayaan Sri Sultan Hamengku Buwono I kepada RM.
Sundoro meningkat. Pada tahun 1758, ketika RM. Sundoro dikhitan, beliau diangkat menjadi
putra mahkota.
Sesungguhnya melalui permaisuri yang pertama, GKR. Kencono, Sri Sultan
Hamengku Buwono I telah menetapkan putera mahkota bahkan sebelum ditandatanganinya
Perjanjian Giyanti. Raden Mas Ento, demikian nama putera mahkota tersebut. Pujangga
keraton menuliskan bahwa sepulang dari perjalanan ke Borobudur, Raden Mas Ento jatuh
sakit dan kemudian meninggal dunia. Oleh karena itu, status putra mahkota kemudian
disematkan kepada RM. Sundoro.
Ketika RM. Sundoro beranjak dewasa, Sri Sultan Hamengku Buwono I berniat
menjodohkannya dengan puteri keraton Kasunanan Surakarta. Melalui pernikahan tersebut,
Sultan Hamengku Buwono I sebenarnya masih menyimpan keinginan untuk menyatukan
Dinasti Mataram yang telah terpecah. Tercatat RM. Sundoro berkunjung ke Surakarta pada
tahun 1763 dan 1765. Upaya perjodohan ini gagal. Puteri Paku Buwono III akhirnya menikah
dengan putera Adipati Mangkunegoro I. Lambat laun, perkembangan masing-masing Keraton
dan Kadipaten menunjukkan situasi yang semakin permanen. Dinasti Mataram semakin sulit
untuk disatukan kembali.
Pada masa muda RM. Sundoro, hubungan Keraton Yogyakarta dengan Surakarta
mengalami ketegangan. Faktor pemicunya adalah batas wilayah yang tidak jelas di antara dua
kerajaan tersebut. Jalan damai yang diupayakan melalui jalur pernikahan antara dua kerajaan
tidak membuahkan hasil. Hingga pada tanggal 26 April 1774, disusun perjanjian Semarang
atas prakarsa Gubernur VOC Van de Burgh. Perjanjian ini memberi batasan tegas pembagian
wilayah sebagai upaya mencegah konflik terulang kembali.
RM. Sundoro dewasa melihat, baik dari Perjanjian Giyanti maupun Perjanjian
Semarang, membuat kekuasaan dan wilayah raja-raja Jawa semakin sempit. Kedua perjanjian
itu lebih menguntungkan VOC karena wilayah kekuasannya justru mengalami perluasan.
Tekanan dari VOC juga semakin mencolok baik ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I
maupun Sunan Paku Buwono III mulai menunjukkan gejala kemerosotan kesehatan.
Semenjak itu pula kebencian RM. Sundoro kepada VOC khususnya dan orang asing
pada umumnya semakin membesar. Akan tetapi, kenyataan ini justru membuat Sri Sultan
Hamengku Buwono I semakin sayang dan menaruh harapan besar agar RM. Sundoro mampu
mempertahankan dan melindungi Yogyakarta dari rongrongan bangsa asing. Hal ini
diwujudkan dengan membuat perayaan atas penetapkan RM. Sundoro sebagai calon pewaris
tahta pada tahun 1785. Peristiwa ini menurut beberapa sejarawan dilakukan oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono I untuk mengabadikan pergantian abad Tahun Jawa (1700) yang
biasanya ditandai dengan peristiwa penting di bumi Jawa.
Dengan status sebagai calon pewaris sah tersebut, RM Sundoro mulai melakukan
gerakan-gerakan perubahan di dalam keraton dan berupaya melindungi Keraton Yogyakarta
terhadap ancaman VOC. Beliau berupaya menggagalkan pembangunan Benteng Rustenburg
inisiatif Komisaris Nicholas Hartingh sejak tahun 1765 dengan cara mengerahkan pekerja
dari keraton untuk membangun tembok baluwarti mengelilingi alun-alun utara dan selatan.
Tak lupa, untuk meningkatkan pertahanan, sebanyak 13 meriam ditempatkan di bagian depan
keraton menghadap ke arah benteng Belanda tersebut.
Sikap anti Belanda ini semakin mewujud setelah penobatannya sebagai Sri Sultan
Hamengku Buwono II pada tanggal 2 April 1792. Beliau menolak tegas permintaan wakil
VOC yang menuntut disejajarkan posisi duduknya di setiap acara pertemuan dengan sultan.
Selain itu, tanpa melibatkan VOC, Sri Sultan Hamengku Buwono II menunjuk sendiri
patihnya untuk menggantikan Danurejo I yang meninggal dunia pada Agustus 1799.
Terjadi banyak peristiwa penting pada periode awal abad ke-19. Sebagai sebuah
perusahaan dagang, VOC bangkrut dan oleh karena itu dibubarkan. Pada saat yang hampir
bersamaan Kerajaan Belanda jatuh ke tangan Napoleon dari Perancis. Bekas wilayah yang
dikuasai VOC kemudian dikendalikan di bawah pemerintah kolonial. Menandai perubahan
tersebut, pada tanggal 14 Januari 1808, Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal
Hindia Belanda di bawah kendali Perancis, menggantikan posisi pimpinan sebelumnya yang
dipegang oleh Albertus Henricus Wiese.
Daendels membuat perubahan mendasar yang menjadikan seluruh kerajaan di bekas
jajahan VOC sebagai bawahan dari Kerajaan Belanda. Oleh karena itu, ia mengharuskan Raja
Jawa tunduk kepada Raja Belanda. Daendels juga mengeluarkan aturan bahwa hak
pengelolaan hutan harus berada di bawah pemerintah kolonial.
Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan tegas menolak semua tatanan baru tersebut.
Hingga di kemudian hari, Daendels sendiri datang ke Yogyakarta membawa 3300 pasukan
untuk menekan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Akibat dari tekanan tersebut, Sultan
Hamengku Buwono II dipaksa turun tahta dan digantikan oleh putra mahkotanya RM. Surojo
sebagai Hamengku Buwono III pada tanggal 31 Desember 1810.
Hamengku Buwono III diharuskan menandatangani kontrak dengan Belanda dengan
syarat-syarat yang memberatkan. Namun perjanjian yang ditandatangani pada Januari 1811
ini tidak sempat dilaksanakan karena keburu Inggris datang dan memukul mundur Belanda.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II untuk mengambil
kembali tahtanya. Beliau menurunkan status Hamengku Buwono III kembali ke posisi
sebelumnya dan mengeksekusi Patih Danurejo II yang didapati terbukti bersekongkol dengan
Daendels.
Sifat keras Sri Sultan Hamengku Buwono II lagi-lagi menempatkan beliau berhadap-
hadapan dengan bangsa asing. Di bawah pimpinan Letnan Gubernur Inggris, Thomas
Stamford Raffles, Keraton Yogyakarta diserang oleh prajurit Sepoy asal India pada tanggal
20 Juni 1812. Akibat gempuran tersebut, keraton diduduki, harta benda termasuk ribuan
karya sastra Jawa dijarah, Sri Sultan Hamengku Buwono II ditangkap dan kemudian
diasingkan ke Pulau Pinang hingga tahun 1815.
Kembalinya Sri Sultan Hamengku Buwono II dari pengasingan ke Pulau Jawa pada
tahun 1815 tidaklah lama. Setelah penyerahan kembali jajahan Belanda oleh Inggris pada
tanggal 9 Agustus 1816, Belanda segera membahas posisi Sri Sultan Hamengku Buwono II
yang dianggap sebagai ancaman besar. Maka pada tangal 10 Januari 1817 Sri Sultan
Hamengku Buwono II dibuang ke Ambon.
Sementara, selama kurun waktu tersebut berlangsung, di Yogyakarta sedang dilanda
kondisi tidak menentu. Sri Sultan Hamengku Buwono III meninggal, kemudian digantikan
oleh putranya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Tidak bertahta cukup lama, Sri
Sultan Hamengku Buwono IV meninggal dan kemudian digantikan oleh putranya yang masih
belia sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono V. Saat itulah kemudian menyusul perlawanan
terbesar sepanjang sejarah pemerintahan Kolonial Belanda, yang dipimpin oleh Pangeran
Diponegoro.
Posisi Sri Sultan Hamengku Buwono II yang kemudian disebut sebagai Sultan Sepuh,
dipahami oleh Belanda bahwa selain menjadi ancaman juga bisa menjadi penengah karena
didengarkan oleh semua kalangan bangsawan istana. Maka diputuskan untuk memulangkan
kembali Sri Sultan Hamengku Buwono II ke Yogyakarta, dan mengangkat kembali sebagai
sultan untuk yang ketiga kalinya pada tanggal 20 September 1826.
Pada periode kepemimpinannya yang ketiga ini, usia senja membuat kesehatan Sri
Sultan Hamengku Buwono II menurun drastis. Pada tanggal 3 Januari 1828 (15 Jumadilakir
1755), Sri Sultan Hamengku Buwono II mangkat karena sakit. Beliau dimakamkan di
Kotagede karena pada saat itu sedang berkecamuk Perang Jawa sehingga tidak
memungkinkan untuk diadakan prosesi hingga Makam Raja-Raja di Imogiri.

Peninggalan Sri Sultan HB II


Sebagaimana Sri Sultan Hamengku Buwono I, Sri Sultan Hamengku Buwono II juga
meninggalkan karya-karya monumental. Mulai dari membentuk korps/satuan keprajuritan
yang dilengkapi dengan perlengkapan dan persenjataan yang lebih baik, hingga membangun
benteng baluwarti yang dilengkapi meriam untuk melindungi keraton dari serangan luar.  
Di bidang sastra beliau mewariskan karya-karya heroik yang berbau pertahanan dan
militer, seperti: Babad Nitik Ngayogya dan Babad Mangkubumi. Dua karya babad ini
menceritakan perjuangan berdirinya Keraton Yogyakarta. Juga karya sastra yang bersifat
fiksi, lahir berkat beliau, di antaranya Serat Baron Sekender dan Serat Suryaraja. Yang
terakhir merupakan karya pustaka yang dijadikan pusaka bagi Keraton Yogyakarta.
Selain itu, beliau juga memerintahkan untuk membuat berbagai bentuk wayang kulit
dengan watak perang dan menggubah wayang orang dengan lakon Jayapusaka. Tokoh utama
dalam lakon tersebut adalah Bima yang begitu tepat menggambarkan watak jujur, keras dan
juga tegas dari Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Sri Sultan Hamengku Buwono III


Beliau memiliki nama kecil Raden Mas (RM)
Surojo, lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Adalah putra
Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan Gusti Kanjeng
Ratu (GKR) Kedhaton. Dalam biografi Tan Jin Sing
disebutkan bahwa beliau adalah orang yang pendiam dan
cenderung mengalah.

Pada usianya yang ke 41, tepatnya Bulan


Desember 1810, terjadi manuver pasukan Belanda ke
Keraton Yogyakarta sebagai buntut perseteruan antara Sri
Sultan Hamengku Buwono II dengan Letnan Gubernur
Jenderal Herman Willem Daendels. Akibat dari
perseteruan ini, Sri Sultan Hamengku Buwono II
dilengserkan dari jabatannya oleh pemerintah kolonial
Belanda.

Saat itulah kemudian RM. Surojo diangkat sebagai Hamengku Buwono III dengan
pangkat regent atau wakil Raja. Sementara itu, Sri Sultan Hemengku Buwono II masih tetap
diijinkan untuk tinggal di dalam keraton dengan sebutan Sultan Sepuh.

Nyaris setahun kemudian, tepatnya 28 Desember 1811, ketika tentara Inggris berhasil
mengalahkan bala tentara Belanda dan merebut tanah Jawa, beliau dilengserkan dari
statusnya dan kembali menjadi putra mahkota. Sri Sultan Hamengku Buwono II kembali naik
tahta.

Bertindak sebagai mediator antara Sri Sultan HB II dengan Inggris adalah Pangeran
Notokusomo, adik Sultan Hamengku Buwono II lain Ibu. Di kemudian hari Pangeran
Notokusumo menjadi sahabat bagi Letnan Gubernur Jenderal Inggris karena pemahamannya
yang tinggi atas sastra dan kebudayaan Jawa.
Pada awalnya Letnan Gubernur Jenderal Inggris mengakui Sri Sultan Hamengku
Buwono II sebagai penguasa sah Kasultanan Yogyakarta, dan mengangkat RM. Surojo
sebagai Adipati Anom. Namun hal ini hanya berselang kurang dari setahun karena sikap
keras Sri Sultan Hamengku Buwono II menjadikan Raffles mencabut dukungannya. Pada
tanggal 21 Juni 1812, Sri Sultan Hamengku Buwono II dilengserkan, dan Adipati Anom
disahkan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono III untuk yang kedua kali.

Pada saat bersamaan dengan pengangkatan Adipati Anom sebagai Hamengku


Buwono III, putra sulungnya dari garwa selirRM. Antawirya diberi gelar Bendara Pangeran
Ario Diponegoro. Alih-alih turut campur dalam urusan istana, Pangeran Diponegoro memilih
untuk tinggal bersama neneknya di desa Tegalrejo (barat laut Keraton Yogyakarta) untuk
mendalami ilmu agama. Sama-sama memiliki sifat yang keras dan tidak mau tunduk kepada
bangsa asing seperti kakeknya -Sri Sultan Hamengku Buwono II, Pangeran Diponegoro
sendiri nantinya mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah Belanda yang dicatat dalam
sejarah pemerintah kolonial sebagai perang yang paling menguras energi dan biaya.

Sejak kedatangan Inggris, peta geopolitik Kasultanan Yogyakarta berubah drastis.


Yogyakarta harus melepaskan Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan untuk
dikuasai Inggris dengan ganti rugi sebesar 100.000 real per tahun. Pada masa ini pula, Sultan
harus menyerahkan 4000 cacah wilayah Adikarto (Kulonprogro) kepada Pangeran
Notokusumo yang kemudian menjadi pangeran merdika (otonom) di dalam Kasultanan
Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam I (1813-1829).
Selain itu, Sultan juga harus menyerahkan 1000 cacah lagi wilayahnya kepada Kapiten Cina
Tan Jin Sing atas bantuan yang diberikan selama Sri Sultan Hamengku Buwono III masih
berkedudukan sebagai putera mahkota. Kelak Sri Sultan Hamengku Buwono III mengangkat
Tan Jin Sing menjadi Bupati Yogyakarta dan memberinya gelar KRT Secadiningrat.

Perubahan penting lainnya yang terjadi akibat campur tangan Inggris pada kurun
waktu ini adalah terkait prajurit keraton. Inggris melarang para raja memiliki kekuatan militer
apapun selain yang diijinkan oleh pemerintah kolonial. Sebagai gantinya, pasukan Inggris
dan Sepoy menjadi resimen utama pengamanan istana. Akibatnya sebanyak lebih dari 9000
prajurit keraton, termasuk yang dari Bugis dan Bali, hidup menderita. Banyak diantara
mereka yang kemudian dimobilisasi oleh Inggris untuk bekerja di perkebunan-perkebunan
milik kolonial di luar Jawa.

Pada tanggal 3 November 1814 (19 Dulkangidah 1741), Sri Sultan Hamengku


Buwono III wafat pada usia 45 tahun. Beliau dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan,
Imogiri. Masa pemerintahannya tercatat hanya berlangsung selama 865 hari. Gusti Raden
Mas (GRM) Ibnu Jarot, anak bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono III dari GKR Kencono
(Ratu Ibu, pasca 1816; Ratu Hageng, pasca 1820), yang telah diangkat sebagai putra mahkota
menjadi penerus ayahnya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV pada usia 10 tahun.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono III


ampung Ketandan, di dekat Jalan Malioboro, yang kini ramai sebagai pusat niaga
serta budaya Tionghoa di Yogyakarta dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono III.
Awalnya kampung tersebut merupakan tempat para pekerja pemungut pajak yang digeluti
oleh pendatang dari Cina. Di sini terdapat sebuah bangunan berloteng yang diperuntukkan
bagi penasehat pribadi Sultan, Tan Jin Sing, seorang kapitan Cina dari Kedu yang mahir
berbagai bahasa.

Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono III juga mendatangkan sebuah kereta kuda
dari Inggris yang dikabarkan konstruksinya tahan peluru. Kereta itu diberi nama Kyai
Mondro Juwolo. Meskipun singkat, masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III
pada saat itu merupakan kurun dimana rakyat Yogyakarta menikmati suasana yang lebih
aman dan makmur.

Sri Sultan Hamengku Buwono IV


Lahir pada tanggal 3 April 1804 dengan nama
kecil Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot, beliau
ditunjuk menjadi putera mahkota saat penobatan ayahnya
sebagai sultan pada tanggal 21 Juni 1812. Tidak lama
berselang, putra Sri Sultan Hamengku Buwono III
dengan permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hageng
ini naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV
pada tanggal 9 November 1814 ketika usianya masih 10
tahun.

Karena usianya yang masih belia, maka


pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV
didampingi oleh wali raja. Salah satu wali raja yang
ditunjuk saat itu adalah Pangeran Notokusumo yang telah
bergelar Paku Alam I. Kedudukannya sebagai wali
ditentukan hingga sultan mencapai akil baligh di usia 16
tahun pada 1820. Walaupun demikian, menjelang penyerahan kekuasaan Inggris ke Belanda
pada tahun 1816, Ibunda Sultan –kemudian disebut Ratu Ibu, dan Patih Danurejo IV lah yang
menjalankan wewenang sebagai wali sultan sehari-hari.
Kedekatan Pangeran Diponegoro dengan adiknya, Sri Sultan Hamengku Buwono IV,
digambarkan seperti Kresna yang mengajari Arjuna. Ketika sang raja dikhitan pada tanggal
22 Maret 1815, Pangeran Diponegoro sendiri yang menutupi mata adiknya dengan kedua
belah tangannya. Kemudian, dalam Kitab Kedung Kebo dan Babad
Ngayogyakarta disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro sangat memperhatikan pendidikan
sang raja. Tidak jarang, dari Tegalrejo Pangeran Diponegoro menemui sultan belia untuk
menceritakan kisah-kisah budi pekerti dari kitab Fatah Al-Mulk dan Raja-Raja khayali Arab
maupun Syiria. Sang pangeran juga sering membacakan naskah-naskah penting seperti Serat
Ambiya, Tajus Salatin, Hikayat Makutha Raja, Serat Menak, Babad Keraton, Arjuna
Sasrabahu, Serat Bratayudha, dan Rama Badra. Untuk mendukung pendidikan sang raja
kecil ini, Ratu Ibu juga menunjuk Kyai Ahmad Ngusman – kepala pasukan Suronatan dan
Letnan Abbas –perwira Sepoy untuk mengajar baca Al Quran dan baca tulis Melayu.

Kedekatan Pangeran Diponegoro dengan keraton mulai renggang ketika Patih


Danurejo IV semakin menancapkan pengaruhnya di Kasultanan. Patih Danurejo IV
mendukung sistem sewa tanah untuk swasta, praktek yang mengakibatkan kesengsaraan bagi
penduduk kasultanan. Belum pernah sebelumnya pengusaha-pengusaha Eropa menjalankan
usaha perkebunan yang besar seperti kopi dan nila hingga pada masa tersebut. Selain itu,
Patih Danurejo IV juga menempatkan saudara-saudaranya di posisi-posisi strategis.
Puncaknya ketegangan antara Pangeran Diponegoro dengan Patih Danurejo IV terjadi
tatkala Garebeg Sawal pada tanggal 12 Juli 1820. Di hadapan Sultan yang sudah mulai
berkuasa secara mandiri itu, Pangeran Diponegoro mencela Patih Danurejo IV yang telah
menyewakan tanah kerajaan di Rejowinangun.

Hanya berselang dua tahun sejak menjalankan pemerintahan secara mandiri, Sri
Sultan Hamengku Buwono IV meninggal dunia. Di hari beliau wafat, 6 Desember 1823
(22 Rabingulawal 1750), Sri Sultan Hamengku Buwono IV masih berusia 19 tahun. Dalam
beberapa catatan disebutkan bahwa beliau meninggal dunia setelah kembali dari kunjungan
ke pesanggrahannya. Maka kemudian nama beliau dikenal sebagai Sultan Seda Besiyar. Sri
Sultan Hamengku Buwono IV dimakamkan di Astana Besiyaran Pajimatan, Imogiri.

Dari pernikahannya dengan sembilan orang istri, Sri Sultan Hamengku Buwono IV
mendapat 18 orang anak. Namun hampir sepertiga dari anak-anaknya meninggal ketika masih
kecil. Yang menjadi penerus kemudian adalah puteranya dari permaisuri GKR
Kencono, Gusti Raden Mas Gatot Menol, yang masih berusia 3 tahun.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono IV


Masa pemerintahan mandiri beliau yang hanya berjalan selama dua tahun membuat
segala kebijakan lebih banyak dikendalikan oleh Ratu Ibu, Patih Danurejo dan Belanda. Oleh
karena itu bisa dimaklumi jika tidak ada karya sastra besar maupun seni yang dihasilkan pada
masa Sri Sultan Hamengku Buwono IV.

Namun demikian, terdapat dua buah kereta yang saat ini ada di Museum Kereta
Keraton Yogyakarta, yaitu Kyai Manik Retnodan Kyai Jolodoro yang merupakan
peninggalan Sultan HB IV. Dua buah kereta kecil tersebut dirancang untuk kebutuhan pesiar
yang sering dilakukan oleh Sri Sultan.
Sri Sultan Hamengku Buwono V
Lahir pada tanggal 20 Januari 1821, putera Sri
Sultan Hamengku Buwono IV dengan Gusti Kanjeng
Ratu (GKR) Kencono ini diberi nama Gusti Raden
Mas (GRM) Gatot Menol. Tahun 1823, ketika
ayahandanya wafat, beliau diangkat menjadi Sri Sultan
Hamengku Buwono V ketika baru menginjak usia 3
tahun. Tumbuh besar dengan perlakuan khusus antara
perasaan iba dan tanggung jawab yang besar seperti
itulah yang membentuk karakter beliau menjadi orang
yang lemah lembut dan sebisa mungkin menghindari
kekerasan.

Dikarenakan usia sultan yang masih sangat belia,


maka dibentuk dewan perwalian untuk mendampingi
tugas-tugas pemerintahan. Anggota dewan perwalian
terdiri atas Ratu Ageng (nenek Sultan, yang juga
permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono III), Ratu Kencono (ibu Sultan, permaisuri Sri
Sultan Hamengku Buwono IV), Pangeran Mangkubumi (putra Sri Sultan Hamengku Buwono
II) dan Pangeran Diponegoro. Para wali itu hanya mempunyai wewenang mengawasi
keuangan keraton, sedangkan pelaksanaan pemerintahan keraton berada di tangan Patih
Danurejo III, di bawah pengawasan residen Belanda. Sama halnya dengan ayah beliau yang
didampingi oleh dewan perwalian, Sri Sultan Hamengku Buwono V memegang kendali
pemerintahan secara penuh pada tahun 1836 ketika usianya menginjak 16 tahun. Masa
kepemimpinannya sempat digantikan sementara oleh kakek buyutnya, Sri Sultan Hamengku
Buwono II pada tahun 1826-1828.

Sejarah mencatat bahwa Perang Jawa -peperangan terbesar yang dialami oleh
pemerintah kolonial akibat perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, terjadi
pada era kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono V. Banyak hal yang mengusik sang
pangeran termasuk semakin banyak tanah-tanah keraton yang disewakan kepada orang
Eropa, tingginya pajak yang ditarik dari masyarakat, munculnya wabah kolera, dan kondisi
gagal panen yang dipandang sangat menyengsarakan. Ditambah sikap pegawai-pegawai
Belanda banyak yang melecehkan keraton dengan memasukkan adat istiadat dan gaya hidup
Eropa. Disebut ‘Perang Jawa’ karena Pangeran Diponegoro berhasil mengobarkan
perlawanan yang menggerakkan hampir seluruh penduduk berbahasa jawa di Pulau Jawa
bagian tengah dan selatan. Semakin besarnya kekuatan Diponegoro didukung pula oleh
kelompok Islam yang terdiri atas para santri yang mengabdi di keraton (Suronatan,
Suryagama), para pelajar dari pesantren-pesantren di wilayah perdikan serta kelompok lain
yang dibawa oleh Kyai Mojo yang menjadi sekutu pangeran.

Perang Jawa telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi Belanda. Selama
dua tahun pertama perang, 6.000 pasukan infanteri serta 1.200 pasukan artileri dan kavaleri
dikerahkan. Bahkan pada tahun 1826 sekitar 2.400 pasukan bantuan datang dari Belanda.
Namun pasukan tersebut tidak bisa langsung diterjunkan ke medan pertempuran karena
kurangnya pengetahuan tentang lapangan dan tantangan iklim. Hingga akhirnya, pada tahun
1827 pemerintah kolonial dibawah pimpinan Jenderal De Kock berhasil mengurung tentara
sang pangeran di wilayah pegunungan sempit antara Sungai Progo dan Sungai Bogowonto di
Kabupaten-Kabupaten Kulon Progo, Kedu Selatan dan Bagelen Timur. Pasukan Pangeran
Diponegoro yang jumlahnya sudah menyusut banyak semakin terkucil dan dapat dikalahkan.

Pada Hari Minggu tanggal 28 Maret 1830, De Kock dengan segala cara berhasil
menangkap Pangeran Diponegoro di Wisma Residen Kedu. Selanjutnya, Pangeran
Diponegoro bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang, kemudian dibawa Batavia
untuk diasingkan di Manado dan berakhir di Makassar hingga wafat pada tanggal 8 Januari
1855.

Dengan berakhirnya Perang Diponegoro, maka berangsur-angsur situasi yang lebih


stabil terjadi di Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono V kemudian lebih mendekatkan
hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintah Hindia-Belanda. Hal ini dilakukan sebagai
taktik perang pasif, yakni melakukan perlawanan tanpa pertumpahan darah. Sri Sultan
Hamengku Buwono V mengharapkan dengan dekatnya Keraton Yogyakarta dengan
pemerintahan Belanda akan ada kerja sama yang saling menguntungkan sehingga
kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara. Selama masa damai di
bawah kepemimpinannya pula, Sri Sultan Hamengku Buwono V kemudian lebih
mencurahkan perhatiannya ke dalam pengembangan seni dan sastra. Banyak karya sastra dan
keris pusaka keraton dibuat atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono V.

Sri Sultan Hamengku Buwono V wafat pada tanggal 5 Juni 1855 (20 Pasa 1783 TJ),
dimakamkan di Astana Besiyaran, Pajimatan Imogiri. Ketika beliau meninggal, permaisuri
pertamanya GKR Kencono tidak berputera. Sementara itu, permaisuri kedua GKR Sekar
Kedhaton yang sedang hamil belum menunjukkan tanda-tanda kelahiran. Maka dari itu tahta
kerajaan kemudian dipegang oleh adik Sri Sultan Hamengkubuwono V, Raden Mas Mustojo,
bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono VI.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono V


Salah satu mahakarya yang lahir di era beliau adalah Serat Makutha Raja. Di
dalamnya memuat tentang prinsip-prinsip dasar menjadi raja yang baik. Dari karya ini dapat
dilihat visi ke depan Sultan Hamengku Buwono V yang sangat memihak kepada rakyat.
Serat Makutho Raja ini pula yang nantinya menjadi pedoman bagi raja-raja
selanjutnya, dan juga menjadi rujukan bagi pemimpin-pemimpin di luar keraton. Serat
Makutho Raja ini kurang lebih mengandung nasehat-nasehat dari Kitab Tajussalatin.

Kitab Tajussalatin diterjemahkan di era Sri Sultan Hamengku Buwono V. Kemudian


lahir pula karya lain seperti Suluk Sujinah, Serat Syeh Tekawardi dan Serat Syeh
Hidayatullah.

Sri Sultan Hamengku Buwono V juga menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap
kegiatan-kegiatan seni, terutama seni tari. Beliau memimpin sendiri komunitas tari di istana.
Bahkan, beberapa sumber juga mengatakan ia turut menjadi penari.

Disamping tarian, Sri Sultan Hamengku Buwono V memprakarsai Gendhing


Gati yang memadukan alat musik diatonis seperti terompet, trombon, suling dan jenis drum
atau tambur dengan karawitan Jawa. Gendhing Gati ini lazimnya digunakan dalam
gerak Kapang-Kapang pada tari Bedaya atau Serimpi, yaitu komposisi ketika masuk atau
keluar dari ruang tari.

Pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V juga terdapat keunikan-
keunikan lain dalam pelembagaan tari. Beliau membentuk kelompok penari Bedaya yang
biasanya ditarikan oleh para penari wanita, digantikan oleh sekelompok penari laki-laki yang
disebut kelompok Bedaya Kakung.

Karya seni tari lain yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono V
adalah Tari Serimpi Renggawati yang ditarikan oleh lima orang penari, yang salah satunya
berperan sebagai Dewi Renggawati. Jalan cerita tari ini menggambarkan kisah Prabu
Anglingdarma.

Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono V juga mengembangkan seni wayang orang.
Pada masanya tak kurang dari lima judul lakon yang sering dipertunjukkan
yakni Pragulamurti, Petruk Dadi Ratu, Angkawijaya Krama, Jaya Semedi dan Pregiwa-
Pregiwati.

Sri Sultan Hamengku Buwono VI


Dilahirkan dengan nama Gusti Raden Mas (GRM)
Mustojo pada tanggal 10 Agustus 1821, beliau adalah
putera dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV dari
permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kencono. Pada
tahun 1839 ketika sudah berganti nama menjadi Pangeran
Adipati Mangkubumi beliau mendapat pangkat Letnan
Kolonel dari pemerintah Hindia Belanda. Kelak pangkat
beliau naik menjadi Kolonel pada tahun 1847.
Sri Sultan Hamengku Buwono V wafat dalam kondisi tidak meninggalkan putera.
Selang 13 hari kemudian, baru sang permaisuri -GKR Sekar Kedaton, melahirkan seorang
putera yang diberi nama GRM. Timur Muhammad yang bergelar Kanjeng Pangeran
Haryo (KPH) Suryaning Ngalaga ketika sudah dewasa. Mengatasi kondisi tersebut,
pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan Pangeran Adipati Mangkubumi sebagai Sri
Sultan Hamengku Buwono VI yang dinobatkan pada tanggal 5 Juli 1855.

Menginjak usia 27 tahun, beliau menikah dengan GKR Kencono yang merupakan
puteri dari Susuhunan Paku Buwono VIII dari Surakarta. Sebagai permaisuri Sultan
Hamengku Buwono VI, Ratu Kencono bergelar GKR Hamengku Buwono. Pernikahan
tersebut menjadi sejarah terjalinnya kembali hubungan baik di antara Kasultanan Yogyakarta
dan Kasunanan Surakarta yang sejak Perjanjian Giyanti sering terjadi ketegangan. Hubungan
baik dengan kerajaan lain juga semakin terjalin setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VI
menikahi puteri dari Kerajaan Brunei.

Pola pemerintahan yang dilaksanakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VI pada
dasarnya melanjutkan model yang dijalankan oleh kakaknya, perang pasif. Hal ini cukup
berbeda dengan sikap beliau sebelum naik tahta, dimana beliau cukup keras menentang sikap
sang kakak. Perubahan sikap ini kiranya yang menimbulkan kekecewaan dan akhirnya
memunculkan gejolak di Kasultanan. Adalah kebetulan beliau didampingi oleh Patih
Danurejo V yang terkenal pandai dalam hal siasat, sehingga banyak masalah pelik dapat
terselesaikan.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI, terjadi bencana alam
yang memilukan. Gempa dengan kekuatan dahsyat menggoncang bumi Yogyakarta pada
tanggal 10 Juni 1867. Tercatat gempa mengakibatkan sekitar 500 korban jiwa. Selain itu,
gempa juga memporak porandakan 327 bangunan termasuk bangunan keraton. Tugu Golog
Giling (sekarang Tugu Jogja) yang tadinya menjulang 25 meter, rusak parah. Demikian juga
bangunan Tamansari mengalami kerusakan hebat. Hal yang sama melanda Mesjid
Gedhe dan Loji Kecil (sekarang istana kepresidenan Gedung Agung). Perbaikan atas
kerusakan-kerusakan tersebut membutuhkan waktu lama. Bahkan, Tugu Golong Gilig baru
selesai proses pembangunan ulangnya di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono
VII. International Handbook of Earthquake and Engineering Seismologymencatat gempa
waktu itu memiliki kekuatan sebesar 6,8 SR.

Sedemikian traumatisnya peristiwa tersebut sehingga Sri Sultan Hamengku Buwono


VI meminta agar peristiwa tersebut tidak usah diingat-ingat dan meyakinkan penduduk
bahwa peristiwa seperti itu hanya akan terjadi sekali, tidak akan terulang lagi. Itulah mengapa
catatan mengenai gempa ini hanya terserak dalam ingatan-ingatan, tidak ada catatan atasnya
secara rinci di karya-karya pujangga keraton.

Pada tanggal 20 Juli 1877 (9 Rejeb 1806 TJ), ketika beliau menginjak usia 56 tahun,
Sri Sultan Hamengku Buwono VI tutup usia. Beliau dimakamkan di Astana Besiyaran,
Pajimatan Imogiri. Sebulan berikutnya, tepatnya tanggal 13 Agustus 1877, putra
beliau Raden Mas Murtejo naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VI


Sri Sultan Hamengku Buwono VI meninggalkan dua buah karya seni tari, yaitu
tari Bedhaya Babar Layar dan Srimpi Endra Wasesa.

Di masa beliau pula, dipesan kereta Kyai Wimono Putro yang nantinya menjadi kereta
yang dipergunakan ketika diadakan upacara pelantikan putra mahkota menjadi sultan.
Adapun kereta kebesaraan beliau sendiri, yang nantinya dipakai hingga sekarang,
adalah Kyai Kanjeng Garudho Yakso.

Sri Sultan Hamengku Buwono VII


Gusti Raden Mas (GRM) Murtejo, demikian nama
kecil beliau, lahir pada tanggal 4 Februari 1839 dari
rahim Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Sultan. GKR Sultan
merupakan permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku
Buwono VI. Permaisuri pertama, GKR Hamengku
Buwono, yang merupakan puteri Paku Buwono VIII dari
Surakarta tidak mempunyai anak laki-laki. Oleh karena
itu, setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VI wafat,
GRM Murtejo menggantikan posisi ayahandanya sebagai
Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada tanggal 13
Agustus 1877.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan


Hamengkubuwono VII, perkembangan industrialisasi
meningkat seiring era Tanam Paksa (Cultuur Stelsel). Hal
ini bisa dilihat dari tumbuh dan berkembangnya pabrik
gula waktu itu. Tak kurang terdapat 17 pabrik gula berdiri pada masa pemerintahan Sri Sultan
Hamengku Buwono VII. Pabrik-pabrik tersebut terdiri dari pabrik milik Kasultanan, swasta
maupun milik Belanda. Dari setiap pabrik, beliau menerima uang sebesar f 200.000 (f
= florin, rupiah Belanda) dari Pemerintah Belanda.

Berlakunya era liberalisme semenjak 1870 juga memberi keuntungan bagi Sultan,
yaitu dengan diperkenalkannya sistem Hak Sewa Tanah untuk masa sewa 70 tahun. Selain itu
karena kebutuhan pengangkutan gula, dibangun pula sarana transportasi berupa jalur kereta
api serta lori-lori pengangkut tebu. Pembangunan jalur kereta api ini diprakarsai oleh
perusahaan swasta Belanda bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).
Ongkos sewa dari pemakaian jalur ini lagi-lagi masuk ke keuangan keraton. Maka tak heran
jika kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga dikenal sebagai Sultan Sugih.
Era Hamengku Buwono VII merupakan masa transisi menuju modernisasi. Banyak
sekolah didirikan. Beliau juga menyekolahkan anak-anak beliau sampai perguruan tinggi,
bahkan hingga mengirim mereka ke Negeri Belanda.

Pada masa Hamengku Buwono VII, seni tari mulai keluar dari tembok keraton. Beliau
mendukung putra-putranya untuk mendirikan sekolah tari gaya Yogyakarta, Krido Bekso
Wiromo. Sekolah ini tidak hanya diperuntukkan bagi warga lingkungan keraton semata.
Siapapun yang berminat belajar tari gaya Yogyakarta, dipersilakan untuk datang dan
mendaftarkan diri di Dalem Tejokusuman. Bentuk dukungan Sri Sultan Hamengku Buwono
VII tidak berhenti di sini. Beliau juga mendorong tumbuh kembangnya pentas tari dan
wayang, sehingga semenjak akhir 1918 pentas semacam itu semakin marak.

Pendidikan dan pola pikir terbuka yang ditanamkan kepada anak-anak Sri Sultan
Hamengku Buwono VII, menghasilkan tidak hanya sekolah tari. Pada masa itu banyak berdiri
organisasi-organisasi massa. Pangeran Suryodiningrat, putra beliau, memprakarsai berdirinya
organisasi petani Pakempalan Kawulo Ngayogyakarta.

Muhammadiyah, salah satu organisasi besar saat ini, juga lahir dari lingkungan
keraton pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII . Raden Ngabei Ngabdul
Darwis atau Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah abdi dalem keraton golongan pengulon yang
disekolahkan ke Arab Saudi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Organisasi yang
menitikberatkan pada amal usaha dan pendidikan ini segera berkembang pesat keluar
wilayah Kauman, tempat organisasi ini bermula.

Sri Sultan Hamengku Buwono VII mempunyai visi jauh ke depan, dengan memberi
ruang kepada aktivis-aktivis organisasi politik cikal bakal negara Indonesia. Bangunan Loji
Mataram miliknya, terletak di Jl. Malioboro (kini gedung DPRD DIY), dipinjamkan kepada
organisasi Budi Utomo untuk menyelenggarakan kongres pertama. Sikap terbuka Sri Sultan
Hamengku Buwono VII juga turut dirasakan oleh umat Islam pada masanya. Beliau
mempersilahkan perayaan hari-hari besar keagamaan sesuai dengan kalender Hijriah, namun
untuk upacara Garebeg tetap berdasarkan kalender Sultan Agungan.

Menjelang pertambahan usia beliau yang ke 81, Sri Sultan Hamengku Buwono VII
merasa sudah saatnya turun tahta. Pada tahun 1920, Sri Sultan Hamengku Buwono VII
mengemukakan niat tersebut kepada patih Danurejo VII dan kepada pemerintah Hindia
Belanda. Beliau sendiri memilih madeg pandhita, dan mesanggrah
di pesanggrahan Ambarukmo.

Keputusan tersebut sesungguhnya tidak terlepas dari desakan pemerintah Belanda


yang ingin menerapkan program reorganisasi agraria. Progam ini dirasa oleh Sultan
Hamengku Buwono VII sebagai penyempitan ruang gerak beliau sebagai Sultan. Salah satu
isi dari program tersebut adalah penghapusan sistem apanage yang mengembalikan semua
tanah menjadi milik raja. Sepintas program itu seperti memberi kuasa mutlak kepada raja
untuk memiliki kembali tanah-tanahnya. Akan tetapi, pasal lain dari program tersebut
mengharuskan pengelolaan berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Hasil pengelolaan
tanah-tanah tersebut harus disetor melalui lembaga bernama kas daerah (landschapkas), yang
mana patih di bawah pengawasan residen menjadi penanggungjawabnya. Uang yang
terkumpul tidak boleh dipergunakan langsung oleh keraton/sultan melainkan harus
sepersetujuan residen. Di sini secara politis sultan seakan menjadi pegawai dari struktur
pemerintahan Hindia Belanda.

Sri Sultan Hamengku Buwono VII kemudian menunjuk penggantinya, GRM Sujadi, semata-
mata demi terjadinya suksesi yang mulus dan kondisi pemerintahan yang stabil di bawah
pengaruh Belanda yang terus mencengkeram.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VII


Selain pabrik gula, jalur kereta api dan bangunan
bersejarah Pesanggrahan Ambarukmo, Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga banyak
mempelopori karya di bidang seni. Tari Bedaya Sumreg , Srimpi Dhendhang Sumbawa,
dan Bedaya Lala adalah contoh karya beliau. Di masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII
pula, Tari Bedaya yang semula menggunakan kampuh beralih menjadi menggunakan mekak,
namun riasannya tetap menggunakan paes ageng. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono
VII ini pula, terdapat abdi dalem empu pembuat keris yang menghasilkan keris-keris bagus
yang dikenal dengan keris tangguh kaping piton.

Pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII Tugu Golong Gilig yang


hancur akibat gempa pada tahun 1867 direnovasi. Proses renovasi ini melibatkan perancang
Belanda bernama YPF van Brussel (pejabat perairan) di bawah pengawasan Patih Danurejo
V. Setelah proses perombakan selesai, tugu yang menjadi ikon kota Yogyakarta hingga
sekarang itu diresmikan pada tanggal 3 Oktober 1889.

Sri Sultan Hamengku Buwono VII wafat pada tanggal 30 Desember 1921
(29 Rabingulakir 1851). Beliau dimakamkan di Astana Saptorenggo, Pajimatan Imogiri.

Sri Sultan Hamengku Buwono VIII


Pada tanggal 3 Maret 1880, lahirlah putra Sri
Sultan Hamengku Buwono VII dari rahim Gusti
Kanjeng Ratu (GKR) Hemas yang diberi nama Gusti
Raden Mas (GRM) Sujadi. Setelah dewasa GRM Sujadi
bergelar Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puruboyo yang
kelak dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono
VIII.

Perjalanan GPH. Puruboyo sebagai penerus tahta


Kasultanan Ngayogyakarta sesungguhnya melalui jalan
yang panjang. Awalnya, Sri Sultan Hamengku Buwono
VII telah mengangkat putra sulung GKR Hemas, GRM Akhadiyat, sebagai putera mahkota.
Akan tetapi, tidak lama setelah dinobatkan sebagai putera mahkota, GRM Akhadiyat sakit
hingga meninggal dunia. Sri Sultan Hamengku Buwono VII kemudian mengangkat GRM
Pratistha sebagai pengganti putera mahkota sebelumnya. Putera mahkota kedua yang juga
bergelar Adipati Juminah ini di kemudian hari gelarnya dicabut karena alasan kesehatan.
Posisi putera mahkota untuk yang ketiga kali kemudian jatuh kepada GRM Putro. Nasib baik
tidak berpihak kepada GRM Putro yang juga meninggal dunia akibat sakit keras. Akhirnya,
pilihan Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk didudukkan sebagai mahkota jatuh kepada
GPH Puruboyo.

Tahun 1920 GPH. Puruboyo sedang menempuh studi di Belanda, ketika sang
ayahanda Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengungkapkan niat untuk lengser keprabon.
Mendengar hal ini, Residen Jonquire yang menjadi wakil pemerintah Belanda di Yogyakarta,
mengusulkan kepada Gubernur Jendral van Limburg Stirum agar upaya pergantian tahta
dipercepat.

Dikarenakan posisi GPH. Puruboyo masih di Belanda, maka van Limburg Stirum
yang menyetujui gagasan tadi memerintahkan Jonquire agar mendesak Sri Sultan Hamengku
Buwono VII untuk segera memanggil pulang GPH Puruboyo melalui telegram. Sri Sultan
Hamengku Buwono VII menyetujui usulan tersebut dan mengirimkan telegram pada awal
November 1920. Di dalam telegram itu Sri Sultan Hamengku Buwono VII menyampaikan
agar Gusti Puruboyo jangan terlalu lama di Eropa karena para putera dan puteri, kerabat
dan abdi dalem sudah menanti-nanti kepulangan beliau.

Setelah GPH Puruboyo setuju untuk pulang ke Yogyakarta dan dijadikan pengganti
ayahandanya, Sri Sultan Hamengku Buwono VII memutuskan untuk lereh keprabon (turun
tahta) dan beristirahat di Pesanggrahan Ambarukmo. Pada tanggal 8 Februari 1921, GPH
Puruboyo kemudian dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Prinsip Raja
Kekayaan keraton yang cukup besar kala itu, dimanfaatkan sebanyak-banyaknya oleh
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII untuk mendorong dunia pendidikan. Seperti
ayahandanya, beliau juga mengharuskan putra-putrinya untuk menempuh pendidikan formal
setinggi mungkin, bahkan bila perlu hingga ke Negeri Belanda.

Sekolah-sekolah, organisasi dan munculnya aktivis banyak berkembang di masa


kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII . Sekolah Taman Siswa Nasional (berdiri
3 Juli 1922), Organisasi Politik Katholik Jawi (1923) dan Kongres Perempuan (1929) adalah
contoh-contohnya.

Perhatian beliau di dunia kesehatan juga sangat besar, misalnya dengan mendukung
pengadaan ambulans untuk Rumah Sakit Onder de Bogen (saat ini: Panti Rapih).
Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga banyak mengadakan
perombakan/rehabilitasi bangunan. Bangsal Pagelaran, Tratag Siti Hinggil, Gerbang
Danapratapa dan Masjid Gede adalah beberapa bangunan yang beliau perbaiki.

Di dalam lingkungan keluarganya sendiri, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga
banyak melakukan terobosan. Hal tersebut terjadi bahkan semenjak sebelum menjadi Sultan.
Salah satunya adalah dengan “menitipkan” anak-anaknya di luar lingkungan keraton. BRM
Dorodjatun, yang kelak menjabat sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dari umur 4
tahun sudah dititipkan ke keluarga Belanda. Tidak ada inang atau pengasuh yang menjaga.
Pangeran kecil itu dituntut untuk hidup mandiri dan merasakan hidup sebagaimana
kebanyakan masyarakat pada umumnya.

Langkah-langkah yang diambil oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII tersebut
adalah cerminan dari sikap beliau yang berpedoman pada ungkapan “wong sing kalingan
suka, ilang prayitane”, orang yang sudah merasakan nikmat akan hilang kewaspadaannya.

Pada tahun 1939, beliau memanggil putranya, BRM Dorodjatun yang sedang belajar
di Negeri Belanda. Setelah keduanya bertemu di Batavia, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
kemudian menyerahkan pusaka keraton Kyai Joko Piturun  kepada BRM Dorojatun. Dengan
demikian, ini menunjukkan bahwa BRM Dorojatun telah ditunjuk menjadi penerus tahta
sepeninggalnya.

Setibanya dari Batavia menjemput BRM Dorojatun tersebut, Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII wafat pada tanggal 22 Oktober 1939 di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dimakamkan di Astana Saptarengga, Pajimatan Imogiri.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII


Seperti sudah disinggung di atas, di masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII Yogyakarta mengalami kemajuan pesat di bidang pendidikan dan kesehatan.
Dalam bidang arsitektur, bentuk fisik kraton saat ini adalah hasil perombakan pada masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Di bidang seni tari, banyak sekali tarian diciptakan pada era kepemimpinan beliau.
Diantaranya adalah Beksan Srimpi Layu-layu, Beksan Gathutkaca-Suteja, Bedaya Gandrung
Manis, Bedaya Kuwung-Kuwung dan masih banyak lagi. Pada masa ini pula, pembakuan
terhadap pakem tari klasik Gaya Yogyakarta dimulai.

Masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga dikenal sebagai masa
keemasan pentas wayang wong. Pementasan wayang orang besar-besaran hingga memakan
waktu tiga hari banyak dan sering dilakukan di era ini. Lebih dari 20 lakon dikembangkan
pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Dari segi busana untuk Tari Bedaya, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII melakukan
perubahan besar. Karya Tari Bedaya yang lahir pada era ini tidak
menggunakan kampuh dan paes ageng. Di masa ini penari menggunakan jamang dan bulu-
bulu, baju tanpa lengan serta kain seredan.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX


Gusti Raden Mas Dorojatun, demikian nama yang
disandang beliau ketika kecil. Dilahirkan pada tanggal 12
April 1912, beliau adalah anak kesembilan Sri Sultan
Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden
Ajeng Kustilah atau Kanjeng Ratu Alit.
Masa muda GRM. Dorojatun dihabiskan di luar
lingkungan keraton. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
menitipkan beliau ke pasangan Belanda.  Semenjak
berusia 4 (empat) tahun, beliau dititipkan di rumah
keluarga Mulder, seorang kepala sekolah
NHJJS (Neutrale Hollands Javanesche Jongen School). 
Pihak keluarga Mulder diberi pesan supaya
mendidik GRM Dorojatun layaknya rakyat biasa. GRM
Dorojatun diharuskan hidup mandiri, tanpa didampingi
pengasuh. Nama keseharian beliaupun jauh dari kesan
bangsawan keraton. Di keluarga ini, beliau dipanggil  sebagai Henkie (henk kecil).
Masa-masa sekolah beliau jalani di Yogyakarta, mulai dari Frobel School (taman
kanak-kanak), lanjut ke Eerste Europe Lagere School B yang kemudian pindah ke Neutrale
Europese Lagere School. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, beliau melanjutkan
pendidikan ke Hogere Burgerschool di Semarang dan Bandung.
Jenjang pendidikan HBS belum tuntas ditempuh ketika ayahanda memutuskan
mengirim beliau bersama beberapa saudaranya, ke Belanda. Setelah
menyelesaikan Gymnasium beliau melanjutkan pendidikan di Rijkuniversitet di Leiden. Di
sini beliau mendalami ilmu hukum tata negara, sambil aktif mengikuti klub debat yang
dipimpin Profesor Schrieke. Pada masa pendidikan di Belanda ini pula beliau berkenalan dan
kemudian menjadi sahabat karib Putri Juliana yang kelak akan menjadi Ratu Belanda. 
Tahun 1939 peta politik dunia bergerak cepat. Tanda-tanda meletusnya Perang Dunia
II semakin jelas. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memutuskan memanggil pulang GRM
Dorojatun, meskipun yang bersangkutan belum menyelesaikan jenjang pendidikannya.
Setibanya GRM Dorojatun di tanah air, beliau disambut langsung oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII. Saat itu pula Sri Sultan menyerahkan kepada GRM Dorojatun Keris Kyai Joko
Piturun. Kyai Joko Piturun sebenarnya adalah atribut bagi putra mahkota, sehingga yang
mengenakan bisa dianggap sebagai calon penerus tahta. Selang beberapa hari kemudian, Sri
Sultan Hamengku Buwono VIII mangkat.
Perjalanan GRM Dorojatun menuju singgasana ternyata tidak mudah. Sebagai bagian dari
sejarah Mataram, setiap calon raja baru di Kasultanan Yogyakarta diharuskan untuk
menandatangani kesepakatan bersama terlebih dahulu dengan Belanda. Politisi senior
Belanda, Dr. Lucien Adam yang berusia 60 tahun harus berdebat panjang dengan GRM
Dorojatun yang saat itu usianya baru menginjak 28 tahun. Perdebatan berjalan alot utamanya
disebabkan karena hal-hal sebagai berikut:

1. GRM Dorojatun tidak setuju jabatan Patih merangkap pegawai kolonial, hal ini agar
tidak ada konflik kepentingan.
2. Beliau juga tidak setuju dewan penasehatnya ditentukan oleh Belanda
3. Beliau menolak pasukan/prajurit keraton mendapat perintah langsung dari Belanda.

Dikisahkan,  setelah 4 bulan tidak menghasilkan kesepakatan apapun,  GRM Dorojatun


tiba-tiba berubah sikap. Hal yang begitu mengherankan diplomat senior Belanda tersebut
karena GRM Dorojatun bersedia menerima semua usulan Dr. Lucien Adams. Di kemudian
hari, beliau berkisah bahwa keputusan itu berdasar bisikan yang menyuruh beliau
menandatangani saja kesepakatan yang diajukan karena Belanda tidak lama lagi akan pergi
dari bumi Mataram.
Pada tanggal 12 Maret 1940 di Tratag Prabayeksa, kontrak politik dengan Belanda, yang
berisi 17 bab dan terdiri dari 59 pasal, beliau tandatangani tanpa dibaca lagi. Kontrak tersebut
berlaku semenjak GRM Dorojatun naik tahta.
Hari Senin Pon, 18 Maret 1940, beliau dinobatkan sebagai putra mahkota dengan gelar
Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibja Radja Putra Narendra Mataram dan
dilanjutkan penobatan beliau sebagai Raja dengan gelar  Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun
Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin
Panatagama Kalifatullah Kaping IX. 
Di hari pelantikan tersebut beliau berpidato dan mengeluarkan kalimat yang dikenang
oleh semua orang hingga saat ini, “Saya memang berpendidikan barat tapi pertama-tama saya
tetap orang Jawa”.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Pangeran Dalam Republik


Ketika sebuah negara baru lahir di negeri ini, 17 Agustus 1945, dengan
dikumandangkannya proklamasi oleh Soekarno dan Moh. Hatta, Sri Sultan Hamengku
Buwono IX segera mengambil sikap. Dua hari setelah proklamasi, beliau mengirim telegram
ucapan selamat kepada para proklamator. Dua minggu setelahnya, tepatnya tanggal 5
September 1945, beliau bersama Paku Alam VIII, mengeluarkan maklumat yang menyatakan
bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia.
Yogyakarta dengan demikian resmi memasuki abad modernnya, dimana dia bukan
lagi sebuah entitas negara sendiri, tetapi bagian dari negara republik. Langkah beliau yang
didukung sepenuhnya oleh rakyatnya ini, di kemudian hari dibuktikan dengan pengabdian
yang total.
Ketika negara yang baru lahir ini menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial yang
datang kembali,  beliau mengundang para tokoh bangsa untuk pindah ke Yogyakarta. Sri
Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan bahwa Yogyakarta siap menjadi ibukota negara
Republik yang baru berdiri tersebut. 
Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX terhadap republik juga ditunjukkan melalui
dukungan finansial. Selama pemerintahan republik berada di Yogyakarta, segala urusan
pendanaan diambil dari kas keraton. Hal ini meliputi gaji Presiden/ Wakil Presiden, staff,
operasional TNI hingga biaya perjalan dan akomodasi delegasi-delegasi yang dikirim ke luar
negeri. Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri tidak pernah mengingat-ingat berapa jumlah
yang sudah dikeluarkan. Bagi beliau hal ini sudah merupakan bagian dari perjuangan. Bahkan
beliau memberi amanat kepada penerusnya untuk tidak menghitung-hitung apalagi meminta
kembali harta keraton yang diberikan untuk republik tersebut.
Pada tahun 1949 ketika Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran staff kabinet RI harus
kembali ke Jakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyampaikan pesan perpisahan
dengan sangat berat hati. Ujarnya, “Yogyakarta sudah tidak memiliki apa-apa lagi, silakan
lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta”. Demikianlah Sri Sultan Hamengku Buwono IX
menjalankan sabda pandita ratu-nya, sesuai telegram yang beliau kirim dua hari setelah
proklamasi, bahwa beliau “sanggup berdiri di belakang pimpinan Paduka Yang Mulia”.
Sejarah mencatat bahwa perjuangan Indonesia menuju bentuknya saat ini  mengalami
fase pasang surut. Di ujung berakhirnya era Orde Lama, ketika Soeharto mengambil alih
kendali pemerintahan, kepercayaan negara-negara dunia kepada Indonesia sedang berada di
titik terendah. Tak satupun pemimpin dunia yang mengenal Soeharto. Indonesia sebagai
negara juga sedang dijauhi karena sikap anti-asing yang sangat kuat di era akhir Order Lama.
Di saat seperti ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun menyingsingkan lengan bajunya,
keliling dunia untuk meyakinkan para pemimpin negara-negara tetangga bahwa Indonesia
masih ada, dan beliau tetap bagian dari negara itu. Dengan demikian kepercayaan
internasional pelan-pelan dapat dipulihkan kembali. 
Seiring perjalanan Republik Indonesia sebagai negara, Sri Sultan Hamengku Buwono
IX telah mengabdikan diri dalam berbagai posisi. Selain menjadi pejuang pejuang
kemerdekaan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Menteri Negara dari era
Kabinet Syahrir (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947) hingga Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 s/d
4 Agustus 1949). Di masa kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 s/d 20 Desember 1949) hingga
masa RIS (20 Desember 1949 s.d. 6 September 1950) beliau menjabat Menteri Pertahanan.
Dan menjadi Wakil Perdana Menteri di era Kabinet Natsir (6 September 1950 s.d. 27 April
1951).  Beliau masih terus menjabat berbagai jabatan di tiap periode hingga pada tahun 1973
menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang kedua. Jabatan tersebut diemban sampai
pada tanggal 23 Maret 1978, ketika beliau menyatakan mengundurkan diri. 
Selain berperan di bidang politik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga ditetapkan
sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Khusus mengenai kepanduan ini, beliau menyandang
medali Bronze Wolf dari organisasi resmi World Scout Committee (WSC) sebagai pengakuan
atas sumbangsih seorang individu kepada kepanduan dunia.
Tepat tanggal 2 Oktober 1988 malam, ketika beliau berkunjung ke Amerika, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX menghembuskan nafas terakhirnya di George Washington
University Medical Center. Beliau kemudian dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-
raja di Imogiri, diiringi oleh lautan massa yang ikut berduka. Pada saat itu, pohon
beringin Kyai Wijayandaru di Alun-alun Utara, mendadak roboh, seakan pertanda duka yang
mendalam.
Berdasar SK Presiden Repulik Indonesia  Nomor 053/TK/Tahun 1990, pada tanggal
30 Juli 1990, atas jasa-jasa beliau kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. 

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono IX


Selokan Mataram adalah salah satu karya paling monumental Sri Sultan Hamengku
Buwono IX . Saluran air yang menghubungkan Sungai Progo dengan Kali Opak  yang
membelah Yogyakarta dari barat ke timur ini memberi pengairan yang tak pernah berhenti
bagi lahan-lahan pertanian di sekitarnya. Proyek selokan mataram ini berhasil
menyelamatkan banyak penduduk Yogyakarta untuk tidak diikutsertakan dalam program
kerja paksa Jepang, Romusha. Sebuah solusi brilian yang tidak hanya bisa menyelamatkan
nyawa rakyatnya di kala itu, tetapi juga membuat manfaat yang terus bisa dinikmati hingga
kini. 
Di bidang pendidikan,  Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendukung penuh
berdirinya Universitas Gadjah Mada. Lembaga perguruan tinggi yang telah mencetak banyak
tokoh nasional maupun internasional ini awalnya menggunakan Pagelaran dan bangunan-
bangunan lain di dalam dan sekitar keraton untuk dijadikan lokasi belajar mengajar. Sejalan
dengan perkembangan universitas, sebidang tanah di Bulak Sumur disediakan oleh Sultan
untuk dibangun gedung  utama, Balairung UGM, yang dirancang sendiri oleh Presiden
Soekarno kala itu.
Seperti raja-raja Yogyakarta pendahulunya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga
mempunyai sumbangsih yang besar di bidang seni. Terinspirasi dari cerita wayang golek,
beliau menciptakan tari klasik Golek Menak yang meneguhkan karekter khas gerak tari gaya
Yogyakarta. Karya lain yang beliau hasilkan diantaranya adalah tari Bedhaya
Sapta dan Bedhaya Sanghaskara (Manten). 

Sri Sultan Hamengku Buwono X


Terlahir dengan nama Bendara Raden Mas (BRM) Herjuno Darpito pada tanggal 2
April 1946 di Yogyakarta, kemudian menghabiskan sepanjang hidupnya di kota yang ia
cintai, Sri Sultan Hamengku Bawono Ka10 tumbuh menjadi pribadi yang sangat dekat
dengan kota dan rakyatnya. Setelah dewasa beliau ditunjuk oleh ayahandanya
sebagai Pangeran Lurah atau yang dituakan diantara semua pangeran di Keraton
Yogyakarta. Mas Jun, begitu beliau biasa disapa pada saat muda, kemudian diberi
gelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Mangkubumi.

Sebelum bertahta sebagai Sultan Yogyakarta, KGPH Mangkubumi sudah terbiasa


dengan pelbagai urusan di pemerintahan. Beliau sering diminta membantu tugas-tugas
ayahandanya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang saat itu menjabat sebagai Wakil
Presiden Republik Indonesia. Selain itu, KGPH Mangkubumi sendiri juga aktif di berbagai
kegiatan sosial kemasyarakatan. Beberapa jabatan yang pernah beliau emban diantaranya
sebagai Ketua Umum Kadinda DIY, Ketua DPD Golkar DIY, Ketua KONI DIY dan Presiden
Komisaris PG Madukismo.

Pada tanggal 2 Oktober 1988 Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat. KGPH
Mangkubumi kemudian menjadi calon paling tepat untuk menjadi Sultan berikutnya. Proses
suksesi ini menjadi hal yang baru dalam sejarah Keraton Yogyakarta. Pada era sebelumnya,
setiap Sultan yang akan dilantik harus mendapat persetujuan dari Belanda.

Sesaat sebelum dinobatkan, KGPH Mangkubumi mendapat gelar Kanjeng Gusti


Pangeran Arya Adipati Hamengku Negara Sudibyo Raja Putra Nalendra Mataram yang
bermakna sebagai putera mahkota. Setelah itu, baru kemudian secara sah beliau dinobatkan
sebagai Sultan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 7 Maret 1989 atau
Hari Selasa Wage, tanggal 29 Rajab 1921 berdasarkan penanggalan Tahun Jawa.
Lambang
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki lambang Kasultanan yang
disebut Praja Cihna. Selain berfungsi sebagai ragam hias di beberapa bangunan, Praja
Cihna juga digunakan dalam kop surat resmi dan medali penghargaan. Adapun makna-makna
yang terdapat dalam lambang tersebut adalah:
1. Songkok / Mahkota
Ageman irah-irahan prajurit. Minangka pralambang sipat satriya sarta cihnaning
Nata. Penutup kepala yang dikenakan oleh prajurit Melambangkan watak ksatria yang juga
merupakan sifat seorang Raja
2. Sumping / Hiasan Telinga
Ageman tancep talingan. Ceplik, lambange urip, kayadene kembang srengenge.
Godhong kluwih, saka tembung “luwih”, duwe kaluwihan. Makara, rasa dayane kanggo
hanjaga rubeda, awit kuncarane kraton
Perhiasan yang diselipkan ditelinga. Giwang, yang berbentuk seperti bunga matahari,
melambangkan kehidupan. Daun Keluwih, berasal dari kata “luwih” yang berarti
kelebihan. Makara, melambangkan perlindungan untuk keselamatan kraton
3. Praba / Sorot Cahaya
Gegambaraning parogo ingkang kinormatan sayekti tumrap kapitayan Jawa
Mataram.
Melambangkan pribadi yang dapat menegakkan kehormatan Jawa Mataram.
4. Lar / Sayap
Swiwi Peksi, lambange gegayuhan inggil kayadene sumundul angkasa.
Melambangkan cita-cita tinggi, setinggi langit
5. Tameng / Tameng
Sanjata kanggo handanggulangi salira ing palagan. Warni abrit, pralambang niat
wanton jalaran hambela gegayuhan leres tumrap bebrayan, ananging mboya nilarake sipat
waspada.
Senjata untuk melindungi diri pada saat perang. Warna merah melambangkan
keberanian yang tanpa meninggalkan kewaspadaan untuk membela kebenaran
6. Seratan Ha Ba / Tulisan Ha Ba
Cihnaning Nata, bilih ingkang jumeneng enggeh sesilih Hamengku Buwana. Asma
puniku kebak wucalan hadi luhung kacihna hamengku, hamangku, sarta hamengkoni. Warna
jene pralambang Agung Binathara.
Aksara Jawa ‘Ha’ dan ‘Ba’ merupakan singkatan dari gelar Sultan yang bertahta di
Keraton Yogyakarta. Gelar tersebut penuh dengan harapan luhur agar mampu melindungi,
membela, serta mewujudkan kemakmuran rakyat. Warna kuning keemasan melambangkan
keagungan
7. Kembang/ Sekar Padma  / Bunga Padma
Sesambetane kaliyan panggesangan bilih samangke sedaya puniku ugi linambaran
dateng gelare donya akhirat
Bunga teratai yang mengambang di atas air menggambarkan kehidupan dunia yang
mendasari kehidupan di akhirat.

8. Laler/Sulur / Tumbuhan Sulur 


Pralambang bilih panggesangan puniku lumampah kalajengan kados gesange sulur
mrambat 
Menggambarkan kehidupan berkelanjutan laksana sulur yang terus menerus tumbuh
merambat.
Selain lambang Kasultanan, juga disusun lambang bagi pribadi Sultan. Lambang
pribadi atau Cihnaning Pribadi ini bentuknya sama persis dengan Praja Cihna dengan
tambahan Huruf Murda di bagian bawah helai sayap. Huruf Murda tersebut berarti angka
yang menandakan Sultan yang sedang bertahta. Cihnaning Pribadi ini banyak ditemukan
pada benda-benda seperti perabot rumah tangga peninggalan Sultan-Sultan yang pernah
bertahta. Termasuk dalam hal ini, Cihnaning Pribadi Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10
pernah dicetak dalam kertas undangan upacara pernikahan putri-putrinya.

Regalia
Benda-benda pusaka atau regalia yang mengiringi Sri Sultan pada saat miyos atau
berjalan keluar untuk menghadiri upacara-upacara besar di keraton disebut Kanjeng Kyai
Upacara. Upacara besar dimaksud adalah Jumenengan Dalem atau penobatan. Selain itu,
pada jaman dahulu, Kanjeng Kyai Upacara juga dikeluarkan pada saat Upacara Garebeg.
Bukan sekedar alat kelengkapan upacara, Kanjeng Kyai Upacara merupakan simbol karakter
atau watak yang harus tercermin dalam diri Sultan dan juga para pemimpin masyarakat pada
umumnya. Benda-benda pusaka atau regalia tersebut adalah:

- Banyak (Angsa) melambangkan kewaspadaan dan kesucian


- Dhalang (Kijang) melambangkan kegesitan dan cepat mengambil keputusan.
- Sawung (Ayam Jantan) melambangkan keberanian
- Galing (Merak) melambangkan kewibawaan atau keindahan
- Hardawalika (Naga) melambangkan kekuatan dan tanggung jawab
- Kutuk (Kotak Uang) melambangkan kedermawanan
- Kacu Mas (Saputangan) melambangkan sikap pemaaf
- Kandil (Lampu Minyak) melambangkan pencerahan

Yang membawa benda-benda pusaka tersebut adalah para gadis yang disebut dengan
istilah Manggung. Para Manggung biasanya merupakan kerabat dekat Sultan yang disebut
dengan istilah Sentana Dalem. Terdapat delapan Manggung yang masing-masing bertugas
membawa benda-benda pusaka di atas. Mereka berjalan berjajar berirringan di depan Sri
Sultan pada saat miyos dari Dalem Ageng Prabayeksa menuju Sitihinggil Lor. Sementara itu,
terdapat dua Manggung yang berjalan di belakang Sri Sultan untuk membawa benda pusaka
lainnya yang berupa Kecohan (tempat meludah) dan Wadah Ses (tempat rokok). Dengan
demikian terdapat total sepuluh Manggung yang bertugas mengiringi Sri Sultan pada saat
digelar suatu upacara besar.
Semua benda-benda upacara yang dibawa oleh Manggung terbuat dari emas. Selain
sepuluh benda di atas, terdapat satu lagi benda yang terbuat dari emas
dinamakan Cepuri. Cepuri, Wadah Ganten atau Pekinangan merupakan tempat segala
peralatan makan sirih. Pada setiap upacara besar, Cepuri akan dibawa oleh Abdi Dalem
Keparak Para Gusti. Baik Cepuri maupun Kecohan mempunyai makna sebagai berikut:

12. Kecohan (Tempat meludah) melambangkan kehati-hatian dalam bertutur


13. Cepuri (Tempat segala keperluan makan sirih) melambang kesiap-siagaan

Cikal Bakal Berdirinya Keraton


6. 13 Februari 1755
Sejarah mencatat bahwa pada akhir abad ke-16 terdapat sebuah kerajaan Islam di Jawa
bagian tengah-selatan bernama Mataram. Kerajaan ini berpusat di daerah Kota Gede
sekarang, kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan Surakarta. Lambat laun,
kewibawaan dan kedaulatan Mataram semakin terganggu akibat intervensi Kumpeni Belanda.
Akibatnya timbul gerakan anti penjajah di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang
mengobarkan perlawanan terhadap Kumpeni beserta beberapa tokoh lokal yang dapat
dipengaruhi oleh Belanda seperti Patih Pringgalaya. Untuk mengakhiri perselisihan tersebut
dicapai Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari.
Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 (Kemis Kliwon, 12
Rabingulakir 1680 TJ) menyatakan bahwa Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu
Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Surakarta
dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III, sementara Ngayogyakarta –atau lazim disebut
Yogyakarta- dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan
Hamengku Buwono I

7. 15 Februari 1755
Perjanjian Giyanti ini kemudian diikuti pula dengan pertemuan antara Sultan Yogyakarta
dengan Sunan Surakarta di Lebak, Jatisari pada tanggal 15 Februari 1755. Dalam pertemuan
ini dibahas mengenai peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan. Kesepakatan
yang dikenal dengan nama Perjanjian Jatisari ini membahas tentang perbedaan identitas
kedua wilayah yang sudah menjadi dua kerajaan yang berbeda.
Bahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa,
gamelan, tari-tarian, dan lain-lain. Inti dari perjanjian ini kemudian adalah Sultan Hamengku
Buwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Mataram. Sementara itu, Sunan
Pakubuwono III sepakat untuk memberikan modifikasi atau menciptakan bentuk budaya
baru. Pertemuan Jatisari menjadi titik awal perkembangan budaya yang berbeda antara
Yogyakarta dan Surakarta.

8. 13 Maret 1755
Tanggal 13 Maret 1755 (Kemis Pon, 29 Jumadilawal 1680 TJ) adalah tanggal bersejarah
untuk Kasultanan Yogyakarta. Pada tanggal inilah proklamasi atau Hadeging Nagari
Ngayogyakarta Hadiningrat dikumandangkan. 

9. 9 Oktober 1755
Selanjutnya, Sultan Hamengku Buwono I memulai pembangunan Keraton Yogyakarta
pada tanggal 9 Oktober 1755. Di Desa Pacethokan, Hutan Beringin yang dulunya dinamai
Garjitawati.

10. 7 Oktober 1756


Proses pembangunan berlangsung hingga hampir satu tahun. Selama proses pembangunan
tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga tinggal di Pesanggrahan Ambar
Ketawang. Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga dan para pengikutnya memasuki
Keraton Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1756 (Kemis Pahing, 13 Sura 1682 TJ). Dalam
penanggalan Tahun Jawa (TJ), peristiwa ini ditandai dengan sengkalan memet: Dwi Naga
Rasa Tunggal (2861, dibaca dari belakang) dan Dwi Naga Rasa Wani. Saat Sultan dan
keluarganya berpindah dari pesanggrahan ke keraton pada 7 Oktober 1756, diperingati
sebagai hari jadi Kota Yogyakarta karena dari sinilah awal pemerintahan dimulai.

11. 1812 – 1813


Seiring berjalannya waktu, wilayah Kasultanan Yogyakarta mengalami pasang surut.
Utamanya terkait dengan pengaruh pemerintah kolonial baik Belanda maupun Inggris. Pada
tanggal 20 Juni 1812, ketika Inggris berhasil menyerang dan memasuki keraton, Sultan
Hamengku Buwono II dipaksa turun tahta. Penggantinya, Sri Sultan Hamengku Buwono III
dipaksa menyerahkan sebagian wilayahnya untuk diberikan kepada Pangeran Notokusumo
(putera Hamengku Buwono I) yang diangkat oleh Inggris sebagai Adipati Paku Alam I.
Wilayah kekuasaan Kasultanan yang diberikan kepada Paku Alam I meliputi sebagian
kecil di dalam Ibukota Negara dan sebagian besar di daerah Adikarto (Kulonprogo bagian
selatan). Daerah ini bersifat otonom, dan dapat diwariskan kepada keturunan Pangeran
Notokusumo. Oleh karena itu, sejak 17 Maret 1813, Adipati Paku Alam I mendeklarasikan
berdirinya Kadipaten Pakualaman.
Maka berdirilah Kadiparen Pakualaman pada tahun 1813, sebagai Desa Swapraja
(Daerah swapraja adalah salah satu bentuk yang diakui oleh pemerintah kolonial dan
mencakup berbagai bentuk administrasi, seperti kesultanan, kerajaan, dan keadipatian.
Status swapraja berarti daerah tersebut dipimpin oleh pribumi berhak mengatur urusan
administrasi, hukum, dan budaya internalnya.) yang dipimpin oleh Adipati Paku Alam I

12.17 Agustus 1945 – 5 September 1945


Perubahan besar berikutnya terjadi setelah lahirnya Republik Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945. Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX segera mengucapkan
selamat atas berdirinya republik baru tersebut kepada para proklamator kemerdekaan.
Dukungan terhadap republik semakin penuh manakala Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan
Sri Paduka Paku Alam VIII mengeluarkan amanat pada tanggal 5 September 1945 yang
menyatakan bahwa wilayahnya yang bersifat kerajaan adalah bagian dari Negara Republik
Indonesia. 
Menerima amanat tersebut maka Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno,
menetapkan bahwa Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam merupakan dwi
tunggal yang memegang kekuasaan atas Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sempat
terkatung-katung selama beberapa tahun, status keistimewaan tersebut semakin kuat setelah
disahkannya Undang-Undang nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Dengan
demikian, diharapkan agar segala bentuk warisan budaya di Kasultanan Yogyakarta dan
Kadipaten Pakualaman dapat terus dijaga dan dipertahankan kelestariannya

Bregada Prajurit Keraton


Saat ini, keraton memiliki sepuluh kelompok pasukan yang disebut
sebagai bregada. Jumlah seluruh prajurit cukup kecil, sekitar 600 orang. Jumlah anggota
tiap pasukan berbeda-beda. Bregada Nyutra misalnya, hanya terdiri dari 64 orang saja.
Pimpinan tertinggi dari keseluruhan bregada prajurit keraton adalah
seorang Manggalayudha atau Kommandhan/Kumendham. Sebutan lengkapnya
adalah Kommandhan Wadana Hageng Prajurit. Manggalayudha bertugas mengawasi dan
bertanggung jawab penuh atas keseluruhan pasukan. Ia dibantu oleh
seorang Pandhega (Kapten Parentah), dengan sebutan lengkapnya Bupati Enem Wadana
Prajurit, yang bertugas menyiapkan pasukan.
Setiap pasukan atau bregada dipimpin oleh perwira berpangkat Kapten.
Kecuali bregada Bugis dan Surakarsa yang dipimpin oleh seorang Wedana.
Pandhega didampingi oleh perwira yang disebut Panji (Lurah). Perwira ini
bertugas mengatur dan memerintah keseluruhan prajurit dalam bregada.
Setiap Panji didampingi oleh seorang Wakil Panji. Sementara itu, regu-regu dalam
setiap bregada dipimpin oleh seorang bintara berpangkat sersan.
Keseluruhan perwira dalam semua bregada dipimpin oleh seorang Pandhega,
kecuali Bregada Wirabraja  dan Bregada Mantrijero yang langsung di
bawah Kommandhan.
Prajurit Keraton Yogyakarta dapat dibagi ke dalam tiga kelompok. Prajurit yang
dimiliki Kepatihan, yaitu Bregada Bugis. Prajurit yang dimiliki Kadipaten Anom (putera
mahkota), yaitu Bregada Surakarsa. Dan sisanya dimiliki oleh keraton.
 Bregada Bugis
Bregada Bugis awalnya berasal dari Bugis, Sulawesi. Namun prajurit yang ada kini
sudah tidak lagi terdiri dari orang-orang Bugis. Dalam upacara Garebeg bertugas sebagai
pengawal gunungan yang dibawa menuju Kepatihan
Panji-panji/bendera/klebet Prajurit Bugis adalah Wulan-dadari, berbentuk empat
persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna
kuning emas. Wulan berarti bulan. Dadari berarti mekar, muncul timbul. Secara filosofis
bermakna pasukan yang diharapkan selalu memberi penerangan dalam gelap. Ibarat
berfungsi seperti munculnya bulan dalam malam yang gelap, cahayanya menggantikan
matahari.
Senjata yang digunakan oleh seluruh Bregada Prajurit Bugis adalah tombak
(waos). Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula dengan bentuk ujung (dapur)
yang juga dinamakan Trisula. Pada saat berjalan Bregada Prajurit Bugis diiringi
dengan Gendhing Sandung Liwung.

 Bregada Surakarsa
Nama Bregada Surakarsa berasal dari kata sura dan karsa. Kata sura berarti
berani, sedangkan karsa berarti kehendak. Secara filosofis Surakarsa bermakna prajurit
yang pemberani dengan tujuan selalu menjaga keselamatan Adipati Anom (Putra
Mahkota). Dalam upacara Garebeg, Bregada Surakarsa bertugas mengawal gunungan
yang dibawa ke Masjid Gedhe.
Klebet prajurit Surakarsa adalah Pareanom, berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar hijau, di tengahnya terdapat lingkaran dengan warna
kuning. Pareanom berasal dari kata pare (sejenis tanaman berbuah yang merambat) dan
kata anom yang berarti muda. Klebet ini memiliki makna bahwa Surakarsa adalah pasukan
yang selalu bersemangat dengan jiwa muda.
Senjata yang digunakan oleh seluruh Bregada Prajurit Surakarsa adalah tombak
(waos). Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Nenggala dengan bentuk ujung (dapur)
yang dinamakan Banyak Angrem. Pada saat berjalan Bregada Prajurit Surakarsa diiringi
dengan Gendhing Plangkenan.

 Bregada Wirabraja
Nama Bregada Wirabraja berasal dari kata wira dan braja. Kata wira berarti
berani, dan braja berarti tajam. Secara filosofis Wirabraja berarti prajurit yang sangat
berani dan tajam panca inderanya. Mereka selalu peka dengan keadaan, pantang menyerah
dalam membela kebenaran, dan pantang mundur sebelum musuh dikalahkan.
Klebet prajurit Wirabraja adalah Gula-klapa. Berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar putih, pada setiap sudut dihias dengan chentung berwarna merah
seperti ujung cabai merah (kuku Bima). Di tengahnya terdapat segi empat berwarna merah
dan segi delapan berwarna putih pada bagian dalamnya.  Gula-klapa berasal dari kata gula
dan kelapa. Gula yang dimaksud adalah gula Jawa yang berwarna merah. Sedang kelapa
berwarna putih. Klebet ini memiliki makna bahwa Wirabraja adalah pasukan yang berani
membela kesucian dan kebenaran.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Wirabraja adalah tombak
(waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Slamet dan Kanjeng Kiai
Santri dengan bentuk ujung (dapur) yang dinamakan Manggaran/ Catursara/ Crengkeng.
Pada saat berjalan cepat (mars) Bregada Prajurit Wirabraja diiringi dengan Gendhing
Dhayungan. Apabila berjalan lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Reta
Dhedhali.

 Bregada Dhaeng
Nama Bregada Dhaeng berasal dari sebutan gelar bangsawan di Makasar. Pada
awalnya prajurit Dhaeng memang berasal dari sana. Namun prajurit yang ada kini sudah
tidak lagi terdiri dari orang-orang Makasar.
Klebet prajurit Dhaeng adalah Bahningsari. Berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar putih, di tengahnya terdapat bintang segi delapan berwarna
merah. Bahni berarti api, dan sari berarti indah. Klebet ini memiliki makna bahwa Dhaeng
adalah pasukan yang tidak pernah menyerah karena keberaniannya, sama seperti semangat
inti api yang tidak pernah kunjung padam.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Dhaeng adalah tombak
(waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Jatimulya dengan bentuk
ujung (dapur) yang dinamakan Dhoyok. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit
Dhaeng diiringi dengan Gendhing Ondhal-Andhil. Apabila berjalan lambat (lampah
macak) akan diiringi dengan Gendhing Kenaba.

 Bregada Patangpuluh
Asal usul nama Bregada Patangpuluh masih kabur sampai sekarang, yang jelas
nama tersebut tidak ada hubungannya dengan jumlah anggota bregada.
Klebet prajurit Patangpuluh adalah Cakragora. Berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar hitam, ditengahnya terdapat bintang segi enam berwarna
merah. Cakra adalah senjata berbentuk roda bergerigi, dan gora berarti dahsyat atau
menakutkan. Klebet ini memiliki makna bahwa Patangpuluh adalah pasukan yang
mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa, sehingga segala musuh seperti apapun bisa
terkalahkan.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Patangpuluh adalah tombak
(waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula dengan bentuk
ujung (dapur) yang dinamakan Daramanggala/ Trisula Carangsoka. Pada saat berjalan
cepat (mars), Bregada Prajurit Patangpuluh diiringi dengan Gendhing Bulu-Bulu. Apabila
berjalan lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Mars Gendera.
 Bregada Jagakarya
Nama Bregada Jagakarya berasal dari kata jaga dan karya. Kata jaga berarti
menjaga dan karya berarti tugas atau pekerjaan. Secara filosofis Jagakarya bermakna
prajurit yang mengemban tugas selalu menjaga dan mengamankan jalannya pelaksanaan
pemerintahan dalam kerajaan.
Klebet prajurit Jagakarya adalah Papasan. Berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar merah, ditengahnya terdapat lingkaran dengan warna
hijau. Papasan mungkin berasal dari nama tumbuhan atau burung papasan. Namun ada
pendapat lain yang menyatakan kalau Papasan berasal dari kata
dasar papas menjadi amapas yang berarti menghancurkan. Jika demikian, Papasan berarti
pasukan pemberani yang dapat menghancurkan musuh dengan teguh.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Jagakarya adalah tombak
(waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula dengan bentuk
ujung (dapur) yang juga dinamakan Trisula. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada
Prajurit Jagakarya diiringi dengan Gendhing Tameng Madura. Apabila berjalan lambat
(lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Slahgendir.

 Bregada Prawiratama
Nama Bregada Prawiratama berasal dari kata prawira dan tama. Kata prawira berarti
berani atau perwira. Kata tama dalam bahasa Sansekerta berarti utama atau lebih, sedang
dalam bahasa Kawi berarti ahli atau pandai. Secara filosofis Prawiratama bermakna
prajurit yang pemberani dan pandai dalam setiap tindakan, selalu bijak walau dalam
suasana perang.
Klebet prajurit Prawiratama adalah Geniroga/Banteng Ketaton. Berbentuk empat
persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya terdapat lingkaran dengan warna
merah. Geniberarti api dan roga berarti sakit. Klebet ini memiliki makna bahwa
Prawiratama adalah pasukan yang diharapkan dapat selalu mengalahkan musuh dengan
mudah.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Prawiratama adalah tombak
(waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula  dengan bentuk
ujung (dapur) yang dinamakan Trisula. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit
Prawiratama diiringi dengan Gendhing Pandebrug. Apabila berjalan lambat (lampah
macak) akan diiringi dengan Gendhing Balang.

 Bregada Nyutra
Nama Bregada Nyutra berasal dari kata dasar sutra  yang mendapat awalan "n".
Kata sutra dalam bahasa Kawi berarti unggul atau ketajaman. Sedang dalam bahasa Jawa
Baru mengacu pada kain sutra yang halus. Sedang tambahan awalan "n" memberi arti
tindakan aktif sehubungan dengan sutra. Prajurit Nyutra merupakan pengawal pribadi
Sultan. Secara filosofis Nyutra bermakna prajurit yang sehalus sutra dan selalu
mendampingi dan mejaga keamanan raja, tetapi memiliki ketajaman rasa dan keterampilan
yang unggul.
Klebet prajurit Nyutra adalah Podhang Ngingsep Sari dan Padma-Sri-
Kresna. Podhang Ngingsep Sari untuk prajurit Nyutra Merah, berbentuk empat persegi
panjang dengan warna dasar kuning, di tengahnya terdapat lingkaran dengan warna
merah. Padma-Sri-Kresna untuk prajurit Nyutra Hitam, berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar kuning, di tengahnya terdapat lingkaran dengan warna
hitam. Podhang berasal dari kepodang, burung dengan bulu warna kuning
keemasan. Ngingsep berarti menghisap. Sari berarti inti. Klebet ini memiliki makna bahwa
Nyutra Merah adalah pasukan yang selalu memegang teguh keluhuran.  Padma berarti
bunga teratai. Sri Kresna adalah tokoh pewayangan yang merupakan titisan Dewa
Wisnu. Klebet ini memiliki makna bahwa Nyutra Hitam adalah pasukan yang selalu
membasmi kejahatan, seperti yang selalu dilakukan oleh Sri Kresna.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Nyutra adalah tombak
(waos), towok, tameng, panah dan senapan. Tombak pusakanya bernama  Kanjeng Kiai
Trisula dengan bentuk ujung (dapur) yang dinamakan Trisula. Pada saat berjalan cepat
(mars), Bregada Prajurit Nyutra diiringi dengan Gendhing Surengprang. Apabila berjalan
lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Mbat-Mbat Penjalin/ Tamtama
Balik.

 Bregada Ketanggung
Nama Bregada Ketanggung berasal dari kata tanggung yang mendapat awalan
"ke-". Tanggung berarti beban atau berat. Sedangkan awalan "ke-" bermakna sangat.
Secara filosofis Ketanggung bermakna pasukan dengan tanggung jawab yang sangat berat.
Klebet prajurit Ketanggung adalah Cakra-Swandana. Berbentuk empat persegi
panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya terdapat bintang persegi enam berwarna
putih. Cakraberarti senjata berbentuk roda bergerigi. Swandana berarti kendaraan atau
kereta.
Klebet ini memiliki makna bahwa Ketanggung adalah pasukan yang membawa
senjata dahsyat yang akan memporakporandakan musuh. Senjata yang digunakan oleh
anggota Bregada Prajurit Ketanggung adalah tombak (waos) dan senapan. Tombak
pusakanya bernama Kanjeng Kiai Nenggala dengan bentuk ujung (dapur) yang
dinamakan Nenggala. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit
Ketanggung diiringi dengan Gendhing Lintrikmas/Ricikanmas/Pragolamilir. Apabila
berjalan lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing
Harjunamangsah dan Bimakurda.

 Bregada Mantrijero
Nama Bregada Mantrijero berasal dari kata mantri dan jero. Mantri berarti juru
bicara, menteri, atau jabatan di atas bupati. Jero berarti dalam. Secara filosofis Mantrijero
bermakna prajurit yang mempunyai wewenang ikut ambil bagian dalam memutuskan hal-
hal dalam lingkungan keraton.
Klebet prajurit Mantrijero adalam Purnamasidhi. Berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar hitam, di tengahnya terdapat lingkaran warna putih. Purnama berarti
bulan penuh dan sidhi berarti sempurna. Klebet ini memiliki makna bahwa Mantrijero
adalah pasukan yang diharapkan selalu memberikan cahaya dalam kegelapan.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Mantrijero adalah tombak
(waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Cakra dengan bentuk
ujung (dapur) yang dinamakan Cakra. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit
Mantrijero diiringi dengan Gendhing Plangkenan/Mars Setok. Apabila berjalan lambat
(lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Slagunder/ Restopelen.
Setiap prajurit maupun Abdi Dalem keraton Yogyakarta diharapkan memiliki
‘watak kesatria’. Watak yang dilandasi kredo (sasanti) Nyawiji, Greget, Sengguh, Ora
Mingkuh. Sebagai pandangan hidup, nyawiji diartikan konsentrasi yang harus diarahkan ke
cita-cita. Greget adalah semangat hidup yang harus diarahkan ke tujuan melalui saluran-
saluran yang wajar. Sengguh artinya percaya penuh pada kemampuan pribadi untuk
mencapai tujuan. Ora mingkuh perlu dipegang erat-erat. Tidak akan mundur setapak pun
meski dalam perjalanan menuju tujuan harus menghadapi berbagai halangan.
Sawiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh dijadikan landasan pembentukan watak
kesatria yang pengabdiannya ditujukan pada nusa, bangsa, dan negara. Watak luhur
berdasar idealisme dan komitmen atas kebenaran dan keadilan yang tinggi, integritas
moral, serta nurani yang bersih.

Garebeg
Garebeg merupakan salah satu upacara yang hingga saat ini rutin dilaksanakan
oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kata Garebeg, memiliki arti diiringi atau
diantar oleh orang banyak. Hal ini merujuk pada Gunungan yang diiringi oleh para prajurit
dan Abdi Dalem dalam perjalanannya dari keraton menuju Masjid Gedhe. Dalam pendapat
lain dikatakan bahwa Garebeg atau yang umumnya disebut “Grebeg” berasal dari kata
“gumrebeg”, mengacu kepada deru angin atau keramaian yang ditimbulkan pada saat
berlangsungnya upacara tersebut.
 
Besar kemungkinan bahwa Upacara Garebeg berasal dari tradisi Jawa kuno yang
disebut Rajawedha. Pada upacara tersebut raja akan memberikan sedekah demi
terwujudnya kedamaian dan kemakmuran di wilayah kerajaan yang dipimpinnya. Tradisi
sedekah raja ini awalnya sempat terhenti ketika Islam masuk di Kerajaan Demak.
Akibatnya masyarakat menjadi resah dan meninggalkan kerajaan yang baru berdiri
tersebut. Melihat gejala demikian, Wali Songo yang menjadi penasehat Raja Demak
kemudian mengusulkan agar tradisi sedekah atau kurban oleh raja tersebut dihidupkan
kembali. Akan tetapi, kali ini upacara yang berasal dari tradisi Hindu tersebut dimodifikasi
sedemikian rupa sehingga menjadi sarana penyebaran agama Islam.

Sejak periode Demak, upacara sedekah raja yang kemudian dijadikan sarana syiar
Islam tersebut dikenal dengan nama Sekaten. Ada yang mengatakan bahwa Sekaten berasal
dari kata “syahadatain” atau dua kalimat syahadat yang merupakan kesaksian untuk
memeluk agama Islam. Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata “sekati”
yang merujuk kepada dua perangkat gamelan keraton yang dibunyikan untuk
memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Tidak berhenti sebatas untuk merayakan
kelahiran Nabi Muhammad, Kerajaan Demak juga menggelar upacara serupa untuk
menandai berdirinya Masjid Demak yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha. Sejak
saat itu tradisi sedekah raja ini berlangsung tiga kali setahun, termasuk untuk
memperingati Hari Raya Idul Fitri.

Berawal dari Demak, Kerajaan Islam di Jawa berikutnya tetap memelihara tradisi
sedekah raja tersebut. Di Yogyakarta, tiga kali dalam setahun, upacara tersebut digelar
dengan nama Garebeg Mulud, Garebeg Sawal dan Garebeg Besar. Garebeg Mulud digelar
pada tanggal 12 Rabiul Awal (Mulud) untuk memperingati kelahiran Nabi
Muhammad. Garebeg Sawal digelar pada tanggal 1 Sawal untuk menandai berakhirnya
bulan puasa, dan Garebeg Besar dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijah (Besar) untuk
memperingati Hari Raya Idul Adha.

Selain bernuansa syiar Islam, dahulu kala Upacara Garebeg juga mempunyai


nuansa politik. Garebeg bisa dikatakan sebagai upacara terbesar yang diselenggarakan
keraton. Pada masa-masa awal Kasultanan Yogyakarta, para Bupati Manca
Negara diwajibkan hadir di Ibukota kerajaan sebagai tanda bukti kesetiaannya terhadap
Sultan. Ketidakhadiran para bupati tersebut dapat diartikan sebagai simbol perlawanan,
seperti yang dilakukan oleh Raden Rangga Prawirodirjo III dari Madiun terhadap Sri
Sultan Hamengku Buwono II. Bukti lainnya bahwa Garebeg merupakan upacara terbesar
di masa lalu adalah dikeluarkannya protokol terhadap Residen Belanda dan pejabat-pejabat
kerajaan yang hadir dalam upacara tersebut. Selain itu, pada Upacara Garebeg, Sultan
berikut benda-benda yang menjadi simbol kebesarannya (Ampilan Dalem) keluar dari
Bangsal Kencana menuju Sitihinggil untuk disaksikan oleh seluruh masyarakat.

Pada waktu berlangsungnya Upacara Garebeg, sebagai puncak acara adalah


dikeluarkannya sedekah raja berupa Gunungan. Gunungan dalam Upacara
Garebeg mempunyai makna dan filosofi tersendiri. Gunungan terbuat dari hasil bumi
seperti palawija, buah dan sayur-sayuran, serta jajanan. Gunungan ini merupakan
perwujudan rasa syukur atas melimpahnya hasil bumi dari wilayah kerajaan, dan kemudian
dibagikan untuk kesejahteraan rakyat.

Gunungan yang disiapkan Keraton Yogyakarta pada Upacara Garebeg dewasa ini


ada 5 jenis. Kelima gunungan itu adalah Gunungan Kakung, Gunungan Putri, Gunungan
Darat, Gunungan Gepak dan Gunungan Pawuhan. Jumlah Gunungan yang dikeluarkan
setiap tahun sangat beragam tergantung situasi dan kondisi. Biasanya Gunungan
Kakung akan dibuat lebih dari satu. Apabila Garebeg yang diselenggarakan pada Bulan
Mulud bertepatan dengan Tahun Dal (satu kali dalam 8 tahun menurut kalender Jawa),
maka harus ditambahkan lagi satu Gunungan, yaitu Gunungan Brama atau Gunungan
Kutug.

Prosesi acara Garebeg dimulai dengan barisan Prajurit yang mengawal keluarnya


gunungan dari dalam keraton. Gunungan yang banyak macamnya ini dikirab dari dalam
Keraton menuju ke Masjid Gedhe. Setelah Gunungan selesai didoakan oleh Kyai
Penghulu Keraton maka khalayak pun akan berama-ramai mendapatkan makanan yang ada
di gunungan tersebut. Mereka yakin bahwa dengan mendapatkan makanan yang telah
dibacakan doa, mereka pun akan mendapatkan berkah Dalem. Inilah wujud rasa keyakinan
dari rakyat kepada rajanya.

Proses pemberian gunungan ini menyiratkan pesan bahwa Sultan ingin melayani
kepentingan rakyat secara keseluruhan dalam rangka meraih kemakmuran dan
kesejahteraan. Selain itu, hal ini menyiratkan dukungan dari para ulama dan kalangan
santri. Ini semua disimbolkan dengan Kyai Penghulu Kraton yang menerima gunungan dan
membaca doa yang isinya meliputi permohonan untuk keselamatan Sultan, panjang usia
Sultan, kebesaran negara yang dipimpin Sultan, serta doa-doa untuk kebaikan rakyat
semuanya.

Jenis-Jenis Gunungan Keraton Yogyakarta

Keluarga Sultan memperebutkan Gunungan Brama/Kutug yang dilaksanakan 8 tahun sekali


Upacara Garebeg yang diselenggarakan oleh
Keraton Yogyakarta selalu ditandai dengan
munculnya gunungan. Gunungan merupakan
sebutan untuk beragam jenis makanan dan
hasil bumi yang disusun menyerupai bentuk
sebuah gunung. Pada acara tersebut gunungan
didoakan oleh para Abdi Dalem untuk
selanjutnya dibagikan kepada masyarakat yang
hadir.
Bahan utama pembuatan gunungan
berasal dari ketan. Ketan yang bersifat lengket
mengandung makna bahwa Garebeg dan gunungan dapat membuat rakyat dan raja dapat
saling erat terikat.
Terdapat berbagai jenis gunungan yang ada di Keraton Yogyakarta. Gunungan-
gunungan tersebut adalah Gunungan Kakung, Gunungan Puteri, Gunungan
Pawuhan, Gunungan Gepak, Gunungan Dharat, dan Gunungan Brama.
d. Gunungan Kakung/Jaler (Pria)
Gunungan Kakung berbentuk kerucut, tinggi menjulang.
Kerangkanya menggunakan besi. Gunungan ini terdiri
dari baderan, bendul, sangsangan, dengul, pelokan,
dan thengkilan kacang. Baderan merupakan kue dari tepung
beras yang dibentuk menyerupai ikan bader (ikan
tawes). Baderan tersebut, sejumlah lima buah, ditancapkan pada
bagian puncak gunungan. Di bawah baderan, bendul disusun
melingkar. Bendul adalah kue tepung beras berbentuk bola-bola
kecil, warnanya coklat sama seperti baderan. Di bawah
rangkaian bendul terdapat sangsangan. Sangsangan, atau kalung,
merupakan rangkaian telur asin yang dipasang melingkar hingga
menyerupai kalung.
Sisa permukaan gunungan kakung kemudian ditutup
dengan thengkilan kacang. Thengkilan kacang merupakan
rangkaian kacang panjang, cabai merah, cabai hijau, dan kucu(kue kecil dari ketan yang
dibentuk bulat). Semuanya diikat dan diberi tangkai dari bambu yang disebut sujen.
Badan gunungan dihias dengan dhengul dan pelokan. Dhengul adalah telur rebus yang
diberi tangkai dari bambu, sedang pelokan merupakan telur dadar. Bagian
bawah gunungan dilandasi dengan kain bangun tulak. Selain sebagai penghias, kain bangun
tulak yang juga biasa digunakan saat selamatan membangun rumah memiliki fungsi sebagai
tolak bala, atau pengusir bahaya. Gunungan Kakung sendiri ditempatkan pada jodhang, kotak
kayu yang berfungsi sebagai tandu. Pada tiap sudut jodhang, diikatkan sebuah samir dari kain
berwarna kuning yang dihubungkan pada badan gunungan.
Seperti namanya, Gunungan Kakung melambangkan sifat pria ksatria Jawa.

e. Gunungan Estri/Wadon (Perempuan)
Gunungan Estri memiliki bentuk
seperti bokor. Bagian dasar gunungan lebih
kecil daripada bagian tengah gunungan dan
kembali mengecil pada bagian atas.
Rangkanya dibuat dari bambu. Pada bagian
atas gunungan, yang disebut
sebagai mustaka, terdapat sebuah kue dari ketan berwarna hitam yang bentuknya menyerupai
gunungan wayang kulit.
Ilat-ilatan berwarna hitam dipasang mengelilingi mustaka. Ilat-ilatan merupakan kue
ketan yang pipih panjang seperti lidah. Di bawah ilat-ilatan, dipasang sabunan. Sabunan,
gulungan daun pisang (klaras) yang bagian atasnya diberi kucu dan upil-upil, ditata
melingkar. Kucu berbentuk bulatan kecil berwarna putih sedangkan upil-upil berbentuk
persegi panjang dan dibuat dalam lima warna, putih, merah, kuning, hijau, dan hitam.
Keduanya dibuat dari beras ketan.
Sedikit lebih rendah dan di luar lingkaran sabunan, rengginang ditata
melingkar. Rengginang adalah kue ketan berwarna putih dan berbentuk bundar. Pada
setiap rengginangdipasang satu buah kucu dan lima buah upil-upil berbeda warna. Di
antara rengginang tersebut terdapat bethetan dan ole-ole. Bethetan juga terbuat dari ketan,
berwarna merah, dan berbentuk seperti kepala burung betet. Ole-ole berbentuk seperti penjor
kecil yang menjuntai dari gunungan, di sepanjang juntaian itu dirangkai kucu dan upil-upil.
Di dalam Gunungan Estri, terdapat satu bakul wajik yang yang disusun berlapis dengan
tiwul. Wajik yang merupakan makanan kelas atas namun dicampur dengan tiwul yang
merupakan makanan rakyat kebanyakan merupakan simbol kedekatan raja dengan rakyatnya.
Bakul ini ditutup dengan pelepah pisang sehingga tidak tampak dari luar.
Pada pelepah pisang tersebut digantungkan eblek dan tedheng. Eblek dan tedheng juga
terbuat dari ketan, berwarna putih dan merah. Eblek berbentuk persegi panjang,
sedang tedheng berbentuk segi tiga.
Gunungan Estri ditempatkan pada jodhang sama seperti Gunungan Kakung. Bagian
bawah dialasi dengan kain bangun tulak dan di keempat sudutnya ditali menggunakan samir.
Seperti namanya, Gunungan Estri melambangkan seorang wanita Jawa. Diantara
gunungan lain, Gunungan Estri menjadi gunungan yang dibuat pertama. Prosesi
pembuatannya dikenal sebagai upacara Numplak Wajik.

f. Gunungan Dharat
Gunungan Dharat memiliki bentuk
mirip dengan Gunungan Estri. Rangkanya
juga terbuat dari bambu. Namun mustaka
Gunungan Dharat tidak berwarna
hitam. Ilat-ilatan yang ada juga berwarna-
warni. 
Mustaka gunungan dikelilingi
dengan upil-upilan, di luar lingkaran upil-
upilan terdapat tlapukan bintang, dan di
luar
lingkaran tlapukan terdapat rengginang. Tlapukan terbuat dari ketan, berbentuk bintang dan
beraneka warna. Sama seperti pada rengginang, tiap tlapukan diberi satu buah kucu dan lima
buah upil-upil berbeda warna.
Sama seperti Gunungan Estri, pada Gunungan Dharat juga terdapat ole-
ole dan bethetan. Badan Gunungan Dharat juga ditutup dengan pelepah
pisang. Eblek dan tedhengdigantungkan sebagai hiasan.
Gunungan Dharat tidak ditempatkan di jodhang, tapi
pada dumpal. Dumpal merupakan kayu berbentuk bundar. Dumpal tersebut diikatkan pada
batang bambu yang digunakan untuk memikul gunungan.
Gunungan Darat melambangkan dunia beserta segala isinya.

g. Gunungan Gepak

Gunungan Gepak, berbeda dengan


gunungan lain. Gunungan ini berwujud
keranjang-keranjang yang berisi lima
jenis kue kecil yang tediri dari lima jenis
warna seperti wajik, jadah, lemper, roti
bolu, dan bolu emprit. Di atas tumpukan
kue tersebut diletakkan buah-buahan.
Tiap jenis buah terdiri dari dua biji,
berpasangan sebagai satu jodoh.
Kue dan buah-buahan tersebut tidak disusun
meninggi namun hanya diletakkan saja pada jodhang dan diselimuti dengan kain bangun
tulak  sehingga tampak sebagai tonjolan-tonjolan tumpul (gepak). Karena itulah gunungan ini
disebut sebagai Gunungan Gepak.

Gunungan Pawuhan  (kiri)  dan Gunungan Dharat  (kanan)

h. Gunungan Pawuhan
Wujud Gunungan Pawuhan mirip dengan
Gunungan Estri dan Dharat, namun
dengan ukuran yang lebih kecil dan
bagian mustakanya diganti dengan
bendera berwarna putih.
Rangka Gunungan Pawuhan juga terbuat
dari bambu. Bagian atas dari gunungan
ditusuk dengan lidi-lidi bambu yang setiap
ujungnya diberi picisan. Picisan terbuat dari timah yang dicairkan dan dibentuk seperti koin-
koin kecil.
Sebagai hiasan, di sekeliling badan gunungan dipasang buntal yang terbuat dari daun
udan mas, cowekan, dan kembang merah yang disusun bergantian. Buntal tersebut tampak
menjuntai pada badan gunungan. Sama seperti Gunungan Dharat, Gunungan
Pawuhan dipikul menggunakan dumpal.
Pawuhan berasal dari kata uwuh yang berarti sampah. Gunungan ini dinamakan demikian
karena berisi segala macam sisa bahan gunungan yang lain. Gunungan ini dimaksudkan agar
tidak ada material yang terbuang percuma.

i. Gunungan Brama/Kutug
Gunungan Brama mirip Gunungan Estri. Bentuknya seperti silinder tegak dengan bagian
tengah sedikit mengecil. Gunungan
Brama juga terbuat dari ole-
ole, rengginang, kucu, dan upil-upil.
Rangkanya terbuat dari bambu dan
badannya ditutup dengan pelepah
pisang. Bagian atas gunungan dihias
dengan bendera-bendera segitiga
berwarna merah, sedang
badan gunungan dihias dengan ole-
ole yang dirangkai mirip jala.
Bagian puncak Gunungan
Brama memiliki lubang untuk menempatkan anglo, tungku kecil dari tanah liat. Anglo yang
diisi arang membara digunakan untuk membakar kemenyan, sehingga terus-menerus
mengepulkan asap tebal. Gunungan Brama merupakan gunungan yang hanya dikeluarkan
saat Garebeg Maulud Tahun Dal, perayaan yang hanya diadakan setiap delapan tahun sekali.
Berbeda dengan gunungan lain yang dibagikan ke masyarakat, Gunungan Brama hanya
dibagikan kepada keluarga sultan saja.
Gunungan dalam berbagai wujudnya merupakan wujud sedekah dari seorang raja kepada
rakyatnya. Sedekah ini menyiratkan bahwa sultan memperhatikan kepentingan rakyat untuk
meraih kemakmuran dan kesejahteraan. Masyarakat pun meyakini bahwa makanan yang ada
pada gunungan merupakan berkah sehingga mereka berusaha untuk mendapatkannya.

Tata Ruang dan Bangunan Kawasan Inti Keraton


Yogyakarta
Kawasan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan bangunan cagar budaya
yang terdiri dari serangkaian ruang dan bangunan yang memiliki nama, fungsi, pelingkup
serta vegetasi tertentu. Serangkaian ruang-ruang terbuka di dalam keraton disebut plataran.
Setiap plataran dihubungkan dengan regol atau gerbang yang merupakan pembatas
antara plataran satu dengan yang lainnya.
Bangunan yang berada pada masing-masing plataran terdiri dari dua tipologi yang
dikelompokkan berdasarkan struktur penyangga atap. Tipologi pertama adalah bangsal, yaitu
bangunan yang memiliki deretan tiang sebagai struktur penyangga atap. Dengan kata lain
tidak ada dinding sebagai penyangga atap. Sedangkan tipologi yang kedua
adalah gedhong yang memiliki struktur penyangga atap berupa bidang dinding. Bidang-
bidang dinding tersebut terbuat dari dua jenis material, yaitu konstruksi kayu dan batu bata.
Kawasan inti di Keraton Yogyakarta tersusun dari tujuh rangkaian plataran mulai dari
Alun-Alun Utara hingga Alun-Alun Selatan, sebagai berikut:
1.  Pagelaran  dan  Sitihinggil Lor
Pagelaran dan Sitihinggil merupakan plataran pertama yang terletak tepat di sebelah
selatan Alun-Alun Utara. Pagelaran merupakan area paling depan, di mana pada masa
lampau berfungsi sebagai tempat para Abdi Dalem menghadap Sultan ketika upacara-upacara
kerajaan. Dalam memimpin upacara kerajaan, Sultan berada di Sitihinggil. Sitihinggil berasal
dari bahasa Jawa “siti” yang artinya tanah atau area, serta “hinggil” yang artinya tinggi.
Sitihinggil merupakan tanah atau area yang ditinggikan karena memiliki fungsi filosofis
penting sebagai tempat resmi kedudukan Sultan saat miyos dan siniwaka. Miyos adalah
kondisi dimana Sultan beserta pengiringnya meninggalkan kediamannya
sedangkan Siniwaka adalah ketika Sultan Lenggah Dampar atau duduk di singgasana. Pada
area Pagelaran terdapat beberapa bangunan yaitu:

4. Bangsal Pagelaran
5. Bangsal Pangrawit
6. Bangsal Pengapit (Pengapit Wetan dan Pengapit Kilen)
7. Bangsal Pemandengan (Pemandengan Wetan   dan Pemandengan Kilen)
8. Bangsal Pacikeran (Pacikeran Wetan  dan Pacikeran Kilen)

Sedangkan beberapa bangunan yang terdapat pada kawasan Sitihinggil Lor adalah sebagai


berikut:

 Bangsal Sitihinggil
 Bangsal Manguntur Tangkil
 Bangsal Witana
 Bangsal Kori (Kori Wetan dan Kori Kilen)
 Bale Bang
 Bale Angun-angun
 Bangsal Pacaosan

Pada plataran ini terdapat Regol Brajanala yang menghubungkan Plataran Sitihinggil


Lor dengan Plataran Kamandungan Lor.
2.  Kamandungan Lor
Kamandungan Lor merupakan plataran kedua yang hanya terdiri dari beberapa
bangunan. Adapun bangunan yang terdapat di Kamandungan Lor adalah:

 Bangsal Pancaniti
 Bale Anti Wahana
 Bangsal Pacaosan

Kamandungan Lor sering disebut Plataran Keben, karena terdapat beberapa pohon besar


bernama pohon keben. Regol penghubung dari Kamandungan Lor ke plataran selanjutnya
adalah Regol Kamandungan atau Regol Srimanganti.
3.  Srimanganti
Plataran selanjutnya adalah Plataran Srimanganti. Pada plataran ini, terdapat bangunan
utama yang terletak di sisi barat yaitu Bangsal Srimanganti yang saat ini berfungsi untuk
mementaskan kesenian budaya Keraton Yogyakarta dan digunakan pula sebagai tempat
Sultan menjamu tamu. Di sisi timur Bangsal Srimanganti terdapat Bangsal Trajumas yang
pada saat ini digunakan untuk menyimpan beberapa benda pusaka milik Keraton Yogyakarta.
Selain itu di Plataran Srimanganti terdapat bangunan pendukung lainnya, yaitu:

1. Bangsal Pacaosan
2. Kantor Keamanan Kraton (security)
3. Kantor Tepas Dwarapura dan Tepas Halpitapura

Regol penghubung antara Plataran Srimanganti dengan plataran selanjutnya,


atau Plataran Kedhaton, adalah Regol Danapratapa.
4.  Kedhaton
Kedhaton merupakan plataran utama yang memiliki tataran hirarki
tertinggi. Kedhaton merupakan pusat dari kawasan Keraton Yogyakarta. Pada area ini
terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Kencana dan Gedhong Prabayeksa. Kedua
bangunan ini merupakan bangunan yang dianggap paling sakral. Bangsal
Kencana merupakan bangunan yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara-upacara
penting, sedangkan Gedhong Prabayeksa digunakan untuk menyimpan pusaka-pusaka utama
Keraton Yogyakarta. Bangunan lain yang ada di Plataran Kedhaton ini adalah:

 Bangsal Manis
 Bangsal Mandhalasana
 Bangsal Kotak
 Gedhong Jene
 Gedhong Trajutrisna
 Gedhong Purwaretna
 Gedhong Sedahan
 Gedhong Patehan
 Gedhong Gangsa
 Gedhong Sarangbaya
 Gedhong Kantor Parentah Hageng
 Gedhong Danartapura
 Gedhong Kantor Widyabudaya (Kraton Wetan)
 Kasatriyan
 Museum HB IX
 Museum Batik
 Museum Keramik dan Kristal
 Museum Lukisan
 Kaputren
 Masjid Panepen
 Kraton Kilen

Regol penghubung yang ada di Plataran Kedhaton dengan bagian berikutnya


bernama Regol Kemagangan. Regol ini menghubungkan Plataran
Kedhaton dengan Plataran Kemagangan.
5.  Kemagangan
Pada plataran ini terdapat beberapa bangunan yaitu Bangsal Kemagangan, Panti
Pareden dan Bangsal Pacaosan. Bangsal Kemagangan dahulu berfungsi sebagai tempat
berlatih para Abdi Dalem. Pada saat ini Bangsal Kemagangan digunakan untuk pementasan
wayang kulit maupun beberapa kegiatan lainnya. Pada sisi barat dan timur terdapat Panti
Pareden yang berfungsi sebagai tempat pembuatan gunungan untuk upacara Garebeg.
Sedangkan Bangsal Pacaosan digunakan sebagai tempat penjagaan (caos) Abdi Dalem untuk
menjaga keamanan. Regol yang menghubungkan Plataran
Kemagangan dengan plataran selanjutnya (Kamandungan Kidul) bernama Regol Gadhung
Mlati.
6.  Kamandungan Kidul
Pada plataran ini terdapat dua bangsal yaitu Bangsal Kamandungan dan Bangsal
Pacaosan. Bangsal Kamandungan merupakan salah satu bangsal tertua yang berada di
kawasan keraton. Bangsal ini diboyong oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dari Desa
Karangnongko, Sragen atau yang dahulu bernama Sukowati. Dahulu bangunan tersebut
merupakan tempat tinggal beliau pada saat perang melawan VOC. Pada plataran ini juga
terdapat regol yang menghubungkan dengan Sitihinggil Kidul yaitu Regol Kamandungan
Kidul.
7.  Sitihinggil Kidul
Sitihinggil Kidul dahulu berfungsi sebagai tempat raja menyaksikan latihan para
prajurit sebelum upacara Garebeg. Pada tahun 1956 di lokasi tempat Sitihinggil
Kidul dibangun Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad sebagai monumen peringatan 200 tahun
berdirinya Keraton Yogyakarta.
Sejarah Singkat Tari Klasik Gaya Yogyakarta
Tari klasik gaya Yogyakarta telah ada sejak berdirinya Kesultanan Yogyakarta.
Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kesultanan Yogyakarta dan
Kesunanan Surakarta tidak hanya membagi wilayah, namun juga membagi khazanah budaya.
Salah satunya adalah seni tari. Kesunanan Surakarta menciptakan corak tari gaya baru
sedangkan Kesultanan Yogyakarta melanjutkan dan mengembangkan gaya tari yang sudah
ada. Oleh karena itulah tari klasik gaya Yogyakarta juga disebut
sebagai Joged(tari) Mataram.
Sri Sultan Hamengku Buwono I bukan sekadar mencintai seni tari, namun ia juga
merupakan penari yang handal. Semasa ia memerintah, ia menciptakan beragam tarian
seperti Beksan Lawung, Beksan Etheng, dan dramatari Wayang Wong.
Tari-tari tersebut awalnya tumbuh dan diajarkan di dalam lingkup tembok keraton.
Baru pada 17 Agustus 1918, tari klasik gaya Yogyakarta mulai diperkenalkan keluar dari
keraton dengan ditandai berdirinya perkumpulan Krida Beksa Wirama. Perkumpulan ini
didirikan oleh dua putera Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan mendapat restu dari Sultan
sendiri.

Bentuk dan Ragam Perwatakan Tari Klasik


Gaya Yogyakarta
Bentuk karakter dalam tari klasik gaya Yogyakarta dapat dibagi menjadi halus
(alusan), gagah (gagahan), dan kasar. Bentuk halus dapat dibagi lagi menjadi
halus luruh yang memiliki gerakan lembut dan pelan, halus mbranyak yang dinamis,
dan tumanduk yang ada diantara luruh dan mbranyak. Bentuk gagah dapat dibagi menjadi
gagah lugu yang tampak bersahaja, dan gagah kongas yang penuh kebanggaan. Sedang
bentuk kasar dapat dibagi menjadi kasar kesatria dan kasar raksasa.
Ragam perwatakan tari klasik gaya Yogyakarta diambil dari perwatakan karakter-
karakter yang ada di wayang kulit. Pola gerak untuk karakter putri hanya satu,
yaitu ngenceng encot atau nggruda. Sedang untuk karakter putra, ada empat ragam pokok
yang disebut impur, kambeng, kalang kinantang, dan bapang.
Impur berkarakter halus . Kambeng berkarakter putra gagah. Keduanya digunakan
untuk menggambarkan watak sederhana, tidak banyak tingkah, dan penuh percaya
diri. Kalang kinantang berkarakter halus dan gagah, digunakan untuk menggambarkan watak
keras, angkuh, dan dinamis. Bapang berkarakter gagah dan kasar, digunakan untuk
menggambarkan watak sombong sekaligus banyak tingkah.
Selain hal-hal di atas, dikenal juga istilah wanda yang menunjukkan ekspresi dan raut
muka yang menggambarkan watak dan suasana hati seorang tokoh. Biasanya, tiap tokoh
memiliki tiga macam wanda. Misalnya tokoh Kresna yang memiliki wanda mangu, gendreh,
dan gidrah. Mangu untuk menunjukkan wibawa, gendreh saat menunjukkan kepandaian
bicara, dan gidrah saat adegan perang atau terbang.
Pedoman Baku Tari Klasik Gaya Yogyakarta
Terdapat tujuh pedoman atau pathokan baku yang harus ditaati oleh penari klasik
gaya Yogyakarta agar dapat membawakan tariannya secara maksimal. Pedoman-pedoman ini
pula yang membedakan tari klasik gaya Yogyakarta dengan gaya-gaya tari lainnya. Pedoman
tersebut berkenaan dengan pandengan, pacak gulu, deg, gerak cethik, mlumahing
pupu, nyeklenthing-nya jari-jari kaki, dan mendhak.
Pandengan atau pandangan memiliki peran penting dalam mencerminkan karakter
dan suasana jiwa tokoh yang dibawakan. Dalam tari klasik gaya Yogyakarta,
dibutuhkan pandengan yang terarah dan tidak banyak
berkedip. Pandengan membentuk polatan atau ulat (mimik) sekaligus
mewujudkan pasemon atau pancaran jiwa.
Pacak gulu adalah gerak indah pada leher. Gerak ini berpangkal pada gerak menekuk
dan mendorong pangkal leher (jiling), gerak ini juga dikenal dengan sebutan pacak gulu
tekuk jiling. Ada empat macam gerak pacak gulu. Pacak gulu baku, tolehan biasa
dan nglenggot, coklekan yang digunakan dalam tari golek, cantrik, dan kera, dan
terakhir gedhegyang digunakan untuk gagahan.
Deg adalah sikap badan yang tegak lurus namun pundak dan tulang belakang tetap
rileks, tidak tegang ataupun lemas.
Gerak cethik menjadi pedoman bagi gerakan tubuh ke samping maupun ke bawah.
Dalam gerakan tersebut, cethik atau pangkal paha menjadi pusat gerakan oyogan (ke kiri atau
kanan) dan mendhak (ke bawah). Mlumahing pupu penting agar gerakan tari tampak luwes
dan stabil.
Mlumahing pupu berarti membuka posisi paha agar cethik dapat digerakkan dengan
baik.
Nyeklenthing-nya jari-jari kaki adalah posisi di mana jari-jari kaki diangkat tegak ke
atas dalam keadaan tegang. Posisi ini mampu mempengaruhi seluruh gerakan badan dan
membuat kaki dapat menapak menapak lebih kokoh.
Mendhak adalah posisi tubuh yang merendah dengan cara menekuk lutut dan
dilakukan dengan posisi paha terbuka. Posisi ini menghasilkan gerakan kaki yang lebih hidup
dan ruang gerak yang lebih luas.

Ragam Tari Klasik Gaya Yogyakarta


Tari yang lahir dan berkembang di dalam keraton dapat dibagi dalam beberapa
kategori seperti tari tunggal, Beksan, Srimpi, dan Bedhaya. Tari tunggal dibawakan hanya
oleh seorang penari, seperti tari Klana Raja, tari Klana Alus, dan tari Golek.
Beksan, yang sebenarnya juga berarti “tari”, dapat dibagi menjadi Beksan
Petilan yang dilakukan berpasangan dan Beksan Sekawanan yang didukung empat penari
atau kelipatannya. Ada berbagai macam beksan, seperti Beksan Lawung, Beksan
Anglingkusuma, Beksan Jangerana, dan Beksan Panji Ketawang. Di antara tarian
tersebut, Beksan Lawung menempati posisi khusus karena ditempatkan sebagai tari
kenegaraan. Bahkan keberadaannya dianggap sebagai wakil dari Sultan saat ada resepsi
perkawinan agung di Kepatihan.
Tari Srimpi adalah tarian lemah gemulai yang biasanya ditarikan oleh empat penari,
kecuali Srimpi Renggowati yang ditarikan oleh lima orang. Ada berbagai macam
tari srimpiseperti Srimpi Pandelori, Srimpi Jebeng, Srimpi Muncar, dan Srimpi Pramugari.
Tari Bedhaya dibawakan oleh sembilan penari, dibandingkan dengan ragam lainnya,
tari ini dianggap lebih tua dan sakral. Terdapat beberapa tari Bedhaya seperti Bedhaya
Semang, Bedhaya Bedah Madiun, Bedhaya Sinom, dan Bedhaya Tirta Hayuningrat.
Di antara tari-tari tersebut, terdapat dua tarian yang dianggap sakral dan hanya boleh
ditampilkan pada saat-saat tertentu. Keduanya adalah Srimpi Renggowati dan Bedhaya
Semang. Selain itu juga terdapat dua genre dramatari, Wayang Wong dan Golek
Menak. Wayang Wong mengacu pada wayang kulit sedang Golek Menak mengacu pada
wayang golek yang terbuat dari kayu.

Falsafah dalam Tari Klasik Gaya Yogyakarta


Tari klasik gaya Yogyakarta atau Joged Mataram tidak sekadar dipahami sebagai seni
olah tubuh namun juga dimaknai sebagai falsafah hidup. Jiwa dari Joged
Mataramdiungkapkan ke dalam empat unsur, sawiji, greged, sengguh, dan ora mingkuh.
Keempat unsur ini tidak hanya diajarkan dalam seni tari, namun juga dihidupkan sebagai
karakter rakyat Yogyakarta.
Sawiji berarti fokus, konsentrasi penuh namun tanpa ketegangan. Greged dapat
diartikan sebagai semangat yang terkendali, kesungguhan untuk mencapai
tujuan. Sengguhberarti rasa percaya diri tanpa kesombongan. Ora mingkuh dapat diartikan
sebagai ketangguhan, tetap bertanggung jawab dan tidak berkecil hati saat menghadapi
kesukaran-kesukaran.
Tari klasik gaya Yogyakarta memiliki ragam gerak berupa simbol yang diungkapkan
melalui stilirisasi karakter yang dibawakan. Tari ini menekankan pada penjiwaan karakter
yang dibawakan sehingga muncul istilah jogedan dan anjoged. Jogedan baru sebatas
menggerak-gerakkan badan sekadar mengikuti hafalan. Sementara Anjoged dapat diartikan
sebagai menari dengan penuh keyakinan, dengan gerakan-gerakan yang indah dan mantap,
bahkan termasuk ketika penari sedang diam tak bergerak

Kereta-Kereta Pusaka Keraton Yogyakarta


Kereta
Kanjeng
Jongwiyat
saat sedang

dipergunakan dalam kirab pernikahan putri keempat Sri Sultan Hamengku


Bawono Ka-10.
Salah satu pusaka keraton yang dapat dilihat secara terbuka oleh masyarakat
umum adalah kereta. Saat ini Keraton Yogyakarta mengoleksi 23 kereta. Kereta-kereta
tersebut hanya digunakan untuk upacara-upacara penting dan disimpan di Museum Kereta
Keraton.
Dari sekian kereta yang ada, yang tertua adalah kereta pusaka bergelar Kanjeng
Nyai Jimat. Kereta Kanjeng Nyai Jimat dibuat di Belanda antara tahun 1740-1750.
Berdasar catatan yang ada, Kereta Kanjeng Nyai Jimat merupakan hadiah dari Gubernur
Jenderal VOC Jacob Mussel (1750-1761) kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I, setelah
perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Bentuk dan gaya Kereta Kanjeng Nyai Jimat sama
dengan kereta buatan Eropa. Di Eropa, kereta dengan bentuk dan
bergaya Renaissance macam itu merupakan kereta yang digunakan oleh bangsawan kelas
tertinggi atau para raja. Kereta dengan model dan bentuk yang sama, serta dengan usia
yang kurang lebih sama terdapat pula di Keraton Kasunanan Surakarta, dengan nama
Kereta Kiai Gurdo. Baik Kereta Kanjeng Nyai Jimatmaupun Kereta Gurdo masing-
masing digunakan oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Keraton Kasunanan
Surakarta setelah perjanjian Giyanti.
Kereta Kanjeng Nyai Jimat digunakan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-
1792) hingga Sri Sultan Hamengku Buwono III (1812-1814). Setelah itu kereta ini
“dipensiunkan” sebagai kereta kencana Sultan, namun tetap disimpan di keraton sebagai
kereta pusaka Kasultanan Yogyakarta. Sebagai kereta pusaka, setiap tahun pada hari
Selasa Kliwonatau Jumat Kliwon pada bulan Sura, Kereta Kanjeng Nyai
Jimat dikeluarkan dari Museum Keraton untuk dibersihkan. Ritual ini disebut
dengan Jamasan. Dalam setiap Jamasan, masyarakat umum yang menghadiri upacara
tersebut akan berupaya untuk mendapatkan air yang digunakan untuk membersihkan
Kereta Kanjeng Nyai Jimat. Masyarakat umum percaya bahwa air perasan jeruk nipis dan
air kembang setaman yang telah digunakan dalam Jamasan Kereta Kanjeng Nyai
Jimat membawa berkah serta dapat menyembuhkan penyakit.
Kereta  Kanjeng Nyai
Jimat  saat dijamas.
Sumber: Tepas Tandha
Yekti
Selain
Kereta Kanjeng Nyai
Jimat, terdapat kereta
kencana lain yang
bernama Kereta Kiai
Garuda Yeksa.
Kereta Kiai Garuda
Yeksa bertarikh 1861,
dibuat di Amsterdam,
Belanda. Kereta ini
dipergunakan sejak masa
Sri Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877), saat ini hanya digunakan dalam prosesi
penobatan sultan. Kereta Kiai Garuda Yeksa dibuat oleh pabrik dan mempunyai model
yang sama dengan kereta kencana yang digunakan Kerajaan Belanda, yang
bergelar Gouden Koets (Kereta Emas). Gouden Koets mulai digunakan pada tahun 1899,
dan sampai sekarang masih digunakan Ratu Belanda setiap tahun untuk upacara
kebesaran.
Kereta Kiai Garuda Yeksa adalah kereta yang ditarik delapan ekor kuda, hadiah
Ratu Wilhelmina kepada Sultan Hamengkubuwono VI. Di pintu kereta masih terlihat logo
kerajaan Belanda bersanding dengan logo Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Ornamen
hiasan berbentuk mahkota di bagian atas kereta Kiai Garuda Yeksa disepuh dengan emas
asli, yang menunjukkan wibawa dari seorang pemimpin kerajaan yang makmur dan
sejahtera. Seluruh bagian kereta beserta ornamen-ornamennya masih terjaga keasliannya.
Pada masa lalu, kereta-kereta ini digunakan untuk keperluan sehari-hari Sultan
atau keluarga inti Sultan. Hanya ada satu kereta yang tidak khusus digunakan untuk
Sultan atau keluarga inti Sultan, yaitu Kereta Premili. Kereta Premilimulai digunakan
pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, dipergunakan khusus untuk kereta
pengangkut penari-penari Kasultanan Yogyakarta.
Lebih dari separuh koleksi kereta Keraton Yogyakarta merupakan produksi dari
Belanda. Lima belas di antaranya merupakan kereta yang diperoleh oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono VII dan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Sri Sultan Hamengku
Buwono VII memperoleh sepuluh kereta dan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
memperoleh lima kereta. Sisanya diperoleh dari Sri Sultan Hamengku Buwono I
(Kereta Kanjeng Nyai Jimat), Sri Sultan Hamengku Buwono III (Kereta Mandra Juwala),
Sri Sultan Hamengku Buwono IV (Kereta Kiai Jaladara dan Kereta Manik Retna), dan
Sri Sultan Hamengku Buwono VI (Kereta Wimanaputra, Kereta Notopuro,
Kereta Harsunaba, Kereta Kiai Garuda Yeksa).
Dari sepuluh kereta yang diperoleh Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921),
delapan diantaranya adalah buatan Spyker, Amsterdam, dengan tahun perakitan 1901.
Pabrik yang sama pada tahun 1898 membuat Kereta Emas yang digunakan oleh Ratu
Wilhelmina.
Meskipun kebanyakan kereta diproduksi di luar negeri, namun bahan baku untuk
membangun kereta tersebut adalah bahan baku berkualitas yang diambil dari Hindia
Belanda. Kayu, karet, timah, dan logam yang digunakan untuk membangun kereta-kereta
tersebut adalah bahan-bahan yang didatangkan dari hutan dan perkebunan yang terletak di
Jawa dan Sumatera. Salah satu pendiri pabrik Spyker, Hendri Jan Spijker, sendiri pernah
tinggal untuk beberapa waktu di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.
Selain produksi Belanda, sejumlah kereta adalah produksi dari Inggris dan Jerman.
Ada juga yang diproduksi oleh bengkel di Yogyakarta dan Semarang. Satu kereta dari
Inggris adalah Kereta Mandra Juwala (buatan tahun 1814, ditarik dua ekor kuda),
digunakan oleh Pangeran Diponegoro ketika menjadi wali Sri Sultan Hamengku Buwono
IV ketika berunding dengan Inggris. Satu kereta dari Jerman adalah Kereta Kuthaka
Raharja yang dibuat di Berlin tahun 1927, kereta yang ditarik dua ekor kuda ini
digunakan oleh Raden Mas Dorodjatun sebelum diangkat menjadi Sri Sultan Hamengku
Buwono IX.
Empat kereta buatan dalam negeri semuanya dibuat pada masa pemerintahan Sri
Sultan Hamengku Buwono VIII. Masing-masing kereta tersebut adalah,
Kereta Kapulitin (dirakit di Yogyakarta, 1925, kereta pesiar Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII, kereta ditarik dua ekor kuda), Kereta Premili (dirakit di Semarang, 1921,
kereta untuk angkutan para penari kerajaan, kereta ditarik empat hingga enam ekor kuda),
Kereta Jatayu (dibuat di Yogyakarta, 1931, kereta untuk kendaraan putri-putri Sultan,
kereta ditarik empat hingga enam ekor kuda), Kereta Rata Pralaya(dibuat di Yogyakarta,
1938, kereta untuk prosesi pemakaman, ditarik delapan ekor kuda).
Kecuali Kereta Kanjeng Nyai Jimat, Kiai Garuda Yeksa, Rata Pralaya,
dan Premili, kereta-kereta koleksi Kasultanan Yogyakarta adalah kereta yang difungsikan
sebagai moda transportasi harian sampai dengan tahun 1930-an. Kereta-kereta tersebut
didekasikan untuk keperluan sehari-hari Sultan dan putra-putrinya. Setelah transportasi
modern seperti mobil dan sepeda motor menjadi lebih populer dari kereta kuda,
Kasultanan Yogyakarta tidak menambah lagi koleksi kereta kerajaan.
Salah satu contoh penggunaan kereta kuda Kasultanan Yogyakarta sebagai bagian
dari prosesi kebudayaan, adalah prosesi kirab pernikahan putri keempat Sri Sultan
Hamengku Bawono Ka 10 pada tahun 2013. Proses tersebut menggunakan 12 kereta kuda
koleksi kerajaan untuk prosesi kirab pernikahan. Untuk menarik 12 kereta koleksi
kerajaan pada prosesi kirab pernikahan putri Sultan tersebut, Kasultanan Yogyakarta
mendatangkan tiga kavaleri pasukan berkuda milik Polri yang bermarkas di Bandung.
Kereta-kereta tersebut digunakan oleh mempelai, keluarga Sri Sultan, keluarga besan, dan
Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 beserta permaisuri. Kereta yang digunakan dalam
prosesi seperti ini adalah kereta-kereta yang dulu berfungsi sebagai kereta pesiar untuk
Sultan dan putra-putrinya.
Seluruh kereta-kereta tersebut setiap hari dirawat dan dibersihkan oleh para Abdi
Dalem Kanca Rata. Abdi Dalem ini pula yang akan mempersiapkan kereta-kereta tersebut
apabila hendak digunakan. Perawatan sehari-hari yang dilakukan adalah menutup kereta
dengan kain putih bersih setiap sore, dan membukanya pada pagi hari. Setiap pagi kereta-
kereta tersebut dibersihkan dari debu dan kotoran yang menempel. Pembersihan
seperti Jamasan hanya dilaksanakan setiap tahun sekali. Renovasi seperti penggantian
bagian dari kereta atau pengecatan ulang kereta dilakukan di bengkel-bengkel yang sudah
dipercaya oleh Keraton Yogyakarta. Bengkel yang biasanya dipercaya oleh Keraton
Yogyakarta tersebut terdapat di Sleman dan di Bantul.

Sais dan pengawal kereta


tampak mengenakan seragam
model Eropa.
Sumber: Tepas Tandha Yekti
Sais dan pengawal kereta pada
saat prosesi upacara-upacara
khusus Keraton menggunakan
seragam yang mirip dengan
seragam pasukan kavaleri
Eropa. Seragam tersebut
meliputi baju kurung (berwarna
merah, hijau, dan hitam dengan motif garis kuning), celana panjang (berwarna putih,
merah, dan hitam), sepatu, dan topi. Seragam ini disesuaikan dengan model kereta yang
mengikuti model Eropa.
Koleksi kereta Kasultanan Yogyakarta menunjukkan bahwa Kasultanan
Yogyakarta terlibat dalam pergaulan global, mengikuti tren yang berkembang di Eropa
pada masanya. Meskipun begitu, dalam penggunaan dan perawatannya Kasultanan
Yogyakarta tidak menanggalkan unsur-unsur dalam kebudayan Jawa yang berkaitan
dengan kepercayaan. Seperti misalnya, ritual yang dilakukan tiap kali
upacara Jamasan berlangsung.
Motif Batik Larangan Keraton Yogyakarta
 
Batik larangan Keraton Yogyakarta, atau kadang disebut Awisan Dalem, adalah
motif-motif batik yang penggunaannya terikat dengan aturan-aturan tertentu di Keraton
Yogyakarta dan tidak semua orang boleh memakainya.
Keyakinan akan adanya kekuatan spiritual maupun makna filsafat yang terkandung
dalam motif kain batik menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi adanya batik larangan di
Yogyakarta. Motif pada batik dipercaya mampu menciptakan suasana yang religius serta
memancarkan aura magis sesuai dengan makna yang dikandungnya. Oleh karena itu beberapa
motif, terutama yang memiliki nilai falsafah tinggi, dinyatakan sebagai batik larangan.
Adapun yang termasuk batik larangan di Keraton Yogyakarta antara lain Parang
Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen
Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, Parang-parangan, Cemukiran, Kawung,
dan Huk.
Setiap Sultan yang sedang bertahta memiliki kewenangan untuk menetapkan motif
batik tertentu ke dalam batik larangan. Parang Rusak adalah motif pertama yang
dicanangkan sebagai pola larangan di Kesultanan Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono I pada 1785.
Saat pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII, batik larangan ditekankan pada
motif huk dan kawung.

Motif Huk
Motif huk terdiri dari motif kerang, binatang, tumbuhan, cakra, burung, sawat (sayap),
dan garuda. Motif kerang bermakna kelapangan hati, binatang menggambarkan watak
sentosa, tumbuhan melambangkan
kemakmuran, sedangkan sawat ketabahan
hati. Motif ini dipakai sebagai simbol
pemimpin yang berbudi luhur, berwibawa,
cerdas, mampu memberi kemakmuran,
serta selalu tabah dalam menjalankan
pemerintahannya.
Motif ini hanya boleh dikenakan oleh raja
dan putra mahkota.
Motif Kawung
Motif kawung merupakan pola geometris dengan empat bentuk elips yang
mengelilingi satu pusat. Bagan seperti ini dikenal dalam budaya Jawa sebagai keblat papat
lima pancer. Ini dimaknai sebagai empat sumber tenaga alam atau empat penjuru mata angin.
Pendapat lain mengatakan kawung menggambarkan bunga lotus atau teratai yang
sedang mekar. Bunga teratai
sendiri digunakan sebagai
lambang kesucian.
Motif kawung juga sering
diartikan sebagai biji kawung atau
kolang-kaling, buah pohon enau
atau aren yang sangat bermanfaat
bagi manusia. Untuk itu pemakai
motif ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi lingkungannya.
Motif ini boleh dipakai oleh
para Sentana Dalem.

Motif Parang

Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII bertahta (1921-1939),


motif parang dan variasinya menjadi batik larangan yang sangat ditekankan di Keraton
Yogyakarta. Penggunaannya secara khusus tertuang dalam “Rijksblad van Djokjakarta”
tahun 1927, tentang Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Keraton
Nagari Yogyakarta.
Ada dua versi dalam pemaknaan motif parang ini. Rouffaer dan Joynboll mengatakan
motif ini berasal dari pola bentuk pedang yang biasa dikenakan para ksatria dan penguasa
saat berperang . Ksatria yang mengenakan motif ini diyakini bisa berlipat kekuatannya.
Versi lain mengatakan, motif parang ini diciptakan Panembahan Senapati saat
mengamati gerak ombak Laut Selatan yang menerpa karang di tepi pantai. Sehingga pola
garis lengkungnya diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam. Dalam
hal itu yang dimaksud adalah kedudukan raja. Komposisi miring pada motif parang ini juga
menjadi lambang kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, dan kecepatan gerak.
Ketentuan tersebut berupa aturan penggunaan batik larangan
dalam nyamping/bebet dan kampuh/dodot. Dalam nyamping/bebet aturan penggunaan batik
larangan adalah sebagai berikut :

 Parang Rusak Barong ukuran lebih dari 10 cm hingga tak terbatas hanya boleh
dikenakan oleh raja dan putra mahkota.
 Parang Barong ukuran 10 – 12 cm dipakai oleh putra mahkota, permaisuri,
Kanjeng Panembahan dan istri utamanya, Kajeng Gusti Pangeran Adipati dan istri
utamanya, putra sulung sultan dan istri utamanya, putra-putri sultan dari
permaisuri, dan patih.
 Parang Gendreh ukuran 8 cm dipakai oleh istri sultan (ampeyan dalem), istri putra
mahkota, putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentana, para pangeran dan
istri utamanya.
 Parang Klithik ukuran 4 cm ke bawah dipakai oleh putra ampeyan Dalem,
dan garwa ampeyan (selir putra mahkota), cucu, cicit/buyut, canggah, dan
wareng .

Dan untuk pemakaian kampuh/dodot aturannya adalah sebagai berikut:

 Motif Parang Barong dikenakan oleh sultan, permaisuri dan istri utama, putra


mahkota, putri sulung sultan, Kanjeng Panembahan, Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati, putra sulung sultan dan istri utamanya.
 Kampuh Gendreh dipakai oleh putra-putri sultan dari permaisuri dan garwa
ampeyan, istri (garwa ampeyan), putra-putri dari putra mahkota, Pangeran
Sentono, istri utama para pangeran, dan patih.
 Bebet Prajuritan (kain batik untuk kelengkapan busana keprajuritan), yang boleh
mengenakan sama dengan ketentuan pemakaian kampuh.
 Kampuh Parang Rusak Klithik dipakai untuk istri dan garwa ampeyan putra
mahkota.
Motif Semen
Motif batik larangan lainnya
adalah semen yang berkonotasi “semi”
atau “tumbuh”. Motif semen memiliki
makna kesuburan, kemakmuran, dan
alam semesta. Dalam
motif sementerdapat gambar lain
berupa gunung atau meru, garuda,
sayap, candi, dan naga. Pemakai
motif semen diharapkan dapat menjadi
pemimpin yang mampu melindungi
bawahannya.
Aturan pemakaian motif semen
juga tertuang dalam Pranatan Dalem,
yaitu sebagai berikut:

 Kampuh motif Semen Gedhe Sawat Gurdha dipakai untuk cucu sultan, istri para


pangeran, penghulu, Wedana Ageng Prajurit, Bupati Nayaka Lebet, Bupati
Nayaka Njawi, Bupati Patih Kadipaten, Bupati Polisi, Pengulu
Landraad, Wedana Keparak Para Gusti ( Nyai Riya), Bupati Anom, serta Riya
Bupati Anom.
 Kampuh Semen Gedhe Sawat Lar dipakai untuk buyut dan canggah sultan.

Ada satu pengecualian dalam pemakaian motif semen. Motif semen tanpa lukisan meru,


garuda (sawat), dan sayap (lar), boleh dipakai siapa saja tanpa harus memperhitungkan garis
keturunannya.

Motif Cemukiran
Motif cemukiran berbentuk lidah api atau sinar. Api adalah unsur kehidupan yang
melambangkan keberanian, kesaktian, dan ambisi. Pola seperti sinar diibaratkan pancaran
matahari yang melambangkan kehebatan dan keagungan. Baik api maupun sinar dalam
konsep Jawa diibaratkan sebagai mawateja atau bersinar seperti wahyu, yaitu salah satu
kriteria yang harus dimiliki seorang raja.
Motif ini hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.
Motif Udan Liris
Selanjutnya adalah motif udan liris yang diartikan sebagai hujan gerimis atau hujan
rintik-rintik pembawa kesuburan bagi tumbuhan dan ternak. Udan Liris merupakan gabungan
dari bermacam-macam motif dalam bentuk garis-garis sejajar. Terdiri dari motif lidah api,
setengah kawung, banji sawut, mlinjon, tritis, ada-ada, dan untu walang yang diatur
memanjang diagonal. Makna dari motif ini adalah pengharapan agar pemakainya selamat
sejahtera, tabah, dan berprakarsa dalam menunaikan kewajiban demi kepentingan nusa dan
bangsa.
Motif ini boleh dikenakan oleh putra dari garwa ampeyan, wayah, buyut, canggah,
Pangeran Sentana dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom.
Budaya Jawa memandang semua yang melekat pada diri, termasuk busana,
mencerminkan kapasitas diri. Penggunaan batik larangan merupakan salah satu contohnya.
Aturan ini lebih dari sekadar simbol status. Batik larangan juga merupakan sebuah
komunikasi politik atau pesan kepemimpinan terhadap sesama penguasa, rakyat, dan juga
terhadap lawan politik.
Aturan-aturan penggunaan batik larangan ini masih berlaku hingga sekarang, namun
hanya diterapkan secara terbatas di lingkungan Keraton Yogyakarta, tidak untuk masyarakat
umum di luar keraton
Tugas dan Fungsi Abdi Dalem
Setelah diproklamasikan pada tanggal 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal 1680 TJ), Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat membutuhkan aparatur negara yang berasal baik dari
golongan sipil maupun militer. Abdi Dalem merupakan aparatur sipil, sedangkan aparatur
militernya adalah prajurit keraton. Abdi Dalem bertugas sebagai pelaksana operasional di
setiap organisasi yang dibentuk oleh Sultan. Tanpa adanya Abdi Dalem, roda pemerintahan
tidak akan berjalan.

Selain menjalankan tugas operasional pada setiap organisasi di keraton,  Abdi Dalem juga
merupakan ‘abdi budaya’. Abdi budaya adalah orang yang bisa dan mampu memberi suri
tauladan bagi masyarakat luas. Abdi Dalem harus bisa menjadi contoh kehidupan di
masyarakat, bertindak berdasarkan unggah-ungguh dan paham akan tata krama. Oleh
karena itu, senyum yang selalu merekah, ramah dan sopan santun yang tinggi merupakan
hal yang selalu ditunjukan oleh para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta.

Ciri khas Abdi Dalem Keraton Yogyakarta terletak pada pakaian. Pakaian atau busana
khas Abdi Dalem disebut peranakan. Peranakan berasal dari kata ‘diper-anak-kan’.
Artinya menjadi Abdi Dalem akan dianggap seolah-olah satu saudara yang dilahirkan dari
seorang ibu. Semua Abdi Dalem pakaiannya sama dan menjalankan tugas tanpa
mengenakan alas kaki. Selain itu, Abdi Dalem wanita tidak boleh memakai perhiasan.
Semua ini bertujuan untuk meniadakan perbedaan antara si miskin dan si kaya, sehingga
semua Abdi Dalem setara kedudukannya. Di samping itu, di dalam keraton, Abdi
Dalem dipanggil dengan sebutan “kanca” yang berarti teman atau saudara.

Hal menarik lainnya adalah komunikasi diantara para Abdi Dalem. Bahasa yang digunakan
di dalam Keraton Yogyakarta adalah Bahasa “Bagongan”. Bahasa Bagongan berbeda
dengan Bahasa Jawa pada umumnya. Dengan Bahasa Bagongan, komunikasi antar Abdi
Dalem kemudian tidak mengenal perbedaan derajat dan pangkat.

Abdi Dalem Keraton Yogyakarta dibagi menjadi 2 bagian besar,


yaitu: Punakawan dan Kaprajan. Abdi Dalem Punakawan merupakan abdi yang berasal
dari kalangan masyarakat umum. Abdi Dalem Punokawan adalah tenaga operasional yang
menjalankan tugas keseharian di dalam keraton. Dibagi menjadi 2 golongan, yaitu  Abdi
Dalem  Punakawan  Tepas dan Abdi Dalem  Punakawan  Caos. Abdi
Dalem  Punakawan  Tepas mempunyai jam kerja selayaknya pegawai yang bekerja di
kantor, sedangkan Abdi Dalem  Punakawan  Caos hanya menghadap ke keraton setiap
periode sepuluh hari sekali. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan tanda hormat dan
kesetiaan sebagai abdi.

Abdi Dalem Keprajan adalah mereka yang berasal dari TNI, Polri, dan Pegawai Negeri
Sipil (PNS) yang diterima dan diangkat sebagai Abdi Dalem. Pada umumnya Abdi Dalem
Keprajanadalah orang-orang yang telah memasuki masa pensiun kemudian
mendarmabaktikan waktu, ilmu dan tenaganya untuk membantu keraton secara suka rela.

Abdi Dalem yang lingkup perkerjaannya paling dekat dengan Sultan adalah Keparak.


Kelompok ini umumnya didominasi oleh para Abdi Dalem perempuan. Abdi Dalem
Keparak menjadi salah satu kelompok yang paling dekat dengan Sultan karena tugas-
tugasnya antara lain: menjaga ruang pusaka, menyiapkan perlengkapan upacara, serta
menyiapkan keperluan Sri Sultan, Permaisuri dan Putra-Putri Sultan yang tinggal di dalam
keraton.

Sebelum secara resmi disahkan menjadi Abdi Dalem, calon Abdi Dalem akan menjalani


proses magang selama 2 tahun. Selama 2 tahun ini para abdi magang akan dinilai mulai
dari rajin atau tidaknya untuk sowan ke keraton, tekatnya untuk mengabdi, serta bakat dan
juga latar belakang pendidikannya. Setelah dinilai layak untuk menjadi  Abdi Dalem baru
kemudian diangkat melalui wisuda. Wisuda Abdi Dalem dilaksanakan setiap 2 kali
setahun, yaitu pada bulan Bakda Mulud dan Syawal.

Dasar menjadi Abdi Dalem adalah komitmen pribadi. Abdi Dalem yang sudah tidak


mampu lagi menjalankan tugas karena usia lanjut, kesehatan, dan sebab-sebab lain akan
menjalani proses pemberhentian yang disebut miji. Namun demikian sangat jarang terjadi
dimana Abdi Dalem merasa bosan atau mengajukan pengunduran diri.

Berikut beberapa ketentuan terkait miji atau proses pemberhentian Abdi Dalem:

9. Miji Sudono Mulyo: telah mengabdi di atas 20 tahun 


10. Miji Sudono Saroyo: telah mengabdi antara 10-20 tahun
11. Miji Tumpuk: lama pengabdian di bawah 10 tahun
12. Miji Pocot: diberhentikan dengan tidak hormat sehingga harus mengembalikan
gelar yang diberikan oleh Sultan (asma paring Dalem) dan dilarang masuk ke
keraton.

Dalam melaksanakan tugasnya para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta terikat dengan credo


Watak Satriya yang dicetuskan oleh pendiri Keraton Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi
atau Sri Sultan Hamengku Buwono I. Diantaranya adalah :

 Nyawiji: total, fokus dan selalu berserah kepada tuhan YME.


 Greget: penuh penghayatan & penjiwaa
 Sengguh: percaya diri
 Ora mingkuh: tidak gentar menghadapi ujian dan hambatan.

Menjadi seorang abdi di keraton bukan berarti akan mendapatkan honor yang tinggi. Alasan
utama menjadi Abdi Dalem umumnya adalah untuk mendapatkan ketentraman dan
kebahagiaan batin. Ada juga yang dilandasi oleh rasa terimakasih sudah diperbolehkan
tinggal di tanah milik Sultan. Selain itu, faktor lain yang ingin diperoleh dari menjadi Abdi
Dalem adalah untuk mendapatkan berkah Dalem. Menurut para Abdi Dalem, ada saja rejeki
yang datang dan dapat mencukupi kebutuhan keluarganya setelah menjadi Abdi Dalem.

Seiring dengan perkembangan jaman dimana keraton memerlukan banyak tenaga profesional,
dewasa ini banyak Abdi Dalem yang memiliki pendidikan tinggi. Latar belakang
pendidikannya beragam, mulai dari bidang seni, hingga komputer dan akuntansi. Hal ini
menunjukkan bahwa Abdi Dalem tidak selalu identik dengan orang-orang lanjut usia dan
berpendidikan rendah. Abdi Dalem adalah orang-orang yang memiliki wawasan budaya,
keahlian sekaligus dedikasi yang tinggi.
Pada akhirnya, keberadaan Abdi Dalem sangat berarti. Tidak saja untuk mendukung
keberlangsungan segala aktifitas di dalam keraton, tetapi juga menjadi benteng perilaku pada
jaman yang semakin cepat berubah.
Pangkat Abdi DaLem
Seperti dalam pemerintahan modern, terdapat jenjang kepangkatan dalam struktur
organisasi Abdi Dalem. Setelah melalui proses magang selama dua tahun seorang calon Abdi
Dalem akan diwisuda menjadi Abdi Dalem.
Jenjang Kepangkatan Abdi Dalem
Jenjang kepangkatan Abdi Dalem berurutan dari bawah adalah sebagai berikut:

 Jajar 
 Bekel Anom
 Bekel Sepuh  
 Lurah 
 Penewu 
 Wedono 
 Riya Bupati 
 Bupati Anom 
 Bupati Sepuh 
 Bupati Kliwon 
 Bupati Nayoko 
 Pangeran Sentana

Kenaikan jenjang karir seorang Abdi Dalem berbeda antara Abdi Dalem Tepas dan  Abdi


Dalem Caos. Abdi Dalem Tepas merupakan Abdi Dalem yang setiap hari memiliki kewajiban
untuk berkantor di keraton. Kenaikan pangkat reguler dari seorang Abdi Dalem Tepas dapat
diajukan setiap 3 tahun.

Sementara itu, kenaikan pangkat yang diterima oleh Abdi Dalem Caos dapat diajukan setiap
4-5 tahun sekali. Abdi Dalem Caos merupakan Abdi Dalem yang tidak mempunyai kewajiban
untuk masuk setiap hari. Abdi Dalem Caos hanya masuk pada periode waktu tertentu.
Kenaikan pangkat seorang Abdi Dalem dikelola oleh Parentah Hageng. Parentah
Hageng mempunyai kewenangan untuk mengangkat, menaikkan pangkat dan
mempensiunkan Abdi Dalem. Setiap Abdi Dalem akan mendapatkan Asma Paring
Dalem  (nama Abdi Dalem), Pangkat, dan Penugasan yang tertuang di dalam Serat
Kekancingan (SK) yang dikeluarkan oleh Parentah Hageng.
Syarat Kenaikan Pangkat Abdi Dalem
Terdapat beberapa aspek penilaian yang dapat mempengaruhi jenjang kenaikan pangkat
seorang Abdi Dalem. Penilaian ini meliputi rajin atau tidaknya Abdi
Dalem untuk sowan ke keraton, memiliki konduite yang baik, dan rajin dalam
melaksanakan tugasnya. Bukan tidak mungkin seorang Abdi Dalem dapat ditunda kenaikan
jabatannya jika tidak menjalankan tugas dengan baik dan jarang sowan ke keraton.
Selain kenaikan pangkat regular setiap 3 atau 4 tahun sekali, seorang Abdi Dalem yang
memiliki latar belakang pendidikan dan keahlian tertentu bisa mendapatkan kenaikan pangkat
setiap tahun. Kenaikan tiap tahun ini dapat diperoleh hingga menjadi wedono. Setelah
mencapai wedono, Abdi Dalem tersebut akan mengikuti jenjang kenaikan pangkat reguler
layaknya Abdi Dalem yang lain.

Bupati Kliwon merupakan jabatan yang paling tinggi yang dapat diperoleh secara reguler oleh
setiap Abdi Dalem. Selain kenaikan pangkat yang bersifat reguler, ada juga kenaikan yang
bersifat khusus. Kenaikan khusus ini atas perintah sultan. Jabatan tersebut adalah Bupati
Nayaka dan Pangeran Sentana.

Seorang Abdi Dalem dapat diangkat menjadi Bupati Nayaka dan Pangeran Sentana hanya


atas perkenan dari sultan. Tentunya kenaikan pangkat ini memiliki dasar pertimbangan. Salah
satu pertimbangan tersebut adalah jasa-jasa dan prestasinya sebagai Abdi Dalem. Tidak
menutup kemungkinan seorang Abdi Dalem memperoleh kenaikan jabatan khusus atas
keputusan sultan.
Tanggung Jawab yang Menyertai Jabatan Abdi Dalem
Setiap kenaikan pangkat yang diperoleh seorang Abdi Dalem akan meningkatkan tugas dan
tanggung jawab yang diembannya. Abdi Dalem yang memiliki jabatan yang lebih tinggi
pun harus bisa menjadi pimpinan bagi Abdi Dalem yang ada di bawahnya. Tentunya tugas
yang diberikan ini akan disesuaikan dengan latar belakang pendidikan dan kecakapan
dari Abdi Dalem tersebut. Penyesuaian ini bertujuan agar tatanan dan roda pemerintahan di
dalam keraton tetap berjalan dengan baik.
Walaupun telah memiliki pangkat yang tinggi, seorang Abdi Dalem tidak boleh semena-mena
dengan mereka yang ada dibawahnya. Sopan santun, unggah-ungguh tetap harus dijunjung
tinggi agar kondisi dan suasana di dalam keraton tetap nyaman. Sejatinya menjadi
seorang Abdi Dalem bukan untuk mengejar kepangkatan atau materi. Menjadi Abdi
Dalem adalah murni untuk mengabdikan diri sebagai penjaga budaya.
Musikan
Keraton Yogyakarta pernah memiliki Abdi
Dalem yang khusus bertugas untuk
memainkan musik Eropa. Kesatuan Abdi
Dalem tersebut bernama Musikan.
Nama Musikan berasal dari bahasa Belanda
yang berarti musikus. Jejak keberadaannya
masih bisa ditemui melalui kampung di
sebelah timur Pagelaran Keraton, kampung
Musikanan.

Musikan pada Masa Hindia-


Belanda
Walau jejak instrumen musik Eropa telah ditemukan sejak awal berdirinya Keraton
Yogyakarta, namun tidak diketahui kapan tepatnya kesatuan Abdi Dalem Musikan berdiri.
Catatan mengenainya baru muncul pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono
VIII (1921-1939).

Pada 26 Mei 1923, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dirk Fock (1921-1926) berkunjung ke
Keraton Yogyakarta. Sri Sultan mengadakan pementasan musik Eropa untuk
menghormatinya. Untuk itu berbagai persiapan dilakukan. Termasuk membuat seragam baru
dan mengutus seorang Belanda dan dua Abdi Dalem untuk membeli alat-alat musik tambahan
ke Batavia (Jakarta). Kebutuhan protokoler ini diduga menjadi alasan kenapa
kesatuan Musikan dibentuk.

Pada November 1923, Sri Sultan mengundang seorang seniman bernama Walter Spies untuk
bekerja sebagai instruktur dan dirigen musik. Saat itu, Walter Spies yang berasal dari Jerman
sedang berkelana ke tanah Jawa. Ia dikenal sebagai pelukis dan musikus ulung. Kehadiran
Spies yang mulai bekerja pada keraton sejak 1 Januari 1924 memberikan pengaruh cukup
besar. Selain mengajar musik Eropa, ia sendiri mendalami gamelan Jawa. Dalam masa
kerjanya yang singkat sebelum pergi ke Bali tahun 1927, ia meninggalkan beberapa
manuskrip notasi gamelan untuk dimainkan dengan piano.

Saat itu, kesatuan musik Eropa keraton memiliki 40 anggota dan orkesnya dinamai Kraton
Orcest Djogja. Para Abdi Dalem Musikan diberi nama dengan kata-kata dari bahasa Belanda.
Beberapa menggunakan nama-nama hari seperti Zondag (Minggu), Maandag (Senin), dan
Dinsdag (Selasa). Beberapa menggunakan nama-nama bulan seperti Januari, Februari, Maart,
April, dan Mei. Beberapa lainnya menggunakan nama-nama yang berasal dari opera. Seperti
Aida, nama opera karya G. Verdi yang muncul tahun 1871 di Italia. Atau Carmen, judul
opera karya Georges Bizet yang muncul pada tahun 1875 di Perancis. Ada juga yang
mengambil nama dari komposer opera, seperti Leoni. Franco Leoni adalah nama seorang
komposer berkebangsaan Italia yang hidup antara tahun 1864-1949. Nama-nama Abdi
Dalem ini digunakan secara turun temurun. Nama tersebut akan disandang oleh keturunan
yang menggantikan Abdi Dalem yang sudah berakhir masa tugasnya.

Setelah Spies berhenti bekerja di Keraton Yogyakarta, jabatan dirigen diserahkan pada Abdi
Dalem bernama Mas Lurah Regimentsdochter. Saat Mas Lurah Regimentsdochter wafat pada
tahun 1931, jabatan dirigen diserahkan pada putranya yang bernama Leoni. Setelah diangkat
sebagai dirigen, Leoni kemudian bergelar Raden Lurah Regimentsdochter II.

Pada masa itu Kraton Orcest Djogja berkembang dengan baik. Banyak kegiatan dilakukan.
Seperti pementasan musik untuk mengiringi perarakan gunungan saat Garebeg Sawal,
menyambut kunjungan para Gubernur Jenderal ke keraton, pentas dalam rangka penobatan
Sunan Paku Buwono XI di Surakarta, menyambut kunjungan Sunan Paku Buwono XI ke
keraton Yogyakarta, dan tak ketinggalan pementasan dalam rangka penobatan Sri Sultan
Hamengku Buwono IX.
Selain pementasan dalam acara-acara penyambutan, Kraton Orcest Djogja melakukan
kegiatan rutin di Pagelaran yang disebut Pasowanan. Ada pula pementasan dua kali sebulan
di Societeit de Vereeniging, gedung rekreasi bagi orang Belanda yang kini menjadi bagian
dari kompleks Taman Budaya Yogyakarta.

Bangsal Mandalasana berhiaskan ornamen alat musik Barat

Musikan pada Masa Pendudukan Jepang


Pada Maret 1942, Jepang merebut Jawa dari kerajaan Belanda. Keadaan berubah. Mengingat
betapa Jepang begitu antipati pada Belanda, hal-hal yang berbau Belanda menjadi tabu.

Kraton Orcest Djogja berhenti memainkan lagu-lagu Eropa dan mulai memainkan lagu
Jepang seperti Gunkan, Akatsuki, dan Kimigayo. Tenaga kulit putih yang sebelumnya ada,
tidak dipergunakan lagi. Abdi Dalem Musikan yang dahulu disebut Kanca Musik, diubah
menjadi Kanca Waditraya. Nama-nama Abdi Dalem yang sebelumnya menggunakan nama
Eropa, diubah menjadi nama Jawa. Tiap nama Abdi Dalem diakhiri dengan kata waditra,
seperti Mulyawaditra, Somawaditra, Kartawaditra, dan Pranawaditra. Waditrasendiri berarti
alat musik.

Pada masa ini, hampir tidak ada kegiatan bagi Abdi Dalem Kanca Waditraya. Baik itu berupa
pementasan di dalam, atau di luar keraton. Abdi Dalem yang ada pun berkurang hingga
menjadi 33 orang.

Musikan Pasca Kemerdekaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan berakhirnya masa pendudukan bala tentara
Jepang di Nusantara, kegiatan Abdi Dalem Musikan mulai dibangkitkan kembali. Mereka
bermain mengiringi parade militer dan upacara bendera selama ibu kota berada di
Yogyakarta. Kraton Orcest Djogja pun sempat melakukan tour ke Jakarta dari 23 Desember
1949 sampai 1 Januari 1950. Kembali dari tour, Regimentdochter II, yang juga dikenal
sebagai R. Rio Suryowaditra mendapat kenaikan pangkat pada tanggal 11 Januari 1950. Ia
mendapat nama baru sebagai RW Pradjawaditra.

Kesulitan keuangan yang dialami oleh Keraton Yogyakarta akhirnya berpengaruh pada
kesejahteraan Abdi Dalem Musikan. Ditambah berkurangnya acara-acara protokoler dan
acara-acara hiburan yang memerlukan iringan musik Eropa, akhirnya kesatuan ini
dibubarkan. Alat-alat musik dihadiahkan kepada Abdi Dalem yang berhenti sebagai modal
untuk mencari nafkah.

Posisi Musikan dalam Keraton
Kraton Orcest Djogja memiliki dua fungsi utama. Fungsi pertama adalah fungsi protokoler.
Fungsi kedua adalah sebagai hiburan, baik acara-acara jamuan yang dilaksanakan di dalam
atau di luar keraton. Apabila seorang pejabat tinggi Hindia Belanda datang ke keraton, lagu
kebangsaan Belanda Wilhemus dimainkan saat mereka memasuki Plataran Kamandhungan
Lor. Di dalam Kedhaton, mereka disuguhi musik yang dimainkan dari Bangsal Mandalasana.

Secara struktur organisasi, Abdi Dalem Musikan ditempatkan di bawah Kawedanan Kriya,


yang nantinya menjadi Kawedanan Hageng Punakawan Wahana Sarta Kriya. Musikantidak
ditempatkan di bawah Kawedanan Hageng Punakawan Kridamardawa yang menangani seni
budaya keraton.

Sikap Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mengenai musik Eropa dalam Keraton Yogyakarta
tampak dari penempatan tersebut. Walau menerima dan menggunakan produk budaya
kolonial, Sri Sultan menempatkannya di luar khazanah budaya Jawa. Selain itu, perlu dicatat
bahwa personel-personel berkebangsaan Eropa yang dipekerjakan di Kraton Orcest
Djogja berkebangsaan Jerman, Austria, dan Spanyol. Tidak ada yang berasal dari Belanda.

Anda mungkin juga menyukai