A. Pengertian
Paskibraka adalah sekelompok pemuda dari tingkat SMA yang telah diseleksi mulai
dari tingkat kota hingga nasional untuk bertugas mengibarkan bendera duplikat
pusaka.
- Definisi ini juga dapat diartikan dalam berbagai ragam, silahkan untuk
mengutarakannya menurut pemikiran pribadi
B. Sejarah
1. 4 Januari 1946 : ibukota Indonesia dipindah dari Jakarta menuju Yogyakarta.
Presiden saat itu, Bapak Soekarno, meminta Husein Mutahar (ajudan presiden)
untuk mempersiapkan peringatan Hari Ulang Tahun RI yang pertama. Peringatan
akan dilakukan dengan upacara pengibaran bendera pusaka. Husein Mutahar
berpikiran, bendera pusaka hendaknya dikibarkan oleh pemuda pemudi dari
seluruh daerah di Indonesia. Karena Untuk itu diambillah 5 orang pemuda (3 putra
2 putri) perwakilan daerah yang kebetulan sedang berada di Yogyakarta. 5
pemuda tersebut merupakan penggambaran dari Pancasila. Pengibaran bendera
pusaka masih ditangani oleh H. mutahar hingga tahun 1949.
2. Tahun 1950 ibukota Indonesia kembali berpindah di Jakarta, sejak saat itulah H.
Mutahar sudah tidak lagi menangani pengibaran bendera. Oleh karena itu tugas
tersebut diampu oleh Rumah Tangga Kepresidenan hingga tahun 1966. Selama
periode tersebut, pengibar diambil dari para pelajar dan mahasiswa yang ada di
Jakarta
3. Tahun 1967 H. Mutahar kembali dipanggil oleh presiden saat itu, Suharto, untuk
kembali menangani lagi masalah pengibaran bendera pusaka. Dengan ide dasar
pada tahun 1946 di Yogyakarta, beliau mengambangkan lagi formasi yang ada
menjadi 3 kelompok, yaitu :
a. Pasukan 17 sebagai pengiring yang beranggotakan siswa
b. Pasukan 8 sebagai pasukan inti yang membawa bendera dan beranggotakan
siswa
c. Pasukan 45 sebagai pasukan pengawal yang beranggotakan Pasukan Pengawal
Presiden karena ketidaktersediaan anggota.
Ketiga pasukan tersebut diberi nama Paskeraka (Pasukan Pengerek Bendera
Pusaka)
4. Mulai tahun 1968 petugas pengibaran bendera pusaka adalah para pemuda utusan
provinsi. Tetapi karena belum seluruh provinsi mengirim utusannya karena
keterbatasan transportasi, sehingga harus ditambah oleh eks-anggota pasukan
tahun 1967. Pada tahun ini juga terakhir kali bendera pusaka terakhir dikibarkan
sebelum digantikan oleh bendera duplikat tahun 1969. Kini bendera pusaka
disimpan di sebuah kotak kaca di Istana Merdeka, pernah juga disimpan di dalam
Museum Nasional
5. Tahun 1973, Kepala Dinas Pengembangan dan Latihan saat itu, Idik Sulaeman.
Beliau banyak membantu H. Mutahar dalam mewujudkan gagasannya membentuk
pasukan pengibar bendera. Akhirnya tercetuslah nama Paskibraka (Pasukan
Pengibar Bendera Pusaka) oleh Bapak Idik Sulaeman.
Lambang
Paskibraka memiliki 2 lambang, yaitu lambang Korps Paskibraka dan Lambang Purna
Paskibraka.
1. Lambang Korps Paskibraka
a. Bentuk perisai bermakna “Siap bela negara” termasuk bangsa dan tanah air
Indonesia, warna hitam sebagai dasar bermakna teguh dan percaya diri
b. Sepasang anggota Paskibraka bermakna bahwa Paskibraka terdiri dari putra dan
putri
c. Bendera merah putih yang sedang berkibar adalah bendera kebangsaan dan utama
Indonesia yang harus dijunjung tinggi seluruh bangsa Inodnesia termasuk generasi
mudanya
d. 3 garis horizon menunjukkan Paskibraka berada dalam 3 tingkatan, yaitu
Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota
e. Warna kuning bermakna kebanggaan dan keagungan juga ketauladanan dalam hal
perilaku dan sikap setiap anggota Paskibraka
2. Lambang Purna Paskibraka
a. Lambang bunga terati yang sedang mekar bermakna bahwa anggota Paskibraka
adalah pemuda yang tumbuh dari bawah (orang biasa) dari tanah air yang sedang
berkembang (mekar) dan membangun
b. 3 helai yang tumbuh ke atas bermakna belajar, bekerja, dan berbakti. 3 helai yang
tumbuh mendatar bermakna aktif disiplin, dan gembira
c. 18 mata rantai yang berkaitan melambangkan persaudaraan yang akrab dari ke-18
arah mata angin dari seluruh Indonesia.
Lagu
1. Lagu kebangsaan
Adalah lagu yang menjadi simbol suatu negara / daerah yang ditetapkan oleh
hukum, resmi, dan hanya ada satu di setiap negara. Lagu kebangsaan negara
Indonesia adalah Indonesia Raya. Pencetus dan pembuat lagu ini adalah W. R.
Supratman. Beliau membawakan lagu ini pertama kali menggunakan biola yang
dipelajari dari kakak iparnya. Motivasi beliau dalam membuat lagu kebangsaan
muncul saat beliau membaca majalah “Timbul” dan terdapat tantangan dari seorang
musisi Indonesia untuk membuat lagu kebangsaan. Pada akhirnya tahun 1924 lahirlah
Indonesia Raya dan didengunggan pertama kali pada Kongres Pemuda tanggal 28
Oktober 1928. Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 pada sidang PPKI I lagu
Indonesia Raya disahkan secara hukum sebagai lagu kebangsaan
Pada saat kependudukan Belanda, lirik Indonesia Raya yang mengandung kata
“merdeka” diubah menjadi “mulia” dikarenakan pihak Belanda mengira bangsa
Indonesia sedang memberontak.
2. Lagu patriotik
Adalah lagu yang mempunyai lirik yang dapat membangkitkan semangat cinta tanah
air.
3. Lagu nasionalisme
Adalah lagu mengenai nasionalisme dan perjuangan bangsa.
Bendera
Adalah secarik kain yang berbentuk segitiga atau segiempat yang bertiang dan
sebagai simbol suatu kelompok atau suatu tanda. Dapat dikatakan sebagai bendera
apabila fungsinya untuk dikibarkan atau direntangkan. Bendera negara Indonesia
adalah Bendera Merah Putih atau Sang Merah Putih atau Sang Dwiwarna. Bendera
Merah Putih pertama kali berkibar pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pada
saat pembacaan Proklamasi Kemerdekaan.
Bendera Merah Putih yang pertama kali dikibarkan adalah bendera pusaka
yang dijahit oleh ibu Fatmawati menggunakan mesin jahit merek SINGER. Terdapat
sekitar 200 jahitan di bendera tersebut. Pengibibar bendera pusaka saat Proklamasi
Kemerdekaan adalah Latief Hendraningrat sebagai pengerek, S. Suhud sebagai
menbentang dan Trimurti / Sukarni sebagai pembawa bendera.
Mental Ideologi
Garuda Pancasila
Merupakan lambang resmi NKRI
1. Pasal 36 A UUD 1945
“ Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”
2. UU No 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu
kebangsaan.
Terdapat semboyan Bhinneka Tunggal Ika berdasar pada Kitab Sutasoma karya Mpu
Tantular
Rwaneka Dhatu Winuwus Buddha Wisma
Bhinneki Rakwa Ring Apan Kena Parwanosen
Mangka ng Jinatwa Kalawan Siwatatwa Tunggal
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa
( Terpecah belah lah itu, tetaapi satu jugalah itu.Tidak ada kerancuan dalam
kebenaran)
Pada mulanya, dilakukan sayembara untuk menciptakan desain lambang negara
Indonesia.Tokoh yang terpilih memiliki desain lambang negara terbaik ialah Sultan
Hamid Al Kadrie II dari Pontianak dan Mohammad Yamin.
Sultan Hamid mengambil burung garuda yang diambil dari mitologi Hindu-Buddha
dimana Dewa Wisnu mengendarai (wahana) burung garuda tersebut.Selain itu,
muncul juga tokoh dewa burung lainnya seperti Jatayu dalam kisah Ramayana yang
mencoba menyelamatkan Dewi Sinta dari Rahwana.
Burung garuda dianggap memiliki nilai-nilai baik bagi bangsa seperti kebajikan,
keberanian, kekuatan, kesetiaan, dan menurunkan sifat Dewa Wisnu yang memelihara
tatanan alam semesta.Diharapkan bangsa Indonesia dapat tumbuh menjadi bangsa
yang besar dan kuat.
Untuk pertama kalinya, Sultan Hamid melukiskan lambang negara tersebut dengan
bentuk asli sepertii burung mitologi namun berlengan manusia dengan tangan
mencengkram perisai berbentuk jantung berisi lambang kelima sila Pancasila
Desain lambang negara pun juga dikerjakan oleh Mohammad Yamin (Aditya
Chandra) , namun dikarenakan terdapat unsur Jepang berupa sinar matahari sehingga
ditolak.
10 Januari 1950 dibentuk Panitia Lencana Negara (dibawah koordinasi Sultan Hamid
II sebagai Menteri Negara Zonder) dengan Mohammad Yamin sebagai ketua.Susunan
kepanitiaan nya antara lain :
1. Mohammad Yamin
2. Ki Hajar Dewantara
3. Pellaupessy
4. M.Natsir
5. R.M Poerbatjaraka
Desain lambang negara milik Sultan Hamid kemudian disempurnakan bersama
Soekarno dan Moh.Hatta.Penyerpunaan yang dilakukan ialah mengganti warna merah
putih pada pita yang dicengkram menjadi warna putih saja.
8 Februari 1950 Sultan Hamid II resmi mengajukan lambang negara tersebut dan
mendapat kritikan dari Partai Masyumi mengenai keberatan terhadap lambang burung
garuda tersebut yang dianggap terlalu mitologis ( setengah burung dengan tangan dan
bahu manusia yang memegang perisai) sehingga kembali disempurnakan menjadi
Rajawali-Garuda Pancasila atau Garuda Pancasila.
Garuda Pancasila resmi digunakan sebagai lambang negara pada tanggal 11 Februari
1950 di Sidang Kabinet RIS dan diperkenalkan kepada khalayak umum poada tanggal
15 Februari 1950 di Hotel Des Indes Jakarta.
Pada tanggal 20 Maret 1950, Presiden Soekarno meminta pelukis istana , Dullah,
untuk menyempurnakan kembali lambang negara tersebut dengan :
1. Menambahkan jambul (identik dengan elang jawa agar tidak seperti bald eagle
milik Amerika Serikat)
2. Mengubah posisi cakar yang mencengkram pita semboyan yang semula berada di
belakang menjadi di depan (Atas masukan Presiden Soekarno)
3. Menambah skala ukuran dan tata warna
Rancangan final Garuda Pancasila ini dibuatkan patung besar dari perunggu berlapis
emas dan disimpan di Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional.
Makna lambang Garuda Pancasila :
Warna emas : Keagungan dan kejayaan
Paruh, sayap, ekor : Kekuatan dan tenaga pembangunan
Bentuk : Bangsa yang besar dan kuat
Menoleh ke kanan : Identik dengan kebenara ( Pada gedung MPR-DPR
menghadap ke kanan dengan maksud agar tidak memihak pada suatu
kehendak dan hanya fokus kepada satu titik untuk menyejahterakan
rakyat)
Perisai berbentuk jantung dengan rantai kuning keemasan di leher.Perisai
sendiri bermakna perjuangan, pertahanan, dan perlindungan untuk mencapai
tujuan bangsa.
Garis tebal horizontal di tengah perisai yang melambangkan bahwa Indonesia
dilalui oleh Garis Khatulistiwa, dimana Tugu Khatulistiwa sendiri berada di
Pontianak,
Makna jumlah bulu :
17 helai bulu pada masing-masing sayap (17 pasang) melambangkan tanggal
kemerdekaan RI
8 helai bulu pada ekor melambangkan bulan kemerdekaan yang jatuh pada
bulan Agustus
19 helai bulu di bawah perisai atau pangkal ekor dan 45 helai bulu di leher
melambangkan tahun kemerdekaan yang jatuh pada tahun 1945
Makna lambang pancasila :
Bintang emas : 5 sudut pada bintang melambangkan lima keyakinan di
Indonesia
Rantai emas : Kemanusiaan dengan tolong menolong ( tali rantai
bermata bulatan melambangkan putri dan persegi melambangkan putra)
Pohon beringin : Akar tunggang yang menancap di tanah dengan kokoh
( persatuan Indonesia yang kuat dan kokoh) dan akar napas yang berarti
keberagaman budaya serta adat istiadat di Indonesia
Kepala banteng : Banteng sebagai lambang binatang sosialis ( binatang
yang tidak pernah sendiri dengan jiwa kekeluargaan yang tinggi)
Padi dan Kapas : Kesejahteraan pangan (padi) dan sandang (kapas) bagi
rakyat Indonesia
Makna warna :
Emas : Keluhuran, kemegahan
Hitam : Keabadian
Merah : Keberanian
Putih : Kebenaran, kesucian, kemurnia
Hijau : Kesuburan, kemakmuran
Pancasila
Pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 diselenggarakan sidang BPUPKI dimana beberapa
anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan dasar negara.
Usulan pertama oleh Mohammad Yamin (29 Mei 1945)
Rumusan Pidato :
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Rumusan Tertulis :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan persatuan Indonesia
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Usulan kedua oleh Mr.Soepomo (31 Mei 1945)
Rumusan Pidato :
1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Keseimbangan lahir dan batin
4. Musyawarah
5. Keadilan Rakyat
Selain itu juga dikenal dengan Teori Individualistik, golongan, integral
yang memuat asas persatuan Indonesia.
Usulan ketiga oleh Ir. Soekarno (1 Juni 1945)
Ir.Soekarno memunculkan dasar bernama Philosophishe Gronslag tentang
filsafat, fundamental, pikiran sedalam-dalamnya yang diatasnya didirikan gedung
bernama Indonesia Merdeka dengan nama Pancasila.
Rumusan Pidato :
1. Kebangsaan Indonesia atau Nasionalisme
2. Internasionalisme atau peri kemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan yang berbudaya
Ir. Soekarno pun melahirkan 5 usulan sila dengan nama Pancasila yang dapat
disederhanakan lagi menjadi 3 usulan sila dengan nama Trisila (Sosio-nasional,
Sosio-demokratis, ketuhanan), dan 1 usulan sila dengan nama Ekasila (Gotong-
royong sebagai kepribadian bangsa)
Pembentukan Panitia Kecil (9 orang) yang bertugas untuk menampung dan
mengidentifikasi usulan dasar negara pada sidang BPUPKI pertama yang telah
dilaksanakan.
Panitia 9 ini kemudian membentuk sebuah kumpulan panitia lagi yang diberi nama
“Panaitia Kecil” untuk memutus perkara mengenai hubungan Negara dan Agama
antara golongan Islam dengan golongan kebangsaan.
Persetujuan antara dua golongan tersebut dilakukan oleh Panitia 9 dalam suatu
dokumen disebut Piagam Jakarta atau Jakarta Charter pada tanggal 22 Juni 1945.
Dalam Piagam Jakarta, alenia pertama hingga ketiga berisi tentang pernyataan
kemerdekaan Indonesia dan pada alenia keempat berisi tentang rancangan dasar
negara.
Pada penyusunan UUD di Sidang kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan sebagai
Muqaddimah (Preambule) dan pada tanggal 18 Agustus 1945 berubah menjadi
Pembukaan.Pada butir pertama yang berisi “Kewajiban menjalankan Syariat
Islam bagi pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” oleh Drs.
Moh. Hatta atas usul A.A Maramis, Teuku Muhammad Hassan, Kasman
Singodimejo, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Pancasila terdiri atas suku kata Panca (Lima) dan Sila (Batu/ sendi/ dasar )
Pancasila sendiri sudah ada sejak zaman Majapahit dan terdapat pada Kitab
Negarakertagama (Mpu Prapanca) serta Sutasoma (Mpu Tantular)
Pancasila memuat lima silakrama atau sendi utama antara lain :
1. Dilarang melakukan kekerasan
2. Dilarang mencuri
3. Dilarang berbuat dengki
4. Dilarang berbohong
5. Dilarang mabuk
Sistem Pemerintahan di Indonesia
Pemerintahan berasal dari kata perintah yang artinya mengatur
Sistem pemerintahan adalah suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen
yang saling bergantungan dan mempengaruhi dalam mencapai tujuan dan fungsi
pemerintahan
Sistem pemerintahan merupakan sarana pemerintah untuk menjalankan roda
pemerintahan guna menjaga kestabilan masyarakat, tingkah laku kaum mayoritas
maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, serta menjaga kekuatan politik,
ekonomi, dan keamanan sehingga menjadi suatu sistem yang continue dan demokrasi
dimana masyarakat dapat turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan
tersebut
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI meresmikan Pancasila sebagai dasar negara,
UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, serta menetapkan Ir.Soekarno sebagai
presiden dan Drs.Moh.Hatta sebagai wakil presiden pertama Indonesia
Periodesasi sistem pemerintahan di Indonesia antara lain :
18 Agustus 1945-27 Desember 1949
Merupakan era kepemimpinan pertama pasca kemerdekaan RI dengan bentuk
negara Kesatuan, bentuk pemerintahan Republik, dan sistem pemerintahan
Presidensil berdasar kepada UUD 1945
Terjadi Agresi Militer I pada tanggal 19 Desember 1948 dimana Soekarno dan
Hatta ditangkap oleh sekutu. Syarifuddin Prawiranegara diberi mandat untuk
membentuk Pemerintahan darurat Indonesia di Bukittinggi per tanggal 22
Desember 1948-13 Juli 1949.
Pada tanggal 27 Desember 1949 terjadi penyerahan kedaulatan Kerajaan
Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS dengan tidak bersyarat dan
tidak dapat dicabut) dalam KMB di Den Haag, Belanda.
27 Desember 1949-15 Agustus 1950
Dimulainya konstitusi RIS setelah KMB dengan bentuk negara Serikat,
bentuk pemerintahan Republik, dan sistem pemerintahan Parlementer Semu
Kepala negara sendiri dipimpin oleh Presiden (Ir.Soekarno) sedangkan kepala
pemerintahan oleh Perdana Menteri
15 Agustus 1950-5 Juli 1959 (Orde Lama)
Adanya perubahan konstitusi yang semula berupa konstitusi RIS menjadi
UUDS 1950 (Undang-Undang Dasar Sementara) dimana bentuk negara
Kesatuan, bentuk pemerintahan Republik, dan sistem pemerintahan
Parlementer.Selain itu dibentuklah Konstituante yang bertujuan untuk
membentuk konstitusi baru
Pada tahun 1955, terjadi Pemilu (Pemilihan Umum) pertama
Pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 5 sore, Presiden Soekarno mengeluarkan
Dekrit Presiden di Istana Merdeka yang menyatakan bahwa :
1. Pengembalian konstitusi dari UUDS 1950 kepada UUD 1945 dikarenakan
UUDS 1950 memiliki kepastian hukum yang lemah
2. Pembubaran Konstituante dikarenakan tidak gagal menjalankan tugas
dalam membuat konstitusi baru selama 9 tahun
3. Dibentuknya MPRS dan DPAS
22 Februari 1966-21 Mei 1998 (Orde Baru)
Dalam Orde Baru ini, bentuk negara ialah Kesatuan, bentuk pemerintahan
Republik, dan sistem pemerintahan Presidensil berlandaskan kepada
konstitusi UUD 1945
Merupakan era masa jabatan Presiden Soeharto selama 32 tahun lamanya.Pada
tanggal 22 Februari 1966 – 24 Maret 1973, Presiden Soeharto tidak memiliki
wakil presiden.Meskipun begitu, terdapat beberapa wakil presiden yang
pernah mendapingi Presiden Soeharto antara lain :
1. 24 Maret 1973 - 23 Maret 1978 : HB IX
2. 23 Maret 1978 - 11 Maret 1983 : Adam Malik
3. 11 Maret 1983 - 11 Maret 1988 : Umar Wirahadikusuma
4. 11 Maret 1988 - 11 Maret 1993 : Soedarmono
5. 11 Maret 1993 - 10 Maret 1998 : Try Sutrisno
6. 10 Maret 1998 - 21 Mei 1998 : B. J Habibie
21 Mei 1998 – Sekarang ( Reformasi)
Pada era Reformasi, Indonesia memiliki bentuk negara Kesatuan, bentuk
pemerintahan Republik, dan sistem pemerintahan Presidensil dengan
konstitusi UUD 1945
Presiden dan wakil presiden yang pernah menjabat dalam era ini adalah :
1. 21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999 : B.J Habibie (sendiri)
2. 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001 : Adurrahman Wahid dan
Megawati Soekarnoputri
3. 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004 : Megawati Soekarnoputri dan
Hamzah Haz
4. 20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2009 : Susilo Bambang Yudhoyono
dan Jusuf Kalla
5. 20 Oktober 2009 – 20 Oktober 2014 : Susilo Bambang Yudhoyono
dan Boedhiono
5. 20 Oktober 2014 – sekarang : Joko Widodo dan Jusuf Kalla
PU
Kota Yogyakarta
SEJARAH Kota Yogyakarta
Dasar Hukum
Ketetapan DPRD Nomor 2 Tahun 1952 tentang Penetapan Lambang Kota Praja Yogyakarta
Makna Lambang
Perbandingan ukuran 18 : 25 , untuk memperingati tahun permulaan perjuangan Pangeran
Diponegoro di Yogyakarta (tahun 1825)
Warna Hitam : Simbol Keabadian
Warna Kuning dan Keemasan : Simbol Keluhuran
Warna Putih : Simbol Kesucian
Warna Merah : Simbol Keberanian
Warna Hijau : Simbol Kemakmuran
Padi dan kapas: Jalan yang ditempuh dalam usaha kemakmuran pangan dan sandang
Gunaning Keris Anggatra Kota Praja : Tahun 1953 merupakan tahun permulaan pemakaian
Lambang Kota Yogyakarta
Warna Hasta Samadyaning Kotapraja : Tahun 1884
Dalam rangka menumbuhkan menjadi kebanggaan dan maskot daerah telah ditetapkan pohon
Kelapa Gading (Cocos Nuciferal vv.Gading) dan Burung Tekukur (Streptoplia Chinensis
Tigrina) sebagai flora dan fauna identitas Kota Yogyakarta
Keberadaan pohon Kelapa Gading begitu melekat pada kehidupan masyarakat Yogyakarta,
karena dikenal sebagai tanaman raja serta mempunyai nilai filosofis dan budaya yang sangat
tinggi, sebagai kelengkapan pada upacara tradisional/religius, mempunyai makna simbolis
dan berguna sebagai obat tradisional.
Burung tekukur dengan suara merdu dan sosok tubuh yang indah mampu memberikan
suasana kedamaian bagi yang mendengar, menjadi kesayangan para pangeran dilingkungan
kraton. Dengan mendengar suara burung tekukur diharapkan orang akan terikat kepada Kota
YogyakartaDasar Hukum
PR !!!
PU DIY
Dari nama daerah ini yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus statusnya sebagai Daerah Istimewa.
Status sebagai Daerah Istimewa berkenaan dengan runutan sejarah berdirinya propinsi ini, baik sebelum
maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa) adalah nama yang diberikan Paku
Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati.
Yogyakarta berarti Yogya yang kerta, Yogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta
Hadiningrat berarti Yogya yang makmur dan yang paling utama. Sumber lain mengatakan, nama
Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana. Dalam penggunaannya
sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa).
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena Yogyakarta
adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai
asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di jaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende
Landschappen. Di jaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang
kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh
Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I.
Baik Kasultanan maupun Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai kerajaan dengan
hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Terakhir kontrak
politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941 No. 47 dan kontrak politik Pakualaman
dalam Staatsblaad 1941No.577.
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII
mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah
Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu
mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku
Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden
Republik Indonesia. Pegangan hukumnya adalah :
1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945
dari Presiden Republik Indonesia.
2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945
( yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah).
3. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 ( yang
dibuat bersama dalam satu naskah ).
Dari 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia,
justru dimasa perjuangan bahkan mengalami saat-saat yang sangat mendebarkan, hampir-hampir saja
Negara Republik Indonesia tamat riwayatnya. Oleh karena itu pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia yang
berkumpul dan berjuang di Yogyakarta mempunyai kenangan tersendiri tentang wilayah ini. Apalagi
pemuda-pemudanya yang setelah perang selesai, melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada, sebuah
Universitas Negeri yang pertama didirikan oleh Presiden Republik Indonesia, sekaligus menjadi monumen
hidup untuk memperingati perjuangan Yogyakarta.
Pada saat ini Kraton Yogyakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Puro Pakualaman
oleh Sri Paduka Paku Alam IX. Keduanya memainkan peranan yang sangat menentukan di dalam
memelihara nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.
Dengan dasar pasal 18 Undang-undang 1945, Dewan Perwakilan Rakyat Propisni Daerah Istimewa
Yogyakarta menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari
dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya
dihormati.
Pasal 18 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa “ pembagian Daerah Indonesia atas daerah
besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-
usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa “.
Sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi, Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang-
undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut. Disebutkan bahwa Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman.
Sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Yogyakarta kaya predikat, baik berasal dari
sejarah maupun potensi yang ada, seperti sebagai kota perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota
pariwisata.
Sebutan kota perjuangan untuk kota ini berkenaan dengan peran Yogyakarta dalam konstelasi perjuangan
bangsa Indonesia pada jaman kolonial Belanda, jaman penjajahan Jepang, maupun pada jaman perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Yogyakarta pernah menjadi pusat kerajaan, baik Kerajaan Mataram
(Islam), Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.
Sebutan kota kebudayaan untuk kota ini berkaitan erat dengan peninggalan-peninggalan budaya bernilai
tinggi semasa kerajaan-kerajaan tersebut yang sampai kini masih tetap lestari. Sebutan ini juga berkaitan
dengan banyaknya pusat-pusat seni dan budaya. Sebutan kata Mataram yang banyak digunakan sekarang
ini, tidak lain adalah sebuah kebanggaan atas kejayaan Kerajaan Mataram.
Predikat sebagai kota pelajar berkaitan dengan sejarah dan peran kota ini dalam dunia pendidikan di
Indonesia. Di samping adanya berbagai pendidikan di setiap jenjang pendidikan tersedia di propinsi ini, di
Yogyakarta terdapat banyak mahasiswa dan pelajar dari seluruh daerah di Indonesia. Tidak berlebihan bila
Yogyakarta disebut sebagai miniatur Indonesia.
• 17 bunga kapas, 8 daun kapas dan 45 butir padi, adalah lambang Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia.
• Bulatan (golong) dan tugu berbentuk silinder (giling), adalah lambang tata kehidupan gotong
royong.
• Nilai-nilai keagamaan, pendidikan dan kebudayaan, digambarkan dengan bintang emas bersegi
lima dan sekuntum bunga melati di puncak tugu. Bunga melati dan tugu yang mencapai bintang
menggambarkan rasa sosial dengan pendidikan dan kebudayaan luhur serta ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Bunga melati yang sering digunakan dalam upacara sakral mengandung
nilai seni, budaya dan religius.
• Warna-warna merah putih yang dominan, serta tugu yang tegak, adalah lambang semangat
perjuangan dan kepahlawanan tatanan “mirong” pada hiasan saka guru sebagai hiasan spesifik
Yogyakarta, adalah lambang semangat membangun.
• Warna hijau tua dan hijau muda, adalah lambang keadaan alam Daerah Istimewa Jogjakarta
dilukiskan dengan karena ada bagian ngarai yang subur dan ada daerah perbukitan yang kering.
• Candrasengkala / Suryasengkala terbaca dalam huruf jawa adalah lambang rasa Suka Ngesthi
Praja, Yogyakarta Trus Mandhiri, yang artinya dengan berjuang penuh rasa optimisme
membangun Daerah Istimewa Jogjakarta untuk tegak selama-lamanya: rasa (6) suka (7) ngesthi
(8) praja (1) tahun jawa 1876, Jogja (5) karta (4) trus (9) mandhiri (1) tahun masehi 1945, yaitu
tahun de facto berdirinya Daerah Istimewa Jogjakarta.
• Tugu yang dilingkari dengan padi dan kapas, adalah lambang persatuan, adil dan makmur.
Logo
Jumlah
No Kabupaten/K Kecama Kelurahan/d Luas Kepadat
pendud Lokasi
. ota tan esa (km2) an (/km2)
uk
Kabupaten
1 17 -/75 506,86 911.503 1.798
Bantul
Kabupaten 1.485,3
2 18 -/144 748.119 503,66
Gunungkidul 6
Kabupaten
3 12 1/87 586,27 470.520 802,57
Kulon Progo
Kabupaten 1.093.11
4 17 -/86 574,82 1.901,66
Sleman 0
Kota
5 14 45/- 32,50 636.660 13.340
Yogyakarta
1. Kota Yogyakarta
Slogan : Yogyakarta Berhati Nyaman = bersih, sehat, indah, nyaman dan aman
Makanan khas : kipo, gudeg, bakpia
2. Kabupaten Sleman (kab. Terkaya)
Slogan : Sleman Sembada = sehat, elok dan edi, makmur dan merata, bersih dan berbudaya, damai
dan dinamis, aman dan adil, agamis
Flora : salak pondoh & Fauna : burung punglor
Makanan Khas : jadah tempe, salak
3. Kabupaten Bantul
Slogan : Bantul Projotamansari = produktif, profesional, ijo royo-royo, tertib, aman, sehat, asri.
Flora : sawo kecik & Fauna : burung kuter
Makanan khas : geplak, adrem, peyek undur undur
4. Kabupaten Kulonprogo
Slogan : Kulonprogo Binangun = beriman, indah, nuhoni, aman, nalar, guyub, ulet, dan nyaman
Flora : manggis kalagesing & fauna : burung kacer
Makanan khas : gebleg, tempe benguk, growol
5. Kabupaten Gunungkidul
Slogan : Gunungkidul Handayani = hijau, aman, normatif, dinamis, amal, yakin, asah asih asuh,
nilar tambah indah
Flora : pohon nangka & Fauna : lebah madu
Makanan Khas: gatot, tiwul
*Nb : Bendara = anak dari selir & Gusti = anak dari permaisuri
*Nb : PR ditulis dibuku materi.
KOTA YOGYAKARTA
Kota Yogyakarta (Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta) adalah sebuah kota besar di
Indonesia. Kota ini pernah menjadi ibukota Indonesia pada masa revolusi. Selain itu kota ini
juga menjadi Ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku
Buwana X dan Paku Alam IX.
Makanan khas kota ini adalah gudeg. Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, karena hampir
20% penduduk produktifnya adalah pelajar.Jogja merupakan kota yang diwarnai dinamika
pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia.
Kecamatan : 14
Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan yang berkualitas, Pariwisata yang
berbudaya, pertumbuhan dan pelayanan jasa yang prima, ramah lingkungan serta masyarakat
madani yang dijiwai semangat Mangayu Hayuning Bawana.
1. Menjadikan dan mewujudkan lembaga pendidikan formal, non formal dan sumber
daya manusia yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan tehnologi serta kompetitif
dalam rangka mengembangkan pendidikan yang berkualitas.
2. Menjadikan dan mewujudkan pariwisata , seni dan budaya sebagai unggulan daerah
dalam rangka mengembangkan kota sebagai kota pariwisata yang berbudaya.
3. Menjadikan dan mewujudkan Kota Yogyakarta sebagai motor penggerak
pertumbuhan dan pelayanan jasa yang prima untuk wilayah Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan .
4. Menjadikan dan mewujudkan masyarakat yang menyadari arti pentingnya kelestarian
lingkungan yang dijiwai semangat ikut memiliki/handarbeni.
5. Menjadikan dan mewujudkan masyarakat demokrasi yang dijiwai oleh sikap
kebangsaan Indonesia yang berketuhanan, berkemanusiaan yang adil dan beradab,
berkerakyatan dan berkeadilan sosial dengan semangat persatuan dan kesatuan
Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar
Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam
kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta
(Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.
Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut
Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat
suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu
dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas
diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad
hutan tadi untuk didirikan Kraton.
Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan
Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan
tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi
dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan
Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai
peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah
Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan
Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi
Tanggal 7 Oktober 1756
Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan
Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu
kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategis
menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan
Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil
Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau
mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman
merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18
UUD 1945.
Makna Lambang :
Sungai
INSTANSI
IMPORTANT PLACE
Balai Kota Yogyakarta : Jalan Kenari No.56
Gedung DPRD Kota Yogyakarta : Jalan Ipda Tut Harsono
Rumah Dinas Walikota : Jalan Kenari (Timur Balai Kota)
Dinas Pendidikan : Jalan Hayam Wuruk no. 11
Taman Pintar : Jalan Pangeran Senopati
Among Raga : Jalan Cendana dan Jalan Kenari
Stadion Mandala Krida : Jalan Gayam dan Jalan Gondosuli
Taman Makam Pahlawan : Jalan Kusumanegara
VISI
Bertitik tolak dari kondisi dan potensi diatas, maka visi pembangunan daerah adalah sebagai berikit :
Terwujudnya pembangunan Regional sebagai wahana menuju pada kondisi Daerah Istimewa
Yogyakarta pada Tahun 2020 sebagai pusat pendidikan, budaya dan Daerah tujuan wisata terkemuka,
dalam lingkung-an masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera lahir batin didukung oleh nilai-nilai
kejuangan dan pemerintah yang bersih dalam pemerintahan yang baik dengan mengembangkan
Ketahanan Sosial Budaya dan sumberdaya berkelanjutan.
Kondisi yang secara bertahap ingin dicapai dengan ditetapkannya visi tersebut, antara lain :
Terbentuk citra Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wilayah pengem-bangan sosiokultural dan
sosioekonomi yang dinamis dan inovatif, berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi maju serta
moral masyarakat yang berlandaskan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tersedianya lapangan kerja yang memberikan penghasilan yang cukup bagi masyarakat secara adil dan
merata .
Terciptanya tingkat kesehatan dan gizi masyarakat yang cukup baik, sehingga sumber daya manusia
yang maju, mandiri dan sejahtera dalam lingkungan yang sehat, sehingga dapat diandalkan dalam
persaingan global.
Terciptanya kondisi yang kondusif bagi partisipasi masyarakat secara luas dalam pembangunan daerah
yang bertumpu pada tata nilai budaya serta sumberdaya yang berkelanjutan, dengan mengembangkan
kerukunan hidup antar komponen masyarakat, baik antara agama, suku dan budaya .
Terciptanya masyarakat yang menghormati dan menegakkan Hak Azasi Manusia (HAM) dalam segala
aspek kehidupan .
Terlaksananya pelayanan pemerintah yang handal, effisien dan transparan didalam suasana kehidupan
yang aman dan tentram dalam kerangka otonomi daerah.
MISI
Berdasarkan visi pembangunan serta kondisi daerah yang diharapkan akan terbentuk secara bertahap tersebut
diatas, maka ditetapkan misi pem-bangunan daerah, sebagai berikut :
Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Pusat Pendidikan Terkemuka di Indonesia yang
didukung oleh masyarakat yang berilmu pe-ngetahuan dan teknologi (IPTEK) tinggi .
Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Pusat Kebudayaan Terkemuka di Indonesia dengan
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat seba-gai Pusat Budaya, dan bertaqwa (IMTAQ), serta mampu
memilih dan me-nyerap Budaya Modern yang positif dan tetap melestarikan Budaya Daerah .
Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah otonom yang maju dan didukung oleh
aparatur yang terpercaya, professional, trans-paran dan akuntabel, menuju penyelenggaraan
kepemerintahan yang baik, demokratis dan berlandaskan pada supremasi hukum dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia .
Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wilayah pembangunan yang terpadu,
komplementatif dan sinergi antar Wilayah dan antar sektor yang efisien dan efektif serta didukung
pelibatan secara langsung dan aktif peran masyarakat dalam pembangunan daerah, melalui ketahanan
social budaya dan ketahanan sumberdaya, yang berwawasan lingkungan, untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Daerah Tujuan Wisata MICE (Meeting Incentive,
Conference and exibition) utama di Indonesia dan sekaligus mengembalikan posisi DIY sebagai
Daerah Tujuan Wisata kedua setelah Bali, yang didukung posisi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai
simpul strategis dan penting dalam perhubungan dan komunikasi di Pulau Jawa .
Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Wilayah pengembangan Industri sedang dan kecil
non polutan serta industri rumah tangga modern yang didukung oleh pengembangan teknologi tepat
guna dan sepadan seni daerah dalam rangka mendukung pengembangan pariwisata daerah dan
permintaan pasar global.
Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wilayah pengembangan pertanian dalam arti luas
(Pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan) yang didukung oleh
berkembangnya perekonomian rakyat yang berkualitas dalam rangka memenuhi tuntutan pasar local,
regional dan global dengan produk Agrobisnis dan Agroindustri yang kompetitif.
SEJARAH
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan, karena
Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran
Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Kadipaten Pakualaman,
berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku
Buwono II) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I.
Baik Kasultanan maupun Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai
kerajaan dengan hak mengatur rumah tangganya sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam
kontrak politik.
Pada saat proklamasi kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam
VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta
dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara RI, serta bergabung menjadi satu,
mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX
dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab
langsung kepada Presiden RI. Pegangan hukumnya adalah :
1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII
tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden RI.
2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal
5 September 1945 (yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah).
3. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30
Oktober 1945 (yang dibuat bersama dalam satu naskah).
Dari 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara RI,
justru dimasa perjuangan bahkan mengalami saat-saat yang sangat mendebarkan, hampir-
hampir saja Negara RI tamat riwayatnya. Oleh karena itu pemimpin-pemimpin bangsa
Indonesia yang berkumpul dan berjuang di Yogyakarta pada waktu itu mempunyai kenangan
tersendiri terhadap kota Yogyakarta. Apalagi pemuda-pemudanya yang setelah perang
selesai, melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada, sebuah Universitas Negeri yang
pertama didirikan oleh Pemerintah RI, sekaligus menjadi monumen hidup untuk
memperingati perjuangan Yogyakrta.
Pada saat ini Kraton Yogyakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Puro
Pakualaman dipimpin oleh Sri Paduka Paku Alam IX. Keduanya memainkan peran yang
sangat menentukan didalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat-istiadat jawa dan
merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.
Dengan dasar pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, Dewan Perwakilan Rakyat Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk
Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan
Pemerintah-an Daerahnya yang sepatutnya dihormati.
Pasal 18 Undang-undnag Dasar 1945 itu menyatakan bahwa "pembagian Daerah Indonesia
atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem
Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa".
Sesuai dengan latar belakang sejarah berdirinya Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang
bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka keberadaan dan posisi raja-
raja yang berada di Yogyakarta pun berubah karena tidak lagi bersifat politik namun lebih
bersifat sebagai pemimpin dan pengayom di bidang pelestarian kebudayaan. Di Yogyakarta,
terdapat 2 (dua) orang tokoh pemangku adat yang juga merupakan pemimpin di lingkungan
kraton yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam ke IX.
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa mempunyai
sumbangan yang cukup besar dalam memajukan kebudayaan Nasional. Jumlah suku/etnis asli
yang ada cenderung homogen yaitu 1 (satu) yaitu suku Jawa, meskipun demikian karena
sebagai pusat pendidikan, budaya dan pariwisata maka sebetulnya para pendatang yang
berasal dari luar DIY maupun luar Jawa juga banyak berdatangan di DIY. Seiring dengan
jumlah suku/etnis asli hanya 1 (satu) buah, maka bahasa lokal yang digunakan selain bahasa
Indonesia adalah hanya 1 (satu) buah bahasa lokal yaitu bahasa Jawa.
LAMBANG
Lambang Daerah Istimewa Yogyakarta mengandung
makna sebagai berikut :
1. L a n d a s a n I
Maha Esa), tugu dan sayap mengembang (Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab), bulatan-bulatan berwarna merah
dan putih (Persatuan Indonesia), ompak, batu penyangga
saka guru/tugu (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan), dan
padi-kapas (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia).
2. P r o k l a m a s i
kapas dan 45 butir padi.
3. Tata kehidupan gotong royong digambarkan dengan bulatan (golong) dan tugu
berbentuk silinder (gilig).
4. Nilai-nilai keagamaan, pendidikan dan kebudayaan, digambarkan dengan bintang
emas bersegi lima dan sekuntum bunga melati di puncak tugu. Bunga melati dan tugu yang
mencapai bintang menggambarkan rasa susila dengan pendidikan dan kebudayaan luhur serta
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bunga Melati yang sering digunakan dalam
upacara sakral mengandung nilai seni, budaya dan religius.
5. Semangat perjuangan dan kepahlawanan digambarkan dengan warna-warna merah
putih yang dominan, serta tugu yang tegak.
6. Semangat membangun digambarkan dengan tatahan mirong pada luasan soko guru
sebagai luasan spesifik Yogyakarta.
7. Sejarah terbentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta dilukiskan dengan sayap
mengembang berbulu 9 helai di bagian luar dan 8 helai di bagian dalam, menggambarkan
peranan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII, yang pada
tanggal 5 September 1945 mengeluarkan amanatnya untuk menggabungkan daerah
Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta.
8. Keadaan alam Daerah Istimewa Yogyakarta dilukiskan dengan warna hijau tua dan
hijau muda, karena ada bagian ngarai yang subur dan ada daerah perbukitan yang kering.
9. Candrasengkala/Suryasengkala terbaca dalam huruf Jawa : Rasa Suka Ngesthi Praja,
Yogyakarta Trus Mandhiri, yang artinya dengan berjuang penuh rasa optimisme membangun
Daerah Istimewa Yogyakarta untuk tegak selama-lamanya : rasa (6) suka (7) trus (9)
mandhiri (1) tahun Masehi 1945, yaitu tahunde facto berdirinya Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Bersatu, adil dan makmur, dilukiskan dengan tugu tegak yang dilingkari dengan padi dan
kapas. Nilai-nilai peradaban yang luhur digambarkan secara menyeluruh berwujud ukiran,
sungging dan prada yang indah.
Pemikiran band image diawali oleh Sri Sultan pada tahun 2001
Latar Belakang
1. krisis multidimensional sejak beberapa yang silam telah membawa dampak yang
serius terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial. Kondisi ini
menyebabkan investor, trader, dan wisatawan merasa khawatir untuk berkunjung.
Dalam kondisi yang penuh dengan ketidakpastian tersebut, Yogyakarta telah
membuktikan sebagai kawasan yang relatif aman dan damai dengan semangat
keharmonisan (harmony), saling menghormati (respect to each other)dan demokrasi.
Kondisi yang kondusif dan menguntungkan ini harus senantiasa dipelihara
sehingga image baik tentang Yogyakarta akan terus tertanam dibenak para investor,
pelaku usaha dan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara
2. Yogyakarta perlu secara serius membangun posisi yang jelas (clear
positioning), kekuatan yang berbeda/khas (strong differentiation) dan
membangun brand image yang unik (brand image)untuk memenangkan kompetisi
dalam pasar global.
3. Yogyakarta melihat bahwa strategi membangun brand image sangatlah diperlukan,
karenabrand tersebut akan menjadi indikator nilai (value indicator) yang akan
didukung oleh seluruh stakeholder di Yogyakarta.
Nilai—nilai utama
Yogyakarta dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa yang kaya akan warisan budaya.
Disamping itu, Yogyakarta juga selalu terbuka untuk menerima kebudayaan nasional dan
regional lainnya yang selaras, termasuk budaya global yang positip dan memperkaya
kebudayaannya. Jadi, warisan budaya yang ada secara alami tidak bersifat eksklusif dan
statis, melainkan inklusif dan dinamis dari waktu ke waktu. Yogyakarta juga selalu
mendorong terjadinya dialog, interaksi dan akulturasi dengan dunia luas. Dengan demikian
budaya Yogyakarta akan tumbuh dan berkembang bersamaan dengan proses pewarisan dan
revitalisasi dari generasi ke generasi. Yogyakarta juga mendorong terjadinya proses
modernisasi dan universalisasi mengikuti perkembangan serta kemajuan teknologi. Artinya,
Yogyakarta akan merangkul dunia dan dunia secara antusias disambut di Yogyakarta (Jogja
shall intimately embrace the world will enthusiascally welcome Jogja)
Perkutut
DATI II
Kota Yogyakarta (Berhati Nyaman) : Haryadi Suyuti dan Imam
Priyono
OBYEK WISATA
Objek wisata yang menarik di Jogjakarta: Malioboro, Istana air Taman Sari, Monumen Jogja Kembali, Museum
Keraton, Museum Sonobudoyo, Lereng Merapi, Kaliurang, Pantai Parangtritis, Pantai Baron, Pantai Samas, Goa
Selarong, candi Prambanan, Candi Sewu, Candi mendut.
Kabupaten Bantul
Goa Selarong, Pantai Pandansimo, Pantai Pandanpayung, Pantai Samas, Gunung Pasirlanang, Pantai
Parangtritis, Pantai Parangkusumo, Pantai Parangwedang.
Kabupaten Kulonprogo
Goa Kiskendo, Pegunungan Samigaluh, Gunung Gajah, Sendangsono, Pantai Congot, Pantai Pasir Mendit,
Pantai Dukuh Bayeman, Pantai Palihan, Pantai Glagah, Pantai Dukuh Trukan, Pantai Pandan Segegek
Kabupaten Gunungkidul
Goa Girijati, Goa Langse, Goa Grengseng, Goa Ngluaran, Goa Parang Kencono, Pemandangan Ereng, Gunung
Batur, Gunung Gambar, Lokasi Olahraga Layang Gantung (bukit Kecamatan Pathuk dan Kecamatan
Panggang), Hutan pendidikan Wabagama, Hutan Bunder, Pantai Langkap, Pantai Butuh, pantai Baron, Pantai
Slili, Pantai Krakal, Pantai Sungap, Pantai Wediombo, Pantai Sadeng, Pantai Ngongap
Kabupaten Sleman
Lereng Gunung Merapi
Kabupaten Bantul
Makam Imogiri
Kabupaten Gunungkidul
Situs Sokoliman, Situs Mangunan, Situs Beji, Situs Ngluweng, Candirejo, Candi Risan
Kabupaten Sleman
Candi Gebang, Candi Sambisari, Candi Banyunibo, Petilasan Ratu Boko, Candisari Sokogedhug, Candi Ijo,
Candi Prambanan, Candi Kalasan
Kabupaten Bantul
Obyek wisata kesenian dan tradisi Jathilan, Gejok Lesung, Kethoprak, upacara Rebo Wekasan, upacara Kupatan
Jolosutro, upacara labuhan
Kabupaten Kulonprogo
Upacara adat Labuhan (oleh keluarga Pakualaman)
Kabupaten Gunungkidul
Jathilan, Gejog Lesung, Reyok, Kethoprak, Upacara Rebo Wekasan, upacara Kupaten Jolosutro, upacara
Labuhan, upacara Bersih Telaga
Kabupaten Sleman
Kesenian Angguk, Jathilan, Badui, Wayang Kulit
Museum
Museum Sonobudoyo, Museum Pangeran Diponegoro Wirotomo, Museum Angkatan Darat, Museum
Perjuangan, Museum Biologi UGM, Museum Khusus Dirgantara, Museum Dewantoro Kirti Griya, Museum
Affandi, Museum Kraton, Benteng Vrederburg.
MAKANAN KHAS
GUDEG
BAKPIA
Bakpia berasal dari kata Bak artinya babi dan Pia artinya kue/roti.
Pada mulanya memang sedemikian adanya, namun denikian
seiring perkembangan zaman isi bakpia lebih variatif. Umumnya
ada isi kacang ijo, coklat, keju dan lain—lain. Sentra bakpia ada
di patuk (sebelah barat malioboro).
YANGKO
GEPLAK
GEBLEK
GROWOL
KIPO
Kipo berasal dari kata iki opo? Merupakan makanan khas dari
kotagede. dibuat dari ketan yang diisi campuran kelapa dan gula
jawa yang kemudian dipanggang. Warna hijau yang dihasilkan
berasal dari daun suji.
TEMPE BENGUK
Bangsal Pagelaran
Pada mulanya bangsal ini memiliki julukan Tratag Rambat yang atapnya terbuat dari
anyaman kayu.Pada tahun 1921, bangunan ini oernah dipugar oleh HB VIII.ZPada tanggal 13
Mater 1946-1973 Bangsal Pagelaran pernah dipinjam oleh pihak UGM untuk kegiatan kuliah
Bangsal Pemandengan
Bangsal ini digunakan oleh sultan dan para panglima perang untuk melihat latihan perang
(Gladi Watangan) Bangsal Pemandengan berjumlah sepasang dan berada di depan mengapit
Bangsal Pagelaran
Bangsal Pengapit / Pasewakan
Tempat para senopati perang (Manggalayudha) mengadakan pertemuan serta menunggu
perintah langsung dari sultan.Bangsal ini terletak di sisi kanan dan kiri Bangsal Pagelaran.
Bangsal Pangrawit
Tempat dimana raja melantik patih kerajaan.Mulai tahun 1942, bangsal ini sudah tidak
digunakan lagi dan berada di sebelah kanan dalam Bangsal Pagelaran
Bangsal Pacikeran
Tempat para abdi dalam (Singonegoro dan Mertalurut) untuk melakukan eksekusi tahanan
keraton.Bangsal ini terletak di sisi kanan dan kiri bagian selatan halaman Bangsal Pagelaran
Bangsal Siti Hinggil
Berasal dari kata “Siti” yang berarti tanah dan “Hinggil” atau Inggil yang berarti tinggi,
dikarenakan bangunan ini berada lebih tinggi daripada bangunan lainnya di keraton.Berfungsi
sebagai tempat penobatan / pelantikan raja-raja Kesultahan Yogyakarta dan upacara
Pisowanan Agung.Pada tanggal 17 Desember 1949, bangsal ini menajdi saksi penting
pelantikan Presiden Ir.Soekarno sebagai presiden RIS.Pada zaman HB VIII, Bangsal Siti
Hinggil dilakukan pemugaran dan spernah juga digunakan sebagai tempat kuliah UGM (Pada
zaman HB IX).
Di dalam Bangsal Siti Hinggil, terdapat beberapa bangsal seperti Bangsal Manguntur Tangkil
(Sebagai tempat singgasana raja dan konon dapat melihat Tugu Yogyakarta), dan Bangsal
Mitono sebagai tempat menaruh pusaka utama keraton Yogyakarta.
Balai Bang
Tempat yang digunakan untuk menyimpan gamelan sekaten (Kyai Guntur Madu dan Kyai
Nagawilaga).Bangsak ini terletak di sebelah timur Bangsal Siti Hinggil
Balai Angun-Angun
Bangsal ini digunakan untuk menyimpan pusaka tombak (Kanjeng Kyai Sura Angu-Angun)
dan berada di sebelah barat Bangsal Siti Hinggil
Bangsal Kori
Sebagai tempat jaga Abdi Dalem Kori dan Abdi Dalem Jaksa, serta menyampaikan
permohonan / pengaduan rakyat kepada raja.Bangsal ini berada di kanan dan kiri Tarub
Agung
Tarub Agung
Digunakan sebagai ruang tunggu para tamu sultan
Regol Brojo Nolo
Regol yang berarti pintu gerbang berfungsi untuk menghubungkan daerah satu dengan daerah
lainnya di dalam bangsal keraton.Regol Brojo Nolo berfungsi untuk menghubungkan Siti
Hinggil Lor dengan Kamandungan Lor dan berada di selatan halaman Siti Hinggil
Gedong Purwaretna
Gedung ini baru dibangun pada masa pemerintahan HB V dan digunakan sebagai kantor
pribadi pada masa pemerintahan HB IX.Saat ini Gedung Purwaretna beralih fungsi sebagai
Kantor Kawedanan Hageng Sri Wandawa dan berada di utara Bangsal Kencana
Gedong Jene (Gedong Kuning)
Gedung ini dibangun oada masa pemerintahan HB II dan sempat menjadi tempat tinggal raja
hingga masa HB IX.Gedong Jene berada di utara Bangsal Prabayeksa
Bangsal Kencana
Merupakan pusat keraton yang digunakan sebagai singgasana raja sehari-hari dan ketika
upacara penting.Bangsal ini menghadap ke arah timur selatan Gedong Purwaretna
Bangsal Prabayeksa
Bangsal Prabayeksa atau Gedong Pusaka merupakan tempat yang digunnakan untuk
menyimpan pusaka keraton.Terdapat lampu minyak Kyai Wiji yang dijaga oleh abdi dalem
kerajaan agar tidak padam.Berada di belakang Bangsal Kencana
Bangsal Manis
Bangsal ini terletak di belakang Bangsal Kencana dan digunakan untuk menyelenggarakan
pesta / jamuan bagi keluarga istana
Keputren
Sebagai tempat tinggalnya para putri raja yang belum menikah.Terdapat di barat daya
Bangsal Manis
Masjid Panepen
Masjid ini digunnakan sebagai tempat sholat keluarga kerajaan dan para abdi dalem serta
tempat menyelenggarakan ijab qobul pernikahan bagi putra-putri sultan.Berada di barat
Gedong Jene
Keraton Kilen
Ialah tempat tinggal resmi HB X beserta keluarga, berada di tengah kompleks ini (ujung
sebelah barat / kilen )
Gedong Kantor Parintah Hageng
Kantor pejabat keraton yang memiliki wewenang untuk menyampaikan perintah sultan oada
seluruh abdi dalem keraton.Berada di timur laut Bangsal Mandala Sana
Bangsal Mandala Sana
Merupakan tempat pentas bagi para pemain musik keraton ketika ada acara penting dan
berada di utara Bangsal Kotak
Bangsal Kotak
Sebagai tempat para penari keraton untuk menunggu giliran pementasan.Bangsal ini
berjumlah sepasang serta berada di sisi kanan dan kiri depan Bangsal Kencana
Gedong Gongso
Gedung ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan gamelan keraton dan dimainkan saat ada
tamu kerajaan datang.Berada di timur Bangsal Kencana
Kasatriyan
Sebagai tempat tinggal para putra sultan yang belum menikah, berada di timur Gedong
Gongso
Gedong Kaca
Merupakan bangunan baru yang berfungsi sebagai museum HB IX, berada di timur Gedong
Danartapura
Gedong Danartapura
Merupakan kantor bendahara keraton.Gedong ini berada di timur Gedong Patehan
Gedong Patehan
Tempat para Abdi Dalem istana membuat minuman untuk keluarga raja, berada di samoing
barat Gedong Danartapura
Regol Kamagangan
Pintu gerbang yang menghubungkan Bangsal Kencana dengan halaman Kamagangan
Bangsal Kamagangan
Sebagai tempat penyelenggaraan Bedol Songsong (Pagelaran wayang kulit semalam suntuk)
dan ditonton oleh sultan di Sela Gilang, berada di selatan Regol Kamagangan
Panti Pareden
Bangunan ini digunakan untuk membuat gunungan sekaten.Terdapat dua bangunan yang
berada di sudut tenggara dan barat daya Bangsal Kamagangan
Regol Gadung Mlati
Pintu gerbang yang menghubungkan halaman Kamagangan dengan halaman Kamandungan
Kidul, berada di selatan halaman Kamagangan
Bangsal Kamandungan
Berada di tengah halaman Kamandungan Kidul
Bangsal Pacaosan
Digunakan sebagai tempat jaga Abdi Dalem yang sedang melaksanakan tugas ronda, berada
di kanan dan kiri bagian utara halaman Kamandungan Kidul
Regol Kamandungan
Sebagai pintu gerbang yang menguhubungkan Kamandungan Kidul denggan Halaman Siti
Hinggil Kidul, berada di Selatan Halaman Kamandungan Kidul
Pertempuran Kotabaru
Pertempuran Kotabaru terjadi pada tanggal 7 Oktober 1945
Berawal dari keinginan BKR untuk mengusir Jepang yang masih berada di Kotabaru dan
merebut gudang persenjataan yang bermarkas di Korem 072 Pamungkas (dekat SMP Negeri 5
)
Pada tanggal 5 Oktober 1945, para pemuda mengadakan rapat untuk penyerbuan Kotabaru
ini.Mereka berkeinginan untuk melumpuhkan pendudukan Jepang di Kotabaru saat Indonesia
sudah merdeka
Pada tanggal 6 Oktober 1945, para pemuda melakukan perundingan dengan pihak Jepang
untuk mau menyerahkan senjata secara sukarela.Perundingan tersebut diadakan di dalam
markas Osha Butai di Kotabaru dimana Indonesia diwakilkan oleh Moh.Saleh ( KNI ) dan
Bardosono ( BKR ) sedangkan dari Pihak Jepang diwakilkan oleh Mayor Otsuka
Dalam perundingan tersebut, Jepang menyatakan jika pelucutan senjata tersebut harus
berdasar pada perintah Jendral Nakamura di Magelang dan mengusulkan agar perundingan ini
dilanjutkan keesokan harinya pukul 10.00 WIB.Namun dikarenakan gagal menemukan jalan
atau buntu, akhirnya perundingan diakhiri dengan suara dentuman meriam pada pukul 20.00
Beberapa taktik yang pemuda Yogyakarta lakukan sebelum penyerbuan ialah memutus aliran
listrik Kotabaru serta mencegah kereta api masuk ke Kotabaru agar Jepang tidak memiliki
bala bantuan.Banyak pemuda dari luar Yogyakarta yang turut membantu penyerbuan ini
Pada tanggal 7 Oktober 1945 pukul 03.00 WIB terdengar lagi detuan meriam tanda bahwa
aliran listrik yang mengelilingi markas Jepang sudah dipadamkan.Artinya, para pemuda dan
rakyat Yogyakarta dapat segera menyerbu markas Jepang tersebut dan melakukan
penyerangan secara mendadak
Mengetahui bahwa kondisi tentara Jepang di Kotabaru sedang kewalahan menghadapi
gencatan senjata, Butaicho Pingit pun segera meminta TKR agar menghentikan perlawanan
agar anak buah Jepang di Kotabaru dapat selamat dari penyerbuan.Namun sayangnya, para
tentara Jepang di Kotabaru tidak ingin menuruti perintah Butaicho Pingit dan tetap
melancarkan serangan balik kepada pemuda Yogyakarta
Dikarenakan kondisi Jepang yang ulai kewalahan, akhirnya Jepang meminta kontak kepada
TKR agar berdamai dan pihak Indonesia boleh memasuki markas Kotabaru tersebut. Namun,
ketika para pemuda mulai memasuki pintu markas, terjadilah gencatan senjata secara
mendadak dari dalam markas yang menandakan bahwa pihak Jepang telah melancarkan siasat
licik hingga menewaskan 21 orang pemuda dan sekitar 32 orang mengalami luka-luka
Akibat siasat licik itu, para pejuang Indonesia pun kembali mengamuk.Mereka marah kepada
Jepang yang sudah melancarkan serangan hingga merugikan pihak Indonesia.Akhirnya, para
pemuda pun kembali melakukan penyerbuan melalui selokan saluran air dan berhadapan
langsung dengan Mayor Otsuka dan menginginkan agar Jepang segera menyerah.Pada pukul
10.00 WIB pihak Jepang resmi menyerah dan markas Kotabaru kembali dikuasai Indonesia
Para pejuang langsung mengibarkan bendera merah putih di markas Kotabaru, menangkap
tentara Jepang yang masih tersisa dan merampas senjatanya.
Perebutan kekuasaan dari Jepang tersebut semakin meluas dimana R.P Sudarsono memimpin
pelucutan senjata Kaigun di Maguwo dan berhasil mengambil ratusan senjata dan granat serta
15 truk perlengkapan perang milik Jepang.Dengan jatuhya Maguwo ke tangan pemuda,
menandakan kembalinya Yogyakarta di bawah kekuasaan RI
Setelah penyerbuan Kotabaru berlangsung, KN kumpul di Malioboro untuk memberikan
penghormatan terakhr kepada para pejuang Kotabaru yang telah gugur di medan perang.18
pejuang yang gugur disemayamkan di Bethesda dan dimakamkan di Semaki
Untuk mengenang jasa para pejuang yang telah gugur, maka para pahlawan tersebut dijadikan
nama jalan di sekitar Kotabaru dan berdasarkan pada Musyawara Pembangunan Kota Praja
( Oktober 1958) , dibangunlah MONUMEN PENYERBUAN Kotabaru di Jln.Wardani dan
Jln.Jegalan, Purwokinanti, Pakualaman
Serangan Umum 1 Maret 1949
Puncak serangan dilakukan dengan seangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1
Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, setelah
terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta. Serangan dilakukan pada kurang lebih pukul 06.00.
PRAJURIT KERATON
TEMBANG MACAPAT
Tembang Macapat merupakan salah satu kelompok tembang yang sampai saat ini masih
diuri-uri (dilestarikan) oleh orang Jawa. Macapat ada sejak masa-masa akhir kerajaan
Majapahit dan mulai masuknya Islam di tanah jawa. Pada jaman Walisongo tembang
macapat banyak digunakan sebagai media dakwah dalam penyebaran agama Islam di tanah
Jawa. Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali, Madura, dan
Sunda. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin.
Tembang macapat sudah ada sebelum kedatangan Islam, khususnya di Jawa Timur dan Bali.
Menurut pakar budaya jawa Poerbatjaraka dan Zoetmulder (Belanda), macapat sebagai puisi
asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin.
Macapat digolongkan kepada kepada kategori tembang cilik dan juga tembang tengahan.
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru, pada umumnya ditulis
menggunakan metrum macapat. Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam
tembang macapat termasuk Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha.
Banyak tafsir terhadap asal-muasal kata macapat. Ada yang berpendapat berasal dari kata
”mocone papat papat” (membacanya empat empat), ada yang menafsirkan dari kata Maca
Asipat (Membaca sifat manusia), dan ada juga yang berpendapat Janmo Koco Asifat
(cerminan sifat manusia).
Ada sebelas tembang dalam macapat, masing-masing memiliki karakter dan ciri yang
berbeda, dan memiliki aturan-aturan penulisan khusus dalam membuatnya. Aturan khusus
tersebut biasa disebut sebagai wewaton (guru/patokan). Dalam macapat terdapat 3 guru yakni
:
1. Guru gatra (banyaknya jumlah baris dalam satu bait)
2. Guru wilangan (banyaknya suku kata dalam setiap baris)
3. Guru lagu (jatuhnya suara vokal dalam setiap baris/dhong-dhing)
Tembang macapat memiliki makna proses hidup manusia, proses dimana Tuhan memberikan
ruh-Nya, hingga manusia tersebut kembali kepada-Nya. Sifat-sifat manusia sejak lahir hingga
kematiannya digambarkan dengan runtut dalam sebelas tembang macapat.
Tembang macapat dan filosofi :
1. Maskumambang
Maskumambang menjadi pratanda dimulainya kehidupan manusia di dunia, tembang
macapat ini memberi gambaran tentang janin dalam kandungan ibu ketika sedang
hamil. Arti kata Maskumambang sendiri banyak yang memaknai sebagai emas yang
terapung (emas kumambang).
2. Mijil
Awal hadirnya manusia di dunia ini digambarkan dalam tembang Mijil yang berarti
seorang anak terlahir dari gua garba Ibu. Kata lain dari mijil dalam bahasa jawa
adalah wijil, wiyos, raras, medal, sulastri yang berarti keluar.
3. Kinanthi
Kinanthi banyak diyakini berasal dari kata dikanthi-kanthi (diarahkan, dibimbing,
atau didampingi)
4. Sinom
Dalam bahasa jawa Sinom bisanya digunakan untuk menyebut daun asam yang masih
muda, beberapa kalangan mengartikan Sinom sebagai si enom, isih enom (masih
muda)
5. Asmaradhana
Macapat Asmaradana merupakan salah satu tembang yang banyak menggambarkan
gejolak asmara yang dialami manusia. Sesuai dengan arti kata, Asmaradana memiliki
makna asmara dan dahana yang berarti api asmara.
6. Gambuh
Jika merujuk dari Bausastra Jawa, Gambuh berarti kulina (sudah terbiasa), wis lantih
(sudah terlatih), namun ada juga yang memaknai Gambuh sebagai sebuah kecocokan
(dari kata “jumbuh”).
7. Dandhanggula
Dhandhanggula berasal dari kata dhandhang yang berarti burung gagak yang
melambangkan duka, dan dari kata gula yang terasa manis sebagai lambang suka.
Kebahagiaan dapat dicapai setelah sebuah pasangan dapat melampaui proses suka-
duka dalam berumah tangga.
8. Durma
Sifat-sifat buruk digambarkan tembang macapat Durma. Durma bagi beberapa
kalangan diartikan sebagai munduring tata krama (mundurnya etika), namun ada juga
yang berpendapat berasal dari kata Derma yang berarti suka berbagi rejeki pada orang
lain.
9. Pangkur
Pangkur yang juga berarti mungkur (mundur/mengundurkan diri), memberi gambaran
bahwa manusia mempunyai fase dimana ia akan mulai mundur dari kehidupan ragawi
dan menuju kehidupan jiwa atau spiritualnya.
10. Megatruh
Megatruh merupakan salah satu tembang macapat yang menggambarkan tentang
kondisi maunisa di saat sakaratul maut. Kata megatruh sendiri dipercaya berasal dari
kata megat/pegat (berpisah) dan ruh, yang artinya berpisahnya antara jiwa dan raga.
11. Pocung
Badan yang telah ditinggalkan oleh ruhnya biasanya akan dirawat dan disucikan
sebelum ia dikembalikan dari asalnya yaitu rahim ibu pertiwi (tanah). Jasad akan
dimandikan dan dibungkus dengan kain mori putih sebagai lambang kesucian.
Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap
pupuh dibagi menjadi beberapa pada.[9] Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama.
Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.
Jumlah padha per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan.
Sementara setiap padha dibagi lagi menjadi larik atau gatra. Sementara setiap larik atau
gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda.
Arti :
Ayo-ayo bersama di perhatikan
Anak dan cucu jangan melupakan
Jangan gagal dalam hidup
Dan jangan punya keinginan
Terhadap indahnya dunia
Siang malam selalu ingat
Bahwa hidup bertemu dengan karma
Mijil
Poma kaki padha dipun eling
Ing pitutur ingong
Sira uga satriya arane
Kudu anteng jatmika ing budi
Wuruh sarta wasis
Samubarang ipun
Arti :
Tingkah laku harus diperhatikan
Pada perkataan dan perbuatan
Bertindak yang adil
Harus berhati-hati dalam bertingkah laku
Berpengetahuan tinggi
Segala-galanya
Kinanthi
Arti :
Deskripsi mengenai
pakaian yang dikenakan
Pangeran Mangkubumi dalam
berperang menunjukkan bahwa
pakaian keprajuritan pada awal
Kasultanan Yogyakarta telah
dipengaruhi oleh kebudayaan
Islam. Namun menilik beberapa
lukisan tentang prajurit Jawa pada masa-masa awal Kasultanan Yogyakarta, tidak dapat
dikatakan bahwa corak Islam ada dalam tiap seragam prajurit.
Masuknya Pengaruh Eropa pada Pakaian Prajurit Keraton Yogyakarta
Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana IV (1816-1823), desain Eropa mulai dipakai
pada pakaian prajurit keraton. Hal ini bersamaan dengan diterimanya pengaruh-pengaruh
Eropa pada beberapa hal, termasuk pemberian pangkat Mayor Jenderal tituler pada Sultan
yang berkuasa.
Desain dari pakaian prajurit keraton tidak sekadar mengejar keindahan semata. Mulai
warna hingga motif kain memiliki muatan filosofisnya sendiri. Dalam dunia simbolik Jawa
terdapat istilah mancapat dan mancawarna. Segala sesuatu dalam dunia dibagi ke dalam
empat bagian yang tersebar seusai arah mata angin, dan satu lagi bagian di tengah sebagai
pusatnya. Begitu juga dengan empat macam nafsu manusia, yaitu aluamah, amarah, supiyah,
dan mutmainah. Keempat nafsu ini kemudian diwujudkan dalam empat macam warna, yaitu
warna hitam, merah, kuning, dan putih.
Warna hitam terletak di utara. Warna merah berada di selatan. Warna putih di timur.
Warna kuning bertempat di barat. Sedang sebagai pusat adalah perpaduan berbagai warna
tersebut. Masing-masing warna tersebut memiliki asosiasi dengan berbagai macam hal.
Seperti sifat, benda-benda, maupun titah alus.
Pada pakaian prajurit keraton, warna-warna ini juga memiliki makna maupun
asosiasinya masing-masing.
Warna hitam digunakan secara dominan pada baju, celana, dan topi Prajurit Bugis,
baju prajurit Prawiratama, baju sebagian Prajurit Nyutra Ireng, dan topi mancungan dari
Prajurit Dhaeng. Warna hitam adalah warna tanah. Dalam masyarakat Jawa, warna ini dapat
diartikan sebagai keabadian dan kekuatan.
Prajurit Nyutra Abang menggunakan warna merah pada baju tanpa lengan dan celana.
Prajurit Prawiratama menggunakannya sebagai celana. Prajurit Patangpuluh menggunakan
warna merah untuk pelapis baju serta rangkapan baju dan celana. Warna merah juga
digunakan dalam kain cindhe yang dikenakan oleh berbagai pasukan prajurit. Warna jingga
atau oranye digunakan untuk baju dalam Prajurit Jagakarya. Warna ini jarang digunakan dan
sering dimasukkan ke dalam warna merah.
Warna kuning tidak digunakan secara dominan pada prajurit keraton. Warna ini hanya
digunakan sebagai hiasan saja. Warna kuning bermakna keluhuran, ketuhanan, dan
ketentraman.
Warna emas dianggap dekat dengan warna kuning. Warna kuning emas digunakan
misalnya oleh Prajurit Wirabraja untuk plisir pada topi centhung Panji dan plisir pada
baju sikepan Panji. Warna emas digunakan antara lain untuk membedakan
antara Lurah dan Prajurit Jajar. Warna emas adalah lambang kemuliaan dan keagungan.
Warna putih digunakan oleh hampir semua prajurit dalam berbagai bentuk, terutama
untuk bagian yang sekunder seperti baju rangkap, atau sayak. Pasukan yang menggunakan
warna putih secara dominan adalah Prajurit Dhaeng dan Surakarsa. Kedua pasukan ini
menggunakan warna putih untuk baju dan celana panjang. Sebagian lain yang menggunakan
warna putih untuk celana panjang adalah Prajurit Ketanggung, Prawiratama,
dan Patangpuluh.
Selain dibedakan atas warna, kain yang digunakan untuk bahan dan perlengkapan
pakaian prajurit juga memiliki motif. Motif yang ada antara lain batik, lurik, dan cindhe.
Warna lurik yang mendekati abu-abu melambangkan kasih sayang dan restu raja
terhadap prajurit laksana abu yang tak dapat dibakar oleh api. Meskipun demikian, terdapat
motif lurik yang berbeda di antara prajurit-
prajurit tersebut. Dalam hal ini, perbedaan
motif dapat dianggap bermakna identitas.
Dengan mengamati warna dan motif pakaian, prajurit keraton dapat dibedakan dengan
mudah. Prajurit Wirabraja mudah dikenali lewat pakaian yang dominan merah. Termasuk
topinya yang berujung lancip sehingga sering disebut sebagai Prajurit Lombok Abang.
Ada dua prajurit yang dapat dikenali lewat pakaiannya yang dominan putih.
Prajurit Surakarsa dan Prajurit Dhaeng. Bedanya adalah Prajurit Dhaeng memiliki hiasan
berwarna merah di dada.
Kekuatan militer Keraton Yogyakarta berkembang lagi pada masa Sri Sultan
Hamengku Buwono II. Sri Sultan Hamengku Buwono II sangat membenci Belanda yang ia
nilai terus merongrong kewibawaan dan kekuasaannya. Karena itu ia terus memperkuat
kekuatan pertahanan sebagai persiapan jika harus berperang.
Raden Mas Said kemudian memulangkan mantan istrinya itu dengan pengawalan
prajurit pilihan yang tidak lain adalah Prajurit Dhaeng. Sesampainya di Keraton
Yogyakarta, rombongan ini disambut dengan sangat baik oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono I. Atas keramahan itu, Prajurit Dhaeng memutuskan tidak pulang dan malah
mengabdi setia kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV, usaha untuk
melemahkan pertahanan keraton terus dilakukan. Jumlah prajurit dikurangi kembali.
Pemukiman prajurit yang sebelumnya ada di dalam benteng dipindahkan keluar dengan
alasan pemukiman di dalam benteng sudah terlalu padat.
Perang yang sangat luas dan berkepanjangan ini menimbulkan trauma pada pihak
Belanda. Mereka tidak mau lagi ada prajurit yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk
melawan mereka. Sekali lagi terjadi pemangkasan Prajurit Keraton secara besar-besaran.
Jumlah kesatuan prajurit dikurangi separuhnya hingga tinggal tiga belas saja. Pada tiap
kesatuan dilakukan pelucutan senjata hingga kekuatan personil berkurang sampai hanya
tinggal seperempatnya. Prajurit Keraton yang awalnya merupakan penjaga kedaulatan kini
benar-benar hanya berfungsi sebagai prajurit seremonial belaka.
Tatkala sisi militer keraton dipangkas hingga habis, sisi kebudayaan menjadi
berkembang pesat. Pada saat itulah seragam Prajurit Keraton yang sederhana mulai
dikembangkan hingga tampak semarak dan menarik dipandang.
Keadaan ini terus berlanjut hingga sepeninggal Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Gubernur Jenderal Hindia L. Adam mendekati calon raja terpilih, GRM. Dorojatun (yang
kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono IX). Gubernur Adam menyodorkan
kontrak politik yang salah satu pasalnya menginginkan supaya Prajurit Keraton
Yogyakarta diubah sifatnya. Prajurit yang semula hanya bersifat seremonial diangkat
menjadi legiun dan bernaung di bawah panji-panji KNIL, Tentara Kerajaan Hindia
Belanda. Sedang pembinaan dan anggaran pasukan itu diambil dari kas Keraton
Yogyakarta.
Ada yang menyatakan pendapat bahwa pembubaran ini sebenarnya taktik dari Sri
Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan tidak mau Prajurit Keraton dipergunakan Jepang
untuk kepentingannya. Hal ini sejalan dengan strategi Sri Sultan Hamengku Buwono IX
yang membangun selokan Mataram agar penduduk Yogyakarta tidak dikerahkan Jepang
untuk melakukan romusha, kerja paksa untuk membangun proyek-proyek militer Jepang.
1. KETHOPRAK
Kethoprak adalah kesenian tradisional di Yogyakarta yang dipentaskan dalam bahasa Jawa.
Bercerita tentang sejarah sampai cerita fantasi dan didahului dengan tembang Jawa. Kostum
dari pemain ketoprak menyesuaikan dengan adegan dan jalan cerita serta selalu diiringi dengan
irama gamelan dan keprak.
2. WAYANG KULIT
Sesuai dengan namanya, wayang kulit biasanya dibuat dari kulit kerbau atau kulit lembu.
Wayang kulit saat ini telah menjadi warisan budaya nasional dan sudah sangat terkenal di dunia
sehingga banyak orang asing yang datang dan mempelajari seni perwayangan. Sampai saat ini
wayang kulit tetap digemari sebagai tontonan yang menarik, biasanya disajikan semalam
suntuk.
3. WAYANG WONG
Sesuai dengan namanya juga, wayang wong adalah wayang yang diperankan oleh manusia.
Ceritanya juga hampir sama dengan cerita-cerita pada wayang kulit namun dalangnya
disamping sebagai piñata cerita tetapi juga sekaligus sebagai sutradara di atas panggung.
4. WAYANG GOLEK
Berbeda dengan wayang kulit dan wayang wong, wayang golek adalah wayang yang terbuat
dari dari kayu. ceritanya berasal dari kisah Menak. Wayang ini banyak disukai karena gerakan-
gerakan wayang yang didandani seperti manusia ini sangat mirip dengan gerakan orang.
5. JATHILAN
Jathilan adalah tarian yang penarinya menggunakan kuda kepang, Barongan dan dilengkapi
unsur magis. Tarian ini digelar dengan iringan beberapa jenis alat gamelan seperti Saron,
Bende, kendang, Gong, dll.
6. KARAWITAN
Karawitan merupakan musik gamelan tradisional Jawa yang dimainkan oleh sekelompok
Wiyaga dan diiringi oleh nyayian dari Waranggono dan Wiraswara biasanya disebut dengan
‘Uyon-uyon’, sedangkan kalau tanpa diiringi oleh nyayian dari Waranggono atau Wiraswara
disebut dengan ‘Soran’.
7. TARI KREASI BARU
Seni Tari dan seni Karawitan Jawa selalu berkembang dengan munculnya tata gerak tari dan
iram-irama yang baru. Salah seorang perintis tari kreasi baru adalah seniman Bagong
Kusudiarjo, padepokannya terletak di daerah Gunung Sempu, Kabupaten Bantul.
8. SENDRATARI RAMAYANA
Sendratari Ramayana mempunyai keistimewaaan tersendiri karena ceritanya mengisahkan
antara pekerti yang baik (ditokohkan oleh Sri Rama dari negara Ayodyapala) melawan sifat jahat
yang terjelma dalam diri Rahwana (Maharaja angkara murka dari negara Alengka)
Apabila ingin menyaksikan ceritera Ramayana secara ringkas (full story), dapat menonton di
Teater Tri Murti Prambanan pada setiap hari selasa, rabu, dan kamis. Bisa juga untuk Anda
yang ingin menonton Sendratari Ramayana di kota Yogyakarta, beberapa tempat yang
menyajikan diantaranya di Jl. Brigjen Katamso (Pura Wisata dan Ndalem Pujokusuman)
1. Museum Sonobudoyo
Mu
seum Sonobudoyo via Instagram/@icadasongo
Museum ini memiliki koleksi yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa terlengkap
setelah Museum Nasional Indonesia. Ada lebih dari 43 ribu benda bersejarah dan
penting. Mulai dari kategori filologi, seni rupa, arkeologi, hingga historika. Di
waktu tertentu, kamu dapat menonton pagelaran wayang. Lokasi tempat wisata
Jogja ini berada di Jalan Pangurakan No. 6, Ngupasan, Gondomanan.
2. Museum Affandi
Museum Afandi via Instagram/@voselinda
Museum di Jogja ini bertema seni dan berada di tepi Sungai Gajah Wong. Sesuai
namanya, koleksi yang dipamerkan di sini merupakan karya-karya keren buatan
Affandi. Yaitu maestro seni lukis Indonesia. Area museum dibagi menjadi empat
geleri. Yang pertama menampilkan barang-barang yang sering dipakai oleh
Affandi. Ada juga galeri khusus untuk karya pelukis lain. Untuk menikmatinya,
datang saja langsung ke Jalan Laksda Adisucipto No.167, Caturtunggal, Sleman.
Berbagai hal yang berkaitan dengan wayang bisa kamu lihat di museum di
jalan Jalan Raya Yogya-Wonosari Km. 7. Pembangunannya dimulai tahun 1990
dan menyimpan koleksi wayang dari abad ke-6 hingga abad ke-20. Beberapa di
antaranya ada yang terbuat dari kulit, kayu, kain, hingga kertas.
Museum ini berada di pusat Kota Jogja, kamu pun bisa sekalian berkunjung saat
ada di Jalan Malioboro. Bangunan buatan Belanda ini menyimpang diorama-
diorama tentang perjuangan rakyat jogja. Beberapa patung hingga koleksi digital
semakin membuat Benteng Vredeburg penuh daya tarik. Selain itu, bangunannya
juga instagenic.
Dulunya, tempat ini adalah lokasi terbunuhnya Brigjen Katamso dan Kolonel
Sugiyono oleh gerakan komunis. Untuk menghormati para pahlawan, maka
dibangunlah monumen dan museum. Ada dua buah patung pahlawan revolusi
tersebut, lubang tempat membuang mayat mereka, hingga pakaian dinas yang biasa
dikenakan. Untuk masuk ke sini, kamu tidak perlu membayar tiket masuk.
Pembangunan museum ini sudah dimulai sejak masa Sultan Hamengkubuwono VII
yang bertahta di Jogja. Lokasinya berada di bagian barat Alun-alun Utara Keraton.
Koleksi yang ada di sini adalah kereta-kereta kesultanan yang umurnya sudah
puluhan hingga ratusan tahun. Biasanya pada tanggal 1 Suro menurut penanggalan
Jawa, diadakan ritual jamansan. Yaitu memandikan kereta-kereta pusaka tersebut.
Salah satu yang tertua adalag Kereta Kenjeng Nyai Jimat yang diproduksi tahun
1750.
Batik tak bisa dilepaskan dari budaya Indonesia, terutama masyarakat Jawa. Jogja
sebagai pusat kebudayaan, memiliki ciri khas tersendiri yang nampak pada gaya
dan motif batik. Beberapa informasi dan koleksi mengenai perkembangan batik,
bisa kamu lihat di Museum milik Hadi Nugroho dan R. Ng.Jumima Dewi
Sukaningsih di Jl. Dr. Sutomo 13A Yogyakarta. Selain itu, di sini juga ada
kegiatan pelatihan membatik.
Dua kilometer dari Malioboro ada Museum Pura Pakualaman yang diresmukan
pada 29 januari 198. Areanya masih menjadi satu kawasan dengan Keraton
Pakualaman. Sebelum masuk ke museum, kamu akan disambut dengan Gerbang
Regol Wiwara Kusuma. Koleksi yang ada di dalam sini merupakan penginggalan
para raja Pakualaman. Mulai dari Singgasana, keris, hingga payung tanggul naga.
Ini adalah museum peninggalan dari tokoh pendidikan Indonesia yaitu Ki Hadjar
Dewantara. Bangunannya berupa pendopo dengan bagian dalam menyimpang
barang-barang miliki Bapak Pendidikan Nasional beserta keluarga. Termasuk juga
barang bersejarah Taman Siswa. Di bagian depan pendopo ada patung perunggu Ki
Hadjar Dewantara dengan tulisan Tut Wuri Handayani.
14. Museum Sasmitaloka
M
useum Sasmitaloka via Wikipedia
16. Museum Tembi
Museu
m Tembi via negaranegiri
Museu
m Biologi UGM via Museum Biologi UGM
Museum yang terletak di Universitas Gadjah Mada Jogaj ini memiliki berbagai
koleksi tentang flora dan fauna. Kamu bisa melihat berbagai herbarium berkurukan
besar. Baik yang basah maupun kering. Ada juga awetan berbagai jenis hewan
hingga kerangkanya. Sebagian besar koleksi Museum Biologi UGM berasal dari
berbagai pelosok Indonesia. Tempat ini dibangun sebagai wahana pendidikan
untuk masyarakat umum.
Museu
m Candi Prambanan via Jogja Budaya
Candi Prambanan adalah destinasi wisata Jogja yang terkenal dan memiliki
keindahan istimewa. Di area candi terdapat museum yang menyimpang
peninggalan bersejarah. Bangunannya bergaya tradisional jawa dengan beberapa
ruang koleksi. Proses pembuatan candi pun bisa kamu pelajari di sini. Taman-
taman di sekitar museum juga menawarkan kesejukan.
D
e Mata Trick Eye Museum via KSMTour.com
Yang satu ini cukup unik dan kekinian. De Mata adalah tempat seru-seruan favorit
anak muda zaman sekarang. Tersedia berbagai macam mural dan gambar tiga
dimensi untuk bergaya. Mulai dari tema alam, olahraga, hewan, super hero, hingga
angka. Lokasinya sendiri berada di XT Square Jogja.
Itulah dua puluh musuem yang ada di Jogja. Sebenarnya masih ada beberapa lagi
yang belum disebutkan dan tidak kalah menarik. Keberadaan museum-museum
tersebut merupakan aset dan harus dijaga kemudian dikenalkan sebagai media
belajar.
Sri Sultan Hamengku Buwono I
Dikenal dengan nama Pangeran Mangkubumi, pendiri dan pembangun Keraton
Yogyakarta ini lahir pada tanggal 5 Agustus 1717 dengan nama Bendara Raden Mas (BRM)
Sujono. Pangeran Mangkubumi merupakan putra Sunan Amangkurat IV melalui garwa
selir yang bernama Mas Ayu Tejawati. Kelak, sebagai peletak dasar budaya Mataram, beliau
akan memberi warna dan ruh tidak hanya bagi lingkungan keraton tetapi seluruh masyarakat
Yogyakarta.
Sedari kecil, BRM Sujono dikenal sangat cakap dalam olah keprajuritan. Beliau mahir
berkuda dan bermain senjata. Selain itu, beliau juga dikenal sangat taat beribadah sembari
tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Budaya Jawa.
Berkat kecakapan itulah, ketika paman beliau yang bernama Mangkubumi meninggal
pada tanggal 27 November 1730, beliau lalu diangkat menjadi Pangeran Lurah. Yaitu
pangeran yang dituakan di antara para putera raja. Kelak, ketika sudah dewasa, beliau juga
menyandang nama yang sama dengan pamannya. BRM Sujono kemudian lebih dikenal
sebagai Pangeran Mangkubumi.
Mengenai ketaatan beribadah Pangeran Mangkubumi secara rinci dikisahkan
dalam Serat Cebolek. Disitu digambarkan mengenai kebiasaan beliau puasa Senin-Kamis,
sholat lima waktu dan juga mengaji Al Quran. Dalam serat ini pula dikisahkan bahwa beliau
gemar mengembara dan mengadakan pendekatan dengan masyarakat, serta memberikan
pertolongan kepada yang lemah.
Sifat beliau ini menghasilkan kesetiaan yang mendalam di antara para pengikutnya.
Pada tahun 1746, ketika mengangkat senjata melawan Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC), Pangeran Mangkubumi memiliki pengikut sebanyak 3000 prajurit. Pada
tahun 1747 jumlahnya meningkat pesat menjadi 13000 prajurit, dimana diantaranya terdapat
2500 prajurit berkuda. Kesetiaan dan kesediaan mengikuti beliau ini kemudian meluas hingga
ke masyarakat umum pada tahun 1750.
Saat itulah kemudian RM. Surojo diangkat sebagai Hamengku Buwono III dengan
pangkat regent atau wakil Raja. Sementara itu, Sri Sultan Hemengku Buwono II masih tetap
diijinkan untuk tinggal di dalam keraton dengan sebutan Sultan Sepuh.
Nyaris setahun kemudian, tepatnya 28 Desember 1811, ketika tentara Inggris berhasil
mengalahkan bala tentara Belanda dan merebut tanah Jawa, beliau dilengserkan dari
statusnya dan kembali menjadi putra mahkota. Sri Sultan Hamengku Buwono II kembali naik
tahta.
Bertindak sebagai mediator antara Sri Sultan HB II dengan Inggris adalah Pangeran
Notokusomo, adik Sultan Hamengku Buwono II lain Ibu. Di kemudian hari Pangeran
Notokusumo menjadi sahabat bagi Letnan Gubernur Jenderal Inggris karena pemahamannya
yang tinggi atas sastra dan kebudayaan Jawa.
Pada awalnya Letnan Gubernur Jenderal Inggris mengakui Sri Sultan Hamengku
Buwono II sebagai penguasa sah Kasultanan Yogyakarta, dan mengangkat RM. Surojo
sebagai Adipati Anom. Namun hal ini hanya berselang kurang dari setahun karena sikap
keras Sri Sultan Hamengku Buwono II menjadikan Raffles mencabut dukungannya. Pada
tanggal 21 Juni 1812, Sri Sultan Hamengku Buwono II dilengserkan, dan Adipati Anom
disahkan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono III untuk yang kedua kali.
Perubahan penting lainnya yang terjadi akibat campur tangan Inggris pada kurun
waktu ini adalah terkait prajurit keraton. Inggris melarang para raja memiliki kekuatan militer
apapun selain yang diijinkan oleh pemerintah kolonial. Sebagai gantinya, pasukan Inggris
dan Sepoy menjadi resimen utama pengamanan istana. Akibatnya sebanyak lebih dari 9000
prajurit keraton, termasuk yang dari Bugis dan Bali, hidup menderita. Banyak diantara
mereka yang kemudian dimobilisasi oleh Inggris untuk bekerja di perkebunan-perkebunan
milik kolonial di luar Jawa.
Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono III juga mendatangkan sebuah kereta kuda
dari Inggris yang dikabarkan konstruksinya tahan peluru. Kereta itu diberi nama Kyai
Mondro Juwolo. Meskipun singkat, masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III
pada saat itu merupakan kurun dimana rakyat Yogyakarta menikmati suasana yang lebih
aman dan makmur.
Hanya berselang dua tahun sejak menjalankan pemerintahan secara mandiri, Sri
Sultan Hamengku Buwono IV meninggal dunia. Di hari beliau wafat, 6 Desember 1823
(22 Rabingulawal 1750), Sri Sultan Hamengku Buwono IV masih berusia 19 tahun. Dalam
beberapa catatan disebutkan bahwa beliau meninggal dunia setelah kembali dari kunjungan
ke pesanggrahannya. Maka kemudian nama beliau dikenal sebagai Sultan Seda Besiyar. Sri
Sultan Hamengku Buwono IV dimakamkan di Astana Besiyaran Pajimatan, Imogiri.
Dari pernikahannya dengan sembilan orang istri, Sri Sultan Hamengku Buwono IV
mendapat 18 orang anak. Namun hampir sepertiga dari anak-anaknya meninggal ketika masih
kecil. Yang menjadi penerus kemudian adalah puteranya dari permaisuri GKR
Kencono, Gusti Raden Mas Gatot Menol, yang masih berusia 3 tahun.
Namun demikian, terdapat dua buah kereta yang saat ini ada di Museum Kereta
Keraton Yogyakarta, yaitu Kyai Manik Retnodan Kyai Jolodoro yang merupakan
peninggalan Sultan HB IV. Dua buah kereta kecil tersebut dirancang untuk kebutuhan pesiar
yang sering dilakukan oleh Sri Sultan.
Sri Sultan Hamengku Buwono V
Lahir pada tanggal 20 Januari 1821, putera Sri
Sultan Hamengku Buwono IV dengan Gusti Kanjeng
Ratu (GKR) Kencono ini diberi nama Gusti Raden
Mas (GRM) Gatot Menol. Tahun 1823, ketika
ayahandanya wafat, beliau diangkat menjadi Sri Sultan
Hamengku Buwono V ketika baru menginjak usia 3
tahun. Tumbuh besar dengan perlakuan khusus antara
perasaan iba dan tanggung jawab yang besar seperti
itulah yang membentuk karakter beliau menjadi orang
yang lemah lembut dan sebisa mungkin menghindari
kekerasan.
Sejarah mencatat bahwa Perang Jawa -peperangan terbesar yang dialami oleh
pemerintah kolonial akibat perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, terjadi
pada era kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono V. Banyak hal yang mengusik sang
pangeran termasuk semakin banyak tanah-tanah keraton yang disewakan kepada orang
Eropa, tingginya pajak yang ditarik dari masyarakat, munculnya wabah kolera, dan kondisi
gagal panen yang dipandang sangat menyengsarakan. Ditambah sikap pegawai-pegawai
Belanda banyak yang melecehkan keraton dengan memasukkan adat istiadat dan gaya hidup
Eropa. Disebut ‘Perang Jawa’ karena Pangeran Diponegoro berhasil mengobarkan
perlawanan yang menggerakkan hampir seluruh penduduk berbahasa jawa di Pulau Jawa
bagian tengah dan selatan. Semakin besarnya kekuatan Diponegoro didukung pula oleh
kelompok Islam yang terdiri atas para santri yang mengabdi di keraton (Suronatan,
Suryagama), para pelajar dari pesantren-pesantren di wilayah perdikan serta kelompok lain
yang dibawa oleh Kyai Mojo yang menjadi sekutu pangeran.
Perang Jawa telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi Belanda. Selama
dua tahun pertama perang, 6.000 pasukan infanteri serta 1.200 pasukan artileri dan kavaleri
dikerahkan. Bahkan pada tahun 1826 sekitar 2.400 pasukan bantuan datang dari Belanda.
Namun pasukan tersebut tidak bisa langsung diterjunkan ke medan pertempuran karena
kurangnya pengetahuan tentang lapangan dan tantangan iklim. Hingga akhirnya, pada tahun
1827 pemerintah kolonial dibawah pimpinan Jenderal De Kock berhasil mengurung tentara
sang pangeran di wilayah pegunungan sempit antara Sungai Progo dan Sungai Bogowonto di
Kabupaten-Kabupaten Kulon Progo, Kedu Selatan dan Bagelen Timur. Pasukan Pangeran
Diponegoro yang jumlahnya sudah menyusut banyak semakin terkucil dan dapat dikalahkan.
Pada Hari Minggu tanggal 28 Maret 1830, De Kock dengan segala cara berhasil
menangkap Pangeran Diponegoro di Wisma Residen Kedu. Selanjutnya, Pangeran
Diponegoro bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang, kemudian dibawa Batavia
untuk diasingkan di Manado dan berakhir di Makassar hingga wafat pada tanggal 8 Januari
1855.
Sri Sultan Hamengku Buwono V wafat pada tanggal 5 Juni 1855 (20 Pasa 1783 TJ),
dimakamkan di Astana Besiyaran, Pajimatan Imogiri. Ketika beliau meninggal, permaisuri
pertamanya GKR Kencono tidak berputera. Sementara itu, permaisuri kedua GKR Sekar
Kedhaton yang sedang hamil belum menunjukkan tanda-tanda kelahiran. Maka dari itu tahta
kerajaan kemudian dipegang oleh adik Sri Sultan Hamengkubuwono V, Raden Mas Mustojo,
bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono VI.
Sri Sultan Hamengku Buwono V juga menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap
kegiatan-kegiatan seni, terutama seni tari. Beliau memimpin sendiri komunitas tari di istana.
Bahkan, beberapa sumber juga mengatakan ia turut menjadi penari.
Pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V juga terdapat keunikan-
keunikan lain dalam pelembagaan tari. Beliau membentuk kelompok penari Bedaya yang
biasanya ditarikan oleh para penari wanita, digantikan oleh sekelompok penari laki-laki yang
disebut kelompok Bedaya Kakung.
Karya seni tari lain yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono V
adalah Tari Serimpi Renggawati yang ditarikan oleh lima orang penari, yang salah satunya
berperan sebagai Dewi Renggawati. Jalan cerita tari ini menggambarkan kisah Prabu
Anglingdarma.
Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono V juga mengembangkan seni wayang orang.
Pada masanya tak kurang dari lima judul lakon yang sering dipertunjukkan
yakni Pragulamurti, Petruk Dadi Ratu, Angkawijaya Krama, Jaya Semedi dan Pregiwa-
Pregiwati.
Menginjak usia 27 tahun, beliau menikah dengan GKR Kencono yang merupakan
puteri dari Susuhunan Paku Buwono VIII dari Surakarta. Sebagai permaisuri Sultan
Hamengku Buwono VI, Ratu Kencono bergelar GKR Hamengku Buwono. Pernikahan
tersebut menjadi sejarah terjalinnya kembali hubungan baik di antara Kasultanan Yogyakarta
dan Kasunanan Surakarta yang sejak Perjanjian Giyanti sering terjadi ketegangan. Hubungan
baik dengan kerajaan lain juga semakin terjalin setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VI
menikahi puteri dari Kerajaan Brunei.
Pola pemerintahan yang dilaksanakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VI pada
dasarnya melanjutkan model yang dijalankan oleh kakaknya, perang pasif. Hal ini cukup
berbeda dengan sikap beliau sebelum naik tahta, dimana beliau cukup keras menentang sikap
sang kakak. Perubahan sikap ini kiranya yang menimbulkan kekecewaan dan akhirnya
memunculkan gejolak di Kasultanan. Adalah kebetulan beliau didampingi oleh Patih
Danurejo V yang terkenal pandai dalam hal siasat, sehingga banyak masalah pelik dapat
terselesaikan.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI, terjadi bencana alam
yang memilukan. Gempa dengan kekuatan dahsyat menggoncang bumi Yogyakarta pada
tanggal 10 Juni 1867. Tercatat gempa mengakibatkan sekitar 500 korban jiwa. Selain itu,
gempa juga memporak porandakan 327 bangunan termasuk bangunan keraton. Tugu Golog
Giling (sekarang Tugu Jogja) yang tadinya menjulang 25 meter, rusak parah. Demikian juga
bangunan Tamansari mengalami kerusakan hebat. Hal yang sama melanda Mesjid
Gedhe dan Loji Kecil (sekarang istana kepresidenan Gedung Agung). Perbaikan atas
kerusakan-kerusakan tersebut membutuhkan waktu lama. Bahkan, Tugu Golong Gilig baru
selesai proses pembangunan ulangnya di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono
VII. International Handbook of Earthquake and Engineering Seismologymencatat gempa
waktu itu memiliki kekuatan sebesar 6,8 SR.
Pada tanggal 20 Juli 1877 (9 Rejeb 1806 TJ), ketika beliau menginjak usia 56 tahun,
Sri Sultan Hamengku Buwono VI tutup usia. Beliau dimakamkan di Astana Besiyaran,
Pajimatan Imogiri. Sebulan berikutnya, tepatnya tanggal 13 Agustus 1877, putra
beliau Raden Mas Murtejo naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Di masa beliau pula, dipesan kereta Kyai Wimono Putro yang nantinya menjadi kereta
yang dipergunakan ketika diadakan upacara pelantikan putra mahkota menjadi sultan.
Adapun kereta kebesaraan beliau sendiri, yang nantinya dipakai hingga sekarang,
adalah Kyai Kanjeng Garudho Yakso.
Berlakunya era liberalisme semenjak 1870 juga memberi keuntungan bagi Sultan,
yaitu dengan diperkenalkannya sistem Hak Sewa Tanah untuk masa sewa 70 tahun. Selain itu
karena kebutuhan pengangkutan gula, dibangun pula sarana transportasi berupa jalur kereta
api serta lori-lori pengangkut tebu. Pembangunan jalur kereta api ini diprakarsai oleh
perusahaan swasta Belanda bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).
Ongkos sewa dari pemakaian jalur ini lagi-lagi masuk ke keuangan keraton. Maka tak heran
jika kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga dikenal sebagai Sultan Sugih.
Era Hamengku Buwono VII merupakan masa transisi menuju modernisasi. Banyak
sekolah didirikan. Beliau juga menyekolahkan anak-anak beliau sampai perguruan tinggi,
bahkan hingga mengirim mereka ke Negeri Belanda.
Pada masa Hamengku Buwono VII, seni tari mulai keluar dari tembok keraton. Beliau
mendukung putra-putranya untuk mendirikan sekolah tari gaya Yogyakarta, Krido Bekso
Wiromo. Sekolah ini tidak hanya diperuntukkan bagi warga lingkungan keraton semata.
Siapapun yang berminat belajar tari gaya Yogyakarta, dipersilakan untuk datang dan
mendaftarkan diri di Dalem Tejokusuman. Bentuk dukungan Sri Sultan Hamengku Buwono
VII tidak berhenti di sini. Beliau juga mendorong tumbuh kembangnya pentas tari dan
wayang, sehingga semenjak akhir 1918 pentas semacam itu semakin marak.
Pendidikan dan pola pikir terbuka yang ditanamkan kepada anak-anak Sri Sultan
Hamengku Buwono VII, menghasilkan tidak hanya sekolah tari. Pada masa itu banyak berdiri
organisasi-organisasi massa. Pangeran Suryodiningrat, putra beliau, memprakarsai berdirinya
organisasi petani Pakempalan Kawulo Ngayogyakarta.
Muhammadiyah, salah satu organisasi besar saat ini, juga lahir dari lingkungan
keraton pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII . Raden Ngabei Ngabdul
Darwis atau Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah abdi dalem keraton golongan pengulon yang
disekolahkan ke Arab Saudi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Organisasi yang
menitikberatkan pada amal usaha dan pendidikan ini segera berkembang pesat keluar
wilayah Kauman, tempat organisasi ini bermula.
Sri Sultan Hamengku Buwono VII mempunyai visi jauh ke depan, dengan memberi
ruang kepada aktivis-aktivis organisasi politik cikal bakal negara Indonesia. Bangunan Loji
Mataram miliknya, terletak di Jl. Malioboro (kini gedung DPRD DIY), dipinjamkan kepada
organisasi Budi Utomo untuk menyelenggarakan kongres pertama. Sikap terbuka Sri Sultan
Hamengku Buwono VII juga turut dirasakan oleh umat Islam pada masanya. Beliau
mempersilahkan perayaan hari-hari besar keagamaan sesuai dengan kalender Hijriah, namun
untuk upacara Garebeg tetap berdasarkan kalender Sultan Agungan.
Menjelang pertambahan usia beliau yang ke 81, Sri Sultan Hamengku Buwono VII
merasa sudah saatnya turun tahta. Pada tahun 1920, Sri Sultan Hamengku Buwono VII
mengemukakan niat tersebut kepada patih Danurejo VII dan kepada pemerintah Hindia
Belanda. Beliau sendiri memilih madeg pandhita, dan mesanggrah
di pesanggrahan Ambarukmo.
Sri Sultan Hamengku Buwono VII kemudian menunjuk penggantinya, GRM Sujadi, semata-
mata demi terjadinya suksesi yang mulus dan kondisi pemerintahan yang stabil di bawah
pengaruh Belanda yang terus mencengkeram.
Sri Sultan Hamengku Buwono VII wafat pada tanggal 30 Desember 1921
(29 Rabingulakir 1851). Beliau dimakamkan di Astana Saptorenggo, Pajimatan Imogiri.
Tahun 1920 GPH. Puruboyo sedang menempuh studi di Belanda, ketika sang
ayahanda Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengungkapkan niat untuk lengser keprabon.
Mendengar hal ini, Residen Jonquire yang menjadi wakil pemerintah Belanda di Yogyakarta,
mengusulkan kepada Gubernur Jendral van Limburg Stirum agar upaya pergantian tahta
dipercepat.
Dikarenakan posisi GPH. Puruboyo masih di Belanda, maka van Limburg Stirum
yang menyetujui gagasan tadi memerintahkan Jonquire agar mendesak Sri Sultan Hamengku
Buwono VII untuk segera memanggil pulang GPH Puruboyo melalui telegram. Sri Sultan
Hamengku Buwono VII menyetujui usulan tersebut dan mengirimkan telegram pada awal
November 1920. Di dalam telegram itu Sri Sultan Hamengku Buwono VII menyampaikan
agar Gusti Puruboyo jangan terlalu lama di Eropa karena para putera dan puteri, kerabat
dan abdi dalem sudah menanti-nanti kepulangan beliau.
Setelah GPH Puruboyo setuju untuk pulang ke Yogyakarta dan dijadikan pengganti
ayahandanya, Sri Sultan Hamengku Buwono VII memutuskan untuk lereh keprabon (turun
tahta) dan beristirahat di Pesanggrahan Ambarukmo. Pada tanggal 8 Februari 1921, GPH
Puruboyo kemudian dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Prinsip Raja
Kekayaan keraton yang cukup besar kala itu, dimanfaatkan sebanyak-banyaknya oleh
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII untuk mendorong dunia pendidikan. Seperti
ayahandanya, beliau juga mengharuskan putra-putrinya untuk menempuh pendidikan formal
setinggi mungkin, bahkan bila perlu hingga ke Negeri Belanda.
Perhatian beliau di dunia kesehatan juga sangat besar, misalnya dengan mendukung
pengadaan ambulans untuk Rumah Sakit Onder de Bogen (saat ini: Panti Rapih).
Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga banyak mengadakan
perombakan/rehabilitasi bangunan. Bangsal Pagelaran, Tratag Siti Hinggil, Gerbang
Danapratapa dan Masjid Gede adalah beberapa bangunan yang beliau perbaiki.
Di dalam lingkungan keluarganya sendiri, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga
banyak melakukan terobosan. Hal tersebut terjadi bahkan semenjak sebelum menjadi Sultan.
Salah satunya adalah dengan “menitipkan” anak-anaknya di luar lingkungan keraton. BRM
Dorodjatun, yang kelak menjabat sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dari umur 4
tahun sudah dititipkan ke keluarga Belanda. Tidak ada inang atau pengasuh yang menjaga.
Pangeran kecil itu dituntut untuk hidup mandiri dan merasakan hidup sebagaimana
kebanyakan masyarakat pada umumnya.
Langkah-langkah yang diambil oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII tersebut
adalah cerminan dari sikap beliau yang berpedoman pada ungkapan “wong sing kalingan
suka, ilang prayitane”, orang yang sudah merasakan nikmat akan hilang kewaspadaannya.
Pada tahun 1939, beliau memanggil putranya, BRM Dorodjatun yang sedang belajar
di Negeri Belanda. Setelah keduanya bertemu di Batavia, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
kemudian menyerahkan pusaka keraton Kyai Joko Piturun kepada BRM Dorojatun. Dengan
demikian, ini menunjukkan bahwa BRM Dorojatun telah ditunjuk menjadi penerus tahta
sepeninggalnya.
Setibanya dari Batavia menjemput BRM Dorojatun tersebut, Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII wafat pada tanggal 22 Oktober 1939 di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dimakamkan di Astana Saptarengga, Pajimatan Imogiri.
Di bidang seni tari, banyak sekali tarian diciptakan pada era kepemimpinan beliau.
Diantaranya adalah Beksan Srimpi Layu-layu, Beksan Gathutkaca-Suteja, Bedaya Gandrung
Manis, Bedaya Kuwung-Kuwung dan masih banyak lagi. Pada masa ini pula, pembakuan
terhadap pakem tari klasik Gaya Yogyakarta dimulai.
Masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga dikenal sebagai masa
keemasan pentas wayang wong. Pementasan wayang orang besar-besaran hingga memakan
waktu tiga hari banyak dan sering dilakukan di era ini. Lebih dari 20 lakon dikembangkan
pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Dari segi busana untuk Tari Bedaya, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII melakukan
perubahan besar. Karya Tari Bedaya yang lahir pada era ini tidak
menggunakan kampuh dan paes ageng. Di masa ini penari menggunakan jamang dan bulu-
bulu, baju tanpa lengan serta kain seredan.
1. GRM Dorojatun tidak setuju jabatan Patih merangkap pegawai kolonial, hal ini agar
tidak ada konflik kepentingan.
2. Beliau juga tidak setuju dewan penasehatnya ditentukan oleh Belanda
3. Beliau menolak pasukan/prajurit keraton mendapat perintah langsung dari Belanda.
Pada tanggal 2 Oktober 1988 Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat. KGPH
Mangkubumi kemudian menjadi calon paling tepat untuk menjadi Sultan berikutnya. Proses
suksesi ini menjadi hal yang baru dalam sejarah Keraton Yogyakarta. Pada era sebelumnya,
setiap Sultan yang akan dilantik harus mendapat persetujuan dari Belanda.
Regalia
Benda-benda pusaka atau regalia yang mengiringi Sri Sultan pada saat miyos atau
berjalan keluar untuk menghadiri upacara-upacara besar di keraton disebut Kanjeng Kyai
Upacara. Upacara besar dimaksud adalah Jumenengan Dalem atau penobatan. Selain itu,
pada jaman dahulu, Kanjeng Kyai Upacara juga dikeluarkan pada saat Upacara Garebeg.
Bukan sekedar alat kelengkapan upacara, Kanjeng Kyai Upacara merupakan simbol karakter
atau watak yang harus tercermin dalam diri Sultan dan juga para pemimpin masyarakat pada
umumnya. Benda-benda pusaka atau regalia tersebut adalah:
Yang membawa benda-benda pusaka tersebut adalah para gadis yang disebut dengan
istilah Manggung. Para Manggung biasanya merupakan kerabat dekat Sultan yang disebut
dengan istilah Sentana Dalem. Terdapat delapan Manggung yang masing-masing bertugas
membawa benda-benda pusaka di atas. Mereka berjalan berjajar berirringan di depan Sri
Sultan pada saat miyos dari Dalem Ageng Prabayeksa menuju Sitihinggil Lor. Sementara itu,
terdapat dua Manggung yang berjalan di belakang Sri Sultan untuk membawa benda pusaka
lainnya yang berupa Kecohan (tempat meludah) dan Wadah Ses (tempat rokok). Dengan
demikian terdapat total sepuluh Manggung yang bertugas mengiringi Sri Sultan pada saat
digelar suatu upacara besar.
Semua benda-benda upacara yang dibawa oleh Manggung terbuat dari emas. Selain
sepuluh benda di atas, terdapat satu lagi benda yang terbuat dari emas
dinamakan Cepuri. Cepuri, Wadah Ganten atau Pekinangan merupakan tempat segala
peralatan makan sirih. Pada setiap upacara besar, Cepuri akan dibawa oleh Abdi Dalem
Keparak Para Gusti. Baik Cepuri maupun Kecohan mempunyai makna sebagai berikut:
7. 15 Februari 1755
Perjanjian Giyanti ini kemudian diikuti pula dengan pertemuan antara Sultan Yogyakarta
dengan Sunan Surakarta di Lebak, Jatisari pada tanggal 15 Februari 1755. Dalam pertemuan
ini dibahas mengenai peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan. Kesepakatan
yang dikenal dengan nama Perjanjian Jatisari ini membahas tentang perbedaan identitas
kedua wilayah yang sudah menjadi dua kerajaan yang berbeda.
Bahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa,
gamelan, tari-tarian, dan lain-lain. Inti dari perjanjian ini kemudian adalah Sultan Hamengku
Buwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Mataram. Sementara itu, Sunan
Pakubuwono III sepakat untuk memberikan modifikasi atau menciptakan bentuk budaya
baru. Pertemuan Jatisari menjadi titik awal perkembangan budaya yang berbeda antara
Yogyakarta dan Surakarta.
8. 13 Maret 1755
Tanggal 13 Maret 1755 (Kemis Pon, 29 Jumadilawal 1680 TJ) adalah tanggal bersejarah
untuk Kasultanan Yogyakarta. Pada tanggal inilah proklamasi atau Hadeging Nagari
Ngayogyakarta Hadiningrat dikumandangkan.
9. 9 Oktober 1755
Selanjutnya, Sultan Hamengku Buwono I memulai pembangunan Keraton Yogyakarta
pada tanggal 9 Oktober 1755. Di Desa Pacethokan, Hutan Beringin yang dulunya dinamai
Garjitawati.
Bregada Surakarsa
Nama Bregada Surakarsa berasal dari kata sura dan karsa. Kata sura berarti
berani, sedangkan karsa berarti kehendak. Secara filosofis Surakarsa bermakna prajurit
yang pemberani dengan tujuan selalu menjaga keselamatan Adipati Anom (Putra
Mahkota). Dalam upacara Garebeg, Bregada Surakarsa bertugas mengawal gunungan
yang dibawa ke Masjid Gedhe.
Klebet prajurit Surakarsa adalah Pareanom, berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar hijau, di tengahnya terdapat lingkaran dengan warna
kuning. Pareanom berasal dari kata pare (sejenis tanaman berbuah yang merambat) dan
kata anom yang berarti muda. Klebet ini memiliki makna bahwa Surakarsa adalah pasukan
yang selalu bersemangat dengan jiwa muda.
Senjata yang digunakan oleh seluruh Bregada Prajurit Surakarsa adalah tombak
(waos). Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Nenggala dengan bentuk ujung (dapur)
yang dinamakan Banyak Angrem. Pada saat berjalan Bregada Prajurit Surakarsa diiringi
dengan Gendhing Plangkenan.
Bregada Wirabraja
Nama Bregada Wirabraja berasal dari kata wira dan braja. Kata wira berarti
berani, dan braja berarti tajam. Secara filosofis Wirabraja berarti prajurit yang sangat
berani dan tajam panca inderanya. Mereka selalu peka dengan keadaan, pantang menyerah
dalam membela kebenaran, dan pantang mundur sebelum musuh dikalahkan.
Klebet prajurit Wirabraja adalah Gula-klapa. Berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar putih, pada setiap sudut dihias dengan chentung berwarna merah
seperti ujung cabai merah (kuku Bima). Di tengahnya terdapat segi empat berwarna merah
dan segi delapan berwarna putih pada bagian dalamnya. Gula-klapa berasal dari kata gula
dan kelapa. Gula yang dimaksud adalah gula Jawa yang berwarna merah. Sedang kelapa
berwarna putih. Klebet ini memiliki makna bahwa Wirabraja adalah pasukan yang berani
membela kesucian dan kebenaran.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Wirabraja adalah tombak
(waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Slamet dan Kanjeng Kiai
Santri dengan bentuk ujung (dapur) yang dinamakan Manggaran/ Catursara/ Crengkeng.
Pada saat berjalan cepat (mars) Bregada Prajurit Wirabraja diiringi dengan Gendhing
Dhayungan. Apabila berjalan lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Reta
Dhedhali.
Bregada Dhaeng
Nama Bregada Dhaeng berasal dari sebutan gelar bangsawan di Makasar. Pada
awalnya prajurit Dhaeng memang berasal dari sana. Namun prajurit yang ada kini sudah
tidak lagi terdiri dari orang-orang Makasar.
Klebet prajurit Dhaeng adalah Bahningsari. Berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar putih, di tengahnya terdapat bintang segi delapan berwarna
merah. Bahni berarti api, dan sari berarti indah. Klebet ini memiliki makna bahwa Dhaeng
adalah pasukan yang tidak pernah menyerah karena keberaniannya, sama seperti semangat
inti api yang tidak pernah kunjung padam.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Dhaeng adalah tombak
(waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Jatimulya dengan bentuk
ujung (dapur) yang dinamakan Dhoyok. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit
Dhaeng diiringi dengan Gendhing Ondhal-Andhil. Apabila berjalan lambat (lampah
macak) akan diiringi dengan Gendhing Kenaba.
Bregada Patangpuluh
Asal usul nama Bregada Patangpuluh masih kabur sampai sekarang, yang jelas
nama tersebut tidak ada hubungannya dengan jumlah anggota bregada.
Klebet prajurit Patangpuluh adalah Cakragora. Berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar hitam, ditengahnya terdapat bintang segi enam berwarna
merah. Cakra adalah senjata berbentuk roda bergerigi, dan gora berarti dahsyat atau
menakutkan. Klebet ini memiliki makna bahwa Patangpuluh adalah pasukan yang
mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa, sehingga segala musuh seperti apapun bisa
terkalahkan.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Patangpuluh adalah tombak
(waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula dengan bentuk
ujung (dapur) yang dinamakan Daramanggala/ Trisula Carangsoka. Pada saat berjalan
cepat (mars), Bregada Prajurit Patangpuluh diiringi dengan Gendhing Bulu-Bulu. Apabila
berjalan lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Mars Gendera.
Bregada Jagakarya
Nama Bregada Jagakarya berasal dari kata jaga dan karya. Kata jaga berarti
menjaga dan karya berarti tugas atau pekerjaan. Secara filosofis Jagakarya bermakna
prajurit yang mengemban tugas selalu menjaga dan mengamankan jalannya pelaksanaan
pemerintahan dalam kerajaan.
Klebet prajurit Jagakarya adalah Papasan. Berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar merah, ditengahnya terdapat lingkaran dengan warna
hijau. Papasan mungkin berasal dari nama tumbuhan atau burung papasan. Namun ada
pendapat lain yang menyatakan kalau Papasan berasal dari kata
dasar papas menjadi amapas yang berarti menghancurkan. Jika demikian, Papasan berarti
pasukan pemberani yang dapat menghancurkan musuh dengan teguh.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Jagakarya adalah tombak
(waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula dengan bentuk
ujung (dapur) yang juga dinamakan Trisula. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada
Prajurit Jagakarya diiringi dengan Gendhing Tameng Madura. Apabila berjalan lambat
(lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Slahgendir.
Bregada Prawiratama
Nama Bregada Prawiratama berasal dari kata prawira dan tama. Kata prawira berarti
berani atau perwira. Kata tama dalam bahasa Sansekerta berarti utama atau lebih, sedang
dalam bahasa Kawi berarti ahli atau pandai. Secara filosofis Prawiratama bermakna
prajurit yang pemberani dan pandai dalam setiap tindakan, selalu bijak walau dalam
suasana perang.
Klebet prajurit Prawiratama adalah Geniroga/Banteng Ketaton. Berbentuk empat
persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya terdapat lingkaran dengan warna
merah. Geniberarti api dan roga berarti sakit. Klebet ini memiliki makna bahwa
Prawiratama adalah pasukan yang diharapkan dapat selalu mengalahkan musuh dengan
mudah.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Prawiratama adalah tombak
(waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula dengan bentuk
ujung (dapur) yang dinamakan Trisula. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit
Prawiratama diiringi dengan Gendhing Pandebrug. Apabila berjalan lambat (lampah
macak) akan diiringi dengan Gendhing Balang.
Bregada Nyutra
Nama Bregada Nyutra berasal dari kata dasar sutra yang mendapat awalan "n".
Kata sutra dalam bahasa Kawi berarti unggul atau ketajaman. Sedang dalam bahasa Jawa
Baru mengacu pada kain sutra yang halus. Sedang tambahan awalan "n" memberi arti
tindakan aktif sehubungan dengan sutra. Prajurit Nyutra merupakan pengawal pribadi
Sultan. Secara filosofis Nyutra bermakna prajurit yang sehalus sutra dan selalu
mendampingi dan mejaga keamanan raja, tetapi memiliki ketajaman rasa dan keterampilan
yang unggul.
Klebet prajurit Nyutra adalah Podhang Ngingsep Sari dan Padma-Sri-
Kresna. Podhang Ngingsep Sari untuk prajurit Nyutra Merah, berbentuk empat persegi
panjang dengan warna dasar kuning, di tengahnya terdapat lingkaran dengan warna
merah. Padma-Sri-Kresna untuk prajurit Nyutra Hitam, berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar kuning, di tengahnya terdapat lingkaran dengan warna
hitam. Podhang berasal dari kepodang, burung dengan bulu warna kuning
keemasan. Ngingsep berarti menghisap. Sari berarti inti. Klebet ini memiliki makna bahwa
Nyutra Merah adalah pasukan yang selalu memegang teguh keluhuran. Padma berarti
bunga teratai. Sri Kresna adalah tokoh pewayangan yang merupakan titisan Dewa
Wisnu. Klebet ini memiliki makna bahwa Nyutra Hitam adalah pasukan yang selalu
membasmi kejahatan, seperti yang selalu dilakukan oleh Sri Kresna.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Nyutra adalah tombak
(waos), towok, tameng, panah dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai
Trisula dengan bentuk ujung (dapur) yang dinamakan Trisula. Pada saat berjalan cepat
(mars), Bregada Prajurit Nyutra diiringi dengan Gendhing Surengprang. Apabila berjalan
lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Mbat-Mbat Penjalin/ Tamtama
Balik.
Bregada Ketanggung
Nama Bregada Ketanggung berasal dari kata tanggung yang mendapat awalan
"ke-". Tanggung berarti beban atau berat. Sedangkan awalan "ke-" bermakna sangat.
Secara filosofis Ketanggung bermakna pasukan dengan tanggung jawab yang sangat berat.
Klebet prajurit Ketanggung adalah Cakra-Swandana. Berbentuk empat persegi
panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya terdapat bintang persegi enam berwarna
putih. Cakraberarti senjata berbentuk roda bergerigi. Swandana berarti kendaraan atau
kereta.
Klebet ini memiliki makna bahwa Ketanggung adalah pasukan yang membawa
senjata dahsyat yang akan memporakporandakan musuh. Senjata yang digunakan oleh
anggota Bregada Prajurit Ketanggung adalah tombak (waos) dan senapan. Tombak
pusakanya bernama Kanjeng Kiai Nenggala dengan bentuk ujung (dapur) yang
dinamakan Nenggala. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit
Ketanggung diiringi dengan Gendhing Lintrikmas/Ricikanmas/Pragolamilir. Apabila
berjalan lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing
Harjunamangsah dan Bimakurda.
Bregada Mantrijero
Nama Bregada Mantrijero berasal dari kata mantri dan jero. Mantri berarti juru
bicara, menteri, atau jabatan di atas bupati. Jero berarti dalam. Secara filosofis Mantrijero
bermakna prajurit yang mempunyai wewenang ikut ambil bagian dalam memutuskan hal-
hal dalam lingkungan keraton.
Klebet prajurit Mantrijero adalam Purnamasidhi. Berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar hitam, di tengahnya terdapat lingkaran warna putih. Purnama berarti
bulan penuh dan sidhi berarti sempurna. Klebet ini memiliki makna bahwa Mantrijero
adalah pasukan yang diharapkan selalu memberikan cahaya dalam kegelapan.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Mantrijero adalah tombak
(waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Cakra dengan bentuk
ujung (dapur) yang dinamakan Cakra. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit
Mantrijero diiringi dengan Gendhing Plangkenan/Mars Setok. Apabila berjalan lambat
(lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Slagunder/ Restopelen.
Setiap prajurit maupun Abdi Dalem keraton Yogyakarta diharapkan memiliki
‘watak kesatria’. Watak yang dilandasi kredo (sasanti) Nyawiji, Greget, Sengguh, Ora
Mingkuh. Sebagai pandangan hidup, nyawiji diartikan konsentrasi yang harus diarahkan ke
cita-cita. Greget adalah semangat hidup yang harus diarahkan ke tujuan melalui saluran-
saluran yang wajar. Sengguh artinya percaya penuh pada kemampuan pribadi untuk
mencapai tujuan. Ora mingkuh perlu dipegang erat-erat. Tidak akan mundur setapak pun
meski dalam perjalanan menuju tujuan harus menghadapi berbagai halangan.
Sawiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh dijadikan landasan pembentukan watak
kesatria yang pengabdiannya ditujukan pada nusa, bangsa, dan negara. Watak luhur
berdasar idealisme dan komitmen atas kebenaran dan keadilan yang tinggi, integritas
moral, serta nurani yang bersih.
Garebeg
Garebeg merupakan salah satu upacara yang hingga saat ini rutin dilaksanakan
oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kata Garebeg, memiliki arti diiringi atau
diantar oleh orang banyak. Hal ini merujuk pada Gunungan yang diiringi oleh para prajurit
dan Abdi Dalem dalam perjalanannya dari keraton menuju Masjid Gedhe. Dalam pendapat
lain dikatakan bahwa Garebeg atau yang umumnya disebut “Grebeg” berasal dari kata
“gumrebeg”, mengacu kepada deru angin atau keramaian yang ditimbulkan pada saat
berlangsungnya upacara tersebut.
Besar kemungkinan bahwa Upacara Garebeg berasal dari tradisi Jawa kuno yang
disebut Rajawedha. Pada upacara tersebut raja akan memberikan sedekah demi
terwujudnya kedamaian dan kemakmuran di wilayah kerajaan yang dipimpinnya. Tradisi
sedekah raja ini awalnya sempat terhenti ketika Islam masuk di Kerajaan Demak.
Akibatnya masyarakat menjadi resah dan meninggalkan kerajaan yang baru berdiri
tersebut. Melihat gejala demikian, Wali Songo yang menjadi penasehat Raja Demak
kemudian mengusulkan agar tradisi sedekah atau kurban oleh raja tersebut dihidupkan
kembali. Akan tetapi, kali ini upacara yang berasal dari tradisi Hindu tersebut dimodifikasi
sedemikian rupa sehingga menjadi sarana penyebaran agama Islam.
Sejak periode Demak, upacara sedekah raja yang kemudian dijadikan sarana syiar
Islam tersebut dikenal dengan nama Sekaten. Ada yang mengatakan bahwa Sekaten berasal
dari kata “syahadatain” atau dua kalimat syahadat yang merupakan kesaksian untuk
memeluk agama Islam. Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata “sekati”
yang merujuk kepada dua perangkat gamelan keraton yang dibunyikan untuk
memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Tidak berhenti sebatas untuk merayakan
kelahiran Nabi Muhammad, Kerajaan Demak juga menggelar upacara serupa untuk
menandai berdirinya Masjid Demak yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha. Sejak
saat itu tradisi sedekah raja ini berlangsung tiga kali setahun, termasuk untuk
memperingati Hari Raya Idul Fitri.
Berawal dari Demak, Kerajaan Islam di Jawa berikutnya tetap memelihara tradisi
sedekah raja tersebut. Di Yogyakarta, tiga kali dalam setahun, upacara tersebut digelar
dengan nama Garebeg Mulud, Garebeg Sawal dan Garebeg Besar. Garebeg Mulud digelar
pada tanggal 12 Rabiul Awal (Mulud) untuk memperingati kelahiran Nabi
Muhammad. Garebeg Sawal digelar pada tanggal 1 Sawal untuk menandai berakhirnya
bulan puasa, dan Garebeg Besar dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijah (Besar) untuk
memperingati Hari Raya Idul Adha.
Proses pemberian gunungan ini menyiratkan pesan bahwa Sultan ingin melayani
kepentingan rakyat secara keseluruhan dalam rangka meraih kemakmuran dan
kesejahteraan. Selain itu, hal ini menyiratkan dukungan dari para ulama dan kalangan
santri. Ini semua disimbolkan dengan Kyai Penghulu Kraton yang menerima gunungan dan
membaca doa yang isinya meliputi permohonan untuk keselamatan Sultan, panjang usia
Sultan, kebesaran negara yang dipimpin Sultan, serta doa-doa untuk kebaikan rakyat
semuanya.
e. Gunungan Estri/Wadon (Perempuan)
Gunungan Estri memiliki bentuk
seperti bokor. Bagian dasar gunungan lebih
kecil daripada bagian tengah gunungan dan
kembali mengecil pada bagian atas.
Rangkanya dibuat dari bambu. Pada bagian
atas gunungan, yang disebut
sebagai mustaka, terdapat sebuah kue dari ketan berwarna hitam yang bentuknya menyerupai
gunungan wayang kulit.
Ilat-ilatan berwarna hitam dipasang mengelilingi mustaka. Ilat-ilatan merupakan kue
ketan yang pipih panjang seperti lidah. Di bawah ilat-ilatan, dipasang sabunan. Sabunan,
gulungan daun pisang (klaras) yang bagian atasnya diberi kucu dan upil-upil, ditata
melingkar. Kucu berbentuk bulatan kecil berwarna putih sedangkan upil-upil berbentuk
persegi panjang dan dibuat dalam lima warna, putih, merah, kuning, hijau, dan hitam.
Keduanya dibuat dari beras ketan.
Sedikit lebih rendah dan di luar lingkaran sabunan, rengginang ditata
melingkar. Rengginang adalah kue ketan berwarna putih dan berbentuk bundar. Pada
setiap rengginangdipasang satu buah kucu dan lima buah upil-upil berbeda warna. Di
antara rengginang tersebut terdapat bethetan dan ole-ole. Bethetan juga terbuat dari ketan,
berwarna merah, dan berbentuk seperti kepala burung betet. Ole-ole berbentuk seperti penjor
kecil yang menjuntai dari gunungan, di sepanjang juntaian itu dirangkai kucu dan upil-upil.
Di dalam Gunungan Estri, terdapat satu bakul wajik yang yang disusun berlapis dengan
tiwul. Wajik yang merupakan makanan kelas atas namun dicampur dengan tiwul yang
merupakan makanan rakyat kebanyakan merupakan simbol kedekatan raja dengan rakyatnya.
Bakul ini ditutup dengan pelepah pisang sehingga tidak tampak dari luar.
Pada pelepah pisang tersebut digantungkan eblek dan tedheng. Eblek dan tedheng juga
terbuat dari ketan, berwarna putih dan merah. Eblek berbentuk persegi panjang,
sedang tedheng berbentuk segi tiga.
Gunungan Estri ditempatkan pada jodhang sama seperti Gunungan Kakung. Bagian
bawah dialasi dengan kain bangun tulak dan di keempat sudutnya ditali menggunakan samir.
Seperti namanya, Gunungan Estri melambangkan seorang wanita Jawa. Diantara
gunungan lain, Gunungan Estri menjadi gunungan yang dibuat pertama. Prosesi
pembuatannya dikenal sebagai upacara Numplak Wajik.
f. Gunungan Dharat
Gunungan Dharat memiliki bentuk
mirip dengan Gunungan Estri. Rangkanya
juga terbuat dari bambu. Namun mustaka
Gunungan Dharat tidak berwarna
hitam. Ilat-ilatan yang ada juga berwarna-
warni.
Mustaka gunungan dikelilingi
dengan upil-upilan, di luar lingkaran upil-
upilan terdapat tlapukan bintang, dan di
luar
lingkaran tlapukan terdapat rengginang. Tlapukan terbuat dari ketan, berbentuk bintang dan
beraneka warna. Sama seperti pada rengginang, tiap tlapukan diberi satu buah kucu dan lima
buah upil-upil berbeda warna.
Sama seperti Gunungan Estri, pada Gunungan Dharat juga terdapat ole-
ole dan bethetan. Badan Gunungan Dharat juga ditutup dengan pelepah
pisang. Eblek dan tedhengdigantungkan sebagai hiasan.
Gunungan Dharat tidak ditempatkan di jodhang, tapi
pada dumpal. Dumpal merupakan kayu berbentuk bundar. Dumpal tersebut diikatkan pada
batang bambu yang digunakan untuk memikul gunungan.
Gunungan Darat melambangkan dunia beserta segala isinya.
g. Gunungan Gepak
h. Gunungan Pawuhan
Wujud Gunungan Pawuhan mirip dengan
Gunungan Estri dan Dharat, namun
dengan ukuran yang lebih kecil dan
bagian mustakanya diganti dengan
bendera berwarna putih.
Rangka Gunungan Pawuhan juga terbuat
dari bambu. Bagian atas dari gunungan
ditusuk dengan lidi-lidi bambu yang setiap
ujungnya diberi picisan. Picisan terbuat dari timah yang dicairkan dan dibentuk seperti koin-
koin kecil.
Sebagai hiasan, di sekeliling badan gunungan dipasang buntal yang terbuat dari daun
udan mas, cowekan, dan kembang merah yang disusun bergantian. Buntal tersebut tampak
menjuntai pada badan gunungan. Sama seperti Gunungan Dharat, Gunungan
Pawuhan dipikul menggunakan dumpal.
Pawuhan berasal dari kata uwuh yang berarti sampah. Gunungan ini dinamakan demikian
karena berisi segala macam sisa bahan gunungan yang lain. Gunungan ini dimaksudkan agar
tidak ada material yang terbuang percuma.
i. Gunungan Brama/Kutug
Gunungan Brama mirip Gunungan Estri. Bentuknya seperti silinder tegak dengan bagian
tengah sedikit mengecil. Gunungan
Brama juga terbuat dari ole-
ole, rengginang, kucu, dan upil-upil.
Rangkanya terbuat dari bambu dan
badannya ditutup dengan pelepah
pisang. Bagian atas gunungan dihias
dengan bendera-bendera segitiga
berwarna merah, sedang
badan gunungan dihias dengan ole-
ole yang dirangkai mirip jala.
Bagian puncak Gunungan
Brama memiliki lubang untuk menempatkan anglo, tungku kecil dari tanah liat. Anglo yang
diisi arang membara digunakan untuk membakar kemenyan, sehingga terus-menerus
mengepulkan asap tebal. Gunungan Brama merupakan gunungan yang hanya dikeluarkan
saat Garebeg Maulud Tahun Dal, perayaan yang hanya diadakan setiap delapan tahun sekali.
Berbeda dengan gunungan lain yang dibagikan ke masyarakat, Gunungan Brama hanya
dibagikan kepada keluarga sultan saja.
Gunungan dalam berbagai wujudnya merupakan wujud sedekah dari seorang raja kepada
rakyatnya. Sedekah ini menyiratkan bahwa sultan memperhatikan kepentingan rakyat untuk
meraih kemakmuran dan kesejahteraan. Masyarakat pun meyakini bahwa makanan yang ada
pada gunungan merupakan berkah sehingga mereka berusaha untuk mendapatkannya.
4. Bangsal Pagelaran
5. Bangsal Pangrawit
6. Bangsal Pengapit (Pengapit Wetan dan Pengapit Kilen)
7. Bangsal Pemandengan (Pemandengan Wetan dan Pemandengan Kilen)
8. Bangsal Pacikeran (Pacikeran Wetan dan Pacikeran Kilen)
Bangsal Sitihinggil
Bangsal Manguntur Tangkil
Bangsal Witana
Bangsal Kori (Kori Wetan dan Kori Kilen)
Bale Bang
Bale Angun-angun
Bangsal Pacaosan
Bangsal Pancaniti
Bale Anti Wahana
Bangsal Pacaosan
1. Bangsal Pacaosan
2. Kantor Keamanan Kraton (security)
3. Kantor Tepas Dwarapura dan Tepas Halpitapura
Bangsal Manis
Bangsal Mandhalasana
Bangsal Kotak
Gedhong Jene
Gedhong Trajutrisna
Gedhong Purwaretna
Gedhong Sedahan
Gedhong Patehan
Gedhong Gangsa
Gedhong Sarangbaya
Gedhong Kantor Parentah Hageng
Gedhong Danartapura
Gedhong Kantor Widyabudaya (Kraton Wetan)
Kasatriyan
Museum HB IX
Museum Batik
Museum Keramik dan Kristal
Museum Lukisan
Kaputren
Masjid Panepen
Kraton Kilen
Motif Huk
Motif huk terdiri dari motif kerang, binatang, tumbuhan, cakra, burung, sawat (sayap),
dan garuda. Motif kerang bermakna kelapangan hati, binatang menggambarkan watak
sentosa, tumbuhan melambangkan
kemakmuran, sedangkan sawat ketabahan
hati. Motif ini dipakai sebagai simbol
pemimpin yang berbudi luhur, berwibawa,
cerdas, mampu memberi kemakmuran,
serta selalu tabah dalam menjalankan
pemerintahannya.
Motif ini hanya boleh dikenakan oleh raja
dan putra mahkota.
Motif Kawung
Motif kawung merupakan pola geometris dengan empat bentuk elips yang
mengelilingi satu pusat. Bagan seperti ini dikenal dalam budaya Jawa sebagai keblat papat
lima pancer. Ini dimaknai sebagai empat sumber tenaga alam atau empat penjuru mata angin.
Pendapat lain mengatakan kawung menggambarkan bunga lotus atau teratai yang
sedang mekar. Bunga teratai
sendiri digunakan sebagai
lambang kesucian.
Motif kawung juga sering
diartikan sebagai biji kawung atau
kolang-kaling, buah pohon enau
atau aren yang sangat bermanfaat
bagi manusia. Untuk itu pemakai
motif ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi lingkungannya.
Motif ini boleh dipakai oleh
para Sentana Dalem.
Motif Parang
Parang Rusak Barong ukuran lebih dari 10 cm hingga tak terbatas hanya boleh
dikenakan oleh raja dan putra mahkota.
Parang Barong ukuran 10 – 12 cm dipakai oleh putra mahkota, permaisuri,
Kanjeng Panembahan dan istri utamanya, Kajeng Gusti Pangeran Adipati dan istri
utamanya, putra sulung sultan dan istri utamanya, putra-putri sultan dari
permaisuri, dan patih.
Parang Gendreh ukuran 8 cm dipakai oleh istri sultan (ampeyan dalem), istri putra
mahkota, putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentana, para pangeran dan
istri utamanya.
Parang Klithik ukuran 4 cm ke bawah dipakai oleh putra ampeyan Dalem,
dan garwa ampeyan (selir putra mahkota), cucu, cicit/buyut, canggah, dan
wareng .
Motif Cemukiran
Motif cemukiran berbentuk lidah api atau sinar. Api adalah unsur kehidupan yang
melambangkan keberanian, kesaktian, dan ambisi. Pola seperti sinar diibaratkan pancaran
matahari yang melambangkan kehebatan dan keagungan. Baik api maupun sinar dalam
konsep Jawa diibaratkan sebagai mawateja atau bersinar seperti wahyu, yaitu salah satu
kriteria yang harus dimiliki seorang raja.
Motif ini hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.
Motif Udan Liris
Selanjutnya adalah motif udan liris yang diartikan sebagai hujan gerimis atau hujan
rintik-rintik pembawa kesuburan bagi tumbuhan dan ternak. Udan Liris merupakan gabungan
dari bermacam-macam motif dalam bentuk garis-garis sejajar. Terdiri dari motif lidah api,
setengah kawung, banji sawut, mlinjon, tritis, ada-ada, dan untu walang yang diatur
memanjang diagonal. Makna dari motif ini adalah pengharapan agar pemakainya selamat
sejahtera, tabah, dan berprakarsa dalam menunaikan kewajiban demi kepentingan nusa dan
bangsa.
Motif ini boleh dikenakan oleh putra dari garwa ampeyan, wayah, buyut, canggah,
Pangeran Sentana dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom.
Budaya Jawa memandang semua yang melekat pada diri, termasuk busana,
mencerminkan kapasitas diri. Penggunaan batik larangan merupakan salah satu contohnya.
Aturan ini lebih dari sekadar simbol status. Batik larangan juga merupakan sebuah
komunikasi politik atau pesan kepemimpinan terhadap sesama penguasa, rakyat, dan juga
terhadap lawan politik.
Aturan-aturan penggunaan batik larangan ini masih berlaku hingga sekarang, namun
hanya diterapkan secara terbatas di lingkungan Keraton Yogyakarta, tidak untuk masyarakat
umum di luar keraton
Tugas dan Fungsi Abdi Dalem
Setelah diproklamasikan pada tanggal 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal 1680 TJ), Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat membutuhkan aparatur negara yang berasal baik dari
golongan sipil maupun militer. Abdi Dalem merupakan aparatur sipil, sedangkan aparatur
militernya adalah prajurit keraton. Abdi Dalem bertugas sebagai pelaksana operasional di
setiap organisasi yang dibentuk oleh Sultan. Tanpa adanya Abdi Dalem, roda pemerintahan
tidak akan berjalan.
Selain menjalankan tugas operasional pada setiap organisasi di keraton, Abdi Dalem juga
merupakan ‘abdi budaya’. Abdi budaya adalah orang yang bisa dan mampu memberi suri
tauladan bagi masyarakat luas. Abdi Dalem harus bisa menjadi contoh kehidupan di
masyarakat, bertindak berdasarkan unggah-ungguh dan paham akan tata krama. Oleh
karena itu, senyum yang selalu merekah, ramah dan sopan santun yang tinggi merupakan
hal yang selalu ditunjukan oleh para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta.
Ciri khas Abdi Dalem Keraton Yogyakarta terletak pada pakaian. Pakaian atau busana
khas Abdi Dalem disebut peranakan. Peranakan berasal dari kata ‘diper-anak-kan’.
Artinya menjadi Abdi Dalem akan dianggap seolah-olah satu saudara yang dilahirkan dari
seorang ibu. Semua Abdi Dalem pakaiannya sama dan menjalankan tugas tanpa
mengenakan alas kaki. Selain itu, Abdi Dalem wanita tidak boleh memakai perhiasan.
Semua ini bertujuan untuk meniadakan perbedaan antara si miskin dan si kaya, sehingga
semua Abdi Dalem setara kedudukannya. Di samping itu, di dalam keraton, Abdi
Dalem dipanggil dengan sebutan “kanca” yang berarti teman atau saudara.
Hal menarik lainnya adalah komunikasi diantara para Abdi Dalem. Bahasa yang digunakan
di dalam Keraton Yogyakarta adalah Bahasa “Bagongan”. Bahasa Bagongan berbeda
dengan Bahasa Jawa pada umumnya. Dengan Bahasa Bagongan, komunikasi antar Abdi
Dalem kemudian tidak mengenal perbedaan derajat dan pangkat.
Abdi Dalem Keprajan adalah mereka yang berasal dari TNI, Polri, dan Pegawai Negeri
Sipil (PNS) yang diterima dan diangkat sebagai Abdi Dalem. Pada umumnya Abdi Dalem
Keprajanadalah orang-orang yang telah memasuki masa pensiun kemudian
mendarmabaktikan waktu, ilmu dan tenaganya untuk membantu keraton secara suka rela.
Menjadi seorang abdi di keraton bukan berarti akan mendapatkan honor yang tinggi. Alasan
utama menjadi Abdi Dalem umumnya adalah untuk mendapatkan ketentraman dan
kebahagiaan batin. Ada juga yang dilandasi oleh rasa terimakasih sudah diperbolehkan
tinggal di tanah milik Sultan. Selain itu, faktor lain yang ingin diperoleh dari menjadi Abdi
Dalem adalah untuk mendapatkan berkah Dalem. Menurut para Abdi Dalem, ada saja rejeki
yang datang dan dapat mencukupi kebutuhan keluarganya setelah menjadi Abdi Dalem.
Seiring dengan perkembangan jaman dimana keraton memerlukan banyak tenaga profesional,
dewasa ini banyak Abdi Dalem yang memiliki pendidikan tinggi. Latar belakang
pendidikannya beragam, mulai dari bidang seni, hingga komputer dan akuntansi. Hal ini
menunjukkan bahwa Abdi Dalem tidak selalu identik dengan orang-orang lanjut usia dan
berpendidikan rendah. Abdi Dalem adalah orang-orang yang memiliki wawasan budaya,
keahlian sekaligus dedikasi yang tinggi.
Pada akhirnya, keberadaan Abdi Dalem sangat berarti. Tidak saja untuk mendukung
keberlangsungan segala aktifitas di dalam keraton, tetapi juga menjadi benteng perilaku pada
jaman yang semakin cepat berubah.
Pangkat Abdi DaLem
Seperti dalam pemerintahan modern, terdapat jenjang kepangkatan dalam struktur
organisasi Abdi Dalem. Setelah melalui proses magang selama dua tahun seorang calon Abdi
Dalem akan diwisuda menjadi Abdi Dalem.
Jenjang Kepangkatan Abdi Dalem
Jenjang kepangkatan Abdi Dalem berurutan dari bawah adalah sebagai berikut:
Jajar
Bekel Anom
Bekel Sepuh
Lurah
Penewu
Wedono
Riya Bupati
Bupati Anom
Bupati Sepuh
Bupati Kliwon
Bupati Nayoko
Pangeran Sentana
Sementara itu, kenaikan pangkat yang diterima oleh Abdi Dalem Caos dapat diajukan setiap
4-5 tahun sekali. Abdi Dalem Caos merupakan Abdi Dalem yang tidak mempunyai kewajiban
untuk masuk setiap hari. Abdi Dalem Caos hanya masuk pada periode waktu tertentu.
Kenaikan pangkat seorang Abdi Dalem dikelola oleh Parentah Hageng. Parentah
Hageng mempunyai kewenangan untuk mengangkat, menaikkan pangkat dan
mempensiunkan Abdi Dalem. Setiap Abdi Dalem akan mendapatkan Asma Paring
Dalem (nama Abdi Dalem), Pangkat, dan Penugasan yang tertuang di dalam Serat
Kekancingan (SK) yang dikeluarkan oleh Parentah Hageng.
Syarat Kenaikan Pangkat Abdi Dalem
Terdapat beberapa aspek penilaian yang dapat mempengaruhi jenjang kenaikan pangkat
seorang Abdi Dalem. Penilaian ini meliputi rajin atau tidaknya Abdi
Dalem untuk sowan ke keraton, memiliki konduite yang baik, dan rajin dalam
melaksanakan tugasnya. Bukan tidak mungkin seorang Abdi Dalem dapat ditunda kenaikan
jabatannya jika tidak menjalankan tugas dengan baik dan jarang sowan ke keraton.
Selain kenaikan pangkat regular setiap 3 atau 4 tahun sekali, seorang Abdi Dalem yang
memiliki latar belakang pendidikan dan keahlian tertentu bisa mendapatkan kenaikan pangkat
setiap tahun. Kenaikan tiap tahun ini dapat diperoleh hingga menjadi wedono. Setelah
mencapai wedono, Abdi Dalem tersebut akan mengikuti jenjang kenaikan pangkat reguler
layaknya Abdi Dalem yang lain.
Bupati Kliwon merupakan jabatan yang paling tinggi yang dapat diperoleh secara reguler oleh
setiap Abdi Dalem. Selain kenaikan pangkat yang bersifat reguler, ada juga kenaikan yang
bersifat khusus. Kenaikan khusus ini atas perintah sultan. Jabatan tersebut adalah Bupati
Nayaka dan Pangeran Sentana.
Pada 26 Mei 1923, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dirk Fock (1921-1926) berkunjung ke
Keraton Yogyakarta. Sri Sultan mengadakan pementasan musik Eropa untuk
menghormatinya. Untuk itu berbagai persiapan dilakukan. Termasuk membuat seragam baru
dan mengutus seorang Belanda dan dua Abdi Dalem untuk membeli alat-alat musik tambahan
ke Batavia (Jakarta). Kebutuhan protokoler ini diduga menjadi alasan kenapa
kesatuan Musikan dibentuk.
Pada November 1923, Sri Sultan mengundang seorang seniman bernama Walter Spies untuk
bekerja sebagai instruktur dan dirigen musik. Saat itu, Walter Spies yang berasal dari Jerman
sedang berkelana ke tanah Jawa. Ia dikenal sebagai pelukis dan musikus ulung. Kehadiran
Spies yang mulai bekerja pada keraton sejak 1 Januari 1924 memberikan pengaruh cukup
besar. Selain mengajar musik Eropa, ia sendiri mendalami gamelan Jawa. Dalam masa
kerjanya yang singkat sebelum pergi ke Bali tahun 1927, ia meninggalkan beberapa
manuskrip notasi gamelan untuk dimainkan dengan piano.
Saat itu, kesatuan musik Eropa keraton memiliki 40 anggota dan orkesnya dinamai Kraton
Orcest Djogja. Para Abdi Dalem Musikan diberi nama dengan kata-kata dari bahasa Belanda.
Beberapa menggunakan nama-nama hari seperti Zondag (Minggu), Maandag (Senin), dan
Dinsdag (Selasa). Beberapa menggunakan nama-nama bulan seperti Januari, Februari, Maart,
April, dan Mei. Beberapa lainnya menggunakan nama-nama yang berasal dari opera. Seperti
Aida, nama opera karya G. Verdi yang muncul tahun 1871 di Italia. Atau Carmen, judul
opera karya Georges Bizet yang muncul pada tahun 1875 di Perancis. Ada juga yang
mengambil nama dari komposer opera, seperti Leoni. Franco Leoni adalah nama seorang
komposer berkebangsaan Italia yang hidup antara tahun 1864-1949. Nama-nama Abdi
Dalem ini digunakan secara turun temurun. Nama tersebut akan disandang oleh keturunan
yang menggantikan Abdi Dalem yang sudah berakhir masa tugasnya.
Setelah Spies berhenti bekerja di Keraton Yogyakarta, jabatan dirigen diserahkan pada Abdi
Dalem bernama Mas Lurah Regimentsdochter. Saat Mas Lurah Regimentsdochter wafat pada
tahun 1931, jabatan dirigen diserahkan pada putranya yang bernama Leoni. Setelah diangkat
sebagai dirigen, Leoni kemudian bergelar Raden Lurah Regimentsdochter II.
Pada masa itu Kraton Orcest Djogja berkembang dengan baik. Banyak kegiatan dilakukan.
Seperti pementasan musik untuk mengiringi perarakan gunungan saat Garebeg Sawal,
menyambut kunjungan para Gubernur Jenderal ke keraton, pentas dalam rangka penobatan
Sunan Paku Buwono XI di Surakarta, menyambut kunjungan Sunan Paku Buwono XI ke
keraton Yogyakarta, dan tak ketinggalan pementasan dalam rangka penobatan Sri Sultan
Hamengku Buwono IX.
Selain pementasan dalam acara-acara penyambutan, Kraton Orcest Djogja melakukan
kegiatan rutin di Pagelaran yang disebut Pasowanan. Ada pula pementasan dua kali sebulan
di Societeit de Vereeniging, gedung rekreasi bagi orang Belanda yang kini menjadi bagian
dari kompleks Taman Budaya Yogyakarta.
Kraton Orcest Djogja berhenti memainkan lagu-lagu Eropa dan mulai memainkan lagu
Jepang seperti Gunkan, Akatsuki, dan Kimigayo. Tenaga kulit putih yang sebelumnya ada,
tidak dipergunakan lagi. Abdi Dalem Musikan yang dahulu disebut Kanca Musik, diubah
menjadi Kanca Waditraya. Nama-nama Abdi Dalem yang sebelumnya menggunakan nama
Eropa, diubah menjadi nama Jawa. Tiap nama Abdi Dalem diakhiri dengan kata waditra,
seperti Mulyawaditra, Somawaditra, Kartawaditra, dan Pranawaditra. Waditrasendiri berarti
alat musik.
Pada masa ini, hampir tidak ada kegiatan bagi Abdi Dalem Kanca Waditraya. Baik itu berupa
pementasan di dalam, atau di luar keraton. Abdi Dalem yang ada pun berkurang hingga
menjadi 33 orang.
Musikan Pasca Kemerdekaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan berakhirnya masa pendudukan bala tentara
Jepang di Nusantara, kegiatan Abdi Dalem Musikan mulai dibangkitkan kembali. Mereka
bermain mengiringi parade militer dan upacara bendera selama ibu kota berada di
Yogyakarta. Kraton Orcest Djogja pun sempat melakukan tour ke Jakarta dari 23 Desember
1949 sampai 1 Januari 1950. Kembali dari tour, Regimentdochter II, yang juga dikenal
sebagai R. Rio Suryowaditra mendapat kenaikan pangkat pada tanggal 11 Januari 1950. Ia
mendapat nama baru sebagai RW Pradjawaditra.
Kesulitan keuangan yang dialami oleh Keraton Yogyakarta akhirnya berpengaruh pada
kesejahteraan Abdi Dalem Musikan. Ditambah berkurangnya acara-acara protokoler dan
acara-acara hiburan yang memerlukan iringan musik Eropa, akhirnya kesatuan ini
dibubarkan. Alat-alat musik dihadiahkan kepada Abdi Dalem yang berhenti sebagai modal
untuk mencari nafkah.
Posisi Musikan dalam Keraton
Kraton Orcest Djogja memiliki dua fungsi utama. Fungsi pertama adalah fungsi protokoler.
Fungsi kedua adalah sebagai hiburan, baik acara-acara jamuan yang dilaksanakan di dalam
atau di luar keraton. Apabila seorang pejabat tinggi Hindia Belanda datang ke keraton, lagu
kebangsaan Belanda Wilhemus dimainkan saat mereka memasuki Plataran Kamandhungan
Lor. Di dalam Kedhaton, mereka disuguhi musik yang dimainkan dari Bangsal Mandalasana.
Sikap Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mengenai musik Eropa dalam Keraton Yogyakarta
tampak dari penempatan tersebut. Walau menerima dan menggunakan produk budaya
kolonial, Sri Sultan menempatkannya di luar khazanah budaya Jawa. Selain itu, perlu dicatat
bahwa personel-personel berkebangsaan Eropa yang dipekerjakan di Kraton Orcest
Djogja berkebangsaan Jerman, Austria, dan Spanyol. Tidak ada yang berasal dari Belanda.