Anda di halaman 1dari 4

RASI BINTANG DI MATAMU

Satu kisah ini tak tertebak. Terus mengalir mengikuti arus tanpa kejelasan arah. Penuh
kejutan. Hingga pada akhirnya keraguan pun datang. Akankah semesta memberi akhir
bahagia?

Apa yang kau ragukan dari keteraturan semesta ini? Yang katanya menyenangkan,
yang katanya terbaik dari segala keterbaikan. Sekali lagi aku tanya, apa yang kau ragukan
dari keteraturan semesta ini?

Satu paragraf itu tersusun berantakan pada lembar awal buku hitam Lara. Menjadi
pembuka dari semua rasa yang ia tumpahkan pada kertas-kertas hitam tersebut. Lara merasa
hidupnya monoton. Namun, matahari akan tenggelam, bulan akan berganti fase. Diakuinya,
hanya keteraturan semesta itu yang ia sukai. Bicara tentang orang-orang dan takdir, ah,
entahlah. Sulit rasanya mengungkapkan. Dunia tidak harus mengerti semua tentang kita,
bukan?

Semesta ini penuh misteri. Kejadian kebetulan pun sepertinya tidak bisa dikatakan
sebagai kebetulan. Karena semesta telah mengaturnya dengan sedemikian rupa. Mungkin
para manusia terlalu abai pada kode-kode yang telah diberikan entah tersirat atau tersurat.
Peristiwa demi peritiwa perlahan menyusun kenangan masing-masing. Membuat ragam
benang memori yang berkelindan di pikiran manusia. Akan ada sebuah kisah dimana kisah
tersebut dipenuhi tanda tanya, tanda seru, koma, dan titik. Kisah penuh teka-teki dan lika-liku
yang rumit. Keteraturan semesta, katanya. Lebih dari itu sebenarnya.

***

Lara Nashira. Ia tinggal di Kota Kenangan. Ya, ia menyebut kota ini dengan julukan
Kota Kenangan. Kota kecil dengan berjuta kisahnya. Satu hari di sudut Kota Kenangan ini,
Lara duduk terdiam di bangku umum. Kembali mengisi lembaran buku hitam miliknya
dengan tinta hitam pula, samar. Ditinggalnya sebentar untuk membeli minum di warung
terdekat. Ketika kembali, Lara baru menyadari bahwa buku hitamnya tertinggal di bangku
tadi. Dan, hey, seseorang sedang membaca bukunya! Ini suatu kesalahan yang tak pernah ia
harapkan terjadi.
Pemuda yang membaca bukunya itu rupanya bernama Sheratan Aksara. Aksa
meminta maaf karena tidak sengaja membaca isi buku hitam Lara untuk mencari tahu siapa
pemiliknya, ingin mengembalikan katanya. Lara segera mengambil alih buku itu dari tangan
Aksa, menerima permintaan maaf, dan segera pergi pulang. Ada rasa aneh dalam dirinya.

Dalam perjalanan pulang, senjakala telah sempurna jingga. Bintang jingga itu
mengambang indah di garis horizon. Jeda, sejenak bercengkerama dengan senja. Membahas
renjana yang kembali terasa. Pertemuan tadi mengingatkan Lara pada luka lama yang tak
pernah ia bagi. Cukuplah hanya disimpan sendiri dalam buku hitamnya. Ia takut sekali jika
luka itu diketahui orang lain apalagi orang asing seperti Aksa. Lara mencoba mengabaikan
kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi setelahnya.

Mencintai diri sendiri adalah hal utama sebelum mencintai orang lain. Itu prinsip
Lara. Hingga satu pertemuan itu melahirkan rasa yang belum pernah ia kira. Pada pandang
pertamakah ia jatuh hati? Ah, mungkin hanya gurauan semesta dan seisinya. Namun, Lara
akui, sulit disangkal. Hatinya memang membenarkan. Setiap pertemuan pasti ada makna. Tak
peduli meski tersirat maupun tersurat. Mungkin saja ini tanda dimulainya kisah baru.
Mungkin saja ini akan membuka jalan baru. Mungkin saja ini akan memberi makna dan
pelajaran baru. Semua penuh kemungkinan-kemungkinan yang masih terasa semu.

Empat purnama genap dihitung sejak pertemuan itu. Perasaan itu semakin kuat
mengakar. Lara kepada Aksara. Yang belum pernah diketahui Lara bahwa Aksa bahkan tahu
lebih dulu tentang Lara, bahkan memiliki rasa yang sama.

***

Pada purnama kelima keteraturan semesta mengizinkan sepasang manusia itu saling
mengenal. Memahami adalah kunci utamanya. Percakapan-percakapan menguatkan perasaan
masing-masing. Berharap kemungkinan terbaik dari yang terbaik untuk kisah ini.

***

Sembilan belas tahun silam Aksa kecil selalu dihantui rasa takut. Kakeknya
merupakan buronan polisi karena beliau sering terlibat dalam kasus pembunuhan
berencana. Rumah kakek Aksa hanya berjarak 300 meter dari rumah Lara. Aksa kecil dan
orang tuanya yang waktu itu tinggal di rumah kakeknya semakin kalut. Sang kakek kembali
terlibat kasus pembunuhan. Yang tidak lain adalah ayah dari Lara. Katanya, motif
pembunuhan adalah dendam masa lalu yang tak begitu dipahami. Aksa begitu merasa takut
dan bersalah.

Aksa yang waktu itu berumur 7 tahun selalu saja ingin berkenalan dengan gadis
manis bernama Lara. Aksa selalu suka memandang bagaimana mata jernih Lara melihat
sesuatu. Gadis dengan mata bening, yang menuntun pada kebaikan. Namun, insiden itu
memupuskan harapannya.

Aksa dibawa orang tuanya pergi dari Kota Kenangan ini. Terlalu banyak luka yang
harus diobati—atau diikhlaskan. Namun, Aksa kecil berjanji ia akan kembali ke kota itu
ketika waktu telah tepat. Sedangkan Lara tumbuh menjadi gadis pendiam dengan banyak
luka di hatinya. Menyedihkan.

Mereka telah membuka masa lalu masing-masing. Mencoba membuka diri untuk
saling memahami. Fakta-fakta terungkap, lebih baik, daripada menutupinya tanpa kedamaian.
Kita semua berhak untuk sembuh.

***

Tak terasa, hampir enam puluh purnama mereka saling kenal. Sepertinya semesta
sudah memberi pertanda. Pertanda baik dan buruk. Mungkinkah ini saatnya? Apa tidak
terlalu cepat?

“Apa kamu sadar bahwa kita sama-sama bintang?” Lara membuka percakapan setelah
sebelumnya keduanya ditelan keheningan masing-masing.

“Ya, lebih tepatnya nama kita, dan sedikit mirip, bukan? Shira dan Shera. Haha ilmu
cocoklogi, dasar.” Aksa tertawa canggung karena Lara hanya diam.

“Ya, kita sama-sama bintang. Yang bersinar dengan caranya masing-masing. Yang
berada pada keteraturan semesta masing-masing.” Lara melemparkan pandangan pada
rembulan yang malam ini terlihat cerah. Kekhawatiran kembali merebak muncul.

“Aku tahu kamu juga paham hal itu,” Paham. Aksa terlalu paham arah percakapan ini.

Percakapan kali ini serasa hambar. Tidak. Tidak. Kekhawatiran dari pertemuan ini
tidak boleh terjadi. Sudah sejauh ini mereka saling mengenal. Bertukar kisah, merangkai
cerita. Memang, semesta tidak bisa diajak kerja sama dalam urusan perasaan. Hingga
akhirnya, suatu pertemuan memang sudah dipaketkan dengan perpisahan. Cepat atau lambat
perpisahan akan benar-benar terjadi.

Aksa tak pernah paham. Sebenarnya Lara telah berdamai dengan masa lalunya dan
juga masa lalu Aksa yang saling berkaitan. Hanya saja Lara sedikit butuh waktu yang tidak
dipahami oleh Aksa. Aksa yang terlalu cepat memutuskan. Aksa yang terlalu merasa
bersalah.

***

“Lara Nashira, kamu tahu? Setiap menatapmu, kutemukan sebuah arti. Mata adalah
kejujuran. Rasi bintang adalah petunjuk arah. Aku tahu kamu suka dengan segala hal tentang
bintang-bintang. Maka boleh kusebut dalam matamu kutemukan rasi bintang. Jernih,
petunjuk arah kemana aku harus pulang. Dan kamu adalah keistimewaan yang ada di
semestaku. Maaf, aku kembali kemudian pergi lagi. Maaf, jika aku terlalu menaruh harap
tinggi padamu. Kamu boleh membenci masa laluku bahkan aku sekalipun. Itu hakmu, Ra.
Aku... Aku pamit, Ra,” hal yang ditakutkan Lara benar-benar terjadi. Perpisahan.

Genggaman tangannya perlahan melepas. Pandangan mereka sempat bertemu. Sempat


bersitatap sejenak, sebelum akhirnya mencipta jarak. Namun, jarak adalah akhir dari
perpisahan hanyalah berlaku pada sugesti orang-orang yang lemah.

Menerima kehidupan. Satu kalimat yang paling mudah diucap, tetapi sukar dalam
menjalani di kenyataan. Semuanya terasa semu, serupa angin lalu. Tak adil rasanya kisah ini
hanya berisi tentang sepasang manusia. Tapi, begitulah adanya. Sepasang manusia yang
dipertemukan oleh luka dan teka-teki yang sama. Penuh harap dan tanda tanya. Meski sempat
dipersatukan, nyatanya semesta lebih kejam dari yang mereka kira. Namun, percayalah, kisah
yang berakhir terkadang masih memiliki kelanjutannya tanpa pernah kita duga.

Anda mungkin juga menyukai