Anda di halaman 1dari 16

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK


____________________________________________________________________________________________
28 April 2017

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 11/PJ/2017

TENTANG

RENCANA, STRATEGI, DAN PENGUKURAN KINERJA PEMERIKSAAN TAHUN 2017

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Tahun 2017 merupakan bagian dari tahun pelaksanaan Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dan Tahun Rekonsiliasi
sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-95/PJ/2015 tentang Rencana Strategis
Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2015-2019.

Pada masa pelaksanaan Pengampunan Pajak, kegiatan pemeriksaan dilakukan untuk mendorong
masyarakat mengikuti Pengampunan Pajak, sedangkan setelah masa Pengampunan Pajak berakhir,
pengujian kepatuhan Wajib Pajak yang dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan diprioritaskan kepada
Wajib Pajak yang tidak mengikuti program Pengampunan Pajak selama masa Pengampunan Pajak
berlangsung.

Penyusunan dan penetapan Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan untuk menyiapkan bahan baku
pemeriksaan, manajemen penyelesaian Pemeriksaan SPT Lebih Bayar Restitusi, optimalisasi Petugas
Pemeriksa Pajak, pemeriksaan khusus paska Pengampunan Pajak dan pemeriksaan tematik secara
nasional dan regional adalah beberapa hal yang menjadi pokok strategi pemeriksaan yang dibutuhkan
dalam rangka mengamankan target extra effort pemeriksaan dan penagihan pada tahun 2017.

Untuk mengakomodir pelaksanaan beberapa hal di atas, Direktur Jenderal Pajak perlu menetapkan
Surat Edaran tentang Rencana, Strategi dan Pengukuran Kinerja Pemeriksaan Tahun 2017 untuk
meningkatkan pemeriksaan yang efektif dan kepatuhan Wajib Pajak yang berkelanjutan dalam rangka
menyukseskan pelaksanaan Pengampunan Pajak dan pengamanan penerimaan Tahun 2017.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Maksud diterbitkan Surat Edaran ini adalah untuk meningkatkan pemeriksaan yang efektif
melalui suatu rencana, strategi, dan pengukuran kinerja pemeriksaan sehingga dapat
meningkatkan penerimaan dari pemeriksaan dan memberikan efek penggentar (deterrent
effect) dalam rangka mewujudkan kepatuhan Wajib Pajak secara berkelanjutan.

2. Tujuan
Surat Edaran ini diterbitkan sebagai pedoman untuk:
a. meningkatkan pemeriksaan yang efektif guna mewujudkan kepatuhan Wajib Pajak
secara berkelanjutan;
b. mengukur kinerja pemeriksaan;
c. mendukung dan menindaklanjuti pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016
tentang Pengampunan Pajak; dan
d. memperkuat fungsi pemeriksaan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan
kepercayaan Wajib Pajak terhadap Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam Surat Edaran ini meliputi:


1. Rencana Pemeriksaan;
2. Strategi Pemeriksaan;
3. Pengukuran Kinerja Pemeriksaan; dan
4. Pemantauan, Pengendalian, Evaluasi, dan Tindak Lanjut.

D. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
(Undang-Undang KUP).
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-Undang PPh)
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009 (Undang-Undang PPN).
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Undang-Undang
Pengampunan Pajak).
5. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015.
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206.2/PMK.01/2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak.
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti
Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan
Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan.
10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2016.
11. Keputusan DirekturJenderal Pajak Nomor KEP-95/PJ/2015 tentang Rencana Strategis Direktorat
Jenderal Pajak Tahun 2015-2019.
12. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016 tentang Kebijakan Pemeriksaan.

E. Materi

1. Rencana Pemeriksaan
a. Target Pemeriksaan
1) Target Extra Effort
Target extra effort Pemeriksaan dan Penagihan adalah komponen dari target
pemeriksaan dan penagihan yang harus dicapai oleh setiap Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) yang dikoordinasikan serta dikendalikan oleh Kantor Wilayah
(Kanwil) DJP dan Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan. Realisasi penerimaan
extra effort hasil pemeriksaan dan penagihan adalah jumlah penerimaan pajak
yang dapat dicairkan (direalisasikan) yang berasal dari pembayaran atau
pelunasan atas SKPKB/SKPKBT/STP yang terbit pada tahun 2017, serta
pembayaran atau pelunasan atas SKPKB/SKPKBT/STP yang terbit pada tahun
2016 dan tahun-tahun sebelumnya.
Target extra effort hasil pemeriksaan dan penagihan untuk tahun 2017
ditetapkan dengan Surat Direktur Jenderal Pajak.

2) Target Audit Coverage Ratio (ACR)


Target ACR ditetapkan untuk mengetahui cakupan pemeriksaan yang dapat
dilakukan oleh tiap-tiap Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2) terhadap Wajib
Pajak terdaftar yang wajib Surat Pemberitahuan (SPT). Cakupan pemeriksaan
yang dimaksud adalah pemeriksaan untuk menguji kepatuhan (pemeriksaan
khusus dan rutin), tidak termasuk pemeriksaan tujuan lain dan lokasi.
ACR merupakan salah satu Indikator Kinerja Utama (IKU) yang ditetapkan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a) ACR adalah besarnya cakupan pemeriksaan yang dihitung berdasarkan
hasil pembagian antara Wajib Pajak yang diperiksa dengan jumlah
Wajib Pajak terdaftar yang wajib SPT; dan
b) target ACR dan distribusi target ACR pada setiap Kanwil DJP dan KPP
ditetapkan melalui surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.

3) Rencana Penyelesaian Pemeriksaan


Rencana Penyelesaian Pemeriksaan terdiri dari penyelesaian tunggakan
pemeriksaan dan target penyelesaian pemeriksaan per UP2 dengan ketentuan
sebagai berikut:
a) Penyelesaian tunggakan:
i. terhadap tunggakan dari instruksi/persetujuan/penugasan
pemeriksaan yang terbit sebelum tahun 2017 yang belum
diselesaikan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat
Edaran ini harus diselesaikan paling lambat tanggal
31 Mei 2017; dan
ii. penyelesaian tunggakan tersebut tetap memperhatikan
ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan sebagaimana
diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-06/PJ/2016 tentang Kebijakan Pemeriksaan
(SE-06/PJ/2016) dan memperhatikan surat Direktur Peraturan
Perpajakan I Nomor S-02/PJ.02/2017 tentang Penegasan
terkait Penerbitan Ketetapan Pajak Hasil Pemeriksaan yang
Terdapat Masa Pajak yang Sudah Daluwarsa.
b) Target Penyelesaian Per Pemeriksa Pajak:
i. target penyelesaian yang menjadi ukuran kinerja per
Pemeriksa Pajak adalah Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)
konversi;
ii. standar penyelesaian LHP Konversi Pemeriksa Pajak
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada Lampiran I.1 yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini;
iii. Laporan Penghentian Pemeriksaan (LPP) Dalam Rangka
Pengampunan Pajak dihitung sebagai kinerja pemeriksaan tim
Pemeriksa Pajak dengan perhitungan bobot konversi laporan
sebesar 100% dari bobot konversi LHP sesuai dengan DIKTUM
KEDELAPAN Instruksi Direktur Jenderal Pajak Nomor
INS-12/PJ/2016 tentang Kebijakan Penerbitan Instruksi/
Persetujuan/Penugasan dan Pelaksanaan Pemeriksaan
Selama Periode Pengampunan Pajak.
iv. bobot konversi LHP sebagaimana diatur dalam Lampiran I.2
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
ini.

b. Fokus Pemeriksaan
1) fokus pemeriksaan ditetapkan untuk periode pemeriksaan yang dilakukan pada
masa berlakunya Pengampunan Pajak yaitu sampai dengan 31 Maret 2017 dan
periode setelah berakhirnya Pengampunan Pajak;
2) fokus pemeriksaan terdiri dari Fokus Pemeriksaan Nasional, Fokus Pemeriksaan
Kanwil DJP, dan Fokus Pemeriksaan KPP, dan
3) penetapan fokus pemeriksaan ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran I.3 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

c. Rencana Usul Pemeriksaan Bukti Permulaan dari Kegiatan Pemeriksaan


Dalam rangka mendukung kontinuitas pelaksanaan pemeriksaan bukti permulaan yang
berasal dari kegiatan pemeriksaan maka diperlukan penetapan target pengusulan
pemeriksaan bukti permulaan dari kegiatan pemeriksaan, dengan ketentuan sebagai
berikut:
1) setiap KPP mengusulkan minimal satu usulan pemeriksaan bukti permulaan
yang berasal dari kegiatan pemeriksaan; dan
2) pengusulan pemeriksaan bukti permulaan sebagaimana dimaksud pada
angka 1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan
Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan aturan pelaksanaannya.

2. Strategi Pemeriksaan
Untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas pemeriksaan yang efektif guna mencapai
kepatuhan Wajib Pajak yang berkelanjutan diperlukan adanya strategi yang meliputi:
a. Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan (DSPP)
1) Dalam rangka memastikan pencapaian target pencairan Surat Ketetapan Pajak
(SKP) tahun 2017 yang telah ditetapkan, Kepala KPP wajib menyusun DSPP
sesuai dengan rencana fokus pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
huruf E angka 1 huruf b sesuai dengan contoh format dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
2) DSPP sebagaimana dimaksud pada angka 1) dibahas dan ditetapkan secara
bersama-sama oleh Kepala KPP dan Kepala Kanwil DJP serta disampaikan
kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
3) Dalam melakukan pembahasan dan penetapan DSPP, Kepala KPP dan Kepala
Kanwil DJP harus meyakini bahwa terdapat data yang menunjukkan adanya
potensi pajak yang belum dilaporkan dengan benar oleh Wajib Pajak yang
diusulkan dalam DSPP.
4) Penerbitan instruksi pemeriksaan khusus atas Wajib Pajak yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada angka 2) dilakukan dengan ketentuan:
a) apabila penerbitan instruksi dilakukan sebelum 1 April 2017 maka
penerbitannya dilakukan sesuai dengan Instruksi Direktur Jenderal
Pajak Nomor INS-12/PJ/2016; dan
b) apabila penerbitan instruksi dilakukan setelah 31 Maret 2017 maka
penerbitannya dilakukan sesuai dengan SE-06/PJ/2016.

b. Manajemen Penyelesaian SPT Lebih Bayar Restitusi


Manajemen Penyelesaian SPT Lebih Bayar Restitusi dilakukan dengan cara:
1) Kepala KPP mengefektifkan pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak terhadap:
a) Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu (Pasal 17C Undang-Undang KUP)
sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
74/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penetapan Dan Pencabutan
Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak;
b) Wajib Pajak dengan Persyaratan Tertentu (Pasal 17D Undang-Undang
KUP) sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
198/PMK.03/2013 tentang Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan
Tertentu; dan
c) Pengusaha Kena Pajak (PKP) Berisiko Rendah (Pasal 9 ayat (4c)
Undang-Undang PPN) sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 71/PMK.03/2010 tentang Pengusaha Kena Pajak
Berisiko Rendah yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan Pajak.

2) Untuk mengefektifkan pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan


Pembayaran Pajak, Kepala KPP memastikan bahwa Wajib Pajak yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1) diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.

3) Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak


sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan 2) harus dilaksanakan sesuai
dengan:
a) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-62/PJ/2012 tanggal
28 Desember 2012 Tentang Tata Cara Penetapan Dan Pencabutan
Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak untuk Wajib Pajak Kriteria
tertentu (Pasal 17C Undang-Undang KUP);
b) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-12/PJ/2014 tanggal
13 Maret 2014 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak Bagi Wajib Pajak Yang Memenuhi Persyaratan
Tertentu untuk Wajib Pajak Persyaratan Tertentu (Pasal 17D
Undang-Undang KUP); dan
c) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-144/PJ/2010 tanggal
22 Desember 2010 Tentang Penegasan Tata Cara Penetapan
Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah Dan Tata Cara Pengembalian
Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak Berisiko
Rendah untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) Berisiko Rendah (Pasal 9
ayat (4c) Undang-Undang PPN).

4) Dalam hal pemeriksaan dilakukan terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar (LB)
Restitusi yang terdapat kompensasi dari masa-masa pajak sebelumnya dan
atas masa pajak yang menyatakan LB kompensasi tersebut juga sedang
dilakukan pemeriksaan, maka penyelesaian pemeriksaan LB kompensasi
tersebut diselesaikan sebelum penyelesaian pemeriksaan LB restitusi.

5) Dalam melakukan pemeriksaan terhadap SPT Masa PPN, Pemeriksa Pajak


harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) melaksanakan teknik-teknik pemeriksaan yang dipandang perlu sesuai
rencana pemeriksaan (audit plan) dan program pemeriksaan (audit
program) untuk meyakini kebenaran penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan kredit pajak yang dilaporkan
PKP dalam SPT Masa PPN;
b) melakukan pengujian untuk membuktikan kebenaran formal dan
material Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (9)
Undang-Undang PPN dan penjelasannya;
c) dalam hal Faktur Pajak diterbitkan dengan menggunakan aplikasi
e-Faktur, pemeriksa tidak perlu melakukan pengujian persyaratan
formal Faktur Pajak karena persyaratan formal tersebut telah
divalidasi melalui aplikasi e-Faktur, namun demikian perlu dilakukan
pengujian saat pembuatan Faktur Pajak dibandingkan dengan saat
terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
Sedangkan terhadap Faktur Pajak yang tidak diterbitkan melalui
aplikasi e-Faktur, pengujian persyaratan formal Faktur Pajak
dilakukan sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang PPN dan aturan
pelaksanaannya;
d) berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang PPN, Faktur
Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi
keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena
Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena
Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean. Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen
tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak
sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar PPN-nya,
apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen
tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak
sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya atau sesungguhnya,
Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material;
e) untuk menguji persyaratan material Faktur Pajak sebagaimana
dimaksud pada huruf d) Pemeriksa Pajak minimal menguji:
i. kebenaran jenis dan jumlah Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak yang diserahkan;
ii. kesesuaian jenis Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
dengan kegiatan usaha Wajib Pajak;
iii. kebenaran harga jual atau nilai penggantian Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; dan
iv. kebenaran PKP penjual dan pembeli,
sebagaimana tercantum dalam Faktur Pajak dan tidak hanya
mendasarkan pada jawaban konfirmasi;
f) Pemeriksa Pajak melakukan pengujian atas Pajak Masukan untuk
memastikan bahwa Pajak Masukan yang dikreditkan adalah sesuai
dengan persyaratan formal dan material Faktur Pajak atau dokumen
tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak serta
memastikan bahwa Pajak Masukan yang dikreditkan bukan merupakan
Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN dan penjelasannya;
g) terhadap penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak,
dan/atau impor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
mendapatkan fasilitas, Pemeriksa Pajak harus melakukan pengujian
mengenai persyaratan formal dan material Faktur Pajak serta
pemenuhan syarat subjektif dan objektif dari pemanfaatan fasilitas
PPN sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
h) terhadap Faktur Pajak yang tidak memenuhi syarat formal dan/atau
material ditindaklanjuti dengan:
i. bagi PKP penjual,
(1) PPN yang telah dipungut dan disetor tidak dapat
dilakukan koreksi negatif;
(2) dikenai sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 14
ayat (4) Undang-Undang KUP; dan/atau
(3) apabila terdapat indikasi PKP penjual menerbitkan
Faktur Pajak tidak berdasarkan transaksi sebenarnya
dan terdapat indikasi tindak pidana di bidang
perpajakan maka ditindaklanjuti dengan usulan
pemeriksaan bukti permulaan; dan
ii. bagi PKP pembeli, Faktur Pajak tersebut tidak dapat
dikreditkan sesuai Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN.
i) melakukan pengujian eksistensi kegiatan ekspor
Barang Kena Pajak dengan cara Pemeriksa Pajak
melakukan pengujian kebenaran kontainer maupun
sarana pengangkut melalui Container tracking
maupun vessel tracking baik menggunakan situs
resmi perusahaan pengangkut atau pengelola
terminal petikemas maupun menggunakan database
komersial.

6) prosedur pemeriksaan terhadap hal sebagaimana dimaksud pada angka 5),


dilakukan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor
SE-06/PJ/2006 tentang Kebijakan Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai Lebih Bayar; dan

7) Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan dan/atau Kanwil DJP melakukan Reviu


(Penelaahan) khusus terhadap pemeriksaan LB (PPN dan/atau PPh Badan)
dengan nilai restitusi yang dipandang signifikan sesuai Surat Edaran Dirjen
Pajak Nomor SE-83/PJ/2009 tentang Reviu (Penelaahan) dan Penelaahan
Sejawat (Peer Review).

c. Pemeriksaan Serentak dan Tematik


Dalam rangka menciptakan efek penggentar (deterrent effect) bagi industri tertentu
(menciptakan kepatuhan sektoral), dilakukan Pemeriksaan dari hulu ke hilir secara
serentak dan tematik untuk industri-industri tertentu yang dominan. Pemeriksaan
serentak dan tematik dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Pemeriksaan Serentak dan Tematik yang bersifat Nasional
a) Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, setelah berkoordinasi dengan
Direktorat Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan, Direktorat Intelijen,
Direktorat Penegakan Hukum serta Direktorat Ekstensifikasi dan
Penilaian, menetapkan fokus dan tema industri yang akan dilakukan
pemeriksaan secara serentak dan bersifat Nasional;
b) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan menentukan daftar Wajib Pajak
yang akan diperiksa secara serentak dan bersifat Nasional;
c) penerbitan instruksi pemeriksaan dalam rangka pemeriksaan secara
serentak yang bersifat Nasional dilakukan sesuai dengan
SE-06/PJ/2016; dan
d) Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan melakukan pengawasan dan
reviu terhadap pelaksanaan pemeriksaan secara serentak yang
bersifat Nasional sehingga terdapat keseragaman perlakuan dalam
pelaksanaan pemeriksaan.

2) Pemeriksaan Serentak dan Tematik yang bersifat Regional


a) Kepala Kanwil DJP dan Kepala KPP menetapkan fokus dan tema
industri yang akan dilakukan pemeriksaan secara serentak di setiap
Kanwil DJP;
b) Kepala Kanwil DJP dan Kepala KPP menentukan daftar Wajib Pajak
yang akan diperiksa secara serentak oleh UP2 Kanwil dan seluruh
KPP;
c) penerbitan instruksi pemeriksaan dalam rangka pemeriksaan secara
serentak dan tematik dilakukan sesuai dengan SE-06/PJ/2016; dan
d) Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan dan/atau Kanwil DJP
melakukan pengawasan dan reviu terhadap pelaksanaan pemeriksaan
secara serentak sehingga terdapat keseragaman perlakuan dalam
pelaksanaan pemeriksaan.

d. Strategi pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak dan
Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak.
1) Setelah berlakunya Undang-Undang Pengampunan Pajak, maka perlu
dibedakan antara kebijakan dan strategi pemeriksaan terhadap Wajib Pajak
yang telah mengikuti Pengampunan Pajak maupun Wajib Pajak yang tidak
mengikuti Pengampunan Pajak.

2) Prioritas pemeriksaan Wajib Pajak pasca periode Pengampunan Pajak dilakukan


terlebih dahulu terhadap Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan
Pajak.

3) Kebijakan dan strategi pemeriksaan untuk Wajib Pajak yang tidak mengikuti
Pengampunan Pajak adalah sebagai berikut:
a) Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak dapat dilakukan
pemeriksaan pajak untuk masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun
pajak yang belum daluwarsa penetapan;
b) dalam hal Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak
sedang dilakukan pemeriksaan maka pemeriksa pajak sekaligus
melakukan penelusuran harta (asset tracing) untuk menemukan harta
Wajib Pajak yang belum dilaporkan pada SPT Tahunan PPh dalam
rangka pelaksanaan Pasal 18 Undang-Undang Pengampunan Pajak;
c) penelusuran harta sebagaimana dimaksud pada huruf b) dapat
menggunakan data dan/atau informasi yang berasal dari Sistem
Informasi Direktorat Jenderal Pajak maupun berdasarkan kondisi
lapangan, yang menunjukkan Wajib Pajak mempunyai harta yang
belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh;
d) apabila pada saat pemeriksaan diperoleh data dan/atau informasi
berupa harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh maka
Pemeriksa Pajak harus memproduksi data tentang harta yang belum
dilaporkan tersebut dan dikirimkan kepada Direktorat Potensi,
Kepatuhan, dan Penerimaan; dan
e) apabila KPP memperoleh data dan/atau informasi berupa harta yang
belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh baik yang berasal Sistem
Informasi Direktorat Jenderal Pajak maupun berdasarkan kondisi
lapangan maka data dan/atau informasi berupa harta tersebut setelah
dilakukan penelitian, digunakan sebagai dasar untuk mengusulkan
pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta
Bersih sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pengampunan
Pajak dan aturan pelaksanaannya.

4) Kebijakan dan strategi pemeriksaan untuk Wajib Pajak yang mengikuti


Pengampunan Pajak adalah sebagai berikut:
a) Wajib Pajak yang telah mengikuti Pengampunan Pajak tidak dapat
dilakukan pemeriksaan untuk kewajiban perpajakan PPh, PPN dan
PPnBM untuk masa pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pajak
sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak.
b) Namun demikian, Kepala KPP dapat melakukan penelusuran harta
(asset tracing) yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat
Pernyataan untuk harta yang diperoleh pada tahun 2015 dan
sebelumnya serta dapat melakukan pemeriksaan atas kewajiban
perpajakan untuk jenis pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
dan/atau Bea Meterai (BM) untuk masa pajak, bagian tahun pajak atau
tahun pajak yang belum daluwarsa penetapan.
c) Termasuk harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat
Pernyataan sebagaimana dimaksud pada huruf b) adalah:
i. Harta Bersih tambahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang Pengampunan Pajak.
ii. Harta Bersih dalam SPT PPh Terakhir yang disampaikan
setelah berlakunya Undang-Undang Pengampunan Pajak oleh
Wajib Pajak yang telah memperoleh Pengampunan Pajak,
namun tidak mencerminkan:
(1) Harta Bersih yang telah dilaporkan dalam SPT PPh
yang disampaikan sebelum SPT PPh Terakhir dan
Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku;
(2) Harta Bersih yang bersumber dari penghasilan yang
diperoleh pada Tahun Pajak Terakhir; dan
(3) Harta Bersih yang bersumber dari setoran modal dari
pemilik atau pemegang saham pada Tahun Pajak
Terakhir.
iii. Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan akibat
penyesuaian nilai Harta berdasarkan Surat Pembetulan Atas
Surat Keterangan.
d) Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi harta sebagaimana
dimaksud pada huruf b) atau huruf c) maka KPP setelah melakukan
penelitian harus menindaklanjuti data tersebut dengan melakukan
pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta
Bersih sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pengampunan
Pajak dan aturan pelaksanaannya.
e) Terhadap Wajib Pajak yang telah mengikuti Pengampunan Pajak
berlaku kebijakan pemeriksaan sebagai berikut:
i. Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan untuk masa pajak,
bagian tahun pajak, dan tahun pajak setelah akhir tahun pajak
terakhir sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Pengampunan Pajak.
ii. Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
angka i, dilakukan sesuai dengan tata cara pemeriksaan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang di bidang
perpajakan dan aturan pelaksanaannya.
iii. Dalam pelaksanaan pemeriksaan, selain memperhatikan
ketentuan pada butir ii, pemeriksa pajak juga harus
memperhatikan antara lain:
(1) Pasal 14 Undang-Undang Pengampunan Pajak jo
Pasal 45 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
118/PMK.03/2016 terkait pengaturan mengenai
perlakuan penyusutan atau amortisasi atas harta
tambahan dan perlakuan pembukuan atas saldo laba
ditahan;
(2) Pasal 15 Undang-Undang Pengampunan Pajak jo
Pasal 24 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
118/PMK.03/2016 terkait pengaturan mengenai
perlakuan pembebasan PPh final atas pengalihan
harta tambahan sampai dengan tanggal
31 Desember 2017;
(3) Pasal 16 Undang-Undang Pengampunan Pajak jo
Pasal 35 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
118/PMK.03/2016 terkait pengaturan mengenai:
(a) perlakuan kompensasi rugi fiskal dalam SPT
untuk bagian tahun pajak atau tahun pajak
sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir
ke bagian tahun pajak atau tahun pajak
berikutnya;
(b) perlakuan kompensasi kelebihan
pembayaran pajak dalam SPT Masa PPN
untuk masa pajak pada akhir Tahun Pajak
Terakhir ke masa pajak berikutnya; dan/atau
(c) perlakuan atas pembetulan SPT untuk masa
pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak
sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir
yang dilakukan setelah Undang-Undang
Pengampunan Pajak berlaku.
(4) Pasal 17 Undang-Undang Pengampunan Pajak jo
Pasal 27 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
118/PMK.03/2016 terkait pengaturan mengenai
kedudukan surat ketetapan pajak, surat keputusan,
dan putusan yang terbit sebelum Wajib Pajak
menyampaikan Surat Pernyataan maupun yang terbit
setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan;
(5) Kesesuaian antara nilai harta bersih yang diungkapkan
dengan tambahan atas saldo laba ditahan dalam
neraca bagi Wajib Pajak yang diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan;
(6) Kesesuaian antara penghasilan yang dilaporkan dalam
SPT setelah SPT tahun terakhir dengan tambahan
harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan
yang berpotensi menjadi sumber penghasilan atau
menjadi sumber biaya.

5) Petunjuk pelaksanaan pemeriksaan khusus atas Harta Bersih yang diperlakukan


atau dianggap sebagai penghasilan adalah sebagai berikut:
a) pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta
Bersih sebagaimana dimaksud pada angka 3) huruf e) dan angka 4)
huruf d) diperlakukan sebagai pemeriksaan khusus berdasarkan
keterangan lain berupa data konkret dengan tata cara sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015
tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan.
b) Ruang lingkup pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada
huruf a) meliputi satu jenis pajak.
c) Pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada huruf a) dilakukan
oleh Fungsional Pemeriksa Pajak, Petugas Pemeriksa Pajak, atau
gabungan antara Fungsional Pemeriksa Pajak dengan Petugas
Pemeriksa Pajak sesuai dengan pertimbangan Kepala KPP.
d) Prosedur usul, penerbitan persetujuan pemeriksaan, dan penerbitan
Surat Perintah Pemeriksaan:
i. Terhadap data dan/atau informasi berupa harta yang belum
dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh atau harta yang belum/
kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan yang diperoleh
KPP diusulkan Pemeriksaan Khusus berdasarkan keterangan
lain berupa data Harta Bersih dengan menggunakan Lembar
Pengawasan Wajib Pajak Dalam Rangka Pengampunan Pajak.
ii. Berdasarkan Lembar Pengawasan Wajib Pajak Dalam Rangka
Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada butir i,
Kepala Seksi Pemeriksaan membuat konsep Nota Dinas
Persetujuan Pemeriksaan Khusus berdasarkan keterangan
lain berupa data Harta Bersih untuk ditandatangani oleh
Kepala KPP sebagai dasar penerbitan Nomor Pengawasan
Pemeriksaan (NP2).
iii. Kode Pemeriksaan untuk Pemeriksaan Khusus berdasarkan
keterangan lain berupa data Harta Bersih adalah B711 atau
B721 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan B712 atau B722
untuk Wajib Pajak Badan, dengan penjelasan:
(1) Digit pertama menunjukkan jenis pajak/ruang lingkup
pemeriksaan yaitu B (Pajak PPh Final terkait Harta
Bersih sesuai dengan Undang-Undang Pengampunan
Pajak).
(2) Digit kedua menunjukkan kriteria dan jenis
pemeriksaannya yaitu 7 (Pemeriksaan Khusus
berdasarkan Keterangan Lain Berupa Harta Bersih
oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak, Petugas
Pemeriksa Pajak, atau Gabungan antara Pejabat
Fungsional Pajak dengan Petugas Pemeriksa Pajak).
Petugas.....
(3) Digit ketiga menunjukkan alasan pemeriksaan, yaitu:
-1 --> Ditemukan Harta Bersih terkait Wajib
Pajak yang tidak mengikuti
Pengampunan Pajak; atau
-2 --> Ditemukan Harta Bersih terkait Wajib
Pajak yang mengikuti Pengampunan
Pajak.
(4) Digit keempat menunjukkan jenis Wajib Pajak, yaitu
1 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi atau 2 untuk Wajib
Pajak Badan.
iv. Kepala KPP menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2)
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah NP2 terbit dan
pemeriksa pajak tidak perlu membuat rencana audit (audit
plan).
v. Saat SP2 diterbitkan merupakan saat Direktorat Jenderal
Pajak menemukan harta yang belum/kurang diungkapkan
dalam Surat Pernyataan atau belum dilaporkan dalam SPT
Tahunan PPh sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang
Pengampunan Pajak dan petunjuk pelaksanaannya.
vi. Kepala KPP melakukan manajemen penerbitan SP2 agar tidak
terdapat penerbitan SP2 lebih dari satu kali untuk masa pajak
dan Wajib Pajak yang sama. Data dan/atau informasi Harta
Bersih yang diperoleh lebih dari satu kali di masa pajak yang
sama, dikumpulkan untuk diusulkan pemeriksaan khusus pada
masa pajak berikutnya.
e) Prosedur pengujian dalam pemeriksaan khusus berdasarkan
keterangan lain berupa data Harta Bersih,
i. Pada saat pelaksanaan pemeriksaan khusus berdasarkan
keterangan lain berupa data Harta Bersih, pemeriksa pajak
melakukan pengujian untuk membuktikan hal-hal sebagai
berikut:
(1) kebenaran bahwa Harta Bersih tersebut belum
dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh sebelum SP2
terbit atau tidak diungkap dalam Surat Pernyataan
yang disampaikan Wajib Pajak;
(2) kebenaran bahwa harta bersih tersebut adalah harta
Wajib Pajak atau dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi
termasuk harta anggota keluarga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (4)
Undang-Undang PPh, yang masih ada pada akhir
Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Pengampunan Pajak. Termasuk juga
dalam pengertian harta Wajib Pajak adalah harta
yang bukti kepemilikan formalnya bukan atas nama
Wajib Pajak namun Pemeriksa Pajak dapat
membuktikan bahwa harta tersebut sebenarnya
merupakan Harta Wajib Pajak;
(3) kebenaran bahwa Wajib Pajak tidak termasuk dalam
kriteria yang dimaksud dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2016; dan
(4) kebenaran tahun perolehan harta sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 18 Undang-Undang
Pengampunan Pajak.
ii. Dalam rangka mengumpulkan bukti dan melakukan
pengujian, Pemeriksa Pajak dapat:
(1) melakukan peminjaman buku/catatan, dokumen
dan/atau meminta keterangan sebagaimana diatur
dalam Pasal 29 Undang-Undang KUP terkait dengan
harta bersih;
(2) meminta keterangan tertulis kepada pihak ketiga
sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang
KUP terkait dengan harta bersih;
(3) melakukan pengujian keberadaan harta; dan
(4) meminta bantuan Tenaga Ahli untuk menentukan nilai
harta sebagai dasar perhitungan pajak terutang.
iii. Jangka waktu pengujian pemeriksaan khusus berdasarkan
keterangan lain berupa data Harta Bersih paling lama
10 (sepuluh) hari kerja dan tidak dapat diperpanjang.
iv. Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atas
Pemeriksaan Khusus berdasarkan keterangan lain berupa data
Harta Bersih paling lama 5 (lima) hari kerja dan tidak ada
pembahasan dengan Tim Quality Assurance.
v. Tindak lanjut hasil pengujian yang telah dilakukan dalam
pelaksanaan pemeriksaan adalah sebagai berikut:
(1) dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan hal-hal
sebagaimana dimaksud pada angka i terbukti,
Pemeriksa Pajak menyelesaikan pemeriksaan dengan
menerbitkan SKPKB sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
(2) dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan hal-hal
sebagaimana dimaksud pada angka i tidak terbukti,
pemeriksaan dihentikan dengan membuat LHP Sumir;
(3) dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terbukti
bahwa harta tersebut adalah harta Wajib Pajak lain,
selain membuat LHP Sumir, Pemeriksa Pajak
memproduksi data tentang harta tersebut untuk
ditindaklanjuti; dan
(4) dalam hal hasil pengujian ditindaklanjuti dengan LHP
Sumir, Kepala KPP menyampaikan Surat
Pemberitahuan Penghentian Pemeriksaan dengan LHP
Sumir kepada Wajib Pajak.
vi. Format LHP untuk pemeriksaan khusus berdasarkan
keterangan lain berupa data Harta Bersih adalah sesuai
dengan contoh pada Lampiran III.1 atau Lampiran III.2 yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran
ini.
vii. Dalam melaksanakan pemeriksaan khusus berdasarkan
keterangan lain berupa data Harta Bersih, Pemeriksa Pajak
harus memperhatikan ketentuan mengenai tatacara
perhitungan, tarif, penentuan dasar perhitungan pajak, dan
saat terutang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Pengampunan Pajak, Undang-Undang Pajak Penghasilan dan
peraturan pelaksanaannya.
viii. Prosedur pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain
berupa harta bersih diberlakukan sama dengan prosedur
pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data
konkret sepanjang tidak diatur khusus dalam surat edaran ini.

e. Revitalisasi kegiatan pemeriksaan pada KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak
Besar, KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya di seluruh
Indonesia.
1) Sebagai KPP penentu penerimaan secara nasional, kegiatan pemeriksaan pada
KPP tersebut perlu direvitalisasi dalam rangka optimalisasi penyelesaian
pemeriksaan restitusi PPN, penyelesaian pemeriksaan rutin seluruh jenis pajak,
pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko, dan pemeriksaan oleh Petugas
Pemeriksa Pajak.

2) Dalam rangka optimalisasi kinerja Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak untuk


melakukan penggalian potensi pada KPP penentu penerimaan tersebut, Kepala
KPP perlu melakukan reformulasi tugas Fungsional Pemeriksa Pajak menjadi
sebagai berikut:
a) pembentukan Satuan Tugas (Satgas) pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih
Bayar dengan penekanan output pada refund discrepancy, dan
b) pembentukan Satuan Tugas (Satgas) pemeriksaan dalam rangka
penggalian potensi melalui pemeriksaan rutin seluruh jenis pajak
dan/atau pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko.

3) Satgas Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar


a) Kepala KPP harus membentuk Satgas Pemeriksaan SPT Masa PPN
Lebih Bayar yang tugas utamanya adalah melakukan pemeriksaan
SPT Masa PPN Lebih Bayar baik restitusi maupun kompensasi melalui
Keputusan Kepala KPP.
b) Keputusan Kepala KPP tersebut harus disampaikan kepada Direktur
Pemeriksaan dan Penagihan dan ditembuskan kepada Kepala Kanwil
atasannya paling lambat 31 Mei 2017.
c) Jumlah Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak yang ditunjuk sebagai
anggota Satgas Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar ditetapkan
oleh Kepala KPP dengan mempertimbangkan beban kerja riil
pemeriksaan restitusi PPN.
d) Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar yang telah diberikan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17C, Pasal 17D Undang-Undang KUP dan
Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN dilakukan oleh satgas
pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar.
e) Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar harus dilakukan dengan
memperhatikan prosedur dan melakukan pengujian pemeriksaan SPT
Masa PPN Lebih Bayar sebagaimana diuraikan pada angka 2 huruf b
angka 5) dan angka 2 huruf b angka 6) di atas.
f) Kinerja Satgas Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar diukur dari
refund discrepancy yang diperoleh pada saat pemeriksaan SPT Masa
PPN Lebih Bayar Resititusi dan ukuran kinerja lain yang telah
ditetapkan dalam Surat Edaran ini.

4) Satgas Pemeriksaan dalam rangka penggalian potensi.


a) Kepala KPP harus membentuk Satgas Pemeriksaan dalam rangka
penggalian potensi yang tugas utamanya adalah melakukan
pemeriksaan untuk penggalian potensi melalui pemeriksaan rutin
seluruh jenis pajak dan/atau pemeriksaan khusus seluruh jenis pajak.
b) Keputusan Kepala KPP tersebut harus disampaikan kepada Direktur
Pemeriksaan dan Penagihan dan ditembuskan kepada Kepala Kanwil
atasannya paling lambat 31 Mei 2017.
c) Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak yang tidak termasuk dalam Satgas
Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar harus menjadi anggota
Satgas Pemeriksaan dalam rangka penggalian potensi.
d) Pemeriksaan rutin SPT Tahunan PPh Lebih Bayar dan SPT Tahunan
PPh Rugi harus dilakukan dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh
jenis pajak.
e) Pemeriksaan khusus yang dilakukan oleh Satgas Pemeriksaan dalam
rangka penggalian potensi harus dilakukan dengan ruang lingkup
pemeriksaan seluruh jenis pajak.
f) Pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada huruf e)
diprioritaskan untuk Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan
Pajak.
g) Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak dapat dilakukan
pemeriksaan khusus untuk tahun pajak setelah tahun pajak terakhir
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak
dalam hal terdapat data konkret, hasil analisis dan pengembangan
Informasi Data Laporan dan Pengaduan (IDLP), atau terdapat hasil
analisis risiko yang menunjukkan adanya potensi pajak yang tinggi.
h) Kinerja Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak yang melakukan
pemeriksaan dalam rangka penggalian potensi diukur dari realisasi
pencairan surat ketetapan pajak dan ukuran kinerja lain yang telah
ditetapkan dalam Surat Edaran ini.

5) Dalam rangka optimalisasi peran Petugas Pemeriksa Pajak, dilakukan


reformulasi kegiatan pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh Petugas
Pemeriksa Pajak sebagai berikut:
a) Kepala KPP harus mengangkat Kepala Seksi Pemeriksaan dan
pelaksananya serta Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, III,
dan IV dan Account Representative-nya sebagai Petugas Pemeriksa
Pajak dengan menggunakan Surat Ketetapan Kepala Kantor sesuai
dengan contoh format pada Lampiran IV yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
b) Pemeriksaan khusus data konkret harus dilakukan oleh Petugas
Pemeriksa Pajak dari Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, III, dan IV
sesuai dengan Wajib Pajak yang diadministrasikannya.
c) Pemeriksaan khusus selain sebagaimana dimaksud pada huruf b) yang
memenuhi kriteria:
i. ruang lingkup pemeriksaan untuk satu jenis pajak atau
beberapa jenis pajak selain jenis pajak PPh Wajib Pajak
Badan atau PPh Wajib Pajak Orang Pribadi; dan
ii. merupakan hasil analisis risiko manual bottom up,
harus dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi Pengawasan
dan Konsultasi II, III, dan IV sesuai dengan Wajib Pajak yang
diadministrasikannya.
d) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud huruf b) dan huruf c)
merupakan kinerja Petugas Pemeriksa Pajak yang melakukan
pemeriksaan.
e) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak yang
berasal dari Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, III dan IV
sebagaimana dimaksud huruf b) dan huruf c) maka susunan Tim
Pemeriksa ditetapkan sebagai berikut:
i. yang bertindak sebagai Supervisor adalah Kepala Seksi
Pengawasan dan Konsultasi II, III atau IV; dan
ii. yang bertindak sebagai Ketua Tim merangkap Anggota Tim
adalah Account Representative yang menangani Wajib Pajak
yang diperiksa.
f) Pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada huruf c) adalah
pemeriksaan dengan kode pemeriksaan sesuai dengan SE-06/PJ/2016
yang diawali dengan 291, 391, 791, 891, 991, 091 dan A91.
g) Pemeriksaan Tujuan Lain dalam rangka penerbitan NPWP dan/atau
pengukuhan PKP secara jabatan atau dalam rangka penghapusan
NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP, baik atas permohonan
Wajib Pajak maupun secara jabatan, harus dilakukan oleh Petugas
Pemeriksa Pajak dari Seksi Pemeriksaan.

6) Data dan/atau informasi yang menunjukkan ketidakpatuhan pemenuhan


kewajiban perpajakan jenis PPh Wajib Pajak Badan atau PPh Wajib Pajak
Orang Pribadi yang ditindaklanjuti dengan kegiatan pemeriksaan harus
dilakukan dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak dan dilakukan
oleh Fungsional Pemeriksa Pajak yang menjadi anggota Satgas Pemeriksaan
SPT dalam rangka penggalian potensi.

7) Dalam hal terdapat pemeriksaan dengan ruang lingkup pemeriksaan selain


sebagaimana telah diatur dalam angka 3), 4), 5), dan 6) pemeriksaannya
harus dilakukan oleh Fungsional Pemeriksa Pajak yang menjadi anggota Satgas
Pemeriksaan SPT dalam rangka penggalian potensi atau gabungan antara
Fungsional Pemeriksa Pajak tersebut dengan Petugas Pemeriksa Pajak dari
Seksi Pemeriksaan.

8) Dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktivitas pemeriksaan, Kepala


UP2 menunjuk tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari dua orang yaitu satu
orang Supervisor dan satu orang Ketua Tim merangkap Anggota Tim kecuali
atas pertimbangan untuk pemeriksaan Wajib Pajak tertentu, Kepala UP2 dapat
menambah anggota tim.

9) Dalam rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas pemeriksaan,


pelaksanaan pemeriksaan pada KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak
Besar, KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya di seluruh
Indonesia harus:
i. menggunakan Teknik Audit Berbantuan Komputer (TABK) atau e-Audit,
ii. menyampaikan permintaan pembukaan rekening bank Wajib Pajak
secara elektronik dengan menggunakan aplikasi buka rahasia bank
(AKASIA) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
235/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau
Bukti dari Pihak-Pihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan; dan
iii. melaksanakan pengujian di tempat Wajib Pajak sesuai dengan Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-10/PJ/2017 tentang Petunjuk
Teknis Pemeriksaan Lapangan Dalam Rangka Menguji Kepatuhan.

f. Pemeriksaan pada KPP Pratama di seluruh Indonesia


Dengan ciri khas wilayah yang luas dan didominasi oleh Wajib Pajak Orang Pribadi,
maka manajemen kegiatan pemeriksaan di KPP Pratama perlu memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1) Manajemen pemeriksaan rutin.
a) Pemeriksaan rutin atas SPT Lebih Bayar Restitusi dilakukan sesuai
dengan Manajemen Penyelesaian SPT Lebih Bayar Restitusi
sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b.
b) Pemeriksaan rutin SPT PPh Lebih Bayar dan SPT PPh Rugi harus
dilakukan dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak.
c) Pemeriksaan rutin atas SPT Masa PPN Lebih Bayar dilakukan oleh
gabungan antara Fungsional Pemeriksa Pajak dan Petugas Pemeriksa
Pajak di Seksi Pemeriksaan.
d) Pemeriksaan Rutin selain SPT Masa PPN Lebih Bayar yang ruang
lingkup pemeriksaannya meliputi seluruh jenis pajak dilakukan oleh
Fungsional Pemeriksa Pajak.
e) Dalam hal terdapat pemeriksaan rutin selain huruf c) dan huruf d),
pemeriksaannya harus dilakukan oleh Fungsional Pemeriksa Pajak
atau gabungan antara Fungsional Pemeriksa Pajak dengan Petugas
Pemeriksa Pajak dari Seksi Pemeriksaan.
f) Pemeriksaan rutin selain SPT Lebih Bayar Restitusi harus dikelola
dengan memperhatikan skala prioritas dan beban kerja sehingga
di setiap KPP harus tetap ada alokasi Pejabat Fungsional Pemeriksa
Pajak untuk Pemeriksaan Khusus berdasarkan analisis risiko.

2) Manajemen pemeriksaan khusus.


Pemeriksaan khusus pada KPP Pratama dilakukan dengan strategi sebagai
berikut:
a) Pemeriksaan khusus diprioritaskan terhadap Wajib Pajak yang tidak
mengikuti Pengampunan Pajak.
b) Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak, dapat dilakukan
pemeriksaan khusus untuk tahun pajak setelah tahun pajak terakhir
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak
dalam hal terdapat data konkret, hasil analisis dan pengembangan
Informasi Data Laporan dan Pengaduan (IDLP), atau terdapat hasil
analisis risiko yang menunjukkan adanya potensi pajak yang tinggi.
c) Wajib Pajak yang diprioritaskan untuk dilakukan pemeriksaan khusus
adalah Wajib Pajak sebagaimana terdapat dalam DSPP yang telah
ditetapkan oleh Kepala KPP dan Kepala Kanwil DJP atasannya dengan
memperhatikan besaran potensi pajaknya.
d) Pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko diprioritaskan dengan
ruang lingkup seluruh jenis pajak.

3) Optimalisasi peran Petugas Pemeriksa Pajak dengan melakukan reformulasi


kegiatan pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak
sebagai berikut:
a) Kepala KPP harus mengangkat Kepala Seksi Pemeriksaan beserta
pelaksananya, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, III dan IV
beserta Account Representative-nya, dan Kepala Seksi Ekstensifikasi
dan Penyuluhan beserta Account Representative dan/atau
pelaksananya sebagai Petugas Pemeriksa Pajak dengan menggunakan
Surat Ketetapan Kepala Kantor sesuai dengan contoh format pada
Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Surat Edaran ini.
b) Penunjukkan Petugas Pemeriksa Pajak selain dimaksud pada huruf a)
dilakukan sesuai dengan pertimbangan Kepala KPP.
c) Pemeriksaan khusus data konkret harus dilakukan oleh Petugas
Pemeriksa Pajak dari Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, III dan IV
atau Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi Ekstensifikasi dan
Penyuluhan, sesuai dengan Wajib Pajak yang diadministrasikannya.
d) Pemeriksaan khusus selain sebagaimana dimaksud pada huruf c) yang
memenuhi kriteria:
i. ruang lingkup pemeriksaan untuk satu jenis pajak atau
beberapa jenis pajak selain jenis pajak PPh Wajib Pajak
Badan atau PPh Wajib Pajak Orang Pribadi; dan
ii. merupakan hasil analisis risiko manual bottom up,
harus dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi Pengawasan
dan Konsultasi II, III, dan IV atau Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi
Ekstensifikasi dan Penyuluhan, sesuai dengan Wajib Pajak yang
diadministrasikannya.
e) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud huruf c) dan huruf d)
merupakan kinerja Petugas Pemeriksa Pajak yang melakukan
pemeriksaan.
f) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak yang
berasal dari Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, III dan IV atau
Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan sebagaimana dimaksud huruf c)
dan huruf d) maka susunan Tim Pemeriksa ditetapkan sebagai berikut:
i. yang bertindak sebagai Supervisor adalah Kepala Seksi
Pengawasan dan Konsultasi II, III atau IV atau Kepala Seksi
Ekstensifikasi dan Penyuluhan; dan
ii. yang bertindak sebagai Ketua Tim merangkap Anggota Tim
adalah Account Representative atau pelaksana yang
menangani Wajib Pajak yang diperiksa.
g) Pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada huruf d) adalah
pemeriksaan dengan kode pemeriksaan sesuai dengan SE-06/PJ/2016
yang diawali dengan 291, 391, 791, 891, 991, 091 dan A91.
h) Pemeriksaan Tujuan Lain harus dilakukan oleh Petugas Pemeriksa
Pajak selain dari Seksi Pengawasan dan Konsultasi.
4) Data dan/atau informasi yang menunjukkan ketidakpatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan jenis PPh Wajib Pajak Badan atau PPh Wajib Pajak
Orang Pribadi yang ditindaklanjuti dengan kegiatan pemeriksaan harus
dilakukan dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak dan dilakukan
oleh Fungsional Pemeriksa Pajak.

5) Dalam hal terdapat pemeriksaan dengan ruang lingkup pemeriksaan selain


sebagaimana telah diatur dalam angka 1), 3), dan 4) pemeriksaannya harus
dilakukan oleh Fungsional Pemeriksa Pajak atau gabungan antara Fungsional
Pemeriksa Pajak tersebut dengan Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi
Pemeriksaan.

6) Dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktivitas pemeriksaan, Kepala


UP2 menunjuk tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari dua orang yaitu satu
orang Supervisor dan satu orang Ketua Tim merangkap Anggota Tim kecuali
atas pertimbangan untuk pemeriksaan Wajib Pajak tertentu, Kepala UP2 dapat
menambah anggota tim.

g. Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) di Bidang Pemeriksaan.


Untuk meningkatkan kualitas SDM Pemeriksaan diperlukan strategi pengelolaan SDM
Pemeriksaan melalui:
1) alokasi Fungsional Pemeriksa Pajak berdasarkan Analisis Beban Kerja;
2) desentralisasi peningkatan kompetensi pemeriksa (secara terarah, tepat
sasaran, sesuai kebutuhan, dan terdokumentasi);
3) sinkronisasi peran dan jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak;
4) optimalisasi Petugas Pemeriksa Pajak;
5) optimalisasi Fungsional Penilai dalam kegiatan pemeriksaan;
6) peningkatan kompetensi manajemen dan administrasi pemeriksaan;
7) pemberian Penghargaan terhadap Pemeriksa yang berkinerja baik,
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran ini.

h. Revitalisasi Metode dan Teknik Pemeriksaan


Penggunaan metode dan teknik pemeriksaan mengacu pada Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak nomor SE-65/PJ/2013 tentang Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik
Pemeriksaan. Penggunaan metode dan teknik pemeriksaan tersebut disesuaikan
dengan kegiatan pemeriksaan yang dilakukan, misalnya pemeriksaan terhadap Wajib
Pajak Orang Pribadi atau Badan yang termasuk kategori dikenakan PPh Final
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan
Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu, metode dan teknik pemeriksaan yang digunakan terfokus pada pengujian
peredaran usaha. Revitalisasi Metode dan Teknik Pemeriksaan dilakukan melalui:
1) optimalisasi pemanfaatan Teknik Audit Berbantuan Komputer (TABK);
2) pelaksanaan teknik pemeriksaan dengan penelusuran harta (asset tracing)
sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak
dilakukan melalui koordinasi dengan Seksi Intelijen di Kanwil DJP
masing-masing dan/atau Direktorat Intelijen Perpajakan; dan
3) optimalisasi pemanfaatan pembukaan data nasabah penyimpan menggunakan
Aplikasi Buka Rahasia (AKASIA) sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 235/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau Bukti
dari Pihak-Pihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan.

i. Optimalisasi perangkat pendukung pemeriksaan


Optimalisasi perangkat pendukung pemeriksaan dapat dilakukan dengan
memanfaatkan:
1) aplikasi pendukung pemeriksaan, misalnya Case Management pada Sistem
Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) dan Aplikasi Laporan Pemeriksaan
Pajak (ALPP);
2) perangkat lunak pemeriksaan, misalnya aplikasi add in e-audit utilities pada
Microsoft Excel, Audit Command Language (ACL), dan SESAM ESCORT;
3) perangkat lunak penyedia data untuk keperluan pemeriksaan, misalnya
OSIRIS/ORIANA, Orbis, dan B2B;
4) modul jenis usaha atau industri tertentu yang dapat diakses pada Aplikasi
Pendukung Desentralisasi Pelatihan Pemeriksa (ANTARIKSA).

j. Optimalisasi Pemanfaatan Data


Optimalisasi pemanfaatan data dalam Pemeriksaan dilakukan melalui:
1) pemanfaatan data internal dalam proses pemeriksaan berupa data yang
terdapat dalam SPT, Surat Setoran Pajak (SSP), Faktur Pajak, Bukti
Pemotongan/Pemungutan (Pot/Put), LHP sebelumnya, dan lain-lain;
2) pemanfatan data dan informasi eksternal untuk penguatan basis data dalam
mendukung kegiatan pemeriksaan diantaranya data Instansi Pemerintah,
Lembaga, Asosiasi, dan Pihak Lain (ILAP), data Devisa Hasil Ekspor (DHE),
data Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), dan lain-lain;
3) produksi data oleh Pemeriksa Pajak yang dapat dimanfaatkan untuk
pengawasan kepatuhan Wajib Pajak yang terkait dengan Wajib Pajak yang
sedang dilakukan pemeriksaan;
4) pembuatan data harta yang dapat dijadikan obyek sita yang dimiliki Wajib
Pajak pada saat pemeriksaan dilakukan (bukan data harta pada tahun pajak
yang diperiksa); dan
5) pemutakhiran data Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak dalam hal
diketahui terdapat perbedaan antara KLU yang sebenarnya dengan KLU yang
terdapat di masterfile Wajib Pajak.

k. Optimalisasi Kerja Sama Dalam Rangka Pemeriksaan


Kerja sama dalam rangka pemeriksaan dilakukan bersama dengan pihak eksternal
sebagai berikut:
1) pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (TOPN);
2) joint audit antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai;
3) joint audit antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
4) joint audit antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK);
5) Tim Gabungan antara DJP dengan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan
dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP);
6) pemeriksa dapat meminta bantuan tenaga ahli yang memiliki keahlian tertentu,
yang berasal dari pihak di luar Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak, sebagai tenaga ahli seperti penerjemah bahasa, ahli
di bidang teknologi informasi, dan pengacara; dan
7) kerjasama dalam rangka pemeriksaan dengan pihak lainnya.

3. Pengukuran Kinerja Pemeriksaan


Pengukuran kinerja pemeriksaan dilakukan berdasarkan aspek-aspek pengukuran kinerja
sebagai berikut:
a. persentase realisasi penerimaan extra effort pemeriksaan dan penagihan;
b. persentase realisasi pencairan SKP;
c. persentase realisasi penyelesaian pemeriksaan;
d. audit coverage ratio (ACR);
e. persentase SKP yang tidak diajukan keberatan;
f. persentase refund discrepancy;
g. persentase penyelesaian analisis bahan pemeriksaan berbasis risiko;
h. persentase penyampaian produksi data; dan
i. persentase penyelesaian pemeriksaan tepat waktu untuk SP2 pemeriksaan khusus,
sebagaimana dimaksud pada Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran ini.

4. Pemantauan, Pengendalian, Evaluasi, dan Tindak Lanjut


a. Pemantauan
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP melakukan pemantauan
terhadap:
1) realisasi penerimaan dari pemeriksaan;
2) pelaksanaan pemeriksaan lebih bayar restitusi;
3) penyelesaian pemeriksaan secara tepat waktu;
4) pemeriksaan oleh Petugas Pemeriksa Pajak (PPP);
5) tunggakan pemeriksaan;
6) hasil pemeriksaan yang diajukan upaya hukum;
7) pelaksanaan strategi dan realisasi rencana pemeriksaan, termasuk
ukuran-ukuran kinerja pemeriksaan.

b. Pengendalian
1) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP melakukan
pengendalian terhadap kinerja pemeriksaan.
2) Pengendalian dilakukan melalui:
a) Pembentukan tim bimbingan teknis, reviu, dan penelaahan sejawat
oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kanwil DJP.
b) Bimbingan teknis dilakukan sesuai dengan SE-06/PJ/2016.
c) Reviu dilakukan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-83/PJ/2009 tentang Reviu (Penelaahan) dan Penelaahan
Sejawat (Peer Review).
d) Ruang lingkup materi reviu mengacu pada rencana pemeriksaan
(audit plan) yang telah disetujui oleh Kepala UP2.
e) Penelaahan sejawat (Peer Review) dilakukan sesuai dengan Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-49/PJ/2012 tentang
Penelaahan Sejawat (Peer Review) Pemeriksaan.
3) Pengendalian dilakukan mulai pada tahap persiapan (penyusunan rencana
pemeriksaan/audit plan dan program pemeriksaan/audit program),
pelaksanaan, dan pelaporan pemeriksaan.

c. Evaluasi dan Tindak Lanjut


1) Evaluasi
a) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP
melakukan evaluasi secara intensif terhadap pelaksanaan strategi dan
realisasi rencana pemeriksaan, termasuk ukuran-ukuran kinerja
pemeriksaan;
b) Kepala Kanwil DJP melaporkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud
pada huruf a) kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan setiap
semester sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VII yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
c) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan berkoordinasi dengan Direktur
Keberatan dan Banding untuk melakukan evaluasi atas hasil
keberatan, banding, gugatan, peninjauan kembali, dan/atau Pasal 36
Undang-Undang KUP dalam rangka penyempurnaan regulasi, metode,
dan teknik pemeriksaan.
2) Tindak Lanjut
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP melakukan
tindak lanjut terhadap hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada angka 1),
dengan cara mengambil langkah strategis yang perlu dilakukan sesuai
kewenangannya masing-masing dalam rangka memastikan terlaksananya
strategi dan tercapainya rencana pemeriksaan.

F. Penutup

1. Kebijakan pemeriksaan yang tidak diatur secara khusus dalam Surat Edaran ini tetap mengacu
pada kebijakan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-06/PJ/2016.
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 April 2017
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

Anda mungkin juga menyukai