Anda di halaman 1dari 10

Arca: Simbol Warisan Istimewa1

oleh
Transpiosa Riomandha

A. Prolog
“Archeological records” bisa dibaca sebagai teks. Arkeologi melalui Ikonografi
melakukan pembacaan pola-pola, tanda-tanda dan simbol-simbol yang hadir dalam arca-arca
untuk kemudian memberi makna-makna tertentu, misalnya menentukan jenis, fungsi, dan
golongan dari arca tersebut. Penambahan konteks tertentu pun akan membuat kita dapat
menyimpulkan bahwa sebuah arca berasal dari jaman tertentu. Namun demikian, Hodder dan
Preucel (1996: 299-300) mengatakan bahwa “material culture is more ambiguous than
language … control of symbols is an effective social strategy in the control meaning, … all
aspects of material culture have their symbolic components.”. Arca2 adalah salah satu simbol
temuan penting bagi Arkeologi, dan arcanya sendiri merupakan kumpulan dari simbol-simbol
tertentu.
Pendefinisian atau pemberian makna terhadap arca sendiri merupakan apa yang
dikatakan oleh Turner sebagai prosesual symbology” yakni suatu kajian mengenai bagaimana
simbol menggerakkan tindakan sosial dan melalui proses yang bagaimana simbol memperoleh
dan memberikan arti kepada masyarakat dan pribadi. Apa yang dikatakan Turner ini menjadi
sebuah pendekatan yang berpegang pada dinamika sosial yang berbeda dengan analisis
struktural yang dianggap statis, sementara pada dinamika sosial, proses menjadi penting
karena, seperti yang dikatakan Jung bahwa simbol adalah kehidupan (Abdullah, 2002).
Manusia pada dasarnya adalah makhluk penafsir, seperti yang dikatakan oleh Cassirer
yakni animal symbolicum. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dilantunkan oleh Geertz
mengenai kebudayaan, adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin
secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditautkan secara menyejarah, serta merupakan
sistem konsep yang diwariskan secara simbolik, dimana dengan cara tersebut manusia

1
Tulisan ini dimuat pada buku Arca: Sepilihan Teks dan Foto tentang Seni Arca Klasik, diterbitkan oleh Sangkring Art
dan Bol Brutu, Yogyakarta Oktober 2014.
2
Pengertian Arca yang dipaparkan oleh Atmodjo dkk (2011) adalah “artefak yang dibentuk menyerupai manusia,
hewan, tumbuh-tumbuhan, atau bentuk lain yang dibuat secara tiga dimensi. Arca dapat dihasilkan melalui teknik
bentukan tangan, pahat, cetak dan ukir. Bahan yang digunakan dapat berupa batu, kayu, tanah liat, atau logam. Arca
yang dibuat untuk memperingati seorang tokoh yang telah wafat dengan menambahkan ciri-ciri kedewaan disebut
arca perwujudan.”. Dengan demikian, pendefinisian Arca sendiri merupakan proses simbologis.

1
kemudian mampu berkomunikasi, melestarikan serta mengembangkan pengetahuan dan
sikapnya terhadap kehidupan (Abdullah 2002)3.
Tulisan ini tidak sedang mencoba membaca arca-arca secara ikonografisnya, namun
lebih untuk menawarkan pembacaan pada bagaimana arca-arca tersebut kemudian
diposisikan, diperlakukan dan dimaknai pada hari ini, dalam konteksnya sebagai warisan
budaya. Tulisan juga akan mengkhususkan pada pembacaan mengenai arca saja, meski pada
konteks situasi tertentu ia juga mendapatkan perlakukan simbologi yang sama dengan artefak
lain sebagaimana, misalnya dengan prasasti.

B. Arca-arca yang berhimpun di Bogem

Arca Wamana Twikrama (kiri) dan Arca Narashima (kanan)


temuan dari Candi Ijo dan situs Sumur Bandung, yang kini tersimpan di ruang pamer BPCB DIY

Beberapa waktu berselang saya dan teman-teman mendapat kesempatan untuk


menikmati koleksi-koleksi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) di Bogem Prambanan
Sleman. Ketika kita berada di areal kantor BPCB DIY tersebut, maka kita bisa menyaksikan

3
Simbol menurut Turner (Winangun 1990) adalah sesuatu yang dengan persetujuan bersama, dianggap sebagai
sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili atau mengingatkan kembali dengan memiliki kualitas yang
sama atau dengan membayangkan dalam kenyataan atau pikiran. Istilah “simbol” dan tanda sering digunakan dalam
arti yang sama dengan penggunaan yang berubah-ubah, namun simbol dianggap mampu merangsang perasaan
seseorang, sedangkan tanda tidak. Geertz's mendefinisikan simbol untuk mengartikan secara denotatif semua
obyek, aksi, kejadian, kualitas, atau relasi yang bertindak sebagai sebuah kendaraan dari sebuah konsepsi, the
symbol's "meaning". Namun Asad mengevaluasi pernyataan Geertz mengenai simbol, dengan mengatakan bahwa
simbol bukan sebuah obyek yang bertindak sebagai sebuah kendaraan dari sebuah konsepsi namun simbol adalah
konsepsi itu sendiri.

2
Arca-arca serta batu-batu candi yang hadir hampir di seluruh halaman depan, samping, hingga
belakang, bahkan hingga di lokasi-lokasi seperti kolong tangga, lorong-lorong penghubung
antar-ruang. BPCB DIY juga memiliki ruang pamer pada lantai satu, di gedung depan. Ruang
pamer bagian Timur di dominasi oleh Arca-arca, Prasasti yang terbuat dari batu, sementara
ruang pamer bagian Barat lebih bervariasi dengan arca-arca perunggu, prasasti logam, lontar,
manik-manik, koin, genta serta artefak lainnya.
Ketika kita baru masuk ke ruang pamer di sisi bagian Timur gedung, kita langsung bisa
melihat dua arca yang mungkin menjadi masterpiece dari temuan arca andesit di Yogyakarta,
arca-arca yang ditemukan di areal komplek Candi Ijo di Sumberejo Prambanan Sleman. Arca
Wamana Triwikrama simbolisasi Dewa Wisnu yang turun ke bumi menjadi orang kerdil
(Wamana), Arca Narashima merupakan wujud dari Wisnu yang menjadi manusia Singa
(Narashima) yang turun ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia dari kekejaman raksasa
Hiranyakashipu. Demikian narasi kecil yang tertulis pada lembar caption di kaki Arca-arca
tersebut.

Arca Ganesha dari Candi Nglemuru, Jatiayu, Karangmojo, Gunungkidul,


yang kini tersimpan di ruang pamer BPCB DIY

Pada ruang yang sama, saya tertarik pada sebuah arca Ganesha yang tertulis berasal
dari Candi Nglemuru, Jatiayu, Karangmojo Gunungkidul dan telah menjadi koleksi BPCB DIY
sejak 1976. Yang menarik buat saya adalah bahwa dalam perjalanan saya ke Candi Nglemuru
di Jatiayu tersebut pada sekitar dua-tiga tahun yang lalu, di lokasi yang dicatat sebagai Candi
Nglemuru itu hanya saya temui sebuah pohon besar dengan sumber air (belik), dan makam

3
dusun dengan tinggalan berupa dua buah yoni yang berdampingan dengan nisan-nisan makam
masa kini. Pada sudut yang lain, tampak arca Dewa Wisnu yang sedang naik burung Garuda,
arca ini tampak aus. Arca tersebut merupakan hasil sitaan dari tindak kejahatan pencurian arca.
Pada kesempatan tersebut, kami mendapatkan informasi mengenai bagaimana
menentukan posisi arca-arca tersebut. Arca-arca apa saja yang mendapatkan ruangan khusus
di ruang pamer yang terkunci, serta arca-arca apa saja yang dipersilahkan “berjaga” di halaman
atau di lorong-lorong. Informasi lainnya adalah soal bagaimana memberi label pada arca-arca
tersebut dengan label seperti nasional, propinsi, atau daerah. Label tersebut menentukan arca-
arca apa saja yang wajib untuk dibawa ke Museum Nasional Jakarta, misalnya. Untuk
keperluan tertentu, juga dimungkinkan untuk melakukan peminjaman arca-arca dalam durasi
waktu tertentu, arca-arca yang berada di museum Sonobudoyo atau Ulen Sentalu misalnya,
merupakan arca-arca yang statusnya dipinjamkan oleh negara melalui BPCB DIY untuk
kemudian disimpan dan dikelola oleh museum-museum tersebut. “Bolehkah saya sebagai
pribadi meminjam Arca untuk saya pasang di rumah?”, tanya saya. Ternyata, memang ada tim
khusus yang memiliki kewenangan untuk memberi penilaian melalui indikator-indikator tertentu
yang bisa memberi status dan label pada arca-arca dan memutuskan apakah ia harus dibawa
ke Jakarta, cukup disimpan di BPCB DIY atau disimpan-pinjamkan ke museum-museum yang
ditentukan dan disepakati.

C. Arca: Pusakanya Warisan Budaya.


Dalam diskusi mengenai penterjemahan dari pengertian (cultural) heritage menjadi
warisan atau pusaka, Ahimsa-Putra (2004: 24-25) mencoba membandingkan dengan memberi
konteks pada istilah-istilah tersebut. “Warisan biasanya mengacu pada hal yang bersifat
materiil, yang pada konteks tertentu disebut sebagai harta peninggalan yang diwariskan dari
generasi yang lebih tua kepada generasi berikutnya, bisa secara keturunan atau kepada yang
dianggap berhak. Warisan sebagai kata benda juga bisa diartikan sebagai “harta-benda, atau
kekayaan”. Sementara kata Pusaka, lebih merujuk pada benda-benda bertuah, benda-benda
yang dianggap memiliki kekuatan ghaib. Pusaka juga bisa diartikan sebagai warisan yang
dianggap suci, wingit, keramat atau begitu penting. Lebih lanjut, Ahimsa-Putra mengatakan
bahwa terkait istilah warisan dan pusaka, maka istilah heritage lebih tepat dimaknai sebagai
cultural heritage, karena dianggap lebih bisa membangkitkan imaji akan dua hal: (1) adanya
suatu kolektivitas yang lebih luas, yakni masyarakat yang memiliki warisan tersebut; (2) sifat

4
budaya (cultural, ideational) pada warisan tersebut, sehingga kata warisan juga dapat berarti
hal-hal yang abstrak, seperti filosofi, pandangan hidup atau kearifan-kearifan lokal4.
Dari perjalanan ke BPCB DIY serta ke museum-museum yang menyimpan arca-arca,
kita bisa melihat bagaimana arca mendapatkan tempat khusus dalam konsepsi pelestarian dan
penyelamatan cagar budaya. Arca-arca itu dirasa perlu untuk diangkut dari ”rumah”-nya, dan
disimpan dalam areal khusus seperti pada museum. Reruntuhan Candi kemudian terpaksa
boleh ditinggalkan, asalkan arca terselamatkan. Candi Nglemuru di Gunungkidul dan Candi
Banon di Magelang, adalah dua contoh dari warisan budaya yang telah hilang, namun arca-
arcanya yang cantik masih bisa kita nikmati. Arca-arca temuan dari candi-candi yang masih
berdiri dengan cukup gagah, arca-arca temuan dari Candi Ijo, Ratu Boko, Plaosan dan lain-lain,
juga masih merasa perlu diselamatkan, hingga ia kemudian dianggap mungkin untuk pulang ke
rumah lamanya, seperti yang terjadi pada Ganesha Candi Kimpulan, Sleman. Arca-arca dengan
ukuran raksasa seringkali terpaksa harus tetap berada di rumah lamanya, karena mobilisasi
menuju rumah baru seringkali tak mungkin dilakukan, seperti pada kasus Reco Lanang di
Trawas, Mojokerto; Ganesha di Sumberwatu, Sleman; Arca Gupolo di Prambanan, Sleman,
atau Ganesha di Boro, Blitar.
Alasan bahwa Arca adalah benda yang sangat cemolong, membuat ia seolah menjadi
simbol komoditas benda-benda purbakala yang memiliki harga tinggi di pasar gelap. Kasus
pencurian arca yang terjadi di Candi Plaosan Lor, Candi Gebang adalah alasan kuat bahwa
bagaimanapun juga, arca-arca tersebut akan lebih baik untuk diselamatkan dengan disimpan
tidak di rumahnya sendiri.
Dengan demikian, arca mendapatkan perlakuan yang sangat istimewa. Ketika ia
meninggalkan ”rumah”-nya, maka arca seolah menjadi simbol dari keseluruhan warisan budaya
dari bangunan seperti Candi. Merujuk pada apa yang diutarakan oleh Ahimsa-Putra, arca
kemudian dapat dilihat sebagai pusakanya warisan budaya, sesuatu yang dianggap wingit dan
perlu diistimewakan dengan perlakuan khusus daripada candinya sendiri sebagai sesama
warisan budaya (apalagi jika candinya sudah tidak ada). Saya kemudian teringat dengan apa
yang dikatakan oleh Regina Bendix (2009: 254):

4
Bandingkan pula dengan pengertian Cagar Budaya dalam UU No 11/2010 tentang Cagar Budaya Pasal 1 Ayat 1
yang mengatakan bahwa “Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat
dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”. Baca juga pengertian cultural heritage oleh
Jokilehto 2005.

5
Y et preservation always also entails selection. Not everything is honoured; some aspects
must be forgotten, so as to increase the potential for identification of what is selected.
Thus, within the potential for identification carried by cultural heritage, conflict also resides:
certain marginalised remains of cultural historical memory will have been excluded from
5
the process now being named „heritagisation‟. (Bendix, 2009: 254)

Dengan demikian, tinggalan-tinggalan arkeologis telah menjadi perhatian istimewa sejak masa
kolonial dengan kehadiran Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek
op Java en Madoera pada 1901, kemudian Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie pada
14 Juni 1913 hingga adanya Balai Pelestarian Cagar Budaya, Balai Arkeologi, Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional saat ini, juga keberadaan UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya
memperbaharui UU Cagar Budaya No. 5/1992. Urusan heritage pun kemudian menjadi urusan
Internasional melalui UNSECO dengan hadirnya Konvensi Internasional, yang paling tua World
Heritage Convention (1972), dilanjutkan dengan Recommendation for Safeguarding of Folklore
and Traditional Culture (1989) hingga Convention for Safeguarding of the Intangible Cultural
Heritage (2001). Maka dari itu, bagaimana memperlakukan warisan budaya, termasuk arca-
arca sebagai pusakanya dari warisan budaya, menjadi isu yang lintas batas.
Namun demikian, diluar mainstream pemegang kuasa “warisanisasi” tersebut, ada gerak
lain yang juga mampu memberi makna yang berbeda pada arca-arca tersebut sebagai
pusakanya warisan budaya.

D. Tafsir baru Arca Gupolo dan Ganesha Tentara Pelajar


Situs Arca Gupolo berada di tengah hutan di sebuah dusun pada dataran tinggi Siwa,
Prambanan, Sleman, sekitar 2 kilometer dari kompleks Candi Ijo. Situs ini cukup unik, arca-arca
Hindu dan Buddha berkumpul menjadi satu di sana seperti layaknya lokasi pengumpulan arca.
Terdapat arca tinggi besar sekitar 2,5 meter yang secara ikonografis merujuk pada tokoh
Agastya. Ia dikelilingi beberapa arca yang dari simbol mudra-nya merujuk pada arca-arca
Buddha. Meskipun kaidah-kaidah simbolik arkeologis telah merujukkan bagaimana arca
tersebut dinamai atau disebut, namun legenda lokal menyebut kelompok arca tersebut sebagai
situs Arca Gupolo. Alkisah, Gupolo merupakan Patih dari Ratu Boko yang merupakan ayah dari
Rara Jonggrang. Patih Gupolo memasukkan dan mengubur Bandung Bondowoso ke dalam
Sumur Bandung atau Sumur Jalatunda karena telah membunuh Ratu Boko, Patih Gupolo
bahkan berkeinginan untuk menjadikan Rara Jonggrang sebagai istrinya. Arca besar Agastya
5
Bandingkan juga dengan apa yang dikatakan oleh Smith & Waterton (2009: 292), “Heritage values are not innate to
heritage objects or places, or indeed to the „intangible‟ expressions as defined under the 2003 Convention. (…)
Objects, places or events of „heritage‟ are given heritage values through the performances of selecting and placing
them on „heritage‟ lists or registers. These values are then reinforced through the performances of management and
conservation, interpretation and visitation.”

6
tersebut kemudian dianggap sebagai arca perwujudan dari Patih Gupolo dan dinamakan Arca
Gupolo. Gupolo sendiri sesungguhnya menurut kaidah simbolik arkeologis merupakan nama
lain dari Dwarapala, arca penjaga pintu atau gapura6.

Situs Arca Gupolo, Sleman

Dengan demikian, di balik mainstream regulasi warisanisasi dan kaidah pengetahuan simbolik
arkeologis, terdapat gerak lain dalam memaknai warisan budaya, khususnya melalui Arca
sebagai proses simboliknya. Sepotong arti simboliknya dapat digunakan untuk menggantikan
keseluruhan simbol-simbol yang hadir pada sebuah arca. Bisa jadi hanya dari ukurannya saja,
arca Agastya kemudian menjadi Gupolo dalam legenda di dataran tinggi Siwa, Prambanan. Hal
tersebut juga yang membuat beberapa kelompok, institusi atau lembaga tertentu, juga
menggunakan arca sebagai referensi simbolik dari kelompok mereka. Arca dianggap mampu
merepresentasikan keberadaan mereka. Ganesha menjadi arca yang cukup banyak digunakan
sebagai referensi simbolik dari sebuah kelompok, lembaga atau institusi. Institut Teknologi
Bandung atau Ex Tentara Pelajar adalah dua contoh kelompok atau lembaga yang

6
Dwarapala merupakan Arca penjaga pintu atau gapura berwujud raksasa yang menakutkan. Sering ditemukan
pada kompleks candi atau istana di Jawa. Arca yang berfungsi sebagai penolak bala ini biasanya digambarkan
dalam posisi jongkok, mata melotot dan salah satu tangannya memegang gada. Dwarapala disebut juga sebagai
raksasa penjaga pintu, reco pentung atau gupolo (Atmodjo & Satiman, 2011).

7
menggunakan Ganesha sebagai representasi atau referensi simbolik dari jati diri mereka. Arca
dalam tafsir baru tersebut juga hadir sebagai “monumen”.

Epilog
Dengan melihat perjalanan di BPCB DIY serta situs Arca Gupolo, maka arca-arca
tersebut kemudian dapat dikatakan memiliki makna baru. Hal ini membuat arca kemudian
memiliki tafsir yang berbeda dari yang dibayangkan terjadi pada masa lalu. Gaya “pemujaan”
pun menjadi berbeda: jika dahulu memiliki fungsi sebagai monumen perantara ritual pemujaan,
kini menjadi monumen pengingat simbolik keberadaan suatu entitas, termasuk entitas dari
masa lalu.

Ganesha Monumen Ex- Pasukan Tentara Pelajar


di Perempatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar
Yang menjadi monumen untuk mengenang kisah
pertempuran pasukan Tentara Pelajar dalam
melawan penjajah di lokasi tersebut. Arca ini
biasanya disertai dengan prasasti yang
menyebutkan terjadinya peristiwa pertempuran
yang melibatkan pasukan Tentara Pelajar, serta
siapa saja yang gugur dari peristiwa tersebut.

Meyer dan Woodthrope (2008 via Meyer 2010: 104) menceritakan mengenai apa yang
dirasakan ketika mereka berada di museum dan pemakaman.

“In a museum and a cemetery we can „feel‟, „see‟, and „hear‟ absence. In cemeteries, we
are confronted with absence in the loss of people … In museums, we are confronted with
the absence of the „world out there‟ and/or the „world that once was‟. Both sites, hence,
do something to and something with the absent – transforming, freezing, materialising,
evoking, delineating, enacting, performing, and remembering the absent.”

8
Meyer menambahkan, tempat seperti pemakaman adalah tempat yang melembaga untuk
mengingat yang absen. Pemakaman adalah ruang yang secara literer kita benar-benar
menemukan sisa-sisa dari orang-orang yang pernah hidup, (kini) ia berada di bawah tanah dan
tersembunyi dari pandangan7.
Namun demikian, tak hanya pada museum atau pemakaman saja, situs-situs purbakala
yang masih dan sempat menjadi rumah dari arca-arca, juga terkait dengan hal-hal yang absen.
Hal yang membuat kita memikirkan ulang kembali pengertian kata warisan (budaya), warisan
yang bukan kita dapatkan secara langsung melalui–katakanlah-tangan pertama, melainkan
warisan yang telah menjelajah waktu dan ruang. Tafsir-tafsir dan pemaknaan baru terjadi pada
setiap waktu dan ruang. Hal tersebut membuat artefak yang kemudian menjadi warisan budaya,
bisa saja berasal dari lintas geografis, seperti moko yang menjadi simbol budaya dari
masyarakat Alor. Demikian pula yang terjadi pada arca-arca, sehingga dalam dunia arkeologi
kita sering mendengar istilah arca gaya Pajajaran, gaya Majapahit, gaya Singasari, gaya Jawa
Tengah atau gaya India.
Regina Bendix (2009: 254-255) memberi pernyataan “Heritagitation has to be
understood as an ingredient of late modern lifeworld” ia kemudian melanjutkan dengan
mengatakan bahwa Cultural heritage does not exist, it is made. From the warp and weft of
habitual practices and everyday experience – the changeable fabric of action and meaning that
anthropologists call „culture‟ – actors choose privileged excerpts and imbue them with status
and value.
Maka dari itu, terkait dengan hal tersebut, apakah sebuah arca itu disebut Gupolo atau
Agasyta, menjadi tidak penting. Sebab yang lebih penting sesungguhnya adalah bagaimana
proses pengetahuan itu terjadi; bagaimana proses pemaknaan arca itu menjadi Agasyta, atau
Gupolo itu dilakukan. Melalui proses pemaknaan tersebut, maka pengertian kebudayaan
dengan demikian tidak pada bagaimana ia diwariskan, namun pada bagaimana kebudayaan
dinegosiasikan dalam keseluruhan transaksi sosial. Kebudayaan mulai menjadi sesuatu yang
“dipilih” bukan “diterima” hal ini membuat kesadaran akan identitas sesungguhnya menjadi
mengabur kalau tak mau dikatakan melemah. Kebebasan memilih telah menjadi ideologi
dominan yang tidak dapat dikendalikan lagi melalui ikatan kepatuhan yang dilandasi prinsip-
prinsip komunal. (Abdullah 2010). Hal-hal yang selama ini telah absen, memiliki peluang untuk
diberi makna baru dalam konteks hari ini, dan sesungguhnya hal itu telah dilakukan dengan
menempatkan arca sebagai simbol warisan yang istimewa. Nah, dengan situasi yang terus
7
Bandingkan dengan apa yang dikatakan oleh Hodder dan Preucel (1996: 3000), “The very attempt to define
„meaning‟ in archeology might seem presumptuous and even misguided in the absence of informants”.

9
berkembang ini siapkah kita memberi makna-makna baru pada arca-arca warisan budaya kita,
sehingga ia tetap bisa bertahan secara kreatif dalam dinamika perubahan jaman.

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2004. “Warisan Budaya”, dalam Jejak Masa Lalu: Sejuta Warisan
Budaya, Arwan Tuti Artha dan Heddy Shri Ahimsa-Putra. Yogyakarta: Kunci Ilmu.
Abdullah, Irwan. 2002. Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan pada
Upacara Garebeg, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
-------------------- .2010. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Asad, Talal. 1983. “Anthropological Conception of Religion: Reflection on Geertz” dalam Man,
New Series Vol. 18, No. 2 (June 1983), pp: 237-259. Royal Anthropological Institute of
Great Britain and Ireland.
Atmodjo, Junus Satrio dan Sutiman (eds). 2011. Vademekum Benda Cagar Budaya (cetakan ke
5). Jakarta: Direktorat Tinggalan Purbakala, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala,
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
Bendix, Regina. 2009, “Heritage between economy and politics: an assessment from the
perspective of cultural anthropology”, dalam Intangible Heritage: Hal: 253-269. London &
New York: Routledge.
Hadiyanta, Drs. Ign. Eka (ed). 2011. Katalog Koleksi Arca Perunggu (edisi revisi). Yogyakarta:
Balai Pelestarian Purbakala Yogyakarta.
Hodder, Ian and Robert W. Preucel (eds). 1996. Contemporary Archaeology in Theory: a
Reader. Oxford: Blackwell Published Ltd.
Jokilehto, J. 2005. Definition of Cultural Heritage: References to Documents in History.
ICCROM Working Group Heritage and Society. Originally for ICCROM 1990, revosed for
CIF 15 January 2005.
Laksono, P.M. 2013. Pendidikan sebagai sarana kelola kebudayaan. Makalah untuk Konggres
Kebudayaan Indonesia di Yogya, 9 Oktober 2013.
Mayer, Morgan. 2012. “Placing and tracing absence: A material culture of the immaterial” dalam
Journal of Material Culture 17 (1) 2012. Hal: 103-110. Sage Publication.
Smith, Laurajane and Emma Waterton. 2009, “The envy of the world?: intangible heritage in
England”, dalam Intangible Heritage: Hal: 289-302. London & New York: Routledge.
Winangun, Y.W. Wartaya. 1990. Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas
Menurut Victor Turner. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

10

Anda mungkin juga menyukai