Anda di halaman 1dari 31

TARSAL

PENDPRO BEM FK UNMUL

TRAKTUS UROPOETIKA

Cabang Ilmu Kedokteran :


UROLOGI

Disusun oleh:
Muhammad Hanif Noor Wahyudi

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas limpahan berkat, rahmat, dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
TARSAL (Diktat Belajar Bersama Lengkap) ini yang berjudul “Traktus
Uropoetika”. Tarsal ini kami susun dari berbagai sumber ilmiah sebagai
hasil dari belajar kami dan dapat dijadikan sebagai referensi tambahan bagi
pembaca untuk mempelajari subbab terkait materi Traktus Uropoetika.
Kami mengucapkan terima kasih terhadap seluruh pihak yang telah
membantu sehingga Tarsal ini dapat diselesaikan. Kami menyadari bahwa
kemampuan kami dalam menyusun Tarsal ini masih sangat terbatas. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca demi tercapainya kesempurnaan dari isi
Tarsal ini.

Samarinda, 30 Januari 2021

Muhammad Hanif Noor Wahyudi

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN….…………………………………………………….1
1.1 Latar Belakang……….…………………………………………………..1
1.2 Tujuan…………..…………………………………………………………1
1.3 Manfaat……………………………………………………………………2
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………...3
2.1 Anatomi Traktus Uropoetika…………………………………………….3
2.2 Histologi Traktus Uropoetika……………………………………………5
2.3 Mekanisme Pembentukan Urine……………………………………….7
2.4 Faktor Pembentukan Urine……………………………………………14
2.5 Regulasi Ginjal Dalam Pembentukan Urine…………………………16
2.6 Regulasi Miksi…………………………………………………………..22
2.7 Karakteristik Urine……………………………………………………...23
BAB III PENUTUP…………………………………………………………….24
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………...24
3.2 Saran………………..…………………………………………………...24
REVIEW QUIZ………………………………………………………………….25
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Metabolisme pada tubuh manusia akan menghasilkan produk
berupa zat-zat yang tidak diperlukan lagi. Salah satu bentuk zat yang
dihasilkan sebagai produk metabolisme tersebut dalam bentuk
cairan yakni urine. Zat tersebut bila tidak dikeluarkan dari tubuh akan
berdampak buruk bagi kesehatan tubuh manusia. Untuk itu
diperlukan suatu sistem yang dapat mengeluarkan zat hasil
metabolisme tersebut dari lingkungan internal tubuh.
Traktus uropoetika merupakan sistem yang berperan dalam
regulasi konsentrasi cairan yang berupa urine di dalam tubuh
manusia. Traktus uropoetika tersusun atas ginjal, ureter, vesika
urinaria, dan uretra yang dimana bagian-bagian ini berperan dalam
homeostasis baik sebagai penghasil, penyaring, maupun saluran
yang dilewati urine yang nantinya akan diekskresikan sebagai sisa
metabolisme tubuh menuju keluar tubuh.
Dalam proses regulasi urine pada tractus uropoetika ini
banyak sekali hal-hal yang perlu kita ketahui, diantaranya proses
terbentuknya urine, bagaimana regulasinya, dan apa saja yang
dapat mempengaruhi produksi urine. Semua hal tersebut akan
dijelaskan didalam tarsal ini.

1.2 Tujuan
Tujuan dibentuknya Tarsal ini antara lain :
1. Penulis dan pembaca dapat memahami anatomi dan histologi
traktus uropoetika,
2. Penulis dan pembaca dapat memahami mekanisme dan faktor
pembentukan urine,
3. Penulis dan pembaca dapat memahami fisiologi ginjal,
4. Penulis dan pembaca dapat memahami fisiologi miksi,

1
5. Penulis dan pembaca dapat memahami karakteristik urine.

1.3 Manfaat
Kami berharap dengan dibuatnya tarsal ini dapat berfungsi
sebagai referensi tambahan dalam memberikan pengetahuan dan
manfaat bagi semua pembaca khususnya untuk mahasiswa
kedokteran dalam menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
anatomi dan histologi traktus uropoetika, mekanisme produksi,
ekskresi urin serta hal-hal yang meregulasi keduanya, serta subbab
lainnya terkait materi traktus uropoetika.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Traktus Uropoetika


Ginjal adalah sepasang organ yang warnanya sedikit
kemerahan dan bentuknya seperti kacang dan terletak di atas
pinggang, dan diantara peritoneum dan dinding abdomen posterior.
Oleh karena itu, ginjal disebut sebagai organ retroperitoneal. Ginjal
terletak di antara thoracica terakhir dan vertebrae lumbar ketiga.
Posisinya lebih spesifik di costa ke-11 dan ke-12.
Secara eksternal, ginjal memiliki ukuran sebesar 10-12 cm,
lebar 5-7 cm, tebal 3 cm, dan bermassa 135-150 gram. Pinggiran
medial berbentuk konkafnya mengarah ke columna vertebral,
dimana terdapat hilus renalis yang terdiri atas ureter, pembuluh
darah, limfatik, dan persarafan. Ginjal memiliki 3 lapisan jaringan,
yaitu :
i) Kapsul renal, jaringan ikat ireguler yang mulus dan transparan
yang berkelanjutan dengan lapisan luar ureter.
ii) Kapsul adiposa, massa jaringan lemak yang mengelilingi ginjal.
iii) Fascia renal, jaringan ikat ireguler tipis lain yang mempertahankan
ginjal terhadap struktur di sekitarnya.
Secara internal, ginjal terbagi menjadi dua daerah, yaitu area
superfisial yang berwarna merah terang adalah korteks ginjal, bagian
yang berwarna merah gelap kecoklatan adalah medulla ginjal.
Medula ginjal terdiri dari piramid ginjal dimana di bagian basal setiap
piramid menghadap ke korteks, dan apeksnya yang dinamakan
papilla renalis mengarah ke hilus ginjal. Korteks renal dibagi menjadi
dua zona, yaitu zona kortikal dan zona juxtamedularis. Korteks renal
dan piramid renal membentuk sebuah susunan fungsional yang
dinamakan parenkim ginjal.

3
(Atlas of Human Anatomy 6th Ed.,2014)

Di dalam parenkim ginjal terdapat sekitar satu juta unit struktur


mikroskopis yang dinamakan nefron. Filtrat yang dibentuk oleh
nefron akan mengalir ke ductus papilaris yang lebih besar yang
memanjang hingga papila renalis. Dari papila renalis terdapat
struktur seperti gelas yaitu kaliks minor dan mayor. Masing-masing
ginjal memiliki 8 sampai 18 kaliks minor, dan 2 sampai 3 kaliks
mayor. Setelah filtrat mencapai kaliks, filtrat disebut sebagai urine
karena tidak ada proses reabsorbsi yang terjadi. Dari kaliks mayor,
urin mengalir ke suatu ruangan besar bernama pelvis renalis, lalu
mengalir ke ureter, lalu ke vessica urinaria.
Setelah melalui ginjal, terdapat ureter yang membawa urine
dari ginjal menuju kandung kemih. Terdapat otot polos pada ureter
dan terjadi kontraksi peristaltik. Ureter melengkung secara medial
dan masuk secara obliqua ke dinding dari aspek posterior kandung
kemih. Selanjutnya, terdapat kandung kemih, organ yang bisa
meregang berada pada cavum pelvis posterior dari symphysis pubic.
Pada pria, terletak anterior dari rektum. Sementara, pada wanita
terletak anterior dari vagina dan inferior dari uterus. Terdapat lipatab
peritoneum yang menahan kandung kemih pada tempatnya.
Kapasitas kandung kemih umumnya 700 hingga 800 mL. Di sekitar
bukaan uretra terdapat serat sirkuler membentuk sfingter uretral

4
internal, di bawahnya ada sfingter uretral externa. Dikandung kemih
terdapat persarafan yang terlibat dalam refleks miksi,yaitu segmen
sacral spinalis S2 dan S3 yaitu nervus pudenda, dan saraf somatik
motorik. (Tortora, 2017)

2.2 Histologi Traktus Uropoetika


A. Ginjal
Dalam potongan sagital, ginjal dibagi menjadi korteks
yang terdapat di bagian luar dan terpulas gelap serta medulla yag
terdapat dibagian dalam dan terpulas terang. Korteks ginjal
dilindungi oleh kapsul ginjal yang merupakan jaringan ikat padat
yang tidak teratur.
Pada korteks, terdapat tubulus kontortus proksimal,
tubulus kontortus distal, glomeruli (bentuk jamak dari
glomerulus), dan radius medullaris. Selain itu, arteri interlobularis
dan vena interlobularis juga terdapat dikorteks. Radius medullaris
dibentuk oleh dibentuk oleh bagian nefron yang lurus, pembuluh
darah, dan duktus koligens yang lebih besar. Radius medularis
tidak meluas ke kapsul ginjal karena terdapat tubulus kontortus
subscapularis. Pada medulla, terdapat pyramid-piramid ginjal
dimana setiap basis dari pyramid ginjal berbatasan dengan
korteks serta apeks dari pyramid ginjal membentuk papilla renalis
yang menonjol ke dalam struktur berbentuk corong. Di bagian
korteks juga terdapat radius medullaris yang mencakup 3 jenis
tubulus, yaitu :
1. Tubulus proximalis pars recta, segmen lurus (descendens)
tubulus proksimal
2. Tubulus distalis pars recta, segmen lurus (asendens)
tubulus distal
3. Tubulus koligens
Medulla hanya mengandung bagian lurus tubulus dan
segmen ansa Henle. Segmen ansa Henle terdiri atas segmen

5
desendens tebal dan tipis serta segemen ansa Henle asendens
tebal dan tipis. Segmen ansa Henle tipis dilapisi oleh epitel
selapis gepeng dan menyerupai kapiler. Yang membedakan
antara segmen ansa Henle tipis dengan kapiler yaitu lapisan
epitel yang lebih tebal dan tidak adanya sel darah pada lumen
ansa Henle tipis. (Eroschenko,2008)

(Principles of Anatomy & Physiology 15th Ed.,2017)

B. Ureter
Urine ditranspor oleh ureter dari pevis renalis ke vesica
urinaria tempat urine disimpan hingga dikeluarkan. Dinding ureter
terdiri dari lapisan mukosa, muskularis, dan adventitia, serta
berangsur menebal saat mendekati vesica urinaria. Epitel
transisional di ureter yang tidak meleba memperlihatkan lipatan
mukosa dan banyak lapisan dengan sel bulat. Bagian superfisial
dari epitel memiliki membrane permukaan yang memiliki fungsi
khusus sebagai sawar osmotik antara urin dan jaringan yang
terdapat dibawahnya. Epitel dipisahkan dengan lamina propria
oleh suatu membran basalis tipis. (Eroschenko,2008)

6
C. Vesica Urinaria

Vesica urinaria memiliki dinding yang berotot tebal yang terdiri

atas 3 lapis otot polos yaitu lapisan otot polos longitudinal dalam,

lapisan otot polos sirkuler tengah dan lapisan otot polos


longitudinal luar. Mukosa kandung kemih yang kosong
memperlihatkan banyak lipatan mukosa yang akan menghilang
sewaktu vesica urinaria melebar. Epitel transisional lebih tebal
dibandingkan epitel pada ureter dimana pada vesica urinaria
terdiri atas sekitar 6 lapis sel. Lamina propria yang terdapat di
bawah dari epitel lebih lebar daripada lamina propria pada ureter.
Banyak pembuluh darah dalam berbagai ukuran ditemukan di
serosa antara lapisan otot polos dan lamina propria.
(Eroschenko, 2008)

2.3 Mekanisme Pembentukan Urine


Proses pembentukan urine terjadi di ginjal terutama di unit
fungsional ginjal dan melewati tiga proses dasar yang dimulai dari
glomerulus sampai duktus koligentes. Tiga proses tersebut antara
lain filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus,
sampai akhirnya diekskresikan sebagai urin. Sewaktu darah
mengalir melewati glomerulus, sekitar 20% plasma darah mengalami
filtrasi, sehingga sekitar 125 mL filtrat glomerulus terkumpul setiap
menitnya atau sama dengan 180 liter dalam sehari. Sewaktu filtrat
tersebut melewati tubulus, maka akan terjadi reabsorpsi secara
selektif bahan-bahan yang masih di perlukan oleh tubuh, sehingga
bahan-bahan tersebut tidak akan terbuang melalui urine, melainkan
dibawa oleh kapiler peritubul kemudian ke jantung untuk diedarkan
kembali. Dari semua filtrat yang melewati tubulus, sekitar 178,5 liter
akan di reabsorpsi, dan 1,5 liter sisanya akan mengalir menuju pelvis
renal untuk dibuang sebagai urine. Sebelum benar-benar menjadi

7
urin, akan terjadi perpindahan selektif dari darah kapiler peritubulus
ke dalam lumen tubulus atau biasa dikenal dengan sekresi tubulus.
Proses ini merupakan mekanisme untuk membuang dengan lebih
cepat zat-zat terpilih dari 80% plasma yang tidak terfiltrasi di
glomerulus dan menambahkannya ke hasil filtrasi di tubulus. Semua
konstituen plasma yang difiltrasi dan disekresi, tetapi tidak di
reabsorpsi akan tetap di tubulus dan mengalir ke pelvis renal untuk
diekskresikan sebagai urin. (Sherwood, 2013).
Mekanisme lebih jelas mengenai tiga proses dalam
pembentukan urine akan di bahas sebagai berikut :

A. Filtrasi Glomerulus

Plasma darah yang mengalamai filtrasi harus melewati tiga


lapis membran glomerulus, yaitu pori atau fenetrasi di dalam sel-sel
endotel dinding kapiler glomerulus, membran basal aseluler dan
celah filtrasi diantara prosesus-prosesus kaki podosit di lapisan
dalam kapsula bowman. Semua kontituen plasma akan mengalami
filtrasi melalui lapisan ini, kecuali protein plasma. Protein plasma
tidak bisa melewati lapisan membran basalis yang tersusun dari
kolagen dan glikoprotein bermuatan negatif, sebab protein plasma
juga bermuatan negatif, sehingga akan tertolak menjauhi membran
basalis. Oleh karena itu, hampir tidak ada protein di dalam filtrat.
Selain protein, sel darah merah juga tidak ditemukan di dalam filtrat,
sebab tidak mampu melewati lapisan membran glomerulus.
Sedangkan konsentrasi filtrat lainnya termasuk air dan garam, relatif
sama dengan yang ada pada plasma. Sawar glomerukus cukup
selektif terhadap molekul yang akan difiltrasi, berdasarkan ukuran
dan muatan listriknya. Untuk menggerakkan plasma melewati sawar,
diperlukan gaya yang terlibat.

Ada tiga gaya yang terlibat dalam filtrasi glomerulus. Pertama,


tekanan darah kapiler glomerulus yang merupakan tekanan
hidrostatik akibat darah dalam kapiler glomerulus. Tekanan ini pada

8
akhirnya bergantung pada kontraksi jantung dan resistensi terhadap
aliran darah yang ditimbulkan oleh arteriol aferen dan eferen.
Tekanan darah kapiler glomerulus sekitar 55 mmHg, tekanan yang
tinggi ini diakibatkan oleh diameter arteriol aferen lebih besar
daripada arteriol eferen, di mana saat darah mengalir cepat melalui
arteriol aferen akan terhambat dan tertahan di kapiler glomerulus
akibat terbendung oleh penyempitan pada arteriol eferen. Tekanan
ini mendorong cairan keluar dari glomerulus menuju kapsula
Bowman sepanjang kapiler glomerulus dan merupakan gaya utama
yang menghasilkan filtrasi glomerulus.

Kedua, tekanan osmotik koloid-plasma yang ditimbulkan


akibat distribusi protein yang tidak mampu menembus membran
glomerulus sehingga menciptakan gradien konsentrasi H2O antara
cairan di dalam kapiler glomerulus dan kapsula Bowman. Gaya dari
tekanan ini sebesar 30mmHg dan berlawanan dengan gaya dari
tekanan darah kapiler glomerulus sehingga mendorong pergerakan
cairan dari kapsula Bowman kembali ke kapiler glomerulus. Dan
yang ketiga adalah tekanan hidrostatik kapsula Bowman yang
merupakan tekanan yang timbul akibat penumpukan cairan di bagian
awal tubulus dan diperkirakan sekitar 15 mmHg. Searah dengan
tekanan osmotik koloid plasma, tekanan ini juga cenderung
mendorong cairan keluar kapsula Bowman dan kembali ke kapiler
glomerulus. Dari ketiga tekanan ini didapati tekanan filtrasi netto
yang merupakan perbedaan antara gaya yang mendorong filtrasi
dan gaya yang melawan filtrasi sebesar 10 mmHg, yang mana gaya
inilah yang akan benar-benar digunakan dalam proses filtrasi
glomerulus. Laju filtrasi glomerulus atau glomerular filtration rate
(GFR), dipengaruhi oleh gaya yang ditimbulkan dari tekanan filtrasi
netto dan koefisien filtrasi (Kf) meliputi luas permukaan filtrasi dan
permeabilitas membran glomerulus. (Sherwood, 2013)

9
B. Reabsorbsi Tubulus

1. Reabsorbsi Na+

Dari Na+ yang difiltrasi, 99,5% secara normal direabsorpsi.


Dari Na+ yang direabsorpsi, sekitar 67% direabsorpsi di tubulus
proksimaI, 25% di ansa Henle, dan 8% di tubulus distal dan
koligentes. Reabsorpsi natrium memiliki peran penting berbeda-
beda di tiap-tiap segmen tersebut.

 Reabsorpsi natrium di tubulus proksimal berperan penting dalam


reabsorpsi glukosa, asam amino, H20, Cl-, dan urea.

 Reabsorpsi natrium di pars asendens ansa Henle, bersama


dengan reabsorpsi Cl-, berperan sangat penting dalam
kemampuan ginjal menghasilkan urine dengan konsentrasi dan
volume bervariasi, bergantung pada kebutuhan tubuh untuk
menghemat atau mengeluarkan H20.

 Reabsorpsi natrium di tubulus distal dan koligentes bervariasi


dan berada di bawah kontrol hormon. Reabsorpsi ini berpeian
kunci dalam mengatur volume CES, yang penting dalam kontrol
jangka-panjang tekanan darah arteri, dan juga sebagian
berkaitan dengan sekresi K+.

Proses reabsorpsi natrium yaitu pompa Na+-K+ basolateral


secara aktif memindahkan Na+ dari sel tubulus ke dalam cairan
interstisium di dalam ruang lateral. Proses ini menciptakan suatu
gradien konsentrasi untuk perpindahan pasif Na+ dari lumen ke
dalam sel tubulus dan dari ruang lateral ke dalam kapiler peritubulus,
menghasilkan perpindahan neto Na+ dari lumen tubulus ke dalam
darah pada suatu proses yang memerlukan energi.

Pada Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (SRAA), ginjal


mengeluarkan hormon renin sebagai respons terhadap penurunan
NaC1, volume CES, dan tekanan darah arteri. Renin mengaktifkan
angiotensinogen, suatu protein plasma yang diproduksi di hati,

10
menjadi angiotensin I. Angiotensin I diubah menjadi angiotensin II
oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) yang diproduksi di paru.
Angiotensin II merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan
hormon aldosteron, yang merangsang reabsorpsi Na+ oleh ginjal.
Rentesi Na+ yang terjadi menimbulkan efek osmotik yang menahan
lebih banyak H20 di CES. Bersama-sama, konservasi Na+ dan H20
membantu mengoreksi rangsang semula yang mengaktifkan sistem
hormon ini. Angiotensin II juga memiliki efek lain yang membantu
memperbaiki rangsang semula, misalnya dengan mendorong
vasokonstriksi arteriol. Sementara SRAA memiliki efek paling kuat
pada penanganan Na+ oleh ginjal, sistem penahan Na+ dan
penambah tekanan darah ini dilawan oleh sistem pembuang Na+
dan penurun tekanan darah yang melibatkan hormon peptida
natriuretik atrium (atrial natriuretic peptide, NAP) dan peptida
natriuretik otak (brain natriuretic peptide, BNP) (natriuretik artinya
"memicu ekskresi sejumlah besar natrium di urine").

2. Reabsorbsi Glukosa dan Asam Amino

Reabsorbsi glukosa dan asam amino melibatkan transpor


aktif sekunder. Kotranspor glukosa dan asam amino (sodium and
glucose cotransporter, SGLT) yang hanya terdapat di tubulus
proksimal secara simultan memindahkan Na+ dan molekul organik
spesifik dari lumen ke dalam sel. Karier kotranspor lumen ini adalah
cara yang digunakan Na+ untuk secara pasif menyeberangi
membran lumen di tubulus proksimal. Gradien konsentrasi Na+
lumen-ke-sel yang dipertahankan oleh pompa Na+-K+ basolateral
(yang memerlukan energi) menjalankan sistem kotranspor ini dan
menarik molekul-molekul organik melawan gradien konsentrasinya
tanpa pengeluaran energi secara langsung. Karena proses
keseluruhan reabsorpsi glukosa dan asam amino bergantung pada
pemakaian energi, molekulmolekul organik ini dianggap direabsorpsi
secara aktif meskipun energi tidak digunakan secara langsung untuk
memindahkan keduanya menembus membran luminal ke sel.

11
Setelah diangkut ke dalam sel tubulus, glukosa dan asam amino
akan berdifusi secara pasif masuk ke dalam plasma, dipermudah
oleh karier yang tidak memerlukan energi, seperti glucose
transporter (GLUT). Reabsorpsi aktif Na+ menyebabkan reabsorpsi
pasif CI-, H20, dan urea sebagai berikut :

3. Reabsorbsi Klorida

Ion klorida yang bermuatan negatif direabsorpsi secara pasif


menuruni gradien listrik yang tercipta oleh reabsorpsi aktif ion
natrium yang bermuatan positif. Umumnya ion klorida mengalir di
antara, bukan menembus, sel tubulus. Jumlahyang direabsorpsi
ditentukan oleh laju reabsorpsi Na+ dan tidak dikontrol langsung oleh
ginjal.

4. Reabsorbsi Air

Air secara pasif direabsorpsi melalui osmosis di seluruh


panjang tubulus. Dari H2O yang difiltrasi, 80% direabsorpsi secara
obligatik di tubulus proksimal dan lengkung henle karena secara
osmosis mengikuti reabsorpsi zat terlarut. Reabsorpsi ini terjadi
tanpa dipengaruhi oleh beban H2O tubuh dan tidak diatur. Sisa 20%-
nya direabsorpsi lam jumlah bervariasi di bagian distal tubulus ;
tingkat reabsorpsi ini berada di bawah kontrol langsung hormon,
bergantung pada status hidrasi tubuh.

Gaya yang mendorong reabsorpsi H2O di tubulus proksimal


adalah kompartemen hipertonisitas di ruang lateral antara sel-sel
tubulus yang diciptakan oleh pengeluaran aktif Na+ oleh pompa
basolateral. Akibat pompa ini, konsentrasi Na+ di cairan tubulus dan
sel tubulus dengan cepat menurun disertai peningkatan
kosentrasinya di ruang lateral. Gradient osmotic ini menginduksi
aliran netto pasif H2O dari lumen ke dalam ruang lateral, baik melalui
sel maupun secara antarsel melalui taut erat yang “bocor”.akumulasi
cairan di ruang lateral menyebabkan terbentuknya tekanan

12
hidrostatik , yang mendorong H2O ke luar dari ruang lateral menuju
cairan interstisium dan akhirnya ke dalam kepiler peritubulus.

5. Reabsorbsi Urea

Reabsorpsi H20 yang berlangsung secara osmosis di tubulus


proksimal akibat reabsorpsi aktif Na + menghasilkan gradien
konsentrasi untuk urea yang mendorong reabsorpsi pasif bahan sisa
ini. Konsentrasi urea sewaktu difiltrasi di glomerulus identik dengan
konsentrasinya di plasma yang masuk ke kapiler peritubulus.
Namun, jumlah urea yang ada dalam 125 mL cairan yang difiltrasi di
awal tubulus proksimal terkonsentrasi hingga tiga kali lipat dalam 44
mL cairan yang tersisa di akhir tubulus proksimal. Akibatnya,
konsentrasi urea di dalam cairan tubulus menjadi jauh lebih besar
daripada konsentrasi urea di kapiler sekitar. Karena itu, terbentuk
gradien konsentrasi untuk urea yang secara pasif menyebabkan
urea berdifusi dari lumen tubulus ke dalam plasma kapiler
peritubulus. Karena dinding tubulus proksimal hanya sedikit
permeabel terhadap urea, hanya sekitar 50% urea yang terfiltrasi
direabsorpsi secara pasif melalui cara ini.

C. Sekresi Tubulus

Sekresi tubulus melibatkan transpor transepitel dari plasma


kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Dengan sekresi tubulus,
tubulus ginjal dapat secara selektif menambahkan bahan-bahan
tertentu ke dalam cairan tubulus. Sekresi suatu bahan mempercepat
ekskresinya di urine. Hanya sekitar 20% plasma yang mengalir
melalui kapiler glomerulus difiltrasi ke dalam kapsul Bowman; sisa
80% mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus.
Sekresi tubulus merupakan mekanisme untuk mengeluarkan bahan
dari plasma secara cepat dengan mengekstraksi sejumlah tertentu
bahan dari 80% plasma yang tidak terfiltrasi di kapiler peritubulus
dan memindahkannya ke bahan yang sudah ada di tubulus sebagai
hasil filtrasi.

13
Sistem sekresi terpenting adalah untuk :

1. Ion H+ ,membantu meregulasi keseimbangan asam-basa,

2. K+ ,menjaga konsentrasi plasma pada kadar yang sesuai untuk


mempertahankan eksitabilitas membran jantung, otot, dan saraf,

3. Ion organik, melaksanakan eliminasi senyawa organik asing dari


tubuh dengan lebih efisien.

H+ disekresikan di tubulus proksimal, distal, dan koligentes.


K+ disekresikan hanya di tubulus distal dan koligentes di bawah
kendali aldosteron. Ion organik hanya disekresikan di tubulus
proksimal.

2.4 Faktor Pembentukan Urine


Pembentukan urin terdapat juga faktor-faktor yang
mempengaruhi dalam pembuatan tersebut yaitu sebagai berikut ;

A. Tekanan Darah

Dengan anggapan bahwa semua faktor lain konstan, jika


tekanan darah kapiler glomerulus naik, tekanan filtrasi neto naik dan
GFR (glomerular filtration rate) ikut meningkat. Besar tekanan darah
kapiler glomerulus bergantung pada laju aliran darah di dalam
masing-masing glomerulus. Jumlah darah yang mengalir ke dalam
sebuah glomerulus per menit ditentukan terutama oleh besar
tekanan darah arteri sistemik rata-rata dan resistensi yang
ditimbulkan oleh arteriol aferen.

B. Obat-obatan

Karena mekanisme penahan-garam terpicu dengan tidak


tepat, pasien dengan gagal jantung kongestif diberi diet rendah
garam. Mereka sering diterapi dengan diuretik, obat yang

14
menyebabkan diuresis (peningkatan keluaran urin) sehingga
mendorong keluarnya cairan dari tubuh. Banyak dari obat ini bekerja
dangan menghambat reabsorbsi Na+ di tubulus. Sebagai contoh,
diuretik tiazid, misalnya hidroklorotiazid menghambat reabsorbsi
Na+ di tubulus distal. Dengan lebih banyak Na+ diekskresi, lebih
banyak H2O yang dikeluarkan dari tubuh sehingga kelebihan CES
dapat dikeluarkan. Obat penghambat ACE (angiotensin-converting
enzyme), yang menghambat kerja ACE, dan penyekat reseptor
aldosteron (aldosterone receptor blokers, ARBs), yang menghambat
pengikatam aldosterone dengan reseptor di ginjal, bermanfaat untuk
mengobati hipertensi dan gagal jantung kongestif. Kedua golongan
obat ini menghentikan aksi fundamental penghematan garam-air
serta efek konstriksi arteriol SRAA (sistem renin-
angiotensinaldosteron).

C. Olahraga

Penelitian telah menunjukkan bahwa proteinuria yang terjadi


selama olahraga ringan hingga sedang disebabkan oleh perubahan
pada permeabilitas glomerulus, sementara proteinuria yang terjadi
selama olahraga berat jangka-pendek disebabkan oleh baik
peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus serta disfungsi
tubulus. Disfungsi ginjal reversibel ini diyakini disebabkan oleh
perubahan sirkulasi dan hormonal yang terjadi saat berolahraga.
Aliran darah ginjal berkurang selama berolahraga karena pembuluh
ginjal berkonstriksi dan darah dialihkan ke otot yang berolahraga.
Pengurangan ini berkorelasi positif dengan intensitas olahraga. Pada
olahraga berintensitas tinggi, aliran darah ginjal dapat berkurang
hingga 20% normal. Akibatnya, aliran darah glomerulus juga
berkurang, tetapi tidak sebanyak aliran darah ginjal, karena adanya
autoregulasi. Beberapa peneliti berpendapat bahwa penurunan
aliran darah glomerulus meningkatkan difusi protein ke dalam lumen
tubulus karena aliran darah yang semakin lambat menghabiskan
waktu yang lebih banyak di glomerulus, sehingga proporsi protein

15
plasma yang lebih banyak memiliki waktu untuk lolos melewati
membran glomerulus. Perubahan hormonal yang terjadi pada saat
olahraga juga dapat mernengaruhi permeabilitas glomerulus.
Misalnya, injeksi hormon ginjal renin merupakan cara yang paling
banyak diketahui untuk menginduksi proteinuria secara
eksperimental. Aktivitas renin plasma meningkat selama olahraga
berat dan dapat berkontribusi pada proteinuria pascaolahraga. Para
peneliti juga berhipotesis bahwa reabsorpsi tubulus maksimal
dicapai selama olahraga berat, yang dapat mengganggu reabsorpsi
protein. (Sherwood, 2013)

2.5 Regulasi Ginjal Dalam Pembentukan Urine


A. Autoregulasi LFG
Karena tekanan darah arteri adalah gaya yang mendorong
darah masuk ke dalam glomerulus, akibatnya LFG akan meningkat
dan berbanding lurus jika tekanan arteri meningkat sepanjang faktor
lain tidak berubah. Begitu pula saat terjadi penurunan tekanan darah
arteri akan menyebabkan penurunan LFG. Perubahan spontan tak-
sengaja LFG seperti ini umumnya dicegah oleh mekanisme
pengaturan intrinsik yang dilakukan oleh ginjal sendiri yang dikenal
sebagai autoregulasi. Ginjal dalam batas-batas tertentu mampu
mempertahankan aliran darah ke dalam kapiler glomerulus (dan
karenanya stabilitas tekanan darah kapiler glomerulus dan LFG)
meskipun terjadi perubahan tekanan darah arteri. Ginjal
melakukannya dengan mengubah diameter arteriol aferen sehingga
resistensi terhadap aliran melalui pembuluh ini dapat disesuaikan.
Sebagai contoh, jika LFG meningkat akibat peningkatan tekanan
darah arteri, tekanan filtrasi neto dan LFG dapat dikurangi ke normal
oleh konstriksi arteriol aferen, yang menurunkan aliran darah ke
dalam glomerulus. Penyesuaian lokal ini menurunkan tekanan darah
glomerulus dan LFG ke normal. Sebaliknya, jika LFG turun akibat
penurunan tekanan arteri, tekanan glomerulus dapat ditingkatkan ke

16
normal oleh vasodilatasi arteriol aferen, yang rnemungkinkan lebih
banyak darah masuk meskipun tekanan pendorong berkurang.
Peningkatan volume darah glomerulus meningkatkan tekanan darah
glomerulus, yang pada gilirannya membawa LFG kembali ke normal.
Ada 2 mekanisme intrarenal berperan dalam autoregulasi:
1. Mekanisme miogenik, yang berespons terhadap perubahan
tekanan didalam komponen vaskular nefron,
2. Mekanisme umpan balik tubuloglomerulus, yang mendeteksi
perubahan kadar garam di cairan yang mengalir melalui komponen
tubular nefron.

B. Kontrol Ekstrinsik LFG


Selain mekanisme autoregulasi intrinsik yang dirancang
untuk menjaga LFG konstan meskipun terjadi fluktuasi tekanan
darah arteri, LFG dapat diubah dengan sengaja-bahkan ketika
tekanan darah arteri berada dalam kisaran autoregulasi oleh
mekanisme kontrol ekstrinsik yang berefek langsung tekanan darah
arteri pada laju filtrasi glomerulus mengalahkan respons
autoregulasi. Kontrol ekstrinsik LFG, yang diperantarai oleh sinyal
sistem saraf simpatis ke arteriol aferen, ditujukan untuk mengatur
tekanan darah arteri jangka panjang. Sistem saraf parasimpatis tidak
memiliki pengaruh apapun pada ginjal. Jika volume plasma
berkurang, sebagai contoh, akibat perdarahan penurunan tekanan
darah arteri yang terjadi dideteksi oleh baroreseptor arkus aorta dan
sinus karotis, yang memicu refieks saraf untuk meningkatkan
tekanan darah ke arah normal. Respons refleks ini dikoordinasikan
oleh pusat kontrol kardiovaskular di batang otak dan terutama
diperantarai oleh peningkatan aktivitas simpatis ke jantung dan
pembuluh darah.
Meskipun peningkatan curah jantung dan resistensi perifer
total yang terjadi membantu meningkatkan tekanan darah menuju
normal dalam jangka waktu pendek, volume plasma tetap kurang.

17
Dalam jangka panjang, volume plasma harus dipulihkan ke normal.
Salah satu kompensasi untuk berkurangnya volume plasma adalah
penurunan pengeluaran urine sehingga lebih banyak cairan yang
ditahan di tubuh. Pengeluaran urine berkurang sebagian karena
penurunan LFG jika cairan yang difiltrasi berkurang maka yang
tersedia untuk diekskresikan juga berkurang. (Sherwood, 2013)

C. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Dua jenis sel tubular yang berbeda berlokasi di bagian tubulus


distal dan koligentes: sel prinsipal dan sel interkalasi. Semakin
banyak sel prinsipal merupakan tempat kerja aldosteron dan
vasopresin dan karenanya terlibat dalam reabsorpsi Na+ dan sekresi
K+ (keduanya diatur oleh aldosteron) serta dalam reabsorpsi H2O
(diatur oleh vasopresin). Sebaliknya, sel interkalasi berkaitan dengan
keseimbangan asam basa. Diantara berbagai efeknya, aldosteron
meningkatkan reabsorpsi Na+ oleh tubulus distal dan koligentes.
Hormon ini melakukannya dengan mendorong penyisipan kanal
bocor Na+ tambahan ke dalam membrane luminal dan penambahan
pompa Na+-K+ ke dalam membran basolateral sel-sel ini. Hasil
akhirnya adalah peningkatan perpindahan pasif Na masuk ke dalam
sel tubulus dan koligentes dari lumen dan peningkatan pemompaan
aktif Na+ keluar sel ke dalam plasma-yaitu, peningkatan reabsorpsi
Na+, disertai sistem ini menghilangkan faktor-faktor yang memicu
pelepas-an awal renin-yaitu, deplesi garam, penurunan volume
plasma, dan penurunan tekanan darah arteri.

Selain merangsang sekresi aldosteron, angiotensin II adalah


konstriktor poten arteriol sistemik, yang secara langsung
meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan resistensi
perifer total. Selain itu, angiotensin II merangsang rasa haus
(meningkatkan asupan cairan) dan merangsang vasopresin (suatu
hormon yang meningkatkan retensi H2O oleh ginjal), keduanya ikut

18
berperan dalam menambah volume plasma dan meningkatkan
tekanan arteri. Situasi yang berlawanan terjadi jika beban Na+,
volume CES dan plasma, dan tekanan darah arteri di atas normal.
Pada keadaan-keadaan ini, sekresi renin dihambat. Dengan
demikian, karena angiotensinogen tidak diaktifkan menjadi
angiotensin I dan II, sekresi aldosteron tidak terangsang. Tanpa
aldosteron, tidak terjadi reabsorpsi kecil Na+ dependen-aldosteron
di segmen distal tubulus. Malahan, Na+ yang tidak direabsorpsi ini
kemudian keluar bersama urine. Tanpa aldosteron, pengeluaran
terus-menerus sebagian kecil Na+ yang terfiltrasi ini dapat dengan
cepat mengeluarkan kelebihan Na+ dari tubuh. Meskipun hanya 8%
Na+ yang terfiltrasi yang bergantung pada aldosteron untuk
direabsorpsi, pengeluaran sedikit-sedikit ini, yang dikalikan berlipat
ganda ketika seluruh volume plasma difiltrasi melalui ginjal
berkalikali per hari, dapat menyebabkan pengeluaran Na+ dalam
jumlah bermakna, jumlah aldosteron yang disekresikan, dan
karenanya jumlah relatif garam yang dihemat versus yang
dikeluarkan, bervariasi bergantung pada kebutuhan tubuh. Sebagai
contoh, orang yang mengonsumsi garam dalam jumlah biasa
umumnya mengekskresikan sekitar 10 gram garam per hari di urine,
mereka yang mengonsumsi garam dalam jumlah besar
mengeluarkan lebih banyak, dan orang yang telah kehilangan cukup
banyak garam karena mandi keringat mengeluarkan lebih sedikit
garam melalui urine.

Dengan sekresi aldosteron maksimum, seluruh Na+ yang


terfiltrasi yang dimana diikuti dengan Cl- yang terfiltrasi, direabsorpsi,
sehingga ekskresi garam di urine adalah nol. Dengan mengubah-
ubah jumlah renin dan aldosteron yang disekresikan sesuai dengan
jumlah cairan yang ditentukan oleh garam di tubuh, ginjal dapat
dengan tepat menyesuaikan jumlah garam yang ditahan atau
dikeluarkan. Dengan melakukan hal ini, ginjal mempertahankan
beban garam dan volume CES, dan tekanan darah arteri pada

19
tingkat yang relatif konstan meskipun konsumsi garam sangat
bervariasi dan adanya pengeluaran cairan penuh garam secara
abnormal. (Sherwood, 2013)

D. Peptida Natriuretik sebagai Penghambat Reabsorbi Na +


Peptida natriuretic sebagai sistem pembuang Na+ dan
penurun tekanan darah yang melibatkan hormon peptida natriuretik
atrium (atrial natriuretic peptide, ANP) dan peptida natriuretik otak
(brain natriuretic peptide, BNP). Selain bekerja memompa darah,
jantung juga menghasilkan ANP dan BNP. Sesuai dengan namanya,
ANP dihasilkan di sel otot jantung atrium. BNP pertama kali
ditemukan di dalam otak (sesuai namanya) tetapi terutama
dihasilkan di sel otot jantung ventrikel. ANP dan BNP disimpan di
granula dan dibebaskan ketika jantung secara mekanis teregang
oleh peningkatan volume plasma akibat peningkatan volume CES.
Ini terjadi akibat retensi NaCl dan H2O, meningkatkan tekanan darah
arteri, Pada gilirannya, peptida natriuretik mendorong natriuresis dan
diuresis, menurunkan volume plasma, dan juga langsung
memengaruhi sistem kardiovaskular untuk menurunkan tekanan
darah. Kerja utama ANP dan BNP adalah menghambat secara
langsung reabsorpsi Na+ di bagian distal nefron sehingga ekskresi
Na+ dan H2O osmotik di urine meningkat. Mereka juga
meningkatkan ekskresi Na+ di urine dengan menghambat dua tahap
Sistem RAA dalam menghemat Na+. Peptida natriuretik
menghambat sekresi renin oleh ginjal dan bekerja pada korteks
adrenal untuk menghambat sekresi aldosteron.
Selain itu, mereka menghambat sekresi dan aksi vasopresin,
hormon yang mengonservasi H2O. ANP dan BNP juga mendorong
natriuresis dan diuresis dengan meningkatkan LFG. Mereka
mendilatasi arteriol aferen dan mengkonstriksikan arteriol eferen
sehingga meningkatkan tekanan darah kapiler glomerulus dan
meningkatkan LFG. Mereka meningkatkan lebih lanjut LFG dengan

20
melemaskan sel mesangium glomerulus sehingga terjadi
peningkatan Kf. Dengan semakin banyaknya garam dan air
terfiltrasi, semakin banyak garam dan air yang diekskresikan di urine.
ANP lebih kuat dalam dalam menghasilkan natriuresis dan diuresis
dibandingkan BNP. Selain secara tak-langsung menurunkan
tekanan darah dengan mengurangi beban Na+ dan karenanya
beban cairan di tubuh, ANP dan BNP secara langsung menurunkan
tekanan darah dengan menurunkan curah jantung dan mengurangi
resistensi vaskular perifer dengan menghambat aktivitas saraf
simpatis pada jantung dan pembuluh darah.

E. Vasopresin / ADH sebagai pengontrol Reabsorbsi H 2O

Agar H2O dapat direabsorpsi di suatu segmen tubulus, du


kriteria harus dipenuhi: (1) harus terdapat gradien osmotik yang
melintasi tubulus dan (2) segmen tubulus harus permeabel terhadap
H2O. Tubulus distal dan koligentes impermeabel terhadap H2O
kecuali jika terdapat vasopressin yang juga dikenal sebagai hormon
antidiuretik, yang meningkatkan permeabilitas rnereka terhadap
H2O. Vasopresin diproduksi oleh beberapa badan sel saraf spesifik
di hipotalamus dan kemudian disimpan di kelenjar hipofisis posterior,
yang melekat ke hipotalamus melalui sebuah tangkai tipis .
Hipotalamus mengontrol pelepasan vasopresin dari hipofisis
posterior ke dalam darah. Dengan mekanisme umpan-balik negatif,
sekresi vasopresin dirangsang oleh defisit H2O ketika CES terlalu
pekat dan H2O harus dipertahankan dalam tubuh, dan dihambat oleh
kelebihan H2O ketika CES terlalu encer (yaitu, hipotonik) dan
kelebihan H2O harus dikeluarkan melalui urine.

21
2.6 Regulasi Miksi
A. Mekanisme Miksi
Miksi atau berkemih merupakan suatu proses pengosongan
kandung kemih yang diatur oleh dua mekanisme, yaitu refleks miksi
dan control volunteer.

B. Refleks Miksi
Refleks miksi diawali ketika reseptor regang di dalam kandung
kemih terstimulasi. Saat regangan di dinding kemih meningkat, maka
regangan ini akan mengaktifkan reseptor regang. Semakin tinggi
tegangan yang diberikan semakin besar tingkat pengaktifan
reseptor. Kemudian serat-serat aferen dari reseptor regang
membawa impuls ke medulla spinalis dan akhirnya, melalui
interneuron, menstimulasi jaras saraf parasimpatis kandung kemih
dan menghambat jaras neuron motorik ke sfingter eksternus.
Stimulasi saraf parasimpatis kandung kemih menyebabkan organ ini
berkontraksi. Sfingter internus terbuka pada saat terjadi perubahan
bentuk kandung kemih selama kontraksi sehingga secara mekanis
akan menarik sfingter internus untuk terbuka. Secara bersamaan,
sfingter eksternus berelaksasi karena jaras neuron motoriknya
dihambat. Kini kedua sfingter terbuka dan urin keluar melalui uretra
oleh gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi kandung kemih. Refleks
miksi ini sepenuhnya merupakan refleks spinal.

C. Kontrol Volunter Berkemih


Pengisian kandung kemih juga memicu kesadaran akan
keinginan untuk berkemih. Persepsi penuhnya muncul sebelum
sfingter eksternus relaksasi secara reflex, memberikan peringatan
bahwa miksi akan segera terjadi. Akibatnya, control volunteer
berkemih dapat mengalahkan refleks miksi sehingga pengosongan
kandung kemih dapat dilakukan sesuai keinginan seseorang
(Sherwood, 2019).Seseorang dapat mencegah pengosongan

22
kandung kemih dengan cara mengencangkan sfingter eksternus dan
diafragma pelvis. Impuls eksitatorik volunter dai korteks serebri
mengalahkan sinyal inhibitorik refleks dari reseptor regang ke
neuron-neuron motorik yang terlibat sehingga otot-otot ini tetap
dapat berkontraksi sehingga tidak ada urin yang keluar
Miksi tidak dapat ditahan selamanya. Karena sinyal inhibitorik
refleks dari reseptor regang akan terus meningkat seiring dengan
peningkatan isi kandungan kemih. Akhirnya, sinyal inhibitorik refleks
ke neuron motorik sfingter eksternus semakin kuat dan mengalahkan
sinyal eksitatorik volunteer, sehingga terjadi relaksasi sfingter dan
pengosongan kandung kemih. Miksi dapat juga dimulai dengan
sengaja walaupun kandung kemih tidak teregang, yaitu dengan
merelaksasi sfingter uretra eksternus dan difragma pelvis secara
volunteer. Dengan merendahkan dasar panggul, kandung kemih
jatuh ke bawah, yang secara bersamaan menarik sfingter uretra
internus terbuka dan meregangkan dinding kandung kemih.
Pengaktifan reseptor regang lebih jauh menyebabkan kontraksi
kandung kemih melalui refleks miksi. Pengosongan kandung kemih
secara volunteer juga dibantu oleh kontraksi dinding abdomen dan
diafragma pernapasan. Peningkatan tekanan intraabdominal yang
dihasilkan memeras kandung kemih untuk memudahkan
pengosongan (Sherwood, 2013).

2.7 Karakteristik Urine


Karakteristik urine normal memiliki pH berkisar antara 4,6 -
8,0,dan rata-ratanya sekitar 6,0 bergantung pada makanan. Memiliki
volume berkisar 1-2 Liter selama satu hari penuh (24 jam) tetapi juga
bergantung pada jumlah asupan air yang masuk ke dalam tubuh.
Berwarna kuning atau kuning pekat, bergantung pada konsentrasi
urine dan makanan.Warna yang dihasilkan berasal dari urochrome
yaitu pigmen hasil dari pemecahan empedu dan urobilin, pigmen

23
hasil pemecahan hemoglobin. Urine pada umumnya berbau
ammonia. (Guyton, 2011)

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sistem urinaria adalah suatu sistem tempat terjadinnya
proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat- zat yang masih
dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang dipergunakanoleh tubuh larut
dalam air dan dikeluarkan berupa urine. Ginjal melaksanakan tiga
proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik dan ekskretoriknya
yaitu filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus dan sekresi tubulus. Segala
sesuatu yang difiltrasi atau disekresikan tetapi tidak direabsorpsi akan
diekresikan sebagai urine.

Sistem perkemihan berperan penting dalam mempertahankan


homeostatis konsentrasi air dan elektrolit di dalam tubuh. Ginjal
menghasilkan urin yang mengandung produk sisa metabolisme, meliputi
nitrogen yang merupakan senyawa urea dan asam urat, dan kelebihan
ion.

3.2 Saran
Dalam penyusunan tarsal ini kami menyadari bahwa masih
terdapat kekurangan dan kedangkalan materi serta kesalahan dalam
penulisan, sehingga kami membutuhkan dukungan dalam bentuk kritik
dan saran yang membangun agar kami dapat semakin baik dikemudian
hari. Semoga tarsal yang kami susun ini dapat membantu pembaca
untuk lebih memahami materi Traktus Uropoetika terkait produksi dan
ekskresi serta regulasinya.

24
REVIEW QUIZ

1. Keberadaan asam amino dalam urine menunjukkan kelainan


fungsi renal/ginjal pada bagian……..
A. Ansa Henle
B. Glomerulus
C. Tubulus Proximalis
D. Tubulus Distalis
E. Tubulus Koligens
Jawaban : C
Pembahasan :
Filtrasi merupakan penyaringan darah dalam glomerulus. Pada
proses ini zat yang disaring adalah sel-sel darah. Tahap
selanjutnya yaitu reabsorpsi tubulus yang berlangsung pada
tubulus proximalis. Pada proses reabsorpsi terjadi penyerapan
kembali glukosa, asam amino, asam asetoasetat, dan vitamin.
Tahap terakhir adalah sekresi tubulus pada tubulus distalis dan
koligens terjadi penambahan zat sisa metabolisme. Jadi,
apabila dalam urine mengandung asam amino, maka terjadi
kerusakan ginjal pada bagian tubulus proximalis.

25
2. Dalam mekanisme pembentukan urine, zat-zat yang masih
diperlukan oleh tubuh akan direabsorbsi kembali oleh tubulus.
Dalam 24 jam berapakah jumlah normal air yang direabsorbsi
kembali oleh tubulus ?
A. 180 Liter
B. 178,5 Liter
C. 175 Liter
D. 172,5 Liter
E. 170 Liter
Jawaban : B
Pembahasan :

26
3. Akibat dari pengaktifan Angiotensin II pada sistem renin
angiotensin aldosterone akan mempengaruhi hal dibawah ini,
kecuali…….
A. Merangsang rasa haus
B. Merangsang peningkatan resistensi perifer
C. Merangsang sekresi aldosteron
D. Merangsang hormon ADH
E. Merangsang sekresi atrial natriuretic peptide
Jawaban : E
Pembahasan :
Selain merangsang sekresi aldosteron, angiotensin II adalah
konstriktor poten arteriol sistemik, yang secara langsung
meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan resistensi
perifer total. Selain itu, angiotensin II merangsang rasa haus
(meningkatkan asupan cairan) dan merangsang vasopresin
(suatu hormon yang meningkatkan retensi H2O oleh ginjal),
keduanya ikut berperan dalam menambah volume plasma dan
meningkatkan tekanan arteri. Situasi yang berlawanan terjadi
jika beban Na+, volume CES dan plasma, dan tekanan darah
arteri di atas normal.

27
DAFTAR PUSTAKA

Barrett, K. E., Barman, S. M., Boitano, S., Brooks, H. L., &


Ganong, W. F. (2012). Ganong's Review of Medical
Physiology (24th ed.). New York: McGraw-Hill Medical.

Eroschenko, (2008). diFiore's Atlas of Histology wih Functional


Corelations Eleventh Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.

Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2011). Guyton dan Hall : Buku


Ajar Fisiologi Kedokteran (12 ed.). Singapore: Saunders
Elsevier.

Mescher. (2013). Histologi Dasar Junqueira Edisi Ke 13. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sherwood, L. (2013). Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem (8


ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Tortora, G. & Derrickson, B. (2017). Principles of anatomy &


physiology 15th Edition. Hoboken, NJ: Wiley.

28

Anda mungkin juga menyukai