Anda di halaman 1dari 8

JOURNAL READING DM THT-KL

PERIODE 1 FEBRUARU – 14 FEBRUARI 2021

Insiden dan Pemulihan Gangguan Penciuman dan Pengecapan pada Pasien


Positif COVID-19

Disusun Oleh:
Orin Tasha Ryani P. 190070201011025
Safira Fairuz Adani 190070201011047
Rosyida Istiqomah 190070201011037
Jafrina Jasmin 190070201011059
Yubandthra A/L Vebakaran 190070201011060

Pembimbing:
dr. Iriana Maharani, Sp. THT-KL (K), FICS

LABORATORIUM/SMF ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG
2021
Insiden dan Pemulihan Gangguan Penciuman dan Pengecapan pada Pasien
Positif COVID-19

Penulis: Haider Majid Haider Al-Zaidi dan Hani Musa Badr

ABSTRAK
Latar Belakang: Penelitian ini bertujuan untuk menemukan insiden gangguan kemosensitif
pada pasien COVID-19 dan kesembuhan nya. Data yang digunakan berasal dari 65 pasien
COVID-19 yang dikarantina di rumah sakit pada rentang waktu 5 April 2020 sampai 17 Mei
2020. Data diambil melalui kuesioner yang disebarkan ke bangsal karantina.

Hasil: Gangguan penciuman muncul pada 89.23% dengan atau tanpa gejala lain COVID-
19. Gangguan pengecap ditemukan pada 83.08% pasien dengan gejala COVID-19 yang
lain. Diantara nya, 29.63% sudah mengalami kesembuhan dalam rentang 1-3 minggu,
dengan mayoritas kasus sembuh dalam waktu 1 minggu atau lebih. Sebanyak 18,46% dan
15,38% mengalami gangguan penciuman dan pengecap sebagai satu-satunya gejala
sebelum terkonfirmasi COVID-19. Sebagian besar gangguan kemosensitif pada penelitian
ini ditemukan pada pasien dengan usia dekade ke-4.

Kesimpulan: Gangguan kemosensitif dikaitkan dengan penyakit coronavirus dan bisa


menjadi satu-satunya gejala yang muncul. Hal ini menjadikan dokter THT sebagai lini
pertama yang kontak dengan virus corona. Studi objektif lebih lanjut diperlukan untuk
mencakup gangguan kemosensitif, karena pengenalan gangguan ini dapat membantu
diagnosis COVID-19, dan mencegah penyebaran penyakit ini. Kata kunci: Gangguan
kemosensitif, Anosmia, Taste loss, COVID-19

1
LATAR BELAKANG

Ada tiga jenis gejala COVID-19: asimtomatik, infeksi saluran pernapasan atas ringan
(ISPA), dan penyakit sistemik yang parah seperti pneumonia interstitial bilateral.

Gangguan penciuman / Odor Disfunction (OD) sudah dikenali dalam praktik THT
setelah banyak infeksi virus, yang dapat menyebabkan OD oleh peradangan pada mukosa
sinonasal dan pilek, dengan rhinovirus, virus parainfluenza Epstein-Barr, dan beberapa virus
corona menjadi virus yang paling umum.

Pada 2018, Dubé et al. menemukan bahwa bentuk sebelumnya dari human
coronavirus (HCoV) OC43 mencapai sistem saraf pusat melalui epitel olfaktorius dan
memulai neuropropagasi di bulbus olfaktorius. Banyak penelitian terbaru lainnya
menemukan bahwa gangguan penciuman dan pengecapan sering terlihat pada pasien
COVID19. Oleh karena itu, masuk akal untuk mempertimbangkan hubungan antara OD dan
penyakit coronavirus baru 2019.

Di Irak, COVID-19 memengaruhi kehidupan publik, seperti di semua negara lain


yang terkena dampak, dan sejak pandemi, ada peningkatan kasus OD dan hilangnya
pengecapan yang dilaporkan di rumah sakit dan klinik swasta.

Karenanya, kami sedang menyelidiki kejadian OD dan gangguan pengecapan


sebagai gejala terpisah dari penyakit coronavirus pada pasien Irak.

METODE

Kami mengumpulkan data dari enam puluh lima pasien, semuanya positif COVID-19,
dikarantina di rumah sakit karantina antara 5 April 2020 dan 17 Mei 2020, melalui kuesioner
yang dibagikan di bangsal karantina.

Para pasien diinklusi jika mereka terbukti positif COVID-19, dan mereka sepenuhnya
sadar dan bersedia memberikan izin resmi untuk didaftarkan dalam penelitian. Kami
mengeksklusi pasien yang memiliki masalah penciuman sebelum Januari 2020.

HASIL PENELITIAN

Enam puluh lima pasien positif COVID-19, 27 laki-laki (41,54%) dan 38 perempuan
(58,46%), usia rata-rata 41,2 tahun.

2
Gangguan penciuman muncul pada 58/65 pasien (89,23%) dengan atau tanpa gejala
COVID-19 lainnya; 12 di antaranya melakukan tes COVID-19 karena memiliki riwayat
kontak dengan pasien terkonfirmasi positif dengan gejala. 12/65 pasien(18,46%)
menegaskan bahwa mereka tidak memiliki gejala selain hilangnya indera penciuman
sebelum melakukan tes COVID-19, dan 10/65 pasien (15,38%) juga mengalami kehilangan
pengecap (Gambar. 1)

Gambar 1. Persentase kehilangan penciuman dan pengecap secara umum dan sebagai satu-
satunya gejala yang muncul dari COVID-19

Gangguan pengecapan ditemukan pada 54/65 pasien (83,08%) dengan gejala


COVID-19 lainnya. Hanya 16/54 pasien (29,63%) yang pulih.

Anosmia ringan ditemukan pada 39/58 pasien (67,24%); di antara nya, 16/39
(41,03%) adalah laki-laki, dan 23/39 (58,97%) adalah perempuan. Sebelas dari 58 (18,97%)
mengalami anosmia sedang; di antaranya, 5/11 (45,45%) adalah laki-laki, dan 6/11
(54,55%) adalah perempuan. Delapan dari 39 (20,51%) mengalami anosmia total, 3/8
(37,5%) adalah laki-laki dan 5/8 (62,5%) perempuan (Tabel 1 dan 2; Gambar 2 dan 3).

3
Mengenai hubungan antara waktu munculnya gejala kehilangan penciuman dengan
waktu terkonfirmasi COVID-19 dengan PCR ± CT scan, hanya 1/58 pasien (1,72%) yang
onset gangguan pembauan muncul setelah konfirmasi. Namun, kemunculan gejala sebelum
konfirmasi lebih bervariasi. Dua belas dari 58 (20,68%) muncul dalam waktu kurang dari
seminggu sebelum konfirmasi, sedangkan 18/58 (31,03%) muncul lebih dari 1 minggu
sebelum nya. Selain itu, beberapa pasien membutuhkan waktu lebih lama antara muncul
nya gejala hilangnya penciuman dengan waktu terkonfirmasi positif COVID-19; 19/58
(32,76%) membutuhkan waktu 2 minggu, 6/58 (10,34%) membutuhkan waktu 3 minggu, dan
2/58 (3,45%) 1 bulan atau lebih.

4
DISCUSSION

Infeksi Virus adalah penyebab uum hilangnya penciuman. Namun banyak kasus
kehilangan penciuman sementara yang terlewat dari pendataan, Selama 2 bulan terakhir,
dilaporkan peningkatan kejadian anosmia terisolasi mendadak, dengan atau tanpa
kehilangan perasa. Dalam penelitian ini, disfungsi kemosensitif muncul pada persentase
tinggi pasien COVID-19, 89,23% pasien mengalami disfungsi penciuman dan 83,08%
mengalami disfungsi perasa.

Disfungsi kemosensitif terisolasi mendadak, muncul di 18,46% dan 15,38% untuk


anosmia dan hilangnya perasa. Menariknya, persentase ini dilaporkan pada pasien yang
dites hanya karena berkontak dengan pasien COVID-19; dua di antaranya melaporkan
hilangnya bau sebagai gejala pertama, sementara 10 pasien lainnya melaporkan tidak ada
keluhan utama kecuali kontak dengan pasien COVID -19, dan ketika datang untuk mengisi
kuesioner gejala, mereka hanya melaporkan adanya disfungsi kemosensitif.

Dalam penelitian ini, Jenis kelamin perempuan lebih banyak terpengaruh, meskipun
dengan sedikit perbedaan. Ini mungkin karena banyak pasien pria menolak memberikan
persetujuan untuk berpartisipasi. Namun, penelitian lain melaporkan persentase berdasar
jenis kelamin ini benar.

Kebanyakan kasus ringan, diikuti sedang, lalu total anosmia dan atau hilangnya
fungsi pengecapan. Harus ada pengakuan pasien merasa memiliki gangguan kemosensitif
dan kehadiran nyata dari disfungsi tersebut, yaitu subjektif dan disfungsi kemosensitif
objektif. Lebih subyektif penelitian yang menyelidiki disfungsi rasa dan bau diperlukan,
meskipun sulit untuk melakukan pelajaran seperti itu sebelum menyebabkan risiko
penyebaran infeksi.

Distribusi kelompok umur menunjukkan paling kemosensitif disfungsi terjadi pada


dekade keempat dan sekitarnya. Mengenai waktu disfungsi kemosensitif di terkait dengan
konfirmasi COVID-19, lebih dari setengah pasien dengan disfungsi muncul 1 minggu atau
kurang sebelum konfirmasi kedepan, yang mungkin memberi petunjuk tentang penyebab
disfungsi ini.

Pemulihan disfungsi kemosensitif terjadi di dalam jangka waktu 1–3 minggu;


kebanyakan dari mereka pulih dalam minggu pertama. Hal ini berarti disfungsi bersifat
sementara di sebagian besar kasus dan reversibel. Kebanyakan dari mereka tidak
mengambil pengobatan spesifik untuk disfungsi kemosensitif.

5
Mayoritas pasien adalah bukan perokok seperti yang ditunjukkan oleh penelitian lain.
Hubungan merokok dengan COVID-19 adalah sangat menarik dan perlu diteliti lebih lanjut.

Gambar 4: Persentase pemulihan fungsi penciuman sesuai periode

Gambar 5: Persentase pemulihan fungsi pengecapan sesuai periode

6
Gambar 5: Persentase setiap gejala pada pasien COVID-19

KESIMPULAN

Disfungsi kemosensitif dikaitkan dengan penyakit coronavirus dan mungkin adalah


satu-satunya gejala yang terjadi pada penyakit ini. Hal ini menjadikan dokter THT di lini
pertama kontak dengan virus corona. Studi objektif lebih lanjut dengan sampel yang lebih
besar diperlukan untuk mencakup disfungsi kemosensitif, dan pengenalan disfungsi ini
mungkin membantu diagnosa COVID-19, dan mencegah penyebaran penyakit ini.

Anda mungkin juga menyukai