Bempvol 1 No 2 Sept
Bempvol 1 No 2 Sept
Melemahnya nilai rupiah dalam skala yang cukup serius telah memberikan tekanan yang kurang
menguntungkan bagi kegiatan usaha di sektor riil. Berbagai faktor seperti struktur produksi yang sangat
tergantung pada bahan baku impor, pembiayaan non-rupiah, dan inefisiensi manajemen internal diduga
menjadi penyebab rentannya sektor riil. Namun ternyata terdapat usaha sektor riil yang bertahan bahkan
diuntungkan oleh krisis. Sehubungan dengan fenomena menarik tersebut maka penelitian ini ditujukan untuk
mengkaji seberapa jauh dampak dari krisis moneter terhadap kinerja sektor riil.
Analisa dilakukan berdasarkan tinjauan makro sektoral maupun secara mikro melalui pengamatan
empiris kinerja perusahaan yang tercatat di bursa saham. Untuk memperoleh gambaran deskriptif perubahan
kinerja perusahaan digunakan analisa konsentrasi sementara uji cross section dimanfaatkan untuk menghitung
dampak fluktuasi suku bunga terhadap keuntungan sebelum pajak perusahaan.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis usaha sektor riil yang memiliki resource base kuat,
berorientasi ekspor, sumber pembiayaan non-rupiah yang rendah, serta mempunyai korelasi maupun elastisitas
yang rendah terhadap perubahan suku bunga maupun nilai tukar terbukti mampu bertahan bahkan masih
tumbuh positif selama krisis. Sehubungan dengan hal itu kebijakan yang disarankan dalam jangka pendek
adalah menciptakan suku bunga dan nilai tukar yang stabil dan wajar sedangkan dalam jangka panjang
mendorong restrukturisasi usaha sektor riil agar lebih efisien dan kompetitif baik di pasar domestik maupun
pasar ekspor.
*) Noor Yudanto : Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Studi Sektor Riil, UREM, BI, email : noor_y@bi.go.id
M. Setyawan Santoso : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM, BI
Penulis mengucapkan terima kasih untuk diskusi dan komentar dari Ilham Ikhsan, Deputi Kepala Urusan Riset
Ekonomi dan Kebijakan Moneter-BI, dan bantuan dalam proses penelitian kepada Retno Muhardini dan Fadjar
Majardi, keduanya Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM-BI.
132 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Pendahuluan
S ejak pertengahan 1997, Indonesia dan sebagian beberapa negara Asia Tenggara dan
Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh beberapa faktor baik yang
bersifat eksternal maupun internal1 . Penarikan dana secara tiba-tiba dalam jumlah yang
besar oleh para investor asing yang didorong oleh pesimisme prospek perekonomian regional
dengan segera melemahkan mata uang rupiah secara drastis. Gelombang capital outflow
tersebut kemudian diikuti oleh aksi beli dollar penduduk domestik yang membuat nilai
rupiah semakin terpuruk. Melemahnya nilai rupiah melalui berbagai transmisi menimbulkan
dampak yang kurang menguntungkan kepada sektor-sektor perekonomian dengan tingkat
keseriusan yang berbeda-beda. Sementara itu fluktuasi nilai tukar tampaknya semakin sulit
diprediksi dan cenderung overshoot, sehingga untuk mengerem laju spekulasi dilakukan
pengetatan moneter dengan konsekwensi suku bunga tinggi. Meningkatnya suku bunga
umum tersebut secara paralel kemudian mendorong keatas bunga pinjaman atau biaya
modal bagi perusahaan-perusahaan sektor riil. Kenaikan biaya modal tersebut dengan
sendirinya mengganggu perencanaan investasi maupun produksi jangka panjang yang
pada akhirnya berpengaruh pada menurunnya penawaran agregat.
Sementara itu, melemahnya nilai tukar rupiah telah menurunkan daya beli masyarakat
1 Secara umum dapat diidentifikasi lima penyebab esensial krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia dewasa
ini yaitu: unfavorable macroeconomics condition, excessive inflows and rapid outflows of short term capital,
inappropriate exchange rate arrangements, financial system fragility, and regional contagions. (Kawai, Masahiro.,
The East Asian Currency Crisis: Causes and Lessons, Contemporary Economic Policy, Vol.XVI, April 1998)
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 133
karena naiknya inflasi yang tertransmisi melalui kenaikan harga-harga barang konsumsi
yang sarat kandungan impor. Menurunnya atau tertundanya konsumsi masyarakat secara
luas memberi tekanan balik kepada sektor riil berupa berkurangnya tingkat keuntungan
usaha yang sebelumnya sudah menurun karena bertambah besarnya biaya produksi.
Tekanan karena kenaikan biaya produksi dan menurunnya daya serap pasar telah menjepit
sektor usaha yang berakibat dengan pengurangan skala aktivitas usaha yang tampak secara
riil pada pengurangan jumlah tenaga kerja. Dengan ditutupnya aktivitas sektor usaha yang
selama ini mampu menyerap tenaga kerja menjadikan krisis telah berkembang baik skala
maupun dimensinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi telah mendorong
intensitas krisis politik dan sosial semakin cepat dan hal ini rupanya yang menyebabkan
kinerja sektor riil Indonesia semakin terpuruk. Berlatarbelakang dari kondisi tersebut,
sementara upaya untuk mengembalikan nilai tukar rupiah pada level yang dikehendaki
melalui kebijakan moneter ketat2 belum memberikan hasil maka menarik untuk dikaji lebih
jauh dampak dari krisis moneter terhadap kinerja sektor riil. Pendekatan analisa yang akan
digunakan adalah tinjauan secara makro sektoral dan tinjauan mikro secara cross section
berdasarkan data laporan keuangan perusahaan yang sudah listed di bursa saham Jakarta.
Tinjauan Teoretis
Fungsi Produksi
Sesuai dengan konsep pendapatan nasional, total produksi suatu negara merupakan
hasil dari kegiatan produksi faktor-faktor produksi yang secara sederhana dapat ditelaah
melalui pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas seperti berikut:
dimana Y atau GDP adalah total produksi dari hasil kombinasi optimum dari faktor produksi
modal (K) yang tingkat penggunaannya dipengaruhi oleh capacity utilisation rate ( c ) serta
elastisitasnya terhadap perubahan total produksi itu sendiri (a), faktor produksi tenaga
kerja (L) yang tingkat pemanfaatannya dipengaruhi oleh emplyoment rate (e) serta
elastisitasnya terhadap prubahan total produksi (1-a), dan faktor teknologi atau
produktivitas (A) yang besarnya cenderung konstan. Untuk memudahkan maka berdasarkan
production rule differentiation, terhadap persamaan (1) tersebut dapat diturunkan menjadi:
2 Untuk menghindari dampak lebih jauh dari gejala dolarisasi dan ekspektasi depresiasi rupiah yang berlebihan,
otoritas moneter menerapkan kebijakan uang ketat yang selama ini terbukti cukup ampuh dalam meredam gejolak
spekulasi dollar (ingat Gebrakan Sumarlin). Namun kemajuan industri keuangan serta globalisasi sektor keuangan
telah memberi kemudahan bagi masyarakat untuk memindahkan uang dari suatu tempat ke tempat lain dengan
cepat dan aman, sehingga efektifitas kebijakan tersebut tampaknya menjadi berkurang.
134 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Dari persamaan (2) tersebut dapat diterjemahkan bahwa kenaikan total produksi (dY) adalah
hasil dari perubahan naik atau turunnya variabel-variabel seperti berikut:
dK atau perubahan total investasi yang akan menentukan kapasitas produksi (GDP), (dc)
dan (de) yang mencerminkan perubahan sisi permintaan yang terdiri dari C (consumption
expenditures), I (investment expenditures), G (government expenditures) dan X (export demand), dL
atau pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang akan menentukan kapasitas produksi, dan dA
yang mencerminkan tingkat efisiensi atau produktivitas.
3 Mengenai kemungkinan implementasi paradigma baru pengelolaan moneter ini, secara lengkap dan jelas diuraikan dalam Hartadi, A
Sarwono, dan Warjiyo, Perry : Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran
untuk Penerapannya di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.1, No.1, Bank Indonesia, Juli 1998.
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 135
Sehubungan dengan nilai kurs rupiah yang terus melemah, terutama sesudah
ditentukan secara murni oleh pasar, semakin memberi tekanan yang serius pada cash flow
usaha sektor riil. Besar kecilnya tekanan tersebut sangat tergantung dari struktur biaya yang
timbul akibat transaksi dalam non-rupiah, meskipun tidak tertutup kemungkinan terdapat
pelaku sektor riil yang justru diuntungkan oleh melemahnya nilai tukar tersebut. Secara
makro fluktuasi kurs yang tidak menentu akan mempengaruhi inflasi melalui transmisi
sederhana. Untuk melindungi exchange rate risk, eksportir atau importir akan membebankan
hedging cost tersebut pada selling price yang selanjutnya akan mendorong harga umum naik.
Sementara depresiasi tinggi seperti yang dialami oleh rupiah saat ini mendorong harga
import menjadi mahal, in term of domestic currency, sehingga efeknya harga-harga umum
akan terdorong naik. Dengan asumsi pengusaha cenderung untuk mempertahankan atau
bahkan menaikkan margin keuntungan maka inflasi akan terus meningkat secara spiral
dan harga yang sudah naik akan cenderung kaku (rigid) untuk turun kembali (ratcheteffect).
Nilai tukar yang melemah dilain pihak akan menyebabkan menggelembungnya beban rupiah
dari kewajiban non-rupiah (bubbling effect) seperti meningkatnya biaya bunga yang harus
dibayar sehingga tekanan kepada arus kas perusahaan akan makin meningkat.
Untuk mengetahui seberapa jauh dampak yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi
terhadap sektor riil tersebut akan ditinjau baik dari sisi makro maupun mikro. Sisi makro
4 Pada prinsipnya terdapat empat jalur dimana kebijakan moneter ditransmisikan kedalam perekonomian yaitu
melalui jalur suku bunga, nilai tukar, harga aset dan kredit. (Mishkin 1995, Boediono 1996 dan BIS 1995, dalam
Warjiyo dan Zulverdi, Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel, 1998).
136 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
yang dimaksud adalah yang diwakili oleh analisa PDB sektoral serta indikator makro lainnya
yang mendukung. Sedangkan analisa mikro menitikberatkan pada kinerja perusahaan yang
mewakili berbagai sektor usaha yang ada berdasarkan sampel perusahaan yang listed di
Bursa Efek Jakarta (BEJ). Data untuk analisa mikro didasarkan dari sampel 57 perusahaan
non-finansial dengan periode pengamatan dari tahun 1995 sampai dengan 1997.
Diharapkan dari kedua sumber analisa tersebut dapat diperoleh potret yang lengkap tentang
kinerja sektor riil domestik.
Pertumbuhan GDP selama tiga tahun terakhir terjaga pada rata-rata 7,9% telah merosot
menjadi 4,91% pada tahun 1997, sedangkan pertumbuhan triwulanan 1998 menurun lebih
tajam yaitu -7,58% (1998.Q1), -17,09% (1998.Q2), -17,13% (1998.Q3) dan sampai akhir 1998
diperkirakan pertumbuhan ekonomi menjadi -13,7%. Kontraksi tajam pertumbuhan ekonomi
riil juga terefleksi dari pergerakan harga saham yang terus menurun terutama sejak
pertengahan kedua 1997. Indeks harga saham sektoral yang mencerminkan kinerja sektor
terwakili oleh perusahaan yang listed pada umumnya memperlihatkan pola penurunan
yang hampir tipikal. Diantara lima sektor utama yaitu pertanian, industri, perdagangan,
keuangan, dan bangunan, tampaknya sektor pertanian terbukti cukup resisten terhadap
krisis. Indeks harga saham sektor pertanian selalu lebih besar dari sektor lainnya disamping
memperlihatkan kenaikan sustainable sebelum terkena dampak krisis. Bahkan sejak triwulan
akhir 1997 besarnya indeks harga saham gabungan cukup dipengaruhi besarnya indeks
harga saham sektor pertanian.
Secara historis terdapat tiga sektor utama sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi
tinggi Indonesia selama ini yaitu sektor bangunan, sektor listrik dan gas serta sektor industri
pengolahan, dengan rata-rata pertumbuhan yang dihitung sejak 90-97, masing-masing
sebesar 14,5%, 12,7% dan 11,27%. Sebaliknya sektor pertanian dan jasa cenderung tumbuh
0
100
200
300
400
500
600
700
800
1-Jan-96
16,000.0
14,000.0
12,000.0
10,000.0
8,000.0
6,000.0
4,000.0
25-Jan-96
3-Jan-96 2,000.0
28-Feb-96
31-Jan-96
27-Mar-96
28-Feb-96
26-Apr-96
IHSG
27-Mar-96
FINAN
MANFC
24-May-1996 25-Apr-96
19-Jun-96 23-May-96
15-Jul-96 20-Jun-96
8-Aug-1996 18-Jul-96
AGR
3-Sep-1996
PROP
15-Aug-96
TRADE
27-Sep-96 12-Sep-96
23-Oct-1996 10-Oct-1996
18-Nov-1996 7-Nov-1996
12-Dec-1996 5-Dec-1996
15-Jan-97 3-Jan-1997
14-Feb-97 31-Jan-97
12-Mar-97 4-Mar-1997
14-Apr-97 3-Apr-1997
14-May-1997 5-May-1997
11-Jun-97 4-Jun-1997
7-Jul-1997 2-Jul-1997
Grafik 1.
Grafik 2.
Krisis
4-Aug-1997 31-Jul-97
28-Aug-1997 1-Sep-1997
23-Sep-97 29-Sep-97
17-Oct-1997 27-Oct-1997
12-Nov-1997 24-Nov-1997
pelepasan band
10-Dec-1997 23-Dec-1997
13-Jan-98 22-Jan-98
11-Feb-98 20-Feb-98
9-Mar-1998 20-Mar-98
PERKEMBANGAN KURS SPOT HARIAN RP/USD
8-Apr-1998 20-Apr-98
12-May-1998 25-May-1998
9-Jun-1998 22-Jun-98
7-Jul-1998 21-Jul-98
PERGERAKAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN HARIAN
19-Aug-1998
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil
31-Jul-98
28-Aug-1998 16-Sep-98
137
138 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
rendah, rata-rata sebesar 3,5% dan 3%. Sedangkan dari segi sumbangan terhadap
pertumbuhan PDB, sektor industri dan sektor perdagangan memiliki rata-rata sumbangan
tertinggi yaitu masing-masing sebesar angka persentase 2,5 dan 1,5 dari 8 % rata-rata
pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor-sektor lainnya yang juga memiliki potensi menjadi
penggerak perekonomian domestik adalah sektor bangunan serta sektor keuangan.
Grafik 3.
PERTUMBUHAN EKONOMI SEKTORAL
P er tani an
P er tambangan
I ndus tr i
L i s tr i k
B angunan
P er dagangan
P engangkutan
B ank
1996
J as a-j as a
1997
P R ODU K DOM E ST I K B R U T O 1998
memberi tekanan pada kenaikan biaya produksi apabila terjadi fluktuasi. Untuk memperoleh
gambaran seberapa jauh keterkaitan antara fluktuasi kedua faktor tersebut terhadap
Dari hasil pengujian diketahui bahwa sektor yang terkait cukup kuat dengan faktor
depresiasi adalah sektor bangunan, sektor industri, sektor transportasi dan sektor keuangan.
Sedangkan tingkat elastisitasnya, sektor industri menjadi sektor yang paling elastis terhadap
perubahan nilai kurs. Saratnya imported input dan besarnya sumber pembiayaan dari luar
negeri dalam struktur produksi diduga menjadi penyebabnya. Dari sisi pengaruh faktor
suku bunga, diketahui bahwa sektor bangunan, industri, transportasi, dan perdagangan
merupakan sektor-sektor yang memiliki kaitan paling erat dengan gejolak suku bunga. Jika
dilihat dari segi elastisitasnya, sektor yang paling elastis terhadap suku bunga adalah sektor
bangunan dan keuangan (lihat tabel 1)
Untuk melengkapi hasil uji korelasi maupun uji elastisitas dari pertumbuhan masing-
masing sektor terhadap gejolak nilai tukar dan suku bunga maka telah dihitung kinerja
masing-masing sektor pada periode pra krisis dan selama krisis (lihat tabel 2). Secara umum
dari perbandingan antara dua periode tersebut dapat diketahui bahwa semua sektor
mengalami penurunan pertumbuhan cukup besar, sementara peranannya (share) relatif
Tabel 1.
DAMPAK DEPRESIASI DAN SUKU BUNGA SECARA SEKTORAL
Depresiasi Bunga
No. Sektor Effect Corr. Coef. Elc. Coef. Effect Corr. Coef. Elc. Coef.
5 Koefisien korelasi dihitung berdasarkan hasil correlation matrix peubah-peubah yang diamati, sementara koefisien
elastisitas (b) dihitung sbb:
g(PDB)i = a + b (depresiasi) + e
g(PDB)i = a + b log (bunga) + e
dimana g(PDB) adalah growth dari PDB sektor bersangkutan (i), dengan periode penghitungan : tahun 1970 s.d. 1996
140 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Tabel 2.
KINERJA SEKTORAL SEBELUM DAN SESUDAH KRISIS MONETER
Pertumbuhan (%) Peranan (%) Sumbangan Pertumbuhan (%)
Pertanian 3,1 0,3 -2,9 15,8 16,3 0,5 0,5 0,0 -0,5
Pertambangan 6,3 -4,0 -10,4 9,1 9,3 0,2 0,6 -0,4 -1,0
Industri 11,0 -7,9 -18,9 24,1 24,9 0,8 2,7 -2,0 -4,6
Listrik 13,9 5,3 -8,6 1,2 1,4 0,2 0,2 0,1 -0,1
Bangunan 14,0 -24,2 -38,2 7,9 6,7 -1,2 1,1 -1,6 -2,7
Perdagangan 8,1 -10,7 -18,9 16,7 16,2 -0,6 1,4 -1,7 -3,1
Pengangkutan 8,9 -3,2 -12,1 7,2 7,6 0,4 0,6 -0,2 -0,9
Keuangan 9,8 -13,5 -23,3 9,1 8,5 -0,6 0,9 -1,1 -2,0
Jasa-jasa 3,2 -1,7 -4,9 9,0 9,2 0,3 0,3 -0,2 -0,4
Produk Domestik Bruto 8,0 -7,6 -15,6 100,0 100,0 0,0 8,0 -7,6 -15,6
Berdasarkan hasil uji secara statistik (korelasi dan elastisitas) serta pengamatan empirik
maka dapat disajikan beberapa temuan dari setiap sektor seperti berikut:
alam. Seperti diketahui faktor alam seperti kebakaran, kemarau panjang, serangan hama
atau banjir justru lebih signifikan pengaruhnya terhadap produksi sektor pertanian.
Kinerja sektor industri pengolahan selama krisis merosot cukup tajam, termasuk dalam
lima sektor yang mengalami kontraksi paling parah. Kelemahan dalam struktur produksi
seperti ditunjukkan oleh tingginya persentase kandungan impor (lihat tabel 3) telah
menyebabkan kegiatan produksi menjadi sangat mahal dalam kondisi lemahnya rupiah.
Hal ini juga diperlihatkan dari kuatnya nilai korelasinya dengan faktor depresiasi (-0.23),
serta tingkat elastisitasnya (-0,37). Sementara dengan faktor suku bunga keterkaitan
pertumbuhan sektor industri pengolahan juga menunjukkan korelasi yang kuat (-0,52) serta
elastisitas yang tinggi (-8,4). Ketergantungan yang tinggi terhadap pinjaman bank sebagai
sumber pembiayaan menjadikan kinerja sektor ini cukup rentan terhadap perubahan bunga.
Tekanan ganda baik dari jatuhnya nilai rupiah serta biaya bunga tampaknya menjadi
kontributor utama melemahnya produksi atau ekspor sektor tersebut yang seharusnya justru
meningkat seiring dengan makin murahnya rupiah.
Dari hasil tes korelasi dan elastisitas diketahui bahwa sektor listrik relatif kurang
terpengaruh oleh dampak negatif gejolak depresiasi rupiah, namun masih terkena dampak
negatif kenaikan suku bunga. Dampak dari depresiasi tersebut walaupun positif namun
cukup lemah seperti diindikasikan oleh nilai korelasinya yang lemah (0,15) dan elastisitas
yang rendah (0,06), sebaliknya pengaruh faktor suku bunga cukup kuat seperti tampak dari
142 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Tabel 3.
KOEFISIEN INPUT IMPOR
Sektor Import
Industri Pengolahan
T ransportasi da n Komunikasi
Angkutan darat 3,23%
Angkutan air 10,71%
Angkutan udara 23,49%
Komunikasi 8,17%
Bangunan 8,22%
nilai korelasi (-0,52) dan elastisitasnya (-8,4). Fenomena menarik pada sektor listrik yaitu
masih positifnya pertumbuhan produksi pada kondisi krisis dan hal ini diduga kuat
disebabkan oleh stabilnya permintaan bahkan terjadi ekspansi terutama pada segmen listrik
untuk rumah tangga. Data empirik menunjukkan bahwa jumlah pelanggan PLN dalam
kurun lima tahun terakhir meningkat sangat besar yaitu menjadi 25,63 juta pelanggan (Juni
1998) dari 15,6 juta pelanggan (1993/94). Kenaikan pelanggan setiap periode terutama
disebabkan oleh penambahan pelanggan baru dari segmen rumah tangga dan lain-lain,
sementara jumlah pelanggan dari segmen industri sedikit menyusut menjadi 43.445 (Juni
1998) dari 51.571 pelanggan (1997/1998). Persentase kenaikan bersih yang masih positif
tersebut tampaknya yang menyebabkan pengaruh negatif depresiasi menjadi tereduksi
mengingat kebutuhan barang modal yang harus diimpor oleh sektor listrik (PLN maupun
swasta) masih cukup besar. Sementara pinjaman dalam struktur pembiayaan sektor ini
masih cukup dominan mengakibatkan kegiatan produksi menjadi sensitif dengan gejolak
suku bunga.
halnya yang dialami oleh sektor industri pengolahan. Koefisien korelasi sektor bangunan
dengan faktor depresiasi maupun dengan faktor suku bunga terbukti cukup tinggi, masing-
masing sebesar -0.52 dan -0.57. Sementara dari tingkat elastisitasnya juga terlihat cukup
tinggi yaitu -0.29 dengan fluktuasi depresiasi dan -12.8 dengan gejolak suku bunga. Seperti
diketahui faktor suku bunga berperan sangat penting dalam sektor konstruksi (properti)
karena sifat investasinya yang jangka panjang dan untuk kredit pembiayaan pemilikan
rumah bagi konsumen. Beberapa faktor yang diperkirakan menjadi penyebab terpuruknya
sektor bangunan adalah tingginya tingkat pemakaian bahan penolong dan perlengkapan
pembangunan properti yang masih harus diimpor, pemakaian jasa konsultan asing,
dominannya pinjaman non-rupiah, ditangguhkannya proyek-proyek pemerintah maupun
swasta, serta menurunnya daya serap pasar.
Hasil uji korelasi antara pertumbuhan sektor transportasi dengan faktor depresiasi
adalah lumayan kuat (-0,29) sedangkan dengan faktor suku bunga berkorelasi cukup tinggi
(-0,56). Depresiasi memberi pengaruh negatif terutama karena masih dominannya
pembiayaan luar negeri untuk pengadaan spare part maupun pembelian alat transporatsi
itu sendiri. Sampai dengan pertengahan tahun 1998, kenaikan harga spare part kendaraan
bermotor rata-rata mengalami kenaikan hingga 300%. Hal ini membawa konsekuensi
meningkatnya ongkos transportasi baik darat, laut maupun udara sehingga menurunkan
mobilitas masyarakat. Sementara itu suku bunga memiliki korelasi tinggi karena dalam
sektor transportasi, hutang memegang peranan yang cukup besar untuk pembelian sarana-
sarana penunjang transportasi. Pertumbuhan sektor transportasi telah merosot sebesar 12,1%
144 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
yaitu dari rata-rata 8,9% (pra kirisis) menjadi rata-rata -3,2% (periode krisis).
Sektor keuangan (sebagian besar sub-sektor bank) memiliki korelasi yang cukup tinggi
dengan faktor depresiasi (-0,27) maupun dengan faktor suku bunga (-0,51). Demikian juga
tingkat elastisitas sektor keuangan terhadap perubahan depresiasi (-0,16) dan perubahan
suku bunga (-12,6). Makin luasnya eksposure valas dari bank-bank baik berupa aktiva
maupun kewajiban menyebabkan sektor keuangan semakin sensitif terhadap perubahan
nilai kurs. Sebagai gambaran kerugian sub-sektor perbankan akibat gejolak kurs pada tahun
berjalan 1998 telah mencapai Rp 40,38 triliun (tahun 1997 kerugian hanya Rp 6,2 triliun)
atau rata-rata kerugian per bulan mencapai Rp 5,77 triliun6 . Sementara itu faktor suku
bunga telah menjadi sumber kerugian lain dari sektor keuangan. Jika dibandingkan tingkat
korelasi antara pertumbuhan sektor keuangan dengan depresiasi atau suku bunga, maka
korelasi terhadap suku bunga lebih tinggi dibandingkan dengan depresiasi. Dampak
pengaruh faktor-faktor kuat tersebut adalah terkontraksinya pertumbuhan sektor keuangan
menjadi -13,5% (rata-rata selama krisis) atau menurun 23,3% dari 9,8% (rata-rata pra krisis).
Penurunan tersebut tampaknya akan terus berlanjut karena dari hasil pengamatan empirik
menunjukkan bahwa kualitas kredit perbankan makin memburuk dan jumlah kredit
bermasalah juga semakin tinggi. Jumlah kredit bemasalah (Non Performing Loan) sampai
dengan bulan Juli 1998 telah mencapai Rp 320,05 triliun atau meningkat sebesar 895% dari
bulan Desember 1997 (Rp 32,18 triliun). Meskipun NPL bulan Juli 1998 tersebut relatif lebih
rendah dari bulan sebelumnya (Rp 320,66 triliun) namun belum mengindikasikan perbaikan
kwalitas kredit perbankan sehubungan dengan terus meningkatnya cadangan penghapusan
aktiva produktif7 . Sementara itu, kredit bermasalah per sektor ekonomi menunjukkan bahwa
sektor perindustrian paling tinggi jumlahnya (Rp 99,68 triliun) sedangkan paling rendah
sektor jasa sosial masyarakat (Rp 1,65 triliun). Jumlah kredit bermasalah tampaknya akan
terus meningkat pada setiap sektor dan tekanan akibat kondisi pendapatan bunga defisit
(akibat spread bunga negatif) juga akan memberi tekanan yang cukup berat terhadap kinerja
sektor keuangan secara keseluruhan.
Imbas krisis moneter tampaknya turut mempengaruhi kinerja sektor jasa walau tidak
terlalu kuat. Pada periode krisis rata-rata pertumbuhan sektor jasa menjadi - 1,7% atau
turun sebesar 4,9% dari rata-rata 3,2% (pra krisis). Penurunan tersebut juga tercermin dari
koefisien korelasinya terhadap depresiasi dan suku bunga masing-masing -0.17 dan -0.15
dengan koefisien elastisitas masing-masing -0.03 dan -0.9. Rendahnya semua koefisien dalam
sektor ini belum memberi jaminan sektor jasa cukup resisten terhadap gejolak. Penurunan
kinerja yang terjadi pada hampir semua sektor diluar sektor jasa diduga mempengaruhi
produksi sektor jasa yang terdiri atas sub sektor pemerintah dan rumah tangga. Sub-sektor
jasa pemerintah kegiatan produksinya sangat tergantung pada anggaran sehingga
penyesuaian anggaran sehubungan dengan perubahan kurs pada akhirnya mempengaruhi
kegiatan produksi sektor secara total karena pangsanya yang lebih besar dibandingkan
sub sektor jasa rumah tangga.
Analisa Konsentrasi:
1. Nilai Penjualan
Dari jumlah sampel yang diamati selama periode pengamatan, perkembangan nilai
penjualan kurang menunjukkan perubahan yang cukup mendasar namun masih tetap
dalam pertumbuhan positif. Konsentrasi jumlah perusahaan berdasarkan kriteria tingkat
penjualan tahunan memperlihatkan bahwa perusahaan yang mampu mencapai ukuran
penjualan diatas Rp 100 miliar masih menunjukkan kenaikan bahkan pada tahun 1997
mencapai 77%, demikian halnya pada masing-masing gradasi dibawahnya walaupun
146 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Tabel. 4
KONSENTRASI A/D NILAI PENJUALAN
(% kumulatif)
Rp 1995 1996 1997
>100 miliar 70% 72% 77%
> 50 miliar 84% 89% 93%
> 25 miliar 93% 95% 98%
> 10 miliar 98% 100% 100%
Adanya kenaikan nilai penjualan tersebut diduga disebabkan oleh faktor-faktor seperti
misalnya kenaikan harga jual domestik, depresiasi rupiah bagi usaha yang berorientasi
ekspor atau memang terdapat kenaikan riil dari segi output terjual. Untuk menemukan
faktor yang paling dominan dari antara ketiga faktor dugaan tersebut sangat tergantung
dari karakteristik perusahaan tersebut terutama dari segi target pasar, sifat produk, serta
pricing policy. Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja nilai penjualan unit usaha
yang diamati pada tahun 1997 sedikit meningkat dari tahun 1996, sementara kinerja tahun
1996 masih lebih baik dari tahun 1995. Kondisi than 1998 diperkirakan akan memburuk
mengingat kondisi makro secara keseluruhan juga menurun drastis.
Dari salah satu komponen biaya yang diamati, diperkirakan biaya bunga mengalami
perubahan yang cukup kuat sehubungan dengan krisis yang sedang berlangsung. Biaya
bunga dimaksud adalah beban bunga yang timbul dari pinjaman bank dan bersifat jangka
pendek. Dari tiga tahun pengamatan, kondisi tahun 1997 menunjukkan perubahan
komposisi yang cukup besar sehubungan dengan pembengkakan beban bunga akibat krisis.
Peningkatan beban bunga tersebut dapat bersumber dari peningkatan suku bunga maupun
jumlah pinjaman pokoknya. Seperti diketahui pinjaman tersebut pada umumnya terdiri
dari pinjaman rupiah dan pinjaman non-rupiah (terutama US dollar), sehingga munculnya
depresiasi rupiah secara otomatis akan meningkatkan jumlah pinjaman non-rupiah yang
dihitung dalam rupiah.
Dari tabel 5 pada kolom hutang bank telah terjadi kenaikan jumlah hutang bank
perusahaan pada semua gradasi, konsentrasi jumlah perusahaan dengan hutang bank antara
Rp 0 s.d Rp 5 miliar telah meningkat dari 16% (1996) menjadi tinggal 9% (1997). Dengan
latar belakang kondisi tersebut maka peta konsentrasi perusahaan dengan biaya bunga
diatas Rp 50 miliar per tahun pada tahun 1997 telah meningkat menjadi 19% dari 9% (1996).
Konsentrasi tertinggi tampaknya terpusat pada rentang antara Rp 25 miliar dan Rp 50
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 147
Tabel 5
KONSENTRASI A/D HUTANG BANK DAN BIAYA BUNGA
(% kumulatif)
miliar yang meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan konsentrasi tahun
sebelumnya. Sementara itu sebaran kedua tertinggi adalah antara Rp 10 miliar dan Rp 25
miliar. Pada tahun 1997, jumlah perusahaan yang pada tahun sebelumnya mempunyai
biaya bunga dibawah Rp 5 miliar telah meningkat artinya terjadi peningkatan biaya bunga
dibandingkan periode sebelumnya. Konsentrasi pada kategori dimaksud telah merosot
menjadi 25% turun dari 42% (1996). Kenaikan biaya bunga tersebut tampaknya disebabkan
oleh naiknya pinjaman pokok karena besarnya suku bunga pinjaman sebenarnya tidak
terlalu bervariasi, suku bunga pinjaman rupiah pada tahun 1997 besarnya antara 19%-40%
(Tahun 1996: 19%-21%) sementara pinjaman dalam dollar 9,68% - 10,9% (Tahun 1996: 8,06%-
9,28%).
Tingkat keuntungan sebelum pajak (Earning Before Tax) sektor usaha pada tahun
1997 memperlihatkan penurunan yang luar biasa seperti diperlihatkan oleh lebih dari
setengah jumlah sampel (51%) yang mencatat laba negatif. Tingginya jumlah perusahaan
yang mempunyai laba negatif membuat konsentrasi berubah drastis dimana pada kelompok
keuntungan diatas Rp 50 miliar pada tahun 1997 merosot menjadi 12% dibanding dua
tahun sebelumnya sebesar 26% (1995), dan 30% (1996). Penurunan konsentrasi tersebut
tampaknya juga berlangsung pada rentang-rentang dibawahnya dan mengumpul pada
kelompok keuntungan negatif. Komposisi tahun 1997 menunjukkan bahwa konsentrasi
terbesar terletak pada kategori antara Rp 25 - 50 miliar, sebesar 9% (21%-12%). Menyusutnya
EBT dari obyek yang diamati terutama disebabkan oleh kerugian selisih kurs dan biaya
bunga. Kerugian luar biasa akibat selisih kurs terutama dipicu setelah bank sentral
melepaskan kebijakan managed floating exchange rate sehingga kurs rupiah melonjak dari Rp
4.650 menjadi Rp 8.325 per USD (per Maret 1998).
148 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Tabel 6
KONSENTRASI A/D KEUNTUNGAN SEBELUM PAJAK
(% kumulatif)
4. Ekuitas
Tabel 7
KONSENTRASI A/D EKUITAS
(% kumulatif)
Dalam struktur biaya perusahaan faktor biaya bunga merupakan salah satu unsur
biaya produksi yang timbul karena penarikan hutang jangka pendek maupun jangka panjang.
Dari kedua jenis hutang tersebut hutang jangka pendek seperti hutang modal kerja sering
dikategorikan sebagai biaya variabel dalam menentukan harga jual dan dari pengamatan
empiris menunjukkan bahwa sekitar 60% perusahaan sektor riil mempunyai porsi hutang
jangka pendek yang lebih besar dalam struktur hutangnya. Jangka waktu pinjaman yang
relatif pendek mengakibatkan hutang jangka pendek cukup sensitif terhadap perubahan
suku bunga, dan meskipun bobotnya dalam struktur biaya cukup rendah namun dalam
kenaikan suku bunga dikhawatirkan akan memberikan pengaruh terhadap kinerja
perusahaan. Dengan asumsi perusahaan cenderung mempertahankan margin
keuntungannya maka menjadi menarik untuk mengukur seberapa jauh dampak kenaikan
suku bunga terhadap kinerja perusahaan secara keseluruhan yang pada akhirnya tampak
dari gejala ekspansi/kontraksi usaha.
Untuk mengetahui dampak dari pengaruh faktor suku bunga terhadap kinerja
perusahaan maka akan dilakukan uji regresi sederhana terpisah masing-masing periode
sebelaum krisis (1995 dan1996) dan selama krisis (1997). Dua persamaan yang diestimasi
yaitu (i) persamaan biaya bunga yang dipengaruhi oleh hutang jangka pendek dan hutang
jangka panjang, (ii) persamaan kinerja perusahaan yang diwakili oleh peubah tingkat
keuntungan sebelum pajak sebagai fungsi dari nilai penjualan, biaya harga pokok produksi
dan biaya bunga. Mengingat sifat data terdiri dari banyak perusahaan yang berbeda serta
diamati dalam jangka waktu relatif pendek maka untuk pengujian model digunakan uji
cross-section.
(INTEX)t =c+ α (BBRW)t + β (LTD)t + et (1)
( EBT)t =c+ α (INTEX)t + β (SALES)t + γ (CGS)t +et (2)
keterangan:
INTEX = interest expense (biaya bunga)
BBRW = bank borrowing (jumlah hutang jangka pendek pada bank)
LTD = long term debt (hutang jangka panjang pada bank, obligasi, cp, dsb.)
EBT = earning before tax (penerimaan perusahaan sebelum pajak)
SALES = tingkat penjualan perusahaan
CGS = cost of goods sold (biaya pokok perusahaan)
c = konstanta
e = residual
t = tahun: 1995, 1996, 1997.
150 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Hasil Analisa
1. Hasil estimated equation untuk mengetahui tingkat signifikansi pengaruh hutang jangka
pendek dan jangka panjang terhadap biaya bunga adalah sebagai berikut.:
note:tstat.=(…)
a. Dari pengamatan terhadap sampel yang sama untuk periode yang berbeda, 1995,
1996, dan 1997 menunjukkan bahwa koefisien hutang jangka pendek senantiasa
lebih besar daripada koefisien hutang jangka panjang dengan kata lain biaya bunga
perusahaan biaya yang timbul dari hutang jangka pendek lebih signifikan. Pangsa
jumlah hutang jangka pendek yang selalu lebih besar dalam total hutang serta
tingkat suku bunganya yang selalu diatas suku bunga hutang jangka panjang diduga
menjadi penyebab komposisi koefisien tersebut.
b. Sementara itu koefisien hutang jangka pendek pada tahun 1997 meningkat cukup
besar (0,364) dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Membesarnya nilai
koefisen tersebut mengindikasikan adanya kenaikan luar biasa jumlah hutang
jangka pendek perusahaan. Dari sampel menunjukkan bahwa rata-rata kenaikan
hutang jangka pendek adalah sekitar 259%, dengan kenaikan maksimum sekitar
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 151
4222%. Sementara kondisi pada bulan Juni 1998 diperkirakan kenaikan tidak sebesar
kenaikan dari tahun 1996 ke 1997.
c
. Meningkatnya jumlah hutang jangka pendek pada 1997 disamping disebabkan
oleh kenaikan penarikan hutang baru juga didorong oleh tingginya depresiasi
rupiah. Seperti diungkapkan oleh hasil survey (lihat lampiran), bahwa jumlah
hutang jangka pendek perusahaan telah menggelembung cepat akibat dari jatuhnya
nilai rupiah. Konsekwensi dari pembengkakan jumlah hutang membawa akibat
yang sangat serius bagi sementara perusahaan karena terdapat sekitar 9% sampel
mempunyai ekuitas negatif sehingga perusahaan tersebut praktis sudah bangkrut.
Rata-rata debt to equity ratio tahun 1997 mencapai 2,13 meningkat dari 1,05 pada
tahun sebelumnya.
2. Hasil dari persamaan kedua yaitu untuk mengetahui signifikansi pengaruh faktor suku
bunga atau variabel lainnya terhadap keuntungan perusahaan adalah sebagai berikut.:
c
. Signifikansi peubah biaya bunga (INTEX) terhadap penerimaan keuntungan
perusahaan sebelum pajak (EBT) agak berubah antar periode pengamatan, dimana
pada tahun 1995 adalah terbesar (-1,76) kemudian menurun pada tahun 1995 (-
0.08) namun kembali meningkat pada tahun 1997 (-0,98). Pada tahun 1997 hasil
estimated equation menunjukkan pengaruh peubah biaya (INTEX dan CGS)
terhadap pendapatan (EBT) tampaknya semakin besar dibandingkan dari peubah
nilai penjualan (SALE). Relatif melemahnya koefisien peubah biaya bunga dalam
persamaan 1997 seperti diungkap sebelumnya diduga karena pengaruh kerugian
akibat selisih kurs yang lebih besar namun belum dicakup dalam model. Sementara
itu pengaruh peubah biaya harga pokok tampaknya relatif lebih lemah daripada
peubah biaya bunga terhadap tingkat keuntungan perusahaan. Terjaganya pasokan
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 153
bahan baku, bahan penolong dan kontrak tenaga kerja yang relatif lebih rigid
perubahannya membuat biaya harga pokok lebih stabil dan dapat diperkirakan
lebih mudah.
d. Koefisien tingkat nilai penjualan dalam persamaan tampak mulai meningkat pada
tahun 1997 dibandingkan koefisien persamaan tahun 1996 dan 1995. Kenaikan
nilai penjualan tampaknya disumbang oleh faktor seperti kenaikan harga akibat
inflasi, faktor depresiasi terhadap penerimaan hasil ekspor maupun sebab lainnya,
bukan disebabkan efisiensi biaya produksi. Namun dipihak lain, tingkat penjualan
tersebut diimbangi dengan kenaikan biaya yang sangat besar sehingga tingkat
keuntungan perusahaan sebelum pajak (EBT) mengecil cukup drastis. Antara tahun
1995 dan 1996 pada umumnya perusahaan masih mengalami kenaikan kenaikan
EBT positif dengan rata-rata sebesar 43% sementara pada peiode krisis yaitu antara
tahun 1996 dan 1997 justru terjadi penurunan tajam dengan rata-rata sebesar -
287%. Pertumbuhan negatif EBT tersebut dialami oleh sekitar 82% dari total sampel.
(1). Kegiatan produksi sektor riil selama krisis terbukti menurun apabila dibandingkan
dengan kondisi sebelum krisis. Penurunan tersebut ditunjukkan oleh beberapa indikator
utama seperti pertumbuhan negatif produksi sektoral, sedangkan untuk perusahaan
menengah/besar ditandai dengan menurunnya nilai penjualan riil, merosotnya
keuntungan usaha, dan berkurangnya kwalitas indikator-indikator spesifik lainnya.
Kelemahan struktural seperti inefisiensi manajemen internal, lemahnya tingkat
competitiveness perusahaan terbukti sangat menentukan tingkat resistensi perusahaan
terhadap dampak krisis. Sektor pertanian yang relatif steril dari kelemahan struktural
terbukti paling resisten dari pengaruh negatif krisis.
(2). Hasil pengamatan sektoral memperlihatkan bahwa sektor-sektor yang selama ini
menjadi sektor andalan penggerak pertumbuhan telah mengalami kontraksi cukup
serius terutama sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, sektor bangunan dan
sektor keuangan. Analisa korelasi dan elastisitas menunjukkan bahwa sektor industri
pengolahan paling terkait dengan faktor nilai tukar dan suku bunga juga paling elastis
terhadap fluktuasi kedua faktor tersebut. Demikian halnya dengan sektor bangunan,
sektor keuangan serta sektor perdagangan.
154 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
(3). Dari hasil pengamatan empirik kinerja sample perusahaan menengah besar ditemukan
bahwa setengah dari sample (51%) dalam kondisi keuntungan sebelum pajak negatif
pada tahun 1997, sementara tahun sebelumnya konsentrasinya hanya 5%. Kondisi
tersebut diduga menyebabkan menurunnya kwalitas ekuitas perusahaan seperti
ditunjukkan oleh konsentrasi perusahaan yang mempunyai ekuitas negatif sebesar
9%. Faktor-faktor seperti kerugian karena selisih kurs, biaya bunga maupun biaya
lainnya sehubungan dengan inflasi menyebabkan turunnya keuntungan, saldo laba
dan akhirnya ekuitas.
(4). Tinjauan pengaruh gejolak suku bunga membuktikan bahwa hutang jangka pendek
pada umumnya lebih dominan dibandingkan jumlah hutang jangka panjang dan sekitar
60% dari total hutang jangka pendek dalam denominasi non-rupiah. Oleh karena itu
elastisitas kenaikan biaya bunga hutang jangka pendek tidak sepenuhnya disebabkan
oleh fluktuasi suku bunga namun juga disebabkan karena penggelembungan hutang
melalui depresiasi rupiah.
(5). Memburuknya kinerja sektor riil selama krisis adalah karena kelemahan-kelemahan
struktural yang bersifat internal dari unit-unit usaha sektor riil dan faktor eksternal
yaitu gejolak nilai tukar serta suku bunga tinggi. Sehubungan dengan masalah tersebut
upaya menciptakan struktur usaha sektor riil yang relatif kuat terhadap gejolak kedua
faktor tersebut maupun faktor lainya harus segera dilakukan secara komprehensif.
Upaya untuk menghilangkan kelemahan struktural tersebut agar dilakukan, (i) dengan
mendorong terciptanya iklim usaha yang efisien, transparan sehingga pelaku usaha
akan menyesuaikan dengan menciptakan kondisi internal perusahaan yang lebih efisien
dan fleksibel. (ii) mendorong pertumbuhan sektor usaha yang bersifat resource base
seperti agribisnis mengingat daya resistensi sektor terhadap gejolak, potensi sumber
daya yang melimpah dan peluang ekspor yang senantiasa tinggi. (iii) mendorong
perusahaan untuk lebih berorientasi ekspor melalui berbagai kebijakan yang
mendukung.
(6). Upaya jangka pendek saat ini yang tampaknya perlu segera ditempuh adalah
mengurangi gejolak kurs rupiah dan membawa pada nilai kurs yang affordable bagi
sektor riil mengingat snowball effect-nya yang sangat luas terhadap perekonomian.
Dengan stabil dan wajarnya kurs maka diharapkan suku bunga akan lebih cepat turun
karena unsur imported inflation akan cenderung berkurang sumbangannya terhadap
inflasi umum.
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 155
Daftar Pustaka
BPS, Tabel Input-Output Indonesia1995, Jilid I, Jakarta, Indonesia.
Hastuti, Francisca., Pengaruh Kebijakan Kurs Terhadap Ekspor, Makalah yang tidak
dipublikasikan, Bank Indonesia, 1998.
Iljas, Achjar., The Transmission Mechanism of Monetary Policy in Indonesia, Bahan yang
disampaikan dalam salah satu meeting di luar negeri, 1997.
Jepma, CJ., Jager, H., Kamphuis, E., Introduction to International Economics, Longman,
New York 1996.
Kawai, Masahiro., The East Asian Currency Crisis: Causes and Lessons, Contemporary
Economic Policy, Vol. XVI, April 1998, pp 157-172
Sarwono, Hartadi, A., Warjiyo, Perry., Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam
Sistem Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran Untuk Penerapannya di Indonesia, Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan, Vol.1, Nomor 1, Juli 1998.
Warjiyo, Perry., Zulverdi, Doddy., Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional
Kebijakan Moneter di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.1, Nomor 1, Juli
1998.
Lampiran 1
Hasil Survey Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kinerja Beberapa Sektor Usaha8 .
Suvey terhadap beberapa leading companies yang dipilih berdasarkan ukuran usaha
(size), tingkat penjualan, maupun status trendsetter perusahaan menghasilkan beberapa
temuan seperti berikut:
a. Penyebab kenaikan penjualan selama masa krisis antara lain disebabkan oleh
kenaikan riil produksi (fisheries), inflasi dalam negeri (trading, food retailers) atau
depresiasi rupiah (hampir semua sektor). Menurut data aktual penjualan 1998.Q1
serta estimasi sepanjang tahun 1998, dari 20 sektor yang disurvey hanya tiga sektor
8 Survey dilakukan oleh Richard Currey for Nathan Associates bekerjasama dengan Bappenas dan USAID, pelaksanaan
survey adalah triwulan pertama 1998 dengan periode pengamatan sejak 1997 sampai dengan saat survey dilakukan.
Sektor usaha yang disurvey meliputi Forestry, Fishery, Mining, Processed Food, Beverages, Tobacco, Textile,
Garments, Footwear, Pulp and Paper, Chemicals, Cement, Heavy Equipment, Electronics, Wholesale, Retail,
Hotel, Pharmaceuticals, dan Sea Transportation (tanker).
156 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
(trading, garment, dan food retailers) yang memiliki pertumbuhan penjualan yang
konsisten posistif selama 1997 dan 1998.
b. Pertumbuhan penjualan 1998 tertinggi diraih oleh sektor Fisheries (70%), Machinery
(53%), Paperboard (46%) dan Garment (40%), kenaikan tersebut kecuali sektor
machinery terutama didorong dari kenaikan perolehan ekspor. Depresiasi rupiah
yang cukup besar telah mendongkrak ekspor produk yang bahan bakunya local
based serta berorientasi pasar ekspor (sektor agribisnis, fisheries, dan sektor lainnya),
penerimaan rupiah penjualan produk dengan pasar domestik yang harganya dipatok
dalam dollar (sektor machinery). Sebaliknya sektor yang dalam struktur produksinya
mempunyai kandungan impor tinggi namun dengan target pasar domestik menjadi
sangat menderita oleh krisis seperti ditunjukkan oleh sektor Computer yang
penjualannya menurun tajam (-60%).
c
. Inflasi dalam negeri yang mencapai sekitar 40% (1998.I) telah menyumbang kenaikan
nilai penjualan sektor perdagangan barang-barang konsumsi dan obat-obatan,
kenaikan penjualan riil relatif kecil sekali. Penurunan penjualan akibat melemahnya
daya serap domestik sangat dirasakan oleh produsen consumer goods (Coca-Cola
penjualannya menurun sebesar 35%) dan barang-barang elektronik (komputer).
d. Resesi yang terjadi di negara lain turut memberi andil terhadap rendahnya penjualan
sektor riil domestik. Sektor pertambangan yang menurut karaktersitik usahanya
semestinya diuntungkan oleh depresiasi rupiah karena hampir semua produksinya
diekspor, justru turun (-29%) seiring dengan turunnya permintaan dunia. Demikian
halnya dengan industri tertentu seperti plywood (-15%) yang memiliki pasar utama
Jepang dan Korea.
80%
60%
40%
20%
0%
Paperboard
Beverages
Trading
Tanker
Computer
Supermarket
Garment
Cigarette
Cement
Hotel
Kretek
Shoes
Chemicals
Pharmacy
Fisheries
Plywood
Mining
Textile
Machinery
Agribisnis
-20%
-40%
s ales 97
N o te : Beb e rap a s e kto r tid a k m e m p u n ya i d a ta p e n ju a la n 1 99 7 s ales 98
-60%
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 157
250%
P e ru b a h a n S h o rt d a n L o n g T e rm D e b t
200%
S TD
LTD
150%
100%
50%
0%
Trading
Computer
Beverages
Paperboard
Tanker
Cement
Garment
Cigarette
Plywood
Supermarket
Mining
Hotel
Pharmacy
Agribisnis
Chemicals
Machinery
Textile
Shoes
Fisheries
Kretek
-5 0 %
b. Dari informasi hasil survey menunjukkan bahwa kenaikan STD mencapai 230%
(Machinery), 200% (Fishery) dan 155% (Trading). Tingginya kenaikan pinjaman
terutama disebabkan oleh depresiasi (Machinery), kenaikan hutang kepada pihak
ketiga bukan bank (Fisheries), dan kenaikan trade finance cost (Computer, Textile,
Shoes) yang dihitung dalam dollar. Dari struktur hutang baik yang STD maupun
LTD tidak semua sektor melakukan hedging atas hutang-hutangnya, misalnya yang
fully unhedged (paperboard, consumer good trading), half unhedged (food retailers
dan cement). Upaya hedging biasanya dilakukan melalui long term forward atau
swap.
a. Secara umum sampai dengan kwartal pertama 1998, tekanan krisis belum memaksa
leading companies yang disurvey untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Untuk menekan labor cost kebijakan yang dilakukan untuk sementara mengurangi
tenaga kerja asing (expats), mengistirahatkan tenaga kerja (leave) atau mengurangi
158 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
jam kerja (attrition). Dipihak lain sektor yang “diuntungkan” oleh krisis justru
memerlukan penambahan tenaga kerja (lihat tabel dibawah).
b. Penambahan tenaga kerja pada sektor Agribisnis, Fisheries, dan Mining terutama
disebabkan dari ekspansi areal usaha serta masa panen tanaman perkebunan yang
hampir datang. Permintaan pasar dunia yang stabil serta tingginya penerimaan
rupiah akibat depresiasi memberi kepastian upaya ekspansi sektor-sektor tersebut.
Tetap Cigarete, Shoes, Beverages, Paperboard, Kretek, Garment, Supermarket, Computer, Tanker, Plywood,
Chemical, Pharmacy
Trading,
PHK
Machinery
Fisheries, Mining,
Meningkat Agribisnis
Kebijakan spesifik yang dilakukan oleh leading companies untuk menyesuaikan maupun
antisipasi krisis lebih lanjut adalah dengan meningkatkan pangsa ekspor, restrukturisasi
production line, perbaikan manajemen, bantuan pemerintah berupa penjaminan LC serta
trade financing. Disamping itu para pengusaha juga mengharapkan kebijakan pendukung
lainnya seperti penghapusan atau keringanan pajak ekspor (produsen minyak goreng),
pajak atas barang mewah (produsen minuman kaleng/coca cola), penerapan subsidised
exchange rate (pengusaha food retailers, trading on consumer goods and pharmaceuticals),
serta dukungan promosi (sektor pariwisata)..
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 93
Persepsi pelaku ekonomi terhadap perkembangan perekonomian termasuk inflasi cenderung berubah sepanjang krisis
moneter. Sehingga proses pembentukan ekpektasi inflasi pelaku ekonomi juga berbeda antara sebelum dan sepanjang krisis .
Oleh karena itu, penelitian mengenai perubahan perilaku ekspektasi inflasi masyarakat di masa krisis, perlu menjadi agenda
taktis dalam rangka mengupayakan efektifitas dan efisiensi pengendalian moneter. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan
dapat diperoleh suatu benchmark untuk mengukur ekspektasi inflasi dimasa mendatang sebagai arahan bagi pelaksanaan
kebijakan moneter.
Hasil penelitian membuktikan adanya “expectation loop” dalam pembentukan laju inflasi dan adanya proses
backward maupun forward looking oleh pelaku ekonomi dalam membentuk ekspektasi inflasi dimasa krisis. Metodologi yang
digunakan adalah estimasi liniear sederhana untuk memperoleh taksiran ekspektasi dari masing-masing variabel pembentuk
ekspektasi inflasi. Variabel-variabel tersebut adalah: (1) pengaruh laju inflasi historis terhadap tekanan inflasi yang sedang
berlangsung (inertia), (2) kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah, dan (3) ekspektasi kurs nilai tukar Rp/ USD secara
historis, sebagai komponen-komponen pembentuk ekspektasi inflasi backward looking. Sedangkan ekspektasi inflasi forward
looking ditentukan oleh variabel yield spread dan forward rate Rp/USD. Taksiran yang diperoleh dengan estimasi linear
tersebut selanjutnya di estimasi ulang dengan menggunakan neural network, untuk menangkap dampak bounded rationality
para pelaku pasar dalam pembentukan ekspektasi inflasi di masa krisis.
Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa dimasa sebelum krisis terdapat ekspektasi inflasi yang mendekati inflasi
aktual. Variabel kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah merupakan determinan utama dalam pembentukan ekspektasi
inflasi, disusul kemudian oleh ekspektasi kurs nilai tukar Rp/USD dan laju inflasi secara historis. Dari hasil simulasi ekspektasi
inflasidimasakrisisterlihatbahwadalambulan-bulantertentuterdapatindikasideviasiyangcukupsignifikanyangmenunjukkan
adanya ketidakpastian yang sangat tinggi. Ketidakpastian tersebut terutama bersumber dari noise, seperti fenomena panic
buying di bulan Januari 1998 dan gejolak yang tidak terduga pada harga Sembako di bulan Juli 1998. Hal ini selanjutnya
menunjukkan bahwa tekanan inflasi karena meningkatnya gejolak sosial politik di bulan April dan Mei 1998 telah sepenuhnya
diantisipasi oleh pelaku ekonomi. Demikian pula dengan gejolak harga Sembako di bulan Agustus dan September 1998.
Dari berbagai pengujian dalam paper ini disarankan otoritas moneter perlu memilah-milah faktor-faktor pembentuk
inflasi dari sisi moneter maupun non-moneter. Disamping itu perlu pula ditetapkan target band inflasi moneter berikut leading
indicator pemantaunya, sebagai suatu langkah untuk mengendalikan inflasi secara preemptive oleh otoritas moneter. Dalam
rangka pengendalian laju inflasi yang lebih disebabkan oleh tekanan struktural dan noise, otoritas moneter perlu melakukan
koordinasi dengan departemen terkait.
Pendahuluan
K risis moneter telah menempatkan inflasi sebagai salah satu indikator strategis bagi
upaya mengeluarkan perekonomian nasional dari resesi yang berkepanjangan.
Sampai saat ini berbagai upaya telah dilakukan pemerintah baik itu melalui pengendalian
inflasi dari sisi moneter oleh Bank Indonesia sebagai Otoritas Moneter , maupun kebijakan
disinflasi dari sisi penawaran agregat oleh departemen-departemen yang terkait langsung
dengan sisi produksi dan distribusi barang-barang konsumen.
Dalam kaitannya dengan kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi, salah satu
faktor terpenting bagi efektifitas dan efisiensi pelaksanaannya oleh Bank Indonesia adalah
pemahaman mengenai terbentuknya ekspektasi inflasi oleh para pelaku ekonomi. Dengan
diperolehnya pemahaman tersebut maka dapat dilakukan taksiran ekpektasi inflasi yang
selanjutnya dapat dijadikan sebagai : (1) arahan bagi penentuan target inflasi moneter oleh
Bank Indonesia, dan (2) masukan bagi kebijakan disinflasi non-moneter oleh pemerintah
c.q. departemen terkait.
Oleh karena itu dalam makalah ini penulis mencoba memetakan proses pembentukan
ekspektasi inflasi dengan berargumentasi bahwa ekspektasi inflasi dibentuk oleh ekpektasi
backward dan forward looking para pelaku ekonomi1 . Ekspektasi inflasi backward looking
didefinisikan sebagai ekspektasi inflasi yang terbentuk sebagai akibat dari observasi pelaku
ekonomi terhadap dinamika inflasi dimasa lalu. Sedangkan ekspektasi inflasi forward
loooking dilain pihak , didefinisikan sebagai ekspektasi inflasi yang terbentuk oleh antisipasi
pelaku ekonomi di pasar keuangan domestik dan pasar forward Rp/USD. Dengan
mengidentifikasikan ekspektasi inflasi kedepan sebagai proses evaluasi backward dan
forward, selanjutnya dihitung suatu taksiran ekspektasi inflasi kedepan.
1 Dalam kaitannya dengan pembagian jenis ekspektasi pelaku ekonomi terhadap inflasi, penulis merujuk pada Gordon,
Robert J. Macroeconomics. 1994.
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 95
kepastian harga, dan mengatasi gejolak harga. Melihat prasyarat tersebut, maka
pembentukan upward spiral ekspektasi inflasi di masa krisis selain disebabkan oleh faktor
ekspansi moneter dan pass-through depresiasi nilai tukar Rp/USD , juga disebabkan oleh
faktor-faktor yang bersifat struktural dan noise. Oleh karena itu kebijakan pengendalian
inflasi di Indonesia harus mempertimbangan kebijakan disisi penawaran disamping
kebijakan moneter. Ulasan dibawah ini akan memberi sedikit gambaran mengenai dinamika
inflasi IHK dan kebijakan pengendaliannya oleh pemerintah sepanjang krisis moneter.
Pada Grafik 1 dibawah, dapat diamati perkembangan beberapa indikator laju inflasi
diluar inflasi IHK, yaitu laju inflasi yang disebabkan oleh tekanan apresiasi USD, laju
inflasi yang disebabkan oleh pertumbuhan uang beredar, laju inflasi sisi permintaan agregat
atau underlying inflation, dan sebuah indikator yang disebut indicator of policy severity2 . Laju
inflasi yang disebabkan oleh apresiasi USD ditaksir dengan mengukur pengaruh 4 lags
dari perubahan kurs Rp/USD terhadap laju inflasi IHK. Taksiran yang diperoleh kemudian
digunakan untuk melakukan in-sample (static) forecast. Hasil yang diperoleh adalah taksiran
laju inflasi yang disebabkan oleh persentase perubahan kurs Rp/USD bulanan. Sementara,
laju inflasi yang disebabkan oleh uang beredar ditaksir dengan mengukur pengaruh 4 lags
dari perubahan bulanan base money terhadap laju inflasi IHK. Sedangkan, underlying inflation
diukur sebagai keranjang IHK bulanan yang sudah dipangkas sebesar 17.5% pada masing-
masing tails histogramnya3 . Selanjutnya, indicator of policy severity adalah selisih antara
suku bunga SBI riil dan spread antara suku bunga deposito 1 bulan dan 24 bulan nominal
(representasi dalam bentuk normalized)4 .
10
-5
97:07 97:09 97:11 98:01 98:03 98:05 98:07 98:09
Laju Inflasi IHK Indicator of Policy Severity
Inflasi Karena Uang Beredar Inflasi Sisi Permintaan Agregat
Inflasi Karena Apresiasi USD
Dapat dilihat pada grafik diatas bahwa diawal krisis moneter yaitu pada triwulan
IV/1997 laju inflasi karena apresiasi Rp/USD meningkat diatas laju inflasi IHK, yang
menandakan menguatnya tekanan first stage passthrough apresiasi USD pada harga barang-
barang tradeables. Sementara itu tekanan permintaan agregat yang masih cenderung kuat
dalam perekonomian, juga menyumbang pada tekanan inflasi IHK. Di bulan November
1997, seiring dengan diumumkannya likuidasi 16 bank, terjadi bank run dalam sistem
perbankan yang berakibat tingginya ekspansi moneter dalam perekonomian dan selanjutnya
memberi tekanan inflatoir sepanjang triwulan IV / 1997. Dari sisi pasar keuangan,
menurunnya grafik indicator of policy severity di triwulan IV/1997 mencerminkan bahwa
tekanan inflatoir telah diikuti oleh meningkatnya suku bunga nominal perbankan .
Memasuki triwulan I/1998 tekanan apresiasi kurs USD/Rp pada laju inflasi mencapai
puncaknya yang terutama didorong oleh fenomena flight to currency 5 dan flight to quality 6 ,
serta meningkatnya spekulasi terhadap nilai tukar Rp/USD di kedua bulan tersebut.
Ekspansi uang beredar juga tampak masih kuat di triwulan I/1998, terutama karena
fenomena bank - run telah semakin meluas di bulan Januari 1998 sebagai akibat menurunnya
kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Selain itu, terdapat pula tekanan musiman
di bulan Januari 1998 berupa datangnya bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Di
bulan Februari 1998, terjadi demand shock, ketika panic buying melanda pasar barang-barang
konsumsi. Panic buying ini disebabkan oleh ketidakpastian harga karena adanya gejolak
nilai tukar yang dahsyat di bulan Januari 1998. Tingginya ketidakpastian ditambah dengan
besarnya jumlah uang yang beredar dalam perekonomian kemudian menjadi agregat demand
shock melalui konsumsi. Hal ini terlihat di bulan Februari 1998 ketika inflasi karena tekanan
agregat demand meningkat tajam.
Di triwulan II/1998, laju inflasi karena tingginya tekanan apresiasi USD terhadap
Rupiah mulai melemah, mencerminkan telah berakhirnya tekanan first stage pass through
apresiasi USD terhadap harga barang-barang impor. Beberapa jenis barang dan jasa yang
termasuk dalam kategori ini adalah harga bahan-bahan bangunan, harga makanan jadi
dengan bahan baku impor, biaya sewa rumah, kenaikan upah disektor informal yang tidak
terikat oleh ketentuan UMR, dan biaya jasa angkutan sebagai akibat meningkatnya harga
suku cadang. Walaupun demikian, tekanan inflasi karena ekspansi uang beredar tampak
5 Fenomena flight to currency didefinisikan sebagai kegiatan lindung nilai (hedging) yang dilakukan oleh pelaku pasar
domestik dengan menukar uang Rp ke USD karena menurunnya tingkat kepercayaan pada mata uang Rupiah.
6 Fenomena flight to quality didefinisikan sebagai kegiatan lindung nilai (hedging) yang dilakukan oleh pelaku pasar
domestik dengan mengalihkan simpanan aset yang dimilikinya di bank-bank domestik ke simpanan di bank asing
yang dirasa lebih berkualitas. Hal ini dilakukan karena merosotnya tingkat kepercayaan pelaku pasar terhadap kredibilitas
bank-bank domestik.
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 97
masih kuat, terutama disebabkan oleh bantuan likuiditas otoritas moneter sebagai the lender
of last resort kepada perbankan yang terkena bank run. Tekanan inflasi moneter tersebut
sedikit banyak dapat di off-set oleh menurunnya tekanan permintaan agregat pasca
Ramadhan, Lebaran, dan panic buying. Penurunan tekanan permintaan agregat ini selain
disebabkan oleh menurunnya konsumsi, juga disebabkan oleh mulai terasanya credit crunch
dalam sistem perbankan sehingga dana tidak mengalir ke sektor riil. Bersamaan dengan
itu pula otoritas moneter melakukan pengetatan moneter dengan melakukan adjustment
tingkat suku bunga policy anchor (SBI) agar sesuai dengan ekspektasi inflasi di pasar
keuangan.
Di pertengahan triwulan II/1998 laju inflasi IHK diwarnai pula oleh tekanan inflatoir
yang lebih bersifat struktural. Tekanan struktural pertama adalah energy price shock yang
disebabkan oleh kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Tekanan struktural terus
meningkat ketika perekonomian memasuki triwulan III/1998, terutama dibulan Juni dan
Juli 1998 yang ditandai oleh harga-harga bahan kebutuhan pokok yang melonjak, terutama
beras, gula, minyak goreng, dan komoditas derivatifnya. Kenaikan harga beras disebabkan
oleh menurunnya kualitas dan kuantitas produksi beras karena mahalnya harga pupuk
dan pestisida yang merupakan komoditi impor. Kenaikan harga gula disebabkan oleh
dinaikkannya harga perolehan gula di Bulog. Sedangkan kenaikan harga minyak goreng
disebabkan oleh berkurangnya pasokan minyak goreng domestik karena CPO banyak
terserap ke pasar ekspor. Di bulan Agustus , tekanan inflatoir pada komoditas sembako
masih tetap kuat, terutama karena permasalahan disisi distribusi yang diwarnai oleh
tindakan spekulatif pelaku pasar. Untuk menurunkan tekanan struktural tadi, sepanjang
bulan September 1998 pemerintah telah mencoba berbagai kebijakan proaktif untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan di sisi distribusi. Tampaknya kebijakan di sisi distribusi
tersebut cukup berhasil, terutama dalam kaitannya dengan distribusi beras.
Selain tekanan struktural, dinamika inflasi setelah triwulan I /1998 juga diwarnai
oleh kuatnya tekanan noise inflation, yaitu gejolak temporer pada harga-harga. Noise
terpenting terjadi di bulan Februari dan Mei 1998. Di bulan Februari demand shock berupa
panic buying telah menyebabkan hilangnya berbagai stock barang dipasaran karena
pengusaha retail tidak memperhitungkan panic buying dalam inventory ordernya. Di bulan
Mei kerusuhan sosial yang melanda 5 kota industri utama di Indonesia menyebabkan
terganggunya pasokan barang dengan rusaknya sebagian besar pusat-pusat kegiatan usaha.
Di triwulan II dan III / 1998 laju inflasi yang disebabkan oleh ekspansi moneter
tampak mulai menurun sebagai akibat konsistensi otoritas moneter dalam menerapkan
tingkat suku bunga tinggi. Upaya tersebut mampu menurunkan laju inflasi secara bertahap
seiring dengan ketatnya likuiditas di sektor riil.
98 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
A. Expectation Loops
Ekspektasi inflasi merupakan dinamika interaksi antara laju inflasi, ketidakpastian dan gejolak
harga. Dihipotesakan bahwa terdapat perubahan rangkaian jalinan interaksi antara laju inflasi,
ketidakpastian , dan gejolak harga dalam masa sebelum dan sepanjang krisis. Berikut adalah pengujian
dari masing-masing interaksi tersebut.
Analisa keterkaitan antara laju inflasi IHK dengan gejolak dan ketidakpastian harga
menunjukkan bahwa pembentukan ekspektasi inflasi mengikuti pola tmbal balik yang
self-reinforcing (expectation loops). Expectation loops ini diawali dengan adanya gejolak harga-
harga yang ditunjukkan oleh conditional variance series inflasi IHK yang mengalami
peningkatan karena meningkatnya weighted mean dan standard deviation7 . Pada grafik 2
dibawah dapat dilihat bahwa pada periode sebelum krisis, pergerakan laju inflasi IHK
cenderung berada di seputar kecenderung jangka panjangnya. Dimasa krisis, perilaku ini
mengalami perubahan, dimana terlihat deviasi laju inflasi IHK yang cukup besar dari
kecenderungannya. Gejolak mulai terlihat di bulan Januari 1998 ketika nilai tukar Rp/
USD terdepresiasi secara besar-besaran. Setelah itu terjadi panic buying yang menyebabkan
terjadinya agregat demand shock melalui konsumsi di bulan Februari 1998. Laju inflasi
kemudian menurun lebih dari setengahnya di bulan Maret 1998 yang menyebabkan terjadi
gejolak harga berikutnya. Di bulan Juli, Agustus, dan September kenaikan harga Sembako
12
-4
96:07 97:01 97:07 98:01 98:07
7 Conditional variance diukur sebagai deviasi laju inflasi IHK bulanan terhadap angka inflasi IHK 12 Bulan Moving
Average.
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 99
menyumbang pada gejolak harga fase berikutnya sehingga laju inflasi IHK cenderung masih
menjauh dari kecenderungan jangka panjangnya.
Peningkatan pada moments pertama dan kedua diatas, kemudian diikuti pula oleh
peningkatan moments ketiga (skewness) dan moments keempat (kurtosis). Dengan
membandingkan dua histogram pada grafik 3, terlihat bahwa laju inflasi dimasa krisis
memiliki nilai kurtosis yang lebih tinggi dari pada sebelum krisis. Hal ini menandakan
bahwa laju inflasi dimasa krisis cenderung berada pada rata-rata yang lebih tinggi dengan
standar deviasi yang juga tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa laju inflasi IHK di masa
krisis cenderung bergejolak pada tingkat yang inflatoir.
Series: CONDVAR
Sample 1990:07 1997:06
Observations 83 25 Series: CONDVAR
Sample 1990:07 1998:09
15 Mean 0.083768 Observations 98
Median -0.079362 20
Maximum 2.513384 Mean 0.426577
Minimum -1.443192 Median 0.031697
Std. Dev. 0.679748 Maximum 11.35202
10 Skewness 1.019805 15 Minimum -1.788550
Kurtosis 4.264144 Std. Dev. 1.556924
Skewness 4.243783
Jarque-Bera 19.91331 Kurtosis 27.69573
10
Probability 0.000047
Jarque-Bera 2784.498
5 Probability 0.000000
5
0 0
-1 0 1 2 -2 0 2 4 6 8 10
8 Kajian serupa dilakukan pula oleh Kearns, Jonathan. Behavior of Inflation. Internal Note, unpublished, RBA.
9 Unconditional variance ditaksir sebagai proses E-GARCH dengan 1 bulan lag dari residu persamaan CPI = Konstan +
Residual, dimana CPI adalah laju inflasi bulanan IHK. Untuk referensi dapat dilihat Engle Robert F., dan Ng, K.
Victor. Measuring and Testing The Impact of News on Volatility, The Journal of Finance, Vol. XLVIII, No.5, Dec.
1993. Proses serupa dilakukan oleh McTaggart, Doug. The Cost of Inflation in Australia, Proceedings of a Conference,
RBA.
100 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
16
12
-4
96:01 96:07 97:01 97:07 98:01 98:07
Uji Pairwise Granger Causality10 mengenai keterkaitan antara gejolak dan ketidakpastian
harga menunjukkan bahwa hubungan kausalitas berlangsung dua arah antara gejolak dan
ketidakpastian dalam dinamika laju inflasi IHK pada observasi yang memasukkan periode
krisis moneter (lihat Tabel 1) . Hal ini bertolak-belakang dengan hasil pengujian pada observasi
yang mengeluarkan bulan-bulan krisis moneter. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa terdapat
expectation loop antara gejolak dan ketidakpastian, dimana meningkatnya gejolak inflatoir pada
laju inflasi IHK akan menyebabkan ketidakpastian harga yang selanjutnya akan menambah
pada gejolak inflatoir, dan seterusnya berulang. Adapun besarnya kekuatan hubungan dalam
expectation loop antara gejolak dan ketidakpastian ditaksir dengan melakukan regresi linier
sederhana antara keduanya ditambah dengan komponen persisten (lag) dari kedua variabel
tersebut. Hasil regresi linier menunjukkan bahwa tekanan ketidakpastian harga ke gejolak
harga cenderung lebih mendominasi expectation loop, dibandingkan dengan arus balik dari
gejolak ke ketidakpastian. Hal ini ditunjukkan oleh lebih besarnya persentase adjusted R-
squared dan net-effect dari koefisien pada persamaan (lihat tabel 2).
10 Metodologi Pairwise Granger Causality dapat ditemui pada Enders, Walter E. Applied Econometrics Time Series, hal.
315 , Granger Causality.
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 101
Variabel Endogen
Gejolak Ketidakpastian
Berdasarkan temuan diatas diperoleh tiga implikasi, yaitu (1) di masa krisis spiral
ekspektasi inflasi akan lebih menggelembung jika terdapat ketidakpastian harga ,
dibandingkan jika spiral diawali oleh gejolak harga, (2) jika ekspektasi diawali oleh gejolak
harga belum tentu terjadi penggelembungan laju inflasi, dan (3) ketidakpastian harga
merupakan trigger point dalam upaya menghambat spiral inflasi.
Hasil uji Granger Causality antara ketidakpastian harga dan laju inflasi memberi
konfirmasi terhadap pernyataan-pernyataan diatas (lihat tabel 3) .Dapat dilihat bahwa pada
periode sebelum krisis moneter, laju inflasi yang tinggi dapat menyebabkan ketidakpastian
harga-harga akan tetapi tidak sebaliknya. Hal ini antara lain disebabkan kurang sensitifnya
daya beli konsumen terhadap tindakan spekulasi maupun penyesuaian kenaikan harga.
Sehingga, ketidakpastian harga menjadi kurang berperan dalam proses looping. Akan tetapi
dimasa krisis, terdapat indikasi yang sangat kuat bahwa ketidakpastian harga-harga
menyumbang pada tekanan inflasi, dan sebaliknya. Hal ini memberi petunjuk adanya
penyesuaian harga keatas yang kurang terkoordinasi secara lintas industri yang berakibat
pada kegiatan spekulasi dan kelangkaan barang. Kemudian, seiring dengan meningkatnya
laju inflasi terjadi akumulasi ketidakpastian harga yang selanjutnya diterjemahkan menjadi
ketidakpastian harga yang berkelanjutan. Spiral yang terjadi kemudian membentuk self-
reinforcing loop.
Seperti yang juga telah dilakukan diatas, untuk melihat perbandingan tekanan
antara laju inflasi dan ketidakpastian harga-harga dalam expectation loop, dilakukan regresi
linier sederhana antara laju inflasi dan ketidakpastian harga, dan sebaliknya. Estimasi
persamaan menunjukkan bahwa ketidakpastian harga-harga mendominasi expectation loop
antara kedua variabel, dimana net-effect pengaruh kenaikan laju inflasi pada ketidakpastian
harga adalah 0.33% untuk setiap 1% kenaikan laju inflasi, sebaliknya untuk setiap 1%
kenaikan ketidakpastian harga akan diikuti oleh kenaikan laju inflasi sebesar 1.59% (lihat
tabel 4) .
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 103
Variabel Endogen
Laju Inflasi Ketidakpastian
Implikasi hasil statistik pada loop II ini dalam masa krisis ada tiga, yaitu: (1)
ketidakpastian harga-harga akan meningkatkan laju inflasi, (2) laju inflasi yang didorong oleh
ketidak pastian harga akan kembali menambah pada ketidakpastian harga, dan seterusnya,
sehingga (3) spiral inflasi dapat melambat hanya jika ketidakpastian harga dikurangi.
Hasil pengujian Pairwise Granger Causality pada bulan-bulan yang memasukkan krisis
moneter, menunjukkan bahwa tidak terdapat self reinforcing loop antara laju inflasi dan
gejolak harga. Pada observasi yang mengeluarkan krisis moneter terlihat bahwa hanya
terdapat hubungan satu arah antara laju inflasi dan gejolak harga (lihat tabel 5)11 .
11 Mengingat hasil uji kausalitas yang menolak adanya self reinforcing loop dari inflasi ke gejolak harga dan sebaliknya,
maka tidak dilakukan estimasi regresi linier .
104 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
12 Wignall, Adrian Blundell, Lowe P. , dan Tarditi, A. Inflation, Indicators, and Monetary Policy, dalam Inflation,
Disinflation, dan Monetary Policy, Proceedings of a Conference, RBA, 1992.
13 Studi yang sama dilakukan pula of Bank of Canada hanya kredibilitas pada penelitian BoC dimasukkan sebagai komponen
endogen dalam model forward looking , lihat: Maclean, Dinah. Incorporating Credibility in Forward Looking Models:
Some Examples with QPM. Bank of Canada.
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 105
Observasi mengenai angka partial autocorrelation laju inflasi IHK sebelum dan
sepanjang krisis moneter, memperlihatkan kuatnya inertia sampai tujuh bulan lags dimasa
krisis dalam membentuk informasi dalam laju inflasi bulan berjalan, ceteris paribus. Hal
ini ditunjukkan oleh tingginya Q-Statistics correlogram pada periode ini. Sebaliknya, dimasa
sebelum krisis perbedaan yang mendasar terlihat pada angka Q-Statistics yang cenderung
jauh lebih rendah. Selain itu, di masa sebelum krisis, partial autocorrelation pada lag 3 bulan
tidak relevan dalam menerangkan laju inflasi bulan berjalan.
14 Autocorrelation di definisikan sebagai keterkaitan secara statistik antara suatu angka terhadap angka-angka sebelumnya,
yang sekaligus menandakan bahwa persentase tertentu pada angka saat ini terjadi karena informasi-informasi yang
melekat pada angka masa lalu terbawa ke masa kini (inertia). Lihat Enders, W. E. Applied Econometrics Time Series,
Bab. 2. Stationary Time Series Models, Sub-bab 5 Autocorrelation Function, Willey & Sons, New York, 1995. Lihat
juga Sandy, R. Statistics for Business and Economics, McGraw Hill, New York, 1990, sub-bab 15.3 Autoregressive
and Moving Average Models.
106 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
14
12
10
-2
93 94 95 96 97 98 99
Ekspektasi inflasi yang mempertimbangkan perilaku historis kurs nilai tukar Rp/
USD secara kuantitatif diukur sebagai proses distributed lags perubahan kurs Rp/USD
bulanan dengan koreksi pelaku ekonomi terhadap kesalahan prediksi kursnya.
Pembentukan ekspektasi kurs itu sendiri ditunjukkan oleh pelaku ekonomi yang terlibat
dalam proses adaptive 1 bulan kebelakang dan learning sepanjang 2 bulan kebelakang16 .
Sehingga, taksiran ekspektasi kurs Rp/USD secara backward looking adalah sama dengan
proses ARMA (1,0,2). Hasil yang diperoleh berdasarkan taksiran dengan proses ARMA
(1,0,2) tersebut adalah ekspektasi level kurs Rp/USD yang cenderung melemah pada bulan-
bulan kedepan. Sampai dengan akhir Semester II / 1999 kurs Rp/USD ditaksir mendekati
Rp 7,000 / 1USD.
Secara teoritis, seiring dengan ekpektasi akan melemahnya nilai tukar Rp/USD,
tekanan first dan second stage pass-through juga diekspektasikan masih akan kuat sehingga
ekspektasi inflasi dengan menggunakan ekspektasi kurs backward looking cenderung akan
meningkat. Dengan berasumsi bahwa pelaku ekonomi akan melihat net-effects dari level
nilai tukar Rp/USD dalam membentuk ekspektasi inflasinya, maka hasil estimasi
16
12
-4
93 94 95 96 97 98 99
menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi backward looking dibentuk oleh perubahan kurs nilai
tukar sampai 4 bulan kebelakang17 . Grafik 8 menampilkan ilustrasi ekspektasi inflasi sampai
akhir 1999 berdasarkan taksiran ekspektasi kurs backward looking tadi. Ternyata, walaupun
terdapat ekspektasi depresiasi Rp/USD laju inflasi IHK tetap diramalkan akan menurun
oleh pelaku pasar. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh masih adanya built-in
expectation pelaku pasar bahwa walaupun secara backward looking akan terjadi depresiasi
kurs Rp/USD tapi pemerintah akan berupaya menstabilisasi gejolaknya, sehingga depresiasi
tersebut akan predictable seperti pada masa masih ada band intervensi.
12
-4
96:01 96:07 97:01 97:07 98:01 98:07
Dapat dilihat pada grafik bahwa sepanjang periode yang memasukkan krisis moneter,
kredibilitas pemerintah tampaknya menurun seiring dengan meningkatnya deviasi laju
inflasi aktual dari target. Hal ini terutama terlihat di triwulan IV/1997 ketika laju inflasi
IHK berada diatas target. Sepanjang semester I / 1998 kredibilitas pemerintah menurun
tajam di bulan Februari 1998 ketika panic buying melanda pasar barang-barang konsumsi.
Setelah itu kredibilitas pemerintah membaik. Ketika harga Sembako melonjak tajam sejak
Juni 1998, kredibilitas pemerintah sempat memburuk di bulan Agustus, untuk kemudian
membaik lagi di bulan Sempember 1998. Memasuki Triwulan IV/1998 kredibilitas
pemerintah tampaknya akan semakin membaik seiring dengan menurunnya deviasi laju
inflasi dari target.
bulan kebelakang dan revisi kesalahan prediksi pelaku ekonomi. Dari grafik dibawah ini tampak
bahwa ekspektasi inflasi pelaku ekonomi sepanjang triwulan IV/1998- I/1999 cenderung membaik
yang menunjukkan bahwa pelaku ekonomi cenderung percaya bahwa pemerintah akan
melakukan alloutefforts untuk menurunkan laju inflasi18
14
12
10
-2
92 93 94 95 96 97 98 99
Untuk mentaksir besarnya koefisien pembentuk besarnya ekspektasi inflasi forward looking
maka disusun dua persamaan linier yang menyatakan bahwa laju inflasi IHK aktual adalah fungsi
dari forward rate Rp/USD 12 bulan yang berlaku dipasar forward saat ini dan fungsi dari yield spread
di pasar keuangan. Selanjutnya berdasarkan koefisien yang diperoleh dilakukan replikasi sampai
September 1999 dengan menggunakan yield spread dan forward rate sejak Oktober 1997 sampai
September 199819 .
Pada grafik dibawah dapat dilihat ekspektasi inflasi yang terjadi di pasar keuangan (grafik
11a) dan pasar valas (grafik 11b), terlihat bahwa pada masa sebelum krisis moneter, ekspektasi
inflasi tersebut cenderung dapat mentaksir dengan baik inflasi yang akan terjadi. Akan tetapi
sepanjang krisis moneter, ekspektasi inflasi pada masing-masing pasar cenderung ikut bergejolak
seiring dengan ketidakpastian harga-harga di pasar komoditas.
12
10
-2
97:01 97:07 98:01 98:07 99:01 99:07
Grafik 11b. Laju Inflasi IHK dan Ekspektasi Inflasi di Pasar Valas
14
12
10
-2
97:01 97:07 98:01 98:07 99:01 99:07
Selanjutnya, khusus untuk angka estimasi forward rate tampaknya masih terkandung
unsur linear correlation dan multicolinierity dalam hasil ekonometri. Untuk itu dilakukan
Pengujian Granger Causality guna melihat kenyataan empiris hubungan kausalitas antara
laju inflasi dan forward rate di pasar valas. Hasil pengujian menunjukkan bahwa dimasa
krisis hubungan kausalitas antara laju inflasi IHK dan forward rate dipasar valas berlangsung
dua arah sampai 12 bulan lag. Walaupun begitu, hubungan kausalitas dari laju inflasi ke
forward rate cenderung jauh lebih kuat. Pada masa sebelum krisis moneter hubungan
kausalitas berlangsung dua arah dengan lag yang berbeda, yaitu pada lag 3, 4, dan 5 bulan
dari forward rate ke laju inflasi dan kausalitas sebaliknya pada lag 10 dan 11 bulan. Hal ini
berarti pula bahwa setiap upaya disinflationary yang berhasil akan mengalami proses feed-
through ke pasar valas yang menopang stabilisasi nilai tukar Rp/USD20 .
D. Ekspektasi Inflasi
Dengan hasil-hasil ekspektasi inflasi yang diperoleh melalui forward dan backward looking
dapat diperoleh suatu ukuran rata-rata tidak terbobot (unweighted average) dari kelima
komponen pembentuk ekspektasi inflasi. Selanjutnya dilakukan proses pembobotan ulang
dengan metode neural network untuk mengakomodasi bounded rationality para pelaku ekonomi
dimasa krisis yang penuh ketidakpastian21.Setting neuron logsismoid dilakukan sebagai proses
pengaruh kelima komponen pada rata-rata tidak terbobot ekspektasi inflation (Neuron Net
CPI e = Neuron (Inertia, Kurs Rp/USD, Kredibilitas Pemerintah, Yield Spread, Forward Rate Rp/
U S D) Desain transformasi logsismoid ini mengikuti pola dimana setiap neuron akan masuk
kedalam hidden neuron dimana terjadi backpropagation learning untuk menangkap euphoria pelaku
pasar. Hasil yang diperoleh adalah bobot dari masing-masing komponen dalam menyumbang
pada ketidakpastian harga-harga, sebagaimana yang ditunjukkan di tabel dan grafik berikut:
Tabel 7. Bobot Setelah Melalui Proses Neural Network
Dapat dilihat pada tabel diatas, kredibilitas pemerintah memegang peranan penting
dalam menentukan pembentukan ekspektasi inflasi masyarakat, disusul kemudian oleh
ekspektasi kurs Rp/USD secara historis dan inertia inflasi IHK. Kesemua komponen ini
adalah komponen ekspektasi inflasi backward looking.Forward rate Rp/USD dan yield spread,
yang merupakan komponen ekspektasi forward looking ternyata secara total hanya berperan
sebesar 32% dalam pembentukan ekpektasi inflasi. Sehingga ekspektasi inflasi backward
looking menyumbang 68% dalam proses pembentukan ekspektasi inflasi.
Pada grafik 12 dapat dilihat pergerakan dari simulasi ekspektasi inflasi yang diperoleh
dengan membobot ulang setiap komponen pembentuknya. Ekspektasi Inflasi cenderung
mendekati laju inflasi aktual sebagaimana dicerminkan oleh besarnya adjusted r-squared sebesar
0.99, coefficient correlation r sebesar 0.99, dan rendahnya mean absolut error yaitu 0.087 (tabel 7).
12
10
Laju Inflasi IHK
8
Ekspektasi Inflasi
6 (Weighted)
0
Oct-97
Oct-98
Oct-95
Oct-96
Jan-99
Jan-96
Jan-97
Jan-98
Jul-99
Jan-95
Jul-97
Jul-98
Jul-95
Jul-96
Apr-99
Apr-97
Apr-98
Apr-95
Apr-96
-2
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa secara umum:
♣ Ekspektasi inflasi juga dapat dibentuk oleh proses backward dan forward looking.
Komponen pembentuk ekspektasi inflasi backward looking adalah : kredibilitas pemerintah,
inertia (inflasi secara historis), dan ekspektasi kurs Rp/USD. Sedangkan komponen
pembentuk ekspektasi inflasi forward looking adalah yield spread dan forward rate RP/
USD. 68 % pembentukan ekspektasi inflasi dimasa krisis mengikuti pola backward looking,
dimana pelaku ekonomi mempelajari dan merevisi ekspektasinya berdasarkan
pengalaman di masa lalu. Sehingga, inflasi yang tinggi dimasa lalu cenderung
membentuk ekspektasi inflasi yang masih tetap tinggi dimasa mendatang, demikian
pula sebaliknya.
♣ Kredibilitas pemerintah merupakan komponen utama dalam menentukan ekspektasi
inflasi masyarakat. Semakin tinggi deviasi keberhasilan disinflationary policy pemerintah
dari inflasi yang ditargetkan, maka semakin tinggi ekspektasi inflasi masyarakat.
Menurunnya kredibilitas pemerintah ditunjukkan oleh temuan bahwa dituntut adanya
lima bulan konsistensi keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan inflasi dimasa
krisis agar ekspektasi inflasi bisa menurun .
♣ Nilai tukar Rp/USD secara historis merupakan acuan masyarakat dalam mengantisipasi
inflasi dimasa mendatang, walaupun demikian terdapat indikasi kuat bahwa ekspektasi
depresiasi nilai tukar Rp/USD di pasar forward dibentuk dengan mempertimbangkan
ekspektasi inflasi historis.
♣ Dimasa krisis laju inflasi secara historis kuat mempengaruhi pembentukan ekspektasi
inflasi pelaku ekonomi. Dengan demikian inflasi yang masih tetap tinggi akan cenderung
membentuk ekspektasi inflasi yang masih tinggi.
♣ Jika pengendalian inflasi dimasa krisis dapat menurunkan harga secara berkelanjutan
selama lima bulan berturut-turut, maka yang akan terjadi adalah downward spiral inflasi
yang menurunkan tekanan laju inflasi dan selanjutnya dapat menopang perbaikan kurs
nilai tukar Rp/USD dipasar valas.
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 115
Implikasi Kebijakan
Struktural
Perkembangan pengendalian inflasi sampai dengan akhir triwulan III /1998
tampaknya menunjukkan arah yang membaik. Keberhasilan pengendalian inflasi tersebut
telah meningkatkan kredibilitas pengendalian inflasi oleh pemerintah, sehingga ekspektasi
inflasi backward looking dari sisi kredibilitas akan cenderung menurun. Jika pemerintah
berhasil menurunkan laju inflasi lebih lanjut di bulan Oktober 1998 melalui kebijakan
struktural yang lebih komprehensif seperti anatara lain memperbaiki sistem distribusi bahan
pokok dalam jangka pendek dan stabilitas keamanan, maka kepastian harga akan lebih
mudah tercapai. Oleh karena itu agenda pemerintah dalam jangka pendek (3-4 bulan
kedepan) adalah mengutamakan perbaikan sisi distribusi bahan kebutuhan pokok.
Selanjutnya di bulan November dan Desember 1998 seiring dengan datangnya bulan
Ramadhan pemerintah perlu mempertahankan harga sembako agar tidak kembali
bergejolak dengan meningkatkan supply produk-produk utama dalam kelompok sembako
(beras, gula, minyak goreng, daging, telur, dan susu). Jika target jangka pendek diatas
tercapai, maka dapat diantisipasi bahwa akan ada downward spiral inflasi diawal 1999 melalui
self-reinforcing expectation loop karena penurunan laju inflasi dan meningkatnya kredibilitas
pemerintah dimata masyarakat. Dalam jangka panjang pemerintah perlu terus
mengupayakan pengembangan sektor pertanian, termasuk agribisnis baik yang berorientasi
ekspor maupun untuk pasokan dalam negeri.
Moneter
Kendati dari hasil simulasi ekspektasi inflasi dimasa mendatang telah menunjukkan
penurunan akan tetapi masih tetap berada pada tingkat yang tinggi. Oleh karena itu, otoritas
moneter harus terus memantau inflasi khususnya yang bersumber dari fenomona moneter
dalam perekonomian. Selanjutnya, mengingat pembentukan inflasi IHK dalam jangka
pendek tidak semata-mata merupakan fenomena moneter, namun juga dibentuk oleh
fenomena di sisi supply, maka otoritas moneter perlu memilah-milah sumber-sumber
penyebab inflasi. Otoritas moneter dapat menggunakan simulasi ini sebagai salah satu
alternatif benchmark dalam menetapkan target inflasi dan kebijakan moneter dimasa
mendatang dengan mempertimbangkan lag kebijakan moneter ke inflasi. Disamping itu
stabilitas nilai tukar juga harus tetap mendapat perhatian dalam upaya menunjang
penurunan ekspektasi inflasi masyarakat.
tersebut selanjutnya akan ter-transmisi dalam forward rate Rp/USD dipasar valas yang
kemudian dengan sendirinya akan menurunkan ekspektasi inflasi lebih lanjut. Jika terdapat
indikasi bahwa feed through tersebut dapat mempertahankan nilai tukar Rp/USD pada
level yang sustainable, maka untuk kedepannya Bank Indonesia perlu mengumumkan
kepada masyarakat hal -hal berikut untuk preemptive disinflationary policy dalam
mengendalikan inflasi: (1) jenis-jenis tekanan inflasi yang berada diluar jangkauan Bank
Indonesia (escape clause) dalam pengendalian inflasi moneter yang perlu segera diambil
alih oleh pemerintah c.q. departemen terkait melalui supply side policy, (2) menetapkan
target band inflasi akibat fenomena moneter serta indikator pemantaunya (leading indicator),
dan (3) jenis-jenis kebijakan moneter yang akan diambil oleh Bank Indonesia bila tekanan
inflasi dari sisi moneter mulai mengarah keluar diatas band.
Daftar Pustaka
King, Marvyn, Do Inflation Targets Work?, Address to the Center for Economic Policy
Research.
Griliches, Zvi,Distribution Lags : A Survey, Econometrica, Vo. 35, No. 1, January 1967
Bomfim, A. dan Brayton, F., Long Run Inflation Expectation and Monetary Policy, BIS.
Dillen, H. dan Hopkins, E., Forward Interest Rates and Inflation Expectations: The Role of
Regime Shift Premia and Monetary Policy,BIS.
H unt, B., Conway, P., dan Scott, A., Exchange Rate Effects and Inflation Targeting in A
Small Open economy, a Stochastic Analysis Using FPS, BIS.
Ireland, Peter N., Long Term Interest Rates and Inflation: A Fisherian Approach, FRB of
Richmond.
Kandel, S. , Ofer, A. dan Sarig, O., Real Interest Rates and Inflation: An Ex Ante Empirical
Analysis, The Journal Of Finance, Vol 11, No. 1, March 1986.
Cecchetti, S., Inflation Indicators and Inflation Policy, Ohio State Univ.
Dwyer, J. dan Lam, R., Explaining Import Price Inflation: A Recent History of Second
Stage Pass Through, RBA.
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 117
Gruen, D. dan Dwyer, J., Are Terms of Trade Rises Inflationary?, RBA.
Hakim, L. dan Solikin., Model Inflasi dengan Pendekatan Neural Network, Kertas Keja
Staff, BI.
Lin, W., Impulse Response Function for Conditional Volatility in GARCH Models, Journal
of Business and Economic Statistics, January 1997.
O’Connor , M. Hill, T., Neural Network Models for Time Series Forecast, Institute for
Operation Research and Management Sciences.
Romalis, J., Gruen, D. dan Chandra, N., The Lags of Monetary Policy, RBA.
Haslag, J., Monetary Aggregates and The Rate of Inflation, FRB of Dallas.
Simatupang, P., Diagnosa Penyebab Inflasi Dari Sisi Sektor Riil: Tinjauan Eksploratif,
IPB.
Annex
(1) CPI = FX(-1) + FX(-2) + FX(-3) + FX(-4) + MA(1) , untuk ukuran laju inflasi yang
disebabkan oleh perubahan bulanan kurs nilai tukar Rp/USD, dimana CPI adalah
laju inflasi IHK bulanan , FX adalah perubahan kurs Rp/USD bulanan, (L) adalah
lag operator, dan MA(1) adalah satu bulan koreksi terhadap kesalahan prediksi.
(2) CPI = Base(-1) + Base(-2) + Base(-3) + Base(-4) + MA(1) , untuk ukuran laju inflasi
yang disebabkan oleh pertumbuhan bulanan base money, dimana CPI adalah laju
inflasi IHK bulanan, Base adalah pertumbuhan bulanan base money , (L) adalah
lag operator, dan MA(1) adalah satu bulan koreksi terhadap kesalahan prediksi.
-5
91 92 93 94 95 96 97 98
CPIKURS ± 2 S.E.
-4
91 92 93 94 95 96 97 98
CPIBASE ± 2 S.E.
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 119
12
10
-2
1993 1994 1995 1996 1997 1998
IPS Indonesia disusun dengan menggunakan policy anchor Bank Indonesia, yaitu SBI
30 hari sebagai proksi dari C, dan spread antara suku bunga deposito 1 dan 24 bulan sebagai
proksi dari D. Masing komponen pembentuk IPS ini diilustrasikan pada grafik berikut.
22 Lihat hasil penelitian mengenai “Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter”, Program Kerja UREM
1997-1998.
120 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
60 18
40 16
20 14
0 12
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1993 1994 1995 1996 1997 1998
60 6
5
40
4
20 3
2
0
1
-20 0
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1993 1994 1995 1996 1997 1998
-1
-2
-3
-4
-5
1993 1994 1995 1996 1997 1998
Dapat dilihat pada grafik diatas pada periode 1990 - 1995 kebijakan moneter di
Indonesia secara riil berada pada kondisi loose, kemudian memasuki 1996 sampai
pertengahan 1997 stance kebijakan moneter adalah tight. Diera krisis, kebijakan moneter
secara riil adalah sangat loose.
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 121
S a m p le ( a d ju s te d ) : 1 9 9 0 :0 9 1 9 9 8 :0 9
In c lu d e d o b s e r v a tio n s : 9 7 a fte r a d ju s tin g e n d p o in ts
C o n v e r g e n c e a c h ie v e d a fte r 1 0 ite r a tio n s
B a c k c a s t: 1 9 9 0 :0 8
V a r ia b le C o e ffic ie n t S td . E r r o r t- S ta tis tic P ro b .
C 0 .1 1 2 4 9 4 0 .1 2 1 8 4 3 0 .9 2 3 2 6 6 0 .3 5 8 3
C P I( - 1 ) 1 .1 0 9 6 7 0 0 .2 9 0 6 8 6 3 .8 1 7 4 1 7 0 .0 0 0 2
C P I( - 2 ) - 0 .4 4 7 5 2 1 0 .2 2 9 5 2 9 - 1 .9 4 9 7 3 4 0 .0 5 4 3
C P I( - 3 ) 0 .2 8 7 3 0 9 0 .1 1 7 0 9 2 2 .4 5 3 7 0 7 0 .0 1 6 0
M A (1 ) - 0 .4 2 6 4 7 0 0 .2 9 7 7 1 7 - 1 .4 3 2 4 6 8 0 .1 5 5 4
R - s q u a re d 0 .5 9 2 9 6 7 M ean dependent var 1 .2 2 2 2 7 3
A d ju s te d R - s q u a r e d 0 .5 7 5 2 7 0 S .D . d e p e n d e n t v a r 1 .9 6 0 4 0 9
S .E . o f r e g r e s s io n 1 .2 7 7 6 2 4 A k a ik e in fo c r ite r io n 3 .3 7 8 0 5 2
S u m s q u a r e d r e s id 1 5 0 .1 7 3 8 S c h w a r z c r ite r io n 3 .5 1 0 7 6 9
L o g lik e lih o o d - 1 5 8 .8 3 5 5 F - s ta tis tic 3 3 .5 0 6 4 7
D u r b in - W a ts o n s ta t 1 .9 7 1 2 6 3 P r o b ( F - s ta tis tic ) 0 .0 0 0 0 0 0
In v e r te d M A R o o ts .4 3
B r e u s c h - G o d fr e y S e r ia l C o r r e la tio n L M T e s t:
F - s ta tis tic 0 .5 1 2 2 6 5 P r o b a b ility 0 .4 7 5 9 9 3
O b s * R - s q u a re d 0 .5 4 2 7 2 6 P r o b a b ility 0 .4 6 1 3 0 5
-5 -2
91 92 93 94 95 96 97 98 99 98:11 99:01 99:03 99:05 99:07 99:09 99:11
S a m p le (a d ju s te d ): 1 9 9 0 :1 1 1 9 9 8 :0 9 20
In c lu d e d o b s e rv a tio n s : 9 5 a fte r a d ju s tin g e n d p o in ts Forecast: CPIKURS
C o n v e rg e n c e a c h ie v e d a fte r 5 ite ra tio n s Actual: CPI
B a c k c a s t: 1 9 9 0 :1 0 15 Sample: 1990:11 1999:12
V a ria b le C o e ffic ie n t S td . E rro r t-S ta tis tic P ro b . Include observations: 95
C 0 .5 8 0 4 7 7 0 .1 2 8 5 2 8 4 .5 1 6 3 4 4 0 .0 0 0 0 10 Root Mean Squared Error 0.714880
FX 2 .3 3 0 3 6 9 0 .5 4 3 6 3 2 4 .2 8 6 6 6 5 0 .0 0 0 0
Mean Absolute Error 0.518561
F X (-1 ) 9 .0 3 9 9 0 5 0 .5 9 6 2 6 2 1 5 .1 6 0 9 6 0 .0 0 0 0
Mean Abs. Percent Error 155.0220
F X (-2 ) 5 .4 3 2 3 6 9 0 .5 9 9 2 1 2 9 .0 6 5 8 5 9 0 .0 0 0 0
5 Theil Inequality Coefficient 0.158045
F X (-3 ) 4 .2 7 4 0 0 1 0 .6 0 7 4 9 2 7 .0 3 5 4 8 8 0 .0 0 0 0
F X (-4 ) 4 .1 5 6 7 9 9 0 .5 5 3 1 5 9 7 .5 1 4 6 5 3 0 .0 0 0 0 Bias Proportion 0.000000
M A (1 ) 0 .5 7 5 8 6 5 0 .0 8 7 1 6 6 6 .6 0 6 5 2 9 0 .0 0 0 0 Variance Proportion 0.041498
0 Covariance Proportion 0.958502
R -s q u a re d 0 .8 6 8 2 1 4 M ea n d e pe n d en t va r 1 .2 3 1 7 3 2
A d ju s te d R -s q u a re d 0 .8 5 9 2 2 9 S .D . d e p e n d e n t v a r 1 .9 7 9 6 8 7
S .E . o f re g re s s io n 0 .7 4 2 7 6 8 A k a ik e in fo c rite rio n 2 .3 1 3 9 6 3
-5
S u m s q u a re d re s id 4 8 .5 5 0 0 1 S c h w a rz c rite rio n 2 .5 0 2 1 4 3
L o g lik e lih o o d -1 0 2 .9 1 3 2 F -s ta tis tic 9 6 .6 2 5 1 3 91 92 93 94 95 96 97 98 99
D u rb in -W a ts o n s ta t 1 .8 3 3 9 7 1 P ro b (F -s ta tis tic ) 0 .0 0 0 0 0 0
CPIKURS ± 2 S.E.
In v e rte d M A R o o ts -.5 8
B re u s c h -G o d fre y S e ria l C o rre la tio n L M T e s t:
F -s ta tis tic 1 .6 1 9 4 9 5 P ro b a b ility 0 .2 0 6 5 5 3
O b s *R -s q u a re d 1 .7 3 6 0 9 4 P ro b a b ility 0 .1 8 7 6 3 4
122 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
VII. Uji Granger Causality antara Inflasi dan Forward Rate Rp/USD
1. Sepanjang Krisis
Lags: 1
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 87 6.31689 0.01387
ANCPI does not Granger Cause SWAP 46.2037 1.4E-09
Lags: 2
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 86 0.88659 0.41602
ANCPI does not Granger Cause SWAP 20.7925 5.2E-08
Lags: 3
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 85 3.46644 0.02013
ANCPI does not Granger Cause SWAP 18.5885 3.4E-09
Lags: 4
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 84 4.95316 0.00134
ANCPI does not Granger Cause SWAP 35.5097 1.3E-16
Lags: 5
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 83 4.45891 0.00135
ANCPI does not Granger Cause SWAP 26.0828 6.2E-15
Lags: 6
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 82 2.71644 0.01992
ANCPI does not Granger Cause SWAP 20.7315 1.0E-13
Lags: 7
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 81 2.47840 0.02540
ANCPI does not Granger Cause SWAP 19.7172 5.6E-14
Lags: 8
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 80 2.83510 0.00940
ANCPI does not Granger Cause SWAP 16.8733 4.5E-13
Lags: 9
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 79 2.36934 0.02301
ANCPI does not Granger Cause SWAP 17.3929 1.0E-13
Lags: 10
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 78 2.69482 0.00892
ANCPI does not Granger Cause SWAP 14.9881 1.2E-12
Lags: 11
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 77 2.16061 0.03081
ANCPI does not Granger Cause SWAP 13.3469 8.4E-12
Lags: 12
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 76 2.07661 0.03564
ANCPI does not Granger Cause SWAP 11.5781 9.6E-11
124 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
2. Sebelum Krisis
Lags: 1
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 72 1.52656 0.22082
ANCPI does not Granger Cause SWAP 0.04721 0.82864
Lags: 2
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 71 2.14832 0.12477
ANCPI does not Granger Cause SWAP 1.04455 0.35759
Lags: 3
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 70 4.02132 0.01108
ANCPI does not Granger Cause SWAP 0.95555 0.41934
Lags: 4
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 69 2.69675 0.03908
ANCPI does not Granger Cause SWAP 0.46232 0.76307
Lags: 5
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 68 2.49129 0.04143
ANCPI does not Granger Cause SWAP 0.52412 0.75701
Lags: 6
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 67 1.87108 0.10272
ANCPI does not Granger Cause SWAP 0.39039 0.88202
Lags: 7
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 66 1.49085 0.19164
ANCPI does not Granger Cause SWAP 0.48897 0.83818
Lags: 8
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 65 1.46798 0.19392
ANCPI does not Granger Cause SWAP 1.31446 0.25923
Lags: 9
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 64 1.27529 0.27652
ANCPI does not Granger Cause SWAP 1.75684 0.10382
Lags: 10
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 63 1.33496 0.24411
ANCPI does not Granger Cause SWAP 1.81888 0.08676
Lags: 11
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 62 1.36203 0.22939
ANCPI does not Granger Cause SWAP 1.77294 0.09308
Lags: 12
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
SWAP does not Granger Cause ANCPI 61 1.24285 0.29361
ANCPI does not Granger Cause SWAP 1.51623 0.16350
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 125
Neuron Input
X1
Output
Neuron Input
X3
Fungsi
Logistik
• Neuron-neuron input, x1, x2, x3, dan seterusnya adalah kombinasi linear dengan koefisien
dan bobot tertentu yang diperoleh dari estimasi secara linier. Dalam paper ini neuron-
23 Disadur dari : McNelis, Paul D. Money Demand, Finacial Distress, and Monetary Policy in Indonesia. Georgetown
University, Department of Economics, April 1998. Unpublished research paper.
126 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
neuron input adalah masing-masing ekspektasi inflasi yang diperoleh melalui estimasi
linier, yaitu eskpektasi inflasi karena: (1) inertia, (2) ekspektasi kurs Rp/USD, dan (3)
kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah, untuk ekspektasi yang terbentuk secara
backward looking. Untuk input neuron yang berasal dari ekspektasi inflasi yang
terbentuk secara forward looking adalah ekpektasi inflasi di pasar keuangan dan di pasar
valas. Sehingga, terdapat lima input neuron dalam desain neural network.
⇒ Penentuan bobot awal dengan mengambil suatu sampel test set yang memberi
gambaran mengenai karakteristik awal hubungan antara neuron input dan
output.
⇒ Melakukan training terhadap seluruh observasi sampai tercapai error terendah.
⇒ Melakukan pembobotan ulang berdasarkan bobot-bobot yang diperoleh dari
training.
⇒ Menguji fitness dari persamaan.
24 Sargent, Thomas J. Bounded Rationality in Macroeconomics. Oxford University Press, New York, 1993.
25 Diproses dengan software NeuroShell 1.1.
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 1
Tujuan dari paper ini meneliti faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya krisis Asia saat ini. Ada 2
faktor yang dibahas dalam paper ini, yaitu faktor fundamental ekonomi dan efek penularan (contagion effect).
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara fundamental ekonomi negara yang
terkena krisis dengan negara yang tidak terkena krisis. Perbedaan tersebut terutama terletak pada perilaku
defisit transaksi berjalan, pinjaman luar negeri, financial account, cadangan devisa, perbankan, dan kegiatan
ekspor-impor.
Untuk memperkuat analisa kondisi fundamental ekonomi negara-negara tersebut, dalam paper ini
dicoba pendekatan ‘early warning system currency crisis’ yang dikembangkan oleh Kaminsky dan Reinhart.
Hasilnya menunjukkan bahwa menjelang terjadinya krisis mata uang terjadi gejala overheating di kawasan
Asia. Namun, pendekatan tersebut gagal mengidentifikasi terjadinya krisis di Indonesia, serta terjadi banyak
‘bad-signal’ pada beberapa negara yang tidak terkena krisis, seperti Singapore dan Hongkong.
Selanjutnya diteliti juga peranan dari contagion effect dalam menimbulkan krisis. Hasil pengujian
membuktikan bahwa terjadinya suatu serangan mata uang di suatu negara secara signifikan mempengaruhi
pelaku pasar untuk melakukan serangan pada mata uang negara lain. Dengan kata lain, contagion effect
memegang peranan sebagai pemicu terjadinya krisis yang dialami negara-negara Asia saat ini.
Hasil penelitian ini menggaris bawahi perlunya dilakukan kerja sama yang lebih erat antar negara-
negara Asia dalam melakukan regional surveillance. Tujuan dari regional surveillance ini adalah untuk mendeteksi
secara dini kemungkinan terjadi krisis di suatu negara dan mencegah terjadinya contagion effect.
* ) Endy Dwi Tjahjono: Peneliti Ekonomi Yunior, Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, UREM, BI,
email : endydt@bi.go.id
Penulis mengucapkan terima kasih atas berbagai komentar dan tanggapan dari para peneliti di Bagian SEI-UREM BI,
termasuk Sdr. Sjamsul Arifin, Ny. Hendy S., Sdr. Doddy Budi Waluyo, Sdr. Benny Siswanto dan Ny. Yati Kurniati.
Penulis juga mendapatkan bantuan penyediaan data dari Sdr. Harmantha dan Sdr. Deddy Irianto.
2 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Pendahuluan
Latar Belakang
P ada bulan Juli 1997, perekonomian Thailand mengalami kesulitan sebagai dampak
dari semakin membesarnya defisit transaksi berjalan selama 5 tahun terakhir. Kondisi
ini semakin diperberat oleh memburuknya kinerja perbankan Thailand akibat dililit kredit
macet yang semakin besar. Sebagai akibatnya, timbul krisis ekonomi yang ditandai dengan
jatuhnya nilai tukar Baht terhadap USD, capital outflows, dan krisis cadangan devisa.
Dalam waktu yang singkat, krisis ini ternyata merembet ke negara-negara ASEAN
lainnya, terutama Philippines, Malaysia, dan Indonesia. Sementara untuk negara industri
baru, yang dikenal dengan NIEs, walaupun mengalami serangan yang sama, ternyata
dampaknya berbeda. Korea adalah negara NIEs yang paling parah terkena krisis. Sementara,
negara NIEs lainnya, seperti Hongkong, Taiwan, dan Singapore, walaupun mengalami
depresiasi dan harga sahamnya sempat jatuh namun tidak sampai mengalami krisis yang
berkepanjangan.
Dalam menyikapi krisis keuangan tersebut, ada sebagian pendapat yang menyatakan
bahwa krisis diakibatkan oleh tekanan dari para pelaku pasar keuangan internasional
(spekulan). Sebagian yang lain menyatakan bahwa krisis lebih disebabkan oleh fundamental
ekonomi yang buruk.
Oleh karena itu, belajar dari pengalaman krisis saat ini, perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui faktor-faktor utama yang mendorong timbulnya krisis, agar kejadian
serupa tidak terulang lagi dikemudian hari.
negara yang terkena krisis meliputi Indonesia, Malaysia, Thailand, Philippines, dan Korea.
Negara yang tidak terkena krisis meliputi Singapore, Taiwan, Hongkong, dan Jepang.
Tabel 1
KLASIFIKASI EMERGING MARKET ASIA
Catatan : angka positip berarti mengalami overvalue, sebaliknya angka negatip mengalami undervalue.
Metodologi Penelitian
———————————————————————————————————-
1.Analisis Data
b. Menghitung rata-rata dan standar deviasi selama masa tenang (1990 - 1994)
dari tiap indikator untuk masing-masing negara.
c
. Menetapkan batas atas (=X + 3 s) dan batas bawah (=X - 3 s).
d. Memisahkan batas kontrol yang tidak relevan terhadap terjadinya krisis, seperti
batas atas untuk ekspor dan cadangan devisa.
e
. Menghitung signal yang dikeluarkan tiap indikator. Indikator dikatakan
mengeluarkan signal apabila nilai indikator tersebut lebih besar dari batas atas
atau lebih kecil dari batas bawah.
.
f Menganalisa signal-signal tersebut untuk mengetahui kondisi fundamental
ekonomi masing-masing negara.
A
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 5
c
. Membagi suatu indikator menjadi 4 golongan resiko dan menetapkan range
nilai dari masing-masing golongan resiko. Untuk setiap golongan resiko
diberikan angka kredit tersendiri.
e
. Menghitung total angka kredit dengan menggunakan bobot dari masing-
masing indikator.
selesai
6 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Analisis Data
Krisis mata uang yang melanda negara-negara ASEAN-4 + Korea bagaimanapun
juga tidak terlepas dari kondisi fundamental ekonomi negara-negara tersebut yang
menyimpan resiko terjadinya krisis. Untuk itu, perlu dilakukan analisis data, terutama
terhadap beberapa variabel ekonomi yang terkait dengan resiko krisis mata uang seperti
current account balance, pinjaman luar negeri, dan tingkat kesehatan perbankan.
Walaupun angka-angka diatas merupakan data tahun 1995, namun sebenarnya defisit
transaksi berjalan yang dialami negara-negara yang mengalami krisis tersebut sudah
berlangsung sejak lama.
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 7
Tabel 2
PROFILE NERACA PEMBAYARAN TAHUN 1995
Sumber : Annual report 1996 HKMA untuk Hongk ong, CEIC untuk Taiwan; Laporan Tahunan BI tahun 1995/96
untuk Indonesia; IFS Yearbook 1997 untuk negara lainnya.
Gra fik 1
US$ Ju ta
Pe rke m ba nga n Curre nt Account Ba la nce
20000
Sin g ap u r a
15000
T aiw an
10000
Ho n gk o n g
5000
0
M alays ia
-5000
-10000
-15000 T h ailan d
In d o n e s ia
-20000 Ph ilip in a
Ko r e a
-25000
1991 1992 1993 1994 1995 1996
Defisit transaksi berjalan yang dialami negara-negara yang terkena krisis paling tidak
telah berlangsung sejak 1991 yang terus berakumulasi dari tahun ke tahun. Bahkan Korea
selama 3 tahun terakhir mengalami penurunan transaksi berjalan yang sangat tajam.
Sementara, negara-negara yang terkena krisis lainnya, seperti Thailand dan Indonesia juga
mengalami defisit yang semakin meningkat, walaupun tidak setajam Korea.
8 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Aspek Pembiayaan
Defisit transaksi berjalan yang telah berlangsung secara persistent tersebut harus
dapat dibiayai dari capital inflows agar tidak mengganggu cadangan devisa. Capital inflows
dapat berupa Foreign Direct Investment (FDI), portfolio, ataupun pinjaman luar negeri (baik
oleh Pemerintah maupun swasta). Pembiayaan defisit transaksi berjalan melalui FDI
dipandang sebagai langkah yang paling aman dalam membiayai pembangunan, karena
dana tersebut biasanya digunakan untuk kepemilikan dan kontrol atas pembangunan pabrik,
peralatan, dan prasarana. Dengan demikian FDI tersebut meningkatkan kapasitas
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sementara capital inflows dalam bentuk pinjaman
memungkinkan untuk digunakan membeli barang-barang konsumsi, bukan untuk barang
investasi. Disamping itu, capital inflows melalui FDI bersifat tidak lancar, sehingga investor
tidak dapat menarik dananya dengan segera. Hal ini berbeda dengan capital flows dalam
bentuk portfolio yang dapat ditarik secara mendadak dan dalam jumlah besar.
Sementara itu, resiko terjadinya krisis mata uang tersebut ternyata dikover oleh
cadangan devisa yang relatif kecil, yakni kurang dari USD 25 milyar. Sebaliknya, negara-
negara yang tidak terkena krisis, dimana transaksi berjalannya mengalami surplus, justru
Tabel 3
PROFILE PINJAMAN LUAR NEGERI 1997
Dari jumlah pinjaman luar negeri yang sangat besar tersebut, sebagian besar ternyata
berupa utang jangka pendek. Jika dibandingkan dengan jumlah cadangan devisa yang
dimiliki, pinjaman jangka pendek dari negara-negara yang terkena krisis besarnya mencapai
2 - 3 kali lipat dari cadangan devisanya, kecuali Malaysia yang ‘hanya’ sebesar 76 %.
Aspek Perdagangan
Sejalan dengan semakin terbukanya perekonomian dunia menuju global market, serta
perkembangan di pasar keuangan yang semakin terintegrasi dengan pasar keuangan dunia,
muncul pandangan baru mengenai defisit transaksi berjalan. Pandangan baru menyatakan
bahwa dalam kondisi free capital mobility, current account imbalances merupakan suatu
hal yang wajar sebagai hasil dari aliran modal menuju tempat-tempat yang paling produktif.
Negara-negara yang memiliki kesempatan investasi dalam negeri yang relatif lebih
menguntungkan akan mengalami defisit transaksi berjalan karena kesempatan tersebut akan
dimanfaatkan sepenuhnya, baik dengan menggunakan dana investasi dalam negeri ataupun
memanfaatkan dana-dana luar negeri untuk memperkuat dana investasi dalam negeri.
Berkaitan dengan defisit transaksi berjalan yang dialami oleh negara-negara yang
terkena krisis, apakah defisit tersebut mencerminkan macroeconomic imbalances yang
membutuhkan kebijakan penyesuaian kurs ataukah akibat kesempatan investasi yang lebih
baik ?
Defisit transaksi berjalan yang telah berlangsung sejak lama pada negara-negara yang
mengalami krisis ternyata disebabkan oleh pertumbuhan ekspor yang tidak sebanding
dengan pertumbuhan impornya. Walaupun kegiatan ekspor semakin meningkat namun
kegiatan impornya jauh lebih tinggi lagi. Tingginya kegiatan impor ini disebabkan oleh 2
hal, yaitu pesatnya kegiatan investasi yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dan tingginya kandungan barang impor pada produk-produk lokal.
Selama periode 1991 - 1996, ekspor Indonesia menunjukkan kinerja yang paling buruk.
Dari segi pertumbuhannya, ekspor Indonesia menunjukkan angka pertumbuhan yang
terendah setelah Taiwan. Bahkan apabila diukur dengan kontribusinya terhadap PDB, maka
ekspor Indonesia mengalami penurunan dari 25 % (1991) menjadi 22 % (1997). Hal ini
10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
mengindikasikan bahwa kegiatan investasi yang dilakukan selama ini dengan banyak
mengimpor barang modal ternyata lebih diarahkan untuk memenuhi permintaan dalam
negeri, bukan untuk kegiatan ekspor. Hal itulah yang menyebabkan defisit yang semakin
besar. Sementara kegiatan ekspor tidak banyak berkembang karena masih mengandalkan
pada produk-produk ekspor tradisional, seperti tekstil, sepatu, palm oil, dsb. Akibatnya
ekspor kita selama ini pertumbuhannya sangat rendah karena produk-produk tersebut nilai
tambahnya sangat kecil dan kurang elastis terhadap harga. Sementara itu, saingan bertambah
banyak dengan reformasi ekonomi yang dijalankan negara-negara sosialis/eks sosialis,
seperti China, Vietnam, Khazastan, dsb.
Tabel 4
PERKEMBANGAN EKSPOR 1991 - 1996
Berdasarkan data impor tahun 1990 - 1996, defisit transaksi berjalan negara-negara
yang terkena krisis masih akan berlangsung terus, karena komposisi impornya tidak banyak
berubah. Bahkan untuk Indonesia sendiri, komposisi barang modal mengalami penurunan
(dari 28 % menjadi 22%), sebaliknya barang konsumsi mengalami kenaikan (dari 4 % menjadi
7 %). Negara-negara lain, seperti Thailand dan Malaysia, impor barang modal justru
mengalami kenaikan yang tajam (dari 48 % menjadi 56%). Untuk jelasnya, lihat gambar
dibawah ini. Untuk negara-negara yang tidak terkena krisis, pada umumnya impor barang
modal mengalami kenaikan dan impor barang konsumsi mengalami penurunan.
G RAFIK 2
P ERKEM BANG AN KOM P O S IS I IM P O R
1990 - 1996
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
90
96
90
96
90
96
90
96
90
96
90
96
90
96
90
96
TH A I IN D . MAL P H IL KOR S IN G H O N G TW N
B A RA NG MO DA L
B A HA N B A K U
K O NS UMS I
2. Kinerja Perbankan
1 Goldfajn, Ilan; valdes, Rodrigo, ‘Capital Flows and the Twin Crises : The Role of Liquidity’ , IMF Working Paper
No. WP/97/87, July 1997.
12 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
yang mentransformasikan/merubah aset tidak lancar menjadi aset lancar dan berjangka
pendek. Pada satu sisi, tawaran aset yang lancar dan berjangka pendek ini sangat menarik
perhatian investor asing sehingga perbankan dapat menarik capital inflows dalam jumlah
besar. Namun disisi lain, pada saat terjadi shock ekonomi, intermediasi dapat menyebabkan
terjadinya capital outflows dalam jumlah besar dan mendadak, sehingga perbankan tidak
mampu memenuhi kewajibannya akibat asetnya sebagian besar tidak lancar. Hal inilah
yang menyebabkan terjadinya krisis perbankan yang diikuti oleh krisis mata uang. Padahal
apabila tidak ada jasa intermediasi perbankan, shock ekonomi tersebut belum tentu dapat
menyebabkan terjadinya krisis.
Penelitian yang dilakukan para peneliti yang lain, seperti Eichengreen, Rose, dan
Wyplosz2 dan Kaminsky-Reinhart3 , menyimpulkan bahwa sebelum terjadi krisis mata uang
biasanya didahului oleh aktivitas perbankan yang meningkat tajam dan segera menurun
drastis setelah terjadi krisis. Peningkatan aktivitas perbankan tersebut ditandai oleh :
a) Peningkatan capital flows.
b) Peningkatan M2 Multiplier yang meningkat 20 % lebih tinggi dari masa-masa tenang.
c) Pertumbuhan rasio domestik kredit/GDP yang meningkat tajam dan mencapai
puncaknya pada saat terjadi krisis (rata-rata mencapai 15 % lebih tinggi dari masa
tenang).
Hasil-hasil penelitian para ahli tersebut ternyata terbukti pada saat terjadi krisis di
Asia baru-baru ini.
Tabel 5
AKTIVITAS PERBANKAN 1995 - 1996
PERTUMBUHAN PERTUMBUHAN CAMPUR TANGAN KREDIT PADA KREDIT PROPERTI
NEGARA KREDIT M2 GOV'T PADA KREDIT *) KELOMPOK *) ( % Total Kredit )
*) sumber : The Banker, Asian Meltdown , Desember 1997 ; data lainnya dari IFS Year Book 1997 dan CEIC.
Disamping itu, selama 5 tahun terakhir, sebagai akibat dari pasar keuangan dunia
yang semakin terintegrasi menyebabkan sistem perbankan semakin mudah mendapatkan
sumber dana alternatif dari pasar luar negeri. Sebagai akibatnya, rasio antara foreign asset
dan foreign liabilities menjadi tidak seimbang. Terutama bank-bank Thailand yang paling
aktif melakukan pinjaman luar negeri, disamping Malaysia dan Indonesia sendiri.
Tabel 6
PERKEMBANGAN RASIO FOREIGN LIABILITIES /
FOREIGN ASSET PERBANKAN
NEGARA 80 85 90 91 92 93 94 95 96
NEGARA DALAM KRISIS
THAILAND 1,49 1,36 1,95 1,71 2,16 2,24 4,61 4,93 6,94
INDONESIA 0,57 0,67 1,16 1,04 1,25 1,62 1,83 1,79 1,69
MALAYSIA 1,49 2,12 1,22 2,14 3,56 3,00 1,61 1,54 n.a.
PHILIPPINES 2,23 1,16 0,61 0,52 0,64 0,61 0,77 1,00 1,75
KOREA 1,53 2,75 1,07 1,29 1,14 0,91 1,01 1,13 1,27
NEGARA TIDAK KRISIS
SINGAPORE 1,22 1,34 0,99 0,95 0,94 1,02 1,05 1,20 1,28
HONGKONG n.a. 0,99 1,02 1,01 1,01 1,01 1,02 1,00 1,00
TAIWAN n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. 1,30 1,50 1,10
JEPANG 0,25 0,18 0,11 0,09 0,08 0,21 0,25 0,23 0,26
Sumber : CEIC untuk Hongk ong dan Taiwan, Laporan Tahunan BI untuk Indonesia,
dan IFS Year book 1997 untuk negara lainnya.
Kondisi perbankan yang sangat rapuh tersebut merupakan salah satu faktor yang
mendorong terjadinya krisis. IMF sendiri sudah lama mengamati keterkaitan antara krisis
perbankan dengan krisis mata uang dan krisis ekonomi. Hasil penelitian IMF 4
menyimpulkan bahwa krisis mata uang yang diikuti/diawali dengan krisis perbankan
akan memberikan dampak yang sangat besar kepada perekonomian nasional. Hal ini dapat
dilihat dari waktu yang dibutuhkan untuk recovery rata-rata mencapai dua kali lebih panjang
dari currency crises, serta penurunan output sebesar 14,4 persen dari pertumbuhan normal
(apabila hanya mengalami currency crises, penurunan output rata-rata mencapai 4,3 persen).
4 IMF : World Economic Outlook- Prospects and Policy Issues, March 1998.
14 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Dari 12 indikator yang diusulkan oleh Kaminsky (12 indikator ini terbukti menunjukkan
kinerja yang baik sebagai indikator krisis mata uang), paper ini menggunakan 9 indikator.
Tiga indikator yang tidak digunakan adalah Excess M1 balance, terms of trade, dan Real
Interst Differential. Excess M1 balance dan terms of trade tidak digunakan karena kesulitan
data, sedang interest differential dikarenakan variabel ini sudah terwakili oleh real interest
rate. Indikator -indikator yang digunakan dalam paper ini adalah sebagai berikut.
REER merupakan salah satu variabel yang sering dipakai untuk menunjukkan daya
saing produk di pasar internasional. REER menunjukkan kondisi nilai tukar apakah
under valued atau overvalued. Pada REER diatas 100 berarti terjadi overvalued, yang
berarti memperlemah daya saing produk ekspor, dan dibawah 100 berarti nilai tukar
undervalued. Oleh karena itu, nilai REER yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi
memberikan efek yang tidak baik (batas atas dan batas bawah digunakan sebagai ambang
batas). Golfajn dan Valdes6 memperkirakan variabel ini bersifat ‘summary variable’
dan memiliki predictive power dalam memprediksi krisis.
2. Pertumbuhan ekspor
Kegiatan ekspor sangat penting bagi suatu negara dalam rangka mendapatkan
devisa. Penurunan laju pertumbuhan ekspor menyebabkan transaksi berjalan semakin
memburuk. Sebaliknya, laju pertumbuhan ekspor yang tinggi akan menghasilkan hard
currency yang dapat memperkuat cadangan devisa, namun mengakibatkan apresiasi
domestic currency, menambah uang beredar melalui NFA, dan mendorong inflasi. Dalam
kaitannya dengan krisis, pertumbuhan ekspor yang tinggi dapat mencegah terjadinya
krisis (batas atas tidak digunakan sebagai ambang batas).
5 Kaminsky, Graciela, Saul Lizondo and Carmen M. Reinhart, Leading Indicators of Currency Crises, IMF Working
Paper No. WP/97/79, 1997.
6 Goldfajn, Ilan, Valdes, Rodrigo O., Are Currency Crises Predictable ? , IMF Working Paper No. WP/97/159, IMF.
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 15
3. Harga Saham
4. M2/Reserve
5. Pertumbuhan Ekonomi
6. Pertumbuhan reserve
Cadangan devisa sangat vital bagi kelangsungan hidup negara, terutama untuk
keperluan impor, pembayaran utang, ataupun menghadapi serangan para spekulan.
Tanpa ditopang oleh cadangan devisa yang kuat, perekonomian suatu negara dapat
runtuh dalam seketika. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan cadangan devisa yang tinggi,
dalam kaitannya dengan krisis bersifat positip, sehingga batas atas tidak digunakan
sebagai ambang batas.
7. Multiplier M2
Multiplier M2 merupakan rasio antara uang beredar dalam arti luas (M2) dengan
uang primer yang ada di bank sentral. Angka multiplier M2 yang besar menunjukkan
bahwa kegiatan perekonomian berjalan dengan cepat karena uang primer yang keluar
dari bank sentral dengan cepat mengalami penggandaan (multiplier) oleh BPUG.
Sebaliknya, angka multiplier M2 yang kecil menunjukkan kegiatan perbankan sedang
mengalami kelesuan. Angka multiplier M2 yang terlalu tinggi perlu diwaspadai karena
16 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
ada kemungkinan sistem perbankan over ekspansif yang dapat menyebabkan kejatuhan
bank-bank dan mendorong timbulnya krisis. Jadi, batas atas dan batas bawah digunakan
sebagai ambang batas.
8. Kredit/GDP
Suku bunga riil sebaiknya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Suku bunga
riil yang terlalu tinggi menghambat kegiatan investasi dan mendorong capital inflows,
sedang suku bunga riil yang terlalu rendah tidak mendorong masyarakat untuk
menabung di bank.
Hasil Pengujian
Data yang digunakan adalah data triwulanan antara tahun 1990 - 1997, yang terbagi
menjadi ‘masa tenang’ (meliputi periode 1990 - 1994) dan ‘menjelang krisis’ (periode 1995 -
1996). Dengan menggunakan tiga standar deviasi, yang berarti tingkat kepercayaan signal
tersebut mencapai 99 %, ternyata diantara 8 negara tersebut, Singapore dan Philippines
mengeluarkan signal yang paling banyak pada saat menjelang krisis (1995-96), yaitu
sebanyak 23 kali, yang diikuti oleh Malaysia (12), Hongkong(12), dan Taiwan(12). Sedangkan
pada saat kondisi normal, paling banyak ada 1 atau 2 signal.
Dilihat dari indikator yang mengeluarkan signal, menjelang krisis ( 2 tahun sebelum
krisis terjadi), sebagian besar negara ASEAN-4 dan NIEs mengalami peningkatan
pertumbuhan kredit dan multiplier M2 secara tajam (Tabel 8). Hal ini mengindikasikan
bahwa terjadi gajala overheating pada negara-negara tersebut. Indikasi ini diperkuat oleh
harga saham yang juga melonjak tinggi, terutama di beberapa negara, seperti Philippines,
Singapore, dan Hongkong.
Tabel 7
JUMLAH SIGNAL YANG MUNCUL SELAMA 2 TAHUN
µ ± 2.σ µ ± 3.σ
NEG ARA M AS A M ENJELANG M AS A M ENJELANG
TENANG KRIS IS TENANG KRIS IS
Untuk Indonesia, apabila menggunakan batas kontrol sebesar 3 kali standar deviasi
(yang berarti tingkat kepercayaannya mencapai 99 %) maka baik selama masa tenang
maupun menjelang krisis tidak ada signal yang keluar. Namun dengan menggunakan 2
standar deviasi (tingkat kepercayaan 95 %) ternyata ada 10 signal yang dikeluarkan menjelang
krisis. Signal tersebut berasal dari lonjakan pemberian kredit, M2, dan REER. Hal ini
mengindikasikan bahwa selama menjelang krisis Indonesia mengalami ekspansi ekonomi
yang terlalu tinggi. Dibandingkan dengan selama masa tenang, jumlah signal yang
dikeluarkan menjelang krisis mencapai 5 kali lebih banyak.
Secara umum dapat dikatakan bahwa metode sistem deteksi dini yang dikembangkan
oleh Kaminsky kurang berhasil mendeteksi krisis di kawasan Asia. Jumlah signal yang
dikeluarkan oleh Singapore, Hongkong dan Taiwan ternyata lebih banyak dari Indonesia
dan Korea, yang berarti menurut sistem tersebut fundamental Indonesia dan Korea lebih
baik dari pada fundamental Singapore, Hongkong dan Taiwan.
18 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Tabel 8
JUMLAH SIGNAL YANG MUNCUL SELAMA 2 TAHUN
UNTUK INDONESIA
µ ±σ µ ± 2.σ µ ± 3.σ
INDIKATOR MASA MENJELANG MASA MENJELANG MASA MENJELANG
TENANG KRISIS TENANG KRISIS TENANG KRISIS
REER 2 4 0,4 1 0 0
D EKSPOR 1,6 2 0 0 0 0
IHSG 2,8 4 0 0 0 0
M2/RESERVE 3,2 8 0,4 2 0 0
D OUTPUT 3,2 1 0,4 0 0 0
D RESERVE 1,2 1 0,4 0 0 0
M2 MULTIPLIER 3,2 3 0 2 0 0
CREDIT/GDP 1,6 8 0,4 5 0 0
REAL INT. RATE 2 0 0 0 0 0
TOTAL 20,8 31 2 10 0 0
Tabel 9
JUMLAH SIGNAL YANG DIKELUARKAN
OLEH TIAP-TIAP INDIKATOR SELAMA 2 TAHUN *)
INDIKATOR MASA MENJELANG MASA MENJELANG MASA MENJELANG MASA MENJELANG MASA MENJELANG
TENANG KRISIS TENANG KRISIS TENANG KRISIS TENANG KRISIS TENANG KRISIS
REER 0 1 0 0 0 0 0 4 0 0
∆ EKSPOR 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
IHSG 0,4 0 0 0 0 1 0,4 3 0,8 1
M2/RESERVE 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
∆ OUTPUT 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
∆ RESERVE 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
M2 MULTIPLIER 0 0 0 0 0 5 1,2 8 0 1
CREDIT/GDP 0,4 7 0 0 0 6 0 8 0 0
REAL INT. RATE 0 0 0 0 0,4 0 0 0 0 1
7 Kaminsky mendapatkan indikator-indikator tersebut dari analisisnya terhadap 25 negara yang pernah mengalami
krisis selama 1970 - 1995. Meliputi 5 negara maju dan 15 negara berkembang. Selama periode tersebut terjadi 76
krisis mata uang dan 26 krisis perbankan.
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 19
policy maker dan pelaku pasar, sehingga mengakibatkan indikator-indikator tersebut akan
kehilangan daya prediksinya.
Gerlach dan Smets8 mengembangkan suatu model yang dapat menjelaskan mekanisme
efek penularan melalui hubungan perdagangan. Didalam modelnya, serangan terhadap
suatu mata uang menyebabkan mata uang tersebut terdepresiasi sehingga dapat
meningkatkan daya saing produknya. Peningkatan daya saing ini berarti penurunan ekspor
bagi negara-negara pesaingnya, sehingga dapat mengakibatkan negara pesaingnya
mengalami defisit transaksi berjalan, penurunan cadangan devisa secara bertahap, dan
pada akhirnya menghasilkan suatu serangan terhadap mata uangnya.
Disamping memberikan efek penularan pada negara pesaingnya, krisis mata uang
juga dapat memberikan efek penularan pada negara mitra dagangnya. Krisis yang melanda
suatu negara mengakibatkan depresiasi, sehingga harga barang ekspornya menjadi turun.
Bagi negara mitra dagangnya, hal ini berarti penurunan harga barang impor yang dapat
mendorong penurunan tingkat inflasi dan permintaan uang beredar. Untuk melindungi
mata uangnya, pelaku ekonomi pada negara mitra dagang dapat melakukan swap yang
mengakibatkan terkurasnya cadangan devisa yang dikuasai bank sentral. Dalam kondisi
cadangan devisa yang menurun, krisis mata uang dapat timbul karena cadangan devisa
tidak cukup kuat menyerap serangan spekulasi para pelaku pasar uang.
Jadi, serangan terhadap suatu mata uang dapat merangsang pelaku pasar internasional untuk
melakukan langkah yang sama. Demikian pula sebaliknya, reaksi yang diambil pelaku pasar
internasional dapat mendorong pelaku pasar lokal untuk melakukan langkah yang sama.
Berkaitan dengan krisis yang saat ini sedang melanda Asia, walaupun fundamental
ekonomi memegang peranan yang penting, sebagaimana tampak dari perbedaan
fundamental ekonomi negara yang terkena krisis dengan yang tidak terkena krisis, namun
efek penularan diduga ikut berperan sebagai pemicu terjadinya krisis. Hal ini dapat dilihat
dari tenggang waktu terjadinya serangan yang beruntun dalam waktu yang relatif sangat
singkat, berturut-turut dari Thailand, Philippines, Malaysia, Indonesia, dan terakhir Korea.
Sementara itu, serangan dari para pelaku pasar ini juga melanda negara-negara NIEs lainnya,
namun serangan ini relatif dapat diredam dengan baik.
Yi,t = 1 apabila terjadi serangan pelaku pasar pada negara i pada periode t.
= 0 apabila tidak.
Xi,t = Variabel yang mewakili Faktor Penularan, dengan nilai
X i,t = 1 apabila ada negara lain yang mendapat serangan pelaku pasar
pada periode t ( Yj,t =1,j≠ i)
X i,t = 0 apabila tidak.
Z i,t = Kondisi fundamental ekonomi negara i pada periode t.
ai = Koefisien yang menggambarkan besarnya kontribusi efek penularan terhadap
kemungkinan pelaku pasar melakukan serangan pada negara i.
bi = koefisien yang menggambarkan besarnya kontribusi faktor fundamental terhadap
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 21
Sesuai dengan hasil penelitian kaminsky dkk, ternyata setiap variabel ekonomi
(indikator) mempunyai performance yang tidak sama dalam mendeteksi signal
kemungkinan terjadi krisis dikemudian hari. Oleh karena itu, dalam paper ini setiap
variabel diberikan bobot tersendiri. Semakin besar bobotnya berarti semakin besar
pengaruhnya dalam menimbulkan krisis. Bobot setiap variabel diperoleh dari Vector
Auto Regression (VAR) dengan mengukur varian dekomposisi nilai tukar terhadap varian
setiap variabel tersebut dalam jangka panjang.
Variabel ekonomi yang digunakan dalam model ini berikut satuan yang dipakai
dan bobotnya adalah sebagai berikut :
22 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Setiap indikator dibagi menjadi 4 tingkatan berdasarkan kriteria tertentu. Untuk setiap
tingkatan diberikan angka kredit. Semakin besar angka kredit berarti semakin baik kondisi
indikator tersebut. Besarnya angka kredit dan kriteria yang digunakan untuk membagi
indikator adalah sebagai berikut.
1 kuat 4
2 sedang 3
3 beresiko 2
4 lemah 1
PREDIKAT
NO INDIKATOR kuat sedang beresiko lemah
H asil Pengujian
Dengan menggunakan data triwulanan selama 1995:1 - 1997:3, kondisi fundamental
ekonomi negara-negara ASEAN-4 dan NIEs dapat diwakili oleh angka kuantitatif tunggal
sebagai berikut:
Tabel 10
HASIL PERHITUNGAN KEKUATAN FUNDAMENTAL EKONOMI
ASEAN-4 DAN NIEs
Periode Malaysia Indonesia Philippines Thailand Korea Singapore Taiwan Hongkong JEPANG
96,1 238,6 220,7 174,3 198,6 247,3 321,3 353,8 309,0 360,0
96,2 246,1 207,7 209,0 282,3 282,0 310,8 334,7 319,4 360,0
96,3 275,8 219,4 234,6 247,6 282,9 356,0 353,8 348,9 368,7
96,4 275,0 216,6 256,7 282,3 247,3 321,3 313,9 343,7 368,7
97,1 209,5 231,1 164,3 212,9 271,2 321,3 305,2 284,7 368,7
97,2 270,3 279,9 167,8 294,4 268,9 352,5 343,4 303,8 288,9
97,3 270,3 265,8 174,2 294,8 258,4 345,5 353,8 319,4 368,7
97,4 272,4 301,7 157,0 283,1 280,8 321,3 353,8 319,4 334,0
RATA-RATA 257,3 242,9 192,2 262,0 267,4 331,3 339,1 318,5 352,2
Hasil diatas menunjukkan bahwa kondisi fundamental ekonomi dan faktor contagion
secara signifikan memberikan kontribusi terhadap serangan para spekulan. Koefisien
fundamental yang negatif menyatakan bahwa semakin kuat kondisi fundamental ekonomi
suatu negara, semakin kecil kemungkinan spekulan melakukan serangan. Koefisien faktor
contagion yang positip menyatakan bahwa adanya krisis di suatu negara mendorong
spekulan melakukan serangan pada negara lain. Kesimpulan ini sesuai dengan data pada
Tabel 10. Sejak awal 1996 sebenarnya kondisi fundamental negara-negara yang terkena
24 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
krisis tidak lebih baik dari periode 1997:3. Tapi pada saat itu tidak terjadi serangan apapun.
Serangan para spekulan ke negara-negara yang terkena krisis justru terjadi pada periode
1997:3 setelah kejatuhan Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa adanya krisis di suatu
negara (faktor contagion) menjadi trigger (faktor pemicu) bagi serangan para pelaku pasar uang.
Analisa Sensitifitas
Untuk memperkuat hasil perhitungan diatas, perlu dilakukan uji sensitifitas dengan
mengubah kriteria penggolongan indikator fundamental ekonomi serta mengubah angka
kredit untuk masing-masing klasifikasi sebagai berikut :
Pertumbuhan REER negatif, 5%, 10% negatif, 7%, 15% negatif, 3%, 5%
KUAT 4 5 8
SEDANG 3 3 6
BERESIKO 2 1 4
LEMAH 1 0 2
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 25
Hasil diatas menunjukkan bahwa faktor fundamental dan faktor contagion secara
signifikan mempengaruhi keputusan pelaku pasar untuk melakukan serangan atau tidak.
Dengan mengubah kriteria penggolongan ‘tingkat kesehatan’ faktor fundamental ekonomi
menghasilkan faktor contagion yang robust . Demikian pula, dengan mengubah angka kredit
untuk masing-masing predikat ternyata juga menghasilkan faktor contagion yang robust.
• Kondisi diatas, semakin diperburuk oleh sistem perbankan yang tidak sehat. Adanya campur
tangan pemerintah dalam pemberian kredit, pemberian kredit pada kelompok, pertumbuhan
kredit dan M2 yang terlalu tinggi, serta pertumbuhan foreign liabilities yang sangat tinggi.
• Adanya perbedaan fundamental ekonomi antara negara yang terkena krisis dengan
yang tidak terkena krisis ternyata gagal dideteksi dengan baik oleh Sistem deteksi Dini
yang dikembangkan oleh Kaminsky. Menurut hasil pengujian dengan metoda tersebut
mengatakan kondisi fundamental ekonomi Indonesia jauh lebih baik dari Singapore,
Hongkong, dan Taiwan.
26 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Implikasi Kebijakan
• Dalam jangka pendek, Indonesia masih akan mengalami defisit transaksi berjalan akibat
lemahnya daya saing produk, beban pembayaran utang yang terus membengkak, dan
kebutuhan impor yang tinggi. Untuk memperbaiki defisit tersebut, perlu segera dilakukan
reformasi ekonomi melalui langkah-langkah sebagai berikut:
◊ Merubah pola pikir dan menumbuhkan komitmen dari semua pihak untuk bertekad
meningkatkan ekspor.
◊ Memperbaiki iklim investasi dengan memberikan insentif kepada PMA yang
menguasai teknologi tinggi dan mampu menghasilkan produk-produk ekspor yang
berdaya saing tinggi.
◊ Menghilangkan semua distorsi pasar dalam negeri untuk menghilangkan ekonomi
biaya tinggi dan meningkatkan daya saing.
• Mengingat defisit masih akan terus berlangsung, berarti Indonesia masih membutuhkan
capital inflows. Untuk itu, pemerintah perlu mengambil kebijakan-kebijakan baru dengan
memberikan insentif kepada dana-dana jangka panjang. Disamping itu, pasar keuangan
dalam negeri perlu ditingkatkan kesehatannya melalui perbaikan struktur, kelembagaan,
aspek hukum dan peraturan, serta infrastruktur.
• Krisis yang saat ini terjadi di Indonesia sebagian juga disebabkan oleh sistem perbankan
yang tidak sehat. Bank Indonesia perlu mengambil langkah-langkah baru untuk
memperkuat sistem perbankan sesuai dengan standar internasional.
• Negara-negara di kawasan Asia perlu melakukan kerja sama yang lebih erat, terutama
dalam melakukan regional surveillance. Dengan kerja sama ini diharapkan krisis dapat
dicegah sejauh mungkin, sehingga menghindari terjadinya contagion effect yang dengan
cepat dapat menyebar di seluruh kawasan.
Daftar Pustaka
Goldfajn, Ilan; valdes, Rodrigo, Capital Flows and the Twin Crises : The Role of Liquidity,
IMF Working Paper No. WP/97/87, July 1997.
Kaminsky, G.L., and C.M. Reinhart, The Twin Crises : The Causes of Banking and Balance
of Payments Problems, International Finance Discussion paper, 1996
Goldfajn, Ilan, Valdes, Rodrigo O., Are Currency Crises Predictable ?, IMF Working
Paper No. WP/97/159, IMF.
MAS, Current Account Deficits in the ASEAN-3. Is there cause for concern ?, Occasional
Paper No. 1, January 1997.
Sumber Data
IMF, International Financial Statistics, Yearbook dan Monthly.
Bloomberg.
Doddy Zulverdi *)
Krisis nilai tukar yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah berkembang menjadi
krisis ekonomi akibat kerapuhan di sisi ekonomi mikro dan ketidaktepatan kombinasi kebijakan ekonomi makro.
Permasalahan yang dihadapi dalam pemilihan strategi kebijakan ekonomi makro adalah adanya konflik (trade-
off) antarkebijakan akibat sifat krisis yang multidimensional.
Kebijakan moneter sebagai salah satu elemen kebijakan ekonomi juga tidak terlepas dari kesulitan
yang sama, yaitu dalam mengakomodasi berbagai sasaran kebijakan secara serentak. Kesulitan tersebut telah
berlangsung sejak periode sebelum krisis dan berdampak negatif terhadap kondisi fundamental ekonomi makro
yang berdasarkan hasil pengamatan ternyata tidaklah sekuat yang diyakini semula.
Kesulitan yang dihadapi oleh otoritas baik dalam memilih maupun mengimplementasikan strategi
kebijakan moneter juga dialami oleh berbagai negara yang pernah mengalami krisis serupa. Tidak ada satu
strategi pun yang cocok diterapkan di semua situasi dan di semua negara. Pemilihan strategi yang tepat
ditentukan oleh jenis tekanan eksternal yang dihadapi, karakteristik struktur ekonomi, dan prioritas sasaran
akhir yang dipilih. Berdasarkan kriteria tersebut dan mengingat masih rapuhnya sistem perbankan sebagai
suatu jalur transmisi kebijakan moneter terpenting serta masih sangat rentannya perekonomian Indonesia
terhadap tekanan-tekanan eksternal, maka penerapan strategi jangkar inflasi di dalam suatu sistem nilai tukar
yang agak fleksibel kiranya layak untuk dipertimbangkan secara mendalam.
Tulisan ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama menjelaskan latar belakang pentingnya
memilih strategi kebijakan moneter (termasuk kebijakan nilai tukar) yang tepat untuk membawa Indonesia
keluar dari krisis ekonomi. Dalam bagian kedua diulas beberapa alternatif strategi kebijakan ekonomi-moneter
dari sisi teori. Selanjutnya, bagian ketiga membahas faktor-faktor yang memicu dan memperdalam krisis di
Indonesia dan kebijakan yang telah diambil termasuk konflik yang dihadapi dalam penerapan strategi kebijakan
moneter. Di bagian keempat, dengan mengacu kepada konsep teori dan pengalaman negara-negara lain serta
pengalaman Indonesia sendiri, diajukan beberapa alternatif strategi kebijakan moneter yang dapat diterapkan
di Indonesia. Bagian kelima mengemukakan beberapa kesimpulan umum berikut rekomendasi kebijakan yang
ditawarkan.
*) Doddy Zulverdi : Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan, UREM, BI
Penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada Erwin Haryono dan Wahyu Agung Nugroho, keduanya adalah
Asisten Peneliti Ekonomi di Bagian APK, UREM-BI, atas bantuan riset yang diberikan dalam penyusunan tulisan ini.
38 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Pendahuluan
Sebagai salah satu instrumen kebijakan ekonomi makro, kebijakan moneter memiliki
peran yang sangat penting dalam penyelesaian krisis ekonomi yang sedang terjadi di
Indonesia. Apalagi mengingat bahwa krisis ini telah berkembang menjadi fenomena yang
dikenal sebagai financial distress, yaitu proses demonetisasi berupa penurunan permintaan
akan likuiditas perekonomian (M2) sebagai akibat meningkatnya permintaan akan uang
kartal. Apabila dibiarkan terus berlanjut, proses ini akan menimbulkan dampak negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pemicu terjadinya fenomena flight to
currency yang begitu tiba-tiba adalah ketidakpastian nilai tukar rupiah (McNelis, 1988).
Oleh karena itu, upaya pemulihan ekonomi sangat tergantung kepada ketepatan strategi
kebijakan moneter yang diambil, khususnya dalam rangka mengembalikan kepastian nilai
tukar.
antara berbagai kebijakan yang tersedia. Oleh karena itu, bagian ini akan diawali dengan
tinjauan singkat mengenai berbagai pilihan kebijakan yang terdapat di dalam paket tersebut.
Selanjutnya, secara khusus akan dibahas peranan kebijakan moneter di dalam penyelesaian
krisis disertai dengan alternatif strategi kebijakan moneter yang tersedia.
• Seandainya pilihan jatuh kepada kebijakan adjustment, seberapa besar bobot penyesuaian
perlu dibebankan masing-masing kepada strategi pengurangan pengeluaran (expenditure
reducing policy) dan strategi pengalihan pengeluaran (expenditure switching policy)
.
• Akhirnya, alternatif mana yang akan dipilih di antara dua pilihan strategi kebijakan
pengalihan pengeluaran, yaitu antara kebijakan devaluasi dan kebijakan perdagangan.
Kebijakan financing akan diambil apabila tekanan-tekanan yang terjadi diyakini hanya
bersifat temporer dan dapat diatasi dengan menggunakan dana luar negeri dalam jumlah
yang minimal. Sebaliknya, apabila tekanan-tekanan tersebut lebih bersifat jangka panjang
maka harus dilakukan kebijakan adjustment. Namun, terdapat beberapa kondisi yang
seringkali mendorong otoritas untuk menerapkan kedua kebijakan secara bersama-sama,
yaitu:
• Dampak dari kebijakan penyesuaian biasanya baru dirasakan secara efektif setelah
periode yang relatif panjang. Oleh karena itu, penggunaan sumber dana luar negeri
40 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
seringkali diperlukan untuk mengurangi dampak negatif jangka pendek dari krisis yang
terjadi sambil menunggu hasil dari kebijakan penyesuaian.
• Negara yang mengalami krisis seringkali mengalami kesulitan untuk memperoleh dana
luar negeri, terutama dari pihak swasta, dalam jumlah yang memadai karena adanya
krisis kepercayaan. Oleh karena itu, otoritas tidak dapat semata-mata menggantungkan
diri kepada kebijakan financing.
• Membatasi hutang sektor swasta melalui pembatasan pemberian kredit oleh sistem
perbankan (kebijakan ini berada di dalam ruang lingkup kebijakan moneter).
minimal dalam jangka pendek, negara-negara tersebut mengalami fenomena stagflasi, yaitu
tingginya laju inflasi yang diiringi oleh resesi ekonomi.
William Poole (1970) mengidentifikasi tiga alternatif strategi kebijakan moneter, yaitu:
strategi jangkar uang beredar (money stock targeting), strategi jangkar suku bunga (interest
rate targeting), dan strategi kombinasi sistematis antara sasaran volume uang beredar dan
tingkat suku bunga. Ketiga strategi tersebut lebih relevan diterapkan di dalam suatu
perekonomian tertutup (derajat mobilitas modal rendah) atau di dalam suatu perekonomian
terbuka yang menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang karena hanya di dalam kedua
bentuk perekonomian tersebut otoritas moneter memiliki independensi penuh dalam
mengendalikan jumlah uang beredar dan/atau suku bunga domestik.
kurva LM maka yang lebih tepat adalah strategi jangkar suku bunga karena perubahan
uang beredar atau neraca pembayaran akan meredam tekanan-tekanan tersebut dan
meminimalkan dampak negatifnya terhadap stabilitas harga atau produksi.
Grafik 1 Grafik 2
r r
IS2 L M1
L M1
L M2
IS1
r* L M2 r* L M3
IS
Y Y
Y0 Y1 Yf Y2 Y3 Y1 Yf Y2
3 Poole (1970, hal. 200) mengasumsikan tingkat harga konstan sehingga strategi kebijakan yang diambil diarahkan untuk
mencapai sasaran stabilitas produksi pada tingkat full employment. Secara implisit, hal ini juga berarti bahwa sasaran
yang dituju adalah stabilitas harga karena dengan mengupayakan perekonomian selalu berproduksi pada tingkat full
employment berarti mengurangi tekanan perubahan harga-harga.
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 43
produksi/pendapatan full employment). Dengan demikian, strategi yang lebih tepat adalah
strategi jangkar suku bunga.
Sebagaimana terlihat pada Grafik 1, strategi jangkar uang beredar dapat dibuat lebih
optimal dengan mengubah elastisitas kurva LM terhadap perubahan suku bunga.
Perubahan elastisitas tersebut dapat dilakukan dengan membuat suplai uang beredar sensitif
terhadap suku bunga. Secara sederhana, hal ini dapat diilustrasikan oleh sistem persamaan
deterministik berikut.
⇔ b1 + b2.
r = a0 + a1.Y + a2.
r
⇔ a1.Y = b1 -a0 + (b2 -a2).r
⇔ Y = (b1 -a0)/ a1 + (b2 -a2)/ a1.
r
Persamaan yang terakhir adalah kurva LM dengan suplai uang sensitif terhadap
suku bunga. Koefisien variabel r, yaitu (b2 -a2)/a1, adalah elastisitas kurva LM terhadap
suku bunga. Elastisitas tersebut tergantung kepada elastisitas permintaan uang terhadap
suku bunga (a2), elastisitas suplai uang terhadap suku bunga (b2), dan suatu konstanta (a1.
)
Karena elastisitas permintaan uang terhadap suku bunga (a2) tidak berada dalam kendali
otoritas moneter maka upaya mengubah elastisitas kurva LM hanya dapat dilakukan dengan
mengubah elastisitas suplai uang terhadap suku bunga (b 2). Dengan perkataan lain,
kebijakan moneter yang lebih optimal dapat diperoleh dengan menerapkan strategi di
mana sasaran jumlah uang beredar dan sasaran suku bunga ditetapkan berdasarkan
suatu hubungan tertentu (dalam hal ini, hubungan tersebut dikuantifikasi dalam bentuk
koefisien b2.
)
Di samping ketiga alternatif strategi di atas, terdapat dua pilihan strategi lain, yaitu
strategi jangkar nilai tukar dan jangkar laju inflasi (inflation targeting) (Houben, 1997).
Sebagaimana halnya strategi jangkar suku bunga, strategi jangkar nilai tukar lebih cocok
diterapkan pada perekonomian yang mengalami tekanan-tekanan moneter khususnya
44 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
dalam bentuk fluktuasi permintaan uang. Dalam hal ini, tekanan-tekanan tersebut akan
diredam oleh penyesuaian yang terjadi pada neraca pembayaran sehingga dampak
negatifnya terhadap stabilitas harga dan produksi dapat diminimalkan.
Alternatif strategi jangkar laju inflasi terutama tepat untuk diterapkan di dalam
perekonomian yang mengalami tekanan-tekanan besar baik moneter maupun riil pada
saat bersamaan. Keunggulan utama strategi ini terletak pada kemampuannya untuk secara
langsung mempengaruhi ekspektasi inflasi dan pada saat yang sama tetap memberikan
keleluasaan kepada otoritas dalam menyusun respons yang tepat terhadap berbagai tekanan
yang melanda perekonomian.
Berikut ini adalah gambaran beberapa indikator moneter dan keuangan yang
mengindikasikan adanya peningkatan tekanan bubble economy dan masalah perbankan
terutama sejak tahun 1996 (lihat Panel 1):
• Pertumbuhan tahunan multiplier M2 kembali meningkat sejak awal tahun 1996 dan
terus menunjukkan pertumbuhan positif hingga awal tahun 1997 setelah mengalami
perlambatan secara tajam sejak tahun 1990. Pertumbuhan positif multiplier M2 telah
meningkatkan kemampuan perbankan dalam menciptakan uang.
• Rasio kredit terhadap PDB yang terus bergerak naik sejak akhir 1994, menunjukkan
kenaikan yang semakin cepat sejak akhir 1996.
• Rasio suku bunga kredit terhadap deposito (terutama deposito 1 bulan) cenderung
meningkat sejak pertengahan 1995 hingga pertengahan 1997. Hal ini kemungkinan
mencerminkan penurunan kualitas kredit perbankan. Dalam situasi ini, perbankan
akan terpaksa menaikkan suku bunga kredit melebihi kenaikan suku bunga simpanan
untuk menutupi kerugian atau potensi kerugian yang berasal dari kredit macet.
• Sejak pertengahan tahun 1996 terjadi “excess supply” M1 riil. Kondisi ini dapat
disebabkan oleh penciptaan uang yang berlebihan akibat ekspansi perbankan yang
tidak berhati-hati atau dapat pula disebabkan oleh lebih rendahya permintaan riil
daripada suplai akibat meningkatnya ekspektasi inflasi dan depresiasi.
46
0
5
-5
10
15
20
25
30
35
-10
%
0
20
40
60
80
100
120
-60
-40
-20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
Jan-90
Jun-93 Apr-90
J an-90
Jul-90
J un-90
Sep-93 Okt-90
Jan-91
Nov -90 Dec-93
Apr-91
A pr-91 Mar-94 Jul-91
Okt-91
S ep-91 Jun-94 Jan-92
Sep-94 Apr-92
Feb-92
Jul-92
J ul-92 Dec-94 Okt-92
Jan-93
Catat an: Forex depos it s dalam Rupiah dengan nilai tukar k onstan.
J un-95
Jul-95
Sep-96 Okt-95
Nov -95 Jan-96
Dec-96
Apr-96
total deposits
A pr-96
rupiah deposits
Mar-97 Jul-96
S ep-96 Okt-96
KMK/dep1
Jun-97 Jan-97
KMK/dep12
Feb-97 Apr-97
Sep-97 Jul-97
J ul-97
Dec-97 Okt-97
Des -97 Jan-98
Mar-98 Apr-98
0
5
-20
-5
Feb-91
10
15
20
-15
-10
10
20
30
-60
-50
-40
-30
-20
-10
0
Panel 1
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
9.0
A pr-91 Dec-93
J un-91 J an-91
A ug-91
Feb- 94
Excess
Oc t-91 M ay-91 Apr-94
Dec -91
Feb-92 S ep-91 Jun-94
A pr-92
J un-92 J an-92
Aug-94
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
A ug-92 Oct-94
Oc t-92 M ay-92
Dec -92 Dec-94
Feb-93 S ep-92 Feb- 95
A pr-93
J un-93 J an-93 Apr-95
A ug-93
Oc t-93 M ay-93
Jun-95
Dec -93 Aug-95
Feb-94 S ep-93
A pr-94 Oct-95
J un-94 J an-94
A ug-94
Dec-95
Oc t-94 M ay-94 Feb- 96
Dec -94
Feb-95 S ep-94
Apr-96
A pr-95
J un-95 Jun-96
J an-95
A ug-95 Aug-96
Oc t-95
M ay-95 Oct-96
Dec -95
Feb-96 Dec-96
S ep-95
A pr-96
J un-96 Feb- 97
A ug-96 J an-96
Oc t-96 Apr-97
Dec -96 M ay-96
Jun-97
Suku Bunga Deposito Riil (%)
Feb-97
S ep-96
rdep1
A pr-97 Aug-97
rdep12
J un-97
A ug-97 J an-97 Oct-97
Oc t-97 Dec-97
Fitted
Actual
Dec -97 M ay-97
Excess
Feb-98 Feb- 98
Rasio kr edit ter hadap PDB Nominal (MA 6)
A pr-98 S ep-97
J un-98
Apr-98
J an-98 Jun-98
0
M ay-98
100
200
300
400
500
600
700
Actual & Fitted
Excess M1 Riil: Selisi h Antara Aktual dengan Estimasi Permintaan M1 Rii
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 47
• Meskipun nilai tukar riil mengalami apresiasi dan overvalued, pertumbuhan impor
nonmigas justru cenderung menurun sejak akhir tahun 1995. Sebagaimana akan
dijelaskan berikut ini, melambatnya pertumbuhan impor nonmigas diperkirakan terkait
dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Berikut ini adalah gambaran beberapa indikator sektor riil dalam periode sebelum
dan selama krisis (lihat Panel 2):
• Setelah sempat mengalami lonjakan cukup tinggi dalam tahun 1994, pertumbuhan
ekonomi menunjukkan trend menurun sejak pertengahan 1995. Selanjutnya, sejak
triwulan terakhir 1997 pertumbuhan ekonomi menurun sangat tajam.
• Agak sulit untuk memperoleh gambaran konklusif dari perkembangan indeks harga
saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta. Dilihat dari trend jangka panjang, IHSG
menunjukkan pertumbuhan yang cenderung menurun sejak awal tahun 1990. Namun,
perkembangan sejak awal 1996 hingga terjadinya krisis rupiah pada bulan Juli-Agustus
1997 memperlihatkan pertumbuhan yang cenderung meningkat. Kecenderungan
peningkatan harga saham di tengah kecenderungan melambatnya pertumbuhan ekonomi
menunjukkan kuatnya tekanan spekulatif selama periode sebelum krisis.
%
10
20
30
40
50
60
%
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-10
Sep-85
0%
50%
100%
150%
200%
250%
-50%
Dec-84 Jan-86
Jan-88
Jun-85 May-86
Deviasi
Jun-88 Sep-86
Dec-85 Jan-87
Nov-88
Jun-86 May-87
Apr- 89 Sep-87
Dec-86 Sep-89 Jan-88
Jun-87 May-88
Feb- 90
Dec-87 Sep-88
Jul-90 Jan-89
Jun-88 Dec-90 Mey-89
Dec-88 May-91 Sep-89
Jun-89 Jan-90
Oct- 91 May-90
Dec-89 Mar- 92 Sep-90
Jun-90 Aug-92 Jan-91
May-91
Dec-90 Jan-93 Sep-91
Jun-91 Jun-93 Jan-92
Fit ted
Actual
May-92
Deviasi
Dec-91 Nov-93
Sep-92
Jun-92 Apr- 94 Jan-93
Dec-92 Sep-94 May-93
Sep-93
Jun-93 Feb- 95
Jan-94
Dec-93 Jul-95 May-94
Jun-94 Dec-95 Sep-94
Jan-95
Dec-94 May-96 May-95
Jun-95 Oct- 96 Sep-95
0
Dec-97 Jan-98
2000
4000
6000
8000
May-98
10000
12000
14000
16000
Jun-98
Actual & Fitted
%
0
%
10
20
30
40
50
0
95
50
250
-30
-20
-10
100
150
200
100
105
110
115
120
125
-50
Mar- 85 Sep-85 Jan-88
Panel 2
Jan-86 Apr- 88
Sep-85 May-86 Jul-88
Mar- 86 Sep-86 Okt- 88
Jan-87 Jan-89
Sep-86
May-87 Apr- 89
Mar- 87 Sep-87 Jul-89
Sep-87 Jan-88 Okt- 89
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
May-88 Jan-90
Mar- 88 Sep-88 Apr- 90
Sep-88 Jan-89 Jul-90
Mey-89 Okt- 90
Mar- 89 Sep-89 Jan-91
Sep-89 Jan-90 Apr- 91
Mar- 90 May-90 Jul-91
Sep-90 Okt- 91
Sep-90 Jan-91 Jan-92
Mar- 91 May-91 Apr- 92
Sep-91 Jul-92
Sep-91 Jan-92 Okt- 92
Mar- 92 May-92 Jan-93
Sep-92 Sep-92 Apr- 93
Jan-93 Jul-93
Mar- 93 May-93 Okt- 93
Sep-93 Sep-93 Jan-94
Jan-94 Apr- 94
Mar- 94 May-94 Jul-94
Sep-94 Sep-94 Okt- 94
Jan-95 Jan-95
Mar- 95
May-95 Apr- 95
Sep-95 Sep-95 Jul-95
Mar- 96 Jan-96 Okt- 95
May-96 Jan-96
Sep-96 Sep-96 Apr- 96
Mar- 97 Jan-97 Jul-96
Perubahan 12 Bulanan Nilai Impor (MA 12)
May-97 Okt- 96
Perubahan 12 Bulanan Indeks Pasar Modal (MA 12)
Kebijakan Pra-Krisis
Otoritas moneter sudah lama menyadari resiko yang terkandung di dalam arus
modal masuk yang terlampau deras, terutama yang berjangka pendek, terhadap
perekonomian Indonesia. Upaya-upaya untuk menghambat derasnya arus modal jangka
pendek telah banyak dilakukan, seperti: melebarkan rentang intervensi nilai tukar,
menaikkan giro wajib minimum, dan membatasi ekspansi kredit perbankan ke sektor
properti. Namun, upaya-upaya tersebut tampaknya tidak memberikan hasil yang memadai.
Bahkan, sebagaimana tercermin pada berbagai indikator di atas, pasar seolah-olah
mengesampingkan gejala melemahnya kondisi fundamental ekonomi makro serta
mengabaikan peringatan yang terkandung di dalam berbagai kebijakan pemerintah.
A. Sentimen positif terhadap prospek emerging markets, termasuk Indonesia, selama periode
pra-krisis masih terlalu kuat dibandingkan dengan intensitas kebijakan yang diarahkan
untuk membendung derasnya arus masuk modal. Kebijakan yang diterapkan dengan
“dosis” yang tidak tepat justru dapat menimbulkan efek negatif. Hal ini diperlihatkan
oleh ketidakberhasilan kebijakan pelebaran rentang intervensi dalam meredam arus
masuk modal spekulatif. Dalam kondisi masih kuatnya sentimen positif terhadap
ekonomi Indonesia, pelebaran rentang intervensi justru memberikan ruang gerak bagi
penguatan (apresiasi) nilai rupiah (lihat grafik Perkembangan Rentang Intervensi dan
Nilai Tukar Rp/US$).4 Apresiasi nilai tukar riil secara perlahan-lahan menggerogoti
daya saing perekonomian domestik sehingga memperlemah kondisi fundamental
ekonomi makro. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa penggunaan satu instrumen
kebijakan (dalam hal ini kebijakan nilai tukar) untuk mencapai lebih dari satu sasaran
(yaitu mempertahankan daya saing produk dalam negeri sekaligus menghambat arus
modal spekulatif) dapat berakhir pada kegagalan dalam mencapai semua sasaran.
B. Kebijakan yang diarahkan untuk meredam tekanan spekulatif ketika sentimen pasar
sudah berbalik arah menjadi negatif justru telah semakin memperparah sentimen negatif
tersebut. Kebijakan pelebaran rentang intervensi terakhir tanggal 11 Juli 1997 yang
dilakukan sebagai respons terhadap krisis nilai tukar di Thailand diperkirakan telah
memberikan sinyal kepada para spekulan akan ketidaksiapan/ketidaksediaan otoritas
moneter dalam mempertahankan kebijakan nilai tukarnya. Kondisi ini telah semakin
4. Grafik tersebut memperlihatkan bahwa nilai tukar yang terjadi di pasar cenderung menempel pada batas bawah rentang
intervensi (kecuali sejak pelebaran rentang intervensi terakhir tgl. 11 Juli 1997). Hal ini mencerminkan kuatnya tekanan
apresiasi akibat derasnya arus masuk modal.
50 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
2910
Kebj. Nilai tukar Free floating
14 Agustus '97
2810
2610
Pelebaran spread
Rp 66--- Rp 118
13 Juni '96
2510
2410
2310
2210
15 28 9 18 29 7 16 1 12 22 2 12 23 2 13 23 3 12 21 2 11 22 31 9 20 29 9 18 27 8 17 28 6 15 26 5 16 26 8 17 28 6 19 28 11 20 2 14 24 5 15 27 5 16 25 4 15 25 5 14 25
Kebijakan moneter adalah salah satu bagian dari paket kebijakan ekonomi yang
diambil dalam rangka menyelesaikan krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Paket
kebijakan ekonomi yang diterapkan di Indonesia secara garis besar tidak berbeda dengan
yang diterapkan oleh negara-negara lain yang memperoleh bantuan IMF.5 IMF menawarkan
satu paket kebijakan yang mereka sebut langkah-langkah yang bersifat segera (immediate
efforts) dalam rangka mengembalikan kepercayaan. Langkah-langkah tersebut mencakup:6
• Penerapan kebijakan moneter ketat yang bersifat sementara untuk meredam tekanan
terhadap neraca pembayaran.
Secara singkat, penyebab terjadinya krisis kembar dapat dijelaskan sebagai berikut.8
• Intervensi valas yang dilakukan oleh otoritas moneter di awal krisis untuk meredam
tekanan depresiasi nilai rupiah telah menyedot likuiditas perbankan. Hal ini dapat
mengarah kepada credit crunch dan selanjutnya krisis perbankan apabila tidak dilakukan
kebijakan sterilisasi.Karena depresiasi nilai rupiah secara tajam akhirnya tidak dapat
dihindari, bank-bank yang memiliki kewajiban valas dalam jumlah besar harus
menanggung kerugian besar. Kondisi ini diperburuk lagi dengan meningkatnya kredit
macet akibat kesulitan yang dihadapi oleh para debitur dalam membayar kewajibannya
yang semakin besar seiring dengan tingginya suku bunga.
• Penekanan pada penyelesaian bank bermasalah (khususnya dalam bentuk likuidasi bank-
bank) sementara kepercayaan masyarakat kepada rupiah dan perbankan nasional sedang
berada pada titik terendah telah menimbulkan fenomena flight to currency. Fenomena ini
telah memaksa otoritas moneter untuk mengeluarkan bantuan likuiditas (BLBI) dalam
jumlah besar kepada bank-bank sehingga sangat mengurangi efektivitas kebijakan
moneter.
• Di samping kedua alasan di atas, terjadinya krisis perbankan maupun neraca pembayaran
secara bersamaan dapat pula disebabkan oleh dampak negatif dari liberalisasi keuangan.
Dalam hal ini, liberalisasi sektor keuangan telah mendorong timbulnya bubble economy
dan ekspansi kredit yang tidak hati-hati di kalangan perbankan. Distorsi ekonomi mikro
— seperti jaminan pemerintah secara implisit atas simpanan masyarakat tanpa disertai
pengawasan bank yang ketat — yang menimbulkan lonjakan kredit perbankan, pada
akhirnya akan berakhir pada kejatuhan sistem perbankan.
Beberapa masalah lain dari sisi kebijakan moneter yang diduga telah memperlambat
proses pemulihan kondisi ekonomi di Indonesia adalah:
6000 30
2000 10
0 0
1997
1998
Marh
Feb
31
20
11
22
22
12
23
13
24
15
24
Aug
22
11
22
13
22
31
21
10
21
30
Jan
Jun
Jul
Apr
Sept
Dec
Oct
May
Nov
22
Jun
11
11
1
2
2
13
2
3
2
1
4
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 53
B. Kebijakan yang terlalu responsif terhadap perubahan sentimen pasar diduga telah
semakin mendorong tekanan spekulatif. Untuk menstabilkan gejolak nilai tukar dan
mengarahkannya ke tingkat yang terjangkau oleh perekonomian nasional, otoritas
moneter telah beberapa kali menaikkan tingkat suku bunga SBI. Namun, karena
kenaikan-kenaikan suku bunga tersebut pada umumnya diawali atau dipicu oleh
tekanan-tekanan depresiatif terhadap rupiah maka timbul kesan bahwa otoritas moneter
sangat responsif terhadap tekanan depresiasi (lihat grafik Perkembangan Kurs dan Suku
Bunga SBI). Hal ini diduga telah mendorong para spekulan untuk melontarkan rumor
atau sentimen negatif di pasar valas yang seringkali tidak bersifat fundamental dengan
harapan otoritas moneter akan menanggapinya dalam bentuk intervensi pasar atau
kenaikan suku bunga lebih lanjut.
C. Kombinasi kebijakan fiskal dan moneter ketat di awal krisis telah memperburuk
ekspektasi pasar akan prospek ekonomi dan nilai tukar. Meskipun kebijakan fiskal ketat
telah dikoreksi oleh pemerintah dan IMF, namun kebijakan tersebut telah sempat
memperlemah nilai tukar rupiah ke level yang cukup sulit untuk diturunkan kembali.
D. Penetapan sasaran (indikatif) nilai tukar telah memberikan kesan bahwa otoritas tidak
sepenuhnya committed pada sistem nilai tukar mengambang yang diberlakukan sejak 14
Agustus 1997. Apalagi sasaran indikatif tersebut telah beberapa kali direvisi ke atas (depresiasi)
sehingga semakin memperkuat ekspektasi depresiasi sekaligus ekspektasi inflasi di pasar.
Kondisi ini diduga telah mendorong semakin kerasnya tekanan-tekanan spekulatif terhadap
rupiah sehingga mempersulit upaya memperkuat nilai tukar rupiah dan meredam laju inflasi.
Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari uraian di atas, yaitu:
• Sulit menemukan suatu kombinasi kebijakan yang tepat untuk mengakomodasi berbagai
sasaran secara bersamaan. Dalam hal ini, strategi yang lebih tepat tampaknya adalah
dengan memberikan prioritas utama pada suatu sasaran akhir.
• Kebijakan moneter tidak akan bekerja secara efektif apabila tidak terdapat kepercayaan
kepada sistem perbankan domestik.
Oleh karena itu, sembari mempertajam prioritas kebijakan dan meneruskan upaya
penyehatan perbankan nasional agar kepercayaan masyarakat cepat pulih, otoritas moneter
harus terus berupaya mencari cara guna memperbaiki efektivitas kebijakan moneter. Salah
satu upaya tersebut adalah dengan memperbaiki sistem lelang SBI. Sebelum tanggal 29 Juli
1998, suku bunga SBI ditentukan oleh Bank Indonesia. Kondisi likuiditas yang ketat serta
54 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
segmentasi di pasar uang antarbank (yang terkait dengan perbedaan tingkat kesehatan
antarbank yang sangat mencolok) telah menyebabkan suku bunga PUAB jauh lebih tinggi
daripada suku bunga SBI. Bahkan, seiring dengan tingginya laju inflasi, suku bunga SBI
secara riil telah menjadi negatif. Akibatnya, lelang SBI tidak mampu menyedot kelebihan
likuiditas di pasar uang. Situasi tersebut berubah sejak tanggal 29 Juli 1998 ketika Bank
Indonesia menerapkan sistem lelang SBI yang baru. Dalam sistem tersebut, suku bunga SBI
sepenuhnya ditentukan pasar sehingga SBI lebih efektif dalam menyerap likuiditas di pasar.
• Jenis tekanan yang dihadapi. Apabila perekonomian mengalami tekanan moneter maka
penggunaan patokan suku bunga (atau nilai tukar bagi perekonomian terbuka) adalah
yang paling ideal karena fluktuasi permintaan uang yang terjadi akan diakomodasi oleh
neraca pembayaran tanpa mengganggu stabilitas harga atau produksi. Sebaliknya,
apabila perekonomian menghadapi tekanan riil, sebaiknya menerapkan pengendalian
besaran moneter (monetary rules atau money anchor) karena perubahan nilai tukar akan
menyesuaikan tingkat pengeluaran luar negeri akan barang-barang domestik dan tingkat
pengeluaran domestik akan barang-barang luar negeri — terutama ketika tingkat upah
nominal dan harga-harga sulit bergerak turun — sehingga akan menstabilkan
pertumbuhan produksi domestik.
• Prioritas sasaran ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah khususnya yang berkaitan
dengan trade-off antara produksi, inflasi, dan neraca pembayaran. Bagi negara yang
menerapkan pengendalian besaran moneter biasanya akan mengalami variabilitas inflasi
jangka pendek yang lebih besar (karena tekanan permintaan uang tidak secara otomatis
diakomodasi) namun mengalami variabilitas produksi dan neraca pembayaran yang
lebih kecil (karena nilai tukar akan menjadi instrumen penyesuai). Di sisi lain, pendekatan
pengendalian nilai tukar memberikan keuntungan berupa transparansi kebijakan, yang
merupakan insentif bagi disiplin fiskal.
0.80
0.25
0.70
0.40
0.30 0.10
0.20
0.05
0.10
0.00 0.00
Sep-94
Dec-94
Sep-95
Dec-95
Sep-96
Dec-96
Sep-97
Dec-97
Jun-94
Jun-95
Jun-96
Jun-97
Mar-94
Mar-95
Mar-96
Mar-97
Mar-98
56 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Namun, karena adanya kelemahan di sisi mikro khususnya di sektor perbankan, tekanan
dari sisi moneter tersebut secara cepat telah melahirkan gelombang tekanan baru berupa
tekanan dari sektor riil, yaitu gangguan pasokan barang akibat terhambatnya impor dan
kebangkrutan sektor usaha. Dalam kondisi ini, secara teoritis penerapan strategi jangkar
uang beredar dengan sistem nilai tukar mengambang akan mampu mengembalikan
stabilitas ekonomi. Apalagi kondisi pasar tenaga kerja tampaknya cukup fleksibel
sebagaimana terlihat pada perkembangan tingkat upah riil terutama di sektor manufacturing
dan mineral yang cukup responsif terhadap perubahan nilai tukar (lihat Grafik Rata-rata
Upah Riil Mingguan).
Namun, pengalaman beberapa negara yang menerapkan kebijakan floating rate dan
diikuti oleh penggunaan base money sebagai nominal anchor (seperti Filipina di tahun 1984)
menunjukkan bahwa kebijakan moneter seringkali diterapkan dengan tidak konsisten.
Kombinasi kedua kebijakan seringkali mengandung beberapa kelemahan (Houben, 1997).
Pertama, kombinasi floating rate dan sasaran base money diterapkan secara fleksibel sehingga
membuat penugasan instrumen kebijakan kepada sasaran-sasaran ekonomi menjadi rancu
(ambiguous). Dengan absennya suatu jangkar nominal yang mantap maka terdapat
kecenderungan untuk menerapkan sasaran kebijakan moneter berganda seperti:
mengendalikan pertumbuhan uang, menstabilkan nilai tukar, memupuk cadangan devisa,
menjaga daya saing ekspor, dan menjaga tingkat suku bunga pada level yang mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi. Sesuai kenyataannya, trade-off di antara berbagai
sasaran ini tidak selalu menghasilkan pencapaian sasaran inflasi. Kedua, tanpa komitmen
yang jelas terhadap satu sasaran nominal, perekonomian kehilangan suatu piranti untuk
mengendalikan ekspektasi inflasi. Ketiga, kebijakan nilai tukar dan intervensi valas
seringkali diterapkan secara tidak simetris. Ketika terjadi tekanan apresiasi nilai tukar
terutama akibat arus modal masuk otoritas kebanyakan menahan tekanan tersebut dengan
membeli devisa sehingga menambah base money (sterilisasi hanya dilakukan secara parsial).
Sebaliknya, ketika terjadi tekanan depresiasi otoritas cenderung membiarkannya dan
membatasi penjualan devisa yang seharusnya dapat mendukung nilai tukar dan menyerap
base money. Dengan demikian, asimetri kebijakan ini cenderung bias ke arah inflasi.
Untuk kasus Indonesia, adanya sasaran indikatif nilai tukar rupiah dalam paket
kebijakan stabilisasi ekonomi Indonesia sementara base money berperan sebagai nominal
anchor dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan seperti yang dijelaskan di atas
khususnya berupa kemungkinan timbulnya konflik di antara berbagai tujuan kebijakan
dan ketiadaan jangkar nominal yang mantap.
besaran-besaran moneter secara akurat dan dalam mengendalikan jumlah uang beredar.9
Dalam situasi ini, strategi jangkar uang beredar mengandung resiko yang cukup besar.
Apabila terlalu ketat, kebijakan moneter dapat terlalu mengekang pertumbuhan produksi.
Sebaliknya, apabila terlalu longgar akan mempersulit pencapaian sasaran inflasi. Faktor
lain yang harus diperhitungkan adalah apabila arah kebijakan ekonomi ke depan
berorientasi populis maka penerapan sasaran moneter akan semakin mengalami kesulitan.
• Perekonomian Indonesia telah berkembang menjadi relatif sangat terbuka. Dalam kondisi
ini, nilai tukar telah menjadi indikator harga relatif terpenting dalam perekonomian
sehingga menjadi instrumen yang efektif dalam mencapai stabilitas harga.
• Pasar tenaga kerja bersifat fleksibel karena suplai berlimpah dan tidak ada kekakuan
tingkat upah yang disebabkan oleh faktor-faktor kelembagaan. Fleksibilitas pasar tenaga
kerja, terutama dalam konteks peningkatan produktivitas, akan mengurangi kebutuhan
akan penyesuaian nilai tukar nominal.
• Tidak adanya pembatasan devisa telah mempermudah arus keluar masuk modal
sehingga mampu mengakomodasi tekanan-tekanan moneter secara otonomus tanpa
harus mengandalkan pada fleksibilitas nilai tukar.
9 Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan semakin tidak stabilnya income velocity of money dan money
multiplier di Indonesia (Warjiyo dan Zulverdi, 1998).
58 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
120
100
80
Debt Outstanding/GDP
60
40
Debt Service Ratio
20
0
1993 1994 1995 1996 1997 35947
Di sisi lain, terdapat faktor-faktor yang kurang mendukung penerapan strategi jangkar
nilai tukar, yaitu:
• Prospek sisi fiskal masih belum menentu sebagai akibat turunnya potensi pajak dan
berkurangnya peranan swasta dalam membiayai pembangunan infrastruktur. Dalam
situasi ini, pasar akan meragukan terjaganya disiplin fiskal sekaligus meragukan
kredibilitas jangkar nilai tukar.
Di samping itu, terdapat beberapa kelemahan strategi jangkar nilai tukar, yaitu:
• Apabila nilai tukar riil cenderung mengalami apresiasi yang disebabkan oleh perubahan
struktural yang cepat, kemajuan teknologi, liberalisasi perdagangan, dan meningkatnya
daya saing negara-negara pesaing, meskipun strategi jangkar nilai tukar kemungkinan
besar dapat menurunkan laju inflasi, namun kenaikan harga-harga masih tetap lebih
tinggi daripada kenaikan harga-harga di negara-negara partner dagang sehingga lambat
laun daya saing produk domestik akan semakin melemah.
• Para pelaku ekonomi, terlebih di masa krisis, membutuhkan suatu jangkar nominal untuk
mengarahkan ekspektasi mereka. Mengingat jangkar nilai tukar (fixed exchange rate)
sulit diterapkan saat ini sementara disisi lain jumlah uang beredar adalah indikator yang
terlalu abtrak bagi para pelaku ekonomi maka jangkar laju inflasi dapat berperan secara
langsung dalam mengarahkan ekspektasi laju inflasi.
• Sistem perbankan nasional adalah jalur transmisi kebijakan moneter terpenting. Dalam
kondisi normal, sinyal-sinyal kebijakan moneter akan disalurkan melalui sistem
perbankan untuk akhirnya mempengaruhi ekpektasi inflasi di masyarakat. Masih sangat
rapuhnya kondisi perbankan nasional saat ini dengan sendirinya sangat mengurangi
efektifitas kebijakan moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar maupun suku
bunga. Untuk itu, penggunaan jangkar laju inflasi diharapkan dapat membatasi
kelemahan sistem perbankan tersebut.
Agar efektif, penerapan sasaran laju inflasi sebagai jangkar nominal memerlukan
penyesuaian kerangka kelembagaan sebagai berikut:
• Pencapaian sasaran laju inflasi harus dijadikan tugas pokok bank sentral.
Dalam kasus jangkar nilai tukar, kredibilitas akan tergantung kepada dua syarat, yaitu:
• Sebelum menetapkan suatu level nilai tukar, laju inflasi harus bergerak pada trend
menurun ke arah laju inflasi negara-negara mitra dagang.
• Jumlah cadangan devisa harus meningkat dibandingkan dengan level yang ada sekarang
untuk menghadapi tekanan-tekanan spekulasi yang berniat menguji kemampuan otoritas
dalam menerapkan jangkar nilai tukar. Hal ini akan cukup sulit dipenuhi selama arus
masuk modal dan kepercayaan investor belum pulih kembali.
Kredibilitas jangkar laju inflasi sebagian besar akan ditentukan oleh transparansi
kelembagaan dan akuntabilitas bank sentral dalam memenuhi sasaran laju inflasi. Komitmen
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 61
pemerintah secara eksplisit terhadap pencapaian sasaran laju inflasi yang menjadi tanggung
jawab bank sentral akan sangat menentukan kredibilitas kebijakan ini.
Penutup
Berikut beberapa pokok pikiran dan satu rekomendasi kebijakan :
• Upaya stabilisasi ekonomi di dalam konteks sistem nilai tukar mengambang penuh
tampaknya tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia.
• Penggunaan suatu jangkar nominal, baik berupa jangkar nilai tukar atau jangkar laju
inflasi, tampaknya layak untuk dipelajari lebih dalam kemungkinan penerapannya di
Indonesia. Mengingat masih rapuhnya sistem perbankan nasional sebagai jalur transmisi
kebijakan moneter terpenting serta masih sangat rentannya perekonomian Indonesia
terhadap tekanan-tekanan eksternal, suatu sistem nilai tukar yang agak fleksibel
tampaknya lebih cocok untuk dikombinasikan dengan strategi jangkar inflasi.
Daftar Pustaka
ADB Institute, Asia: Responding to Crisis,1998.
Bank Indonesia, Report for the Financial Year 1997/98, Jakarta, 1998.
Goldfajn, Ilan, dan Rodrigo O. Valdes, Are Currency Crisis Predictable?, IMF Working
Paper No. 97/159, Washington, D.C., 1997.
Houben, Aerdt C.F.J., Exchange Rate Policy and Monetary Strategy Options in the
Philippines - the Search for Stability and Sustainability, IMF Paper on Policy Analysis and
Assessment, PPAA/97/4, Washington, D.C., 1997.
_____________, The IMF’s Response to the Asian Crisis, External Relations Department,
Washington, D.C., Juli 1998.
Kaminsky, Graciela L., Currency and Banking Crisis: the Early Warnings of Distress,
Washington, D.C., 1998.
Kaminsky, Graciela L., dan Carmen M. Reinhart, The Twin Crisis: the Causes of Banking
and Balance of Payments Problems, Washington, D.C., 1996.
Krugman, Paul, External Shocks and Domestic Policy Responses, dalam The Open
Economy: Tools for Policymakers in Developing Countries, edited by Rudiger Dornbusch
and F. Leslie C.H. Helmers, p. 54-79, Oxford University Press, New York, 1995.
McNelis, Paul D., Money Demand, Financial Distress, and Exchange Rate Uncertainty in
Indonesia, A Research Paper written at Bank Indonesia, unpublished, Jakarta, April 1998.
Meigs, James, Lessons for Asia from Mexico, The Cato Journal Vol 17 No.3, 1998.
Nananukool, Surasak, Learning from the Asia Currency Curency Crisis - An Insider View
from Thailand, A paper presented at the Carnegie Mellon University, Graduate School of
Industrial Administration, March 1998.
Paderenga, Cayetano, Currency Crisis and Policy Response: The ASEAN and Philippine
Case, September 1998.
Pasadilla, Gloria, What Make Countries Vulnarable to Currency Crisis ?, ADB Institute
Seminar-Workshop on Asia’s Financial Crisis: Lessons and Policy Responses, September
1998.
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 63
Radelet, Steven, dan Jeffrey Sachs, The Onset of the East Asian Financial Crisis, 1998.
Waluyo, Dody B., dan Benny Siswanto, Peranan Kebijakan Nilai Tukar dalam Era
Deregulasi dan Globalisasi, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, No. 1, Juli 1998.
Warjiyo, Perry, dan Doddy Zulverdi, Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran
Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1,
No. 1, Juli 1998.
Lampiran
Langkah-langkah Kebijakan di Bidang Moneter dan Perbankan
yang Diambil oleh Thailand dan Korea Selatan
Thailand
Diawali dengan kinerja yang buruk dari lembaga-lembaga keuangan domestik dan
besarnya hutang luar negeri yang akan jatuh tempo dalam tahun 1997, nilai baht mendapat
tekanan yang besar dari pasar (spekulan) agar terdepresiasi. Terpuruknya nilai baht pada
gilirannya memperparah keadaan lembaga keuangan yang sebagian mempunyai pinjaman
luar negeri yang tidak di- hedged.Bubble economy yang antara lain ditunjukkan oleh besarnya
kredit pada sektor properti yang dibiayai oleh bank dengan sumber dana hutang luar negeri
turut memberikan andil atas kondisi tersebut.
A. Kebijakan Moneter
Peningkatan suku bunga yang dilakukan untuk menarik arus modal masuk telah
menyebabkan mandeknya fungsi bank-bank komersial sehingga tekanan-tekanan baik
sebagai akibat penutupan perusahaan keuangan, peningkatan standar perbankan, maupun
dari kebijakan suku bunga tinggi telah menjadikan kondisi perbankan menjadi semakin
terpojok. Kondisi ini telah mengakibatkan krisis likuiditas di Thailand pada akhirnya
mengganggu kegiatan dunia usaha sehingga peluang peningkatan ekspor sektor industri
yang seharusnya terjadi karena depresiasi nilai baht menjadi hilang. Gambaran umum
kinerja ekspor yang tidak menguntungkan ini masih terselamatkan oleh ekspor dari sektor
pertanian yang mengalami peningkatan karena naiknya harga produk-produk pertanian
di pasar internasional.
Pada bulan Mei 1998 dalam usahanya untuk menghidupkan kembali sektor industri,
Thailand telah bersepakat dengan IMF untuk menurunkan tingkat bunga dan meningkatkan
pertumbuhan jumlah uang beredarnya seiring dengan meningkatnya permintaan uang.
B. Kebijakan Perbankan
Diawali dengan pendirian FRA (Financial Sector Restructuring Agency) yang
bertanggung jawab atas rencana rehabilitasi perusahaan keuangan dan assetnya dan
pendirian AMC (Asset Management Corporation) yang mengurusi dan menjual asset yang
tidak sehat, Thailand melakukan penyehatan sistem keuangan di Thailand, antara lain
dengan menutup 58 perusahaan keuangan, dengan dasar kriteria kondisi likuiditas
perusahaan yang bersangkutan. Dari sisi upaya penyehatan sistem keuangan hal tersebut
memang baik, hanya saja dalam jangka pendek penutupan perusahaan keuangan yang
dilakukan ini telah menimbulkan berbagai masalah dan menyebabkan semakin merosotnya
perekonomian. Timbulnya berbagai masalah tersebut disebabkan oleh: pertama adanya
keterkaitan yang erat antara perusahaan keuangan dengan sektor usaha yang lain sehingga
penutupan itu mengakibatkan macetnya kegiatan usaha yang bertumpu pada pinjaman
dari perusahaan keuangan; kedua karena sumber dana dari perusahaan keuangan adalah
dari bank, maka penutupan itu berakibat pada peningkatan non-performing loan bank-bank
yang mempunyai konsekuensi pada peningkatan cadangan aktiva yang pada gilirannya
menghambat ekspansi kredit dari perbankan; ketiga adalah masalah kriteria penutupan
yang dipakai di mana banyak perusahaan keuangan yang mempunyai modal lebih besar
dari standar internasional tentang rasio kecukupan modal, ternyata ditutup dengan alasan
jumlah pinjaman dari bank sudah melebihi modal perusahaan itu. Langkah penutupan
perusahaan keuangan tersebut dilanjutkan dengan meningkatkan secara bertahap peraturan
perbankan yang menyangkut akuntansi perbankan, keterbukaan, peningkatan CAR dan
pengetatan kriteria non performing loan dan penyediaan cadangan penyisihan aktiva.
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 65
Korea Selatan
Kebijakan pemerintah Korea Selatan dalam menyikapi krisis yang terjadi tidak
berbeda jauh dengan yang dilakukan oleh negara-negara lain yang terkena krisis dan
mendapatkan bantuan dari IMF. Kebijakan tersebut pada umumnya mengarah pada
liberalisasi perekonomian dalam rangka meningkatkan efisiensi dan pengetatan kegiatan
ekonomi dalam jangka pendek. Secara garis besar kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
Korea Selatan antara lain adalah sebagai berikut:
B. Kebijakan Perbankan
Usaha pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dilakukan
Pemerintah dengan cara:
1. Dalam periode Januari s.d. April 1998 Pemerintah menutup 14 merchant bank dan
mewajibkan merchant bank yang lain untuk memenuhi CAR sebesar 6% di bulan April
1998 dan 8% akhir Juni 1999. Di samping itu, Pemerintah mendirikan Lembaga Perantara
Merchant Bank untuk membayar deposito nasabah, mengambil alih, mengumpulkan dan
melikuidasi asset merchant bank yang ditutup.
2. Memberikan bantuan likuiditas (dalam won) kepada bank-bank yang mempunyai kaitan
dengan merchant bank yang ditutup.
3. Bank-bank yang tidak memenuhi batas minimal CAR diwajibkan untuk menyampaikan
rencana rekapitalisasi kepada Otoritas Pengawas Perbankan.
66 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
2. Menyediakan special fund yang dirancang dalam Korea Asset Management Corporation
(KAMC), yang merupakan suatu wadah dimana bank-bank dapat menjual non-performing
asset-nya.
1. Peningkatan batas maksimal kepemilikan asing atas perusahaan publik Korea Selatan
secara keseluruhan dari 26% menjadi 50%, dan secara individual dari 7% menjadi 50%;
menghilangkan pembatasan investasi asing pada non-guaranteed bond yang dikeluarkan
oleh perusahaan kecil dan menengah; mengijinkan investasi asing dalam pasar guaranteed
corporate bond market (maturity > 3 tahun) dengan batas maksimal 10% untuk individual
dan secara keseluruhan maksimal 30% (11 Desember 1997).
3. Mengijinkan asing untuk melakukan investasi pada government bond dan special bond
sampai dengan 30% dan menghilangkan pembatasan investasi asing individual pada
corporate bond (23 Desember 1997).
5. Penghapusan semua batas maksimal investasi asing pada pasar government bond,special
bond, dan corporate bond. Memperketat aturan pinjaman luar negeri yang jatuh tempo di
atas 3 tahun (30 Desember 1997).
6. Menghilangkan restriksi pinjaman luar negeri perusahaan sampai dengan 2 juta USD
untuk perusahaan modal ventura. Pemerintah mengijinkan lembaga nonkeuangan
mengeluarkan surat hutang di pasar uang kepada pihak asing tanpa batas jumlah (16
Februari 1998).
Pendahuluan
N ilai tukar rupiah yang relatif stabil dan bahkan cenderung mengalami apresiasi
sebelum Juli 1997 telah mendorong capital inflow yang cukup besar ke Indonesia.
Fenomena tersebut merupakan hal yang logis bagi suatu negara yang menganut sistem
devisa bebas dan perekonomiannya terbuka karena arus modal akan selalu mengikuti return
investasi yang terbesar dan resiko seminimal mungkin. Namun sejak currency turnmoil
melanda Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN lainnya pada pertengahan Juli
1997, capital inflow tersebut telah menjadi bumerang karena telah berubah menjadi arus
balik yang membahayakan baik terhadap nilai tukar rupiah maupun terhadap perekonomian
nasional. Nilai tukar rupiah secara simultan mendapat tekanan yang cukup berat karena
besarnya capital outflow akibat hilangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek
perekonomian Indonesia. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah tersebut diperberat lagi
dengan semakin maraknya kegiatan speculative bubble, sehingga sejak krisis berlangsung
nilai tukar rupiah mengalami depresiasi hingga mencapai 75%.
Krisis nilai tukar yang telah berkembang menjadi krisis ekonomi hingga saat ini belum
menunjukkan tanda-tanda akan berakhir sehingga telah mempengaruhi kinerja perekonomian
nasional. Laju pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan dan bahkan telah memasuki
masa resesi yang cukup dalam, inflasi meningkat pesat baik karena gangguan produksi maupun
karena imported inflation, tingkat pengangguran semakin meningkat dan penduduk yang hidup
di bawah garis kemiskinan semakin banyak, serta permasalahan-permasalahan lainnya.
Disadari bahwa fluktuasi nilai tukar rupiah hanya merupakan muara dari akumulasi
permasalahan ekonomi yang selama ini terpendam baik yang dialami di sektor moneter,
perbankan dan sektor riil. Dengan demikian usaha menstabilkan nilai tukar rupiah tidak
akan bermanfaat jika tidak didukung dengan usaha-usaha pembenahan seluruh kelemahan
aspek perkonomian nasional baik berupa sistem, perangkat dan peraturan. Sehubungan
dengan hal tersebut pembenahan di sektor mikro bersamaan dengan kebijakan makro untuk
*) Miranda S. Goeltom : Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Operasi Pengendalian Moneter, dan
Devisa, Bank Indonesia.
Doddy Zulverdi : Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan, UREM, BI
70 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
menstabilkan nilai tukar rupiah merupakan langkah yang ideal untuk dilakukan agar
Indonesia dapat segera keluar dari krisis.
Kesemua hal tersebut akan dibahas dalam paper ini, yang pembahasannya dibagi
atas tujuh bagian. Bagian kedua akan membahas secara singkat aspek teoritis dari sistem
nilai tukar dikaitkan dengan sistem devisa yang dianut suatu negara. Bagian ketiga akan
mendiskusikan perkembangan manajemen nilai tukar di Indonesia. Bagian keempat akan
membahas perkembangan sistem devisa di Indonesia. Bagian lima akan membahas
permasalahan-permasalahan yang saat ini sedang dihadapi oleh Indonesia dalam era nilai
tukar mengambang (floating exchange rate). Bagian keenam akan mendiskusikan arah
kebijakan nilai tukar dan sistem devisa di masa yang akan datang. Sementara bagian terakhir
akan menyajikan kesimpulan dari tulisan ini.
Berdasarkan kerangka model tersebut, di suatu negara yang menerapkan sistem nilai
tukar tetap, otoritas moneter tidak memiliki keleluasaan dalam mengendalikan kondisi
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 71
moneter domestik. Suatu kebijakan ekspansi moneter melalui pembelian surat berharga pasar
uang, misalnya, hanya akan mendorong perubahan portofolio bank sentral dari devisa
menjadi surat berharga pasar uang domestik tanpa mengubah jumlah uang beredar.
Mekanisme ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Akibat kebijakan ekspansi moneter, suku
bunga domestik akan mengalami tekanan ke bawah. Karena surat-surat berharga di pasar
domestik merupakan substitusi sempurna dari surat-surat berharga di pasar internasional
maka tekanan penurunan suku bunga domestik akan mendorong para pemilik dana untuk
membeli surat-surat berharga luar negeri yang selanjutnya akan menimbulkan tekanan
depresiasi mata uang domestik. Bank sentral, dalam upayanya mempertahankan nilai tukar,
akan terpaksa melakukan intervensi di pasar valas dan mengurangi jumlah cadangan devisa
yang berarti akan mengurangi jumlah uang beredar dan mendorong kenaikan suku bunga
domestik, masing-masing kembali mendekati tingkat semula
• Bank sentral harus memelihara cadangan devisa dalam jumlah yang memadai.
• Apabila terjadi tekanan inflasi domestik yang bersifat eksogen baik yang bersumber dari
dalam negeri (seperti gangguan pasokan pangan) maupun dari luar negeri (seperti kenaikan
harga-harga internasional), alternatif kebijakan devaluasi adalah pilihan yang berat namun
harus diambil selama kondisi cadangan devisa tidak memadai untuk mendukung nilai tukar.
Bagi suatu negara yang sangat rentan terhadap gangguan eksternal (misalnya karena
memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sektor luar negeri) maupun gangguan internal
(misalnya karena sering mengalami gangguan alam), kebijakan nilai tukar tetap merupakan
kebijakan yang mengandung resiko tinggi. Resiko devaluasi akan selalu menghantui para
pelaku ekonomi domestik dan investor asing sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi
dan menyuburkan perilaku spekulasi.
Sementara itu, bagi suatu negara yang menganut sistem nilai tukar mengambang,
otoritas moneter memiliki keleluasaan untuk mengendalikan jumlah uang beredar karena ia
tidak memiliki kewajiban untuk mempertahankan nilai tukar pada level tertentu. Apabila
tingkat harga-harga domestik bersifat rigid, suatu kebijakan ekspansi moneter akan
mendorong depresiasi nilai tukar dan meningkatkan daya saing produk dalam negeri
sehingga produksi nasional akan terdorong naik.
72 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
• Dalam jangka pendek, bank sentral memiliki keleluasaan dalam mengendalikan jumlah
uang beredar (eksogen).
• Bank sentral tidak perlu memelihara cadangan devisa dalam jumlah besar.
Di antara dua kutub sistem nilai tukar, terdapat banyak varian sistem nilai tukar
yang merupakan kompromi dari kedua sistem tersebut. Perbedaan mendasar di antara
berbagai varian tersebut terletak pada tingkat intensitas intervensi yang dilakukan oleh
otoritas moneter di pasar valas. Salah satu sistem yang banyak dianut adalah sistem
mengambang terkendali (managed floating). Dalam sistem ini, target nilai tukar yang
ditetapkan oleh otoritas moneter seringkali tidak diumumkan kepada publik dan bersifat
fleksibel. Sasaran akhir dari sistem ini biasanya adalah mempertahankan nilai tukar riil
pada level yang mampu menjaga daya saing produk dalam negeri. Sistem ini cukup kredibel
apabila laju inflasi dapat dikendalikan pada level yang cukup rendah dan pemerintah
menjalankan kebijakan ekonomi makro yang berhati-hati. Meskipun tidak sebesar yang
dibutuhkan untuk mempertahankan kebijakan nilai tukar tetap, sistem mengambang
terkendali masih membutuhkan tersedianya cadangan devisa.
Kebijakan devisa suatu negara berkaitan erat dengan kebijakan nilai tukarnya.
Kebijakan devisa bebas biasanya diikuti dengan kebijakan nilai tukar yang lebih fleksibel
baik managed floating maupun flexible exchange rate. Negara-negara yang menerapkan sistem
nilai tukar tetap umumnya menerapkan kebijakan devisa yang terkontrol, misalnya Cina,
Chili dan terakhir adalah Malaysia. Kontrol devisa dilakukan dalam rangka
mempertahankan nilai tukar dari tekanan-tekanan. Dengan kontrol devisa maka permintaan
devisa akan dapat dikendalikan, sementara penawaran devisa dapat ditingkatkan khususnya
yang berasal dari penerimaan ekspor. Kontrol devisa ini juga bermanfaat untuk
mengisolasikan mata uang suatu negara dari kegiatan speculative bubble. Namun, di sisi
lain kontrol devisa mempunyai implikasi negatif, seperti menciptakan black market, nilai
tukar yang overvalued, dan meningkatkan distorsi ekonomi dalam jangka pendek, serta
dalam hal birokrasi suatu negara tidak bersih maka dapat meningkatkan korupsi.
Sementara itu, dasar pertimbangan pemilihan nilai tukar dalam konteks terjadinya
underlying shock pada pasar uang dan pasar barang (LM dan IS) dikemukakan oleh Garber
dan Svenson (1994). Dalam hal gejolak yang terjadi di pasar uang (LM) relatif lebih besar
dari gejolak yang terjadi di pasar barang (IS) maka pilihan yang lebih baik adalah floating
exchange rate. Bila kasus sebaliknya, gejolak di pasar barang (IS) relatif lebih besar dari
gejolak di pasar uang (LM) maka pilihan yang lebih baik adalah fixed exchange rate. Dalam
hal keduanya tidak ada yang dominan maka kebijakan yang terbaik adalah managed floating.
1 Untuk diskusi yang lebih mendalam mengenai pertimbangan pemilihan sistem nilai tukar dapat dilihat pada
Manuel Guitian, The Choice of an Exchange Rate Regime dalam Approaches to Exchange Rate Policy, Washington,
D.C., International Monetary Fund.
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 75
♦ Dalam periode ini, Indonesia menganut sistem kontrol devisa yang relatif ketat. Para
eksportir diwajibkan menjual hasil devisanya kepada bank devisa untuk selanjutnya
dijual kepada pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia. Namun demikian, dalam rezim
ini tidak ada pembatasan dalam hal kepemilikan, penjualan maupun pembelian valuta
asing. Sebagai konsekuensi kewajiban penjualan devisa tersebut maka Bank Indonesia
harus dapat memenuhi seluruh kebutuhan valuta asing bank komersial untuk memenuhi
permintaan para importir maupun masyarakat yang membutuhkan valuta asing. Pada
masa tersebut, pemerintah mem-peg-kan Rupiah terhadap US dollar, dimana penentuan
nilai tukar mutlak dilakukan oleh pemerintah atas dasar kurs nilai tukar riil. Dengan
sistem nilai tukar tetap ini, Bank Indonesia memiliki wewenang penuh dalam mengawasi
transaksi devisa. Sementara untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang telah
ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing.
♦ Sistem nilai tukar tetap dengan sistem kontrol devisa pada awal tahun 1970-an masih
dimungkinkan karena lembaga keuangan belum berkembang, volume transaksi devisa
masih relatif kecil dan belum ada pasar valuta asing serta mata uang rupiah belum menjadi
tradable good dan kegiatan spekulasi valas belum ada. Di samping itu, pemerintah masih
melakukan pembatasan-pembatasan dalam hal melakukan pinjaman luar negeri,
penanaman modal asing, dan portfolio investment, sehingga intervensi langsung yang
dilakukan oleh pemerintah dapat bekerja efektif.
♦ Disadari bahwa nilai tukar yang overvalued dapat mengurangi daya saing produk-produk
ekspor di pasar internasional. Oleh karena itu, pada periode ini pemerintah melakukan
devaluasi sebanyak 3 kali, masing-masing pada 17 April 1970 dengan kurs sebesar Rp378
per 1 USD, tanggal 23 Agustus 1971 dengan kurs sebesar Rp415 per 1 USD dan pada
tanggal 15 November 1978 dengan kurs sebesar Rp625 per 1 USD.
76 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
♦ Perkembangan nilai tukar rupiah selama periode managed floating dapat dilihat dalam
grafik 1. Dalam pelaksanaannya, sistem ini mempunyai esensi yang berbeda-beda sesuai
dengan karakteristik perekonomian pada saat tersebut. Karakteristik tersebut berhubungan
erat dengan seberapa besar Bank Indonesia mengendalikan nilai tukar tersebut dengan
melakukan penekanan pada unsur management atau floating-nya.
Grafik 1.
Perkembangan Nilai Tukar Rp/USD
1978:I - 1998:8
16 0 0 0 16 0 0 0
150 0 0 150 0 0
14 0 0 0 14 0 0 0
13 0 0 0 13 0 0 0
12 0 0 0 12 0 0 0
110 0 0 110 0 0
10 0 0 0 10 0 0 0
9000 9000
8000 8000
70 0 0 70 0 0
6000 6000
M anaged C r awling
50 0 0 M anaged F lo at ing I 50 0 0
F lo at ing II B and
4000 4000
3000 3000
2000
F lexible2 0 0 0
10 0 0 10 0 0
0 0
78 79 8 0 8 1 8 2 8 3 8 4 8 5 8 6 8 7 8 8 8 9 9 0 9 1 9 2 9 3 9 4 9 5 9 6 9 7 9 8
♦ Sesuai dengan karakteristiknya maka sistem nilai tukar mengambang terkendali pada
periode tersebut dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu managed floating I, managed
floating II,dan crawling band. Periode 1978 - 1986 dapat dianggap sebagai periode managed
floating I di mana unsur manajemen lebih besar dari floating. Kondisi tersebut terlihat
dari pergerakan nilai tukar nominal yang relatif tetap dan perubahan relatif baru terjadi
pada tahun-tahun tertentu, yaitu pada saat Bank Indonesia melakukan devaluasi rupiah.
Cukup kuatnya unsur manajemen pada periode tersebut tidak terlepas dari kondisi
perekonomian yang relatif belum berkembang seperti saat ini, sehingga Bank Indonesia
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 77
tidak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan nilai tukar sesuai dengan target yang
diinginkan dalam rangka mengendalikan inflasi dan menjaga daya saing produk-
produk ekspor.
♦ Fleksibilitas nilai tukar rupiah semakin ditingkatkan melalui penerapan kebijakan nilai
tukar crawling band sejak tahun 1992 hingga Agustus 1997. Peningkatan fleksibilitas nilai
tukar tersebut telah mendorong perkembangan pasar valuta asing dalam negeri, yang
tercermin dari semakin berkurangnya ketergantungan bank-bank kepada Bank Indonesia
dalam melakukan transaksi devisa. Kegiatan transaksi valas yang sebelumnya dilakukan
bank dengan Bank Indonesia hampir seluruhnya telah bergeser ke pasar valas antarbank.
Di samping itu, jumlah pelaku transaksi juga semakin meningkat dan produk pasar valuta
asing semakin bervariasi. Hal ini terlihat dari transaksi swap Bank Indonesia yang menurun
tajam dari sebesar USD 13 miliar pada tahun 1991 menjadi sebesar USD 1 miliar tahun
1994. Sebaliknya transaksi swap antarbank meningkat dari USD 29 miliar pada tahun
1991 menjadi sebesar USD 596 miliar pada tahun 1997. Pada sisi lain, peningkatan
fleksibilitas melalui pelebaran rentang intervensi juga telah memberikan keleluasaan
kepada Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter sehingga dapat
mempermudah perencanaan pelaksanaan operasi pasar terbuka.
♦ Namun tekanan depresiatif tersebut semakin meningkat khususnya lagi sejak awal
Agustus 1997, di mana rupiah telah menembus Rp2.650 per 1 USD. Sehubungan dengan
itu dan dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang maka pada
tanggal 14 Agustus, pemerintah memutuskan untuk menghapus rentang intervensi dan
menganut sistem nilai tukar mengambang bebas (flexible exchange rate)
.
♦ Penghapusan rentang intervensi ini juga dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif
dari kegiatan spekulatif terhadap rupiah dan memantapkan pelaksanaan kebijakan
moneter dalam negeri. Walaupun Indonesia telah menganut flexible exchange rate, namun
kegiatan intervensi valas masih tetap dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk
menghilangkan distorsi-distorsi di pasar valuta asing mengingat pasar ini belum
sempurna dan kurang rasional.
♦ Dalam perkembangannya pergerakan nilai tukar rupiah pada era floating tersebut
mengalami fluktuasi yang cukup tinggi. Fluktuasi tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor fundamental ekonomi, tetapi juga oleh faktor-faktor non ekonomis yang umumnya
dimanfaatkan oleh para spekulan valas (lihat grafik 2). Beberapa faktor pendorong yang
mengakibatkan terus bergejolaknya nilai tukar rupiah tersebut sebenarnya berasal dari
banyaknya kelemahan faktor fundamental mikroekonomi, sedangkan efek menular
(contagion effect) dari krisis nilai tukar Thailand hanya merupakan pemicu saja. Beberapa
kelemahan faktor fundamental mikroekonomi tersebut adalah: Pertama, besarnya
ketergantungan swasta terhadap sektor luar negeri, sehingga dalam lima tahun terakhir
utang luar negeri swasta meningkat rata-rata sebesar 28,6% dibandingkan dengan utang
luar negeri pemerintah yang naik hanya sebesar 0,4% per tahun. Dengan demikian pangsa
utang luar negeri swasta meningkat dari sebesar 29% pada tahun 1993 menjadi sebesar
57% pada akhir tahun 1997. Kondisi tersebut diperburuk lagi dengan banyaknya dana
tersebut diinvestasikan pada sektor usaha konsumtif, seperti properti, dan sektor usaha
lainnya yang rendah tingkat efisiensinya, disamping dana tersebut tidak dilindung nilai
(unhedged);Kedua, pertumbuhan ekspor yang melambat pada tahun terakhir sebagai akibat
rendahnya efisiensi sektor dunia usaha; Ketiga; kerapuhan (fragility) sektor keuangan
khususnya sektor perbankan sebagai akibat pengelolaan usaha yang lemah dan kurang
transparan serta pemberian kredit yang terkait dengan bank, sehingga meningkatkan non
performing loan dan resiko usaha bank. Kesemua hal tersebut telah menyebabkan capital
outflow akibat berkurangnya kepercayaan investor asing terhadap perekonomian
Indonesia.
♦ Melihat kecenderungan perkembangan akhir-akhir ini nilai tukar rupiah telah mengalami,
turning point sejak tanggal 10 Juli 1998. Kecenderungan penguatan rupiah tersebut terlihat
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 79
Grafik 2
Perkembangan Kurs Rp/USD Jan. 1998 s.d. September 1998
17,000
IM F tetap commit utk mem bantu RI dan Penanda t anganan Suplementary Let ter
Suku bunga Intervensi
16,000
gerakan Aku cinta Rupiah (12 Jan. '98) of Inten II 1MF ( 24Juni 98) dinaikkan menjadi 70%
Kebijakan OPT relatif
15,000
ketat dan intervensi valas
14,000 Pemerintah menjamin deposan & kreditur (27
Jan 98) &kenaik an suku bunga SBI (27jan 98)
13,000
12,000 IMF tdk setuju dgn Renc.
PenerapanCBS (16 Feb98) M elemahnyaJPY
11,000
M g.I s/d M gIII Juni
10,000
jelas apabila kita mengurangi disturbances pada series nilai tukar Rupiah/USD, dengan
menggunakan metode moving average 20 hari (Grafik 3). Kebijakan moneter yang ketat
dan intervensi valuta asing yang tepat waktu merupakan faktor pendorong penguatan
nilai tukar rupiah tersebut.
Grafik 3
Perkembangan Kurs Tengah Antar Bank
(Moving 20 days)
16,000
14,000
12,000
10,000
8,000
6,000
4,000
2,000
0
1 11 24 5 15 27 8 18 30 10 22 3 13 25 8 18 31 13 23 5 17 27 11 23 2 16 29 12 25 4 16 26 9 21 31 12 25 4 16
July Aug. Sept Oct. Nov. Dec. Jan. Feb Mar. April Mei June Jul. Aug Sept
1997 . 1998
80 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
♦ Indonesia memasuki sistem devisa bebas murni sejak tahun 1982 dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1982 tentang penghapusan kewajiban penjualan devisa
hasil ekspor kepada Bank Indonesia. Penerapan sistem devisa bebas telah memberikan
implikasi positif dalam mendorong aliran modal masuk ke Indonesia, baik dalam bentuk
penanaman modal asing, pinjaman, dan investasi portfolio di pasar modal. Aliran modal
masuk tersebut sangat diperlukan untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan
yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari dalam negeri sekaligus menutup kesenjangan
antara investasi dan tabungan (saving-investment gap) yang selama 3 dasa warsa terakhir
mencapai sekitar 3% dari GDP. Arus modal tersebut telah memberikan kontribusi yang
cukup besar dalam mendorong tingginya pertumbuhan ekonomi pada masa-masa tersebut.
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 81
♦ Di sisi lain sistem devisa bebas juga mempunyai implikasi negatif karena dapat
menimbulkan kerawanan pada perekonomian nasional apabila tidak diikuti dengan sikap
kehati-hatian para pelaku ekonomi. Besarnya arus modal masuk khususnya dana-dana
yang berjangka pendek yang ditanamkan dalam bentuk portfolio investment, dapat
membahayakan perekonomian nasional apabila arus dana tersebut seketika berbalik
menjadi arus modal keluar. Krisis yang dialami negara Amerika Latin seperti Meksiko
pada tahun 1994, dan krisis ekonomi terakhir yang terjadi di Thailand, Indonesia dan
negara ASEAN lainnya merupakan bukti dari berbahayanya hot capital inflows tersebut.
Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam era nilai tukar
mengambang penuh (free floating rate), yaitu:
♦ Hilangnya kepercayaan dalam dan luar negeri terhadap sistem perbankan dan prospek
ekonomi dalam negeri telah mendorong derasnya arus modal ke luar. Dalam kondisi
ini, built-in automatic adjustment yang seharusnya bekerja melalui pengaruh kenaikan
suku bunga domestik terhadap arus balik modal asing sehingga nilai tukar kembali stabil
ternyata tidak bekerja efektif karena tidak adanya faktor kepercayaan tersebut.
♦ Kegiatan ekspor yang seharusnya meningkat tajam akibat depresiasi nilai tukar riil yang
sangat tajam (hampir 300% hingga bulan Agustus 1998), ternyata menunjukkan kinerja
yang tidak sesuai dengan harapan. Sebaliknya, depresiasi nilai tukar riil telah
menurunkan impor secara drastis sehingga semakin memperburuk kinerja sektor
produksi dan mengurangi pasokan barang di dalam negeri sehingga semakin menambah
tekanan inflasi.
♦ Jumlah hutang luar negeri yang sangat besar semakin menambah tekanan permintaan
terhadap valuta asing.
82 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
CURRENT ACCOUNT -2588 -2126 -1053 -2302 -1102 -1395 -202 1000
Exports, fob 12528 12816 13732 12962 14737 14364 14234 12827
Imports, fob -11618 -11473 -11203 -11525 -11255 -12188 -11255 -8006
Services, net -3498 -3469 -3582 -3739 -4584 -3571 -3181 -3821
CAPITAL ACCOUNT 1993 2839 3868 3968 2226 1790 -5442 -6202
ERROR & OMISSIONS 1103 -781 -105 -918 1119 -1691 -496 374
MEMORANDUM ITEMS
Official Reserves 16483 16415 19125 19873 - - - -
Gross Foreign Assets Outstanding - - - - 28854 27559 21418 16590
♦ Pada awalnya, anjloknya nilai tukar rupah lebih banyak berdampak negatif terhadap
kinerja keuangan perusahaan-perusahaan yang memiliki beban hutang, khususnya
hutang luar negeri, yang besar. Namun, seiring dengan kontraksi permintaan domestik
yang sangat tajam, kinerja perusahaan-perusahaan lain juga ikut memburuk.
♦ Cukup cepatnya proses pass-through perubahan nilai tukar terhadap harga-harga di dalam
negeri telah memicu lonjakan laju inflasi di dalam negeri. Hasil penelitian Bank Indonesia
(1998) menunjukkan bahwa suatu tekanan depresiasi nilai tukar akan segera
meningkatkan laju inflasi dalam periode 1 - 2 bulan sejak terjadinya tekanan tersebut.
Pengaruhnya baru akan benar-benar hilang setelah 9 - 10 bulan sejak awal terjadinya
tekanan depresiasi.
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 83
Sampai saat ini kita masih menganut kebijakan nilai tukar mengambang karena
diyakini bahwa sistem ini masih yang terbaik dalam situasi perekonomian Indonesia yang
masih mengalami berbagai permasalahan seperti capital outflows,loss of confidence dari
investor asing, besarnya corporate foreign debt, dan menurunnya nilai ekspor. Seluruh masalah
tersebut membuat penerapan kebijakan nilai tukar terkendali atau tetap menjadi terlalu
riskan, apalagi jumlah cadangan devisa yang dikuasai pemerintah relatif kecil. Sistem ini
dikatakan masih terbaik mengingat bahwa bank sentral tidak memiliki kewajiban untuk
melakukan intervensi di pasar valuta asing karena tidak terikat pada satu target nilai tukar
rupiah.
Di dalam sistem nilai tukar mengambang, penguatan nilai rupiah diharapkan akan
secara bertahap terjadi melalui penerapan kebijakan moneter dan fiskal yang berhati-hati,
restrukturisasi perbankan, penyelesaian hutang luar negeri, dan perbaikan sektor riil.
Dukungan baik dalam bentuk dana maupun keahlian dari berbagai lembaga keuangan
internasional dan negara-negara sahabat diharapkan akan lebih menjamin keberhasilan
berbagai upaya tersebut. Namun, kenyataannya prospek keberhasilan masih diselimuti
kabut akibat:
(i) Masih adanya keraguan pasar terhadap kestabilan politik Indonesia dan/atau
kemampuan Pemerintah menjamin keamanan warganya.
(ii) Masih adanya keraguan terhadap kemampuan ekonomi Indonesia dalam memikul
beban hutang luar negeri di masa-masa yang akan datang. Keraguan tersebut terutama
berkaitan dengan ketidakyakinan pasar akan kecepatan pemulihan ekonomi Indonesia.
Selama keragu-raguan pasar tersebut masih belum berhasil dihilangkan maka upaya
penguatan nilai tukar rupiah akan memakan waktu yang lebih lama daripada yang dapat
ditanggung oleh ketahanan sosial ekonomi bangsa ini. Oleh karena itu, sangat beralasan
apabila muncul desakan untuk mencari alternatif kebijakan yang dapat mempercepat proses
penguatan rupiah. Salah satu alternatif kebijakan yang diusulkan adalah kembali
menerapkan sistem rentang intervensi atau crawling peg (salah satu varian dari sistem
managed floating). Rentang intervensi tersebut harus dipertahankan dengan disiplin moneter
yang ketat yang mengandung implikasi bahwa apabila jumlah cadangan devisa tidak
memadai untuk mempertahankan rentang intervensi maka pilihan kebijakan suku bunga
tinggi harus diterapkan.
(i) keadaan seperti sekarang ini yang serba tidak pasti kapan nilai tukar akan menguat,
dan dengan demikian kapan suku bunga dapat mulai turun, dan;
(ii) keadaan yang lebih pasti mengarah pada penguatan nilai tukar, walaupun dengan resiko
suku bunga yang sangat tinggi untuk sementara, dan lebih pasti pula waktunya dapat
mengarah pada penurunan suku bunga;
(i) nilai tukar yang berfluktuasi dan dapat melemah secara tajam apabila terjadi tekanan
yang besar terhadap rupiah, dengan suku bunga yang diupayakan tidak terlalu tinggi
namun tidak tertutup kemungkinan harus naik pada tingkat yang cukup tinggi, dan;
(ii) nilai tukar yang relatif tetap dengan resiko suku bunga yang kadang-kadang harus
tinggi untuk mempertahankan nilai tukar tersebut.
Pilihan (i) dari dua set pilihan di atas kiranya bukanlah pilihan yang ideal mengingat:
• perubahan nilai tukar berdampak secara langsung pada unit usaha yang di dalam
neracanya terkandung resiko kurs; dan perubahan nilai tukar secara tajam dapat dengan
seketika menyebabkan bangkrutnya unit usaha tersebut (tidak demikian halnya dengan
perubahan suku bunga);
• perubahan nilai tukar secara langsung berdampak pada inflasi melalui kenaikan harga
barang-barang impor dan ekspor, dan pelemahan nilai tukar yang besar akan
menyebabkan perubahan distribusi pendapatan yang besar pula. Kelompok
berpenghasilan tetap akan menderita dampak pemiskinan yang hebat;
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 85
• apabila tekanan yang dihadapi cukup berat maka dapat terjadi bahwa, selain nilai tukar
yang melemah, suku bunga pun harus dinaikkan, sehingga perekonomian mendapat
pukulan dari dua sisi sekaligus; dalam hal ini tujuan sistem nilai tukar mengambang
secara bebas dapat dikatakan menjadi tidak tercapai mengingat suku bunga pun pada
akhirnya harus mengalami penyesuaian yang cukup besar.
Satu penelitian yang dilakukan oleh para peneliti ekonomi di Bank Indonesia juga
memperoleh kesimpulan bahwa — sepanjang sasaran akhir pengendalian moneter adalah
kestabilan harga (single target) — maka pengelolaan sistem nilai tukar mengambang terkendali
(managed floating) adalah yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia. Kesimpulan ini
didasarkan pada kenyataan bahwa struktur industri kita sarat dengan kandungan impor
yang tinggi sehingga perubahan nilai tukar sangat berpengaruh terhadap kestabilan tingkat
harga, sementara di sisi lain perubahan nilai tukar hanya berdampak terbatas terhadap
kinerja ekspor. Dalam perkataan lain, nilai tukar yang terlalu berfluktuatif lebih banyak
berdampak negatif terhadap perekonomian domestik.
LREER = 4,83 + 1,25 LTOT - 0,12 LPRDVT - 0,03 GNS - 0,02 RDIFF
(11,5) (9,2) (-2,5) (-5,2) (-2,6)
Keterangan:
LREER = log nilai tukar riil efektif
LTOT = log terms of trade
LPRDVT = log produktivitas (PDB riil dibagi jumlah tenaga kerja)
GNS = rasio tabungan nasional tehadap PDB
RDIFF = perbedaan suku bunga deposito 3 bulan dengan LIBOR
86 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Pada prinsipnya penelitian tersebut menyimpulkan bahwa target riil semakin sulit
dicapai dalam era freefloating sehingga selama rentang intervensi nilai tukar tidak digunakan
maka intervensi otoritas moneter secara berkala ke pasar masih diperlukan, dengan syarat
mempertimbangkan ketepatan timing, sifat, dan batas acuan intervensi yang didukung
oleh keberadaan suatu Market Intelligence Unit.
Membiarkan nilai tukar ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar tampaknya bukan
merupakan solusi yang tepat untuk menstabilkan nilai tukar dan menghindarkan terulangnya
krisis nilai tukar di masa datang. Suatu penelitian dengan menggunakan data 26 negara
menyimpulkan bahwa, meskipun penyimpangan nilai tukar riil dari nilai ekuilibriumnya (real
exchange rate misalignment) merupakan komponen penting dalam membentuk ekspektasi nilai
tukar di pasar, namun ekspektasi nilai tukar itu sendiri tidak dapat memperkirakan terjadinya
krisis. Dengan perkataan lain, sebagian besar krisis nilai tukar adalah peristiwa-peristiwa yang
unpredictable.2 Oleh karena itu, penerapan sistem nilai tukar mengambang pun tidak dapat
menjamin bahwa — apabila terjadi suatu exogenous shock yang menimbulkan real exchange rate
misalignment — pasar akan segera mengantisipasi kemungkinan timbulnya krisis dan
melakukan berbagai penyesuaian sehingga krisis dapat dihindari.
Pengalaman di Filipina sebagai salah satu negara yang terkena dampak krisis nilai
tukar di Asia juga menyimpulkan bahwa kebijakan pengendalian nilai tukar merupakan
pilihan kebijakan yang tepat.3 Meskipun penerapan sistem nilai tukar fleksibel adalah sangat
penting guna mengembalikan keseimbangan eksternal dan mendorong pertumbuhan sektor
ekonomi berorientasi ekspor, namun ketidakseragaman kinerja pencapaian sasaran-sasaran
moneter dan tidak simetrisnya reaksi kebijakan terhadap tekanan nilai tukar telah
menimbulkan kinerja inflasi yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Karena penerapan
jangkar nominal dalam kebijakan moneter akan meningkatkan efektivitas pengendalian
inflasi dan menghasilkan prospek pertumbuhan yang ekonomi yang lebih mantap maka
penerapan patokan nilai tukar (exchange rate peg) — di samping penerapan rule dalam
pengendalian uang beredar dan sasaran inflasi — menjadi pilihan yang lebih tepat.
(i) menunggu sampai nilai tukar mencapai tingkat yang wajar, kemudian baru sistem
tersebut diterapkan;
2 Ilan Goldfajn dan Rodrigo O. Valdes, Are Currency Crisis Predictable?, IMF Working Paper No. 159 tahun 1997.
3 Aerdt Houben, Exchange Rate Policy and Monetary Strategy Options in the Philippines - the Search for Stability and
Sustainability, IMF Paper on Policy Analysis and Assessment, Washington, D.C., 1997.
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 87
(ii) mulai menerapkan sistem tersebut sekarang, dimulai dengan nilai tukar yang berlaku
untuk kemudian diturunkan sedikit demi sedikit sehingga mencapai target.
Dalam hal alternatif (ii), target akhir nilai tukar tersebut sebaiknya diumumkan untuk
mempengaruhi psikologi pasar. Dalam keadaan di mana nilai tukar yang wajar sukar untuk
dicapai (karena faktor politik, spekulasi, dsb.) maka pilihan akan cenderung jatuh pada
alternatif (ii).
Berikut ini adalah ilustrasi dari penerapan sistem nilai tukar menggunakan rentang
intervensi :
Pada waktu diterapkan (misalnya hari ini, ketika kurs tengah di pasar sekitar Rp10.700 per
dolar AS).
• Terapkan dan umumkan rentang intervensi nilai tukar, misalnya terendah Rp10.200 dan
tertinggi Rp11.200.
• Umumkan bahwa Bank Indonesia akan menurunkan rentang intervensi tersebut sedikit
demi sedikit, sehingga dalam waktu 3 bulan menjadi, misalnya, terendah Rp8.200 dan
tertinggi Rp9.200. (Pengumuman ini diperkirakan akan membentuk psikologi pasar
bahwa nilai tukar akan menguat, sehingga para peserta pasar akan mulai membeli
rupiah.) Sudah tentu bahwa para peserta pasar tidak dengan serta merta percaya bahwa
Bank Indonesia akan berhasil menurunkan rentang intervensi tersebut, dan pasar pasti
akan mencoba kekuatan dan kekukuhan kebijakan Bank Indonesia. Akan tetapi dengan
disiplin moneter yang ketat untuk mempertahankan rentang intervensi, diperkirakan
pasar akan segera yakin akan kekuatan dan kekukuhan tersebut.
• Pertahankan batas tertinggi rentang intervensi dengan kebijakan (disiplin) moneter yang
ketat. Dalam hal ini Bank Indonesia menyediakan devisa ($) bagi bank-bank yang ingin
membeli $ tersebut pada batas tertinggi rentang intervensi. Bank-bank yang berhak
membeli $ dari Bank Indonesia dapat dibatasi hanya bank-bank yang mempunyai saldo
giro positif pada Bank Indonesia.
• Apabila nilai tukar mendekati batas terendah rentang intervensi, Bank Indonesia dapat
mempertahankan batas terendah tersebut dengan membeli valuta asing, akan tetapi dapat
pula menggeser rentang intervensi ke bawah apabila dipandang sudah waktunya untuk
menggeser rentang intervensi tersebut.
Untuk selanjutnya:
• Rentang intervensi sedikit demi sedikit diturunkan hingga mencapai target yang
diumumkan, yaitu Rp8.200 - Rp9.200.
88 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
• Apabila rentang intervensi sudah mencapai target yang diumumkan, Bank Indonesia
dapat mengumumkan bahwa target selanjutnya yang ingin dicapai adalah rentang
intervensi Rp6.200 - Rp7.200, apabila nilai tukar pada tingkat tersebut dipandang sebagai
nilai tukar yang wajar, dan akan menurunkan rentang intervensi sedikit demi sedikit
sampai mencapai target tersebut misalnya dalam waktu tiga bulan.
• Apabila rentang intervensi sudah mencapai target akhir (misalnya Rp6.200 - Rp7.200)
maka rentang intervensi tersebut akan dipertahankan untuk seterusnya. Perubahan hanya
akan dilakukan apabila terjadi perubahan mendasar pada faktor-faktor yang
melatarbelakanginya (seperti perubahan yang besar pada nilai tukar antara US$ dan
matauang-matauang utama lainnya).
Berkaitan dengan timing dari penerapan kebijakan nilai tukar mengambang terkendali,
Prof. Arnold Harberger mengajukan skenario “Tiga Fase” yang dapat dijelaskan sebagai berikut.4
Fase I
Dalam fase ini, otoritas moneter sebaiknya tetap mempertahankan kebijakan nilai
tukar mengambang. Tindakan yang perlu dilakukan adalah menerapkan kebijakan yang
berhati-hati (kebijakan yang tidak menimbulkan tambahan tekanan inflasioner) tanpa secara
80.00 1.80
60.00 1.60
CP I Ina/CP I USA Index Nom . USD/Rp
1.40
40.00
1.20
20.00
1.00
0.00
0.80
-20.00
0.60
-40.00 0.40
P ert umbuhan Nilai t ukar Riil USD/Rp
-60.00 0.20
-80.00 0.00
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7
1996 1997 1998
4 Lihat dua tulisan Arnold C. Harberger yang disampaikan pada serangkaian pertemuan yang disponsori USAID di
Universitas Indonesia dan di Bank Indonesia. Kedua tulisan tersebut masing-masing berjudul “The Anatomy of
Crisis” dan “Notes on the Indonesian Crisis.”
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 89
kaku menetapkan sasaran inflasi. Biarkan nilai tukar nominal menguat secara perlahan-
lahan dan tingkat harga bergerak naik sehingga mendorong penguatan nilai tukar riil.
Kebijakan yang bersifat pasif ini sebaiknya dipertahankan hingga nilai tukar riil mendekati
satu level sebelum krisis (Harberger mengusulkan untuk mengakhiri penerapan fase I ketika
nilai tukar riil mencapai sekitar 1,3 kali level sebelum krisis. Sebagai catatan, saat ini nilai
tukar riil rupiah telah melemah sekitar 2 kali level sebelum krisis.)
Terdapat beberapa alasan penguatan nilai tukar secara perlahan meskipun nilai
tukar rupiah dibiarkan mengambang, yaitu: (i) arus modal keluar yang dipicu oleh
kepanikan para pemilik dana sudah mulai berkurang, (ii) permintaan impor menurun tajam
sejalan dengan menurunnya aktivitas ekonomi yang diperkuat lagi dengan adanya efek
substitusi barang impor dengan barang lokal, (iii) masuknya dana bantuan dan pinjaman
luar negeri menambah jumlah cadangan devisa yang dikuasai oleh pemerintah.
Sementara itu, tingkat harga-harga domestik akan terus bergerak naik karena: (i)
efek tidak langsung dari akumulasi depresiasi sejak awal krisis terhadap kenaikan harga-
harga belum sepenuhnya berakhir (incomplete pass-through), (ii) tingkat keseimbangan upah
nominal akan bergerak naik, (iii) keinginan untuk meningkatkan volume kredit ke sektor
swasta dan akumulasi tambahan devisa akan mendorong kenaikan jumlah uang beredar.
Fase II
Ketika nilai tukar riil telah menguat hingga mencapai level yang diinginkan, otoritas
dapat beralih ke fase kedua. Dalam fase ini, otoritas menerapkan kebijakan yang bersifat
“adaptif”, yaitu berupaya mengendalikan/menyesuaikan nilai tukar nominal secara harian
dengan sasaran mempertahankan nilai tukar riil pada level tertentu (constant real exchange
rate targeting) yang tidak lain merupakan esensi dari kebijakan nilai tukar mengambang
terkendali (managed floating rate). Kebijakan ini diharapkan akan menimbulkan surplus
neraca pembayaran dan memupuk cadangan devisa. Berdasarkan skenario yang optimistis,
kebijakan ini akan mendorong ekspor dan meningkatkan PMA dan arus modal masuk
lainnya untuk selanjutnya mendorong kenaikan PDB riil dan penurunan laju inflasi. Apabila
sasaran kenaikan cadangan devisa tidak berhasil, kebijakan ini dapat dimodifikasi dengan
menaikkan sasaran nilai tukar riil (depresiasi). Sebaliknya, apabila kenaikan cadangan
devisa terjadi terlalu cepat atau jumlah cadangan devisa telah mencapai level yang tinggi,
sasaran nilai tukar riil dapat diturunkan (apresiasi).
Fase III
Ketika jumlah cadangan devisa sudah mencapai level yang diperkirakan dapat meredam
tekanan spekulatif dan PDB telah kembali mencatat pertumbuhan positif yang cukup memadai,
prioritas kebijakan dapat dialihkan ke arah penurunan laju inflasi. Untukitu, otoritas perlu
90 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
beralih dari kebijakan “adaptif” menjadi kebijakan yang secara aktif berupaya menurunkan laju
depresiasi nilai tukar nominal. Setelah nilai tukar nominal menguat pada level tertentu, pada
akhirnya otoritas akan dihadapkan pada tiga pilihan sistem nilai tukar yang lebih bersifat
permanen, yaitu sistem mengambang, sistem rentang intervensi, atau sistem nilai tukar tetap.
• Indonesia saat ini sangat membutuhkan modal asing. Dalam situasi seperti sekarang, upaya
pembatasan lalu lintas devisa hanya akan menghilangkan minat investor asing untuk masuk
ke Indonesia.
• Sistem kontrol devisa membutuhkan kelengkapan birokrasi yang bersih dan efisien.
• Sistem kontrol devisa mengandung beberapa kelemahan seperti dapat mendorong perilaku
manipulatif di kalangan eksportir dan importir serta menimbulkan misalokasi sumber daya.
Kebijakan devisa bebas memerlukan sistem monitoring lalu lintas devisa yang disiplin,
konsisten, dan efektif serta dalam coverage yang memadai agar kebijakan nilai tukar rupiah fleksibel
lebih compatible dengan kebijakan devisa bebas. Untuk itu, perlu dilakukan upaya penyempurnaan
sistem pelaporan lalu lintas devisa. Saat ini Bank Indonesia tengah melakukan upaya penyusunan
sistem pelaporan dalam rangka penyusunan statistik neraca pembayaran cash basis. Sistem
pencatatan cash basis ini diharapkan akan mampu menggambarkan flow of fund transaksi luar
negeri secara akurat dan terinci dan melengkapi statistik neraca pembayaran khususnya untuk
transaksi-transaksi jasa dan modal swasta, sehingga pada akhirnya ikut membantu peningkatan
efektivitas kebijakan moneter. Di samping itu, Bank Indonesia juga tengah mengupayakan
peningkatan monitoring terhadap rekening vostro milik nonresiden serta monitoring transaksi
valas di pasar uang baik secara on line maupun paper based. Melalui upaya ini diharapkan akan
diperoleh gambaran mengenai perkembangan internasionalisasi rupiah dan potensi tekanan-
tekanan spekulatif terhadap nilai tukar rupiah secara lebih dini.
Untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, semua sumber devisa termasuk hasil ekspor
harus terus ditingkatkan. Oleh karena itu, Bank Indonesia akan berupaya mengoptimalkan
berbagai fasilitas/insentif yang selama ini telah disediakan dan menciptakan fasilitas/insentif
baru agar semakin banyak eksportir yang bersedia menyerahkan devisa hasil ekspornya ke Bank
Indonesia.
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 91
Kesimpulan
Berdasarkan kondisi objektif saat ini maka alternatif sistem nilai tukar crawling peg
mungkin dapat dipertimbangkan, tentunya dengan komitmen untuk tetap mengendalikan
besaran-besaran moneter secara konsisten.
Di tengah kebutuhan kita akan modal asing dan cadangan devisa, sistem devisa
bebas masih merupakan pilihan terbaik. Namun, sistem devisa tersebut memerlukan sistem
monitoring lalu lintas devisa yang komprehensif dan akurat.
Sistem devisa bebas yang diarahkan untuk mendukung penerapan sistem crawling
peg perlu didukung dengan upaya-upaya tambahan untuk meningkatkan cadangan devisa
yang berasal dari ekspor. Hal ini dilakukan dengan memberikan fasilitas/insentif kepada
para eksportir.
Daftar Pustaka
Dornbusch, Rudiger, dan F. Leslie C.H. Helmers, eds., The Open Economy: Tools for
Policymakers in Developing Countries, Oxford University Presss, New York, 1995.
Friedman, B.M., dan F.H. Hahn, eds., Handbook of Monetary Economics, Volume 2,
North-Holland, Amsterdam, 1993.
Goldfajn, Ilan, dan Rodrigo O. Valdes, Are Currency Crisis Predictable?, IMF Working
Paper No. 97/159, Washington, D.C., 1997.
Guitian, Manuel, The Choice of an Exchange Rate Regime, Approaches to Exchange Rate
Policy, IMF, Washington, D.C.
Houben, Aerdt C.F.J., Exchange Rate Policy and Monetary Strategy Options in the
Philippines - the Search for Stability and Sustainability, IMF Paper on Policy Analysis and
Assessment, Washington, D.C., 1997.
Waluyo, Doddy B., dan Benny Siswanto, Peranan Kebijakan Nilai Tukar dalam Era
Deregulasi dan Globalisasi, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.1, No. 1, Bank
Indonesia, Jakarta, 1998.
Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis 169
Munculnya krisis keuangan dan perbankan yang terjadi di suatu negara ditandai oleh beberapa indikator
seperti tingginya kredit bermasalah, kesulitan likuiditas serta insolvensi dari lembaga keuangan maupun
perbankan. Terdapat beberapa konsep yang menerangkan definisi krisis perbankan, pertama adalah penilaian
terhadap negative net present value dari cashflow dan kedua adalah penilaian terhadap net worth dari lembaga
keuangan atau perbankan. Apabila otoritas pengawasan perbankan dapat mengetahui secara akurat dan
bahkan memprediksi tingkat solvency untuk masa yang akan datang akan sangat membantu dalam menentukan
tindakan-tindakan yang harus diambil agar sistem perbankan selalu berada dalam kondisi solvent.
Insolvency dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti rendahnya kualitas aktiva perbankan, buruknya
permodalan serta sebab-sebab secara makro yang tidak secara langsung mempengaruhi kondisi perbankan.
Namun berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal perbankan melalui penghitungan rasio-rasio keuangan
yang dapat dianggap sebagai proxies dari kesehatan bank serta dengan menggunakan metoda Discriminant
Analysis diperoleh beberapa faktor yang secara signifikan mempengaruhi kondisi solvency. Faktor-faktor
tersebut adalah kualitas aktiva produktif, kecukupan modal (CAR) dan likuiditas.
Faktor-faktor penentu tersebut tidak berdiri sendiri, namun memiliki interkorelasi antara satu dengan
lainnya dalam satu jangka waktu tertentu. Interkorelasi antar variabel berdasarkan fungsi waktu dinyatakan
dalam matrix system. Berdasarkan matrix system dapat diprediksi kondisi faktor-faktor penentu satu periode
yang akan datang dan kondisi solvency perbankan baik secara individual maupun global.
Melalui pengembangan lebih lanjut dengan mengidentifikasi variabel-variable mikro serta makro yang
memiliki korelasi dengan kondisi solvency perbankan, metode ini dapat digunanakan sebagai dasar dalam
membangun sistem pengawasan dini (early warning model) guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya
krisis perbankan dimasa mendatang.
*) Gusti Ayu Indira : Peneliti Bank Junior, Tim 2, UPPB, BI, email : indira_ga@hotmail.com
Dadang Muljawan : Peneliti Bank Junior, Tim 2, UPPB, BI, email : dadang_bi@hotmail.com
Penulis mengucapkan terima kasih untuk diskusi dan komentar dari Ibu Miranda S.Gultom (Direktur BI), Bp. Erman
Munzir (Kepala UPPB), Bp. Ardhayadi (Deputi Kepala UPwB2), Bp. Muliaman D.Hadad (Peneliti Ekonomi, Biro
Gubernur), dan bantuan dalam perolehan data kepada Tim 4-UPPB
170 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
D ewasa ini krisis keuangan dan perbankan sudah menjadi suatu fenomena umum
yang terjadi tidak hanya di negara-negara maju seperti Amerika dan Jepang, namun
juga melanda negara-negara berkembang di belahan dunia bagian Timur, misalnya negara-
negara kawasan Asia Pasifik. Krisis yang melanda sistem keuangan tidak hanya menjadi
beban bagi perekonomian suatu negara tetapi juga berpotensi mempengaruhi efektivitas
kebijaksanaan moneter. Dalam hal ini, beban ekonomi yang harus ditanggung adalah
berkurangnya volume dan efisiensi lembaga intermediasi sebagai akibat ditutupnya operasi
sejumlah bank maupun gencarnya upaya bank merestrukturisasi portofolionya. Krisis
keuangan juga menempatkan pemerintah pada posisi yang dilematis dalam menuangkan
suatu kebijakan. Di satu sisi pemerintah dituntut untuk berhati-hati dalam menerapkan
kebijakan moneter agar tidak memperburuk sistem perbankan, namun disisi lain sistem
perbankan yang tidak sehat dapat menjadi faktor penghambat pencapaian target kebijakan
moneter.
Secara global, krisis keuangan dapat disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal
yang terdapat dalam sistem keuangan suatu negara. Beberapa pakar keuangan, melalui
latar belakang dan sudut pandangnya masing-masing, berupaya memberikan penjelasan
logis terhadap latar belakang krisis tersebut. Diantaranya adalah Stanley Fischer yang
mengemukakan tiga hal mendasar yang dapat menjelaskan latar belakang terjadinya krisis
tersebut1. Pertama, walaupun tidak ada kaitan langsung antara deregulasi dan krisis
keuangan, sistem perbankan di beberapa negara banyak yang menghadapi problema setelah
pemerintah melancarkan kebijakan deregulasi, khususnya jika kerangka ketentuan (regulatory
framework) serta perangkat sistem pengawasan (prudential supervision) tidak mampu
mengakomodasi tuntutan deregulasi tersebut2.
Kedua, perkembangan financial market yang demikian marak dan diikuti oleh berbagai
inovasi produk-produk keuangan yang bercirikan inherent risk yang relatif tinggi, namun
ironisnya substansi produk-produk tersebut belum dipahami sepenuhnya oleh otoritas
pengawasan bank. Apabila dianalogikan, maka dapat dikatakan bahwa perkembangan
industri keuangan, khususnya perbankan bergerak dalam deret ukur, sementara kemampuan
otoritas pengawas bergerak dalam deret hitung.
1. Stanley Fischer, Central Banking : The Challenges Ahead - Financial System Soundness, Finance & Development,
March 1997.
2. Misalnya, Argentina, Finlandia, Thailand dan Venezuela.
Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis 171
ekonomi berjalan dengan efektif. Sementara itu, Mark Gertler & Andrew Rose (1994)
berargumentasi bahwa liberalisasi tidak perlu ditunda sampai kondisi makroekonomi
sempurna, namun paling tidak liberalisasi tersebut didukung oleh kebijakan yang secara
langsung mempromosikan pertumbuhan dan stabilitas sektor riil. Berdasarkan pengamatan
secara historis di beberapa negara, dapat disimpulkan bahwa liberalisasi di sektor keuangan
pada umumnya didahului oleh suatu masa dimana institusi keuangan mengalami 'tekanan'
(financial repression) melalui berbagai kebijakan pemerintah yang membatasi ruang gerak.
Misalnya kebijakan penyaluran kredit yang diprioritaskan kepada sektor-sektor pemerintah
(dictated/directed lending), kebijakan pemeliharaan reserve requirement dengan persentase yang
cukup tinggi3, kebijakan penetapan suku bunga baik terhadap produk-produk keuangan
yang ada disisi assets maupun liabilities, dan sebagainya. Pada masa tersebut, pemerintah
memposisikan perbankan sebagai instrumen untuk mempromosikan kegiatan investasi
dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi. Beranjak dari konsepsi dasar tersebut,
pengawasan yang dilakukan terhadap sistem perbankan lebih difokuskan pada kepatuhan
bank dalam menunjang kebijakan ekonomi dan moneter (macro economic supervision), sementara
pengawasan terhadap kesehatan (prudential supervision) kurang mendapatkan perhatian.
Dengan adanya kebijakan pagu suku bunga menyebabkan masyarakat lebih tertarik
menanamkan uangnya dalam bentuk aset yang mampu memberi perlidungan terhadap
inflasi (inflation hedges), misalnya tanah dan emas, yang tentu saja tidak dapat berperan
secara efisien sebagai financial intermediation. Kondisi ini pada gilirannya menciptakan iklim
ekonomi yang kurang kondusif, sehingga pada akhirnya Pemerintah mengambil tindakan
represif melalui kebijakan liberalisasi sektor keuangan. Kebijakan ini selanjutnya membawa
dampak pada pertumbuhan aset bank yang pesat, peningkatan hutang (over-indebtedness)
serta asset price bubbles. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Paul Krugman, penyebab
krisis yang terjadi di kawasan Asia lebih disebabkan oleh asset price bubles yang dikemudian
hari mengalami kemerosotan nilai (collapse)4. Problem berawal dari moral hazard yang terjadi
pada financial intermediation dimana dianggap bahwa pemerintah baik secara nyata maupun
implisit akan memberikan jaminan terhadap dana masyarakat karena berpegang pada
anggapan too big to fail. Pola pikir demikian mendasari financial intermediation melakukan
aktivitas lending yang cenderung berisiko tinggi, sehingga pada gilirannya memacu inflasi
atas asset prices5. Untuk sementara waktu peningkatan asset prices akan membuat kinerja
3. Penelitian yang dilakukan oleh Maxwell J. Fry menunjukkan bahwa selama periode 1978-1987, rata-rata rasio
reserve requirement di 91 negara berkembang mencapai 21,2% dibandingkan dengan 7,1% rasio di negara maju.
4. Krugman memformulasikan suatu model yang menjelaskan bahwa krisis Asia diawali oleh financial excess yang
kemudian diikuti oleh financial collapse. Pandangan ini memberikan interpretasi bahwa currency crisis bukan
menyebabkan krisis melainkan merupakan gejala awal (symptom) terjadinya krisis.
5. Jepang merupakan salah satu negara yang menghadapi masalah asset prices bubles, dan saat ini sedang melakukan
restrukturisasi setelah berupaya keras mengatasi masalah tersebut selama 10 tahun terakhir.
172 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
neraca lebih baik daripada kenyataannya. Namun pada saat terjadi asset prices burst, financial
intermediation akan menghadapi masalah insolvency. Secara umum dapat disimpulkan bahwa
financial liberalization dapat menjadi faktor yang meningkatkan kerentanan sistem perbankan
(banking fragility).
Sejauh ini belum ada satu sumber yang menetapkan suatu patokan yang bersifat baku
yang dapat menandakan bahwa kondisi perbankan berada dalam keadaan krisis. Suatu
studi empiris yang dilakukan oleh Asli Demirguc-Kunt dan Enrica Detragiache6 untuk
menentukan faktor determinan krisis perbankan menggariskan bahwa suatu periode
kemerosotan perbankan dapat dikategorikan sebagai krisis apabila memenuhi paling sedikit
satu dari empat kondisi berikut, yaitu (i) rasio non-performing assets terhadap total assets
dalam sistem perbankan telah melampaui 10%, (ii) biaya penyelamatan bank paling tidak
mencapai 2% dari GDP, (iii) masalah perbankan telah menyebabkan terjadinya nasionalisasi
bank-bank, dan (iv) penarikan dana besar-besaran (bank runs) atau pembekuan dana nasabah
(deposit freezes) atau penjaminan simpanan masyarakat secara merata yang diberlakukan
oleh pemerintah.
6. Studi tersebut didasarkan atas studi yang dilakukan oleh Caprio & Klingebiel (1996), Drees & Pazarbasioglu
(1995), Kaminsky & Reinhart (1996), Lindgren et al. (1996), dan Sheng (1995) melalui survey terhadap bangking
sector fragility diseluruh dunia dalam periode 1980-1994.
Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis 173
Grafik 1
Faktor kedua dari infrastruktur ekonomi adalah liberalisasi sektor keuangan. Apabila
tidak dilandasi dengan infrastuktur yang diperlukan dan disertai dengan penyesuaian
yang tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, maka dapat dipastikan
liberalisasi hanya akan menjadi cikal bakal munculnya permasalahan yang kompleks.
Contoh dari ekses negatif program liberalisasi perbankan dapat dilihat pada sejarah
perjalanan perbankan Indonesia, dimana melalui kebijakan tahun 1988 pemerintah memberi
kemudahan bagi pendirian bank. Kebijakan ini pada akhirnya membawa dampak pada
174 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
struktur industri perbankan Indonesia dengan intensitas kompetisi yang tinggi dan
berpengaruh buruk pada tingkat efisiensi dan kesehatan perbankan dalam jangka panjang.
Secara teoritis, keberadaan pasar perbankan yang terbuka, kompetitif dan berfungsi dengan
baik dapat menjadi social control dalam melakukan seleksi alam bagi bank yang tidak efisien
dan efektif, serta dapat membentuk suatu disiplin pasar (market discipline) yang mendukung
terciptanya sistem perbankan yang sehat. Dalam prakteknya tidak demikian yang terjadi.
Market discipline tidak dapat ditegakkan dengan mudah karena dilema yang harus dihadapi
pemerintah, yaitu antara systemic risk vs liquidity support. Dengan membiarkan bank
berguguran, pemerintah khawatir akan risiko yang ditimbulkan apabila masyarakat
kehilangan kepercayaan terhadap lembaga perbankan yang secara filosofi dibangun atas
dasar kepercayaan masyarakat. Beranjak dari kekhawatiran tersebut, pemerintah memilih
untuk memberikan bantuan bagi bank-bank yang kesulitan likuiditas.
Faktor ketiga dari infrastruktur ekonomi adalah kondisi ekonomi dan non-ekonomi.
Sebagai institusi yang berperan penting dalam dunia perekonomian, sistem perbankan dapat
merefleksikan kondisi perekonomian secara keseluruhan. Pada saat perekonomian
mengalami kelesuan maupun resesi, maka perbankan akan berpotensi menghadapi masalah
dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Secara umum sistem perbankan yang
sehat akan memiliki struktur permodalan dan cadangan yang memadai untuk mendukung
aktivitas bisnis dalam kondisi normal, namun kasus-kasus yang terjadi dibeberapa negara
membuktikan bahwa standar permodalan minimun yang ditetapkan tidak memadai dalam
kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal inipun terjadi di Indonesia, dimana krisis
perekonomian, yang diawali dengan depresiasi mata uang domestik terhadap US dollar
(currency crisis), mengakibatkan banyak bank-bank menjadi insolvent, dimana (i) sisi liabilities
yang didominasi valuta asing membengkak, (ii) asets yang non-performing meningkat karena
banyak debitur yang default, (iii) kepanikan para deposan sehingga banyak yang menarik
dananya, (iv) depresiasi yang berkepanjangan menyebabkan kredit dalam valuta asing
meningkat sehingga rasio CAR menjadi turun. Namun perlu diingat bahwa currency crisis
sebaiknya tidak dipandang sebagai faktor penyebab terjadinya krisis perbankan, melainkan
lebih merupakan suatu momentum yang membuktikan betapa rapuhnya (fragile) industri
perbankan di Indonesia, karena cepat atau lambat dengan kondisi yang rapuh, perbankan
akan berpotensi mengalami stagnasi.
Disamping itu, sistem perbankan di Indonesia juga banyak dipengaruhi oleh kondisi
non-ekonomi, misalnya stabilitas dan campur tangan politik ataupun bencana alam.
Goncangan politik yang terjadi saat ini secara langsung menurunkan kepercayaan terhadap
ekonomi dan sistem keuangan sehingga mengakibatkan meningkatnya arus modal ke luar
negeri (capitalflight), kenaikan harga-harga serta turbulensi nilai tukar. Sementara itu, campur
tangan politik menyebabkan tidak efektifnya implementasi kebijakan intern perbankan
Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis 175
maupun sistem pengawasan oleh otoritas. Misalnya kewajiban penyaluran kredit kepada
sektor ataupun industri tertentu yang sebenarnya tidak menciptakan nilai tambah dalam
rantai produksi nasional, yang dikucurkan tanpa penilaian terhadap kelayakan proyek
tersebut.
Kedua, pengaturan internal (internal governance). Kesehatan suatu bank sangat
bergantung pada pemilik dan pengelola bank. Pemilik bertanggungjawab terhadap
kecukupan modal bank untuk dapat mengantisipasi kerugian yang mungkin terjadi,
sementara pengelola membangun dan mempertahankan bank agar tetap sehat,
mempertahankan nilai bank dengan memastikan portfolio asset yang sehat dan dapat
menghasilkan income yang memadai serta menilai struktur kewajiban (liabilities) dalam
rangka mengelola likuiditas bank. Pada kenyataannya, banyak pemilik yang menjadikan
bank sebagai sumber pembiayaan (cash cow) bagi kepentingan usahanya, dan bahkan kredit
yang dikucurkan melampui Batas Maksimum Pemberian Kredit. Apabila motivasi memiliki
bank didasarkan pada keinginan untuk memanfaatkan bank bagi kepentingan sendiri, maka
internal governance secanggih apapun tidak dapat menjamin kesehatan bank. Disamping
itu, seringkali terjadi benturan kepentingan (conflictofinterest) antara pemilik dan pengelola.
Masing-masing pihak berusaha melindungi kepentingannya dan mencapai tujuannya
sehingga pada akhirnya mengabaikan tujuan semula, yaitu memaksimalkan the value of the
bank.
Ketiga, pengaturan eksternal (external governance) melalui pengaturan dan
pengawasan yang dilakukan oleh bank sentral. Sejauh ini, salah satu kelemahan dalam
pengaturan perbankan di Indonesia adalah penciptaan market discipline yang memastikan
bahwa bank yang tidak sehat tidak dapat melanjutkan usahanya. Untuk menunjang
berfungsinya pengaturan dan pengawasan perbankan yang kredibel, otoritas pengawasan
harus berada dalam suatu struktur institusi yang memiliki kapasitas, otoritas dan
independensi.
Menyadari bahwa krisis perbankan akan membebani perekonomian nasional, maka
pemahaman mengenai konsep solvency menjadi sangat strategis di dalam mengantisipasi
terjadinya krisis, yaitu melalui proyeksi kondisi di masa yang akan datang yang dapat
memberikan indikasi awal terhadap kecenderungan banking fragility yang pada akhirnya
dapat membawa perbankan pada kondisi krisis.
Analisis Solvency
Pengklasifikasian secara tepat apakah suatu sistem perbankan berada dalam kondisi
sehat atau tidak sehat bukan merupakan hal yang mudah karena tidak ada suatu patokan
(benchmark) yang dapat menentukan kapan sistem perbankan tidak sehat atau kapan krisis
perbankan akan terjadi. Disamping itu, tingkat kerentanan (vulnerable) sistem perbankan
176 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
dari waktu ke waktu berubah-ubah. Pada saat tertentu sistem perbankan dapat berfungsi
dengan baik namun pada lain kesempatan menunjukkan tanda/gejala adanya masalah di
masa mendatang (potential problem). Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka sebagai
langkah antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya krisis perbankan., otoritas pengawasan
di berbagai negara telah merancang suatu early warning system yang berfungsi sebagai
indikator dalam menentukan kemungkinan suatu bank mengalami kesulitan. Pada dasarnya
indikator-indikator tersebut bersumber dari laporan-laporan periodik yang disampaikan
bank kepada otoritas pengawasan. Semakin banyak data yang tersedia, maka model yang
dapat dikembangkan menjadi semakin komprehensif.
Salah satu faktor penting yang mendukung terciptanya sistem perbankan yang
sehat adalah bank yang sehat. Sampai saat ini pendekatan yang digunakan secara luas
untuk menentukan kesehatan suatu sistem perbankan adalah konsep solvency. Carl-Johan
Lindgren, Gillian Garcia dan Mathew Saal mendefinisikan sistem perbankan yang sehat
sebagai "one in which most banks (those accounting for most of the system's assets and liabilities) are
solvent and are likely to remain so. Solvency is reflected in the positive net worth of a bank, as
measured by the difference between the assets and liabilities in its balance sheet. The likelihood of
remaining solvent will depend on banks' being profitable, well managed, and sufficiently well
capitalized to withstand adverse events".
kepermukaan adalah masalah kesulitan likuiditas (illiquidity). Hal ini disebabkan bank
yang mengalami kerugian karena tidak dapat beroperasi secara efisien ataupun tidak dikelola
secara profesional dan berhati-hati, dapat menyembunyikan ataupun tidak membukukan
kerugian tersebut dalam income statement, baik dengan melakukan plafondering maupun accrue
bunga kredit yang non-performing. Untuk sementara waktu kerugian tersebut dapat diatasi
dengan mencari sumber dana dari nasabah-nasabah baru ataupun pinjaman lainnya, namun
pada saat sumber dana sulit diperoleh maka kesulitan likuiditas tidak dapat dihindari.
Selain itu, tidak tertutup kemungkinan suatu bank dapat tetap liquid meskipun secara
finansial sudah insolvent karena memperoleh bantuan likuiditas dari bank sentral dalam
kapasitasnya sebagai lender-of last resort. Hal ini dapat disebabkan oleh 2 hal, pertama, bank
sentral menghidari terjadinya systemic risk yang disebabkan oleh bank panic karena bank
yang insolvent terpaksa harus dilikuidasi, walaupun kemungkinan beban kumulatif yang
harus ditanggung pemerintah melampaui beban yang timbul jika pemerintah melikuidasi
ataupun merestrukturisasi bank-bank tersebut. Kedua, keterbatasan dalam sistem informasi
perbankan serta early warning system yang belum mampu memberikan indikasi serta prediksi
terhadap bank yang insolvent maupun berpotensi menjadi insolvent.
Konsep solvency pada dasarnya bersifat statis karena pengukuran hanya dilakukan
pada suatu titik waktu tertentu sehingga belum sepenuhnya dapat menggambarkan kondisi
bank yang sebenarnya. Untuk menyempurnakan pendekatan solvency ini diperlukan suatu
penilaian yang lebih berorientasi kedepan (forward-looking) yang mencakup faktor penentu
insolvency, yaitu antara lain meliputi kualitas aset dan rentabilitas yang buruk, faktor-faktor
kualitatif, misalnya kelemahan manajemen, kegagalan pengendalian intern dan ekstern
serta dampak potensial dari kejadian/fenomena eksternal. Dalam salah satu artikelnya
mengenai ketentuan permodalan, Allan Greenspan menyatakan bahwa the likelihood of
insolvency is determined by the level of capital a bank holds, the maturities of its assets and liabilities,
and the riskiness of its portfolio7. Pandangan ini menyatakan bahwa insolvency terkait erat
dengan struktur permodalan bank, pengelolaan likuiditas yang tercermin dari profil maturitas
sumber dan penanaman dana serta pengelolaan risiko penanaman dana. Sementara itu,
dari sudut pandang ekonomi, kondisi insolvency terjadi jika present value dari aliran net cash
flow yang diharapkan bernilai negatif dan melampaui jumlah modal bank. Pengukuran
insolvency melalui pendekatan-pendekatan tersebut diatas harus didukung oleh sistem
informasi perbankan yang komprehensif, misalnya tersedianya laporan maturity profile,
laporan cash flow serta penilaian risiko portfolio. Saat ini sistem pelaporan perbankan belum
sepenuhnya dapat mencerminkan kondisi perbankan yang sebenarnya, sehingga dapat
7. Allan Greenspan, dalam sudut pandangnya mengenai ketentuan permodalan yang harus mencakup insolvency
probability
178 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
menjelaskan mengapa masalah perbankan yang muncul tidak dapat dideteksi lebih dini
bahkan dinegara-negara maju sekalipun.
Apabila sudah diketahui karakteristik bank-bank yang insolvent tersebut maka melalui
metode kuantitatif Discriminant Analysis dapat diperkirakan faktor-faktor yang paling
membedakan (the most discriminating factor) antara bank yang solvent dan insolvent8. Adapun
persamaan fungsi Discriminant Analysis adalah :
Z = V 1 X 1 + V 2 X 2 + ...... + V n X n ,
Model Z score ini merupakan analisa linear dimana variabel independen diberi
timbangan secara obyektif dan dijumlahkan untuk memperoleh nilai keseluruhan, yang
kemudian akan dijadikan basis dalam mengklasifikasikan bank kedalam salah satu
kelompok a priori tersebut. Disamping itu, melalui model ini dapat diketahui bank-bank
yang berpotensi menjadi insolvent karena memiliki karakteristik yang mendekati bank yang
insolvent. Apabila dikembangkan lebih lanjut, metode ini dapat digunakan sebagai early
warning system yang membantu pelaksanaan fungsi pengawasan bank.
8. Model ini sebenarnya pernah digunakan oleh Sinkey (1975) dalam memformulasi early- warning model untuk
memprediksi bank failures, dan juga oleh Altman & Sametz (1977) untuk membedakan antara perusahaan yang
sehat dan bangkrut. Discriminant Analysis digunakan untuk mengklasifikasi suatu obyek observasi kedalam
beberapa grup a priori berdasarkan karakteristik obyek observasi tersebut. Utamanya digunakan untuk
mengelompokkan dan/atau memprediksi obyek observasi, dalam hal variabel dependen berbentuk kualitatif,
misalnya bangkrut atau tidak bangkrut, sehat atau tidak sehat.
Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis 179
Dari hasil analisis tersebut juga diperoleh discriminant coefficient yang digunakan untuk
memformulasikan discriminant function dan menghitung Z score,yaitu:
Z CU = NAZA +NBZB
NA+NB
dimana : Z CU = Critical cutting score
N A = jumlah anggota grup A
N B = jumlah anggota grup B
Z A = Centroid grup A
ZB = Centroid grup B
Tabel 1
Beberapa rasio keuangan sebagai indikator dalam early warning model
Capital
X1 Capital adequacy ratio Total Modal (sesuai penghitungan KPMM) dibagi Aktiva
Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)
X2 Equity capital to assets Modal equity (modal disetor + agio + modal pinjaman) dibagi
total aset
Asset Quality
X3 Classified loans to total loans Total kredit yang diklasifikasikan dibagi total kredit
X4 Loans to assets Total kredit dibagi total aset
Management
X5 Operating expense to total Total biaya operasional dibagi total pendapatan
revenue
Earning
X6 Loan revenue to total Total pendapatan bunga kredit dibagi total pendapatan
revenue
X7 Return on assets Total pendapatan bersih dibagi total aset
Liquidity
X8 Liquid assets to total assets Total aset lancar dibagi total aset
Untuk memprediksi kondisi, perlu dilakukan identifikasi perilaku antara satu variabel
dengan variabel lainnya dalam satu matrix system (A). Melalui metode ini, prediksi tidak
hanya didasarkan pada kondisi satu variabel saja, akan tetapi juga interdependency antara
satu variabel dengan lainnya. Identifikasi matrix system dilakukan secara moving average
karena perilaku matrix system akan berbeda dari waktu ke waktu, sebagaimana digambarkan
dalam diagram berikut :
o
X X dalam persamaan o
A X=A X
o
X1 a11 a1 2 a1 3 X1
o
X3 a21 a2 2 a2 3
= X3
X8 o
a31 a3 2 a3 3 X8
Dalam tulisan ini akan dilakukan prediksi terhadap 18 bank yang dipilih secara
random, yang mewakili seluruh jenis bank baik yang dianggap sebagai bank yang solvent
maupun bank yang dianggap insolvent. Proses selanjutnya adalah menetapkan rasio-rasio
variable X1, X3 dan X8 dari 18 bank tersebut pada bulan Januari-Juli 1998. Dengan
menggunakan regresi dalam periode Januari sampai Juli 1998 didapatkan koefisien
pendekatan yang membentuk matrix system dan koefisien konstanta untuk ke-18 bank tersebut.
Matrik-matriks tersebut merupakan matrixs system dari bank-bank secara individual yang
diharapkan akan dapat memberikan respon yang mendekati keadaan sebenarnya jika
diberikan input. Prediksi untuk kondisi solvency bulan Agustus [solvency (t)] dengan
memasukkan input kondisi bulan Juli [KAP(t+1), CAR(t+1), LIQ(t+1)]. Selanjutnya setelah
didapatkan [KAP(t), CAR(t), LIQ(t)] fungsi dimasukkan ke dalam fungsi solvency umum
sehingga menghasilkan prediksi solvency di bulan Agustus. Sebagai contoh, apabila fungsi
ini dimasukkan kedalam 4 bank maka akan diperoleh gambaran sebagaimana dalam Grafik
2. Grafik tersebut menunjukkan bahwa solvency merupakan fungsi dari faktor kualitas aktiva
produktif, capital adequacy ratio dan likuiditas. Pergerakan dari faktor-faktor tersebut untuk
selanjutnya dapat menerangkan arah kecenderungan solvency.
Grafik 2
40
15
Bank A
Percentage
Bank A
Percentage
30
Bank B
Bank B
Bank C 10
20 Bank C
Bank D
Bank D
10 5
0
jan feb mar apr may jun jul aug 0
jan feb mar apr may jun jul aug
Liquidity Solvency
0.08 10
0.06 0
Bank A Bank A
Percentage
Percentage
Bank B Bank B
0.04 -10
Bank D Bank C
Data D Bank D
0.02 -20
0 -30
jan feb mar apr may jun jul aug
jan feb mar apr may jun jul aug
182 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Selanjutnya, hasil uji akurasi terhadap nilai prediksi diketahui bahwa matrik sistem
cukup dapat memberikan hasil prediksi yang cukup baik meskipun tingkat akurasi yang
ditunjukkan dalam standar deviasi menunjukkan angka sebaran yang cukup lebar. Hal ini
disebabkan oleh kondisi perbankan yang tidak berada dalam kondisi yang normal. Terdapat
lonjakan-lonjakan besaran yang tidak dengan cepat dapat terekam oleh matrik sistem karena
sistem yang teridentifikasi disusun berdasarkan metoda moving average sehingga efek
smoothing menyebabkan sistem lambat untuk mengadaptasi perilaku sistem secara cepat.
Analisis secara statistik terhadap hasil prediksi digambarkan dalam grafik berikut :
6 6
F rek uens i
Frek uens i
4 4
2 2
0 0
>- 0.4 >- 0.2 -0.2- 0.2 <0 .4 <0 .6 >-0.4 >-0.2 -0.2-0.2 <0 .4 <0 .6
In terva l In terva l
4
3
Fre kue ns i
Fr eku ens i
3
2
2
1
1
0 0
>-0.4 >-0.2 -0 .2-0.2 <0.4 <0.6 >-0.4 >-0.2 -0.2-0.2 <0.4 <0.6
Inte rval Inte rval
Kesimpulan
Krisis perbankan yang terjadi di setiap negara membawa dampak yang merugikan
terhadap perekonomian secara umum dan sistem keuangan secara khusus. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, perlu dikembangkan suatu early warning system yang dapat
memprediksi kondisi kesehatan suatu bank secara individu maupun sistem perbankan
secara keseluruhan dengan menggunakan konsep solvency dan faktor-faktor yang mewakili
probabilitas terjadinya insolvency. Dalam hal ini penggunaan Discriminant Analysis akan
sangat membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor utama (crucial) yang dapat
menjelaskan perbedaan antara bank yang solvent dan insolvent. Selanjutnya, melalui
identifikasi matrix system yang dikembangkan dari variabel-variabel yang diperoleh dari
Discriminant Analysis, dapat diprediksi perilaku sistem baik secara individual maupun
sistemik serta respons yang akan dihasilkan oleh sistem terhadap suatu variabel endogen
maupun eksogen.
Hasil pengujian terhadap 18 bank dengan metode tersebut menunjukkan nilai proyeksi
yang cukup mendekati nilai nyata yang ditunjukkan dengan mean simpangan yang kecil.
Walaupun demikian, matrix system yang terbentuk tidak dapat secara segera mengadaptasi
perubahan yang cepat. Hal ini disebabkan efek dari moving average yang bersifat
menghaluskan (smoothing) variabel-variabel yang terekam.
Daftar Pustaka
Hooks, Linda M, Bank Asset Risk : Evidence From Early Warning Models, Contemporary
Economic Policy Vol. XIII, October 1995
Lindgren, Carl-Johan, Gillian Garcia, and Matthew Saal, Bank Soundness and
Macroeconomic Policy, International Monetary Fund, Washington, 1996
184 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Fischer, Stanley, Financial System Soundness, Finance & Development, March 1997
Demirguc-Kunt, Asli & Enrica Detragiache, The Determinants of Banking Crises : Evidence
from Developing and Developed Countries, IMF Working Paper, 1997
Mark Gertler & Andrew Rose, Finance, Public Policy, and Growth, Financial Reform,
Theory and Experience, 1994.
Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut 185
Mahdi Mahmudy *)
Krisis keuangan Asia yang pertama kali dipicu oleh devaluasi Thai Baht pada pertengahan tahun lalu
telah menyeret jatuhnya nilai mata uang dan pasar modal negara-negara tetangganya seperti Malaysia,
Phillipina, Korea, dan Indonesia. Semakin terpuruknya perekonomian, mengakibatkan negara-negara yang
terkena krisis untuk meminta bantuan lembaga internasional seperti IMF, world Bank dan ADB. Berbagai
kebijakan ekonomi makro baik moneter, fiskal, keuangan dan sektor riil telah dicoba untuk mengatasi krisis
tersebut. Namun, karena kompleks faktor penyebab, serta munculnya permasalahan sosial dan politik akibat
krisis tersebut, kebijakan makro yang konvensional berupa pengetatan moneter dan fiskal belum menunjukkan
hasil seperti yang diharapkan.
Krisis tersebut diperburuk oleh kondisi perekonomian Jepang yang juga sedang mengalami berbagai
permasalahan internal. Jepang, sebagai negara yang perekonomiannya terbesar kedua didunia, merupakan
lokomotif yang penting dalam mendorong perekonomian Asia dan dunia. Terpuruknya perekonomian Asia
telah membawa pengaruh contagion terhadap Russia, Eropa Timur dan Amerika Latin. Bila tidak segera diatasi
secara menyeluruh dan bersama-sama, krisis tersebut diduga akan mengakibatkan krisis global dan membawa
perekonomian dunia kearah depresi.
*) Mahdi Mahmudy : Peneliti Ekonomi Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, UREM, Bank Indonesia,
Email : mahdi_m@mail.bi.go.id
186 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Pendahuluan
M eskipun telah memasuki usia setahun, krisis ekonomi dan keuangan Asia belum
menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Bahkan, krisis tersebut cenderung
mengglobal. Hal ini diperburuk oleh perekonomian Jepang yang juga sedang mengalami
sakit yang cukup parah akibat besarnya non-performing loan sektor perbankan dan hambatan-
hambatan struktural lainnya. Jepang, sebagai negara yang perekonomiannya terbesar di
dunia, merupakan salah satu lokomotif penting dalam mendorong perekonomian Asia
dan dunia. Suramnya kondisi perekonomian Asia mempunyai pengaruh contagion terhadap
kawasan lainnya.
Tulisan ini akan memaparkan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan krisis tersebut,
baik faktor-faktor penyebab, pengaruh pada perkembangan ekonomi kawasan lainnya,
kebijakan yang telah diambil, serta kritikan terhadap kebijakan IMF dalam upaya-upaya
penanganan krisis selama ini. Struktur organisasi penulisan akan sebagai berikut. Krisis
ekonomi dan keuangan Asia serta dampaknya terhadap kawasan lainnya serta
perekonomian dunia dikemukan pada bagian II. Bagian III akan menjelaskan beberapa
faktor penyebab krisis muncul. Kebijakan yang diambil dalam mengatasi krisis serta kritik-
kritik terhadap kebijakan yang disarankan IMF dikemukan pada bagian IV. Tulisan ini
akan diakhiri dengan rangkuman yang merupakan bagian V.
Lebih lanjut krisis Asia tersebut terus menggelinding dan membesar seperti
bergulirnya snow ball. Sakitnya perekonomian Asia telah menyebar ke Russia dan Eropa
Timur . Melemahnya nilai tukar Rubel menyebabkan melemahnya mata uang serta pasar
modal negara-negara yang perekonomiannya sangat terkait erat dengan Russia seperti
Ukraine, Belarus, Czech Republic, Polandia, serta Rumania.
BahtThailand/Dolar Rupiah/Dolar
Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98 Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98
20 800
25 2,800
30 4,800
35 6,800
40 8,800
45 10,800
50 12,800
55 14,800
60 16,800
1,000
110
1,200
120
1,400
1,600 130
1,800
140
2,000
2,200 150
25000
20000
Nikkei 225 (Jepang)
15000
Hang Seng (Hong Kong)
10000
5000
0
Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98
188 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
untuk membiayai anggaran defisit, sekitar 7% dari GDP, mengakibatkan negara tersebut
terpaksa membayar mahal terhadap gejala capital outflow dengan menaikkan suku bunga
secara drastis mendekati 50% pada bulan September 1998. Melemahnya perekonomian
Brazil diduga akan membawa pengaruh yang buruk terhadap negara Amerika latinnya
seperti Venezeula, Argentina, Columbia, Chili dan Mexico.
Namun, secara tidak langsung negara-negara industri mulai merasakan pengaruh krisis.
Pengaruh tidak langsung tersebut antara lain terlihat dari jatuhnya harga-harga komoditi
yang diperdagangkan. Terpuruknya perekonomian negara-negara di kawasan yang terkena
krisis disertai dengan melemahnya mata uang mereka, menyebabkan jatuhnya harga tradable
goods serta melambatnya perdagangan dengan negara-negara industri yang dekat dengan
Asia seperti, New Zealand dan Australia. Majalah Economist3 menyebutkan dampak krisis
menyebabkan commodity price index turun sebesar 30% sejak pertengahan tahun 1997.
Penurunan ini merupakan yang tertinggi sejak 25 tahun terakhir. Bahkan harga-harga
industrial commodities secara riil berada pada posisi yang paling rendah sejak tahun 1930-an.
Memasuki tahun 1998, perekonomian negara-negara Asia dan Amerika Latin masih
melambat. Hal ini terutama disebabkan oleh menurunnya tingkat konsumsi, investasi, serta
belum pulihnya capital inflow ke kawasan tersebut4 . Melambatnya pertumbuhan ekonomi
negara-negara Asia dan Amerika Latin tersebut, mulai mengkhawatirkan negara-negara
maju. Mereka menyadari kalau tidak segera diatasi, krisis Asia, Rusia, Eropa Timur, serta
Amerika Latin bisa mengarah ke krisis global terutama karena kepanikan pelaku pasar
keuangan dan menurunnya volume perdagangan dunia. Terpuruknya pasar modal
dinegara-negara yang mengalami krisis mulai menunjukkan psychology effect terhadap pasar
saham Wall Street dan pasar modal negara industri lainya. Krisis Russia dan Brazil sempat
3000
Dow Jones (Am erika)
2800
2600
2400
FT (Inggris)
2200
2000
Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98
membuat panik pelaku pasar atau investor Amerika, sehingga mereka mulai menjual saham
yang mereka miliki. (lihat Grafik 3).
menekan nilai tukar dan mempengaruhi inflasi5. Ketiga, karena lemahnya sektor keuangan.
Liberalisasi sektor keuangan mengakibatkan cepatnya pertumbuhan sistem keuangan.
Pertumbuhan yang cepat tersebut cenderung tidak diikuti dengan rambu-rambu pengaman
serta sistem pengawasan yang handal. Besarnya pinjaman luar negeri dari sektor keuangan
yang tanpa di hedge dan berjangka pendek banyak dijumpai pada negara-negara Asia. Financial
panic merupakan faktor keempat penyebab krisis. Situasi bank run karena masyarakat panik
terhadap anjloknya nilai tukar serta adanya beberapa bank yang collapse dan ditutup,
mengakibatkan masyarakat menarik dananya dari sistem perbankan untuk di simpan di rumah,
dibelikan hard currencies, atau ditransfer ke luar negeri. Kondisi krisis ini pada negara tertentu,
seperti Indonesia, mengakibatkan pergantian pemerintahan yang diikuti oleh munculnya
masalah-masalah non-ekonomi seperti social unrest, serta tekanan-tekanan politik terhadap
pemerintah. Keadaan ini telah membuat kegiatan pemulihan ekonomi menjadi semakin lama.
Dibidang fiskal, pada tahap awal IMF menekankan perlunya pelaksanaan kebijakan
fiskal yang ketat untuk membantu kontraksi moneter dan memperkuat nilai tukar. Namun,
kemudian IMF merubah stance kebijakan fiskal dari ketat menjadi longgar, karena keadaan
yang tidak memungkinkan. Sebagai contoh, IMF menyetujui perubahan kebijakan fiskal yang
semula ketat menjadi sedikit longgar pada Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia negara
5 Berdasarkan “World Economic and Finacial Surveys 1998” (IMF), krisis Asia mengakibatkan total net private capital
inflows tahun 1997 ke Indonesia, Malaysia, Philipina, dan Thailand menjadi negatif US$ 11 miliar dari US$ 72,9 miliar
tahun 1996
Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut 191
yang paling parah terkena krisis keuangan di Asia. Krisis di Indonesia mengakibatkan
tingginya tingkat pengangguran, meningkatnya jumlah orang yang berada dibawah garis
kemiskinan yang berdasarkan perkiran Bank dunia sekitar 45 juta atau 21% dari total
penduduk. Disamping itu, dalam tahun 1998 perekonomian Indonesia diperkirakan
mengalami pertumbuhan negatif 13%-15% . Untuk mengurangi dampak negatif dan
munculnya social unrest dari krisis tersebut, program jaringan pengaman sosial (social safety
nets) dan pemberian subsidi untuk beberapa komoditas disepakati untuk dilaksanakan. Untuk
TA 1998/99 fiskal defisit Indonesia diperkirakan 8,5% dari GDP yang seluruhnya akan dibiayai
dari luar negeri.
Disamping itu, dalam upaya mengurangi tekanan permintaan terhadap USD yang
lebih lanjut bisa memperlemah nilai tukar, kebijakan untuk menjadwalkan kembali hutang
swasta dan pemerintah juga dilaksanakan oleh Korea dan Indonesia. Sebagai contoh, Indonesia
berhasil melakukan rescheduling hutang swasta melalui berbagai pertemuan yaitu di New
York pada bulan April 1998, Tokyo pada bulan Mei 1998, serta disepakatinya Frankfurt
Agreement, pada bulan Juni 1998, antara swasta dan lender luar negeri. Kemudian dilanjuti
dengan Paris Club Meeting untuk menjadwalkan kembali hutang-hutang Pemerintah yang
jatuh tempo pada TA 1998/99 - sekitar US$ 1,8 miliar.
Sachs juga mengkritik saran IMF yang menganjurkan negara-negara Asia yang
mengalami krisis untuk mentargetkan surplus budget sebesar 1% dari GDP. Hal ini karena
negara-negara tersebut selama ini umumnya telah melaksanakan kebijakan fiskal yang
berhati-hati dan inti permasalahan krisis bukan bersumber dari fiskal. Pengetatan fiskal
dalam kondisi perekonomian yang sudah kontraksi akan mengakibatkan perekonomian
semakin dalam terpuruk. IMF kelihatannya menyadari kondisi ini, dan akhirnya
mengizinkan negara-negara yang terkena krisis untuk melaksanakan deficit budget.
Mengenai kebijakan moneter yang ketat dalam hal ekspansi kredit dan peningkatan
suku bunga untuk mengurangi likuiditas perekonomian guna memperkuat nilai tukar,
menurut Sach tidak banyak bermanfaat dalam kondisi financial panic. Tingginya suku bunga
dan ketatnya penyaluran kredit mengakibatkan bank mengalami negatif spread, non-
performing loan meningkat, serta cenderung merugi. Ketatnya pemberian kredit, diikuti
dengan tingginya suku bunga mengakibatkan pasar modal dan sektor real semakin
terpuruk, serta meningkatkan unemployment. (lihat Grafik 4a dan 4b).
Paul Krugman6 , menulis dalam berbagai artikel di majalah Fortune dan Far Eastern
Economic Review, yakin bahwa upaya temporary currency control disertai dengan penurunan
suku bunga atau dikenal dengan “Plan B” merupakan bagian upaya yang penting untuk
mengatasi krisis Asia. Hal ini berhubung kebijakan-kebijakan IMF (Plan A) dalam mengatasi
krisis Asia selama ini tidak hanya gagal tetapi telah memperburuk situasi.
Lebih jauh Krugman menyatakan bahwa dalam menerapkan kebijakan kontrol devisa
tersebut, suatu negara harus selalu mengacu pada upaya menekan hambatan-hambatan
pelaksanaan kegiatan usaha seminimal mungkin. Pertama, pelaksanaan kontrol sebagus
800
KLSE (Malaysia)
600
JSX (Indonesia)
400
SET (Thailand)
200
0
Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98
Negara Asia yang menerapkan ide Krugman tersebut adalah Malaysia7 dengan
memberlakukan selective exchange control (ECM) pada tanggal 1 september 1998 yang baru
70
60
KOSPI (Korea)
50
40
30
20
Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98
7 Bank Negara Malaysia,””Measures to Regain Monetary Independence”, press release, September 1998
194 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
lalu. Kebijakan ini diambil untuk mengendalikan nilai tukar Malaysian Ringgit(RM) yang
melemah, menghambat spekulasi terhadap RM, dan meminimumkan dampak negatif dari
arus modal jangka pendek terhadap perekonomian domestik. Kebijakan ECM tersebut
diikuti dengan kebijakan kurs tetap dan pelonggaran kebijakan moneter dengan penurunan
suku bunga untuk mendorong kegiatan sektor real. Kebijakan ECM yang drastis ini diambil
Malaysia karena menilai kebijakan moneter yang ketat dan restrukturisasi keuangan yang
dilakukan selama ini tidak menolong banyak dalam mengatasi krisis selama ini, bahkan
telah memperburuk kondisi yang ada.
Negara Asia lain yang cukup berhati-hati dan bertahap dalam meliberalisasi transaksi
devisa adalah RRC. Sampai saat ini RRC masih membatasi eksportir dalam kepemilikan
devisa yaitu sekitar 15% dari hasil penerimaan ekspor. Mata uang Ren Min Bi (RMB)
diupayakan tidak menjadi convertible currency . Namun, untuk investasi jangka panjang,
negara tersebut relatif terbuka terutama untuk sektor high-tech industry dan prasarana8 .
Kritik yang keras terhadap IMF juga dilontarkan oleh PM Inggris, Tony Blair. Dalam
debat tahunan di Majelis umum PBB pada tanggal 21 September yang baru lalu ia mengatakan
bahwa IMF dan World Bank sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengelola perekonomian
dunia tidak bisa lagi dipertahankan karena adanya gejolak pasar uang global. Untuk itu
perlu new Bretton Wood System untuk menghadapi millenium yang akan datang.
Penutup
• Dengan adanya globalisasi disektor keuangan, pengaruh contagion terhadap negara lain
menjadi semakin besar. Oleh karena itu setiap negara harus mempunyai sistem keuangan
yang handal, kebijakan ekonomi makro yang solid dan berhati-hati, serta kestabilan
politik, guna mengurangi dampak negatif globalisasi.
• Perlu ditingkatkan kerja sama ekonomi intra kawasan yang lebih erat dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mempertahankan stabilitas mata uang di
kawasan. Disamping itu, perlu dipercepat upaya pembentukan pengawasan regional
(ASEAN Monitoring Mechanism) yang merupakan early warning system untuk
mengetahui permasalahan di masing-masing negara dan kawasan guna mencari
kebijakan yang tepat untuk mengatasinya. ASEAN Monitoring Mechanism ini diharapkan
dapat melengkapi bentuk pengawasan yang dilakukan oleh IMF selama ini.
8 Berdasarkan data the 1998 APEC Economic Outlook, Foreign Direct investment ke China pada tahun 1997 mencapai
US$45,3 miliar.
Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut 195
• Krisis Asia yang telah menyebar ke Russia dan Eropa Timur, serta Amerika latin, bila
tidak diatasi secara menyeluruh dan sungguh-sungguh oleh lembaga-lembaga
internasional dan negara G7 bisa mengakibatkan krisis global dan membawa
perekonomian ke arah depresi.
• Free capital mobility khususnya yang berjangka pendek perlu dilakukan pengaturannya
secara internasional, sebab arus modal tersebut yang dari tahun ketahun semakin besar
volumenya disertai dengan transaksi derivative yang cukup kompleks mempunyai andil
yang besar dalam menciptakan krisis terutama pada emerging markets.
• Lembaga internasional perlu menyusun suatu early warning system terhadap kondisi
ekonomi makro negara-negara anggota untuk menghindari krisis perekonomian yang
lebih luas. Disamping itu perlu ditingkatkan transpararancy, akurasi serta timely data
ekonomi makro dan keuangan setiap negara.
• Berdasarkan pengalaman negara yang menganut sistem keuangannya yang lebih tertutup
disertai adanya rambu-rambu dalam prudential regulation atas arus modal jangka pendek,
seperti China, kelihatannya tidak mudah terkena imbas krisis ekonomi yang terjadi.
• Last but not least cukup menarik pendapat Stiglitz9 (World Bank) mengenai negara yang
menganut sistem ekonomi terbuka dalam kaitannya dengan capital flows “Small open
economies are like rowing boats on an open sea. One can not predict when they might capsize; bad
steering increases the chances of disaster and a leaky boat makes it inevitable. But their chances of
being broadsided by a wave are significant no matter how well they are steered and no matter how
seaworthy they are. The financial movements of the past few years are like the sea ”.
Daftar Pustaka
APEC Economic Outlook , August 1998.
ASEAN Central Bank Forum, Meeting of Deputies, Kuala Lumpur, September 6, 1998.
Bank Indonesia, UREM -Bagian SEI, Catatan Perihal Kebijakan Pengendalian Nilai Tukar
Malaysia, September 1998.
Camdessus, Michael, From the Asian Crisis Toward a New global Architecture.
Graciela L. Kaminsky and Carmen M. Reinhart, Financial Crises in Asia and Latin
America : Then and Now, January 1998.
Report of the Subcommitte on Asian Financial and Capital Market of the Committee
on Foreign Exchange and Other Transaction, Lessons from the Asian Currency Crises.
Reuters
Steven Radelet and Jeffrey Sachs, The Onset of the Asian Financial Crisis, February
1998.
Lampiran
Tabel 1
*)
Pertumbuhan Ekonomi Negara Maju dan Negara Berkembang
dalam persen
Proyeksi
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999
Dunia 2.6 3.9 3.6 4,2 4.1 2.0 2.5
Negara-negara maju 1.2 3.2 2.5 3.0 3.1 2.0 1.9
Negara-negara industri utama 1.0 2.8 2.0 2.8 2.9 2.1 1.9
Amerika Serikat 2.3 3.5 2.0 3.4 3.9 3.5 2.0
Inggeris 2.1 4.3 2.7 2.2 3.4 2.3 1.2
Italia -1.2 2.2 2.9 0.7 1.5 2.1 2.5
Jepang 0.3 0.6 1.5 3.9 0.8 -2.5 0.5
Jerman -1.2 2.7 1.8 1.3 2.2 2.6 2.5
Kanada 2.2 4.1 2.3 1.2 3.7 3.0 2.5
New Zealand 5.1 6.0 3.9 3.1 2.3 -0.5 1.7
Negara-negara berkembang 6.5 6.8 5.9 6.6 5.8 2.3 3.6
Berdasarkan kawasan
Afrika 1.0 2.6 2.9 5.8 3.2 3.7 4.7
Asia 9.3 9.6 8.9 8.2 6.6 1.8 3.9
ASEAN-4 n.a. n.a. n.a. 7.1 3.7 -10.4 -0.1
China 13.5 12.6 10.5 9.6 8.8 5.5 n.a
Eropa dan Timur Tengah 3.9 0.7 3.5 4.7 4.5 3.2 3.9
Amerika Latin 3.6 5.0 1.2 3.5 5.1 2.8 2.7
Argentina 6.3 8.5 -4.6 4.8 8.6 5.0 n.a
Brazilia 4.9 5.9 4.2 2.8 3.2 1.5 n.a
Chile 7.0 5.7 10.6 7.4 7.1 4.5 n.a
Columbia 5.4 5.8 5.8 2.1 3.1 2.7 n.a
Negara industri baru Asia (NIEs) 6.3 7.6 7.3 6.3 6.1 -1.6 1.7
Hong Kong SAR 6.1 5.4 3.9 4.6 5.3 -5.0 0.0
Korea 5.8 8.6 8.9 7.1 5.5 -7.0 -1.0
Singapura 10.4 10.5 8.8 6.9 7.8 0.0 0.2
Taiwan 6.3 6.5 6.0 5.7 6.9 4.0 3.9
Negara-negara AS EAN
Brunei Darussalam 0.5 1.8 2.0 2.8 3.5 n.a. n.a.
Indonesia 6.5 7.5 8.2 8.0 4.6 -13.8 -2.3
Philipina 2.1 4.4 4.8 5.7 5.1 -0.6 n.a
M alaysia 8.3 9.2 9.5 8.6 7.8 -6.4 n.a
Thailand 8.5 8.9 8.7 5.5 -0.4 -8.0 n.a
Negara-negara dalam transisi -6.7 -7.6 -1.3 -0.1 2.0 1.8 3.0
Eropa Tengah dan Timur -4.1 -2.6 1.3 1.6 2.8 3.5 4.1
di luar Belarus dan Ukraina -0.2 3.5 5.1 3.7 3.2 3.9 4.4
Rusia -8.7 -12.6 -4.0 -5.0 0.9 -6.0 1.0
Tabel 2
Laju Inflasi Negara Maju dan Negara Berkembang
dalam persen
Proyeksi
1994 1995 1996 1997 1998 1999
Negara-negara maju 2.6 2.5 2.4 2.1 1.7 1.7
Negara-negara industri utama 2.2 2.3 2.2 2.0 1.4 1.6
Amerika Serikat 2.6 2.8 2.9 2.3 1.6 2.3
*)
Inggeris 2.4 2.8 2.9 2.8 2.8 2.8
Italia 4.1 5.2 3.9 1.7 1.8 1.7
Jepang 0.7 -0.1 0.1 1.7 0.4 -0.5
Jerman 2.7 1.8 1.5 1.8 1.0 1.4
Kanada 0.2 2.2 1.6 1.4 1.3 1.9
New Zealand 2.3 1.7 1.4 1.6
Negara-negara berkembang 51.0 22.7 13.4 8.5 10.5 7.7
Berdasarkan kawasan
Afrika 39.3 32.9 26.7 11.0 7.7 7.0
Asia 14.8 11.9 7.9 4.7 8.3 6.7
Eropa dan Timur Tengah 31.9 35.7 24.6 22.6 22.6 13.7
Amerika Latin 208.5 41.6 20.8 13.9 10.8 8.0
Argentina 4.2 3.4 0.2 0.8 1.3 n.a
Brazilia 2123.7 59.6 11.1 7.9 5.0 n.a
Chile 11.4 8.2 7.4 6.1 5.4 n.a
Columbia 22.8 20.9 20.8 18.5 19.5 n.a
Negara industri baru Asia (NIEs) 5.6 4.6 4.2 3.2 5.6 3.2
Hong Kong SAR 9.5 7.1 6.0 5.7 3.0 -3.8
Korea 6.2 4.5 4.9 4.4 8.5 4.3
Singapura 3.0 1.8 1.4 2.0 1.8 2.0
Taiwan 2.6 4.6 3.1 2.1 2.0 2.0
Negara-negara ASEAN
Brunei Darussalam 2.4 6.0 2.0 3.0 n.a. n.a.
Indonesia 9.2 8.6 6.6 10.3 89.4 39.6
Philipina 9.0 8.1 8.4 6.0 10.0 n.a.
Malaysia 3.7 3.4 3.5 2.7 6.0 n.a.
Thailand 5.1 5.8 5.9 5.6 9.0 n.a.
Negara-negara dalam transisi 268.4 128.6 41.0 28.0 30.0 n.a.
Eropa Tengah dan Timur 153.3 75.3 32.0 38.0 18.0 n.a.
Di luar Belarus dan Ukraina 45.1 25.1 23.0 41.0 17.0 n.a.
Rusia 302.0 190.1 48.0 15.0 48.0 n.a.
Tabel 3
Perkembangan Harga Beberapa Komoditas Primer Nonminyak
*)
Jenis Komoditas 1994 1995 1996 1997 1998
Tabel 4
Private Capital Flows ke Emerging Market
(dalam miliar US$)
Emerging Market
Total Net Private Capital Inflows 1) 31 126.9 120.9 164.7 160.5 192 240.8 173.7
Net Foreign Direct Investment 17.6 31.3 37.2 60.6 84.3 96 114.9 138.2
Net Portfolio Investment 17.1 37.3 59.9 103.5 87.8 23.5 49.7 42.9
Others -3.7 58.4 23.8 0.7 -11.7 72.5 76.2 -7.3
Asia
Total Net Private Capital Inflows 19.1 35.8 21.7 57.6 66.2 95.8 110.4 13.9
Net Foreign Direct Investment 8.9 14.5 16.5 35.9 46.8 49.5 57 57.8
Net Portfolio Investment -1.4 1.8 9.3 21.6 9.5 10.5 13.4 -8.6
Others 11.6 19.5 -4.1 0.1 9.9 35.8 39.9 -35.4
Amerika Latin
Total Net Private Capital Inflows 10.1 26.1 56 64.3 47.4 35.7 80.5 91.1
Net Foreign Direct Investment 6.7 11 13.6 12.8 24.3 25.3 36.9 51.2
Net Portfolio Investment 17.5 14.7 30.4 61.1 60.6 -0.1 25.2 33.5
Others -14 0.3 12 -9.5 -37.5 10.5 18.5 6.5
Sumber : International Monetary Fund, International Financial Statistics and World Economic Outlook database.
1)
Net Foreign Direct Investment ditambah Net Portfolio Investment dan Net Other Investment
2)
Indonesia, Korea, Malaysia, Philipines, Thailand
Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut 201
Tabe l 5
H arga dan V olume Pe rdagang an D unia
p e rse n p e ru b a h a n
P ro y e k s i
1994 1995 1996 1997 1998 1999
P e rda g a n g a n ba ra n g da n ja s a
P e rda g a n g a n du n i a 1)
Vo lum e 9 .3 9 .5 6 .7 9 .8 4 .6 5 .6
D e f la t o r h ar ga
D a la m do la r A S 2 .3 8 .3 - 1 .1 - 5 .8 - 4 .1 1 .3
D a la m SD R - 0 .2 2 .2 3 .3 - 0 .6 - 0 .6 1 .8
V o l u m e p e rd a g a n g a n
E k sp o r
N ega r a - n e ga r a m a ju 8 .8 8 .8 5 .9 1 0 .1 4 .1 5 .2
N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g 1 3 .0 1 0 .5 8 .8 1 0 .6 4 .8 6 .1
Im p o r
N ega r a - n e ga r a m a ju 9 .7 8 .9 6 .4 8 .8 5 .2 5 .3
N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g 7 .0 1 1 .9 8 .2 1 2 .4 3 .6 6 .5
N i l a i tu k a r da g a n g
N ega r a - n e ga r a m a ju 0 .0 0 .1 0 .0 - 0 .7 0 .5 - 0 .3
N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g - 0 .2 1 .8 1 .9 0 .6 - 2 .3 1 .0
P e rda g a n g a n ba ra n g
P e rda g a n g a n du n i a
Vo lum e 1 0 .2 1 0 .2 6 .5 1 0 .3 4 .8 5 .6
D e f la t o r h ar ga
D a la m do la r A S 2 .5 8 .5 - 1 .2 - 6 .2 - 4 .5 1 .4
D a la m SD R 0 .0 2 .4 3 .2 - 1 .0 - 2 .3 1 .9
H a rg a da l a m do l a r A S
M an uf a k t ur 3 .1 1 0 .3 - 3 .2 - 9 .4 - 3 .2 0 .7
M in y a k - 5 .5 8 .0 1 8 .4 - 5 .4 - 2 8 .0 1 3 .0
K o m o dit a s p r im e r n o n m iga s 1 3 .6 8 .2 - 1 .2 - 3 .3 - 1 3 .4 0 .9
H a rg a da l a m do l a r S D R
M an uf a k t ur 0 .5 4 .1 1 .2 - 4 .4 - 1 .0 1 .2
M in y a k - 7 .8 1 .9 2 3 .7 - 0 .2 - 2 6 .4 1 3 .6
K o m o dit a s p r im e r n o n m iga s 1 0 .8 2 .1 3 .3 2 .0 - 1 1 .5 1 .3
V ol u m e pe rda g a n g a n
E k sp o r
N ega r a - n e ga r a m a ju 9 .4 9 .4 5 .9 1 0 .7 4 .4 5 .1
N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g 1 4 .3 1 1 .9 8 .3 1 1 .2 4 .9 6 .3
P e n ge k sp o r m iga s 8 .1 2 .6 6 .3 6 .9 1 .2 5 .0
B uk an p e n ge k sp o r m iga s 1 6 .5 1 4 .7 8 .9 1 2 .4 6 .0 6 .6
Im p o r
N ega r a - n e ga r a m a ju 1 1 .0 9 .4 5 .7 9 .7 5 .6 5 .4
N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g 7 .6 1 2 .6 9 .1 1 0 .5 3 .0 6 .8
P e n ge k sp o r m iga s - 1 1 .1 4 .5 1 .1 1 5 .5 3 .7 6 .5
B uk an p e n ge k sp o r m iga s 1 1 .9 1 4 .1 1 0 .5 9 .7 2 .8 6 .9
D e fl a to r h a rg a da l a m S D R
E k sp o r
N ega r a - n e ga r a m a ju 0 .4 3 .0 1 .7 - 2 .4 - 2 .4 1 .4
N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g - 0 .8 1 .1 8 .0 3 .0 - 4 .0 3 .0
P e n ge k sp o r m iga s - 7 .9 2 .1 1 5 .8 2 .8 - 1 3 .9 7 .7
B uk an p e n ge k sp o r m iga s 1 .7 0 .8 5 .8 3 .1 - 1 .2 1 .9
Im p o r
N ega r a - n e ga r a m a ju - 0 .2 2 .8 2 .6 - 1 .6 - 2 .8 2 .2
N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g - 0 .3 - 1 .1 5 .0 2 .5 - 0 .6 1 .9
P e n ge k sp o r m iga s - 1 .1 0 .6 4 .0 2 .6 1 .3 1 .5
B uk an p e n ge k sp o r m iga s - 0 .1 - 1 .4 5 .2 2 .5 - 1 .0 1 .9
N i l a i tu k a r da g a n g
N ega r a - n e ga r a m a ju 0 .5 0 .2 - 1 .0 - 0 .8 0 .4 - 0 .7
N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g - 0 .5 2 .2 2 .8 0 .5 - 3 .4 1 .1
P e n ge k sp o r m iga s - 6 .8 1 .4 1 1 .3 0 .2 - 1 5 .1 6 .1
B uk an p e n ge k sp o r m iga s 1 .9 2 .2 0 .6 0 .6 - 0 .3 - 0 .1