PENDAHULUAN
Politik dan gereja adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini menjadi persoalan
yang sering diperdebatkan dalam kelas teologi yang juga merupakan pergumulan gereja,
pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana sikap gereja terhadap politik? Menjawab
pertanyaan ini, ada yang berpendapat bahwa politik itu kotor sehingga tidak perlu ikut campur
dalam politik. Sebaliknya ada tanggapan bahwa gereja harus ikut campur dalam politik. Untuk
mengetahui sikap yang tepat maka politik perlu dilihat dari sudut padang teologi dalam hal ini
melihat dengan cermat pandangan teologi Reformed.
1
C. Hancock, Calvin and the Foundations of Modern Politics (Ithaca and London: Cornell University
Press 1989).
Bagi Calvin, kekuasaan politis adalah suatu panggilan yang tidak hanya suci dan sah di
hadapan Allah tetapi juga paling kudus dan yang paling terhormat di antara semua panggilan
dalam kehidupan.2 Tugas utama pemerintahan sipil adalah mendukung dan melindungi
penyembahan kepada Allah dari sudut lahiriah, memupuk dan menjaga ketenteraman umum,
membina kesusilaan, serta melindungi harta milik setiap orang dari gangguan.3 Dengan begitu
Calvin memberi harga yang sangat tinggi kepada kekuasaan politik. Politik itu mulia dan harus
dilaksanakan dengan segala kebaikan untuk melayani tujuan yang sebenarnya demi kebaikan
manusia dan semesta ciptaan Allah.
Negara diciptakan oleh Allah untuk mempertahankan kedamaian dan keadilan dalam
dunia yang berdosa. Tanpa ada yang memerintah dan menerapkan hukum, sebuah masyarakat
akan jatuh ke dalam anarki. Negara ada karena kebanyakan orang, juga orang Kristen, bukan
orang Kristen sejati, melainkan orang jahat. Itu sebabnya negara sangat dibutuhkan selama
Kristus belum secara langsung memerintah di dunia ini. Konsekwensinya negara juga tidak
punya kebebasan untuk melakukan apa saja yang dikehendakinya, karena negara, termasuk
pemerintah, berada di bawah hukum Allah. Hukum yang dijalankan pemerintah harus
diterapkan secara adil. Penguasa bekerja untuk Tuhan dan untuk rakyat.4
Calvin juga berpendapat bahwa gereja memiliki peran untuk dimainkan dalam negara.
Gereja berperan untuk memberikan pengajaran Alkitab mengenai negara dan fungsinya.
Namun, gereja tidak boleh mengatur negara. Calvin percaya pada teokrasi namun bukan pada
eklesiokrasi. Baik pemimpin gereja maupun penguasa negara secara langsung bertanggung
jawab kepada Allah untuk tindakan mereka. Kendati demikian mereka tidak boleh saling
mengatur.
Dengan cara ini Calvin meletakkan prinsip yang sangat jelas mengenai pemisahan
fungsi gereja dan negara. Keduanya memiliki kedudukan yang setara. Gereja dan negara
berhubungan dan saling mendukung timbal balik, namun juga tidak bergantung satu sama lain.
Keduanya menerima tugas yang berbeda dari Allah. Fungsi keduanya juga tidak boleh
dicampur secara tidak benar. Masing-masing mereka punya kewenangan dan otoritasnya
sendiri.5 Itu berarti, jika negara berusaha untuk mencampuri urusan gereja atau berusaha untuk
menghalangi pelayanan kerohanian, gereja memiliki hak dan kewajiban untuk tidak menaati,
2
Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, terj. Ny. Winarsih Arifin, Jan S. Aritonang, dan
Th. Van den End (Jakarta: BPK GM, 1983) 255.
3
Ibid., hlm. 254-256
4
Christian de Jonge, Apa Itu Calvinisme?, cet. Ke-7 (Jakarta: BPK GM, 2011) 266-268.
5
Ibid., hlm. 270-271.
walaupun akhirnya gereja harus mengalami penderitaan akibat konsekwensi dari ketidaktaatan
tersebut.
Kesimpulan
Politik merupakan Lembaga yang dibuat Allah untuk mengontrol kehidupan manusia.
Oleh karena itu politik tidaklah kotor, kalaupun ada politik kotor maka bukan politiknya yang
kotor tetapi orang yang melaksanakan politik itu sendiri. Lembaga politik dan Lembaga gereja
memiliki kesetaraan dan harus saling mensuport tetapi dalam hal internal masing-masing
Lembaga ini tidak boleh saling ikut campur. Lembaga politik menjalankan tugas yang diberikan
Tuhan untuk melindungi gereja, tanpa melakukan interfensi terhadap ajaran gereja sehingga
semua orang gerejawi menikmati kebebasan beribadah atau melaksanakan fungsi sacral. Gereja
juga berperan untuk memberikan pengajaran Alkitab mengenai negara dan fungsinya. Namun,
gereja tidak boleh mengatur negara. Gereja mempunyai tugas sebatas mengingatkan penguasa
negara mengenai hukum Allah, namun gereja tidak dapat menentukan bagaimana hukum itu
diaplikasikan dalam penetapan kebijakan politik. Sebaliknya penguasa politik dapat memberi
saran kepada gereja mengenai hal-hal yang berkaitan dengan urusan sipil, namun tidak dapat
memaksa gereja untuk menaati aturan sipil dalam pengajaran, ibadah, dan kepemimpinan
gereja.