Anda di halaman 1dari 6

Nama : Meidama Lawolo

NIM : 771012002
Mata Kuliah : Christian Leadership
Dosen Pengampu : Dr. Rei Rubin Barlian, M.Th

Saya melihat bahwa kepemimpinan melibatkan dua oknum antara pemimpin dan
dipimpin. Selama ini banyak hal yang terjadi dalam kepemimpinan, baik disebabkan oleh
pemimpin dan anggota dalam organisasi/ kelompok yang dipimpin. Dari oknum pemimpin,
ada tipe orang yang tidak mau untuk memimpin karena merasa dirinya sendiri tidak
mampu, belum memiliki visi yang akan dilakukan sebagai pemimpin, ada yang tidak ingin
dibebankan oleh tanggung jawab dalam memimpin, tidak mau berurusan dengan masalah
atau takut menanggung resiko. Sebaliknya ada banyak tipe orang begitu ambisius menjadi
pemimpin sebuah organisasi dengan alasan tidak mau dipimpin dan melihat ada peluang
untuk menguntungkan diri. Kedua tipe tersebut kalau dipaksa menjadi pemimpin maka
akan membawa dampak yang kurang baik dalam kepemimpinan atau organisasi yang
dipimpin.

Dalam kepimpinan sering terjadi masalah hanya karena seorang pemimpin bersifat
otoritatif, pemimpin menganggap diri sebagai tukang perintah dan tidak bisa menerima
saran dari bawahan yang dipimpin. Kepemimpinan yang otoritatif ini mengakibatkan
dampak negatif terhadap kelompok yang dipimpin, bawahan bekerja secara terpaksa,
organisasi berjalan hanya sesuai keinginan pemimpin, organisasi sulit mengalami
perkembangan apalagi kemajuan.

Kepemimpinan otoritatif juga bisa mengakibatkan transactional leadership


(Kepemimpinan yang transaksional). Transactional leadership yaitu kepemimpinan yang
dijalankan dengan transaksi materi berdasarkan penghargaan atas prestasi bawahan.
Kepemimpinan ini memang tidak semua berdampak negatif, model ini bisa digunakan di
bidang sekuler dan jika digunakan akan membuat anggota yang dipimpin untuk lebih cepat
produktif, struktur organisasi yang dipimpin jelas yaitu antara kedudukan dan tugas
pemimpin dengan posisi bawahan, perhitungan pencapaian program jangka pendek bisa
dipastikan cepat direalisasikan. Tetapi dalam kepemimpinan ini anggota/bawahan tidak
melayani dengan hati yang penuh kasih, tetapi bekerja untuk mendapat materi atau uang.
Oleh karena itu Transactional leadership tidak tepat diterapkan dalam ke Kekristenan
apalagi dalam gereja. Jika model ini diterapkan dalam gereja maka gereja tidak lagi
menjadi tempat menerapkan pelayanan dengan kasih melainkan berubah fungsi menjadi
sarana mengejar materi. Walaupun tidak tepat diterapkan dalam gereja, tetapi ada beberapa
gereja yang menerapkannya, misalnya ada gereja yang membayar sejumlah uang kepada
jemaat yang membawa jemaat baru dan ada juga yang menerapkan kenaikan gaji atau
tunjangan bagi hamba Tuhan yang menurut pengurus gereja melayani dengan baik, dan
banyak kasus lainnya.

Saya juga melihat masalah-masalah yang terjadi dalam kepimpinan yaitu posisi
pemimpin sering dijadikan ajang untuk mewujudkan jati diri, mencari penghargaan dari
orang banyak, dan tujuan lainnya yang bersifat egosentris. Karena hal ini tidak sedikit para
pemimpin yang jatuh dalam KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), secara khusus banyak
pemimpin gereja yang tertangkap mengambil uang gereja secara sepihak untuk diri sendiri,
gereja dijadikan tempat untuk membangun hierarki keluarga dimana hanya anggota
keluarganya yang bisa menjadi pengurus gereja, peralihan kepemimpinan sangat sulit, jika
pun terjadi hanya boleh dialihkan kepada salah satu anggota keluarganya dan akhinya ini
menimbulkan perpecahan.

Saya mengamati bahwa ada orang-orang yang memiliki mindset yang keliru dan
menggampangkan masalah kepemimpinan. Kepemimpinan sering dianggap hanya sebatas
memerintah, mengatur bawahan atau kelompok, dan yang penting kelompok bisa berjalan.
Namun seharusnya kepemimpinan tidak sebatas itu, pemimpin adalah orang yang punya
tujuan dan memimpin orang untuk mencapai tujuan itu. Oleh karena itu seorang pemimpin
haruslah orang yang cakap, kreatif dan inovatif. Seorang pemimpin juga tidak sebatas
menetapkan tujuan tetapi harus mempunyai kemampuan membuat orang lain menyukai hal-
hal yang mereka tidak sukai sebelumnya karena mengerti bahwa peran serta mereka
berdampak pada situasi yang mereka harapkan. Dengan kata lain seorang pemimpin harus
mampu memaparkan visi dan misi kepada orang lain dan sebisa mungkin tertanam dalam
hati bawahan hingga dengan suka rela mereka mau berpartisipasi untuk mengerjakannya.

Dalam Kepemimpinan terutama Christian leadership juga tidak sekedar berjalan


untuk mencapai sebuah tujuan yang sudah ditetapkan melainkan melatih bawahan untuk
bisa memimpin atau kepemimpinan yang menghasilkan pemimpin baru. Memang
pemimpin seperti ini tidaklah mudah untuk ditemukan karena kebanyakan para pemimpin
terjebak dalam program oriented (Hanya fokus untuk mencapai sebuah program) dari pada
People Oriented (Membangun manusia). Saya mengamati bahwa kepemimpinan yang bisa
membangun manusia untuk bisa memimpin hanya bisa melalui Servan Leadership Teory
dan Relational Leadership Teory.

Servan Leadership Teory dan Relational Leadership Teory sangat efektif dalam
kepemimpinan Kristen, hal ini bisa terjadi jika seseorang melihat dirinya terpanggil untuk
memimpin dan mampu memimpin dirinya sendiri. Memimpin diri berarti seseorang
mampu mengendalikan seluruh kehidupannya, mengendalikan nafsu atau segala
keinginannya, halh yang lebih utama mampu mengendalikan dirinya untuk dekat kepada
Tuhan sebagai pemimpin yang Agung, mempatkan diri untuk setia dan taat pada kehendak
Tuhan. Oleh karenanya saya menempatkan memimpin diri sendiri menjadi dasar dari
kepemimpinan Kristen karena jika seseorang mampu memimpin dirinya sendiri seperti
yang sudah saya sebutkan maka sudah pasti ia akan mampu memimpin organisasi dengan
baik dan menjadikan dirinya pemimpin yang menghamba dan bersahabat (Servan
Leadership and Relational Leadership).

Dalam Servan Leadership Teory, seorang pemimpin melalukan tugas


kepemimpinan dengan hati yang jujur dan sungguh-sungguh, mengerjakan tugas dengan
baik tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketika mengerjakan tugas ini dengan hati
maka secara langsung kepemimpinan yang menghamba menjadikan orang lain lebih utama
dari pada dirinya sendiri, ia menempatkan dirinya sebagai hamba orang banyak. Uniknya
Seorang yang menjadikan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi dengan berani
memberitahukan suatu kebenaran, dan menegur jika ada kesalahan, tidak mencari muka
tentunya karena lebih mengedepankan moral yang tinggi, dan selalu terbuka untuk
menerima kritikan dan mengakui kesalahan. Servan Leadership juga tentunya memiliki
keberanian dalam menetukan sebuah tujuan, mengambil resiko terhadap apa yang
dikerjakannya, siap untuk gagal dan mau terus belajar. Hal inilah yang dibutuhkan dalam
diri seorang pemimpin yaitu keberanian dan visi yang jelas. Keberanian dalam
mengemukakan sebuah tujuan memang tidak muda tetapi jika seseorang dekat dengan
Tuhan maka Tuhan pasti membukakan visi itu dan memberi kekuatan untuk
merealisasikannya. Kepemimpinan yang menghamba juga mampu membuat orang lain
respek terhadapnya, kehadirannya memberi rasa dan dampak bagi orang-orang di
sekitarnya. Memberi rasa dan berdampak dalam hal ini diwujudkan pada penerimaan dan
memberi diri mendengarkan orang-orang yang dipimpin, mengerti apa yang sedang
dirasakan mereka dan ada rasa peduli dengan mereka yang sedang mengalami beban.
Seorang yang memimpin dengan hati pastilah mampu memberikan solusi yang ampuh
terhadap masalah yang sedang dialami oleh orang-orang di sekelilingnya.

Saya juga melihat Relational Leadership sebagai salah satu akibat dari Servan
Leadership Teory. Dalam kepemimpinan hamba lebih mengedepankan kasih dan
kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi, dan ciri khas kepemimpinan
relasional adalah Team work yang di dalamnya ada kebersamaan untuk mewujudkan
perkembangan mencapai suatu tujuan. Kebersamaan dalam team work hanya bisa
diwujudkan oleh orang-orang yang bekerja dengan hati dan ini ada dalam Servan
Leadership Teory. Oleh karenanya, kedua teori ini tidak boleh dipisahkan dalam
kepemimpina Kristen, harus diintegrasikan untuk dapat menciptakan kepemimpinan
menempatkan tujuan kepada orang-orang yang dipimpin, memberdayakan dengan
mengarahkan untuk bisa mengembangkan diri, melatih, melibatkan dan memberikan
support hingga bisa mengerjakan sendiri.

Integrasi Servan Leadership Teory dan Relational Leadership Teory inilah yang ada
pada diri Tuhan Yesus selama ia melayani di dunia. Yesus adalah Tuhan, seharusnya
kedatangan-Nya ke dalam dunia dihormati dan layak untuk dilayani. Namun sebaliknya
Yesus datang dengan kondisi yang sangat sederhana melayani banyak orang. Yesus sendiri
pernah berkata bahwa Ia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan
memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Markus 10:45). Yesus juga
bukan hanya sekedar melayani tetapi Ia seorang penuh belas kasihan hal ini kita bisa kita
lihat dalam Alkitab dan salah satunya yang dicatat oleh Matius: “Melihat orang banyak itu,
tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar
seperti domba yang tidak bergembala.” (Matius 9:36). Bahkan hal yang paling menyentuh,
ketika Yesus memberikan telada membasuh kaki para murid. Kebiasaan membasuh kaki
merupakan pekerjaan seorang budak, tetapi Yesus memposisikan diri-Nya dalam posisi itu
dan membasuh murid-murid-Nya (Yohanes 13:1-20). Yesus juga melatih waktu ia
memanggil dan mengajar para murid-Nya (Markus 3:13-19), mensuport dan
mendelegasikan mereka sebelum ia meyelesaikan misi-Nya di dalam dunia. Dan melalui
teladan Tuhan itulah para murid menjadi terampi dan berani dalam memberitakan injil
setelah Yesus kembali ke Surga.
Saya menyumpulkan bahwa chirstian leadership yang benar adalah Kepemimpinan
yang meneladani Kristus yang menggunakan kepemimpinan hamba, mengintegrasikan
dengan kepemimpinan yang relasional. Dan hal ini bisa terwujud melalui kemampuan
mengotrol diri dekat dengan Tuhan.

Saya mencoba merenungkan kepemimpinan Daud dan saya melihat banyak hal-hal
yang unik. Tuhan memilih Daud bukan dilihat dari postur fisik melainkan hati Daud yang
terus melekat dari Tuhan. Dalam hal ini saya mendapatkan satu hal bahwa tolak ukur
keberhasilan dalam kepemimpinan bukanlah segi kemampuan fisik tetapi hati yang melekat
kepada Tuhan. Hal ini juga sekaligus membuat saya sadar untuk tidak terlalu fokus kepada
hal-hal yang kelihatan tetapi belajar untuk melihat seperti cara Tuhan melihat Daud dan
Daud melihat Tuhan. Daud seorang yang selalu bertanya kepada Tuhan dalam sebagian
besar kebijakan yang diambil selama hidupnya, hal ini menjadi pelajaran penting dalam
kepemimpinan Kristen karena seorang pemimpin diharuskan untuk mencentuskan
kebijakan-kebijakan dan setiap kebijakan sangat berpengaruh pada orang-orang yang
dipimpin, oleh kerena itu untuk mendapatkan kebijakan yang benar harus memberi diri
untuk bertanya kepada Tuhan.

Secara keselurahan Daud dalam kepemimpinannya bersifat Theosentris. Daud


hanya berfokus untuk menjalankan misinya Tuhan bagi bangsa Israel. Daud adalah seorang
yang tegas dan berbelas kasihan serta berhasil memimpin sehingga ia sangat dicintai oleh
orang-orang Israel sampai saat ini. Namun saya melihat di samping keberhasilan Daud
memimpin bangsa Israel, Daud gagal memimpin keluarganya. Kegegalan Daud memimpin
keluarganya dapat kita lihat dari perstiwa Amnon dan Tamar, ketika persitiwa yang
kurang baik terjadi di dalam keluarganya Daud terlihat santai saja sehigga dendam antara
Absalom terhadap Amnon pun terjadi. Saya melihat Daud kurang memperhatikan
keluarganya sehingga kedekatan Antara ayah dan anak hampir-hampir tidak ditemukan.
Daud juga gagal menyeimbangkan antara ketegasan dan belaskasihan. Memang dalam
beberapa situasi Daud sangat tegas tetapi dalam beberapa situasi termasuk dalam
keluarganya Daud terlihat tidak tegas dan tidak berdaya.

Jadi dalam kepemimpinan Kristen, kita perlu dari kelebihan dan kelemahan Daud.
Hendaknya sebagai pemimpin berfokus pada tujuan Tuhan, hati yang melekat dan bertanya
kepada Tuhan menjadi senjata utama seorang pemimpin. Namun dibalik tugas
kepemimpinan dalam organisasi, jangan lupa untuk melayani keluarga kita, memimpin
keluarga kita dengan baik dan takut akan Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai