Laporan Kasus PKL 3

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

MSCT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN KLINIS RHINOSINUSITIS KRONIS

DI INSTALASI RADIOLOGI RS SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Praktek Kerja Lapangan 3

Disusun Oleh:

BIDHA SAFIRA

P1337430217020

PROGRAM STUDI DIPLOMA-IV TEKNIK RADIOLOGI SEMARANG

JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG

TAHUN 2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus ini telah diterima, diperiksa dan disetujui untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah Praktek Kerja Lapangan (PKL) 3 mahasiswa Jurusan Teknik Radiodiagnostik

dan Radioterapi Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Semarang :

Nama : Bidha Safira

NIM : P1337430217020

Kelas : 3D

dengan judul Laporan Kasus “MSCT Scan Sinus Paranasal dengan klinis

Rhinosinusitis Kronis” di Instalasi Radiologi RS Soehadi Prijonegoro Sragen.

Sragen, Oktober 2019

Pembimbing Laporan Kasus

Tri Puji Hastuti, S.TR Kes (RAD)

NIP. 19861102 201001 2 022

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Kasih dan

Penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “MSCT Scan

Sinus Paranasal dengan klinis Rhinosinusitis Kronis” di Instalasi Radiologi RS Soehadi

Prijonegoro Sragen. Penulisan laporan kasus tersebut bertujuan untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah Praktek Kerja Lapangan (PKL) 3.

Dalam penulisan laporan kasus tersebut penulis menemui beberapa kendala, untuk

itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Marsum, BE, S.Pd, MHP selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kementrian

Kesehatan Semarang,

2. Ibu Fatimah, S.ST, M.Kes selaku Ketua Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan

Radioterapi,

3. Ibu Dartini, SKM, M.Kes selaku Ketua Program Studi D-IV Teknik Radiologi

Semarang,

4. Orang tua penulis yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis,

5. dr. Prasetyo Budi, MSc, Sp.Rad selaku Kepala Instalasi Radiologi RSSP Sragen

6. Tri Puji Hastuti, S.Tr Kes (RAD) selaku pembimbing praktek yang telah

memberikan bimbingan selama penulisan laporan kasus ini di Instalasi Radiologi

RSSP Sragen

7. Bapak Tarman, Ibu Parni, Mas Pipin, Mbak Retno, Bapak Kirto, Mas Anjar, Mas

Prananda, Mas Anok, Mas Epit yang telah memberikan bimbingan serta ilmu yang

sangat berharga selama penulis menjalani praktek di Instalasi Radiologi RSSP

Sragen

3
Penulis menyadari dalam pembuatan laporan kasus ini masih banyak kekurangan,

untuk itu penulis mohon saran dan masukan dari semua pihak. Penulis berharap laporan

kasus ini dapat bermanfaat untuk mahasiswa dan dijadikan studi bersama.

Sragen, Oktober 2019

Penulis

4
DAFTAR ISI

5
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

CT-Scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-x, komputer dan

televisi sehingga mampu menmpilkan gambar anatomis tubuh dalam manusia dalam

bentuk irisan atau slice. Prinsip kerja CT-Scan menggunakan sinar-x sebagai sumber

radiasi. Sinar-x berasal dari tabung yang terletak berhadapan dengan sejumlah

detektor, dimana keduanya bergerak secara sinkron memutari pasien sebagai objek

yang ditempatkan diantaranya.(Rasad, 2000)

Kecanggihan CT-Scan ini diantaranya dimanfaatkan untuk mendiagnosa

sinusitis karena kelebihannya dalam menampakkan penebalan mukosa, keadaan

dinding sinus, air-fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu

atau lebih sinus paranasal, dan penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-

kasus kronik) yang tidak dapat dinilai dari foto polos biasa. (Amstrong, 1989)

Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis ingin mengkaji lebih lanjut mengenai

teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus MSCT Scan Sinus

Paranasal dengan Klinis Rhinosinusitis Kronis

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana prosedur pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan klinis

Rhinosinusitis di RS Soehadi Prijonegoro Sragen?

6
2. Apakah teknik pemeriksaan MSCT Scan Sinus Paranasal dengan klinis

Rhinosinusitis di RS Soehadi Prijonegoro Sragen sudah dapat menegakkan

diagnosa?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui prosedur pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan klinis

Rhinosinusitis Kronis di RS Soehadi Prijonegoro Sragen

2. Mengetahui apakah teknik pemeriksaan CT Scan dengan klinis Rhinosinusitis

Kronis di instalasi radiologi RS Soehadi Prijonegoro Sragen sudah mampu

menegakkan diagnosa

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diperoleh dari pembuatan laporan kasus ini antara lain:

1. Bagi Penulis

Penulis dapat menambah pengalaman dan dapat mengetahui lebih lanjut

tentang teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan klinis

Rhinosinusitis Kronis di instalasi radiologi RS Soehadi Prijonegoro Sragen

2. Bagi Pembaca

Pembaca dapat memperoleh informasi dan pengetahuan tentang teknik

pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan klinis Rhinosinusitis Kronis di

instalasi radiologi RS Soehadi Prijonegoro Sragen

3. Bagi Rumah Sakit

7
Dapat memberikan dorongan dalam meningkatkan pelayanan diagnostik,

khususnya pada pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus klinis

Rhinosinusitis Kronis di instalasi radiologi RS Soehadi Prijonegoro Sragen

4. Bagi Akademi

Sebagai bahan masukan bagi penulisan laporan kasus dengan kasus yang

sama.

1.5 Sistematika Penulis

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan laporan ini adalah :

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat

penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisi anatomi sinus paranasal, patologi sinusitis, dasar-dasar CT-Scan,

dan teknik pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal.

BAB III : HASIL DAN PEMBAHASAN

Berisi tentang paparan kasus dan pembahasan.

BAB IV : PENUTUP

Berisi kesimpulan dan saran.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan rongga yang berisi udara yang dilapisi oleh

membran mukosa yang berada disekitar rongga hidung. Rongga udara yang mengisi

sinus paranasal biasanya disebut dengan accessory nasal sinus. ( Bontrager, 2001)

Sinus paranasal dibagi menjadi 4 kelompok menurut letak tulang, yaitu sinus

frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidalis dan sinus sphenoidalis. Sinus maksilaris

termasuk bagian dari tulang wajah sedangkan frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis

dimasukkan ke dalam golongan tulang cranium.(Kelley dan Petersen, 1997)

Sinus paranasal mulai mengalami perkembangan pada fetus, tetapi hanya

sinus maksilaris yang memperlihatkan suatu rongga yang perkembangannya begitu

terbatas. Sinus frontalis dan sinus sphenoidalis mulai tampak pada gambaran

Radiografi pada umur 6 – 7 tahun. Sinus ethmoidalis adalah sinus yang mengalami

perkembangan paling terakhir dibandingkan yang lainnya. Semua sinus paranasal

mengalami perkembangan secara maksimal pada akhir masa remaja. Masing-masing

bagian sinus akan dipelajari, dimulai dari sinus yang paling besar, yaitu sinus

maksilaris.

2.1.1 Sinus Maksilaris

9
Sinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar. Dulu istilah yang

digunakan untuk sinus maksilaris adalah “Antrum of High More”. Masing-

masing sinus maksilaris memiliki bentuk yang menyerupai suatu pyramid bila

dilihat dari anterior, bila dilihat secara lateral sinus maksilaris lebih nampak

seperti kubus.

Sinus maksilaris memiliki dinding tulang yang sangat tipis bagian

bawah dari sinus maksilaris superposisi dengan bagian bawah tulang nasal.

Bila dilihat pada bagian bawah sinus maksilaris adalah terlihat beberapa coni

celekations berhubungan dengan gigi molar 1 dan 2 bagaian atas. Ada

kalanya batas bawah sinus maksilaris mengalami perforasi atau mengalami

perlobangan dan mengakibatkan terjadinya infeksi pada gigi, mempengaruhi

bagian molar dan premolar dan merambat naik ke sinus maksilaris.

Semua rongga sinus paranassal saling berhubungan dengan lainnya

dan berhubungan juga dengan rongga hidung, yang mana dibagi menjadi dua

ruangan yang sama atau disebut dengan fossa. Pada kasus sinus maksilaris

lokasi penghubung antara nasal dan maksilari merupakan permukaan

masuknya ke muiddle nasal meatus dan kemudian diteruskan ke superior

medial aspek dari rongga sinus itu sendiri.

2.1.2 Sinus Frontalis

Sinus frontal berada diantara bagian dalam dan luar os frontal, ke

posterior membentuk glabela dan jarang berbentuk sebelum umur 6 tahun.

Sinus frontalis pada umumnya dipisahkan oleh septum yang menyimpang dari

satu sisi dengan sisi yang lainnya, dan menghasilkan satu rongga tunggal.

Bagaimanapun rongga yang ada memiliki bermacam-macam ukuran dan

10
bentuk. Biasanya pada laki-laki ukuranya lebih besar dari wanita. (Bontrager,

2001)

2.1.3 Sinus Ethmoidalis

Sinus ethmoidalis adalah termasuk didalam masses lateral atau labirin

dari tulang ethmoid. Rongga udara sinus ethmoidalis dikelompokkan menjadi

anterior, middle dan posterior collections, tetapi semua yang ada diatas tidak

saling berhubungan. (Bontrager, 2001)

2.1.4 Sinus Sphenoidalis

Sinus sphenoidalis berada didalam bodi tulang sphenoid yang berada

dibawah sela tursika. Bodi dari tulang sphenoid terdiri dari sinus yang

berbentuk kubus dan dibagi oleh suatu sekat tipis untuk membentuk dua

rongga. Septum dan sphenoid mungkin tidak sempurna dan menghasilkan

hanya satu rongga karena sinus sphenoid sangat dekat dengan dasar cranium,

kadang-kadang proses pathologi dari cranium mengakibatkan efek pada sinus

tersebut. Suatu contoh adalah demonstrasi dari suatu air fluid level di dalam

sinus sphenoid yang kemudian mengakibatkan trauma tulang tengkorak. Ini

mungkin membuktikan bahwa pasien mempunyai suatu fraktur dasar kepala

yang disebut dengan “sphenoid effusion”.

Frontal

sinus

Ethmoid
Sphenoid
sinuses
sinus

Maxilari

sinus

11
Gambar 2.1 Posisi Anterior Sinus Paranasal

( Kelley dan Peterson, 1997 )

Gambar 2.2 Posisi Lateral Sinus Paranasal

( Kelley dan Peterson, 1997 )

2.2 Patologi Rhinosinusitis

2.2.1 Pengertian Rhinosinusitis

Menurut European Position Paper on Rhinoinusitis and Nasal Polyps

(EPOS) 2012, rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus

paranasal yang ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah satunya termasuk

hidung tersumbat atau obstruksi atau kongesti disertai dengan nyeri wajah

dan/atau penurunan sensitivitas pembau (Fokkens, 2007)

2.2.2 Jenis Rhinosinusitis

a. Rhinosinusitis Akut

Penyebab rhinosinusitis akut : virus (common cold) yaitu gejala

kurang dari 10 hari, Bakteri (minimal 3 gejala), ingus kental (salah satu
12
hidung), nyeri berat (kedua hidung), demam >38˚ C, peningkatan laju

endap darah (LED) atau C-reactive protein (CRP), perburukan gejala

setelah 5 hari.

b. Rhinosinusitis Kronik

Rhinosinusitis kronik berlangsung lebih dari 12 minggu dengan

minimal 2 gejal, salah satunya hidung tersumbat atau pilek (sekret

anterior/ posterior), fungsi penghidu menurun, nyeri tekan pada wajah

dan gejala alergi (bersin, ingus encer, hidung gatal, mata gatal dan

berair).

2.3 Dasar-dasar CT-Scan

CT-Scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-X, komputer dan

televisi. Prinsip kerjanya yaitu berkas sinar-X yang terkolimasi dan adanya detektor.

Di dalam komputer terjadi proses pengolahan dan perekonstruksian gambar dengan

penerapan prinsip matematika atau yang lebih dikenal dengan rekonstruksi

algorithma. Setelah proses pengolahan selesai, maka data yang telah diperoleh berupa

data digital yang selanjutnya diubah menjadi data analog untuk ditampilkan ke layar

monitor. Gambar yang ditampilkan dalam layar monitor selanjutnya diubah menjadi

data analog untuk ditampilkan ke layar monitor. Gambar yang ditampilkan dalam

layar monitor berupa informasi anatomis irisan tubuh.

Pada CT-Scan prinsip kerjanya hanya dapat menggambarkan tubuh dengan

irisan melintang tubuh. Namun dengan memanfaatkan teknologi komputer maka

gambaran aksial yang telah didapatkan dapat direformat kembali sehingga didapatkan

gambaran coronal, sagital, oblik. diagonal bahkan bentuk 3 dimensi dari objek

tersebut. (Rasad, 2000).

13
2.3.1 Perkembangan CT-Scan (Rasad, 2000)

Setelah Godfrey Hounsfield dari EMI Limited London dan James

Ambrosse dari Atkinson Morley ‘s Hospital mulai memperkenalkan CT-Scan

pada tahun 1970 di London Inggris, maka CT-Scan mengalami

perkembangan yang cukup pesat. CT-Scan pada masa tersebut hanya dapat

menggambarkan kepala dengan waktu pemeriksaan yang cukup lama. Pada

periode-periode selanjutnya CT-Scan mengalami berbagai pembaharuan,

dimulai dari CT-Scan generasi II hingga CT-Scan generasi ke IV. Pada

prinsipnya pembaharuan tersebut terletak pada fungsi pemeriksaan dan waktu

pemeriksaan yang semakin singkat.

Pada tahun 1990, CT-Scan mengalami kemajuan yang cukup penting,

yaitu mulai diperkenalkannya CT Helical atau CT-Spiral. Keunggulan dari

alat ini waktu eksposi yang semakin singkat. CT Helical menggunakan

metode Slip ring yang pada prinsipnya menggantikan kabel-kabel tegangan

tinggi yang terpasang pada tabung sinar-X di dalam gantry yang disertai

dengan pergerakan meja. Dengan metode ini, tabung sinar-X dapat berotasi

secara terus menerus sambil mengeksposi pasien yang bergerak secara

sinkron. Prinsip itulah yang dikenal dengan spiral. Di dalam CT Helical

dikenal prinsip single slice. Perbedaan utama dari kedua prinsip ini terletak

pada jumlah jalur detektor yang berpengaruh pada lamanya pemeriksaan dan

resolusi gambar yang dihasilkan.

2.3.2 Komponen-komponen CT-Scan Generasi Ke II (Tortorici, 1995 )

a. Gantry

14
Di dalam CT-Scan, pasien berada di atas meja pemeriksaan dan meja

tersebut dapat bergerak menuju gantry. Gantry ini terdiri dari beberapa

perangkat keras yang keberadaannya sangat diperlukan untuk

menghasilkan suatu gambaran. Perangkat keras tersebut antara lain tabung

sinar-X, kolimator, dan detektor.

b. Tabung Sinar-X

Berdasarkan strukturnya tabung sinar-X sangat mirip dengan tabung

sinar-X konvensional, namun perbedaannya terletak pada kemampuannya

untuk menahan panas dan output yang tinggi. Panas yang cukup tinggi

dengan elektron-elektron yang menumbuknya. Ukuran fokal spot yang

cukup kecil (kurang dari 1 mm) sangat dibutuhkan untuk menghasilkan

resolusi yang tinggi.

c.Kolimator

Kolimator berfungsi untuk mengurangi radiasi hambur, membatasi jumlah

sinar-X yang sampai ke tubuh pasien serta untuk meningkatkan kualitas

gambar, tidak seperti pada pesawat radiografi konvensional. CT-Scan

menggunakan 2 buah kolimator. Kolimator pertama diletakkan pada

rumah tabung sinar-X yang disebut pre pasien kolimator dan kolimator

yang kedua diletakkan antara pasien dan detektor yang disebut per

detektor kolimator atau post pasien kolimator.

d. Detektor

Selama eksposi, berkas sinar-X (foton) menembus pasien dan mengalami

perlemahan (attenuasi). Sisa-sisa foton yang telah terattenuasi kemudian

ditangkap oleh detektor. Ketika detektor menerima sisa-sisa foton

15
tersebut, foton berinteraksi dengan detektor dan memproduksi sinyal

dengan arus yang kecil yang disebut sinar output analog. Sinyal ini

besarnya sebanding dengan intensitas radiasi yang diterima. Kemampuan

penyerapan detektor yang tinggi akan berakibat kualitas gambar yang

dihasilkan menjadi lebih optimal. Detektor memiliki 2 tipe yaitu detektor

solid stete dan detektor irisan gas.

e. Meja Pemeriksaan (Couch)

Meja pemeriksaan merupakan tempat untuk memposisikan pasien. Meja

ini biasanya terbuat dari fiber karbon. Dengan adanya bahan ini maka

sinar-x yang menembus pasien tidak terhalangi jalannya untuk menuju

detektor. Meja ini harus kuat dan kokoh mengingat fungsinya untuk

menopang tubuh pasien selama meja bergerak ke dalam gantry.

f. Sistem Konsul

Konsul tersedia dalam berbagai variasi. CT-Scan generasi awal masih

menggunakan 2 sistem konsul yaitu untuk pengoperasian CT-Scan sendiri

dan untuk perekaman dan pencetakan gambar.

Model yang terbaru sudah memiliki banyak kelebihan dan banyak fungsi.

Bagian dari sistem konsul ini yaitu :

1. Sistem Kontrol

Pada bagian ini petugas dapat mengontrol parameter-parameter

yang berhubungan dengan beroperasinya CT-Scan seperti pengaturan

kV, mA dan waktu scanning, ketebalan irisan (Slice thickness), dan

16
lain-lain. Juga dilengkapi dengan keyboard untuk memasukkan data

pasien dan pengontrol fungsi tertentu dalam komputer.

2. Sistem Pencetakan Gambar

Setelah gambar CT-Scan diperoleh, gambaran tersebut

dipindahkan dalam bentuk film. Pemindahan ini menggunakan

kamera multi format. Cara kerjanya yaitu kamera merekam gambaran

di monitor dan memindahkannya ke dalam film. Tampilan gambaran

di film dapat mencapai 2-24 gambar tergantung ukuran film (biasanya

8 x 10 inchi atau 14 x 17 inchi).

3. Sistem Perekaman Gambar

Merupakan bagian penting yang lain dari CT-Scan. Data pasien

yang telah ada disimpan dan dapat dipanggil kembali dengan cepat.

Biasanya sistem perekaman ini berupa disket optik dengan

kemampuan penyimpanan sampai ribuan gambar. Ada pula yang

menggunakan magnetic tape dengan kemampuan penyimpanan data

hanya sampai 200 gambar.

1 2

Gambar 2.3 Komponen CT-Scan

(Bontrager, 2001)

17
Keterangan :

1. Gantry dan couch (meja pemeriksaan)

2. Komputer dan console

2.3.3 Parameter CT-Scan

Gambaran pada CT-Scan dapat terjadi sebagai hasil dari berkas-berkas

sinar-X yang mengalami perlemahan serta menembus objek, ditangkap

detektor, dan dilakukan pengolahan di dalam komputer. Penampilan gambar

yang baik tergantung dari kualitas gambar yang dihasilkan sehingga aspek

klinis dari gambar tersebut dapat dimanfaatkan dalam rangka untuk

menegakkan diagnosa. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam CT-

Scan dikenal beberapa parameter untuk pengontrolan eksposi dan output

gambar yang optimal.

a.Slice Thickness

Slice thickness adalah tebalnya irisan atau potongan dari objek

yang diperiksa. Nilainya dapat dipilih antara 1 - 10 mm sesuai dengan

keperluan klinis. Pada umumnya ukuran yang tebal akan menghasilkan

gambaran dengan detail yang rendah, sebaliknya yang tipis akan

menghasilkan gambaran dengan detail yang tinggi.

b. Range

Range atau rentang adalah perpaduan atau kombinasi dari

beberapa slice thickness. Sebagai contoh untuk CT-Scan thorax, range

yang digunakan adalah sama yaitu 5-10 mm mulai dari apeks paru sampai

18
diafragma. Pemanfaatan dari range adalah untuk mendapatkan ketebalan

irisan yang sama pada satu lapangan pemeriksaan.

c.Faktor Eksposi

Faktor eksposi adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

eksposi meliputi tegangan tabung (kV), arus tabung (mA) dan waktu

eksposi (s). Besarnya tegangan tabung dapat dipilih secara otomatis pada

tiap-tiap pemeriksaan. Namun kadang-kadang pengaturan tegangan

tabung diatur ulang untuk menyesuaikan ketebalan objek yang akan

diperiksa (rentangnya antara 80 – 140 kV). Tegangan tabung yang tinggi

biasanya dimanfaatkan untuk pemeriksaan paru dan struktur tulang seperti

pelvis dan vertebra. Tujuannya adalah untuk mendapatkan resolusi

gambar yang tinggi sehubungan dengan letak dan struktur penyusunnya.

d. Field of View (FoV)

Field of View adalah maksimal dari gambaran yang akan

direkonstruksi. Besarnya bervariasi dan biasanya berada pada rentang 12-

50 cm. FoV yang kecil maka akan mereduksi ukuran pixel (picture

element), sehingga dalam proses rekonstruksi matriks gambarannya akan

menjadi lebih teliti. Namun, jika ukuran FoV terlalu kecil maka area yang

mungkin dibutuhkan untuk keperluan klinis menjadi sulit untuk dideteksi.

e.Gantry tilt

Gantry tilting adalah sudut yang dibentuk antara bidang vertikal

dengan gantry (tabung sinar-x dan detektor). Rentang penyudutan –250

sampai + 250. Penyudutan dari gantry bertujuan untuk keperluan diagnosa

dari masing-masing kasus yang harus dihadapi. Di samping itu, bertujuan

19
untuk mereduksi dosis radiasi terhadap organ-organ yang sensitif seperti

mata.

f. Rekonstruksi Matriks

Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom pada picture

element (pixel) dalam proses perekonstruksian gambar. Pada umumnya

matriks yang digunakan berukuran 512 x 512 (5122) yaitu 512 baris dan

512 kolom. Rekonstruksi matriks ini berpengaruh terhadap resolusi

gambar yang akan dihasilkan. Semakin tinggi matriks yang dipakai maka

semakin tinggi resolusi yang akan dihasilkan.

g. Rekonstruksi Algorithma

Rekonstruksi algorithma adalah prosedur matematis (algorithma)

yang digunakan dalam merekonstruksi gambar. Hasil dan karakteristik

dari gambar CT-Scan tergantung pada kuatnya algorithma yang dipilih.

Sebagian besar CT-Scan sudah memiliki standar algorithma tertentu untuk

pemeriksaan kepala, abdomen, dan lain-lain. Semakin tinggi resolusi

algorithma yang dipilih, maka semakin tinggi pula resolusi gambar yang

akan dihasilkan. Dengan adanya metode ini maka gambaran seperti

tulang, soft tissue, dan jaringan-jaringan lain dapat dibedakan dengan jelas

pada layar monitor.

h. Window Width

Window Width adalah rentang nilai computed tomography yang

akan dikonversi menjadi gray levels untuk ditampilkan dalam TV

monitor.

20
Setelah komputer menyelesaikan pengolahan gambar melalui rekonstruksi

matriks dan algorithma maka hasilnya akan dikonversi menjadi skala

numerik yang dikenal dengan nama nilai computed tomography. Nilai ini

mempunyai satuan HU (Hounsfield Unit) yang diambil dari nama penemu

CT-Scan kepala pertama kali yaitu Godfrey Hounsfield.

Berikut ini tabel nilai CT pada jaringan yang berbeda penampakannya

pada layar monitor (Bontrager, 2001)

Tipe jaringan Nilai CT (HU) Penampakan


Tulang +1000 Putih

Otot +50 Abu-abu

Materi putih +45 Abu-abu menyala

Materi abu-abu +40 Abu-abu

Darah +20 Abu-abu

CSF +15 Abu-abu

Air 0

Lemak -100 Abu-abu gelap ke hitam

Paru -200 Abu-abu gelap ke hitam

Udara -1000 Hitam

Dasar pemberian nilai ini adalah air dengan nilai 0 HU. Untuk

tulang mempunyai nilai +1000 HU kadang sampai + 3000 HU.

21
Sedangkan untuk kondisi udara nilai ini adalah air dengan yang dimiliki –

1000 HU. Diantara rentang tersebut merupakan jaringan atau substansi

lain dengan nilai berbeda-beda pula tergantung pada tingkat

perlemahannya. Dengan demikian penampakan tulang dalam monitor

menjadi putih dan penampakan udara hitam. Jaringan dan substansi lain

akan dikonversi menjadi warna abu-abu yang bertingkat yang disebut

Gray Scale. Khusus untuk darah yang semula dalam penampakannya

berwarna abu-abu dapat menjadi putih jika diberi media kontras Iodine.

i. Window Level

Window level adalah nilai tengah dari window yang digunakan

untuk penampakan gambar. Nilainya dapat dipilih tergantung pada

karakteristik perlemahan dari struktur objek yang diperiksa. Window level

ini menentukan densitas gambar yang akan dihasilkan.

2.4 Teknik Pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal

2.4.1 Pengertian

Teknik pemeriksaan CT-Scan SPN merupakan pemeriksaan radiologi

untuk mendapatkan gambaran irisan dari sinus paranasal baik secara aksial

maupun coronal. CT-Scan SPN memberiakan pandangan yang memuaskan

atas sinus dan dapt menilai opasitas, penyebab, dan jenis kelainan dari sinus.

CT-Scan SPN baik dalam memperlihatkan dekstruksi tulang dan mempunyai

peranan penting dalam perencanaan terapi serta menilai respon terhadap

radioterapi. Hal-hal tersebut merupakan kelebihan CT-Scan SPN

dibandingkan dengan foto polos SPN biasa.(Amstrong, 1989)

2.4.2 Indikasi Pemeriksaan


22
a. Sinusitis

Pada kasus sinusitis, CT-Scan akan menampakkan penebalan

mukosa, air-fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada

satu atau lebih sinus paranasal, dan penebalan dinding sinus dengan

sklerotik (pada kasus-kasus kronik).

b. Infeksi atau alergi

Udara dalam sinus digantikan oleh cairan/ mukosa yang menebal

hebat atau kombinasi keduanya.

c. Mukokel

Merupakan sinus yang mengalami obstruksi. CT-Scan SPN jelas

memperlihatkan ukuran dan luas mukokel.

d. Karsinoma sinus atau rongga hidung

CT-Scan SPN baik dalam menampakkan dekstruksi tulang akibat

tumor, luas dan invasi tumor.

(Amstrong, 1989)

e. Polip

2.4.3 Prosedur Pemeriksaan

a. Persiapan Pasien ( Seeram, 2001 )

Persiapan pasien untuk pemeriksaan CT-Scan SPN adalah sebagai berikut

1. Semua benda metalik harus disingkirkan dari daerah yang diperiksa,

termasuk anting, kalung, dan jepit rambut.

23
2. Jika menggunakan media kontras, alasan penggunaannya harus

dijelaskan kepada pasien.

3. Komunikasikan kepada pasien tentang prosedur pemeriksaan sejelas-

jelasnya (inform consern) agar pasien nyaman dan mengurangi

pergerakan sehingga dihasilkan kualitas gambar yang baik.

b. Persiapan Alat dan Bahan

Alat dan bahan untuk pemeriksaan CT-Scan SPN dengan klinis

rhinosinusitis kronis diantaranya :

1. Pesawat CT-Scan

2. Alat-alat fiksasi kepala

3. Biasanya pemeriksaan CT-Scan SPN dilakukan tanpa menggunakan

media kontras. (Ballinger, 1995)

c. Teknik Pemeriksaan

Pemeriksaan CT-Scan SPN menggunakan dua jenis potongan, yaitu

potongan aksial dan potongan coronal. ( Ballinger, 1995 )

1. Potongan Aksial

a) Posisi pasien : pasien berbaring supine di atas meja

pemeriksaan. Kedua lengan di samping tubuh,

kaki lurus ke bawah dan kepala berada di atas

headrest (bantalan kepala ). Posisi pasien diatur

senyaman mungkin.

24
b) Posisi objek : kepala diletakkan tepat di terowongan gantry,

mid sagital plane segaris tengah meja. Mid

aksial kepala tepat pada sumber terowongan

gantry. (Weisberg, 1984)

Gambar 2.4 Posisi Pasien Potongan Aksial

(Amstrong, 1989)

2. Potongan Coronal

Potongan coronal merupakan teknik khusus.

a) Posisi pasien : pasien berbaring prone di atas meja

pemeriksaan dengan bahu diganjal bantal.

Kepala digerakkan ke belakang (hiperekstensi)

sebisa mungkin dengan membidik menuju

vertikal. Gantry sejajar dengan tulang-tulang

wajah.

b) Posisi objek : kepala tegak atau digerakkan ke belakang

(hiperekstensi) sebisa mungkin dan diberi alat

fiksasi agar tidak bergerak. (Lowge, 1989)

25
Gambar 2.5 Posisi Pasien Potongan Coronal

(Amstrong, 1989)

c) Scan Parameter

Scanogram : cranium lateral

Slice thickness

aksial : 5 mm

coronal : 3 mm ( Seeram, 2001 )

Range

aksial : 5 mm di bawah sinus maksilaris sampai sinus frontalis

coronal : 5 mm posterior sinus sphenoideus sampai sinus frontalis

( Ballinger, 1995 )

Standar algoritma

aksial : algoritma tulang

coronal : algoritma standar

kV : 130

26
mAs : 60 ( Seeram, 2001)

Gambar yang dihasilkan dalam pemeriksaan CT-Scan Sinus

Paranasal adalah sebagai berikut : ( Kelley dan Petersen, 1997 )

Gambar 2.6 Potongan aksial I

Keterangan :

iNC (inferior nasal conchae) ,M (maksila) , MS ( Maksilari Sinus ), NaS

(Nasal septum), Z (Zygoma)

SpS

Gambar 2.7 Potongan aksial II

Keterangan :

27
E (Ethmoid Bone), L (Lacrimal bone), sOF (superior orbital fissure), SpS

(Sphenoid Sinus), Z (Zygoma)

EtS

Gambar 2.8 Potongan aksial III

Keterangan :

aCL (anterior clinoid process), DS (dorsum sella), EtS (Ethmoid Sinuses),

OpC (optic canal), Z (Zygoma)

FrS

Gambar 2.9 Potongan aksial IV

Keterangan :

FrS (Frontal Sinus)

28
Gambar 2.10 Potongan coronal I

Keterangan :

aCL (anterior clinoid process), FR (foramen rotundum), mNC (middle nasal

conchae), sOF (superior orbital fissure), SpS (Sphenoid Sinus)

EtS

MS

Gambar 2.11 Potongan coronal II

Keterangan :

EtB (Ethmoid Bone), EtS (Ethmoid Sinuses), Inf (Infundibulum), mME

(middle meatus), MS (Maksilari Sinus)

29
Gambar 2.12 Potongan coronal III

Keterangan :

EtS (Ethmoid Sinuses), MS (Maksilari Sinus)

Gambar 2.13 Potongan coronal IV

Keterangan :

FrS (Frontal Sinus), N (nasal bone), Per (perpendicular plate of ethmoid), S

(septum)

30
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Paparan Kasus

Untuk memberikan gambaran yang jelas dari hasil pengamatan penulis

selama praktek di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Soehadi Prijonegoro Sragen,

maka penulis akan menyertakan hasil observasi tentang identitas pasien, riwayat

penyakit, serta pelaksaan pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal pada penderita

dengan diagnosa awal rhinosinusitis kronis.

3.1.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. A

Umur : 50 tahun

Jenis kelamin : Laki-aki

Alamat : Sragen

No. Registrasi : 5755**

Tanggal pemeriksaan : 7 Oktober 2019

Unit : Poliklinik

Diagnosa : Rhinosinusitis Kronis

3.1.2 Riwayat Penyakit

Pasien mengeluh pilek yang tak kunjung sembuh beberapa bulan

terakhir. Pada tanggal 7 Oktober 2019, pasien berobat ke dokter THT. Atas

31
permintaan dokter dilakukan pemeriksaan CT-Scan. Sehingga pasien

menjalani CT-Scan Sinus Paranasal dengan diagnosa Rhinosinusitis Kronis.

3.1.3 Jenis Tindakan

Jenis tindakan yang dilakukan pada pemeriksaan CT-Scan Sinus

Paranasal pada kasus rhinosinusitis kronis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit

Soehadi Prijonegoro Sragen adalah hanya dengan menggunakan potongan

coronal.

3.1.4 Prosedur Pemeriksaan

a. Persiapan Pasien

1. Pasien dan atau keluarganya diberikan penerangan mengenai tujuan

dan prosedur pemeriksaan sampai dapat memahami manfaat dan

resiko pemeriksaan sehingga memberikan persetujuan tentang

pemeriksaan yang akan dilakukan.

2. Sebelum pemeriksaan dilakukan, semua material penyebab artefak di

daerah kepala pasien (bila ada) dilepas terlebih dahulu.

3. Pasien tidak perlu melakukan persiapan puasa sebelum pemeriksaan

karena pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan diagnosa

rhinosinusitis tidak menggunakan media kontras.

b. Persiapan Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan CT-Scan Sinus

Paranasal di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Soehadi Prijonegoro

diantaranya :

1. Pesawat CT-Scan dengan spesifikasi :

Merk : Hitachi

32
Tipe : 65-4570

No. Seri : 59464

kV maks : 130 kV

mA maks : 400 mA

2. Printer sony digital film imager up-df550

3. Alat fiksasi ( head clam dan body clam)

4. Selimut

5. Film CT-Scan (Dry View 8100 ) ukuran 14 x 17 cm

c. Teknik Pemeriksaan

Pada pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus

rhinosinusitis kronis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Soehadi

Prijonegoro menggunakan satu jenis potongan, yaitu potongan coronal.

Pelaksanaan pemeriksaannya adalah sebagai berikut :

Potongan Coronal

a) Posisi pasien

Pasien berbaring prone di atas meja pemeriksaan dengan

dagu diletakkan di bantal pengganjal. Kepala diposisikan

hiperekstensi sebisa mungkin.

b) Posisi objek

Kepala tegak dan hiperekstensi sebisa mungkin. Utamakan

kenyamanan pasien dengan memberi alat fiksasi agar pergerakan

33
pasien dapat dihindari. Kepala diatur simetris terhadap lampu

kolimator yang berhimpit dengan MSP tubuh.

Mengatur meja pemeriksaan dengan batas anterior yaitu dua

jari di depan frontal.

c) Proses pemeriksaan

Proses pemeriksaan dimulai dengan memasukkan data-data

pasien yang diperlukan, kemudian memilih protokol pemeriksaan

Nasal Sinus 2.5/4i. Setelah itu, memasukkan posisi pasien sesuai

kondisi pasien (head first, prone) pada registrasi pasien di

komputer.

Baru kemudian melanjutkan dengan membuat topogram

cranium lateral untuk merencanakan dan menentukan daerah irisan

(daerah sinus) yaitu daerah sinus frontalis hingga sphenoidalis.

Lalu gantry disudutkan hingga sejajar dengan tulang-tulang wajah

diikuti dengan menekan tombol move.

Selanjutnya dilakukan scanning pada daerah yang telah

diplanning pada topogram.

d) Scan parameter

Scanogram/topogram : cranium lateral

Jumlah image : 30

Slice thickness : 2.5 mm

34
Range : sinus frontalis hingga sinus

sphenoidalis

Gantry tilt : sejajar dengan tulang-tulang wajah

kV : 120 auto

mAs : 150 auto

Window width : 250

Window level : 40

FOV : 220

b. Proses Pencetakan Gambar

Setelah scanning selesai dan gambar telah sesuai dengan yang

diinginkan, maka gambar siap dicetak dalam printer sony dengan film

CT-Scan ukuran 14 x 17 inchi

c. Hasil Pembacaan CT-Scan

Setelah dilakukan pemeriksaan, diperoleh hasil bacaan sebagai

berikut:

35
-Tampak torus tobarius dan fossa rosenmuller simetris

-Tak tampak lesi isodens di sinus maxillaris dextra et sinistra

-Tak tampak infiltrasi ke intracerebri

-Deviasi septum nasi ke arah dextra

-Concha nasalis tak membesar

-Tak tampak limphadenopati cervicalis

-Tak tampak destruksi tulang

Kesan :

-Deviasi Septum nasi ke arah dextra

-Tak tampak gambaran massa nasopharing

-Tak tampak destruksi tulang

36
-Tak tampak limphadenopati cervicalis

Gambar radiograf SPN coronal

3.2 Pembahasan

Teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal di Instalasi Radiologi

Soehadi Prijonegoro diawali dengan persiapan pasien yaitu dengan melepaskan

benda-benda penyebab artefak yang ada di daerah kepala. Lalu dilanjutkan dengan

memposisikan pasien sesuai dengan jenis potongan yang akan dibuat.

Pemeriksaan dengan kasus ini, dibuat hanya dengan satu jenis potongan yaitu

coronal. Pada potongan coronal, pasien diposisikan prone di meja pemeriksaan

dengan kepala tegak dan hiperekstensi sebisa mungkin. Kemudian dilakukan

pengaturan parameter CT-Scan Sinus Paranasal yaitu dengan range posterior sinus

37
sphenoidalis hingga sinus maksilaris, slice thickness sebesar 2.5 mm dan merotasikan

gantry hingga sejajar tulang-tulang wajah. Potongan coronal dibuat dengan tujuan

agar air-fluid level tampak lebih jelas sedangkan slice thickness sebesar 2.5 mm

dibuat agar semua potongan tiap-tiap sinus dapat tampak dan tidak terlewatkan.

Dari hasil pengamatan penulis selama praktik, pemeriksaan CT-Scan Sinus

Paranasal pada kasus rhinosinusitis kronis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit

Soehadi Prijonegoro tidak sesuai dengan teori. Karena pada teori dijelaskan bahwa

pemeriksaan sinus paranasal sebaiknya dibuat dengan 2 potongan yaitu axial dan

coronal, tetapi pada kasus kali ini hanya dibuat dengan satu potongan yaitu cukup

dengan potongan coronal. Tetapi meskipun hanya memakai potongan coronal, hasil

bacaan dokter sudah dapat menegakkan diagnosa. serta dalam tata laksana

pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal, petugas telah berpedoman pada prosedur

tetap pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal yang sesuai dengan teori.

38
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus

rhinosinusitis di Instalasi Radiologi Soehadi Prijonegoro Sragen, penulis menarik

kesimpulan bahwa pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal pada kasus rhinosinusitis

di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Soehadi Prijonegoro Sragen sering menggunakan

protocol pemeriksaan nasal sinus 2.5/4i, yaitu dengan membuat irisan coronal setebal

2.5 mm. Hal ini dengan tujuan agar semua sinus beserta detail dan penyebab

kelainannya dapat terlihat jelas guna menegakkan diagnosa.

4.2 Saran

Sebaiknya petugas menjelaskan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan

kepada pasien secara lebih jelas, agar pasien dapat bekerjasama, sehingga akan

memperlancar jalannya pemeriksaan.

39
Daftar Pustaka

Buku Protokol Radiologi CT Scan

www.yankes.kemenkes.go.id/read-rhinosinusitis-5195.html

www.digilib.uns.ac.id/dokumen/download/50105/MjAxNzyz/Perbandingan-Kualitas-

Hidup-Antara-Pasien-Rhinosinusitis-Kronis-Tipe-Rhinogen-di-Rumah-Sakit-Se-Eks-

Karesidenan-Surakarta-3.pdf

40

Anda mungkin juga menyukai