Anda di halaman 1dari 16

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (3)

DALAM pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB), penting untuk memahami subjek PBB
beserta tarif dan dasar pengenaan pajaknya. Lantas bagaimana ketentuan ketiganya dalam PBB?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilihat bagaimana pengaturan dalam undang-undang
(UU).

Subjek PBB
PEMUNGUTAN PBB dilakukan oleh pemerintah pusat (PBB-P3 dan PBB lainnya) dan
pemerintah daerah (PBB-P2).

Ketentuan mengenai subjek PBB yang dipungut oleh pemerintah pusat mengacu pada UU No. 12
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB). Sesuai Pasal 4 ayat (1) UU PBB,
subjek PBB adalah orang atau badan yang memiliki hak, memperoleh manfaat atas bumi
dan/atau bangunan, atau yang menguasai suatu bangunan.

Namun, karena luasnya ruang lingkup PBB pada tingkat pusat ini, tak jarang ditemui suatu objek
PBB yang belum diketahui secara jelas siapa subjek yang merupakan wajib pajaknya. Untuk itu,
berdasarkan pada Pasal 1 ayat (3) UU PBB, dirjen pajak dapat menetapkan subjek pajak yang
memiliki hak, memperoleh manfaat, dan/atau menguasai objek PBB tersebut sebagai wajib
pajaknya.

Sementara itu, ketentuan mengenai subjek PBB pada lingkup daerah (PBB-P2) mengacu pada
Pasal 78 UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
Terkait dengan cara menetapkan subjek yang merupakan wajib pajak, ketentuannya tidak jauh
berbeda dengan UU PBB pada lingkup pusat.

Berdasarkan ketentuan tersebut, subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau badan yang secara
nyata memiliki hak, memperoleh manfaat atas bumi dan/atau bangunan, atau yang menguasai
suatu bangunan yang merupakan objek PBB-P2. Setiap subjek yang telah memenuhi persyaratan
tersebut akan ditetapkan sebagai wajib pajak PBB-P2.

Tarif dan Dasar Pengenaan PBB


APABILA seorang wajib pajak telah ditetapkan sebagai subjek PBB, baik itu yang dipungut oleh
pemerintah pusat maupun daerah, ia memiliki kewajiban untuk membayar pajak tersebut sesuai
dengan jumlah tarif dan dasar pengenaan yang ditetapkan.

Untuk PBB dalam lingkup pusat mengacu pada ketentuan Pasal 5 UU PBB. Pasal ini
menetapkan besarnya tarif pajak yang dikenakan atas suatu objek PBB pada lingkup pusat adalah
sebesar 0,5%. Adapun rumus umum perhitungan PBB adalah sebagai berikut:

Rumus perhitungan pajak PBB = tarif 0.5% x NJKP

Berdasarkan pada Pasal 6 ayat (3) UU PBB, NJKP ditentukan paling rendah 20% dan paling
tinggi 100% dari NJOP. Untuk PBB-P3, yang masuk pada sektor perkebunan, kehutanan, dan
pertambangan (P3) sebesar 40% dari Nilai Jual Objel Pajak (NJOP).
Untuk objek pajak sektor lainnya, NJKP ditetapkan sebesar 40% apabila NJOP mencapai Rp1
miliar atau lebih. Bila objek pajak lainnya memiliki NJOP

Perhitungan PBB-P3 atau PBB lainnya yang dikelola pemerintah pusat juga diberikan Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) bangunan yang ditetapkan senilai Rp2 juta. Nilainya
akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan oleh menteri keuangan.

Besarnya NJOP juga ditetapkan setiap tiga tahun sekali oleh menteri keuangan. Namun, untuk
daerah tertentu, penetapannya dapat dilakukan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerah
tersebut. Berdasarkan ketentuan di atas, rumus pengenaan PBB yang dipungut oleh pemerintaha
pusat adalah sebagai berikut:

PBB
= Tarif x Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif x NJKP
= Tarif x (40% x (NJOP-NJOPTKP))*
*persentase NJKP 40% untuk PBB-P3.

Sementara itu, besaran tarif yang dikenakan pada PBB-P2 mengacu pada ketentuan Pasal 80 UU
PDRD. Berdasarkan ketentuan tersebut, tarif PBB-P2 paling tinggi sebesar 0,3% yang ditentukan
besarannya melalui peraturan daerah.

Tak jauh berbeda dengan PBB pada tingkat pusat, berdasarkan Pasal 79 UU PDRD, yang
menjadi dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP. Besarnya NJOP tersebut ditetapkan setiap tiga
tahun oleh kepala daerah masing-masing, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan
setiap tahun sesuai dengan perkembangan di wilayahnya.

Perlu dipahami, dalam hal perhitungannya, tidak ada unsur NJKP yang merupakan persentase
tertentu dari NJOP.  Dengan kata lain, perhitungan PBB-P2 berbeda dengan perhitungan dasar
PBB P3 yang mengenal adanya NJKP.

Selanjutnya, penghitungan besaran pokok PBB-P2 yang terutang mengacu pada Pasal 81 UU
PDRD. Besaran pokok tersebut dihitung dengan cara mengalikan tarif yang telah ditentukan
dengan dasar pengenaan pajak yang ditetapkan kepala daerah (NJOP) setelah dikurangi
NJOPTKP.

Sesuai dengan Pasal 77 ayat (4) dan (5) UU PDRD, besarnya NJOPTKP ditetapkan paling
rendah sebesar Rp10 juta untuk setiap wajib pajak. Selain NJOP, NJOPTKP ini juga ditetapkan
dengan peraturan daerah. Dengan kata lain, rumus dari penghitungan PBB-P2 adalah sebagai
berikut:

PPB-P2
= Tarif x Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif x (NJOP-NJOPTKP).
PPh PASAL 23 (6)

PAJAK Penghasilan (PPh) Pasal 23 mengatur mengenai pajak yang dipotong oleh pemungut


pajak dari wajib pajak atas penghasilan yang diperoleh dari modal (dividen, bunga, royalti),
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang dipotong dalam PPh Pasal 21. Kini
untuk lebih memahami perhitungan PPh Pasal 23, berikut adalah beberapa ulasan contoh soal
perhitungan PPh Pasal 23.

 Perhitungan PPh Pasal 23 atas Dividen

Pada 10 Mei 2015, PT Dahlia mengumumkan akan membagikan dividen melalui Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), dan melakukan pembayaran dividen tunai kepada PT Melati sebesar
Rp30.000.000 yang melakukan penyertaan modal sebesal 15%.

Jawab:

PPh Pasal 23 = 15% x Rp30.000.000 = Rp4.500.000

Saat terutang: akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Mei 2015

Saat penyetoran: paling lambat 10 Juni 2015

Saat pelaporan: paling lambat 20 Juni 2015

 Perhitungan PPh Pasal 23 atas Dividen

PT ABCD, merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri sepatu dan beralamat di Jl.
Terusan No.11, Jakarta Selatan. PT ABCD telah memiliki NPWP 01.111.444.8-061.000. Pada tanggal 10
Juli 2013, perusahaan membayar dividen tunai kepada pemegang saham yang sebelumnya telah
diumumkan melalui RUPS. Berikut data yang diperlukan dalam pembayaran dividen tunai.

Pemegang % Penyertaan
NPWP Dividen
Saham Modal
01.589.365.8-
PT Perkasa 26% Rp130.000.000
039.000
PT 01.125.735.8-
15% Rp75.000.000
Cakrawala 045.000
01.156.198.8-
PT Matahari 10% Rp50.000.000
026.000
01.754.125.8-
PT Angkasa 18% Rp90.000.000
039.000
CV Bahari 01.342.657.8-
12% Rp60.000.000
Jaya 039.000
CV Karya 01.453.198.8-
11% Rp55.000.000
Raya 039.000
PT BNI 01.354.344.8- 8% Rp40.000.000
(BUMN) 045.000

Jawab:

Dari data tabel di atas, berikut perhitungan PPh Pasal 23 yang harus dipotong PT ABCD.

%
Pemegang PPh Pasal 23 yang
Penyertaan Dividen
Saham Dipotong
Modal
PT 15% x Rp75.000.000 =
15% Rp75.000.000
Cakrawala Rp11.250.000
PT 15% x Rp50.000.000 =
10% Rp50.000.000
Matahari Rp7.500.000
15% x Rp90.000.000 =
PT Angkasa 18% Rp90.000.000
Rp13.500.000
CV Bahari 15% x Rp60.000.000 =
12% Rp60.000.000
Jaya Rp9.000.000
CV Karya 15% x Rp55.000.000 =
11% Rp55.000.000
Raya Rp8.250.000
Jumlah   Rp330.000.000 Rp49.500.000

Catatan: untuk PT Perkasa dikategorikan menjadi non-objek pajak sebab % penyertaan


modalnya lebih dari 25% dan untuk PT BNI (BUMN) juga merupakan non-objek pajak karena
merupakan badan usaha milik negara yang menjadi pengecualian dari objek pajak.

 Perhitungan PPh Pasal 23 atas Royalti

Pada 2 Agustus 2014, PT Mawar membayar royalti kepada Tuan Zainudin sebagai penulis buku
sebesar Rp50.000.000. Tuan Zainudin telah mempunyai NPWP 01.444.888.2.987.000.

Jawab:

PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Mawar adalah: 15% x Rp50.000.000 = Rp7.500.000

Saat terutang: akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Agustus 2014

Saat penyetoran: paling lambat 10 September 2014

Saat pelaporan: paling lambat 20 September 2014

 Perhitungan PPh Pasal 23 atas Bunga Obligasi

Pada tanggal 3 Januari 2015, PT Sejahtera melakukan pembayaran bunga obligasi kepada PT
Damai Sentosa sebesar Rp75.000.000. Obligasi tersebut tidak diperdagangkan di Bursa Efek
Indonesia.
Jawab:

PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Sejahtera adalah: 15% x Rp75.000.000 =
Rp11.250.000

Saat terutang: akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Januari 2015

Saat penyetoran: paling lambat 10 Februari 2015

Saat pelaporan: paling lambat 20 Februari 2015

 Perhitungan PPh Pasal 23 atas Hadiah & Penghargaan

Pada 20 Maret 2012, PT Abadi memberikan hadiah perlombaan kepada PT Makmur sebagai
juara umum lomba senam sehat sebesar Rp150.000.000.

Jawab:

PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Abadi adalah: 15% x Rp150.000.000 = Rp22.500.000

Saat terutang: akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Maret 2012

Saat penyetoran: paling lambat 10 April 2012

Saat pelaporan: paling lambat 20 April 2012

 Perhitungan PPh Pasal 23 atas Jasa

PT Irama meminta jasa dari Pak Budi untuk membuat sistem akuntansi perusahaan dengan
imbalan sebesar Rp80.000.000 (sudah termasuk PPN).

Jawab:

PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Irama adalah: 2% x Rp80.000.000 = Rp1.600.000

 Perhitungan PPh Pasal 23 atas Sewa

PT Karya Makmur membayar sewa kendaraaan bus pariwisata dengan nilai sewa sebesar
Rp35.000.000 kepada Sugianto Haris.

Jawab:

PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Karya Makmur adalah: 2% x Rp35.000.000 =
Rp700.000

 Perhitungan PPh Pasal 23 atas Jasa


PT Indoraya membayarkan jasa konsultan dari PT Nuansaraya sebesar Rp120.000.000 (sudah
termasuk PPN). PT Nuansaraya tidak mempunyai NPWP.

Jawab:

PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Indoraya adalah: 200% x 2% x Rp120.000.000 =
Rp4.800.000

PPh PASAL 24 (4)

PAJAK Penghasilan (PPh) Pasal 24 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan
yang merupakan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri
yang diterima atau diperoleh WP dalam negeri. Atas pajak tersebut, WP dapat mengkreditkan
pajak terutang dalam tahun pajak yang sama.

Untuk lebih memahami perhitungan PPh Pasal 24, berikut adalah beberapa ulasan contoh soal
perhitungan PPh Pasal 24.

 Perhitungan Kredit Pajak Luar Negeri (PPh Pasal 24)

Kasus dan Pertanyaan:

PT Sinar Gemilang di Semarang memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2014 sebagai
berikut:
Penghasilan dalam negeri                                    Rp400.000.000
Penghasilan dari Vietnam (tarif pajak 20%)          Rp200.000.000

Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT Sinar Gemilang tahun 2014?

Jawaban:

Penghitungan PPh Pasal 24 adalah sebagai berikut:

1. Menghitung total penghasilan kena pajak:  


  Penghasilan dalam negeri Rp400.000.000
  Penghasilan dari Vietnam Rp200.000.000
  Jumlah Penghasilan Neto Rp600.000.000
2. Menghitung total PPh terutang:  
  Pajak terhutang 25% x Rp 600.000.000 = Rp150.000.000
Menghitung PPh maksimum yang dapat
3.  
dikreditkan:
  (penghasilan Luar Negeri : total  
penghasilan) x total PPh terutang
(Rp200.000.000 : Rp600.000.000) x
   Rp50.000.000
Rp150.000.000 = Rp49.999.999 (dibulatkan)
Menghitung PPh yang terutan atau
4.  
dipotong di Luar Negeri:
  20% x Rp200.000.000 = Rp40.000.000

Dari perhitungan di atas, kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah sebesar
Rp40.000.000 atau sebesar PPh yang terutang atau dibayar di Luar Negeri. Jumlah ini diperoleh
dengan membandingkan penghitungan PPh maksimum yang boleh dikreditkan dengan PPh yang
terutang atau dibayar di Luar Negeri, kemudian pilih jumlah yang terendah.

 Penghitungan PPh Pasal 24 Jika Terjadi Kerugian Usaha di Dalam Negeri

Kasus dan Pertanyaan:

PT Selera Rakyat berkedudukan di Indonesia memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2015
sebagai berikut:
Di Belanda memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp600.000.000 (tarif pajak yang
berlaku 30%). Di dalam negeri menderita kerugian sebesar Rp200.000.000

Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT Sinar Gemilang tahun 2014?

Jawaban

Penghitungan PPh pasal 24 adalah sebagai berikut:

1. Menghitung total penghasilan kena pajak:  


  Penghasilan dari Belanda  Rp600.000.000
  Penghasilan dari dalam negeri (Rp200.000.000)
  Jumlah Penghasilan Neto Rp400.000.000
2. Menghitung total PPh terutang:  
  Pajak terhutang 25% x Rp 400.000.000 = Rp100.000.000
3. Menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan:  
  (penghasilan Luar Negeri : total penghasilan) x total PPh terutang  
  (Rp600.000.000 : Rp400.000.000) x Rp100.000.000 = Rp150.000.000
4. Menghitung PPh yang terutan atau dipotong di Luar Negeri:  
  30% x Rp600.000.000 = Rp180.000.000

Kredit pajak yang diperoleh (PPh pasal 24) adalah Rp150.000.000. Jumlah ini diperoleh dengan
membandingkan penghitungan PPh maksimum yang boleh dikreditkan dengan PPh yang
terutang atau dibayar di Luar Negeri, kemudian pilih jumlah yang terendah.

 Perhitungan PPh Pasal 24 Jika Terjadi Kerugian Usaha di Luar Negeri


Kasus dan Pertanyaan:

PT Selaras Abadi pada tahun 2013 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
Di Thailand memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp300.000.000 (tarif pajak yang
berlaku 40%). Di Jerman menderita kerugian sebesar Rp500.000.000 (tarif pajak yang berlaku
25%). Di dalam negeri memperoleh laba usah sebesar Rp500.000.000

Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT Sinar Gemilang tahun 2014?

Jawaban:

Penghitungan PPh pasal 24 adalah sebagai berikut:

1. Menghitung total penghasilan kena pajak:  


  Penghasilan dalam negeri Rp300.000.000
  Penghasilan dari luar negeri Rp500.000.000
  Jumlah Penghasilan Neto Rp800.000.000
2. Menghitung total PPh terutang:  
  Pajak terhutang 25% x Rp800.000.000 = Rp200.000.000
3. Menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan:  
  (penghasilan Luar Negeri : total penghasilan) x total PPh terutang  
  (Rp300.000.000 : Rp800.000.000) x Rp200.000.000 = Rp75.000.000
4. Menghitung PPh yang terutan atau dipotong di Luar Negeri:  
  40% x Rp300.000.000 = Rp120.000.000

Dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan adalah
Rp75.000.000.

Memahami Contoh Perhitungan PPh Pasal 25 Masa

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 merupakan pembayaran pajak atas penghasilan secara
angsuran setiap bulannya. Tujuannya adalah untuk meringankan beban Wajib Pajak, mengingat
pajak yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini harus dilakukan
sendiri dan tidak bisa diwakilkan.

Berdasarkan PPh Pasal 25 ayat (1) besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar PPh yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh tahun pajak, yang lalu dikurangi dengan:
1. PPh yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta PPh yang
dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
2. Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 bulan atau banyaknya bulan dalam
bagian tahun pajak.

1. Perhitungan PPh Pasal 25 Ayat (1)


Contoh 1

PPh yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun 2019 adalah Rp50.000.000,00, maka:

Tahun 2019 Rp50.000.000,00

Dikurangi:

1. PPh yang dipotong pemberi Kerja (Pasal 21) Rp15.000.000,00


2. PPh yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp10.000.000,00
3. PPh yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23) Rp2.500.000,00
4. Kredit PPh luar negeri (Pasal 24) Rp7.500.000,00 (+)

Jumlah kredit pajak Rp35.000.000,00 (-)

Selisih Rp15.000.000,00

Dengan demikian, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun
2020 adalah sebesar Rp 1.250.000,00 (Rp 15.000.000,00 dibagi 12).

Contoh 2

Apabila PPh sebagaimana dimaksud pada contoh di atas berkenaan dengan penghasilan yang
diterima atau diperoleh meliputi masa 6 bulan dalam tahun 2019, besarnya angsuran bulanan
yang harus dibayar di tahun 2020 adalah sebesar Rp2.500.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 6).

2. Perhitungan PPh Pasal 25 Ayat (2)

Berdasarkan PPh Pasal 25 Ayat (2), mengingat batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh bagi
Wajib Pajak Badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya, besarnya angsuran pajak
yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum SPT Tahunan PPh
disampaikan belum dapat dihitung sesuai dengan perhitungan di atas.

Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum SPT Tahunan
PPh disampaikan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah sama dengan angsuran
pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
Contoh

Apabila SPT Tahunan PPh disampaikan oleh Wajib Pajak pada bulan Februari 2020, besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan Januari 2020 adalah sebesar
angsuran pajak bulan Desember 2019, misalnya sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Apabila dalam bulan September 2019 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran pajak
menjadi nihil, sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan Desember 2019 juga
menjadi nihil, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari
2020 tetap sama dengan angsuran bulan Desember 2019, yaitu nihil.

3. Perhitungan PPh Pasal 25 Ayat (4)

Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang
lalu, besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat tersebut dan berlaku mulai
bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.

Contoh

Berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun pajak 20019 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan
Februari 2020, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah Rp 1.250.000,00.
Lalu pada bulan Juni 2020 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2019 yang
menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp2.000.000,00.

Dengan demikian, berdasarkan Pasal 25 ayat (4) ini, besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli
2020 adalah sebesar Rp2.000.000,00. Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat
ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya
berdasarkan SPT Tahunan.

Perlu diketahui bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan
besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:

1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;


2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
3. SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh;
5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih
besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan
6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Studi Kasus Perhitungan PPh Pasal 25
14 Agustus 2020 Nadia Daniati
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 merupakan salah satu jenis pajak bulanan yang wajib dibayar
dan dilaporkan oleh Wajib Pajak Badan dan digunakan sebagai kredit pajak pada saat
menghitung dan melapor Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Badan sehingga sering disebut
sebagai angsuran pajak. Dasar pengenaan PPh Pasal 25 yaitu pajak penghasilan tahunan yang
terutang pada tahun sebelumnya. Simak uraian berikut untuk mengetahui cara perhitungan PPh
25.

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang


Undang-Undang Pajak Penghasilan, besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu
dikurangi dengan:

 Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 23 yang dipotong (kredit pajak dalam negeri)
 Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan (kredit pajak
luar negeri PPh Pasal 24)

Kemudian dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

(Baca juga: Bagaimana Perhitungan Kredit Pajak Luar Negeri?)

Contoh:

Pada bulan April tahun 2020 PT A menyampaikan SPT PPh Badan Tahun 2019 dengan PPh
Badan Tahunan yang terutang oleh PT A yaitu Rp 14.000.000. Semua penghasilan yang diterima
oleh PT A merupakan penghasilan teratur. Kredit pajak dalam negeri PT A yaitu PPh 23 Rp
2.000.000. Maka PPh Pasal 25 yang terutang:

(Rp 14.000.000 – Rp 2.000.000) : 12 = Rp 1.000.000

Jadi mulai bulan april 2020 sampai Maret 2021, setiap bulannya PT A wajib membayar PPh 25
yang terutang. Kemudian dengan menyetor PPh Pasal 25 yang terutang, SPT PPh 25 dianggap
telah disampaikan.
Kemudian perhitungan PPh Pasal 25 menjadi berbeda apabila penghasilan dalam Wajib Pajak
terdapat penghasilan tidak teratur. Maka dasar pengenaan PPh 25 bukan lagi PPh terutang tahun
sebelumnya.

Contoh:

PT B merupakan perusahaan industri karpet. Pada tahun 2019 memperoleh penghasilan bruto
dari hasil industrinya yaitu Rp 5.000.000.000. Kemudian memperoleh Penghasilan lainnya dari
sewa mobil Rp 8.000.000. Penghasilan Kena Pajak berdasarkan rekonsiliasi fiskal yaitu Rp
1.128.000.000. Sehingga pajak yang terutang yaitu Rp 282.000.000. Kredit pajak dalam negeri
yaitu PPh 23 sebesar Rp 160.000 dan PPh 25 Rp 200.000.000 dan kredit pajak luar negeri Rp
4.840.000. Hitung PPh Pasal 25 yang terutang!

PKP – Penghasilan tidak teratur = Rp 1.128.000.000 – Rp 8.000.000 = Rp 1.120.000.000

PPh Badan (dasar pengenaaan PPh 25) = 25% x Rp 1.120.000.000 = Rp 280.000.000

PPh 25 yang terutang = (Rp 280.000.000 – Rp 160.000 – Rp 4.840.000) : 12 = Rp 22.916.666

Maka PT B harus membayar PPh Pasal 25 sebesar Rp 22.916.666. Pembayaran PPh Pasal 25 ini
pada saat penyampaian SPT Tahunan. Jika PT B menyampaikan SPT Tahunan bulan mei maka
pembayaran PPh Pasal 25 dimulai pada bulan mei pada saat penyampaian SPT tersebut.

Namun, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran
pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:

 Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian


 Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur
 Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat
batas waktu yang ditentukan
 Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan
 Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan
 Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak
PPh Pasal 26: Tarif, Objek, Subjek, hingga Contoh Perhitungan yang Wajib
Dipahami

Beberapa tahun ke belakang, isu perpajakan bisnis digital semakin diangkat, mengingat potensi
pajak yang besar. Namun, para pebisnis digital tidak ingin terpaut dengan pajak dengan alasan
tak termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) serta tidak memiliki kantor di Indonesia. Namun, PPh
pasal 26 sebetulnya telah mengatur hal tersebut. PPh 26 adalah ketentuan yang mengatur
transaksi wajib pajak dalam atau luar negeri. Simak ulasan berikut untuk lebih jelasnya.

Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26

PPh pasal 26 sebagai pajak yang terkait dengan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Segala badan
usaha yang bertransaksi dan melakukan bayaran seperti gaji, dividen, bunga, dan lain-lain
terhadap WPLN, diharuskan melakukan pembayaran transaksi tersebut.

Dengan tarif PPh pasal 26 sebesar 20 persen, dapat berubah ketika wajib pajak ikut serta dalam
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty.

Akan tetapi, terdapat pengecualian PPh tersebut, yakni tak berlaku pada bisnis yang tidak
termasuk BUT. Hal tersebut yang menjadi masalah dan diargumenkan oleh perusahaan digital
luar negeri agar tidak membayar perpajakan di Indonesia.

Namun ketika melihat dalam, ternyata Indonesia sudah menentukan subjek PPh 26 atau siapa
individu atau perusahaan yang termasuk WPLN.

Subjek PPh Pasal 26

Menurut Undang Undang Nomor 36 Tahun 2006 tentang Pajak Penghasilan, maka berikut
individu atau usaha yang termasuk WPLN.

1. Individu yang tak tinggal di Indonesia, individu bertempat tinggal tak lebih dari 183 hari selama
satu tahun atau 12 bulan di Indonesia, serta perusahaan yang tak dibangun atau berada di
Indonesia, yang menjalankan usaha dengan BUT di Indonesia.
2. Individu yang tak tinggal di Indonesia, individu bertempat tinggal tidak lebih dari 183 hari selama
satu tahun atau 12 bulan, serta perusahaan yang tak dibangun atau berada di Indonesia, tidak
mendapat pendapatan dari Indonesia melalui BUT di Indonesia.

Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa walau pengusaha digital tak didirikan atau berada di
Indonesia, tak menjalankan usaha berdasar BUT, tetap termasuk ke dalam subjek PPh 26.
Ketentuan Tarif PPh Pasal 26

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, tarif PPh 26 sejumlah 20 persen yang bersifat final
berdasar jumlah bruto dari objek PPh pasal 26 berikut ini:

 Dividen
 Bunga, tak terkecuali diskonto, premium, insentif berkenaan dengan jaminan bayaran pinjaman.
 Sewa, royalti, serta penghasilan lain berkenaan dengan digunakannya aset.
 Insentif yang terkait dengan pekerjaan, jasa, maupun kegiatan.
 Hadiah serta penghargaan.
 Pensiun serta bayaran secara berkala.
 Premi swap maupun transaksi pelindung lain.
 Pemerolehan untung dari dihapusnya utang.

Kemudian selain pajak atas penghasilan atau omzet, WPLN yang dikenakan PPh pasal 26 juga
dikenakan tarif pajak atas laba bersih. Pengenaan pada laba bersih sebesar 20 persen yang
bersifat final dengan adanya:

 Penghasilan atas menjual aset di Indonesia.


 Premi asuransi serta reasuransi yang dibayar langsung atau dengan pialang terhadap
perusahaan asuransi luar negeri.

Dengan memerhatikan beberapa kriteria, yaitu:

 20 persen atas laba bersih juga diberlakukan atas pengalihan atau penjualan saham yang
dibangun atau berada di negara yang memberi perlindungan pajak, tak terkecuali BUT
Indonesia.
 20 persen atas penghasilan kena pajak dikurang pajak yang termasuk dalam BUT di Indonesia.
Tak berlaku pada wajib pajak yang menanamkan kembali penghasilannya di Indonesia.
 Tax treaty Indonesia dengan negara lain dapat saja memiliki perjanjian yang berbeda antara satu
negara yang lainnya. Tarifnya dapat berkurang dari 20 persen, atau bahkan mencapai 0 persen.

Contoh Perhitungan PPh Pasal 26

Agar lebih mudah dipahami, berikut cara menghitung PPh pasal 26.

Kasus 1

PT XYZ mempunyai wakil di luar negeri yang mengasuransikan gedung bertingkat kepada
perusahaan di negeri tersebut dan melakukan pembayaran sejumlah premi di tahun 2000 dengan
bayaran Rp 1 Miliar. Maka perhitungan PPh pasal 26:
Perkiraan penghasilan

50% x Rp1.000.000.000 = Rp500.000.000,-

PPh Pasal 26

20% x Rp500.000.000 = Rp100.000.000 (10% x Rp1.000.000.000)

Walau tak jarang juga jika perusahaan XYZ mengasuransikan gedung ke perusahaan Indonesia,
dengan melakukan pembayaran premi sejumlah Rp1 Miliar. Perusahaan dapat melakukan
reasuransi ke perusahaan di negeri tersebut dan hanya perlu membayar Rp 500 juta. Maka
perhitungan PPh pasal 26:

Perkiraan penghasilan neto

= 10% x Rp500.000.000 = Rp50.000.000

PPh Pasal 26 PT ZYX

20% x Rp50.000.000 = Rp10.000.000 (2% x Rp500.000.000)

Kasus 2

Jughead adalah orang asing yang berkewarganegaraan Inggris yang memegang saham sebesar 25
persen pada PT XYZ. Pada tahun 2020, Jughead menjual keseluruhan sahamnya sebesar Rp 5
Miliar kepada Ben yang merupakan orang asing asal Argentina.

Anggap tak ada P3B antara Indonesia dengan Argentina, maupun Inggris. Maka perhitungan PPh
26-nya:

PPh Pasal 26

20% x 25% x Rp5.000.000.000 = Rp 250.000.000 (final).

Kemudian melihat PMK No. 258/PMK.03/2008 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham, maka:

 Pendapatan atas saham yang dijual tersebut dikenakan pajak 20 persen dari perkiraan
Penghasilan Neto, sementara Penghasilan Neto sebesar 25 persen dari Harga Jual.
 Ketika terdapat P3B antara kedua negara, maka potongan PPh pasal 26 diberlakukan ketika hak
perpajakan berdasar P3B berada di pihak Indonesia.

Memang, menjadi penting bagi wajib pajak agar mengetahui apakah negara yang bersangkutan
terdapat P3B (tax treaty) atau tidak. Hal ini menjadi penentu tarif pajak PPh 26.

Anda mungkin juga menyukai