Anda di halaman 1dari 158

FISIKA E

LAPORAN BESAR PRAKTIKUM FISIKA II

Fakultas Matematika dan Ilmu


Pengetahuan Alam
Jurusan Fisika
Universitas Brawijaya
DAFTAR ISI

LM 1 Hukum Ohm ................................................................................................................... 1


LM 2 Jembatan Wheatstone ................................................................................................... 20
LM 3 Hukum Kircoff ............................................................................................................. 44
LM 4 Medan Magnet .............................................................................................................. 55
LM 5 Rangkaian RLC ............................................................................................................ 72
OP 1 Lensa Tipis .................................................................................................................... 88
OP 2 Indeks Bias Larutan ..................................................................................................... 107
OP 3 Difraksi ........................................................................................................................ 123
OP 4 Indeks Bias Prisma ...................................................................................................... 145

1
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(HUKUM OHM)

(PERCOBAAN – LM1)

Disusun oleh :

Nama :

NIM :

Fakultas / Jurusan : MIPA / Fisika

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Alma Shafia

LABORATORIUM FISIKA DASAR

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2019

1
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(HUKUM OHM)

Nama :

NIM :

Fakultas /Jurusan : MIPA/ Fisika

Kelompok :

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Alma Shafia

Catatan :

………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………

Paraf Paraf Nilai

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Pada percobaan kali ini, tujuan yang ingin dicapai ialah diperolehnya pemahaman
konsep tentang hukum ohm dan pemahaman penentuan besarnya arus dan tegangan listrik
dalam suatu rangkaian.

1.2 Dasar Teori


Hukum ohm menyatakan bahwa potensi jatuhan melintasi perangkat sama dengan arus
yang mengalir melalui perangkat dikalikan oleh hambatan perangkat.

1𝑉
1Ω = 1 𝐴 … (1.1)

Dalam restivitas suatu material adalah sama ke segala arus. Hambatan dari perangkat
tergantung pada bahan yang membuat perangkat serta geometri. Hal ini mencirikan seberapa
besar besar melawan aliran arus. Restivitas didefinisikan dalam medan listrik (E) dan
besarnya kerapatan arus yang dihasilkan. Restivitas adalah ukuran kuat lemahnya suatu
material menentang aliran arus listrik.

𝐸
Ρ= … (1.2)
𝐽
(Bauer,2011).

Pada persamaan hukum ohm dimana V = I.R adalah rumus yang dikenal umum
sebagai hukum ohm, dimana kuat arus dan hambatan berpengaruh langsung pada persamaan
tersebut. Untuk suatu konduktor tertentu, relasinya pada grafik itu linier. Berbeda dengan
konduktor lainnya, hasil grafik yang ditunjukkan tidak linier. Hukum ohm tidak seperti
hukum dasar seperti hukum newton atau termodinamika tetapi bersifat empiris dari suatu
bahan dalam kondisi tertentu. Sifat ketahanan konduktor bervariasi dengan suhu. Hukum
ohm akan berupa pernyataan bahwa arus yang melalui konduktor logam sebanding dengan
tegangan yang diberikan sehingga R konstan, tidak bergantung pada V, untuk konduktor
logam. Akan tetapi, tidak berlaku umum untuk bahan dan alat lain seperti diode, tabung
hampa udara, transistor, dan sebagainya. “hukum ohm bukan merupakan hukum dasar
melainkan deskripsi mengenai kelas bahan (konduktor logam) tertentu (Tipler,2008).

3
Gambar grafik hubungan V-I pada hukum ohm (Tipler,2008).
Dari grafik yang terbentuk adalah tetap. Sifat hambatan yang digunakan ohmik. Nilai
hambatan berdasarkan grafik diperoleh dengan persamaan :

R = tan  … (1.3)
Dengan R = besar hambatan (Ω) ; tan  = kemiringan grafik.
Maka dari itu, sifat hambatan dapat disimpulkan sebagai sebagai berikut :
1. Sebanding dengan tegangan yang ditimbulkannya
2. Berbanding terbalik dengan hambatan kawat penghambat (Pauliza,2008)
Pada analisis data diperoleh bahwa perbandingan antara beda potensial V dengan
kuat arus I kumparan pada tegangan output tertentu ada yang konsisten terhadap hukum ohm
pada medium tertentu, ada juga yang tidak konsisten terhadap hukum ohm. Bahan yang
konsisten terhadap hukum ohm sampai dengan yang tidak konsisten terhadap hukum ohm
adalah minyak, tanah, air, udara berangin, dan udara. Minyak merupakan medium yang
dapat merendam panas sehingga perbandingan antara beda potensial dengan kuat arus listrik
mendekati hukum ohm, berbeda dengan udara yang tidak dapat merendam panas sehingga
hasilnya menjauhi hukum ohm dibandingkan dengan medium lain (Soemantri,2010).
Arus listrik dapat mengalir jika mempunyai sumber listrik sebagai penyedia beda
potensial (V). Baterai dapat berperan sebagai penyedia beda potensial (V) yang mengalir
dari kutub (+) menuju kutub (-). Hal ini dikarenakan persamaan V = I.R yang menyimpulkan
bahwa I  V. pada hukum ini dapat kita analogikan dengan analogi air. Air yang mengalir
akan dipengaruhi oleh gaya tarik bumi/gravitasi. Makin besar perbedaan ketinggian, makin
besar arus. Demikian mengapa ketinggian menyebabkan aliran beda potensial makin besar
kuat arus yang mengalir pula. Disungai terdapat banyak batu yang akan menghambat aliran
yang dimiliki air sungai tersebut. Ini juga dapat dianalogikan sebagai penghambat dalam
rangkaian listrik atau yang biasa kita sebut sebagai resistor yang bersifat resistan. Dengan
cara yang sama electron-elektron diperlambat dikarenakan adanya interaksi dengan atom-
atom kawat (Giancoli, 2001).
Pada hukum ohm, kerapatan dapat memengaruhi rangkaian. Hambatan ρ dari
sebuah konduktor tertentu dikaitkan dengan resistivitas tertentu material itu oleh :
R = ρ L/A ...(1.4)

4
Dengan R = hambatan (Ω)
Ρ = restivitas/kerapatan
L = panjang kondutor (m)
A = luas permukaan konduktor (𝑚2 ) (Lerner,1996).

5
BAB II
METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan


Praktikum ini, alat serta bahan yang dibutuhkan adalah sumber daya AC/DC, sebuah
voltmeter, sebuah amperemeter, beberapa resistor dan beberapa kabel konektor.

2.2 Tata Laksana Percobaan

Rangkaian dibuat seri seperti pada gambar 3A, harga R yang dipilih = 1kΩ.

Hasil dicatat dan ditabelkan pada pengukuran V dan I.

Hal yang sama dilakukan dan dilakukan pencatatan dan ditabelkan hasil
pengukuran V serta I untuk R = 1.5kΩ dan R = 2kΩ.

Hal yang sama dilakukan pada rangkaian gambar 3B.

6
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Hasil Percobaan

I (10−3 )(A)
V (volt)
R = 100Ω R = 220Ω R = 300Ω

0 0 0 0

2 20,3 9,5 7,5

4 41,2 19 15

6 61,9 28,5 23

8 83,6 38,2 31

10 104,5 47,8 59,5

3.2 Grafik
3.2.1 R = 100Ω

V (Volt) I (𝟏𝟎−𝟑 )(Ampere)

0 0

2 20,3

4 41,2

6 61,9

8 83,6

10 104,5

7
• Sentroid = 𝑥̅ , 𝑦̅ = (5 ; 51,92 x 10−3 )
Δ𝑦 (60−45)(𝟏𝟎−𝟑 )
• Tan 𝜃 = = = 13,08 x 10−3
Δ𝑥 (5,6−4,3)
• 𝜃 = 0,75°
1 1
• 𝑅 = tan 𝜃 = 13,08 x 10−3 = 76,4Ω
𝑦𝑎−𝑦𝑏 (68−35)x 10−3
• 𝐾𝑟 = x 100% = (2 𝑥 51,92)x 10−3 x 100% = 32%
2𝑦̅

3.2.2 R = 220Ω

V (Volt) I (𝟏𝟎−𝟑 )(Ampere)

0 0

2 9,5

4 19

6 28,5

8 38,2

10 47,8

8
• Sentroid = 𝑥̅ , 𝑦̅ = (5 ; 23,83 x 10−3 )
Δ𝑦 (27,5−19,5)(𝟏𝟎−𝟑 )
• Tan 𝜃 = Δ𝑥 = = 6,15 x 10−3
(5,7−4,4)
• 𝜃 = 0,35°
1 1
• 𝑅 = tan 𝜃 = 6,15 x 10−3 = 162Ω
𝑦𝑎−𝑦𝑏 (31−15)x 10−3
• 𝐾𝑟 = x 100% = (2 𝑥 23,83)x 10−3 = 33%
2𝑦̅

3.2.3 R = 300Ω

V (Volt) I (𝟏𝟎−𝟑 )(Ampere)

0 0

2 7,5

4 15

6 23

8 31

10 59,5

9
• Sentroid = 𝑥̅ , 𝑦̅ = (5 ; 22,67 x 10−3 )
Δ𝑦 (26−18)(𝟏𝟎−𝟑 )
• Tan 𝜃 = Δ𝑥 = = 4,7 x 10−3
(5,7−4,0)
• 𝜃 = 0,27°
1 1
• 𝑅 = tan 𝜃 = 4,7 𝑥 10−3 = 213Ω
𝑦𝑎−𝑦𝑏 (31,5−13)x 10−3
• 𝐾𝑟 = x 100% = (2 𝑥 22,67)x 10−3 x 100% = 40%
2𝑦̅

3.4 Pembahasan

3.4.1 Analisa prosedur

Pada praktikum dengan materi Hukum Ohm digunakan beberapa alat, diantaranya
ada power supply (sumber daya AC/DC), sebuah voltmeter, sebuah amperemeter,
beberapa resistor, jumper, papan rangkaian, dan beberapa kabel konektor. Power supply
berfungsi sebagai sumber listrik pada rangkaian. Voltmeter berfungsi untuk pengukuran
nilai tegangan pada rangkaian. Amperemeter berfungsi untuk pengukuran arus pada
rangkaian. Beberapa resistor (100 Ω, 220 Ω dan 300 Ω) berfungsi sebagai hambatan arus
pada rangkaian. Jumper berfungsi sebagai penghubung komponen yang terpisah pada
papan rangkaian. Papan rangkaian berfungsi sebagai tempat rangkaian tersebut disusun.
Dan yang terakhir ada kabel konektor yang berfungsi sebagai penghubung antar alat yang
terdapat pada rangkaian listrik.
Dalam percobaan Hukum Ohm yang pertama kali dilakukan yaitu disusun
rangkaian seperti pada gambar percobaan (A) pada papan rangkaian, dimana amperemeter
dan resistor disusun seri dengan sumber tegangan arus dan kemudian dipararelkan dengan
voltmeter. Diberi hambatan pada resistor sebesar 100 Ω. Kemudian dihidupkan sumber
tegangan dan diatur besarnya voltmeter 2 volt dengan cara diputarnya besar tegangan pada
power supply. Sebelum itu posisikan putaran voltmeter dan amperemeter sesuai dengan
10
petunjuk asisten. Dibaca besarnya nilai arus yang terlihat pada amperemeter dan dicatat
hasilnya pada table hasil percobaan. Dilakukan hal yang sama pada tegangan sebesar
2V,4V, 6V, 8V, dan 10V untuk setiap nilai 100 Ω, 220 Ω dan 300 Ω.
3.4.2 Analisa Hasil

Dari percobaan yang telah dilakukan di dapatkan data yang beragam. Berdasarkan
Hukum Ohm, besarnya beda potensial atau tegangan listrik (V) diantara ujung penghantar
adalah sebading dengan arus listrik (I) yang melaluinya. Hal tersebut berarti jika nilai (V)
tinggi, maka nilai arus listrik (I) juga tinggi. Dan jika nilai hambatan (R) besar maka nilai
(I) akan kecil. Pada data hasil percobaan untuk R=100 Ω di dapatkan data yang sesuai, hal
ini dapat dilihat pada nilai V=2V yang memiliki arus (I) sebesar 0,02 A. kesesuaian hasil
percobaan tersebut karena sudah telitinya para praktikan dalam melakukan praktikum,
terutama dalam membaca nilai arus yang terdapat pada multimeter. Untuk R=220 Ω juga
didapatkan data yang sesuai, dimana pada nilai V=4V memiliki arus listrik (I) sebesar
0,019 A, begitu pula untuk nilai tegangan yang lainnya, sesuai dengan persamaa I=V/R.
Untuk nilai hambatan R=300 Ω didapatkan data arus listrik (I) yang cukup akurat. Hal ini
dapat dilihat pada salah satu nilai V=6V yang memiliki arus (I) sebesar 0,023A. seharusnya
pada saat R=300 Ω dan V=6V memiliki kuat arus sebesar 0,2A. walaupun memiliki selisih
yang cukup kecil yaitu senilai 0,003 A namun nilainya cukup akurat, hal ini disebabkan
karena angka hasil pengukuran (I) pada multimeter yang nilainya selalu berubah-ubah dan
tidak tetap.

Berdasarkan grafik yang ada, dapat diketahui besarnya nilai hambatan (R) dan
kesalahan relatif (Kr). Nilai hambatan (R) yang didapatkan dari grafik tersebut nilainya
kurang mendekati dengan (R) yang dipasang pada rangkaian. Seperti pada R 1=100 Ω
diperoleh pada grafik R1=76,4 Ω, pada R2=220 Ω diperoleh pada grafik R2=162 Ω, serta
pada R3=300 Ω diperoleh pada grafik sebesar R3=213 Ω. Perbedaan nilai R ini disebabkan
karena kurang telitinya praktikan dalam menggambar grafik, serta penentuan skala dalam
grafik yang kurang sesuai. Selain nilai hambatan (R) juga didapatkan nilai tan θ yang
semakin turun untuk setiap nilai Rnya. Pada R1 didapatkan tan θ sebesar 13,08 x 10-3, pada
R2=6,15 x 10-3 dan R3=4,7 x 10-3. Sedangkan untuk nilai Kr yang didapatkan yaitu
R1=32%, R2=33% dan R3=40%. Besarnya nilai Kr tersebut masih dibawah 50%, jadi masih
bisa dipastikan bahwa nilaiya akurat dan juga presisi. Besarnya nilai Kr yang masih
dibawah 50% tersebut disebabkan oleh adanya pembulatan angka yang kurag tepat pada
saat perhitungan data.

Pada kedua multimeter yang dipasang pada rangkaian, salah satunya digunakan
sebagai amperemeter dan yang lain sebagai voltmeter. Amperemeter merupakan alat ukur
yang digunakan untuk mengukur arus listrik di suatu titik. Dengan demikian, alat harus
dirangkai secara seri karena besar arus pada rangkaian seri tetap sama. Jika dipasang
pararel maka arus akan berbeda disetiap cabang dan arus listrik akan terbagi menjadi
beberapa bagian. Sedangkan voltmeter merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
suatu tegangan listrik dan suatu perbedaan antara satu titik dengan titik yang lain sehingga
harus dipasang pararel. Jika dipasang secara seri, maka tidak akan ada yang terukur karena
tidak mendeteksi adaya perubahan suatu tegangan.

11
Penerapan atau aplikasi dari Hukum Ohm salah satunya adalah dalam menyalakan
lampu LED. LED (Light Emitting Diode) merupakan diode yang dapat memancarkan
cahaya, dan untuk menyalakannya kita harus tahu beberapa tegangan dan arus yang dapat
dihantarkan LED. Umumnya LED bekerja pada tegangan 1,5 volt-4,5 volt dengan arus 2
mA-50 mA. Untuk mendapatkan arus tersebut maka digunakan Hukum Ohm, dimana
V=IxR. LED dirangkai dengan transistor, kabel dan komponen-komponen yang lainnya
diatas project board. Kemudian hubungkan rangkaian tersebut dengan sumber
(adaptor/baterai), maka LED akan menyala dengan sangat terang.

12
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Konsep dasar dari Hukum Ohm yaitu hambatan tergantung dengan besar kecilnya
tegangan ataupun arus listrik yang mengalir. Hukum Ohm menyatakan bahwa beda
potensial atau tegangan listrik V sebanding dengan arus listrik (I) yang melaluiya.
Besarnya arus dapat ditentukan dengan memberikan beda potensial atau tegangan listrik
pada rangkaian, sehingga arus dapat timbul. Besarnya tegangan dapat diatur melalui
voltmeter yang dihubungkan ke sumber tegangan. Nilai dari arus dan tegangan ini
sebanding, dimana semakin besar tegangan maka semakin besar pula arusnya, dan semakin
kecil tegangan tersebut maka arusnya akan semakin kecil.

4.2 Saran

Pada saat dilakukannya praktikum, sebaiknya praktikan harus teliti dalam


menyusun rangkaian listrik dan membaca nilai arusnya. Sehingga data yag didapatkan
nilainya akurat dan presisi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Bauer, Wolfgang and Gary D.Westfall. 2011. University Physics With Modern Physics. New
York: Mc Graw-Hill

Giancoli, Douglas C. 2001. Fisika Jilid 2. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga

Lerner, Lawrence S. 1996. Physics For Scientist And Engineers. Volume 2. Boston: Joston and
Barlett Publishers

Pauliza, Osa. 2008. FISIKA. Bandung: Grafindo

Soemanti, Sandi., dkk (2010) Konsistensi Hambatan Kawat Kumparan Terhadap Hukum Ohm
Pada Berbagai Medium. Hal 84-88. Yogyakarta

Tipler, Paul A. 2008. Physics For Scientist And Engineers. New York: WH Freeman Company

14
(Bauer,2011)

15
(Tipler,2008)

16
(pauliza,2008)

17
(Soemantri,2010)

(Giancoli,2001)
18
(Lerner,1996)

19
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(JEMBATAN WHEATSONE)

(PERCOBAAN – LM2)

Disusun oleh :

Nama :

NIM :

Fakultas / Jurusan : MIPA / Fisika

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Aliya Salsabila Juliananda

LABORATORIUM FISIKA DASAR

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2019

20
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(JEMBATAN WHEATSTONE)

Nama :

NIM :

Fakultas /Jurusan : MIPA/ Fisika

Kelompok :

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Aliya Salsabila Juliananda

Catatan :

………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………

Paraf Paraf Nilai

21
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Setelah percobaan jembatan wheatstone diselesaikan kita dapat peroleh penjelasan
tentang dasar pengukuran hambatan listrik dengan metode arus nol serta dapat ditentukan
nilai suatu hambatan listrik dengan metode jembatan wheatstone.

1.2 Dasar Teori


Alat yang digunakan untuk mengukur arus listrik disebut amperemeter. Sedangkan
alat yang digunakan untuk mengukur tegangan listrik adalah voltmeter. Terdapat dua jenis
alat ukur yang digunakan untuk mengukur arus listrik dan tegangan listrik, yaitu analog dan
digital. Analog menampilkan nilai pengukuran dengan posisi penunjuk (jarum) yang dapat
bergerak sesuai dengan skalanya. Digital meter menampilkan nilai hasil pengukuran dalam
bentuk angka (Giancoli, 2014).
Material-material yang ada, seperti besi, kayu, plastik, air, bahkan udara, semuanya
memiliki tahanan listrik. Namun, besar tahanan listrik yang dimiliki oleh material-material
seperti batu, kayu, dan lainnya sangat besar, sehingga ketika diberikan beda potensial di
kedua ujungnya, hampir tidak ada arus yang mengalir. Disamping itu material-material
diatas yang memiliki nilai tahanan listrik yang besar, terdapat pula material yang memiliki
tahanan yang kecil. Salah satunya adalah logam. Hubungan antara tahanan listrik yang
dimiliki bahan dengan ukuran bahan memenuhi

R=ρL/A
... (1.1)

Dengan R tahanan, L panjang bahan, A luas penampang bahan, tahan jenis bahan
(Abdullah, 2017).
Untuk mencapai kesetimbangan pada jembatan wheatstone, rasio dari dua resistor
pada sisi kiri jembatan sama atau sebanding dengan rasio pada dua resistor sisi kanan
jembatan. Namun, cara yang lebih baik untuk menampilkan kondisi kesetimbangan pada
kondisi nilai resistor adalah jika hasil dari dua resistor yang berhadapan secara diagonal
sebanding dengan hasil dari dua resistor yang berhadapan secara diagonal pada diagonal lain
, sehingga jembatannya akan seimbang dan arus sebesar nol akan mengalir ke tengah

i.e R1R4 = R2R3 ... (1.2)

Selanjutnya kita sendirikan R sebagai nilai yang ingin dicari

R4 = R2R3/R1
... (1.3)

Jika resistor R,R,R dapat diukur pada nilai yang diketahui, dan disesuaikan hingga alat
pengukur arus sensitif yang ada di tengah mengindikasikan nol arus, maka diperoleh basis
untuk alat pengukur tahanan yang sensitif (Robertson, 2008).
22
BAB II

METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan

Praktikum Fisika Dasar II tentang jembatan wheatstone alat dan bahan yang digunakan
adalah bangku jembatan wheatstone, sebuah galvanometer, sumber tegangan arus searah,
beberapa buah hambatan yang akan ditentukan nilai (Rx), sebuah hambatan standar yang
diketahui nilainya (Rs) serta kabel-kabel penghubung.

2.2 Tata Laksana Percobaan

Disiapkan alat dan disusun rangkaian dengan hambatan


yang dicari dan hambatan standar

Dihubung rangkain yang benar dengan sumber


tegangan

Digeser kontak K pada kawat sampai jarum


galvanometer penunjuk ke angka nol

Dicatat harga Rs, L1 dan L2

Diulangi langkah 3 dan 4 untuk Rs yang sama dengan


diubah kutub sumber tegangan

Diulangi langkah 3-5 untuk Rx yang sama dengan


diubah nilai Rs beberapa kali

Diulangi percobaan untuk harga Rx yang lainnya

23
BAB III

ANALISA DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Hasil Percobaan

3.1.1 Rx1

Polaritas A Polaritas B
Rs (Ω)
L1 L2 L1 L2
470 0,31 0,69 0,32 0,68
1000 0,5 0,5 0,51 0,49
1500 0,61 0,39 0,61 0,39
2000 0,64 0,36 0,67 0,33
3300 0,77 0,23 0,78 0,22

3.1.2 Rx2

Polaritas A Polaritas B
Rs (Ω)
L1 L2 L1 L2
470 0,31 0,69 0,32 0,68
1000 0,5 0,5 0,51 0,49
1500 0,61 0,39 0,61 0,39
2000 0,64 0,36 0,67 0,33
3300 0,77 0,23 0,78 0,22

3.1.3 Rx3

Polaritas A Polaritas B
Rs (Ω)
L1 L2 L1 L2
470 0,31 0,69 0,32 0,68
1000 0,5 0,5 0,51 0,49
1500 0,61 0,39 0,61 0,39
2000 0,64 0,36 0,67 0,33
3300 0,77 0,23 0,78 0,22

24
3.2 Perhitungan

3.2.1 Rx1

Polaritas A Polaritas B
No
Rx (Ω) |Rx-Rx|2 Rx(Ω) |Rx-Rx|2
1 1046,13 572,03 998,75 1015,77
2 1000 536,94 960,78 37,14
3 959,02 4115,93 959,02 61,82
4 1125 10368,95 985,07 331,08
5 985,71 1403,08 930,77 1303,91

Polaritas A
𝐿2
• 𝑅𝑥 = 𝑅𝑠 × 𝐿1
𝑅𝑥1 = 1046,13 𝛺
𝑅𝑥2 = 1000 𝛺
𝑅𝑥3 = 959,02 𝛺
𝑅𝑥4 = 1125 𝛺
𝑅𝑥5 = 985,71 𝛺

∑𝑅𝑥
• ̅̅̅̅
𝑅𝑥 = 𝑛 = 1023,17Ω

• |𝑅𝑥 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2
|𝑅𝑥 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 577,03 𝛺
|𝑅𝑥 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 536,94 𝛺
̅̅̅̅|2
|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥 = 4115,93 𝛺
̅̅̅̅|2
|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥 = 10368,95 𝛺
̅̅̅̅|2
|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥 = 1403,08 𝛺

̅̅̅̅̅
∑|𝑅𝑥−𝑅𝑥|
• 𝛿𝑅𝑥 = √ 𝑛−1

16951,93
𝛿𝑅𝑥 = √
4
𝛿𝑅𝑥 = 65, 10𝛺

𝛿𝑅𝑥
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = ̅̅̅̅
× 100%
𝑅𝑥
65,10
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
1023,17
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 0,06 %

• ̅̅̅̅ ± 𝛿𝑅𝑥
𝑅𝑥 = 𝑅𝑥
25
𝑅𝑥 = 1088,27𝛺 ± 958,07𝛺

Polaritas B
𝐿2
• 𝑅𝑥 = 𝑅𝑠 × 𝐿1
𝑅𝑥1 = 998,75 𝛺
𝑅𝑥2 = 960,78 𝛺
𝑅𝑥3 = 959,02 𝛺
𝑅𝑥4 = 985,07 𝛺
𝑅𝑥5 = 930,77 𝛺

∑𝑅𝑥
• ̅̅̅̅
𝑅𝑥 = 𝑛 = 966,88Ω

• |𝑅𝑥 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2
|𝑅1 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 1015,77 𝛺
|𝑅2 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 37,14 𝛺
|𝑅3 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 61,82 𝛺
̅̅̅̅|2
|𝑅4 − 𝑅𝑥 = 331,08 𝛺
̅̅̅̅|2
|𝑅5 − 𝑅𝑥 = 1303,91 𝛺

̅̅̅̅̅
∑|𝑅𝑥−𝑅𝑥|
• 𝛿𝑅𝑥 = √ 𝑛−1

2749,72
𝛿𝑅𝑥 = √
4
𝛿𝑅𝑥 = 26,22𝛺

𝛿𝑅𝑥
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = ̅̅̅̅
× 100%
𝑅𝑥
26,22
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
966,88
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 0,03 %

• 𝑅𝑥 = ̅̅̅̅
𝑅𝑥 ± 𝛿𝑅𝑥
𝑅𝑥 = 993,10𝛺 ± 940,66 𝛺

3.2.1 Rx2

Polaritas A Polaritas B
No
Rx (Ω) |Rx-Rx|2 Rx(Ω) |Rx-Rx|2
1 1573,48 3661,03 1488,33 469,85
2 1500 168,27 1500,00 100,19
3 1500 167,27 1500,00 100,19
4 1508,77 17,64 1508,77 1,53
5 1482,61 921,92 1552,94 1843,15
26
Polaritas A
𝐿2
• 𝑅𝑥 = 𝑅𝑠 × 𝐿1
𝑅𝑥1 = 1573,48 𝛺
𝑅𝑥2 = 1500 𝛺
𝑅𝑥3 = 1500 𝛺
𝑅𝑥4 = 1508,77 𝛺
𝑅𝑥5 = 1482,61 𝛺

• ̅̅̅̅ = ∑𝑅𝑥 = 35,13 Ω


𝑅𝑥 𝑛

• ̅̅̅̅|2
|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥
̅̅̅̅|2
|𝑅1 − 𝑅𝑥 = 3661,03 𝛺
̅̅̅̅|2
|𝑅2 − 𝑅𝑥 = 168,27 𝛺
̅̅̅̅|2
|𝑅3 − 𝑅𝑥 = 167,27 𝛺
|𝑅4 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 17,64 𝛺
|𝑅5 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 921,92 𝛺

̅̅̅̅̅
∑|𝑅𝑥−𝑅𝑥|
• 𝛿𝑅𝑥 = √ 𝑛−1

4937,12
𝛿𝑅𝑥 = √
4
𝛿𝑅𝑥 = 35,13𝛺

𝛿𝑅𝑥
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = ̅̅̅̅
× 100%
𝑅𝑥
65,10
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
1023,17
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 0,02 %

• ̅̅̅̅ ± 𝛿𝑅𝑥
𝑅𝑥 = 𝑅𝑥
𝑅𝑥 = 1548,10 𝛺 ± 1477,84 𝛺

Polaritas B
𝐿2
• 𝑅𝑥 = 𝑅𝑠 × 𝐿1
𝑅𝑥1 = 2467,50 𝛺
𝑅𝑥2 = 2030,30 𝛺
𝑅𝑥3 = 1909,09 𝛺
𝑅𝑥4 = 2000𝛺
𝑅𝑥5 = 1938,10 𝛺

27
• ̅̅̅̅ = ∑𝑅𝑥 = 2069 Ω
𝑅𝑥 𝑛

• ̅̅̅̅|2
|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥
̅̅̅̅|2
|𝑅1 − 𝑅𝑥 = 15803,98 𝛺
|𝑅2 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 1497,29 𝛺
|𝑅3 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 25507,23 𝛺
|𝑅4 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 4706,70 𝛺
|𝑅5 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 17135,49 𝛺

̅̅̅̅̅
∑|𝑅𝑥−𝑅𝑥|
• 𝛿𝑅𝑥 = √ 𝑛−1

207767,68
𝛿𝑅𝑥 = √
4
𝛿𝑅𝑥 = 227,91 𝛺

𝛿𝑅𝑥
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
̅̅̅̅
𝑅𝑥
277,91
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
2069
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 0,11 %

• ̅̅̅̅ ± 𝛿𝑅𝑥
𝑅𝑥 = 𝑅𝑥
𝑅𝑥 = 2296,91 𝛺 ± 1841,09 𝛺

3.2.3 Rx3

Polaritas A Polaritas B
No
Rx (Ω) |Rx-Rx|2 Rx(Ω) |Rx-Rx|2
1 2663,33 102896,29 2467,50 158803,98
2 2125,00 47331,84 2030,30 1497,29
3 2554,05 44730,23 1909,09 25570,23
4 2347,83 27,74 2000,00 4760,70
5 2022,58 102386,03 1938,10 17135,49

Polaritas A
𝐿2
• 𝑅𝑥 = 𝑅𝑠 × 𝐿1
𝑅𝑥1 = 2663,33 𝛺
𝑅𝑥2 = 2125 𝛺
𝑅𝑥3 = 2554,05 𝛺
𝑅𝑥4 = 2347,83 𝛺
𝑅𝑥5 = 2022,58 𝛺
28
• ̅̅̅̅ = ∑𝑅𝑥 = 2342,56 Ω
𝑅𝑥 𝑛
• ̅̅̅̅|2
|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥
̅̅̅̅|2 = 102896,29 𝛺
|𝑅1 − 𝑅𝑥
|𝑅2 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 47331,84 𝛺
|𝑅3 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 44730,23 𝛺
|𝑅4 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 27,74 𝛺
|𝑅5 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 102386,03 𝛺

̅̅̅̅̅
∑|𝑅𝑥−𝑅𝑥|
• 𝛿𝑅𝑥 = √ 𝑛−1

297372,14
𝛿𝑅𝑥 = √
4
𝛿𝑅𝑥 = 272,66 𝛺

𝛿𝑅𝑥
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
̅̅̅̅
𝑅𝑥
272,66
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
2342,56
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 0,12 %

• 𝑅𝑥 = ̅̅̅̅
𝑅𝑥 ± 𝛿𝑅𝑥
𝑅𝑥 = 2615,22 𝛺 ± 2069,90 𝛺

Polaritas B
𝐿2
• 𝑅𝑥 = 𝑅𝑠 × 𝐿1
𝑅𝑥1 = 2467,50 𝛺
𝑅𝑥2 = 2030,30 𝛺
𝑅𝑥3 = 1909,09 𝛺
𝑅𝑥4 = 2000 𝛺
𝑅𝑥5 = 1938,10 𝛺

• ̅̅̅̅ = ∑𝑅𝑥 = 2069 Ω


𝑅𝑥 𝑛

• ̅̅̅̅|2
|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥
̅̅̅̅|2
|𝑅1 − 𝑅𝑥 = 15803,98 𝛺
|𝑅2 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 1497,29 𝛺
|𝑅3 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 25507,23 𝛺
|𝑅4 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 4706,70 𝛺
|𝑅5 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 17135,49 𝛺

29
̅̅̅̅̅
∑|𝑅𝑥−𝑅𝑥|
• 𝛿𝑅𝑥 = √ 𝑛−1

207767,68
𝛿𝑅𝑥 = √
4
𝛿𝑅𝑥 = 227,91 𝛺

𝛿𝑅𝑥
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = ̅̅̅̅
× 100%
𝑅𝑥
277,91
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
2069
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 0,11 %

• 𝑅𝑥 = ̅̅̅̅
𝑅𝑥 ± 𝛿𝑅𝑥
𝑅𝑥 = 2296,91 𝛺 ± 1841,09 𝛺
3.3 Grafik

3.3.1 Rx1 (Polaritas A)

No 1/Rs L2/L1

1 1/470 2,23

2 1/1000 1

3 1/1500 0,64

4 1/2000 0,56

5 1/3300 0,29

∑ 1/𝑅𝑠
• 𝑥̅ = = 9,22 x 10-4
𝑛
∑ 𝐿2/𝐿1
• 𝑦̅ = = 0,94
𝑛

Centroid ( 9,22 x 10-4 ; 0,94)


𝑦2−𝑦1
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = ̅̅̅̅̅̅
× 100%
2𝑦𝑜
1,5 − 0,6
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
2 𝑥 0,94
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 48 %

30
3.3.2 Rx1 (Polaritas B)

No 1/Rs L2/L1

1 1/470 2,13

2 1/1000 0,96

3 1/1500 0,64

4 1/2000 0,49

5 1/3300 0,28

∑ 1/𝑅𝑠
• 𝑥̅ = = 9,22 x 10-4
𝑛
∑ 𝐿2/𝐿1
• 𝑦̅ = = 0,9
𝑛

Centroid ( 9,22 x 10-4 ; 0,9)


𝑦2−𝑦1
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = ̅̅̅̅̅̅
× 100%
2𝑦𝑜
1,35 − 0,6
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
2 𝑥 0,9
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 39 %

31
3.3.3 Rx2 (Polaritas A)

No 1/Rs L2/L1

1 1/470 3,35

2 1/1000 1,5

3 1/1500 1

4 1/2000 0,75

5 1/3300 0,45

∑ 1/𝑅𝑠
• 𝑥̅ = = 9,22 x 10-4
𝑛
∑ 𝐿2/𝐿1
• 𝑦̅ = = 1,41
𝑛

Centroid ( 9,22 x 10-4 ; 1,41)


𝑦2−𝑦1
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = ̅̅̅̅̅̅
× 100%
2𝑦𝑜
1,9 − 1
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
2 𝑥 1,41
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 32 %

32
3.3.4 Rx2 (Polaritas B)

No 1/Rs L2/L1

1 1/470 3,35

2 1/1000 1,5

3 1/1500 0,96

4 1/2000 0,72

5 1/3300 0,43

∑ 1/𝑅𝑠
• 𝑥̅ = = 9,22 x 10-4
𝑛
∑ 𝐿2/𝐿1
• 𝑦̅ = = 1,39
𝑛

Centroid ( 9,22 x 10-4 ; 1,39)


𝑦2−𝑦1
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = ̅̅̅̅̅̅
× 100%
2𝑦𝑜
1,8 − 1
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
2 𝑥 1,39
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 29 %

33
3.3.5 Rx3 (Polaritas A)

No 1/Rs L2/L1

1 1/470 5,67

2 1/1000 2,13

3 1/1500 1,7

4 1/2000 1,17

5 1/3300 0,61

∑ 1/𝑅𝑠
• 𝑥̅ = 𝑛
= 9,22 x 10-4
∑ 𝐿2/𝐿1
• 𝑦̅ = = 2,26
𝑛

Centroid ( 9,22 x 10-4 ; 2,26)


𝑦2−𝑦1
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = ̅̅̅̅̅̅
× 100%
2𝑦𝑜
2,8 − 1,5
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
2 𝑥 2,26
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 29 %

34
3.3.6 Rx3 (Polaritas B)

No 1/Rs L2/L1

1 1/470 5,25

2 1/1000 2,03

3 1/1500 1,27

4 1/2000 1

5 1/3300 0,59

∑ 1/𝑅𝑠
• 𝑥̅ = = 9,22 x 10-4
𝑛
∑ 𝐿2/𝐿1
• 𝑦̅ = = 2,03
𝑛

Centroid ( 9,22 x 10-4 ; 2,03)


𝑦2−𝑦1
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = ̅̅̅̅̅̅
× 100%
2𝑦𝑜
2,5 − 1,5
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
2 𝑥 2,03
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 25 %

35
3.4 Pembahasan

3.4.1 Analisa Prosedur

Dalam praktikum jembatan wheatstone ini digunakan beberapa alat berupa bangku
jembatan wheatstone, sebuah galvanometer, sumber tegangan arus searah, beberapa buah
hambatan yang akan ditentukan nilainya (Rx), sebuah hambatan standart yang diketahui
nilainya (Rs) serta kabel-kabel penghubung. Semua alat yang digunakan memiliki fungsinya
masing-masing. Rangkaian jembatan wheatstone jenis kawat geser untuk penentuan nilai
suatu hambatan (L1 dan L2). Galvanometer digunakan untuk pengukur nilai arus. Sumber
tegangan arus searah digunakan untuk sumber listrik yang berfungsi sebagai penghasil atau
penimbul gaya magnet. Beberapa buah hambatan yang akan ditentukan nilainya (Rx)
merupakan resistor variable tahanan yang akan ditentukan besarannya sebagai resistor yang
akan dicari nilainya. Sebuah hambatan standart yang diketahui nilainya berfungsi sebagai
pembantu hambatan yang akan dicari nilai resistornya. Serta kabel-kabel penghubung yang
berfungsi sebagai penghubung arus lstrik yang mengalir.

Dalam praktikum kali ini ada langkah-langkah dan fungsi langkah tersebut. Hal ini
dilakukan agar simulasi jembatan wheatstone sesuai dengan yang diharapkan. Disiapkan alat
dan disusun rangkaian dengan hambatan yang dicari dan hambatan standart berfungsi sebagai
tempat berlangsungnya simulasi jembatan wheatstone. Dihubungkan rangkaian yang benar
dengan sumber tegangan berfungsi agar rangkaian bias penimbul medan listrik untuk
penimbul arus agar dapat hambatan yang dicari nilainya dapat diketahui. Digeser kontak K
pada kawat sampai jarum galvanometer menunjuk ke angka nol tersebut merupakan prinsip
percobaan sebagai penemu hambatan yang belum diketahui nilainya (Rx) berdasarkan
hambatan yang sudah diketahui nilainya (Rs) dengan mengubah-ubah panjang L1 dan L2
hingga jarum galvanometer menunjuk ke angka nol. Hal diatas diulangi untuk nilai Rs yang
sama dengan diubah kutub sumber tegangan berfungsi untuk pembeda nilai hambatan yang
dicari nilainya (Rx) dengan diubahnya kutub sumber tegangan. Diulangi langkah diatas untuk
Rx yang sama dengan diubah nilai Rs beberapa kali berfungsi untuk Rx yang sama dengan
diubah nilai Rs beberapa kali berfungsi untuk pembeda nilai hambatan yang didapat, jika nilai

36
Rs yang diubah. Serta diulangi percobaan untuk harga Rx yang lain untuk penentu atau
penmbul beberapa ralat yang dihasilkan.

3.4.2 Analisa Hasil

Dari hasil percobaan didapatkan beberapa data dalam percobaan ini. Kita bisa
memperoleh nilai hambatan yang dicari (Rx) pada polaritas A dipercobaan pertama dengan
rata-ratanya 1023,17 ohm dan pada polaritas A dipercobaan pertama dengan ralatnya 66,10
dengan kr nya 0,06%. Pada polaritas B dipercobaan pertama didapatkan rata-rata Rx nya
sebesar 966,88 ohm dengan ralatnya yaitu 26,22 serta kr nya 0,03%. Pada percoban kedua
didapat polaritas A dan B. polaritas A memiliki nilai rata-rata Rx nya 1512,972 dengan ralat
35,13 serta kr nya 0,02%. Polaritas B memiliki nilai rata-rata Rxnya 14475,44 dengan ralat
62,98 serta kr nya 0,04%. Serta pada percobaan ketiga didapat polaritaas A dan B. Polaritas
A memiliki nilai rata-rata Rxnya 2342,562 dengan ralat 272,66 serta kr nya 0,12%. Polaritas
B memiliki rata-rata nilai Rxnya 20692 dengan ralatnya 227,91 serta kr nya 0,11%. Dari
beberapa kali percobaan didapatkan nilai rata-rata Rx yang berbeda, ralat serta kr yang
berbeda disebabkan oleh diubahnya kutub sumber tegangan yang dapat menimbulkan nilai
yang berbeda serta kesalahan praktikan melakukan praktikum dalam kondisi yang berbeda-
beda.

Selain didapatkan data berupa perhitungan, didapatkan pula data berupa grafik. Pada
percobaan pertama terdapat polaritas A dan polaritas B. pada polaritas A dengan centroid
(9,22.10−4;0,94) terdapat kr sebesar 48%. Pada polaritas B dengan centroid (9,22.10−4;0,9)
dengan kr sebesar 39%. Pada percobaan kedua didapat polaritas A dan polaritas B. Pada
polaritas A dengan centroid (9,22.10−4;1,41) dengan kr sebesar 32%. Pada polaritas B dengan
centroid (9,22.10−4;1,39) dengan kr sebesar 29%. Serta pada percobaan ketiga terdapat
polaaritas A dan B. Pada polaritas dengan centroid (9,22.10−4 ;2,26) dengan krnya 20%. Pada
polaritas B dengan centroid (9,22.10−4;2,03) dengan krnya 25%. Ralat yang didapat dari
beberapa percobaan jauh berbeda dengan yang terdapat di grafik dengan ang didata
perhitungan. Hal ini disebabkan mungkin terdapat kessalahaaan dari praktikan dalam
membuat grafik.

Didalam percobaan jembatan wheatstone terdapat hokum yang terikat yaitu hokum
ohm dan prinsip arus nol. Hukum ohm menyatakan “jika suatu arus listrik melalui suatu
penghantar, maka kekuatan arus tersebut adalah sebanding arus dan tegangan listrik yang
terdapat diantara kedua ujung penghantar tadi”. Secara sistematis hukum ohm ditulis:

V = I.R atau I = V/R ...(3. 1)

Prinsip arus nol dimana digunakan dalam menentukan hambatan yang telah diketahui
nilainya (Rx) berdasarkan hambatan yang telah diketahui nilainya (Rs) dengan mengubah-
ubah panjang L1 dan L2 hingga jarum galvanometer menunjuk angka nol. Selain itu pada
hukum kirchoff I dan kirchoff II, hukum kirchoff I menyatakan bahwa semua arus yang
menuju titik cabang adalah nol.

∑ 𝐼𝑅 + ∑ 𝐼 𝑘𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟 ...(3. 2)

37
Hukum kirchoff II menyatakan bahwa jumlah aljabar beda potensial dirangkaian tertutup
adalah nol.

∑ 𝐼𝑅 + ∑ 𝐸=0 ...(3. 3)

Jembatan wheatstone banyak digunakan untuk mengukur resistansi kecil dan karena
itu digunakan dalam aplikasi seperti pengukur regangan dan thermometer perlawanan
jembatan wheatstone adalah bagian integral dari dalam suhu rendah. Hambatan dari
perubahan transmitor karena suhu itu terkena perubahan. Suhu dan ketahanan dari termister
adalah berbanding terbalik satu sama lain. Ini berarti bahwa jika suhu meningkat thermistor
ketahanan menurun. Perbedaan suhu dari kedua kaki tercermin melintasi jembatan yang alarm
terpasang. Perbedaan suhu akan mengaktifkan alarm.

38
BAB IV

PENUTUP

4.1 Keimpulan

Didapatkan kesimpulan dari percobaan ini yaitu hambatan listrik dapat diketahui
dengan metode arus NOL, yang artinya tidak ada arus pada titik tersebut dimana ditunjukkan
angka nol pada galvanometer, disini hambatan dapat diketahui nilainya. Penentuan nilai suatu
hambatan listrik dengan metode Jembatan Wheatstone dapat dilakukan dengan cara
penggeseran kontak logam pada kawat yang ada pada rangkaian Jembatan Wheatstone, nilai
hambatan yang belum diketahui (RX), dicari terlebih dahulu hambatan yang diketaui (RV)
dikalikan dengan segmen kawat 1 (L1) yang berbanding terbalik dengan segmen kawat 2 (L2).

4.2 Saran

Disarankan agar lebih teliti pada saat pencatatan nilai yang ditunjukkan oleh
galvanometer serta lebih berhati-hati dan melakukan praktikum dengan sungguh-sungguh
agar didapatkan data dengan sedikit kesalahan relatif.

39
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mikrajuddin. 2017. Fisika Dasar II. Bandung : Institut Teknologi Bandung Press

Giancoli, Doughles.C. 2014. Physics Principles with Aplications. Harlow : Pearson

Robertson, C.R. 2008. Fundamental Electrical and Electronics Principles. Oxford : Elsevier Ltd

40
LAMPIRAN

41
42
43
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(HUKUM KIRCHOFF)

(PERCOBAAN – LM3)

Disusun oleh :

Nama :

NIM :

Fakultas / Jurusan : MIPA / Fisika

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Octora Achbrinia Puspitasari

LABORATORIUM FISIKA DASAR

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2019
44
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(HUKUM KIRCHOFF)

Nama :

NIM :

Fakultas /Jurusan : MIPA/ Fisika

Kelompok :

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Octora Achbrinia Puspitasari

Catatan :

………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………

Paraf Paraf Nilai

45
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Tujuan
Praktikum tentang Hukum Kirchoff ini dilakukan dengan tujuan yaitu agar Hukum
Kirchoff tentang arus dan tegangan listrik dapat dipahami, kegunaan Hukum Kirchoff pada
rangkaian listrik sederhana dapat diterapkan, serta besarnya arus dan tegangan listrik pada
suatu rangkaian listrik DC sederhana dapat diukur

1.2. Dasar Teori


Pada awalnya hukum kirchoff disebut sebagai hukum titik cabang, kemudian ada
hukum kedua yang disebut sebagai hukum loop. Biasanya digunakan untuk menyelesaikan
rangkaian listrik kompleks. Hukum kirchoff pertama adalah “ jumlah aljabar arus yang
masuk ke dalam suatu titik cabang suatu rangkaian adalah nol”.

ΣI=0 .….. (1.1)

Dapat diasumsikan bahwa arus menuju ke arah titik cabang bernilai positif dan yang
meninggalkan titik cabang bernilai negative. Untuk penerapannya harus ditentukan arah-
arahnya pada setiap titik cabang terlebih dahulu, jika dalam proses perhitungan terdapat
nilai positif makaarah yang diberikan telah benar, jika sebaliknya yaitu nilai negative
berarti arah yang diberikan terbalik

Kemudian terdapat hukum Kirchoff kedua yaitu “ jumlah aljabar gaya gerak listrik
(GGL) dalam setiap rangkaian loop sama dengan jumlah aljabar hasil kali iR”

Σε=IR .…. (1.2)

Arah dari GGL dan arah dari arus herus searah dengan loop, maka arah loop harus
ditentukan terlebih dahulu. Kemudian, yang searah diberi tanda positif dan yang
berlawanan diberi tanda negative ( Yahdi, 1995).

Saat menerapkan Hukum Kirchoff, kita harus membuat keputusan awal permasalahan,
yaitu menetapkan symbol dan arah di titik cabang. Tidak perlu khawatir dalam menentukan
arah yang salah. Selain itu, saat mengaplikasikan aturan loop, kita harus memilih arah loop
dan konsisten dalam searah jarum jam atau tidak, saat melewati loop, catat tegangan naik
dan turunnya ( Serway, 2009)

46
BAB II
METODOLOGI

2.1. Alat dan Bahan


Adapun peralatan yang digunakan dalam praktikum ini adalah base board,
amperemeter/ multimeter, Voltmeter, sumber tegangan arus searah variable ( 0-15 Volt),
beberapa tahanan karbon, dan kabel penghubung secukupnya.

2.2. Tata Laksana Percobaan


2.2.1. Hukum Kirchoff Tentang Tegangan

Tiga buah tahanan dirangkai secara seri seperti gambar

Harga sumber tegangan E ditetapkan. Beda tegangan pada kutub R1 , R2 , dan R3


diukur sebagai V1 , V2 , dan V3

Percobaan dilakukan untuk sumber tegangan yang berbeda- beda, yaitu dengan
sumber tegangan diatur pada : 0V, 2V, 4V, 6V, 8V, 10V, dan 12V

E, I, I1, I2, dan I3 dicatat untuk masing- masing pengukuran

2.2.2. Hukum Kirchoff Tentang Arus

Tiga buah tahanan dirangkai secara paralel seperti gambar

Harga sumber tegangan E ditetapkan. Arus yang mengalir pada masing- masing
R1 , R2 , dan R3 diukur sebagai I1 , I2 , dan I3

Percobaan dilakukan untuk sumber tegangan yang berbeda- beda, yaitu dengan
sumber tegangan diatur pada : 0V, 2V, 4V, 6V, 8V, 10V, dan 12V

E, I, I1, I2, dan I3 dicatat untuk masing- masing pengukuran

47
BAB III

ANALISA DAN PEMBAHASAN

3.1. Data Hasil Percobaan


3.1.1. Tegangan KVL

V1 (Volt) V2 (Volt)
No. V total
R1 = 470 Ω R2 = 470 Ω
1 1,96 0,97 0,99
2 5,76 2,81 2,92
3 8,98 4,37 4,56
4 14,06 6,83 7,14
5 17,79 8,65 9,05

3.1.2. Arus KCL

I1 (A) I2 (A)
No. I total
R1 = 470 Ω R2 = 470 Ω
1 0,02 0,01 0,01
2 0,05 0,02 0,02
3 0,06 0,03 0,04
4 0,08 0,04 0,04
5 0,10 0,05 0,05

3.2. Perhitungan
3.2.1. KVL

No. V1 V2 V total
1 0,98 0,98 1,96
2 2,88 2,88 5,76
3 4,49 4,49 8,98
4 7,03 7,03 14,06
5 8,9 8,9 17,8

• V1 = R1/ (R1+R2) . V total


V1 = 0,5 . 1,96 = 0,98 V
V1 = 0,5 . 5,76 = 2,88 V
V1 = 0,5 . 8,98 = 4,49 V
V1 = 0,5 . 14,06 = 7,03 V
V1 = 0,5 . 17,79 = 8,9 V

• V2 = R2/ (R1+R2) . V total


48
V2 = 0,5 . 1,96 = 0,98 V
V2 = 0,5 . 5,76 = 2,88 V
V2 = 0,5 . 8,98 = 4,49 V
V2 = 0,5 . 14,06 = 7,03 V
V2 = 0,5 . 17,79 = 8,9 V

• V total = V1 + V2
V total = 0,98 + 0,98 = 1,96
V total = 2,88 + 2,88 = 5,76
V total = 4,49 + 4,49 = 8,98
V total = 7,03 + 7,03 = 14,06
V total = 8,9 + 8,9 = 17,8

3.2.2. KCL

No. I1 I2 I total
1 0,98 0,98 1,96
2 2,88 2,88 5,76
3 4,49 4,49 8,98
4 7,03 7,03 14,06
5 8,9 8,9 17,8

• G = 1/ R
G1 = 1/ R1 = 1/ 470 = 0,002
G2 = 1/ R2 = 1/ 470 = 0,002
G total = G1 + G2 = 0,002 + 0,002 = 0,004

• I1 = G1 / (G1 + G2). I total


I1 = 0,5 . 0,02 = 0,01 A
I1 = 0,5 . 0,05 = 0,025 A
I1 = 0,5 . 0,06 = 0,03 A
I1 = 0,5 . 0,08 = 0,04 A
I1 = 0,5 . 0,10 = 0,05 A

• I2 = G2 / (G1 + G2). I total


I2 = 0,5 . 0,02 = 0,01 A
I2 = 0,5 . 0,05 = 0,025 A
I2 = 0,5 . 0,06 = 0,03 A
I2 = 0,5 . 0,08 = 0,04 A
I2 = 0,5 . 0,10 = 0,05 A

• I total = I1 + I2
I total = 0,01 + 0,01 = 0,02
I total = 0,025 + 0,025 = 0,05
I total = 0,03 + 0,03 = 0,06
49
I total = 0,04 + 0,04 = 0,08
I total = 0,05 + 0,05 = 0,10

3.3. Pembahasan
3.3.1. Analisis Prosedur
Dalam praktikum ini digunakan beberapa alat, yaitu baseboard digunakan sebagai
tempat komponen- komponen dirangkai menjadi suatu rangkaian, amperemeter
digunakan untuk diukur arus listrik yang dialirkan pada rangkaian, voltmeter digunakan
untuk diukur teganga pada rangkaian, sumber tegangan digunakan sebagai sumber daya
yang dialirkan pada rangkaian, tahanan digunakan untuk pembatas dari arus yang
dialirkan, selain itu digunakan juga kabel penghubung sebagai penghubung rangkaian.
Dalam praktikum Hukum Kirchoff ini, rangkaian disusun secara seri untuk
percobaan KVL, sedangkan untuk percobaan KCL disusun secara parallel. Multimeter
diatur menjadi voltmeter pada rangkaian KVL agar dapat diukur beda potensial pada
rangkaian. Sumber arus dinyalakan sehingga diperoleh tegangan pada rangkaian KVL
dan diperoleh arus pada rangkaian KCL.

3.3.2. Analisis Hasil


Dari hasil percobaan mengenai Hukum Kirchoff ini diperoleh nilai V1 dan V2 pada
KVL dengan hambatan R1 = 470 Ω dan R2 = 470 Ω dengan diperoleh V total berturut-
turut sebesar 1,96 V; 5,76 V; 8,98 V; 14,06 V; 17,8 V. Pada percobaan KCL diperoleh
nilai I1 dan I2 dengan hambatan R1 = 470 Ω dan R2 = 470 Ω sehingga diperoleh I total
berturut- turut sebesar 0,02 A; 0,05 A; 0,06 A; 0,08 A; 0,10 A.
KVL ( Kirchoff Voltage Law) merupakan hukum II Kirchoff yang berlaku pada
rangkaian yang tidak bercabang yang digunakan untuk menganalisis beda potensial
(tegangan) pada suatu rangkaian tertutup. Bunyi Hukum II Kirchoff adalah “Total beda
potensial (tegangan) pada suatu rangkaian tertutup adalah nol”.
KCL ( Kirchoff Current Law) merupakan Hukum I Kirchoff yang berlaku pada
rangkaian bercabang yang berkaitan dengan arah arus saat melewati titik percabangan.
Bunyi Hukum I Kirchoff adalah “Kuat arus total yang masuk melalui titik percabangan
dalam suatu rangkaian listrik sama dengan kuat arus total yang keluar dari titik
percabagan”. Berdasarkan penjelasan tersebut, kuat arus total yang melewati titik
percabangan secara sistematis dinyatakan Σ I masuk = Σ I keluar.
Tegangan adalah beda potensial antara dua titik rangkaian listrik yang memberi
tekanan ke arus listrik untuk mengalir. Hubungan antara tegangan dengan hambatan adalah
berbanding lurus, apabila hambatan semakin besar hambatan maka akan semakin besar
tegangannya, begitu pun sebaliknya, apabila hambatan diperkecil maka nilai tegangannya
pun menjadi kecil.
Arus listrik adalah banyaknya muatan listrik yang mengalir dalam suatu rangkaian tiap
satuan waktu. Hubungan antara arus dengan hambatan adalah berbanding terbalik. Apabila
hambatan diperbesar maka nilai arus akan menjadi kecil.
Hukum Kirchoff dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan dalam perhitungan
mengenai kelistrikan yang dapat digunakan saat pembuatan alat- alat elektronik agar dapat

50
disesuaikan dengan kebutuhan. Aplikasi KCL dan KVL dapat ditemukan dalam rangkaian
lampu pada rumah yang dirangkai secara seri maupun secara paralel

51
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Pada praktikum Hukum Kirchoff, peserta praktikum dapat memahami Hukum Kirchoff
tentang arus dan tegangan, yaitu menggunakan teori KVL dan KCL. Kemudian, dapat
menerapkan kegunaan Hukum Kirchoff pada rangkaian listrik sederhana. Selain itu, dapat
mengukur besarnya arus dan tegangan listrik pada suatu rangkaian listrik DC sederhana,
yaitu dengan menggunakan amperemeter dan voltmeter.

4.2. Saran
Pada saat praktikum ini, diharapkan kepada praktikan agar memahami rangkaian seri
dan parallel, lebih teliti dalam mengamati voltmeter dan amperemeter, serta berhati- hati
agar tidak merusak alat.

52
DAFTAR PUSTAKA

Serway, A. Ramond. 2009. College Physics. Belmont: Brooks Cole


Yahdi, Umar. 1995. Fisika Listrik Magnet. Jakarta: Gundarma

53
LAMPIRAN

54
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(MEDAN MAGNET)

(PERCOBAAN – LM4)

Disusun oleh :

Nama :

NIM :

Fakultas / Jurusan : MIPA / Fisika

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Muhammad Faisal

LABORATORIUM FISIKA DASAR

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2019

55
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(MEDAN MAGNET)

Nama :

NIM :

Fakultas /Jurusan : MIPA/ Fisika

Kelompok :

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Muhammad Faisal

Catatan :

………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………

Paraf Paraf Nilai

56
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Setelah diselesaikan percobaan ini, diharapkan Hukum Biot-Savart dapat dijelaskan
oleh peserta praktikum fisika dasar untuk lilitan kawat solenoid. Serta kuat medan magnet
disekitar solenoid dapat diukur.

1.2 Dasar Teori


Medan magnetic timbul karena adanya arus listrik dan perhitungannya dapat
dilakukan dengan menghitung elemen arus lewat hukum Biot-Savart. Perhitungan medan
magnet dapat dilakukan dengan hukum dengan hukum apere apabila telah diketahui sifat
medan magnet yang konstan dan arahnya tertentu (Viridi, 2010).
Hukum Biot-Savart dihasilkan lewat studi yang dilakukan Biot dan Savart yang
memberikan ekspresi matematika setelah memberikan medan magnet di beberapa titik di
dalam ruang yang bertujuan untuk menghasilkan medan listrik lain. Ekspresi itu di dasarkan
pada pengamatan untuk medan magnet karena dB pada titik P yang terkait dengan elemen
panjang dS dari kawat yang membawa arus I yang stabil.

Gambar 1.1 hukum Biot-Savart

• Vektor dB tegak lurus dengan baik terhadap dS (yang menunjukkan dalam arah arus)
dan unit ke vector 𝑣̂ diarahkan dari dS ke P.
• Besarnya dB berbanding terbalik dengan r², dimana r adalah jarak dari dS ke P.
• Besarnya dB berbanding lurus dengan arus dan besarnya dS dari elemen panjang dS
• Besarnya dB sebanding dengan sinɵ, dimana ɵ adalah sudut antara vector ds dengan
𝑟̂

Sehingga dari beberapa percobaan tadi didapatkan model matematika yang dienal dengan
hukum Biot-Savart.

...(1.1)
(Serway,2004).
57
Medan magnet yang dihasilkan oleh arus dalam kumparan heliks kawat yang panjang
dan tertutup rapat (solenoid) menunjukkan bahwa medan magnet solenoid adalah jumlah
vector dari medan yang dihasilkan oleh belokan individu (lilitan) yang membentuk solenoid.
Untuk titik yang sangat dekat dengan belokan, kawat berperilaku magnetis hamper seperti
kawat lurus panjang, dan garis 𝐵⃗ hamper konsentris atau lingkaran konsentris. Dan untuk
medan magnet disekitar solenoid digunakan hukum ampere

...(1.2)
(Halliday dkk, 2011).

58
BAB 2
METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah dua buah solenoid, sebuah
Gaussmeter, sebuah power supply, sebuah amperemeter, kabel-kabel penghubung, dan
sebuah mistar penggaris.

2.2 Tata Laksana Percobaan

Rangkaian disusun

Power supply diatur mulai dari harga terendah


(Arus maksimal untuk solenoid dan koil adalah 1,5A)

Gaussmeter diatur untuk kalibrasi


pengukuran

Diameter diukur untuk masing-masing koil

Medan magnet diukur untuk bermacam-macam posisi


sepanjang sumbu koil untuk sebuah koil

Dibuat analog dengan langkah ke-6, tetapi untuk dua


buah koil dengan arah arus yang berbeda

Langkah ke-6 dan ke-7 diulangi untuk besar arus yang berbeda

Koil diganti dengan solenoid dan kuat medan magnet


diukur sepanjang sumbu

59
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Hasil Percobaan
3.1.1 Koil Arus 0.5 A

S (cm) Kuat Medan (mT)


-10 2.5
-8 3
-6 5
-4 6.5
-2 8.5
0 9
2 8
4 5.5
6 4
8 3
10 2

3.1.2 Koil Arus 1 A


S (Cm) Kuat Medan (mT)
-10 4
-8 6
-6 9
-4 12.5
-2 16
0 17
2 14
4 10
6 7
8 4
10 3

3.1.3 Solenoid Arus 0.5 A


S (Cm) Kuat Medan (mT
-10 4
-8 6
-6 8.5
-4 11
-2 13
0 14
2 13
4 12
6 9
8 6
10 4.5

60
3.1.4 Solenoid Arus 1 A
S (Cm) Kuat Medan (mT)
-10 8
-8 11
-6 16
-4 22
-2 25
0 26
2 26
4 23
6 18.5
8 13
10 9
3.2 Grafik
3.2.1 Koil Arus 0.5 A
10
9
8
7
Kuat Medan (mT)

6
5
4
3
2
1
0
-15 -10 -5 0 5 10 15
S (cm)

3.2.2 Koil Arus 1 A


18
16
Medan Magnet (mT)

14
12
10
8
6
4
2
0
-15 -10 -5 0 5 10 15
S (cm)

61
3.2.3 Solenoid Arus 0.5 A
16
14
12

Kuat Medan (mT)


10
8
6
4
2
0
-15 -10 -5 0 5 10 15
S (cm)

3.2.4 Solenoid Arus 1 A

Seolenoid Arus 1 A
30

25
Kuat Medan (mT)

20

15

10

0
-15 -10 -5 0 5 10 15
S (cm)

3.3 Pembahasan
3.3.1 Analisa Prosedur
Seperti telah disebutkan pada Bab II, dalam percobaan medan magnet ini digunakan
beberapa alat dan bahan. Adapun beberapa alat yang digunakan antara lain sebuah
Gaussmeter, powersupply, amperemeter dan mistar. Dari setiap alat memiliki fungsi masing
masing dalam percobaan ini. Alat pertama yaitu Gaussmeter yang berfungsi untuk diukur
besarnya arus magnet dan kekuatan magnet. Sedangkan powersupply berfungsi sebagai alat
yang mampu memberikan sebuah suplai arus listrik kepada semua komponen yang
digunakan pada percobaan ini. Kemudian amperemeter berfungsi sebagai alat untuk
diukurnya arus listrik yang ada dalam rangkaian solenoid dank oil. Yang terakhir ada mistar
berfungsi sebagai alat yang digunakan untuk diukurnya panjang/jarak antara solenoid satu
dengan yang lainnya. Benda uji yang digunakan untuk percobaan ini adalah dua buah
solenoid. Disini solenoid berfungsi sebagai media terjadinya medan magnet akibat dialiri
arus listrik.

62
Sebelum memulai percobaan, alat alat yang dirangkai terlebih dahulu. Selanjutnya
sebelum power supply digunakan. Diatur dari harga terendahnya. Dengan digunakannya
powersupply maka aliran listrik akan mengalir disekitar solenoid. Gaussmeter dikalibrasi
pengukurannya supaya ketika digunakan menghasilkan angka yang lebih akurat. Ukur
diameter masing masing koil yang tersedia digunakan mistar atau penggaris. Digunakan
amperemeter untuk mengukur kuat arus pada solenoid. Selanjutnya diukur medan magnet
untuk bermacam-macam posisi dengan gaussmeter disepanjang sumbu koil untuk sebuah
koil, dilakukan hal yang sama dengan menggunakan 2 buah koil dengan arah arus yang
berbeda pada amperemeter. Diganti koil dengan solenoid kemudian diukur medan magnet
dengan gaussmeter disepanjang sumbu.

3.3.2 Analisa Hasil


Dari Proses percobaan dan pengamatan pada praktikum medan magnet ini, diperoleh
hasil data yang beragam dan berbeda tiap jenis bahan. Perbedaan yang terjadi pada tiap
bahan dan arus yang digunakan ini kemungkinan diakibatkan dari alat yang dialiri arus 0.5
A dan data ini dapat dilihat bahwa hasil data terbesar pada titik 0. Jika dilihat pada literature
hasil data terbesarnya pada titik 0, dan hasilnya sesuai dengan percobaan praktikum semakin
dekat jarak solenoid dengan arus listrik maka semakin besar dan kuat medan magnetnya pun
besar. Namun ketika jauh jarak solenoid dengan arus listrik maka akan semakin kecil kuat
medan magnetnya hal ini berlaku juga pada koil. Dapat disimpulkan bahwa hasil data dari
percobaan kami sama dengan literature walaupun ada data yang tidak sama ini terjadi pada
kawat solenoid arus 1 A pada jarak 0, dan 2cm sama kuat medan magnetnya ini dikarenakan
alat yang digunakan tidak begitu sempurna dan faktor eksternal juga. Selanjutnya, dari
proses percobaan dan pengamatan pada praktikum kali ini, dapat dilihat bentuk grafik dari
solenoid dan hasil yang berarus 1 A dengan solenoid dank oil yang berarus 0.5 A berbeda
dari grafik solenoid cenderung cembung kebawah sama dengan koil hanya berbeda pada
kuat medan magnetnya jika pada grafik koil arus 0.5 A dititk 0 berada pada 9mT, dan pada
koil arus 1 A dititik 0 berada pada 17mT. Dan jika pada solenoid arus 0.5 A titik 0 berada
pada 14mT. dan jika pada solenoid arus 1 A titik 0 berada pada 26mT. Bisa ditarik
keimpulan bahwa semakin kuat arus maka semakin besar medan magnet yang diterima
kawat penghantarnya.

63
Hukum biot savart merupakan penamaan yang menggambarkan mengenai medan
magnet yang dihasilkan oleh arus listrik.

Gambar 3.2 Hukum Biot Savart secara geometri


Kesimpulan yang diperoleh dari Hukum Biot savart secara geomteri dari gambar tersebut
mengenai besar, induksi magnetic adalah
• Sebanding dengan panjang elemen penghantar (dl)
• Sebanding dengan kuat arus listrik (i)
• Sebanding dengan nilai sinus dari sudut apit (Ꝋ) antara arah arus pada dl dengan
garis penghubung titik P dengan dl
• Berbanding terbalik dengan koordinat jarak r antara titik P dengan elemen
penghantar dl
Persamaan Matematis diperoleh yaitu:
𝐼 𝑑𝑙 sin 𝜃
dB = K …(3.1)
𝑟2
Dengan K : Sebuah ketetapan yang memenuhi hubungan :
𝜇0
K = 4𝜋 ...(3.2)
Maka dengan substitusi nilai K ini ke persamaan pertama diatas menjadi :
𝜇0 𝐼 𝑑𝑙 sin 𝜃
dB = 4𝜋 ...(3.3)
𝑟2
Dengan 𝜇0 adalah permeabilitas Vakum 4𝜋x10 −7 𝑤𝑏⁄
𝑚𝐴

Kaidah tangan kanan. “Bila tangan kanan menggenggam kawat penghantar lurus. Ibu jari
menunjukan arah arus listrik, maka lengkungan ke empat jari lainnya. Menyatakan arah
putaran garis-garis medan magnetik. Medan magnetik B merupakan garis singgung terhadap
lingkaran garis-garis medan tersebut.

Induksi magnetik disekitar kawat penghantar lurus berarus listrik. Kuat medan magnet B
yang ditimbulkan oleh kawat penghantar lurus berarus listrik1 pada tempat sekitar kawat
tersebut yang berjarak a adalah sebagai berikut :

64
𝜇0 𝐼
B= ...(3.4)
2𝜋𝑎
Secara matematis persamaan ini diperoleh dan penyelesaian integral persamaan dasar
hukum biot savart.

Gambar 3.2 Hukum Biot Savart


Dari gambar tampak bahwa :
𝑎 𝑎
sin 𝜃 = 𝑟 r = sin 𝜃 = a csc 𝜃
−𝑙
cot 𝜃 = l = (-a) cot 𝜃
𝑎
dl = a csc 2 𝜃 𝑑𝜃 ...(3.5)

𝜇0 𝐼 𝑑𝑙 sin 𝜃
Nah ketiga hubungan ini bila kita substitusikan ke persamaan Biot Savart dB = 4𝜋 𝑟2
Maka diperoleh :
𝜇0 𝐼 𝑑𝑙 sin 𝜃
dB =
4𝜋 𝑟2
𝜇0 𝐼 (𝑎 csc2 𝜃 𝑑𝜃 𝑠𝑖𝑛𝜃
dB = 4𝜋 𝑎2 𝑐𝑠𝑐 2 𝜃
𝜇0 𝐼 sin 𝜃
dB = 4𝜋 ...(3.6)
𝑎
Kemudian nilai B kita tentukan dengan metode intergral :
𝜃2
B = ∫𝜃1 𝑑𝐵
𝜃2 𝜇0 𝐼 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑𝜃
B = ∫𝜃1 4𝜋 𝑎
𝜇0 𝐼
B = 4𝜋𝑎 (−cos 𝜃) | 𝜃2
𝜃1
𝜇0 𝐼
B= (cos 𝜃2 − cos 𝜃1) ...(3.7)
4𝜋𝑎
𝜇0 𝐼
Jadi diperoleh : B = 4𝜋𝑎 (cos 𝜃2 − cos 𝜃1)
Selanjutnya, oleh karena 𝜃2 + β = 180° , maka cos 𝜃2 = −cos 𝛽 kemudian untuk
menyederhanakan notasi, kita nyatakan 𝜃1 = 𝑎 dengan demikian, persamaannya dapat
ditulis ulang menjadi :
𝜇0 𝐼
B = 4𝜋𝑎 (cos 𝛼 + cos 𝛽) ...(3.8)

65
Apabila kawat penghantarnya sangat panjang maka sudut α=0° dan β=0° oleh karena itu
𝜇0 𝐼
B = 4𝜋𝑎 (cos 0° + cos 0° )
𝜇0 𝐼
B = 4𝜋𝑎 (1+1) ...(3.9)
Diperoleh :
𝜇0 𝐼
B = 2𝜋𝑎 ...(3.10)
Aplikasi medan maget dalam kehidupan sehari-hari, pertama kegiatan pengambilan
benda-benda terbentuk dari logam. Sebuah benda yang bias ditarik dengan cukup kuat
menggunakan magnet merupakan benda yang terbentuk dari logam, misalnya adalah nikel,
baja dan besi. Dengan penerapan sifat seperti itu, maka magnet bisa dipakai pada sejumlah
peralatan guna memudahkan proses pengambilan mbenda yang terbentuk dari logam.
Beberapa perlatan tersebut diantaranya adalah alat untuk mengangkut besi tua, tang, obeng,
dan gunting, kedua. Sebagai penunjuk arah magnet bias dipakai guna menunjukan arah
disebabkan karena kutub-kutub pada magnet selalu menunjukan kea rah selatan dan utara.
Alat yang menggunakan sifat dari kemagnetan tersebut yaitu, kompas. Kompas merupakaan
sebuah alat penunjuk arah mata angina. Pada kompas ada komponen magnet yang memiliki
bentuk seperti jarum dan selalu menunjuk kea rah utara dan selatan. Oleh karena itu kompas
digunakan sebagai alat penunjuk arah biasa dipakai oleh pendaki gunung, pelaut, dan pilot.

66
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari praktikum medan magnet ini dapat disimpulkan bahwa Hukum Biot-Savart dapat
digunakan untuk pengukuran medan magnet pada lilitan kawat dan selenoid yang dialiri arus
listrik dimana kaidah tangan kanan diperlukan agar jalan arus listrik dapat ditentukan dan
pentingnya pernyataan bahwa besar medan magnetik berbanding lurus dengan arus listrik,
namun berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antar titik ke elemen kawat penghantar,
selain itu dapat disimpulkan bahwa medan magnet pada selenoid akan lebih besar daripada
kawat / koil karena jumlah lilitan, besar arus dan jarak yang berpengaruh dalam besarnya
medan magnet.

4.2 Saran

Peserta praktikum harus berhati-hati saat perangkaian alat dilakukan karena jika
terjadi kesalahan bisa saja membuat kerusakan pada alat atau tidak berfungsi sebagaimana
mestinya.

67
DAFTAR PUSTAKA

Halliday, David, Robert Resnick, Jearl Walker. 2011. Fundamental of Physics. USA: John Willey
& Sons, Inc

Serway, Raymond A., John W. Jennet. 2004. Physics for Scientist and Engineers. Thomson:
Brooks Cole

Viridi, Sparisoma. 2010. Fisika Dasar. Bandung: Institut Teknologi Bandung

68
LAMPIRAN

(Halliday, 2011)

(Viridi, 2010)

69
(Halliday, 2011)

(Halliday, 2011)

70
(Serway, 2004)

71
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(RANGKAIAN RLC)

(PERCOBAAN – LM5)

Disusun oleh :

Nama :

NIM :

Fakultas / Jurusan : MIPA / Fisika

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Adin Okta Triqadafi

LABORATORIUM FISIKA DASAR

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2019
72
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(RANGKAIAN RLC)

Nama :

NIM :

Fakultas /Jurusan : MIPA/ Fisika

Kelompok :

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Adin Okta Triqadafi

Catatan :

………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………

Paraf Paraf Nilai

73
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Dalam praktikum resonansi rangkaian RLC diharapkan paktikan, dapat dipahami
resonansi rangkaian listrik dan resonansi rangkaian RLC seri dapat diketahui.

1.2 Dasar Teori


Sebuah rangkaian arus DC yang mempunyai hambatan sebesar R dirangkai seri
dengan ditambahkan konduktor L serta kapasitor C mampu menghasilkan energi listrik yang
besar. Tetapi kekurangan rangkaian RLC ini hanya dapat digunakan jika memperbesar daya
listrik yang sama.

Gambar 1.1 Resonansi rangkaian RLC

Dalam rangkaian RLC memiliki hambagan total atau impedansi, sebagai berikut:

Z = √𝑅 2 + (𝑋𝑙 − 𝑋𝑐)2 …(1.1)

(Pauliza, 2008).

Dengan resistansi R, total energi eketromagnetik L1 dari sirkuit (jumlah energi listrik
dan energi magnetik) tidak konstan lagi. Dikarenakan terus berkurang seiring waktu ketika
energi ditransfer ke energi termal. Akibat kehilangan energi, oslasi muatan, arus, dan beda
potensial secara terus-menerus dalam amplitude dan osilasi terendam (Halliday, 2014).

Gambar 1.2 Diagram fasor untuk penjumlahan RLC jika Xl > Xc (a) dan (b) jika Xc > Xl

(Abdullah, 2017).

Z merupakan impedansi rangkaoan RLC pada gambar 1.2, kita juga bisa tahu
bahwa,
Im Xl−Im Xc Xl−Xc
tan Ө = Im R
= R
…(1.2)
74
Bentuk umum antara titik a dan d sebagai fungsi waktu,

Vad = Im Z cos (wt + Ө0 + Ө) …(1.3)

Z (impedansi) juga merupakan fungsi arus jika diekspansikan

(𝑤𝑙−1)2
Z = √R2 + 𝑤𝑐

𝑤𝑙 1
Z =R √1 + (√ 𝑅 − √𝑤.𝑅𝑐)2

𝑤 𝑤𝑜2 2
Z = R √1 + (√𝑤𝑜1 − √ 𝑤
) ...(1.4)

R 1
Dimana wo1 =√L dan wo2 = √Rc

Dan resonansi terjadi jika,


w wo2
wo1
- w
= 0 atau w = √wo1 . wo2 …(1.5)

(Abdullah, 2017).

Menurut aturan lop, dapat diketahui jumlah tegangan Vr, Vc, dan Vl sama dengan є

Є = Vr + Vc + Vl …(1.6)
Xl−Xc
Tan Ө = R
…(1.7)

Keterangan:

Xl > Xc menunjukkan lebih induktansi daripada kapasitas

Xc > Xl menunjukan lebih kapasitas dariapda induktansi

Xc = Xl menunjukkan akan terjadi resonansi

(Halliday, 2014).

75
BAB II

METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan dalam percobaan ini adalah amperemeter / multimeter,
sumber tegangan arus bolak-balik (signal generator), tahanan karbon, induksi dan
kapasitor.

2.2 Tata Laksana Percobaan

Dibuat rangkaian RLC seperti pada gambar 2


diktat disika dasar II

Arus rangkaian diukur dengan amperemeter dan


dihubungkan seri dengan rangkaian

Ditentukan range arus yang akan diukur

Ditentukan frekuensi resonansi berdasarkan hubungan teori

Signal generator dihidupkan dengan amplitude kecil

Dicari frekuensi penyebab arus rangkaian maksimum

Dicatat frekuensi sebagai frekuensi resonansi

Frekuensi signal generator diubah disekitar frekuensi


resonansi

76
BAB III

ANALISA DAN PEMBAHASAN

3.1 Data hasil Percobaan

R = 100 Ω

C = 50 nF = 5.10-8 F

L = 0,0317 H

No. Frekuensi (Hz) div (y) Volt/div

1 2000 6,2 0,1

2 3000 3 0,5

3 4000 3 1

4 5000 3,4 1

5 6000 2,8 0,5

6 7000 4,8 0,2

3.2 Perhitungan

No. Vpp Vrms XL XC Irms (A)

1 0,62 0,44 398,152 1592,36 3,67.10-4

2 1,5 1,06 597,228 1061,57 2,23.10-3

3 3 2,12 796,304 796,18 2,12.10-2

4 3,4 2,40 995,38 636,94 6,45.10-3

5 1,4 0,99 1194,456 530,79 1,48.10-3

6 0,96 0,68 1393,532 454,96 7,2.10-4

volt
• Vpp = div(y) x ( )
div
Vpp1 = 6,2 x 0,1 = 0,62 V
Vpp2 = 3 x 0,5 = 1,5 V
Vpp3 = 3 x 1 = 3 V
Vpp4 = 3,4 x 1 = 3,4 V
Vpp5 = 2,8 x 0,5 = 1,4 V
77
Vpp6 = 4,8 x 0,2 = 0,96 V

Vpp
• Vrms =
√2
0,62
Vrms1 = = 0,44 V
√2
1,5
Vrms2 = = 1,06 V
√2
3
Vrms3 = = 2,12 V
√2
3,4
Vrms4 = = 2.40 V
√2
1,4
Vrms5 = = 0,99 V
√2
0,90
Vrms6 = = 0,68 V
√2

• XL = 2πfL
XL1 = 2 x 3,14 x 2000 x 0,0317 = 398,152 Ω
XL2 = 2 x 3,14 x 3000 x 0,0317 = 597,225 Ω
XL3 = 2 x 3,14 x 4000 x 0,0317 = 796,304 Ω
XL4 = 2 x 3,14 x 5000 x 0,0317 = 995,38 Ω
XL5 = 2 x 3,14 x 6000 x 0,0317 = 1194,456 Ω
XL6 = 2 x 3,14 x 7000 x 0,0317 = 1393.532 Ω

1
• Xc = 2𝜋𝑓𝐶
1
Xc1 = = 1529, 36 Ω
2 × 3,14 × 2000 × 5×10−8
1
Xc2 = = 1061, 57 Ω
2 × 3,14 × 3000 × 5×10−8
1
Xc3 = 2 × 3,14 × 4000 × 5×10−8
= 796, 18 Ω
1
Xc4 = = 636, 94 Ω
2 × 3,14 × 5000 × 5×10−8
1
Xc5 = = 530, 79 Ω
2 × 3,14 × 6000 × 5×10−8
1
Xc6 = = 454, 96 Ω
2 × 3,14 × 7000 × 5×10−8

VRMS VRMS
• IRMS = =
Z √R2 +(XL −XC )2
0,44 0,44
IRMS1 = = 1198,39 = 3,67 × 10−4 A
√1002 +(398,152−1592,36)2
1,06 1,06
IRMS2 = = = 2,23 × 10−3 A
√1002 +(597,228−1061,57)2 479,99
2,12 2,12
IRMS3 = = = 2,12 × 10−2 A
√1002 +(796,304−796,18)2 100
2,40 2,40
IRMS4 = = 372,13 = 6,45 × 10−3 A
√1002 +(995,38−636,94)2
0,99 0,99
IRMS5 = = 671,16 = 1,48 × 10−3 A
√1002 +(1194,456−530,79)2
0,68 0,68
IRMS6 = = 943,88 = 7,20 × 10−4 A
√1002 +(1393,532−454,96)2

78
3.3 Grafik
f (Hz) IRMS (mA)

2000 0,000367

3000 0,00223

4000 0,0212

5000 0,00645

6000 0,00148

7000 0,00072

IRMS (mA)
0.025

(4000; 0,0212)

0.02

0.015

0.01

(5000; 0,00645)

0.005

(3000; 0,00223)
(6000; 0,00148)
(2000; 0,000367) (7000; 0,00072)

0 f (Hz)
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000

79
3.4 Pembahasan

3.4.1 Analisa Prosedur

Alat yang digunakan dalam praktikum rangkaian RLC yaitu oskiloskop, resistor,
sumber tegangan arus bolak-balik (signal generator), beberapa kabel penghubung,
kapasitor, inductor. Masing-masing dari alat tersebut mempunyai fungsi/kegunaan
masing-masing. Oskiloskop berfungsi untuk dibacanya sinyal listrik maupun frekuensi
atau bias juga diproyeksikannya sinyal listrik ataupun frekuensi dalam bentuk gelombang
yang dapat dilihat pada layar oskiloskop. Signal generator berfungsi memberi sinyal.
Beberapa kabel penghubung berfungsi dihubungkannya alat satu dengan alat lainnya
untuk di buat rangkaian RLC seri. Resistor berfungsi untuk dihambatnya suatu arus yang
dialirkan dalam suatu rangkaian. Inductor berfungsi sebagai penyimpan energi dalam
benntuk medan magnet. Kapasitor berfungsi untuk disimoan dan dijelaskannya muatan
listrik.

Ada beberapa langkah beserta fungsi pada praktikum rangkaian RLC ini. Hal
pertama yang dilakukannya yaitu disusunnya resistor, inductor, dan kapasitor dengan
kabel penghubung secara seri agar praktikum dapat berjalan dengan lancar. Oskiloskop
dinyalakan lalu dihubungkan ke rangkaian RLC. Lalu oskiloskop di setting sesuai yang
dibutuhkan agar dapat berfungsi dengan baik. Sebelum diaktifkan, arus diukur dengan
amperemeter terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengambilan data pada frekuensi
2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 5000 Hz, 6000 Hz, 7000 Hz dan volt/div diatur agar dapat
dilakukan pembacaan div pada layar oskiloskop. Diatur tombol putar position pada
oskiloskop agar dapat ditentukan gelombang pada layar oskiloskop. Pengambilan data
hanya dilakukan sekali per frekuensi agar didapatkan data bervariasi.

3.4.2 Analisa Hasil

Pada pembahasan kali ini, kita mendapatkan beberapa data yaitu R sebesar 100 Ω,
C sebesar 5𝑥10−8 F dan L sebesar 0,0317 H. untuk frekuensi, digunakan frekuensi
sebesar 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 5000 Hz, 6000 Hz, 7000 Hz. Lalu diketahui juga
div dan volt/div. Setelah diketahui data tersebut, dapat ditentukan Vpp , V RMS, XL, XC
dan I RMS. Untuk nilai Vpp terbesar terdapat pada frekuensi 5000 Hz yaitu sebesar 3,4
V. Untuk nilai V RMS terbesar terdapat pada frekuensi 5000 Hz pula yaitu sebesar 2,40
V. Untuk XL terbesar terdapat pada frekuensi 7000 Hz sebesar 1393,532 Ω dan untuk XL
terkecil terdapat pada frekuensi 2000 Hz sebesar 398,152 Ω. Untuk XC berbanding
terbalik dengan XL. Untuk XC terbesar terdapat pada frekuensi 2000 Hz yaitu 1592,36
Ω dan frekuensi terkecil pada frekuensi 7000 Hz sebesar 454,96 Ω karena sesuai dengan
rumus:

1
XC= … (3.1)
2𝜇𝑓𝑐

Pada grafik untuk sumbu X nya yaitu frekuensi (Hz). Sedangkan untuk sumbu Y yaitu I
RMS yang satuannya diubah dari A menjadi MA terlebih dahulu. Lalu ditentukan titik-

80
titiknya dan dihasilkan grafik dengan titik puncaknya 21,2 MA dan terletak pada
frekuensi 4000 Hz.

Impedansi pada rangkaian RLC seri didefinisikan sebagai ukuran penolakan


terhadap arus bolak-balik. Satuan dari Impedansi yaitu Ω (ohm). Untuk menghitung
impedansi, diharuskan mengetahui nilai jumlah dari seluruh hambatan serta impedansi
seluruh inductor dan kapasitor yang akan memberikan jumlah penolakan yang bervariasi
terhadap arus tergantung pada perubahan arus. Rumus impedansi jika diketahui nilai R
dan salah satu X (XL atau XC) yaitu:

Z=√𝑅 2 + 𝑋 2 ...(3.2)

Sedangkan jika diketahui nilai R, XC dan XL yaitu

Z=√𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶)2 …(3.3)

Resonansi pada rangkaian seri RLC terjadi jika memenuhi beberapa syarat, yaitu:

1. Reaktansi induktif dan reaktansi kapasitif sama besar (XL=XC).


2. Impedansi=hambatan resistor, Z=R.
3. Fase sudut 𝜃 = 0.
Rumus dari frekuensi resonansi pada rangkaian seri RLC yaitu:

1
Fr= 1
… (3.4)
2𝜋√𝐿𝐶
Dengan f = Frekuensi Resonansi

L = Induktansi Induktor

C = Kapasitansi Kapasitor.

81
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Setelah dilakukan praktikum ini, dapat dipahami oleh praktikkan resonansi


rangkaian listrik yang harus dipenuhi beberapa syarat yaitu rektansi induktif dan reaktansi
kapasitif sama besar (XL=XC). Reaktansi kapasitif (XC) merupakan hambatan yang
terdapat pada komponen kapasitor ketika dialiri arus AC yang terdapat frekuensi.
Sedangkan reaktansi induktif (XL) merupakan hambatan yang terdapat pada komponen
inductor ketika dialiri arus AC. Selain itu praktikkan juga dapat dimengerti tentang
resonansi rangkaian RLC seri yang terdapat beberapa syarat yaitu XL=XC, Z=R,𝜃 = 0.
Rumus frekuensi resonansi pada rangkaian seri RLC yaitu

1
Fr =
1
2𝜋√𝐿𝐶

4.2 Saran

Diharapkan, alat dijaga dengan baik agar tak ada alat yang rusak dan dapat
digunakan oleh praktikan.

82
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mirajuddin. 2017. Fisika Dasar II. Bandung: ITB

Halliday., D; Resnick, R; Walker ,J. 2014. Fundamental of Physics Tenth Edition .USA : John

Wiley & Son

Pauliza, Oza . 2008. Fisika Kelompok Teknologi dan Kesehatan . Jakarta: Grofindo Media

Pratama

83
LAMPIRAN

84
85
86
87
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(LENSA TIPIS)

(PERCOBAAN – OP1)

Disusun oleh :

Nama :

NIM :

Fakultas / Jurusan : MIPA / Fisika

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Farisa Nur Afifa

LABORATORIUM FISIKA DASAR

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2019
88
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(LENSA TIPIS)

Nama :

NIM :

Fakultas /Jurusan : MIPA/ Fisika

Kelompok :

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Farisa Nur Afifa

Catatan :

……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………

Paraf Paraf Nilai

89
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Setelah diselesaikannya percobaan ini diharapkan dapat dijelaskannya tentang
dasar-dasar sistem lensa, dapat dijelaskan jalannya sinar dan pembentukan bayangan oleh
lensa tipis dan dapat ditentukan jarak titik focus lensa tipis oleh peserta praktikum fisika
dasar II.
1.2 Dasar Teori

Lensa tipis merupakan alat optik sederhana yang fungsi utamanya adalah
membentuk bayangan benda. Permukaan lensa dapat berbentuk datar, cembung, dan
cekung. Lensa terbuat dari kaca transparan dimana indeks biasnya lebih besar dari udara
luar. Dari hokum Snell dinyatakan bahwa berkas yang dibelokkan pada kedua permukaan
lensa. Sehingga berkas yang sejajar jatuh pada lensa tipis, kemudian akan otomatis
difokuskan pada satu titik yang biasa disebut titik focus (f). Lensa tipis memiliki syarat
tertentu ketika diameter lensa kecil dibandingkan radius kelengkungan kedua permukaan
lensa, maka hal ini syarat yang harus dimiliki lensa tipis yang sangat tipis. Lensa tipis
dapat dibagi menjadi lensa konvergen yaitu lensa yang lebih tebal di bagian tengah
daripada di bagian tepinya. Sehingga berkas sejajar berkumpul ke satu titik, dan lensa
divergen yaitu lensa tipis di bagian tengah daripada bagian tepinya (Giancoli, 2014).

Pada lensa tipis terdiri dari 2 bola yang disatukan untuk membentuk daerah tipis.
Sementara itu, lensa tipis dapat diabaikan ketebalannya daripada jari-jari kelengkungan
permukaannya. Kelengkungan yang dibuat terlalu besar sehingga detail geometrisnya
dapat terlihat mudah. Jika objek jauh dari lensa maka sinarnya tersusun parallel dan dapat
dituliskan dalam persamaan sebagao berikut :

(µ2/µ1 – 1) (1/ R1-R2) = 1/f


...(1.1)

Dalam persamaan tersebut didefinisikan sebagai focus lensa (f) dimana panjang gambar
ketika objek benda di titik tak hingga. Saat menghitung panjang fokus lensa dari geometri
disebut persamaan pembuat lensa yang dapat dituliskan dalam formula lensa tipis :

1/p+1/p1 = 1/f
…(1.2)

Dan yang dapat ingat kembali ketika fokus positif untuk lensa konvergen dan fokus
negatif untuk lensa divergen (Bueche, 1980).

90
BAB II

METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktiku ini adalah bangku optik,
sebuah lampu (sumber cahaya), sebuah bena yang berupa anak panah atau penggari
bening, sebuah layar dan 2 buah lena positif dan sebuah lensa negatif.

2.2 Tata Laksana Percobaan

Disiapkan peralatn percobaan

Peralatan percobaan disusun dengan urutan : lampu-benda-lensa-layar

Tinggi benda diukur (berupa anak panah)

Lensa Positif

Sebuah lensa biconvex (cembung ganda) diambil dan dipasang pada posisi lensa

Posisi benda dipasang sejauh mungkin dari layar dan di ukur jaraknya (L)

Lensa digeser-geserkan sehingga didapat bayangan yang jelas pada layar

Diukur jarak benda kelensa (S), jarak bayangan ke lensa (S’), tinggi benda (h), tinggi
bayangan (h’) dan dicatat sifat bayangannya

91
Cara Bessel

Posisi lensa dicatat sebagai kedudukan lensa pertama (e1)

Lensa digeser lagi hingga diperoleh bayangan yang jelas kedua (posisi benda jangan berubah)

Jarak benda dan jarak bayangan ke lensa di ukur lagi, serta sifat dan tinggi bayangan

Posisi lena dicatat sebagai kedudukan lensa kedua (e2)

Diulangi langkah 3-8 dengan mengubah posisi benda terhadap layar (panjang L diubah)

Diulangi langkah 1-9 untuk lensa positif kedua (lensa cembung datar)

Lensa negatif

Jarak titik lensa fokus negatif dicari dengan pertologan lensa positif, digunakan lensa
biconvex dari percobaan sebelumnya

Lensa positif dipasang dan digeser-geserkan sehingga didapat bayangan yang jelas dilayar

Lensa negatif diletakkan antara lensa positif dan layar, diukur jarak lensa negatif kelayar (S)

Layar digeser-geserkan hingga diperoleh bayangan yang jelas,diukur jarak lensa negarif ke
layar (S’)

Langkah di atas diulangi beberapa kali sesuai petunjuk asisten

92
Lensa Gabungan

Dengan digunakannya dua buah lensa poositif,maka dibuatah lensa dengan jarak tertentu (d)
di ukur dan dicatat jaraknya

Kedua lensa digeser-geserkan serentak (jarak d tetap) hingga didapat bayangan pada layar

Langkah 1 dan 2 diulangi beberapa kali (sesuai dengan oetunju asisten) dengan jarak d
berbeda-beda

93
BAB III

ANALISA DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Hasil Praktikum

3.1.1 Lensa Positif Gauss


No. L (cm) S (cm) S’ (cm) h (cm) h’(cm)

1. 40 5,2 34,8 1 6

2. 35 5,6 29,4 1 4.8

3. 30 6 24 1 3.8

3.1.2 Lensa Positif (Bessel)

No. L (cm) e₁ (cm) e₂ (cm) h (cm) h₁’ (cm) h₂’ (cm)

1. 40 5,5 34,2 1 5,9 0,3

2. 35 5,6 28,2 1 4,8 0,2

3. 30 5,8 22,6 1 3,7 0,4

3.1.3 Lensa Negatif

No. L (cm) S (cm) S’ (cm) h(cm) h’(cm)

1. 40 16,5 24,5 1 7,9

2. 35 13,4 21,6 1 3,5

3. 30 14 16 1 3,3

3.1.4 Lensa Gabungan

No. L (cm) d (cm) S₁ (cm) S₂ (cm) S₁’(cm) S₂’(cm) h (cm) h’ (cm)

1. 40 3,4 4 7,4 36 32,6 1 7,2

2. 35 3,4 4,7 7,9 30,3 27,1 1 5,8

3. 30 3,4 4,3 7.8 25,6 22,2 1 4,8

94
3.2 Perhitungan

3.2.1 Lensa Positif (Gauss)

No. F (cm) ǀf-f rata-rataǀ² (cm ²) M (kali)

1. 4,5 0,01 6

2. 4,7 0,01 4,8

3. 4,8 0,04 3,8

1 1 1
• = 𝑆𝑛+𝑆′ 𝑛
𝑓𝑛
1 1 1
= 5,1+34,8 = 4,5 𝑐𝑚
𝑓1
1 1 1
= 5,6+29,4 = 4,7 𝑐𝑚
𝑓2
1 1 1
= + = 4,8 𝑐𝑚
𝑓₃ 6 24

𝑛₁+𝑛₂+𝑛₃
• ̅
𝑓= 3
4,5 + 4,7+4,8
𝑓̅ = = 4,6 𝑐𝑚
3

ℎ′
• M = ǀℎǀ
6
M₁= ǀ1ǀ = 6 kali
4,8
M₂= ǀ 1 ǀ = 4,8 kali
3,8
M₃= ǀ 1 ǀ = 3,8 kali

1 +𝑛2 +𝑛3
• ̅ =𝑛
𝑀 3
6+4,8+3,8
̅=
𝑀 = 4,6 cm
3

• ǀ𝑓𝑛 − 𝑓 ǀ²̅
ǀ𝑓₁ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ4,5 − 4,6ǀ² = 0,01 cm²
ǀ𝑓₂ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ4,7 − 4,6ǀ² = 0,01 cm²
ǀ𝑓₃ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ4,8 − 4,6ǀ² = 0,04 cm²

̅
∑ ǀ𝑓−𝑓ǀ
• δf=√ 𝑛−1

0,06
δf=√ = 0,17 𝑐𝑚
2

95
δf
• Kr f = x 100%
𝑓̅
0,17
Kr f = x 100% = 3,6 %
4,6
• f = 𝑓 ̅ ± δf = 4,6± 0,17 cm

3.2.2 Lensa Positif (Bessel)

No. e(cm) f(cm) ǀf- 𝑓 ̅ ǀ² (cm ²) M₁ (kali) M₂ (kali)

1. 28,7 4,85 0,0324 5,9 0,3

2. 22,6 5,10 0,0049 4,8 0,2

3. 16,8 5,15 0,0844 3,7 0,4

• e = ǀ e₂-e₁ǀ
e₁= 28,7 cm
e₂= 22,6 cm
e₃= 16,8 cm

𝐿2 −𝑒𝑛2
• 𝑓𝑛 = 4𝐿
1 402 −18,72
𝑓 = = 4,85 𝑐𝑚
4𝑥40
352 −22,62
𝑓2 = = 5,10 𝑐𝑚
4𝑥35
30²−16,8²
𝑓₃= = 5,15 𝑐𝑚
4𝑥30

𝑛₁+𝑛₂+𝑛₃
• ̅
𝑓= 3
4,83 + 5,10+5,15
𝑓̅ = = 5,03 𝑐𝑚
3

ℎ′
• M1 = ǀ ℎ ǀ
5,9
M₁= ǀ 1 ǀ = 5,9 kali
4,8
M₂= ǀ 1 ǀ = 4,8 kali
3,7
M₃= ǀ 1 ǀ = 3,7 kali

ℎ′
• M2 = ǀ ℎ ǀ
0,3
M₁= ǀ 1 ǀ = 0,3 kali
0,2
M₂= ǀ 1 ǀ = 0,2 kali
0,4
M₃= ǀ 1 ǀ = 0,4 kali

• ǀ𝑓𝑛 − 𝑓 ǀ²̅
96
ǀ𝑓₁ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ4,85 − 5,03ǀ² = 0,0324 cm²
ǀ𝑓₂ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ5,10 − 5,03ǀ² = 0,0049 cm²
ǀ𝑓₃ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ5,15 − 5,03ǀ² = 0,0144 cm²

̅
∑ ǀ𝑓−𝑓ǀ
• δf=√ 𝑛−1

0,0516
δf=√ 2
δf= 0,16 𝑐𝑚

δf
• Kr f = x 100%
𝑓̅
0,16
Kr f = x 100% = 3,19 %
5,03

• f = 𝑓 ̅ ± δf
f = 5,03 ± 0,16 cm

3.2.3 Lensa Negatif


No. f (cm) ǀf- 𝑓 ̅ ǀ² (cm ²) M (kali)

1. 9,86 1,76 7,9

2. 8,27 0,06 3,5

3. 7,46 1,14 3,3

1 1 1
• = 𝑆𝑛+𝑆′ 𝑛
𝑓𝑛
1 1 1
𝑓1
= 16,5+24,5 = 9,86 𝑐𝑚
1 1 1
= 13,4+21,6 = 8,27 𝑐𝑚
𝑓2
1 1 1
= 14+16 = 7,46 𝑐𝑚
𝑓₃

𝑛₁+𝑛₂+𝑛₃
• ̅
𝑓= 3
9,86 + 8,67+7,46
𝑓̅ = = 8,53 𝑐m
3

ℎ′
• M = ǀℎǀ
7,9
M₁= ǀ 1 ǀ = 7,9 kali
3,5
M₂= ǀ 1 ǀ = 3,5 kali
3,3
M₃= ǀ 1 ǀ = 3,3 kali

• ǀ𝑓𝑛 − 𝑓 ǀ²̅

97
ǀ𝑓₁ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ9,86 − 8,53ǀ² = 1,76 cm²
ǀ𝑓₂ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ8,27 − 8,53ǀ² = 0,06 cm²
ǀ𝑓₃ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ7,46 − 8,53ǀ² = 1,14 cm²

̅
∑ ǀ𝑓−𝑓ǀ
• δf =√ 𝑛−1

2,96
δf =√ = 1,21 𝑐m
2

δf
• Kr f = x 100%
𝑓̅
1,21
Kr f = 8,53 x 100% = 14,21%

• f = 𝑓 ̅ ± δf = 8,53 ± 1,21 cm

3.2.4 Lensa Gabungan

No. f₁ (cm) f₂ (cm) f (cm) ǀf- 𝑓 ̅ ǀ² (cm ²) M (kali)

1. 3,6 6,031 0,19 0,058 7,2

2. 4,06 6,11 0,59 0,0256 5,8

3. 3,68 5,77 0,266 0,0071 4,8

1 1 1
• = 𝑆𝑛+𝑆′ 𝑛
𝑓𝑛
1 1 1
= 4+36 = 3,6 𝑐𝑚
𝑓1
1 1 1
= 4,7+30,3 = 4,06 𝑐𝑚
𝑓1
1 1 1
= + = 3,68 𝑐𝑚
𝑓₁ 4,3 25,6

1 1 1
• = 𝑆𝑛+𝑆′ 𝑛
𝑓𝑛
1 1 1
= 7,4+32,6 = 6,031 𝑐𝑚
𝑓2
1 1 1
= 7,9+27,1 = 6,11 𝑐𝑚
𝑓2
1 1 1
= 7,8+22,2 = 5,77 𝑐𝑚
𝑓₂

𝑓2(𝑑−𝑓1)
• f gab = 𝑑−(𝑓1+𝑓2)
6,03(3,4−3,6)
f gab = 3,4−(3,6+6,03) = 0,19 cm
6,11(3,4−4,06)
f gab = 3,4−(4,06+6,11) = 0,59 cm
5,77(3,4−3,68)
f gab = 3,4−(3,69+5,77) = 0,266 cm
98
𝑛₁+𝑛₂+𝑛₃
• ̅
𝑓𝑔𝑎𝑏= 3
0,19 +0,59+0,266
𝑓 ̅ gab = = 0,35 𝑐𝑚
3

ℎ′
• M = ǀℎǀ
7,2
M₁= ǀ 1 ǀ = 7,2 kali
5,8
M₂= ǀ 1 ǀ = 5,8 kali
4,8
M₃= ǀ 1 ǀ = 4,8 kali

• ǀ𝑓𝑛 − 𝑓 ǀ²̅
ǀ𝑓₁ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ0,59 − 0,35ǀ² = 0,058 cm²
ǀ𝑓₂ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ0,19 − 0,35ǀ² = 0,0256 cm²
ǀ𝑓₃ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ0,266 − 0,35ǀ² = 0,0071 cm2

̅
∑ ǀ𝑓−𝑓ǀ
• δf=√ 𝑛−1

0,0907
δf=√ = 0,213 𝑐𝑚
2

δf
• Kr f = x 100%
𝑓̅
0,213
Kr f = x 100% = 60,51%
0,352

• f = 𝑓 ̅ ± δf = 0,352 ± 0,213 c

3.3 Pembahasan

3.3.1 Analisa Prosedur

Percobaan lensa tipis ini dibutuhkan beberapa peralatan dengan fungsi masing–
masing.Bangku optik pada praktikum kali ini berfungsi sebagai tempat untuk
dirangkainya alat dalam percobaan seperti lensa, layar, dan lainnya. Sebuah lampu
digunakan sebagai sumber cahaya. Penggaris berfungsi sebagai alat ukur jarak, baik jarak
benda, jarak bayangan, panjang L, tinggi benda, dan bayangan. Layar digunakan sebagai
tempat penangkapan bayangan yang terbentuk. Kemudian lensa berfungsi sebagai alat
pemfokus cahaya sehingga dapat terbentuk bayangan. Adapun benda yang digunakan
sebagai media yang akan dihitung tinggi benda dan bayangannya.

Dalam praktikum lensa tipis yang dilakukan pertama–tama disiapkan alat–alat yang
akan digunakan dalam percobaan yang memiliki tujuan agar praktikum berjalan dengan
mudah dan cepat. Selanjutnya dirangkai alat–alat yang disiapkan dengan urutan lampu,
benda, lensa, dan layar lensa positif dipasang dengan jarak yang bervariasi dari benda dan
juga layar dipasang dengan disesuaikannya bayangan agar tampak fokus. Hal ini
bertujuan agar didapatkan hasil bayangan yang jelas pada layar. Langkah berikutnya
99
dihitung nilai jarak benda, panjang L, jarak bayangan, dan tinggi bayangan agar
didapatkan data bervariasi sebanyak tiga kali perhitungan untuk lensa positif dengan cara
bessel lensa cembung yang ditambah dengan lensa cembung datar agar didapat bayangan
yang berbeda dengan cara lensa positif yang biasa. Lalu nilai jarak benda, jarak bayangan,
panjang nilai e1, dan e2 dengan percobaan yang dilakukan sebanyak tiga kali agar
didapatkan nilai atau data yang bervariasi sehingga dapat dibandingkan. Pada lensa
negatif dilakukan langkah yang sama dengan lensa positif, yang dibedakan yaitu lensa
yang digunakan. Hal ini dilakukan agar diperoleh data yang bervariasi dari masing–
masing lensa. Pada lensa gabungan digunakan dan lensa (cembung dan cekung) secara
bersamaan. Kemudian dilakukan pengukuran jarak antar lensa (d) yang datanya
digunakan sebagai perhitungan.

3.3.2 Analisa Hasil

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan data untuk lensa positif
didapatkan beberapa data bahwa semakin dekat jark benda kelayar (L) maka jarak benda
kelensa akan semakin bessar dan tinggi bayangan (h’) akan semakin kecil. Lensa positif
dapat membentuk bayangan dengan sifat nyata,terbalik,diperbesar. Untuk lensa positif
berdasarkan hasil praktikum dan berdasarkan teori sudah benar atau sesuai. Hanya saja
pada lensa negatif , pada teori mempunyai sifat tidak sama dengan lensa positif yaitu
maya,tegak dan diperkecil. Namun pada saat praktikum pengukuranlensa negatif
ditambah dengan lnsa positif yang diletakkan antara lensa negatif dan benda. Sehingga,
memiliki sifat yang sama dengan lensa positif yaitu nyata tterbalik dan
diperbesar.seharusnya bisa sesuai teori.namun jiia tidak dipergunakan lensa poitif maka
bayangan yang akan terbentu pada layar tidak akan tertangkap. Pada lensa positif terdapat
dua cara untuk pecarian titik fokus yaitu menggunakan cara bessel dan juga gauss. Untuk
titik fokus dikeduanya tidak jauuh beda dengan n real relatif kesalahan yang rendah.
Mungkin terdapat nilai relatif kesalahan yang berasal dari alat tersebut maupun praktikan.
Paa saat perhitungan jarak dan tinggi bayangan digunakan penggaris yang mempunyai
nilai ketidakpastian 0,1 Cm, karena penggaris keakuratannya tidak tinggi.

Lensa adalah sebuah alat untuk mengumpulkan atau menyebarkan cahaya. Cahaya
yang dikumpukan tersebut akan menghasilkan bayangan. Namun, ada kalanya bayangan
yang terbentuk dari proses pemantulan maupun pembiasan cahaya tersebut akan
mengalami kecacatan, sehingga akan menghasilkan bayangan yang cacat pula. Jika
semua sinar dari sebuah objek titik tidak difokuskan pada sebuah titik bayangan tunggal,
bayangan buram yang dihasilkan inilah yang disebut aberasi (Tippler, 2001). Lensa
tipis adalah lensa yang ketebalannya dapat diabaikan sehingga pengukuran jarak titik
fokus dilakukan dari satu titik yakni pusat lensa (vertex). Kemudian perbedaan
antara lensa tipis (Gambar 1) dan lensa tebal (Gambar 2) adalah sebagai berikut,

100
Gambar 3.1. Suatu lensa tipis Gambar 3.2. Suatu lensa tebal

Lensa tebal memiliki ketebalan lensa jarak yang mesti dilalui sinar ketika bergerak
dari permukaan 1 ke permukaan 2 yang dalam pembentukan bayangan tak dapat
diabaikan. Acuan untuk pengukuran jarak f1 (titik fokus 1) berbeda dengan acuan
untuk f2(titik fokus 2). f1 diukur dari bidang utama 1 (first principal plane) dan f2 diukur
dari bidang utama 2 (second principal plane). Jarak antara kedua bidang utama tersebut
mesti diperhitungkan dalam penentuan bayangan. Sementara lensa tipis memiliki bidang
utama 1 dan 2 yang berimpit sehingga hanya ada 1 bidang utama untuk lensa tipis.
Konsekuensinya pengukuran jarak titik fokus mengacu pada bidang yang sama atau titik
yang sama yaitu pusat lensa (vertex). Pada lensa tipis ketebalan lensa diabaikan sehingga
tidak perlu dipertimbangkan dalam penentuan bayangan. Rumus seperti :

...(3.1)

dan rumus pembuat lensa :

...(3.2)

hanya berlaku untuk lensa tipis karena rumus-rumus di atas diturunkan dengan asumsi
lensa yang digunakan adalah lensa tipis. Lensa tipis terbagi atas dua jeni yaitu yang
pertama , Lensa cekung adalah lensa yang bagian tengahnya lebih tipis ketimbang bagian
tepinya yang lebih tebal. Lensa cekung biasanya berbentuk lingkaran, walaupun ada juga
lensa cekung yang tidak berupa lingkaran. Lensa cekung seperti lensa cembung,
umumnya terbuat dari kaca atau plastik sehingga lensa mempunyai indeks bias lebih besar
ketimbang indeks bias udara.Lensa cekung mempunyai sifat menyebarkan cahaya
sehingga disebut sebagai lensa divergen. Ciri-ciri lensa cekung sendiri bisa dengan
mudah dilihat dari bentuknya, yaitu mempunyai ciri-ciri tebal di bagian tepi dan tipis di
bagian tengah.

Gambar 3.1 Lensa Cekung

101
Cahaya yang melalui lensa cekung dibelokkan ke arah tepi lensa atau menjauhi sumbu
lensa. Sinar dating sejajar dikenakan pada lensa cekung. Sinar-sinar akan menyebar
seolah berasal dari satu titik yaitu titik fokus. Titik fokus lensa cekung terletak di sisi yang
sama dengan sinar yang dating sehingga titik fokus lensa cekung mempunyai sifat maya
atau semu dan memiliki nilai negatif. Jenis-jenis lensa cekung :

Gambar 3.2 Jenis – Jenis Lensa Cekung

Ada 3 jenis lensa cekung seperti yang terlihat pada gambar diatas, yaitu cekung ganda,
cekung datar, dan meniskus cekung. Bentuk lensa cekung, diantaranya bikonkaf atau
cekung-cekung, plankonkaf atau cekung-datar, Konveks-konkaf atau cekung-cembung.
Sinar istimewa lensa cekung yaitu sebagai berikut :

Gambar 3.3 Sinar Istimewa Lensa Cekung

Aplikasi lensa cembung dan cekung dalam kehidupan sehari-hari yaitu orang
yang sudah tidak bisa membaca dalam jarak baca normal yaitu 25 cm, agar bisa membaca
jarak 25 cm dibantu dengan kacamata lensa cembung (rabun jauh / miopi). Para astronom
menggunakan teropong dari dua lensa cembung untuk mengamati benda langit, agar
terlihat lebih jelas dan dekat. Para ahli biologi, pekerja laboratorium menggunakan
mikroskop untuk mengamati bakteri, dll. Digunakan pada lup atau kacamata pembesar,
misalnya tukang jam yang mengamati komponen jam yang ukurannya kecil. Masih
banyak manfaat dan penggunaan lensa cembung dalam kehidupan sehari-hari, misalnya
periskop, slide proyektor. Penggunaan lensa cekung sering dijumpai pada orang-orang
dengan miopi atau rabun jauh yang memanfaatkan lensa cekung sebagai kacamata
sehingga orang yang menderita miopi dapat melihat benda-benda seperti mata normal.
Selain itu, saat teropong bumi menggunakan lensa pembalik, teropongnya terlalu panjang
agar okuler teropong bumi pendek, maka digunakanlah lensa pembalik yaitu lensa
cekung.

102
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil percobaan, lensa tipis dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar lensa
ada 2 yaitu lensa cembung dan lensa cekung. Pada lensa cembung dibagi menjadi 3, yaitu
lensa rangkap, datar, dan cembung-cekung. Pada lensa cekung dibagi menjadi 3 yaitu
cekung rangkap, cekung datar, dan cekung-cembung. Pembentukan bayangan oleh lensa
tipis tergantung pada lensa yang digunakan jarak titik fokus pada lensa tipis dapat dicari
dengan menghitung jarak benda dan jarak bayangan.

4.2 Saran

Sebelum percobaan dilakukan sebaiknya dilakukan pengecekan alat yang akan


digunakan serta pemahaman rangkaian alat percobaan agar ketika percobaan berlangsung
dapat berjalan dengan lancar.

103
DAFTAR PUSTAKA

Bueche, Frederick, J. 1980. Introduction to Physics for Scientists and Engineers. New York :
Mc Graw Hill
Giancoli, Douglass, C. 2014. Fisika Prinsip dan Aplikasi. Edisi ke-7. Jakarta : Erlangga

104
LAMPIRAN

(Giancoli, 2014)

105
(Bueche, 1980)

106
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(INDEKS BIAS LARUTAN)

(PERCOBAAN – OP2)

Disusun oleh :

Nama :

NIM :

Fakultas / Jurusan : MIPA / Fisika

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Nabila Zulva Dalilah

LABORATORIUM FISIKA DASAR

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2019

107
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(INDEKS BIAS LARUTAN)

Nama :

NIM :

Fakultas /Jurusan : MIPA/ Fisika

Kelompok :

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Nabila Zulva Dalilah

Catatan :

……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………

Paraf Paraf Nilai

108
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Percobaan


Setelah percobaan ini diselesaikan, diharapkan prinsip kerja Refraktometer Abbe
dapat dijelaskan, hubungan antara indeks bias dengan konsentrasi larutan gula dapat
dibuat, dan kadar gula dalam suatu larutan yang tidak diketahui konsentrasinya dapat
ditentukan oleh peserta praktikum Fisika Dasar.

1.2 Dasar Teori


Seperti yang telah diketahui sebelumnya, bahwa laju cahaya dalam udara hampa
adalah c = 3 x 108 m/s. Laju ini berlaku untuk semua gelombang elektromagnetik,
termasuk cahaya tampak. Di udara, laju tersebut bernilai sedikit lebih kecil. Pada benda
transparan lainnya, seperti kaca dan air, kelajuan selalu lebih kecil dibanding di udara
hampa. Sebagai contoh, cahaya merambat diair dengan laju kira-kira ¾ c. Perbandingan
laju cahaya di udara hampa dengan laju v pada materi tertentu disebut indeks bias (n) dan
persamaanya adalah :
𝑐
𝑛= 𝑣 ...(1.1)
Dimana indeks bias tidak pernah lebih kecil dari 1 (artinya n ≥ 1) dan nilainya untuk
berbagai materi berbeda-beda. Indeks bias (n) sedikit bervariasi terhadap panjang
gelombang cahaya tertentu, kecuali di ruang hampa udara, sehingga suatu panjang
gelombang tertentu di tentukan, misal untuk cahaya kuning dengan panjang gelombang
λ = 589 nm memiliki indeks bias sekian (Giancoli, 2005).
Jika menggunakan hubungan persamaan c = λ f dan cm = λm f, maka persamaan
untuk indeks bias dapat ditulis sebagai berikut.
λ f λ
𝑛= = ...(1.2)
λ𝑚𝑓 λ𝑚
Berikut ini adalah beberapa nilai indeks bias untuk berbagai materi.
Tabel 1.1 Indeks bias beberapa material
Material Indeks Bias

Intan 2,419

Kuarsa 1,458

Botol glas 1,520

Glas beker 1,474

Es 1,309

Polistiren 1,6

Akrilik 1,49

Etanol 1,361

109
Gliserol 1,473

Air 1,333

Udara 1,000293

Karbon dioksida 1,00045

Ketika gelombang elektromagnetik memasuki suatu material, maka laju dan panjang
gelombang tersebut akan berkurang, tetapi nilai frekuensinya tetap (Abdullah, 2017).

110
BAB II

METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan

Pada praktikum kali ini terdapat beberapa alat yang digunakan yakni, sebuah
lampu pijar, refraktometer Abbe, dan larutan gula dengan berbagai konsentrasi.

2.2 Tatalaksana Percobaan

Bagian-bagian refraktometer Abbe dipelajari.

Air murni diteteskan di atas prisma Refraktometer Abbe, di tutup dan di catat
indeks biasnya.

Larutan gula dibuat dengan presentase berat 50% (5 gram gula dalam 5 ml air),
60%, 40%, 30%, 20%, dan 10%.

Larutan gula 50% diteteskan di atas prisma Refraktometer Abbe, ditutup, dan
indeks bianya dicatat ( diulangi 5x)

Langkah 3 diulangi untuk larutan 60%, 40%, 30%, 20%, dan 10%.

Langkah 3 diulangi untuk larutan gula yang konsentrsinya tidak diketahui.


Harga n-nya dicatat

111
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN

3.1. Data Hasil Percobaan

Persentase Indeks Bias (n)


Larutan (%) 𝑛1 𝑛2 𝑛3

0 133,2 133,2 122,2

20 135,8 135,2 135,2

40 136,4 136,4 136,4

60 138,8 138,8 138,8

Tidak diketahui 137,8 137,8 137,8


(x)

3.2 Perhitungan
3.2.1 Presentase Larutan 0%

Ke- n | 𝑛 − ̅𝑛| 2

1 133,2 0

2 133,2 0

3 133,2 0

∑ 399,6 0

∑𝑛 399,6
̅𝑛 = = = 133,2
𝑘 3

• | 𝑛 − ̅𝑛| 2
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 133,2 − 133,2|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 133,2 − 133,2|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 133,2 − 133,2|2 =0

∑ |𝑛1 − ̅𝑛| 2 0
• 𝛿𝑛 = √ = √2 = 0
𝑘−1

𝛿𝑛
• 𝐾𝑟𝑛 = ̅𝑛
x 100%

0
𝐾𝑟𝑛 = 133,2 x 100% = 0%

112
• n = ( ̅𝑛 ± 𝛿𝑛 ) = ( 133,2 ± 0)

3.2.2 Presentase Larutan 20%

Ke- N | 𝑛 − ̅𝑛| 2

1 135,8 0

2 135, 8 0

3 135,8 0

∑ 407,4 0

∑𝑛 407,4
̅𝑛 = = = 135,8
𝑘 3

• | 𝑛 − ̅𝑛| 2
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 135,8 − 135,8|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 135,8 − 135,8|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 135,8 − 135,8|2 =0

∑ |𝑛1 − ̅𝑛| 2 0
• 𝛿𝑛 = √ = √2 = 0
𝑘−1

𝛿𝑛
• 𝐾𝑟𝑛 = ̅𝑛
x 100%

0
𝐾𝑟𝑛 = 135,8 x 100% = 0%

• n = ( ̅𝑛 ± 𝛿𝑛 ) = ( 135,8 ± 0)

3.2.3 Presentase larutan 40%

Ke- N | 𝑛 − ̅𝑛| 2

1 136,4 0

2 136,4 0

3 136,4 0

∑ 409,2 0

∑𝑛 409,2
̅𝑛 = = = 136,4
𝑘 3

• | 𝑛 − ̅𝑛| 2
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 136,4 − 136,4|2 =0

113
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 136,4 − 136,4|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 136,4 − 136,4|2 =0

∑ |𝑛1 − ̅𝑛| 2 0
• 𝛿𝑛 = √ = √2 = 0
𝑘−1

𝛿𝑛
• 𝐾𝑟𝑛 = ̅𝑛
x 100%

0
𝐾𝑟𝑛 = 136,4 x 100% = 0%

• n = ( ̅𝑛 ± 𝛿𝑛 ) = ( 136,4 ± 0)

3.2.4 Persentase Larutan 60%

Ke- n | 𝑛 − ̅𝑛| 2

1 138,8 0

2 138,8 0

3 138,8 0

∑ 416,4 0

∑𝑛 416,4
̅𝑛 = = = 138,8
𝑘 3

• | 𝑛 − ̅𝑛| 2
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 138,8 − 138,8|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 138,8 − 138,8|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 138,8 − 138,8|2 =0

∑ |𝑛1 − ̅𝑛| 2 0
• 𝛿𝑛 = √ = √2 = 0
𝑘−1

𝛿𝑛
• 𝐾𝑟𝑛 = ̅𝑛
x 100%

0
𝐾𝑟𝑛 = 138,8 x 100% = 0%

• n = ( ̅𝑛 ± 𝛿𝑛 ) = ( 138,8 ± 0)

114
3.2.5 Presentase Larutan Tidak Diketahui (x)

Ke- n | 𝑛 − ̅𝑛| 2

1 137,8 0

2 137,8 0

3 137,8 0

∑ 413,4 0

∑𝑛 413,4
̅𝑛 = = = 137,8
𝑘 3

• | 𝑛 − ̅𝑛| 2
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 137,8 − 137,8|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 137,8 − 137,8|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 137,8 − 137,8|2 =0

∑ |𝑛1 − ̅𝑛| 2 0
• 𝛿𝑛 = √ = √2 = 0
𝑘−1

𝛿𝑛
• 𝐾𝑟𝑛 = ̅𝑛
x 100%

0
𝐾𝑟𝑛 = 137,8 x 100% = 0%

• n = ( ̅𝑛 ± 𝛿𝑛 ) = ( 137,8 ± 0)

3.3 Grafik

Presentase (%) ̅𝑛

0 133,2

20 135,8

40 136,4

60 138,8

Tidak Diketahui (x) 137,8

∑% 120
• 𝑥̅ = = = 30
𝑛 4
∑ 𝑛̅ 544,2
• 𝑦̅ = = = 136,05
𝑛 4
Centroid (30 ; 136,05)
115
∆𝑦 𝑦 −𝑦 137,5−134 3,5
• Tan 𝜃 = = 𝑥 2 −𝑥 1 = = 13 = 0,19
𝑥 2 1 40−22

𝑦𝑎 −𝑦𝑏 139−132,5
• 𝐾𝑟𝑛 = x 100% = x 100% = 2,39%
2 ̅𝑦 2 . 136,05

• Y – tan 𝜃 (𝑥) + 𝑛𝑎𝑖𝑟

𝑛𝑎𝑖𝑟 − 𝑌 133−137,8
• (x) = = = 23,7 gram = 23,7%
tan 𝜃 0,19

y = 1.22x + 132.74
R² = 0.8124

Gambar 3.1 Grafik Excel hubungan indeks bias larutan dengan konsentrasi larutan
gula

Gambar 2.2 Grafik Manual hubungan indeks bias larutan dengan konsentrasi larutan
gula
3.4 Pembahasan

3.4.1 Analisa Prosedur

Alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan ini yaitu sebuah lampu pijar,
sebuah refraktometer Abbe, tissue, gelas beker, tabung reaksi, sendok kimia, pipet
tetes,air,gula, dan gelas ukur. Fungsi dari alat dan bahan tersebut berbeda-beda. Sebuah
lampu pijar digunakan sebagai sumber cahaya. Sebuah refraktometer Abbe digunakan
sebagai alat ditentukannya nilai indeks bias larutan gula denga konsentrasi berbeda.
Tissue digunakan sebagai lap untuk dibersihkannya prisma dan tutupnya. Gelas beker
116
digunakan sebagai tempat dalam pembuatan larutan gula. Tabung reaksi digunakan
sebagai tempat larutan gula dengan konsentrasi berbeda. Sendok kimia digunakan sebagai
untuk diambilnya gula dan sebagai alat pengaduk dalam pelarutan gula. Pipet tetes
digunakan untuk diteteskannya larutan gula pada prisma dalam refraktometer. Air
digunakan sebagai bahan dalam pembuatan larutan gula. Gula digunakan sebagai bahan
utama dalam pembuatan larutan gula. Gelas ukur digunakan untuk diukurnya massa gula
yang akan dilarutkan karena neraca yang ada tidak bisa digunakan karena kalibrasi alat
pada neraca tidak bisa dikalibrasikan (skalanya tidak dapat dibuat nol).

Fungsi dari alat dan bahan berbeda-beda. Oleh karena itu, perlakuan yang diberikan
juga berbeda. Lampu pijar diletakkan di tempat yang tidak jauh dari sumber listrik agar
kabel mudah dihubungkan ke sumber listrik sehingga lampu bisa dinyalakan.
Refraktometer Abbe dilektakkan di depan lampu pijar agar larutan gula yang terletak di
atas prisma dapat dilalui cahaya dari lampu pijar sehingga indeks bias dari larutan gula
dapat terukur. Tissue digunakan dengan dilapkan pada prisma dan tutupnya dengan
gerakan satu arah. Gelas beker digunakan dengan ditambahkannya air dan gula ke dalam
gelas beker dan diaduk dengan sendok kimia. Pipet kimia digunakan dengan diambilnya
larutan gula yang akan ditentukan indeks biasnya agar larutan gula dapat diletakkan di
atas prisma refraktometer dengan mudah. Tabung reaksi digunakan dengan
ditambahkannya larutan gula dengan konsentrasi tertentu ke dalamnya. Gelas ukur
digunakan dengan ditambahkannya gula ke dalam gelas dan diukur volumenya karena
massa gula dianggap sama dengan volumenya.

3.4.2 Analisa Hasil

Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa setiap terjadi kenaikan nilai
persentase larutan, nilai indeks bias juga mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan
teori bahwa akan terjadi kenaikan nilai indeks bias suatu larutan apabila nilai konsentrasi
larutan juga mengalami kenaikan. Akan tetapi pada larutan yang nilai konsentrasi
larutannya tidak diketahui, nilai indeks bias larutannya mengalami penurunan dari nilai
indeks bias larutan pada larutan gula dengan konsentrasi paling tinggi. Hal ini dapat
diasumsikan bahwa nilai konsentrasi larutan yang tidak diketahui lebih kecil
dibandingkan larutan gula yang konsentrasi larutannya paling tinggi. Namun, nilai
konsentrasi larutan yang tidak diketahui lebih besar dibandingkan larutan gula dengan
konsentrasi larutan gula 40%.
Dari percobaan ini, juga diperoleh grafik hubungan antara indeks bias larutan gula
(n) dengan konsentrasi larutan gula (%). Grafik yang diperoleh ada dua. Yang pertama,
grafik yang diperoleh adalah grafik manual. Dari grafik manual diketahui bahwa tidak
ada data yang berada di luar garis bayangan sehingga tidak ada data yang dibuang. Dari
grafik manual, nilai konsentrasi larutan gula (%) yang tidak diketahui nilainya dapat
dihitung. Nilai x (konsentrasi larutan yang tidak diketahui nilainya) sangat besar sehingga
asumsi yang ada tidak sesuai. Yang kedua, grafik yang diperoleh adalah grafik Excel.
Dari grafik Excel, tidak diketahui garis bayangannya sehingga tidak diketahui batas yang
menunjukkan data tertentu harus dibuang atau dipertahankan. Akan tetapi, letak data
dalam grafik tidak jauh dari garis utama yang melewati titik centroid sehingga dapat
dianggap bahwa tidak ada data yang harus dibuang. Artinya, baik pada grafik manual
maupun grafik Excel tidak ada data yang harus dibuang.

117
Dalam pengukuran indeks bias terdapat faktor yang memengaruhi. Faktor yang
memengaruhi tersebut salah satunya adalah suhu. Dalam pengukuran indeks bias larutan
apabila suhu di tempat pengukuran tinggi, maka nilai indeks bias larutan rendah. Hal ini
disebabkan apabila terjadi peningkatan suhu, jarak antar atom akan mengalami
perubahan. Apabila jarak antar atom mengalami perubahan, maka momen dipol zat
tersebut juga mengalami perubahan. Akibatnya, indeks bias larutan semakin kecil.
Artinya, nilai indeks bias berbanding terbalik dengan nilai suhu. Semakin besar nilai
suhu, maka nilai indeks bias larutannya semakin kecil. Begitupun sebaliknya, apabila
suhu menurun maka nilai indeks bias larutannya semakin besar.
Dalam pengukuran indeks bias larutan gula diperlukan cahaya. Cahaya memiliki
sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat cahaya adalah sebagai berikut.
a. Cahaya dapat dibiaskan
Cahaya dapat dibiaskan apabila cahaya tersebut melalui dua medium yang
berbeda. Misalkan sebatang pensil yang dicelupkan di dalam gelas yang berisi
air akan terlihat patah dari samping.
b. Cahaya dapat dipantulkan
Cahaya dapat dipantulkan apabila cahaya mengenai benda yang permukaannya
mengkilap seperti kaca. Cahaya dapat dipantulkan secara teratur dan tidak
teratur.
c. Cahaya dapat merambat pada ruang hampa
Cahaya matahari sampai ke bumi melalui ruang hampa. Apabila cahaya tidak
dapat merambat pada ruang hampa, maka cahaya matahari tidak akan sampai ke
bumi.
Dalam kehidupan sehari-hari, refraktometer digunakan dalam bidang industri dan
kesehatan. Refraktometer dalam bidang kesehatan digunakan untuk mengukur total
protein plasma dalam sempel darah dan urine hewan. Dalam bidang industri,
refraktometer digunakan untuk membantu mengidentifikasi bahan permata dengan
mengukur indeks biasnya. Refraktometer bekerja dengan memanfaatkan refraksi cahaya.

118
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Setelah dilakukan percobaan indeks bias larutan dapat disimpulkan bahwa


refraktometer merupakan alat yang mempunyai prinsip kerja berdasarkan sudut kritis.
Salah satu jenis refraktometer adalah refraktometer Abbe. Refraktometer Abbe
menggunakan sudut kritis pada proses pembiasan. Dasar pembiasan adalah penyinaran
menembus dua macam media dengan kecepatan yang berbeda yang mengakibatkan
terjadinya perubahan arah sinar. Larutan gula yang memiliki konsentrasi lebih tinggi atau
lebih pekat memiliki indeks bias yang lebih tinggi daripada larutan dengan konsentrasi
rendah. Dengan demikian, nilai indeks bias larutan berbanding lurus dengan konsentrasi
larutan. Dengan adanya hubungan antara indeks bias dengan konsentrasi larutan, nilai
kadar gula dalam larutan gula yang tidak diketahui konsentrasinya bisa ditentukan.

4.2 Saran

Dalam melakukan percobaan praktikan diharapkan berkonsentrasi dan lebih teliti


penyebanya adalah alat yang sudah rusak. Selain itu, alat dari refraktometer dapat
menyetrum kulit praktikan.

119
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mikrajuddin. 2017. Fisika Dasar II. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Giancoli, Douglas C. 2005. Physics : Principles with Applications Sixth Edition. New Jersey :
Pearson Education, Inc.

120
LAMPIRAN

(Abdullah, 2017)

121
(Giancoli,2005)

122
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(DIFRAKSI)

(PERCOBAAN – OP3)

Disusun oleh :

Nama :

NIM :

Fakultas / Jurusan : MIPA / Fisika

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Restya Ayu Dwi Hapsari

LABORATORIUM FISIKA DASAR

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2019

123
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(DIFRAKSI)

Nama :

NIM :

Fakultas /Jurusan : MIPA/ Fisika

Kelompok :

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Restya Ayu Dwi Hapsari

Catatan :

……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………

Paraf Paraf Nilai

124
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Setelah percobaan difraksi cahaya selesai diharapkan gejalan difraksi oleh celah
sempit dapat dipahami dan lebar celah tunggal serta jarak antar celah pada celah ganda
dapat ditentukan

1.2 Dasar Teori


Interferensi cahaya yaitu perpaduan dari dua gelombang cahaya yang datang
bersama pada suatu tempat. Salah satu bentuk interferensi cahay yaitu terdapat dalam
percobaan yaitu terdapat dalam percobaan Thomas Young. Thomas Young melakukan
percobaannya yaitu interferensi celah ganda atau dua celah. Dengan menggunakan sinar
monokromatik, yang diletakkan di depan dua celah dan didapat fase gelombang yang
tepat sama. Berdasarkan prinsip Huygens, celah S 1 dan S2 berperan sebagai sumber dari
gelombang baru. (Abdullah, 2016)

Gambar 1.1 Skema Eksperimen Thomas Young


Difraksi cahaya adalah peristiwa penyebaran atau pembelokan gelombang oleh
celah sempit yang dijadikan sebagai penghalang. Difraksi ada beberapa bentuk salah
satunya difraksi celah tunggal. Difraksi celah tunggal ini dijelaskan oleh Christian
Huygens. Menurut Huygens tiap bagian celah berfungsi sebagai sumber gelombang
sehingga cahaya dari satu bagan celah dapat berinterferensi dengan cahaya lain.
Sebenarnya difraksi ini sulit sekali dirumuskan melalui pemodelan matematika
matematika terutama di bagian sudutnya. Namun dapat disederhanakan dengan berasumsi
sinar R1 dengan sinar R2 sejajar. Selain itu dapat juga diperkirakan adanya segitiga siku-
siku diantara sinar tersebut. (Halliday, 2011)

125
r2

Gambar 1.1 Skema Kesejajaran Sinar

Berdasarkan hal tersebut didapat rumus:

𝑎 𝜆
𝑆𝑖𝑛𝜃 =
2 2
𝑎 𝑆𝑖𝑛𝜃 = 𝜆 … (1.1)

126
BAB II

METODOLOGI

2.1. Alat dan Bahan

Pada percobaan tentang difraksi terdapat beberapa alat yang digunakan yaitu laser
He-Ne berdaya rendah, sebuah slie foto dengan celah ganda, sebuah kisi difraksi yang
terletak pada sebiah slide 35 mm, pemegang slide dengan pengatur vertical, sebuah
penggaris, dan dua lembar kertas grafik.

2.2. Tata Laksana Percobaan

Laser diletakkan di atas meja sejauh 2 – 3 meter dari


layar

Slide yang berisi celah gandan dipasang pada pemegang


side dengan pengatur vertical

Selembar kertas grafik ditempelkan pada layar

Berkas sinar laser dijatuhkan di atas celah sehinga


diperoleh bayangan yang tajam di atas layar

Tempat m maksima dan minima ditandai di atas kertas


grafik

127
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

3. 1. Data Hasil Percobaan


3.1.1 Data Celah Tunggal
L = 0,7 m

λ = 6,328 x 10-7 m

A B C
n
Gelap (m) Terang (m) Gelap (m) Terang (m) Gelap (m) Terang (m)

1 0,010 0,016 0,005 0,007 0,002 0,004

2 0,021 0,026 0,010 0,011 0,005 0,006

3 0,032 0,036 0,014 0,016 0,007 0,008

4 0,040 0,044 0,020 0,021 0,010 0,012

5 0,050 0,055 0,024 0,026 0,012 0,014

3.1.2 Data Celah Ganda


L = 0,7 m

λ = 6,328 x 10-7 m

A B C
n
Gelap (m) Terang (m) Gelap (m) Terang (m) Gelap (m) Terang (m)
1 0,010 0,006 0,010 0,006 0,005 0,007
2 0,021 0,028 0,015 0,011 0,009 0,012
3 0,033 0,039 0,020 0,015 0,014 0,016
4 0,045 0,051 0,024 0,020 0,018 0,020
5 0,055 0,060 0,028 0,025 0,023 0,025

128
3. 2. Perhitungan
3.2.1 Celah Tunggal A Pola Gelap

n x Gelap (m) sin θ d (m) |d-d̅|² Ø

1 0,010 0,0143 4,43 𝑥 10−5 9,52 𝑥 10−13 6,28

2 0,021 0,0300 4,22 𝑥 10−5 1,29 𝑥 10−12 12,56

3 0,032 0,0457 4,15 𝑥 10−5 3,21 𝑥 10−12 18,84

4 0,040 0,0571 4,43 𝑥 10−5 9,52 𝑥 10−13 25,12

5 0,050 0,0714 4,43 𝑥 10−5 9,52 𝑥 10−13 31,4

• 𝑠𝑖𝑛 𝜃𝑛 =
𝑋𝑛 𝑋1 0,010
𝐿 𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = = 0,0143
L 0,7

𝑠𝑖𝑛 𝜃2 = 0,0300 𝑠𝑖𝑛 𝜃4 = 0,0571

𝑠𝑖𝑛 𝜃3 = 0,0457 𝑠𝑖𝑛 𝜃5 = 0,0714

𝑛𝜆 (1) 𝜆 1 𝑥 6,328 x 10−7


• 𝑑𝑛 = 𝑑1 = = = 4,43𝑥 10−5 𝑚
𝑠𝑖𝑛 𝜃𝑛 𝑠𝑖𝑛 𝜃1 0,0143

𝑑2 = 4,22𝑥 10−5 𝑚 𝑑4 = 4,43𝑥 10−5 𝑚

𝑑3 = 4,15𝑥 10−5 𝑚 𝑑5 = 4,43𝑥 10−5 𝑚

𝛴𝑑𝑛 0,0002165
𝑑̅ = = = 4,33𝑥 10−5 𝑚
𝑛 5

𝛴|𝑑𝑛 −𝑑̅|2 7,36𝑥 10−12


• 𝛿𝑑 = √ = √ = 6,06𝑥 10−7 𝑚
𝑛(𝑛−1) 5(5−1)
𝛿𝑑 6,06𝑥 10−7
• 𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 1,4 %
𝑑̅ 4,33𝑥 10−5
• 𝑑 = 𝑑̅ ± 𝛿𝑑 = 4,33𝑥 10 −5
± 6,06𝑥 10−7 𝑚

• Ø𝑛 =
2𝜋 𝑑𝑛 sin 𝜃𝑛 2𝜋 . 4,43𝑥 10−5 . 0,0143
𝜆 Ø1 = = 6,28
6,328 𝑥 10−7

Ø2 = 12,56 Ø4 = 25,12

Ø3 = 18,84 Ø5 = 31,40

129
3.2.2 Celah Tunggal B Pola Gelap

n x Gelap (m) sin θ d (m) |d-d̅|² Ø

1 0,005 0,0071 8,86 𝑥 10−5 4,02 𝑥 10−12 6,28

2 0,010 0,0143 8,86 𝑥 10−5 4,02 𝑥 10−12 12,56

3 0,014 0,0200 9,49 𝑥 10−5 1,87 𝑥 10−11 18,84

4 0,020 0,0286 8,86 𝑥 10−5 4,02 𝑥 10−12 25,12

5 0,024 0,0343 9,23 𝑥 10−5 2,85 𝑥 10−12 31,4


0,013
𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = 0,0071 3,36𝑥 10−11
0,7 𝛿𝑑 = √ = 1,3 𝑥 10−6 𝑚
5(5 − 1)

𝑛𝜆 1,3 𝑥 10−6
𝑑𝑛 = 𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 1,43%
𝑠𝑖𝑛 𝜃𝑛 9,06 𝑥 10−5

6,328 𝑥 10−7 𝑑 = 9,06 𝑥 10−5 ± 1,3 𝑥 10−6 𝑚


𝑑1 = = 8,86 𝑥 10−5 𝑚
0,0071
0,000453 2𝜋 . 8,86 𝑥 10−5 . 0,0071
𝑑̅ = = 9,06 𝑥 10−5 𝑚 Ø1 = = 6,28
5 6,328 𝑥 10−7

3.2.3 Celah Tunggal C Pola Gelap

n x Gelap (m) sin θ d (m) |d-d̅|² Ø


1 0,002 0,0029 0,000221 9,88E-10 6,28
2 0,005 0,0071 0,000177 1,66E-10 12,56
3 0,007 0,0100 0,00019 4,45E-14 18,84
4 0,010 0,0143 0,000177 1,66E-10 25,12
5 0,012 0,0171 0,000185 3,01E-11 31,4
0,002
𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = 0,0029 1,349 𝑥 10−9
0,7 𝛿𝑑 = √ = 8,21 𝑥 10−6 𝑚
5(5 − 1)

1. 6,328 𝑥 10−7 8,21 𝑥 10−6


𝑑1 = = 0,000221 𝑚 𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 4,32%
0,0029 0,00019
0,00095 𝑑 = 0,00019 ± 8,21 𝑥 10−6 𝑚
𝑑̅ = = 0,00019 𝑚
5
2𝜋 . 0,000221 . 0,0029
Ø1 = = 6,28
6,328 𝑥 10−7

130
3.2.4 Celah Tunggal A Pola Terang

n x Terang (m) sin θ d (m) |d-d̅|² Ø


1 0,016 0,0229 4,153 𝑥 10−5 3,346 𝑥 10−12 9,42
2 0,026 0,0371 4,259 𝑥 10−5 5,845 𝑥 10−13 15,7
3 0,036 0,0514 4,307 𝑥 10−5 8,483 𝑥 10−14 21,98
4 0,044 0,0629 4,53 𝑥 10−5 3,787 𝑥 10−12 28,26
5 0,055 0,0786 4,43 𝑥 10−5 8,821 𝑥 10−13 34,54
0,016
𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = 0,0229 8,68𝑥 10−12
0,7 𝛿𝑑 = √ = 6,59 𝑥 10−7 𝑚
5(5 − 1)

(1 + ½). 6,328 𝑥 10−7 6,59 𝑥 10−7


𝑑1 = 𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 1,52%
0,0229 4,34𝑥 10−5
= 4,153 𝑥 10−5 𝑚

0,0002168 𝑑 = 4,34𝑥 10−5 ± 6,59 𝑥 10−7 𝑚


𝑑̅ = = 4,34𝑥 10−5 𝑚
5

2𝜋 . 4,153 𝑥 10−5 . 0,0229


Ø1 = = 9,42
6,328 𝑥 10−7

3.2.5 Celah Tunggal B Pola Terang

n x Terang (m) sin θ d (m) |d-d̅|² Ø


1 0,007 0,0100 9,492 𝑥 10−5 1,697 𝑥 10−12 9,42
2 0,011 0,0157 0,0001007 1,98 𝑥 10−11 15,7
3 0,016 0,0229 9,69 𝑥 10−5 4,554 𝑥 10−13 21,98
4 0,021 0,0300 9,492 𝑥 10−5 1,697 𝑥 10−12 28,26
5 0,026 0,0371 9,37 𝑥 10−5 6,348 𝑥 10−12 34,54
0,007
𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = 0,0100 3 𝑥 10−11
0,7 𝛿𝑑 = √ = 1,22𝑥 10−6 𝑚
5(5 − 1)

(1 + ½). 6,328 𝑥 10−7 1,22𝑥 10−6


𝑑1 = 𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 1,27%
0,0100 9,62 𝑥 10−5
= 9,492 𝑥 10−5 𝑚

0,000481 𝑑 = 9,62 𝑥 10−5 ± 1,22𝑥 10−6 𝑚


𝑑̅ = = 9,62 𝑥 10−5 𝑚
5
2𝜋 . 9,492 𝑥 10−5 . 0,0100
Ø1 = = 9,42
6,328 𝑥 10−7

131
3.2.6 Celah Tunggal C Pola Terang

n X Terang sin θ d |d-d̅|² Ø


1 0,004 0,0057 0,0001661 1,169 𝑥 10−10 9,42
2 0,006 0,0086 0,0001846 5,847 𝑥 10−11 15,7
3 0,008 0,0114 0,0001938 2,848 𝑥 10−10 21,98
4 0,012 0,0171 0,0001661 1,16 𝑥 10−10 28,26
5 0,014 0,0200 0,000174 8,412 𝑥 10−12 34,54
0,004
𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = 0,0057 5,85 𝑥 10−10
0,7 𝛿𝑑 = √ = 5,41 𝑥 10−6 𝑚
5(5 − 1)

(1 + ½). 6,328 𝑥 10−7 5,41 𝑥 10−6


𝑑1 = = 0,0001661𝑚 𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 3.06%
0,0057 0.0001769
0,002245 𝑑 = 0.0001769 ± 5,41 𝑥 10−6 𝑚
𝑑̅ = = 0.0001769𝑚
5
2𝜋 . 0,0001661. 0,0057
Ø1 = = 9,42
6,328 𝑥 10−7

3.2.7 Celah Ganda A Pola Gelap

n x Gelap (m) sin θ d (m) |d-d̅|² Ø


1 0,010 0,0143 6,64 𝑥 10−5 2,4 𝑥 10−10 9,42
2 0,021 0,0300 5,27 𝑥 10−5 3,18 𝑥 10−12 15,7
3 0,033 0,0471 4,7 𝑥 10−5 1,58 𝑥 10−11 21,98
4 0,045 0,0643 4,43 𝑥 10−5 4,43 𝑥 10−11 28,26
5 0,055 0,0786 4,43 𝑥 10−5 4,43 𝑥 10−11 34,54
0,010
𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = 0,0143 3,48 𝑥 10−10
0,7 𝛿𝑑 = √ = 4,17 𝑥 10−6 𝑚
5(5 − 1)

1. 6,328 𝑥 10−7 4,17 𝑥 10−6


𝑑1 = = 6,64 𝑥 10−5 𝑚 𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 8,18%
0,0143 5,09 𝑥 10−5
0,0002545 𝑑 = 5,09 𝑥 10−5 ± 4,17 𝑥 10−6 𝑚
𝑑̅ = = 5,09 𝑥 10−5 𝑚
5

2𝜋 .6,64 𝑥 10−5 . 0,0143


Ø1 = = 9,42
6,328 𝑥 10−7

132
3.2.8 Celah Ganda B Pola Gelap

n x Gelap (m) sin θ d (m) |d-d̅|² Ø


1 0,010 0,0143 6,64 𝑥 10−5 1,24 𝑥 10−10 9,42
2 0,015 0,0214 7,38 𝑥 10−5 1,4 𝑥 10−11 15,7
3 0,020 0,0286 7,75 𝑥 10−5 2,78 𝑥 10−15 21,98
4 0,024 0,0343 8,31 𝑥 10−5 3,01 𝑥 10−11 28,26
5 0,028 0,0400 8,7 𝑥 10−5 8,91 𝑥 10−11 34,54
0,010
𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = 0,0143 2,57 𝑥 10−10
0,7 𝛿𝑑 = √ = 3,58 𝑥 10−6 𝑚
5(5 − 1)

1. 6,328 𝑥 10−7 3,58 𝑥 10−6


𝑑1 = = 6,64 𝑥 10−5 𝑚 𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 4,62 %
0,0143 7,76 𝑥 10−5
0,000388 𝑑 = 7,76 𝑥 10−5 ± 3,58 𝑥 10−6 𝑚
𝑑̅ = = 7,76 𝑥 10−5 𝑚
5

2𝜋 . 6,64 𝑥 10−5 . 0,0143


Ø1 = = 9,42
6,328 𝑥 10−7

3.2.9 Celah Ganda C Pola Gelap

n x Gelap (m) sin θ d (m) |d-d̅|² Ø


1 0,005 0,0071 0,000133 2,63 𝑥 10−10 9,42
2 0,009 0,0129 0,000123 4,07 𝑥 10−11 15,7
3 0,014 0,0200 0,000111 3,51 𝑥 10−11 21,98
4 0,018 0,0257 0,000111 3,51 𝑥 10−11 28,26
5 0,023 0,0329 0,000106 1,15 𝑥 10−10 34,54

0,005
𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = 0,0071 4,89 𝑥 10−10
0,7 𝛿𝑑 = √ = 4,95 𝑥 10−6 𝑚
5(5 − 1)

1. 6,328 𝑥 10−7 4,95 𝑥 10−6


𝑑1 = = 0,000133 𝑚 𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 4,24 %
0,0071 0,000117
0,000585 𝑑 = 0,000117 ± 4,95 𝑥 10−6 𝑚
𝑑̅ = = 0,000117 𝑚
5
2𝜋 . 0,000133 . 0,0071
Ø1 = = 9,42
6,328 𝑥 10−7

133
3.2.10 Celah Ganda A Pola Terang

n x Terang (m) sin θ d (m) |d-d̅|² Ø


1 0,006 0,0086 7,38 𝑥 10−5 9,978 𝑥 10−10 6,28
2 0,028 0,0400 3,16 𝑥 10−5 1,123 𝑥 10−10 12,56
3 0,039 0,0557 3,41 𝑥 10−5 6,667 𝑥 10−11 18,84
4 0,051 0,0729 3,47 𝑥 10−5 5,621 𝑥 10−11 25,12
5 0,060 0,0857 3,69 𝑥 10−5 2,836 𝑥 10−11 31,4

0,006
𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = 0,0086 1,26 𝑥 10−9
0,7 𝛿𝑑 = √ = 7,94 𝑥 10−6 𝑚
5(5 − 1)

(1 + ½). 6,328 𝑥 10−7 7,94 𝑥 10−6


𝑑1 = = 7,38 𝑥 10−5 𝑚 𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 18,80 %
0,0086 4,2𝑥 10−5
0,001179 𝑑 = 4,2𝑥 10−5 ± 7,94 𝑥 10−6 𝑚
𝑑̅ = = 4,2𝑥 10−5 𝑚
5
2𝜋 .7,38 𝑥 10−5 . 0,0086
Ø1 = = 6,28
6,328 𝑥 10−7

3.2.11 Celah Ganda B Pola Terang

n x Terang (m) sin θ d (m) |d-d̅|² Ø


1 0,006 0,0086 7,38𝑥10−5 1,041E-10 6,28
2 0,011 0,0157 8,05𝑥10−5 1,218E-11 12,56
3 0,015 0,0214 8,86𝑥10−5 2,083E-11 18,84
4 0,020 0,0286 8,86𝑥10−5 2,083E-11 25,12
5 0,025 0,0357 8,86𝑥10−5 2,083E-11 31,4

0,006
𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = 0,0086 1,79 𝑥 10−10
0,7 𝛿𝑑 = √ = 2,99𝑥 10−6 𝑚
5(5 − 1)

(1 + ½). 6,328 𝑥 10−7 2,99𝑥 10−6


𝑑1 = = 7,38x10−5 𝑚 𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 3,56 %
0,0086 8,4𝑥10−5
0,00042 𝑑 = 8,4𝑥10−5 ± 2,99𝑥 10−6 𝑚
𝑑̅ = = 8,4𝑥10−5 𝑚
5

2𝜋 . 7,38x10−5 . 0,0086
Ø1 = = 6,28
6,328 𝑥 10−7

134
3.2.12 Celah Ganda C Pola Terang

n x Terang (m) sin θ d (m) |d-d̅|² Ø


1 0,007 0,0100 6,33 𝑥 10−5 2,621 𝑥 10−10 6,28
2 0,012 0,0171 7,38 𝑥 10−5 3,184 𝑥 10−11 12,56
3 0,016 0,0229 8,31 𝑥 10−5 1,286 𝑥 10−11 18,84
4 0,020 0,0286 8,86 𝑥 10−5 8,323 𝑥 10−11 25,12
5 0,025 0,0357 8,86 𝑥 10−5 8,323 𝑥 10−11 31,4

0,007
𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = 0,0100 4,73 𝑥 10−10
0,7 𝛿𝑑 = √ = 4,86 𝑥 10−6 𝑚
5(5 − 1)

(1 + ½). 6,328 𝑥 10−7 4,86 𝑥 10−6


𝑑1 = 𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 6,12%
0,0100 0,000220
= 6,33 𝑥 10−5 𝑚

0,000395 𝑑 = 7,9 𝑥 10−5 ± 4,86 𝑥 10−6 𝑚


𝑑̅ = = 7,9 𝑥 10−5 𝑚
5

2𝜋 . 6,33 𝑥 10−5 . 0,0100


Ø1 = = 6,28
6,328 𝑥 10−7

3. 3. Grafik

3.3.1 Grafik Tunggal A Pola Terang

𝛥𝑦 1,8
• 𝑑̅ = 𝛥𝑥 . 𝜆 = 0,015
. 6,328 𝑥 10−7 = 7,59 𝑥 10−5 𝑚 Centroid = ( 0,051 ; 3 )

135
𝑌𝑎 −𝑌𝑏 6,7−2
• 𝐾𝑟 = 𝑥 100 % = 𝑥 100 % = 0,78 %
2𝑌̅ 2(3)

3.3.2 Grafik Tunggal B Pola Terang

𝛥𝑦 2,5
• 𝑑̅ = 𝛥𝑥 . 𝜆 = . 6,328 𝑥 10−7 = 2,26 𝑥 10−4 𝑚 Centroid = ( 0,023 ; 3 )
0,007

𝑌𝑎 −𝑌𝑏 8−2
• 𝐾𝑟 = 𝑥 100 % = 𝑥 100 % = 1 %
2𝑌̅ 2(3)

3.3.3 Grafik Tunggal C Pola Terang

𝛥𝑦 2
• 𝑑̅ = 𝛥𝑥 . 𝜆 = . 6,328 𝑥 10−7 = 2,53 𝑥 10−4 𝑚 Centroid = ( 0,0125 ; 3 )
0,0050

136
𝑌𝑎 −𝑌𝑏 4,6−2
• 𝐾𝑟 = 𝑥 100 % = 𝑥 100 % = 0,43 %
2𝑌̅ 2(3)

3.3.4 Grafik Ganda A Pola Terang

𝛥𝑦 4,5
• 𝑑̅ = 𝛥𝑥 . 𝜆 = . 6,328 𝑥 10−7 = 1,49 𝑥 10−4 𝑚 Centroid = ( 0,0525 ;3 )
0,0190

𝑌𝑎 −𝑌𝑏 7−1
• 𝐾𝑟 = 𝑥 100 % = 𝑥 100 % = 1 %
2𝑌̅ 2(3)

3.3.5 Grafik Ganda B Pola Terang

𝛥𝑦 2
• 𝑑̅ = 𝛥𝑥 . 𝜆 = . 6,328 𝑥 10−7 = 1,69 𝑥 10−4 𝑚 Centroid = ( 0,0214; 3 )
0,0075

𝑌𝑎 −𝑌𝑏 6,5−0,8
• 𝐾𝑟 = 𝑥 100 % = 𝑥 100 % = 0,95 %
2𝑌̅ 2(3)

137
3.3.6 Celah Ganda C Pola Terang

𝛥𝑦 0,5
• 𝑑̅ = 𝛥𝑥 . 𝜆 = . 6,328 𝑥 10−7 = 2,59 𝑥 10−4 𝑚 Centroid = ( 0,023 ; 3 )
0,001

𝑌𝑎 −𝑌𝑏 7,5−1
• 𝐾𝑟 = 𝑥 100 % = 𝑥 100 % = 1,08 %
2𝑌̅ 2(3)

3.4 Pembahasan

3.4.1 Analisa Prosedur


Pada percobaan tentang difraksi terdapat beberapa alat yang digunakan yaitu laser
He-Ne berdaya rendah, sebuah slide foto dengan celah ganda, sebuah kisi difraksi yang
terletak pada sebiah slide 35 mm, pemegang slide dengan pengatur vertical, sebuah
penggaris, dan dua lembar kertas grafik. Laser He-Ne digunakan sebagai sumber cahaya.
Sebuah slide foto digunakan sebagai wadah untuk diletakkannya sebuah kisi difraksi.
Sebuah kisi difraksi digunakan untuk dapat dibentuknya pola gelap terang pada sinar.
Pemegang slide digunakan untuk dapat diaturnya jarak celah dari sumber cahaya. Sebuah
penggaris digunakan untuk dapat diukurnya jarak terang pusat dari celah dan dapat
dikurnya jarak pola ke-n dari terang pusat. Dua lembar kertas digunakan sebagai tempat
untuk digambarnya pola gelap terang sinar agar jarak antar pola ke terang pusat dapat
ditentukan dengan mudah.
Percobaan tentang difraksi diawali dengan kisi difraksi dipasang pada slide foto
agar sinar laser dapat ter interferensi. Lalu laser He-Ne dinyalakan sebagai sumber sinar
pada percobaan. Saat sinar sudah terpancar, kisi difraksi diatur agar kisi dapat dilalui oleh
sinar laser secara tepat. Setelah itu, pola gelap terang yang terbentuk ditandai pada kertas
grafik agar polanya dapat diukur dengan mudah. Selanjutnya jarak antar pola diukur
untuk dimasukkan ke dalam perhitungan.
3.4.2. Analisa Hasil
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, didapatkan data dengan perhitungan
dari grafik. Data yang didapat berupa jarak antara titik pusat dengan pola terang dan gelap
untuk celah tunggal maupun ganda A, B dan C. berdasarkan data yang didapat, semakin
jauh jarak antara titik pusat dengan pola terang dan gelap maka semakin besar pola sudut
yang terbentuk. Hal ini dikarenakan sudut berbanding lurus dengan jarak pola ke titik
138
pusat. Selain itu, dalam percobaan ini didapatkan fase yang berbeda pada celah tunggal.
Pola terang lebih besar dibandingkan pola gelap. Hal ini dipengaruhi oleh sudut yang
terbentuk. Semakin besar sudut yang terbentuk maka semakin besar beda fase pada celah
tunggal pola gelap maupun terang. Namun, beda fase pada celah ganda berbeda pada pola
gelap , beda fase lebih besar dibanding pola terang. Sedangkan pada perhitungan grafik
dapat diketahi nilai đ dan kr. Kr yang dihasilkan dalam perhitungan termasuk nilai yang
kecil. Hal tersebut menyatakan bahwa kesalahan dalam pada saat pelaksanaan praktikum
adalah sedikit.
Setelah melakukan praktikum dapat dipahami definisi dari difraksi dan juga
interferensi. Difraksi adalah kecenderungan gelombang yang dipancarkan dari sumber
melewati celah yang terbatas untuk menyebar ketika merambat. Menurut prinsip
Huggens, setiap titik pada gelombang cahaya dapat dianggap sebagai sumber sekunder
gelombang pada suatu daerah. Sedangkan interferensi adalah interaksi antar gelombang
di dalam suatu daerah. Perbedaan dari keduanya adalah difraksi membutuhkan hambatan
namun interferensi tidak membutuhkannya. Perbedaan lainnya yaitu difraksi mengubah
jalur gelombang datang namun interferensi jalur gelombangnya tetap utuh.
Difraksi memiliki lima jenis yaitu difraksi Fresnel atau difraksi yang terjadi apabila
letak sumber cahaya, celah, dan layar berdekatan. Difraksi fraunhofer yaitu difraksi yang
terjadi apabila letak sumber cahaya, celah, dan layar pengamatan berada pada jarak yang
jauh. Difraksi tunggal menghasilkan gelombang baru atau sebagai sumber gelombang.
Difraksi celah ganda dihasilkan 4 gelombang baru dan penghalang celah ganda. Difraksi
celah majemuk digunakan penghalang yang memiliki celah/ kisi yang banyak.
Pada praktikum kali ini terdapat pola yang dibentuk pada lensa HeNe melewati
celah tunggal maupun celah ganda. Besaran ini dibandingkan dengan sudut arah sinar di
belakang celah. Tampak bahwa intensitas tinggi pada maksimum pusat. Maxima-minima
memiliki intensitas lebih rendah jika posisinya jauh dari pusat.
Aplikasi pada difraksi antara lain hologram. Hologram merupakan produk dari
teknologi holografi. Hologram terbentuk dari perpaduan sinar cahaya yang koheren dan
dalam bentuk mikroskopik. Hologram mapu menyimpan informasi di dalamnya memuat
objek 30. Hologram bertindak sebagai informasi optic yang berupa gambar,pemandangan
atau adegan. Hologram menggunkan prinsip dari difraksi dan interferensi.

139
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Dari percobaan tentang difraksi yang telah dilakukan peserta praktikum fisika
dasar mampu menjelaskan gejala difraksi cahaya oleh celah sempit. Difraksi merupakan
pelenturan suatu cahaya setelah melewati suatu penghalang yang memiliki celah sempit
dan dipengaruhi oleh cahaya monokromatik yang melewati celah sempit. Selain itu
peserta praktikum fisika dasar juga mampu menentukan lebar celah tunggal serta jarak
antara celah pada celah ganda. Pada celah ganda dapat diketahui dengan menghitung
sin 𝜃
4.2. Saran
Untuk praktikan diharap agar lebih berhati-hati dalam menggunakan alat
laboratorium agar tidak terjadi kerusakan dan juga agar lebih meningkatkan ketelitian
ketika melakukan praktikum agar bisa mendapat hasil yang baik dan maksimal.

140
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. 2016. Fisika Dasar II. Bandung: Institut Teknologi Bandung Press

Halliday. 2011. Fundamental of Physics. New York: John Wiley & Sons Publisher

141
LAMPIRAN

142
143
144
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(INDEKS BIAS PRISMA)

(PERCOBAAN – OP4)

Disusun oleh :

Nama :

NIM :

Fakultas / Jurusan : MIPA / Fisika

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Satrio Wiradinata Riady B.

LABORATORIUM FISIKA DASAR

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2019

145
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(INDEKS BIAS PRISMA)

Nama :

NIM :

Fakultas /Jurusan : MIPA/ Fisika

Kelompok :

Tgl. Praktikum :

Nama Asisten : Satrio Wiradinata Riady B.

Catatan :

……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………

Paraf Paraf Nilai

146
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Percobaan


Pada Percobaan indeks bias prisma ini terdapat 2 buah tujuan percobaan yaitu
dapat ditentukannya indeks bias prisma dan dapat dijelaskannya ketergantungan indeks
bias pada panjang gelombang.

1.2 Teori
Pada dasarnya cahaya putih yang dilihat oleh mata manusia (cahaya tampak)
berasal dari gabungan beberapa warna yang terjajar mulai dari warna ungu (ultraviolet)
hingga warna merah (infrared) yang dapat dilihat pada spektrum cahaya tampak. Tiap-
tiap warna ini terdapat panjang gelombang cahaya yang berbeda-beda mulai dari 400nm
untuk warna ungu hingga 750nm untuk warna merah (panjang gelombang dalam udara)
namun keterbatasan pada mata yang tidak sensitive terhadap perbedaan panjang
gelombang tersebut sehingga mata hanya dapat melihatnya dalam bentuk
penggabungannya yaitu warna putih. Dalam beberapa keperluan tentu dibutuhkan
gelombang cahaya dalam panjanga gelombang tertentu saja dan untuk itu diperlukan
pembiasan oleh prisma karena prisma dapat menjadi pemecah cahaya putih menjadi
cahaya warna-warni yang sesuai dengan panjang gelombangnya masing-masing karena
pada prisma akan terjadi pembengkokan dari masing-masing panjang gelombang
tersebut. Semakin kecil panjang gelombangnya maka akan semakin besar sudut
pembengkokannya (Giancoli, 2016).
Dalam hal ini dapat diartikan bahwa cahaya tampak masuk ke dalam prisma
tersebut dan kemudian dibengkokan terhadap masing-masing panjang gelombangnya.
Saat suatu gelombang elektromagnetik masuk ke dalam suatu material maka akan terjadi
perubahan laju dan panjang gelombang, namun dalam frekuensi yang tetap sama, oleh
karena itu perlu didefinisikan atau dibuat suatu besaran yang menjadi penentu laju cahaya
yang masuk ke dalam suatu material yang dalam hal ini adalah prisma. (Abdullah, 2017).

147
BAB II
METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan dalam percobaan ini terdapat 7 macam yaitu; sebuah
lensa (f=150mm), sebuah prisma kaca kuarsa, filter monokromatik (merah, hijau, violet),
sebuah lampu (6V, 30W), celah sempit, kondenser asferis, dan sebuah meteran.
2.2 Tata Laksana Percobaan

Alat-alat dipasang sesuai kebutuhan. Posisi tiap-tiap


alat ditunjukkan pada angjka di bawah alat.

Tanpa penggunaan prisma dan filter, dicari bayangan


terbaik pada layer dan diberikan tanda A

Dipasang filter merah dan prisma, dicari kembali


posisi bayangan dengan penggeseran prisma hingga
ditemukan defleksi maksimum dan kemudian
ditandai

Diukur jarak AB= a dan A= b; sudut defleksi:


tan δ= a/b

Diulangi langkah 3 dan 4 untuk filter hijau dan violet

148
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Hasil Percobaan

a(cm)
b (cm) sudut prisma
merah hijau biru
6,6 6,7 6,9
15 45° 2,5 2,5 2,5
7,5 7,8 7,5
9,1 9,2 9,2
20 45° 9,5 9,6 9,8
8,2 8,2 8,2
12 12 12,2
25 45° 11,6 11,8 11,8
10,5 10,6 10,6

3.2 Perhitungan
3.2.1 Filter merah

NO an (cm) bn (cm) 𝛿 min (°) ∆ 𝛿 min (°) n


1 5,533333 15 20,24845736 1,053518404 2936,181
2 8,933333 20 30,77614823 1,296089233 3409,927
3 11,36667 25 37,15404017 1,469693846 3696,932

∑𝑎
• 𝑎𝑛 (𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏 𝑠𝑎𝑚𝑎) = , 𝑛 = 1, 2, 3
3
• 𝑏 = 𝑏𝑛
𝑎
• 𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 = tan−1 𝑏𝑛 𝑛 = 1, 2, 3
𝑛
∑ |𝑎𝑛 −𝑎̅|2 ∑ |𝑏𝑛 −𝑏̅|2
• ∆𝑎 = √ , ∆𝑏 = √
(𝑛−1) (𝑛−1)
𝑎𝑛 𝑏𝑛
• ∆𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 = ∆𝑏 , ∆𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 = ∆𝑎 , n = 1, 2 , 3
(𝑎𝑛 2 + 𝑏𝑛 2 ) (𝑎𝑛 + 𝑏𝑛 2 )
2

• ∆𝛿min 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 = 1,273100494°


1
𝑠𝑖𝑛 (𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 + ∅)
• 𝑛𝑛 = 2
1 , n = 1, 2, 3
𝑠𝑖𝑛 ∅
2
• 𝑛̅ = 3347,68
∑ |𝑛𝑛 −𝑛̅|2
• ∆𝑛 = √ (𝑛−1)
∆𝑛
• 𝐾𝑟 = 𝑥 100%
𝑛̅
• n = 𝑛̅ ± ∆𝑛

149
3.2.2 Filter hijau

NO an (cm) bn (cm) deviasi min ∆ deviasi min n


1 4,6 15 17,04903097 1,186694545 2792,206
2 8,9 20 30,68206864 1,493475299 3405,693
3 11,46667 25 37,39590344 1,676592494 3707,816
∑𝑎
• 𝑎𝑛 (𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏 𝑠𝑎𝑚𝑎) = , 𝑛 = 1, 2, 3
3
• 𝑏 = 𝑏𝑛
𝑎
• 𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 = tan−1 𝑏𝑛 𝑛 = 1, 2, 3
𝑛
∑ |𝑎𝑛 −𝑎̅|2 ∑ |𝑏𝑛 −𝑏̅|2
• ∆𝑎 = √ , ∆𝑏 = √
(𝑛−1) (𝑛−1)
𝑎𝑛 𝑏𝑛
• ∆𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 = ∆𝑏 , ∆𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 = ∆𝑎 , n = 1, 2 , 3
(𝑎𝑛 2 + 𝑏𝑛 2 ) (𝑎𝑛 + 𝑏𝑛 2 )
2

• ∆𝛿min 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 = 1,452254113°


1
𝑠𝑖𝑛 (𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 + ∅)
• 𝑛𝑛 = 2
1 , n = 1, 2, 3
𝑠𝑖𝑛 ∅
2
• 𝑛̅ = 3301,91
∑ |𝑛𝑛 −𝑛̅|2
• ∆𝑛 = √ (𝑛−1)
∆𝑛
• 𝐾𝑟 = 𝑥 100%
𝑛̅
• n = 𝑛̅ ± ∆𝑛

3.2.3 Filter biru

NO an (cm) bn (cm) deviasi min ∆ deviasi min n


1 5,633333 15 20,58394674 1,039249532 2951,278
2 9,066667 20 31,15063056 1,284198506 3426,778
3 11,53333 25 37,55628359 1,460181264 3715,033

∑𝑎
• 𝑎𝑛 (𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏 𝑠𝑎𝑚𝑎) = , 𝑛 = 1, 2, 3
3
• 𝑏 = 𝑏𝑛
𝑎
• 𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 = tan−1 𝑏𝑛 𝑛 = 1, 2, 3
𝑛
∑ |𝑎𝑛 −𝑎̅|2 ∑ |𝑏𝑛 −𝑏̅|2
• ∆𝑎 = √ , ∆𝑏 = √
(𝑛−1) (𝑛−1)
𝑎𝑛 𝑏𝑛
• ∆𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 = ∆𝑏 , ∆𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 = ∆𝑎 , n = 1, 2 , 3
(𝑎𝑛 2 + 𝑏𝑛 2 ) (𝑎𝑛 + 𝑏𝑛 2 )
2

• ∆𝛿min 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 = 1,261209767°


1
𝑠𝑖𝑛 (𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 + ∅)
• 𝑛𝑛 = 2
1 , n = 1, 2, 3
𝑠𝑖𝑛 ∅
2
• 𝑛̅ = 3364,36
∑ |𝑛𝑛 −𝑛̅|2
• ∆𝑛 = √ (𝑛−1)
∆𝑛
• 𝐾𝑟 = 𝑥 100% =
𝑛̅
• n = 𝑛̅ ± ∆𝑛
150
3.3 Pembahasan
3.3.1 Analisa Prosedur
Pada percobaan indeks bias prisma ini pertama-tama dilakukan pemasangan dan
penyesuaian alat yang akan digunakan, dilakukan pengukuran jarak dari tempat yang
akan diletakkan prisma ke layer, hal ini dilakukan agar didapatkan besarnya “b” yang
dimana digunakan 3 jarak b yaitu 15cm, 20cm, dan 25cm dimana perubahan “b” ini
dilakukan agar didapatkan variasi data jarak yang dimana nantinya akan berpengaruh juga
kepada variasi data yang didapatkan.

Setelah semua alat selesai dirangkai (tanpa prisma), sumber Chaya polikromatik
dinyalakan kemudian dicari letak peresolusian terbaik dengan cara pemutaran tuas yang
terdapat pada celah, hal ini dilakukan agar didapatkan kerapatan dan ketajaman warna
yang akan dihasilkan dari pemisahan warna oleh prisma nantinya, sehingga dapat
mempermudah pemisahan dan pengukuran jarak dari titik pusat (awal) cahaya ke warna
yang akan diukur. Dilakukan pemasangan prisma pada tempat yang telah ditentukan
sebelumnya kemudian diatur sisi dari prisma tersebut agar didapatkan warna yang
terdifraksi secara baik dan tajam, setelah itu dipasngkan filter cahaya pada tempat yang
telah disiapkan. Filet cahaya yang digunakan yaitu merah, hijau, dan biru. Ketiga filter
ini dipasangkan secara bergantian dengan dilakukannya pengukuran jarak yang
dihasilkan dari titik pusat ke warna (merah/hijau/biru). Setiap pengukuran pada jarak
yang sama dilakukan sebanyak 3 kali, sehingga pada jarak yang sama didapatkan 9 data.
Jarak (b) yang digunakan juga berubah sebanyak 3 jarak yaitu 15cm, 20cm, dan 25cm
sehingga setiap prisma yang digunakan didapatkan variasi data sebanyak 27 buah dan
digunakan 2 buah prisma yaitu prisma 30° dan 45° , sehingga didapatkan total variasi
data sejumlah 54 buah data. Hal ini dilakukan agar didapatkan data pengurukan yang
memiliki ketelitian tinggi.

3.3.2 Analisa Hasil


Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan didapatkan besar nilai indeks bias dari
prisma 30° berkisar antara 2,35-2,45 dengan ralat 24,48%-24,79%. Nilai indeks bias ini
didapatkan dari pengukuran jarak antara titik awal cahaya polikromatik ke warna (a)
hijau, merah, dan biru pada jarak pengamatan dari peletakkan prisma (b). Besar ralat
±25% ini disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam pengukuran besarnya nilai jarak
“a” dan sulitnya penentuan titik pengukuran warna yang paling tepat (titik tengah warna).
Pada prisma 45° didapatkan besar nilai indeks bias berkisar antara 1,49-1,56 dengan besar
ralat antara 28,29%-30,3% yang dimana besar ralat ini ±5% lebih besar dari prisma 30°.
Sama halnya dengan pengukuran “b” pada prisma 30°, pengukuran “b” pada prisma
45° pun kurang teliti sehingga didaptkan nilai ralat yang cukup besar.

Perbedaan mendasar dari prisma kuarsa dan prisma kaca flinta terdapat pada besar
nilai indeks bias mutlaknya. Pada medium kuarsa, indeks bias mutlaknya bernilai sebesar
1,46. Sedangkan pada medium kaca flinta, indeks bias mutlaknya bernilai 1,62. Besar
dari indeks bias ini akan berpengaruh pada pemngkokan cahaya (gelombang
elektromagnetik) yang keluar dari prisma tersebut. Semakin besar indeks biasnya maka
semakin bengkok ke garis normalnya.
151
Hukum Snell adalah rumus matematika yang memberikan hubungan antara sudut
datan dang sudut bias dari gelombang elektromagnetik yang bergerak pada dua medium
dengan kerapatan yang berbeda. Nama dari hokum ini diambil dari nama penemunya
yaitu Willebrand Snellius. Perumusan matematisnya adalah

𝑛1 sin 𝜃1 = 𝑛2 sin 𝜃2 ...(3.1)

Catatan: 1= datang, 2= keluar, n= indeks bias medium, θ= sudut


“Perbandingan sinus sudut datang dan sinus sudut bias dari suatu cahaya yang
datan dari suatu medium ke medium lainnya merupakan suatu konstanta yang besarnya
sama dengan perbandingan indeks bias kedua medium tersebut”. Perbandingan antara
Panjang gelombang dengan indeks bias dapat dirumuskan dengan sebuah penggabungan
dari kedua rumusnya
𝑐
𝑛=𝑣 …(3.2)
𝑣 = 𝜆 .𝑓 ...(3.3)
Dengan mensubtitusi persamaan (3.2) dengan (3.1) maka didapatkan

𝑐
𝑛1 𝑣1
= 𝑐 ...(3.4)
𝑛2
𝑣2

𝑛1 𝑣
= 𝑣2 ...(3.5)
𝑛2 1

Dengan mensubtitusi persamaan (3.3) dengan (3.1) maka didapatkan


𝑛1 𝜆 .𝑓
= 𝜆2 .𝑓 ...(3.6)
𝑛2 1

𝑛1 𝜆
= 𝜆2 ...(3.7)
𝑛2 1

Catatan: c= kecepatan cahaya di vakum; n= indeks bias; f= frekuensi cahaya; v=


kecepatan cahaya; λ= panjang gelombang
Pengaruh dari adanya panjang gelombang dan indeks bias dalam pembiasan
yang disebabkan oleh prisma ialah semakin pendek Panjang gelombang dari gelombang
elektromagnetik tersebut maka gelombang tersebut akan semakin dibengkokan menjauhi
garis normalnya.

Gambar 3.1 Dispersi Cahaya Oleh Prisma

152
Panjang gelombang dari warna ungu ialah 400nm sedangkan merah ialah 750nm.
Dapat dilihat pada gambar 1 dimana cahaya ungu berada pada jark yang paling jauh dari
titik awal dari cahaya putih, sedangkan cahaya merah berada pada jarak yang paling
dekat. Kemudian untuk indeks bias sendiri akan berpengaruh juga pada pembengkokan
dari cahaya yang dihasilkan nantinya semakin besar nilai indeks biasnya maka akan
semakin kecil sudut pembiasannya yang artinya, cahaya akan semakin dibengkokan
kepada garis normalnya.

153
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan percobaan indeks biar prisma yang telah dilakukan ini dapat
disimpulakan bahwa cahaya putih adalah hasil penggabungan dari warna cahaya pelangi,
sehingga pada dasarnya pembentukan cahaya ini dapat dipisahkan dengan penggunaan
prisma. Pemisahan pembentukan cahaya ini dilakukan berdasarkan Panjang gelombang
dari masing-masing cahaya pembentukannya. Dengan penggunaan filter warna merah,
hijau, dan biru didapatkan urutan jarak masing-masing warna mulai dari yang terdekat
hingga yang terjauh adalah merah-hijau-biru. Pengurutan warna ini sesuai dengan teori
disperse cahaya berdasar panjang gelombangnya.

4.2 Saran

Disarankan sebelum dilakukannya percobaan ini, terlebih dahulu paham akan teori
dan prinsip-prinsip mendasar dari gelombang elektromagnetik, prisma dan indeks bias
agar dapat dilakukan percobaan dengan baik dan benar.

154
Daftar Pustaka
Abdullah, Mikrajudin. 2017. Fisika Dasar II. ITB: Bandung.
Giancoli, Douglas C. 2016. Physics: Principles with Application, seventh edition. New York:
Pearson Eduacation

155
LAMPIRAN

156

Anda mungkin juga menyukai