1
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(HUKUM OHM)
(PERCOBAAN – LM1)
Disusun oleh :
Nama :
NIM :
Tgl. Praktikum :
JURUSAN FISIKA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
1
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(HUKUM OHM)
Nama :
NIM :
Kelompok :
Tgl. Praktikum :
Catatan :
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Pada percobaan kali ini, tujuan yang ingin dicapai ialah diperolehnya pemahaman
konsep tentang hukum ohm dan pemahaman penentuan besarnya arus dan tegangan listrik
dalam suatu rangkaian.
1𝑉
1Ω = 1 𝐴 … (1.1)
Dalam restivitas suatu material adalah sama ke segala arus. Hambatan dari perangkat
tergantung pada bahan yang membuat perangkat serta geometri. Hal ini mencirikan seberapa
besar besar melawan aliran arus. Restivitas didefinisikan dalam medan listrik (E) dan
besarnya kerapatan arus yang dihasilkan. Restivitas adalah ukuran kuat lemahnya suatu
material menentang aliran arus listrik.
𝐸
Ρ= … (1.2)
𝐽
(Bauer,2011).
Pada persamaan hukum ohm dimana V = I.R adalah rumus yang dikenal umum
sebagai hukum ohm, dimana kuat arus dan hambatan berpengaruh langsung pada persamaan
tersebut. Untuk suatu konduktor tertentu, relasinya pada grafik itu linier. Berbeda dengan
konduktor lainnya, hasil grafik yang ditunjukkan tidak linier. Hukum ohm tidak seperti
hukum dasar seperti hukum newton atau termodinamika tetapi bersifat empiris dari suatu
bahan dalam kondisi tertentu. Sifat ketahanan konduktor bervariasi dengan suhu. Hukum
ohm akan berupa pernyataan bahwa arus yang melalui konduktor logam sebanding dengan
tegangan yang diberikan sehingga R konstan, tidak bergantung pada V, untuk konduktor
logam. Akan tetapi, tidak berlaku umum untuk bahan dan alat lain seperti diode, tabung
hampa udara, transistor, dan sebagainya. “hukum ohm bukan merupakan hukum dasar
melainkan deskripsi mengenai kelas bahan (konduktor logam) tertentu (Tipler,2008).
3
Gambar grafik hubungan V-I pada hukum ohm (Tipler,2008).
Dari grafik yang terbentuk adalah tetap. Sifat hambatan yang digunakan ohmik. Nilai
hambatan berdasarkan grafik diperoleh dengan persamaan :
R = tan … (1.3)
Dengan R = besar hambatan (Ω) ; tan = kemiringan grafik.
Maka dari itu, sifat hambatan dapat disimpulkan sebagai sebagai berikut :
1. Sebanding dengan tegangan yang ditimbulkannya
2. Berbanding terbalik dengan hambatan kawat penghambat (Pauliza,2008)
Pada analisis data diperoleh bahwa perbandingan antara beda potensial V dengan
kuat arus I kumparan pada tegangan output tertentu ada yang konsisten terhadap hukum ohm
pada medium tertentu, ada juga yang tidak konsisten terhadap hukum ohm. Bahan yang
konsisten terhadap hukum ohm sampai dengan yang tidak konsisten terhadap hukum ohm
adalah minyak, tanah, air, udara berangin, dan udara. Minyak merupakan medium yang
dapat merendam panas sehingga perbandingan antara beda potensial dengan kuat arus listrik
mendekati hukum ohm, berbeda dengan udara yang tidak dapat merendam panas sehingga
hasilnya menjauhi hukum ohm dibandingkan dengan medium lain (Soemantri,2010).
Arus listrik dapat mengalir jika mempunyai sumber listrik sebagai penyedia beda
potensial (V). Baterai dapat berperan sebagai penyedia beda potensial (V) yang mengalir
dari kutub (+) menuju kutub (-). Hal ini dikarenakan persamaan V = I.R yang menyimpulkan
bahwa I V. pada hukum ini dapat kita analogikan dengan analogi air. Air yang mengalir
akan dipengaruhi oleh gaya tarik bumi/gravitasi. Makin besar perbedaan ketinggian, makin
besar arus. Demikian mengapa ketinggian menyebabkan aliran beda potensial makin besar
kuat arus yang mengalir pula. Disungai terdapat banyak batu yang akan menghambat aliran
yang dimiliki air sungai tersebut. Ini juga dapat dianalogikan sebagai penghambat dalam
rangkaian listrik atau yang biasa kita sebut sebagai resistor yang bersifat resistan. Dengan
cara yang sama electron-elektron diperlambat dikarenakan adanya interaksi dengan atom-
atom kawat (Giancoli, 2001).
Pada hukum ohm, kerapatan dapat memengaruhi rangkaian. Hambatan ρ dari
sebuah konduktor tertentu dikaitkan dengan resistivitas tertentu material itu oleh :
R = ρ L/A ...(1.4)
4
Dengan R = hambatan (Ω)
Ρ = restivitas/kerapatan
L = panjang kondutor (m)
A = luas permukaan konduktor (𝑚2 ) (Lerner,1996).
5
BAB II
METODOLOGI
Rangkaian dibuat seri seperti pada gambar 3A, harga R yang dipilih = 1kΩ.
Hal yang sama dilakukan dan dilakukan pencatatan dan ditabelkan hasil
pengukuran V serta I untuk R = 1.5kΩ dan R = 2kΩ.
6
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
I (10−3 )(A)
V (volt)
R = 100Ω R = 220Ω R = 300Ω
0 0 0 0
4 41,2 19 15
6 61,9 28,5 23
8 83,6 38,2 31
3.2 Grafik
3.2.1 R = 100Ω
0 0
2 20,3
4 41,2
6 61,9
8 83,6
10 104,5
7
• Sentroid = 𝑥̅ , 𝑦̅ = (5 ; 51,92 x 10−3 )
Δ𝑦 (60−45)(𝟏𝟎−𝟑 )
• Tan 𝜃 = = = 13,08 x 10−3
Δ𝑥 (5,6−4,3)
• 𝜃 = 0,75°
1 1
• 𝑅 = tan 𝜃 = 13,08 x 10−3 = 76,4Ω
𝑦𝑎−𝑦𝑏 (68−35)x 10−3
• 𝐾𝑟 = x 100% = (2 𝑥 51,92)x 10−3 x 100% = 32%
2𝑦̅
3.2.2 R = 220Ω
0 0
2 9,5
4 19
6 28,5
8 38,2
10 47,8
8
• Sentroid = 𝑥̅ , 𝑦̅ = (5 ; 23,83 x 10−3 )
Δ𝑦 (27,5−19,5)(𝟏𝟎−𝟑 )
• Tan 𝜃 = Δ𝑥 = = 6,15 x 10−3
(5,7−4,4)
• 𝜃 = 0,35°
1 1
• 𝑅 = tan 𝜃 = 6,15 x 10−3 = 162Ω
𝑦𝑎−𝑦𝑏 (31−15)x 10−3
• 𝐾𝑟 = x 100% = (2 𝑥 23,83)x 10−3 = 33%
2𝑦̅
3.2.3 R = 300Ω
0 0
2 7,5
4 15
6 23
8 31
10 59,5
9
• Sentroid = 𝑥̅ , 𝑦̅ = (5 ; 22,67 x 10−3 )
Δ𝑦 (26−18)(𝟏𝟎−𝟑 )
• Tan 𝜃 = Δ𝑥 = = 4,7 x 10−3
(5,7−4,0)
• 𝜃 = 0,27°
1 1
• 𝑅 = tan 𝜃 = 4,7 𝑥 10−3 = 213Ω
𝑦𝑎−𝑦𝑏 (31,5−13)x 10−3
• 𝐾𝑟 = x 100% = (2 𝑥 22,67)x 10−3 x 100% = 40%
2𝑦̅
3.4 Pembahasan
Pada praktikum dengan materi Hukum Ohm digunakan beberapa alat, diantaranya
ada power supply (sumber daya AC/DC), sebuah voltmeter, sebuah amperemeter,
beberapa resistor, jumper, papan rangkaian, dan beberapa kabel konektor. Power supply
berfungsi sebagai sumber listrik pada rangkaian. Voltmeter berfungsi untuk pengukuran
nilai tegangan pada rangkaian. Amperemeter berfungsi untuk pengukuran arus pada
rangkaian. Beberapa resistor (100 Ω, 220 Ω dan 300 Ω) berfungsi sebagai hambatan arus
pada rangkaian. Jumper berfungsi sebagai penghubung komponen yang terpisah pada
papan rangkaian. Papan rangkaian berfungsi sebagai tempat rangkaian tersebut disusun.
Dan yang terakhir ada kabel konektor yang berfungsi sebagai penghubung antar alat yang
terdapat pada rangkaian listrik.
Dalam percobaan Hukum Ohm yang pertama kali dilakukan yaitu disusun
rangkaian seperti pada gambar percobaan (A) pada papan rangkaian, dimana amperemeter
dan resistor disusun seri dengan sumber tegangan arus dan kemudian dipararelkan dengan
voltmeter. Diberi hambatan pada resistor sebesar 100 Ω. Kemudian dihidupkan sumber
tegangan dan diatur besarnya voltmeter 2 volt dengan cara diputarnya besar tegangan pada
power supply. Sebelum itu posisikan putaran voltmeter dan amperemeter sesuai dengan
10
petunjuk asisten. Dibaca besarnya nilai arus yang terlihat pada amperemeter dan dicatat
hasilnya pada table hasil percobaan. Dilakukan hal yang sama pada tegangan sebesar
2V,4V, 6V, 8V, dan 10V untuk setiap nilai 100 Ω, 220 Ω dan 300 Ω.
3.4.2 Analisa Hasil
Dari percobaan yang telah dilakukan di dapatkan data yang beragam. Berdasarkan
Hukum Ohm, besarnya beda potensial atau tegangan listrik (V) diantara ujung penghantar
adalah sebading dengan arus listrik (I) yang melaluinya. Hal tersebut berarti jika nilai (V)
tinggi, maka nilai arus listrik (I) juga tinggi. Dan jika nilai hambatan (R) besar maka nilai
(I) akan kecil. Pada data hasil percobaan untuk R=100 Ω di dapatkan data yang sesuai, hal
ini dapat dilihat pada nilai V=2V yang memiliki arus (I) sebesar 0,02 A. kesesuaian hasil
percobaan tersebut karena sudah telitinya para praktikan dalam melakukan praktikum,
terutama dalam membaca nilai arus yang terdapat pada multimeter. Untuk R=220 Ω juga
didapatkan data yang sesuai, dimana pada nilai V=4V memiliki arus listrik (I) sebesar
0,019 A, begitu pula untuk nilai tegangan yang lainnya, sesuai dengan persamaa I=V/R.
Untuk nilai hambatan R=300 Ω didapatkan data arus listrik (I) yang cukup akurat. Hal ini
dapat dilihat pada salah satu nilai V=6V yang memiliki arus (I) sebesar 0,023A. seharusnya
pada saat R=300 Ω dan V=6V memiliki kuat arus sebesar 0,2A. walaupun memiliki selisih
yang cukup kecil yaitu senilai 0,003 A namun nilainya cukup akurat, hal ini disebabkan
karena angka hasil pengukuran (I) pada multimeter yang nilainya selalu berubah-ubah dan
tidak tetap.
Berdasarkan grafik yang ada, dapat diketahui besarnya nilai hambatan (R) dan
kesalahan relatif (Kr). Nilai hambatan (R) yang didapatkan dari grafik tersebut nilainya
kurang mendekati dengan (R) yang dipasang pada rangkaian. Seperti pada R 1=100 Ω
diperoleh pada grafik R1=76,4 Ω, pada R2=220 Ω diperoleh pada grafik R2=162 Ω, serta
pada R3=300 Ω diperoleh pada grafik sebesar R3=213 Ω. Perbedaan nilai R ini disebabkan
karena kurang telitinya praktikan dalam menggambar grafik, serta penentuan skala dalam
grafik yang kurang sesuai. Selain nilai hambatan (R) juga didapatkan nilai tan θ yang
semakin turun untuk setiap nilai Rnya. Pada R1 didapatkan tan θ sebesar 13,08 x 10-3, pada
R2=6,15 x 10-3 dan R3=4,7 x 10-3. Sedangkan untuk nilai Kr yang didapatkan yaitu
R1=32%, R2=33% dan R3=40%. Besarnya nilai Kr tersebut masih dibawah 50%, jadi masih
bisa dipastikan bahwa nilaiya akurat dan juga presisi. Besarnya nilai Kr yang masih
dibawah 50% tersebut disebabkan oleh adanya pembulatan angka yang kurag tepat pada
saat perhitungan data.
Pada kedua multimeter yang dipasang pada rangkaian, salah satunya digunakan
sebagai amperemeter dan yang lain sebagai voltmeter. Amperemeter merupakan alat ukur
yang digunakan untuk mengukur arus listrik di suatu titik. Dengan demikian, alat harus
dirangkai secara seri karena besar arus pada rangkaian seri tetap sama. Jika dipasang
pararel maka arus akan berbeda disetiap cabang dan arus listrik akan terbagi menjadi
beberapa bagian. Sedangkan voltmeter merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
suatu tegangan listrik dan suatu perbedaan antara satu titik dengan titik yang lain sehingga
harus dipasang pararel. Jika dipasang secara seri, maka tidak akan ada yang terukur karena
tidak mendeteksi adaya perubahan suatu tegangan.
11
Penerapan atau aplikasi dari Hukum Ohm salah satunya adalah dalam menyalakan
lampu LED. LED (Light Emitting Diode) merupakan diode yang dapat memancarkan
cahaya, dan untuk menyalakannya kita harus tahu beberapa tegangan dan arus yang dapat
dihantarkan LED. Umumnya LED bekerja pada tegangan 1,5 volt-4,5 volt dengan arus 2
mA-50 mA. Untuk mendapatkan arus tersebut maka digunakan Hukum Ohm, dimana
V=IxR. LED dirangkai dengan transistor, kabel dan komponen-komponen yang lainnya
diatas project board. Kemudian hubungkan rangkaian tersebut dengan sumber
(adaptor/baterai), maka LED akan menyala dengan sangat terang.
12
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Konsep dasar dari Hukum Ohm yaitu hambatan tergantung dengan besar kecilnya
tegangan ataupun arus listrik yang mengalir. Hukum Ohm menyatakan bahwa beda
potensial atau tegangan listrik V sebanding dengan arus listrik (I) yang melaluiya.
Besarnya arus dapat ditentukan dengan memberikan beda potensial atau tegangan listrik
pada rangkaian, sehingga arus dapat timbul. Besarnya tegangan dapat diatur melalui
voltmeter yang dihubungkan ke sumber tegangan. Nilai dari arus dan tegangan ini
sebanding, dimana semakin besar tegangan maka semakin besar pula arusnya, dan semakin
kecil tegangan tersebut maka arusnya akan semakin kecil.
4.2 Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
Bauer, Wolfgang and Gary D.Westfall. 2011. University Physics With Modern Physics. New
York: Mc Graw-Hill
Lerner, Lawrence S. 1996. Physics For Scientist And Engineers. Volume 2. Boston: Joston and
Barlett Publishers
Soemanti, Sandi., dkk (2010) Konsistensi Hambatan Kawat Kumparan Terhadap Hukum Ohm
Pada Berbagai Medium. Hal 84-88. Yogyakarta
Tipler, Paul A. 2008. Physics For Scientist And Engineers. New York: WH Freeman Company
14
(Bauer,2011)
15
(Tipler,2008)
16
(pauliza,2008)
17
(Soemantri,2010)
(Giancoli,2001)
18
(Lerner,1996)
19
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(JEMBATAN WHEATSONE)
(PERCOBAAN – LM2)
Disusun oleh :
Nama :
NIM :
Tgl. Praktikum :
JURUSAN FISIKA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
20
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(JEMBATAN WHEATSTONE)
Nama :
NIM :
Kelompok :
Tgl. Praktikum :
Catatan :
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
21
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Setelah percobaan jembatan wheatstone diselesaikan kita dapat peroleh penjelasan
tentang dasar pengukuran hambatan listrik dengan metode arus nol serta dapat ditentukan
nilai suatu hambatan listrik dengan metode jembatan wheatstone.
R=ρL/A
... (1.1)
Dengan R tahanan, L panjang bahan, A luas penampang bahan, tahan jenis bahan
(Abdullah, 2017).
Untuk mencapai kesetimbangan pada jembatan wheatstone, rasio dari dua resistor
pada sisi kiri jembatan sama atau sebanding dengan rasio pada dua resistor sisi kanan
jembatan. Namun, cara yang lebih baik untuk menampilkan kondisi kesetimbangan pada
kondisi nilai resistor adalah jika hasil dari dua resistor yang berhadapan secara diagonal
sebanding dengan hasil dari dua resistor yang berhadapan secara diagonal pada diagonal lain
, sehingga jembatannya akan seimbang dan arus sebesar nol akan mengalir ke tengah
R4 = R2R3/R1
... (1.3)
Jika resistor R,R,R dapat diukur pada nilai yang diketahui, dan disesuaikan hingga alat
pengukur arus sensitif yang ada di tengah mengindikasikan nol arus, maka diperoleh basis
untuk alat pengukur tahanan yang sensitif (Robertson, 2008).
22
BAB II
METODOLOGI
Praktikum Fisika Dasar II tentang jembatan wheatstone alat dan bahan yang digunakan
adalah bangku jembatan wheatstone, sebuah galvanometer, sumber tegangan arus searah,
beberapa buah hambatan yang akan ditentukan nilai (Rx), sebuah hambatan standar yang
diketahui nilainya (Rs) serta kabel-kabel penghubung.
23
BAB III
3.1.1 Rx1
Polaritas A Polaritas B
Rs (Ω)
L1 L2 L1 L2
470 0,31 0,69 0,32 0,68
1000 0,5 0,5 0,51 0,49
1500 0,61 0,39 0,61 0,39
2000 0,64 0,36 0,67 0,33
3300 0,77 0,23 0,78 0,22
3.1.2 Rx2
Polaritas A Polaritas B
Rs (Ω)
L1 L2 L1 L2
470 0,31 0,69 0,32 0,68
1000 0,5 0,5 0,51 0,49
1500 0,61 0,39 0,61 0,39
2000 0,64 0,36 0,67 0,33
3300 0,77 0,23 0,78 0,22
3.1.3 Rx3
Polaritas A Polaritas B
Rs (Ω)
L1 L2 L1 L2
470 0,31 0,69 0,32 0,68
1000 0,5 0,5 0,51 0,49
1500 0,61 0,39 0,61 0,39
2000 0,64 0,36 0,67 0,33
3300 0,77 0,23 0,78 0,22
24
3.2 Perhitungan
3.2.1 Rx1
Polaritas A Polaritas B
No
Rx (Ω) |Rx-Rx|2 Rx(Ω) |Rx-Rx|2
1 1046,13 572,03 998,75 1015,77
2 1000 536,94 960,78 37,14
3 959,02 4115,93 959,02 61,82
4 1125 10368,95 985,07 331,08
5 985,71 1403,08 930,77 1303,91
Polaritas A
𝐿2
• 𝑅𝑥 = 𝑅𝑠 × 𝐿1
𝑅𝑥1 = 1046,13 𝛺
𝑅𝑥2 = 1000 𝛺
𝑅𝑥3 = 959,02 𝛺
𝑅𝑥4 = 1125 𝛺
𝑅𝑥5 = 985,71 𝛺
∑𝑅𝑥
• ̅̅̅̅
𝑅𝑥 = 𝑛 = 1023,17Ω
• |𝑅𝑥 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2
|𝑅𝑥 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 577,03 𝛺
|𝑅𝑥 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 536,94 𝛺
̅̅̅̅|2
|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥 = 4115,93 𝛺
̅̅̅̅|2
|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥 = 10368,95 𝛺
̅̅̅̅|2
|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥 = 1403,08 𝛺
̅̅̅̅̅
∑|𝑅𝑥−𝑅𝑥|
• 𝛿𝑅𝑥 = √ 𝑛−1
16951,93
𝛿𝑅𝑥 = √
4
𝛿𝑅𝑥 = 65, 10𝛺
𝛿𝑅𝑥
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = ̅̅̅̅
× 100%
𝑅𝑥
65,10
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
1023,17
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 0,06 %
• ̅̅̅̅ ± 𝛿𝑅𝑥
𝑅𝑥 = 𝑅𝑥
25
𝑅𝑥 = 1088,27𝛺 ± 958,07𝛺
Polaritas B
𝐿2
• 𝑅𝑥 = 𝑅𝑠 × 𝐿1
𝑅𝑥1 = 998,75 𝛺
𝑅𝑥2 = 960,78 𝛺
𝑅𝑥3 = 959,02 𝛺
𝑅𝑥4 = 985,07 𝛺
𝑅𝑥5 = 930,77 𝛺
∑𝑅𝑥
• ̅̅̅̅
𝑅𝑥 = 𝑛 = 966,88Ω
• |𝑅𝑥 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2
|𝑅1 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 1015,77 𝛺
|𝑅2 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 37,14 𝛺
|𝑅3 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 61,82 𝛺
̅̅̅̅|2
|𝑅4 − 𝑅𝑥 = 331,08 𝛺
̅̅̅̅|2
|𝑅5 − 𝑅𝑥 = 1303,91 𝛺
̅̅̅̅̅
∑|𝑅𝑥−𝑅𝑥|
• 𝛿𝑅𝑥 = √ 𝑛−1
2749,72
𝛿𝑅𝑥 = √
4
𝛿𝑅𝑥 = 26,22𝛺
𝛿𝑅𝑥
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = ̅̅̅̅
× 100%
𝑅𝑥
26,22
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
966,88
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 0,03 %
• 𝑅𝑥 = ̅̅̅̅
𝑅𝑥 ± 𝛿𝑅𝑥
𝑅𝑥 = 993,10𝛺 ± 940,66 𝛺
3.2.1 Rx2
Polaritas A Polaritas B
No
Rx (Ω) |Rx-Rx|2 Rx(Ω) |Rx-Rx|2
1 1573,48 3661,03 1488,33 469,85
2 1500 168,27 1500,00 100,19
3 1500 167,27 1500,00 100,19
4 1508,77 17,64 1508,77 1,53
5 1482,61 921,92 1552,94 1843,15
26
Polaritas A
𝐿2
• 𝑅𝑥 = 𝑅𝑠 × 𝐿1
𝑅𝑥1 = 1573,48 𝛺
𝑅𝑥2 = 1500 𝛺
𝑅𝑥3 = 1500 𝛺
𝑅𝑥4 = 1508,77 𝛺
𝑅𝑥5 = 1482,61 𝛺
• ̅̅̅̅|2
|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥
̅̅̅̅|2
|𝑅1 − 𝑅𝑥 = 3661,03 𝛺
̅̅̅̅|2
|𝑅2 − 𝑅𝑥 = 168,27 𝛺
̅̅̅̅|2
|𝑅3 − 𝑅𝑥 = 167,27 𝛺
|𝑅4 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 17,64 𝛺
|𝑅5 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 921,92 𝛺
̅̅̅̅̅
∑|𝑅𝑥−𝑅𝑥|
• 𝛿𝑅𝑥 = √ 𝑛−1
4937,12
𝛿𝑅𝑥 = √
4
𝛿𝑅𝑥 = 35,13𝛺
𝛿𝑅𝑥
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = ̅̅̅̅
× 100%
𝑅𝑥
65,10
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
1023,17
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 0,02 %
• ̅̅̅̅ ± 𝛿𝑅𝑥
𝑅𝑥 = 𝑅𝑥
𝑅𝑥 = 1548,10 𝛺 ± 1477,84 𝛺
Polaritas B
𝐿2
• 𝑅𝑥 = 𝑅𝑠 × 𝐿1
𝑅𝑥1 = 2467,50 𝛺
𝑅𝑥2 = 2030,30 𝛺
𝑅𝑥3 = 1909,09 𝛺
𝑅𝑥4 = 2000𝛺
𝑅𝑥5 = 1938,10 𝛺
27
• ̅̅̅̅ = ∑𝑅𝑥 = 2069 Ω
𝑅𝑥 𝑛
• ̅̅̅̅|2
|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥
̅̅̅̅|2
|𝑅1 − 𝑅𝑥 = 15803,98 𝛺
|𝑅2 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 1497,29 𝛺
|𝑅3 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 25507,23 𝛺
|𝑅4 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 4706,70 𝛺
|𝑅5 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 17135,49 𝛺
̅̅̅̅̅
∑|𝑅𝑥−𝑅𝑥|
• 𝛿𝑅𝑥 = √ 𝑛−1
207767,68
𝛿𝑅𝑥 = √
4
𝛿𝑅𝑥 = 227,91 𝛺
𝛿𝑅𝑥
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
̅̅̅̅
𝑅𝑥
277,91
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
2069
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 0,11 %
• ̅̅̅̅ ± 𝛿𝑅𝑥
𝑅𝑥 = 𝑅𝑥
𝑅𝑥 = 2296,91 𝛺 ± 1841,09 𝛺
3.2.3 Rx3
Polaritas A Polaritas B
No
Rx (Ω) |Rx-Rx|2 Rx(Ω) |Rx-Rx|2
1 2663,33 102896,29 2467,50 158803,98
2 2125,00 47331,84 2030,30 1497,29
3 2554,05 44730,23 1909,09 25570,23
4 2347,83 27,74 2000,00 4760,70
5 2022,58 102386,03 1938,10 17135,49
Polaritas A
𝐿2
• 𝑅𝑥 = 𝑅𝑠 × 𝐿1
𝑅𝑥1 = 2663,33 𝛺
𝑅𝑥2 = 2125 𝛺
𝑅𝑥3 = 2554,05 𝛺
𝑅𝑥4 = 2347,83 𝛺
𝑅𝑥5 = 2022,58 𝛺
28
• ̅̅̅̅ = ∑𝑅𝑥 = 2342,56 Ω
𝑅𝑥 𝑛
• ̅̅̅̅|2
|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥
̅̅̅̅|2 = 102896,29 𝛺
|𝑅1 − 𝑅𝑥
|𝑅2 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 47331,84 𝛺
|𝑅3 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 44730,23 𝛺
|𝑅4 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 27,74 𝛺
|𝑅5 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 102386,03 𝛺
̅̅̅̅̅
∑|𝑅𝑥−𝑅𝑥|
• 𝛿𝑅𝑥 = √ 𝑛−1
297372,14
𝛿𝑅𝑥 = √
4
𝛿𝑅𝑥 = 272,66 𝛺
𝛿𝑅𝑥
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
̅̅̅̅
𝑅𝑥
272,66
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
2342,56
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 0,12 %
• 𝑅𝑥 = ̅̅̅̅
𝑅𝑥 ± 𝛿𝑅𝑥
𝑅𝑥 = 2615,22 𝛺 ± 2069,90 𝛺
Polaritas B
𝐿2
• 𝑅𝑥 = 𝑅𝑠 × 𝐿1
𝑅𝑥1 = 2467,50 𝛺
𝑅𝑥2 = 2030,30 𝛺
𝑅𝑥3 = 1909,09 𝛺
𝑅𝑥4 = 2000 𝛺
𝑅𝑥5 = 1938,10 𝛺
• ̅̅̅̅|2
|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥
̅̅̅̅|2
|𝑅1 − 𝑅𝑥 = 15803,98 𝛺
|𝑅2 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 1497,29 𝛺
|𝑅3 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 25507,23 𝛺
|𝑅4 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 4706,70 𝛺
|𝑅5 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥|2 = 17135,49 𝛺
29
̅̅̅̅̅
∑|𝑅𝑥−𝑅𝑥|
• 𝛿𝑅𝑥 = √ 𝑛−1
207767,68
𝛿𝑅𝑥 = √
4
𝛿𝑅𝑥 = 227,91 𝛺
𝛿𝑅𝑥
• 𝐾𝑟𝑅𝑥 = ̅̅̅̅
× 100%
𝑅𝑥
277,91
𝐾𝑟𝑅𝑥 = × 100%
2069
𝐾𝑟𝑅𝑥 = 0,11 %
• 𝑅𝑥 = ̅̅̅̅
𝑅𝑥 ± 𝛿𝑅𝑥
𝑅𝑥 = 2296,91 𝛺 ± 1841,09 𝛺
3.3 Grafik
No 1/Rs L2/L1
1 1/470 2,23
2 1/1000 1
3 1/1500 0,64
4 1/2000 0,56
5 1/3300 0,29
∑ 1/𝑅𝑠
• 𝑥̅ = = 9,22 x 10-4
𝑛
∑ 𝐿2/𝐿1
• 𝑦̅ = = 0,94
𝑛
30
3.3.2 Rx1 (Polaritas B)
No 1/Rs L2/L1
1 1/470 2,13
2 1/1000 0,96
3 1/1500 0,64
4 1/2000 0,49
5 1/3300 0,28
∑ 1/𝑅𝑠
• 𝑥̅ = = 9,22 x 10-4
𝑛
∑ 𝐿2/𝐿1
• 𝑦̅ = = 0,9
𝑛
31
3.3.3 Rx2 (Polaritas A)
No 1/Rs L2/L1
1 1/470 3,35
2 1/1000 1,5
3 1/1500 1
4 1/2000 0,75
5 1/3300 0,45
∑ 1/𝑅𝑠
• 𝑥̅ = = 9,22 x 10-4
𝑛
∑ 𝐿2/𝐿1
• 𝑦̅ = = 1,41
𝑛
32
3.3.4 Rx2 (Polaritas B)
No 1/Rs L2/L1
1 1/470 3,35
2 1/1000 1,5
3 1/1500 0,96
4 1/2000 0,72
5 1/3300 0,43
∑ 1/𝑅𝑠
• 𝑥̅ = = 9,22 x 10-4
𝑛
∑ 𝐿2/𝐿1
• 𝑦̅ = = 1,39
𝑛
33
3.3.5 Rx3 (Polaritas A)
No 1/Rs L2/L1
1 1/470 5,67
2 1/1000 2,13
3 1/1500 1,7
4 1/2000 1,17
5 1/3300 0,61
∑ 1/𝑅𝑠
• 𝑥̅ = 𝑛
= 9,22 x 10-4
∑ 𝐿2/𝐿1
• 𝑦̅ = = 2,26
𝑛
34
3.3.6 Rx3 (Polaritas B)
No 1/Rs L2/L1
1 1/470 5,25
2 1/1000 2,03
3 1/1500 1,27
4 1/2000 1
5 1/3300 0,59
∑ 1/𝑅𝑠
• 𝑥̅ = = 9,22 x 10-4
𝑛
∑ 𝐿2/𝐿1
• 𝑦̅ = = 2,03
𝑛
35
3.4 Pembahasan
Dalam praktikum jembatan wheatstone ini digunakan beberapa alat berupa bangku
jembatan wheatstone, sebuah galvanometer, sumber tegangan arus searah, beberapa buah
hambatan yang akan ditentukan nilainya (Rx), sebuah hambatan standart yang diketahui
nilainya (Rs) serta kabel-kabel penghubung. Semua alat yang digunakan memiliki fungsinya
masing-masing. Rangkaian jembatan wheatstone jenis kawat geser untuk penentuan nilai
suatu hambatan (L1 dan L2). Galvanometer digunakan untuk pengukur nilai arus. Sumber
tegangan arus searah digunakan untuk sumber listrik yang berfungsi sebagai penghasil atau
penimbul gaya magnet. Beberapa buah hambatan yang akan ditentukan nilainya (Rx)
merupakan resistor variable tahanan yang akan ditentukan besarannya sebagai resistor yang
akan dicari nilainya. Sebuah hambatan standart yang diketahui nilainya berfungsi sebagai
pembantu hambatan yang akan dicari nilai resistornya. Serta kabel-kabel penghubung yang
berfungsi sebagai penghubung arus lstrik yang mengalir.
Dalam praktikum kali ini ada langkah-langkah dan fungsi langkah tersebut. Hal ini
dilakukan agar simulasi jembatan wheatstone sesuai dengan yang diharapkan. Disiapkan alat
dan disusun rangkaian dengan hambatan yang dicari dan hambatan standart berfungsi sebagai
tempat berlangsungnya simulasi jembatan wheatstone. Dihubungkan rangkaian yang benar
dengan sumber tegangan berfungsi agar rangkaian bias penimbul medan listrik untuk
penimbul arus agar dapat hambatan yang dicari nilainya dapat diketahui. Digeser kontak K
pada kawat sampai jarum galvanometer menunjuk ke angka nol tersebut merupakan prinsip
percobaan sebagai penemu hambatan yang belum diketahui nilainya (Rx) berdasarkan
hambatan yang sudah diketahui nilainya (Rs) dengan mengubah-ubah panjang L1 dan L2
hingga jarum galvanometer menunjuk ke angka nol. Hal diatas diulangi untuk nilai Rs yang
sama dengan diubah kutub sumber tegangan berfungsi untuk pembeda nilai hambatan yang
dicari nilainya (Rx) dengan diubahnya kutub sumber tegangan. Diulangi langkah diatas untuk
Rx yang sama dengan diubah nilai Rs beberapa kali berfungsi untuk Rx yang sama dengan
diubah nilai Rs beberapa kali berfungsi untuk pembeda nilai hambatan yang didapat, jika nilai
36
Rs yang diubah. Serta diulangi percobaan untuk harga Rx yang lain untuk penentu atau
penmbul beberapa ralat yang dihasilkan.
Dari hasil percobaan didapatkan beberapa data dalam percobaan ini. Kita bisa
memperoleh nilai hambatan yang dicari (Rx) pada polaritas A dipercobaan pertama dengan
rata-ratanya 1023,17 ohm dan pada polaritas A dipercobaan pertama dengan ralatnya 66,10
dengan kr nya 0,06%. Pada polaritas B dipercobaan pertama didapatkan rata-rata Rx nya
sebesar 966,88 ohm dengan ralatnya yaitu 26,22 serta kr nya 0,03%. Pada percoban kedua
didapat polaritas A dan B. polaritas A memiliki nilai rata-rata Rx nya 1512,972 dengan ralat
35,13 serta kr nya 0,02%. Polaritas B memiliki nilai rata-rata Rxnya 14475,44 dengan ralat
62,98 serta kr nya 0,04%. Serta pada percobaan ketiga didapat polaritaas A dan B. Polaritas
A memiliki nilai rata-rata Rxnya 2342,562 dengan ralat 272,66 serta kr nya 0,12%. Polaritas
B memiliki rata-rata nilai Rxnya 20692 dengan ralatnya 227,91 serta kr nya 0,11%. Dari
beberapa kali percobaan didapatkan nilai rata-rata Rx yang berbeda, ralat serta kr yang
berbeda disebabkan oleh diubahnya kutub sumber tegangan yang dapat menimbulkan nilai
yang berbeda serta kesalahan praktikan melakukan praktikum dalam kondisi yang berbeda-
beda.
Selain didapatkan data berupa perhitungan, didapatkan pula data berupa grafik. Pada
percobaan pertama terdapat polaritas A dan polaritas B. pada polaritas A dengan centroid
(9,22.10−4;0,94) terdapat kr sebesar 48%. Pada polaritas B dengan centroid (9,22.10−4;0,9)
dengan kr sebesar 39%. Pada percobaan kedua didapat polaritas A dan polaritas B. Pada
polaritas A dengan centroid (9,22.10−4;1,41) dengan kr sebesar 32%. Pada polaritas B dengan
centroid (9,22.10−4;1,39) dengan kr sebesar 29%. Serta pada percobaan ketiga terdapat
polaaritas A dan B. Pada polaritas dengan centroid (9,22.10−4 ;2,26) dengan krnya 20%. Pada
polaritas B dengan centroid (9,22.10−4;2,03) dengan krnya 25%. Ralat yang didapat dari
beberapa percobaan jauh berbeda dengan yang terdapat di grafik dengan ang didata
perhitungan. Hal ini disebabkan mungkin terdapat kessalahaaan dari praktikan dalam
membuat grafik.
Didalam percobaan jembatan wheatstone terdapat hokum yang terikat yaitu hokum
ohm dan prinsip arus nol. Hukum ohm menyatakan “jika suatu arus listrik melalui suatu
penghantar, maka kekuatan arus tersebut adalah sebanding arus dan tegangan listrik yang
terdapat diantara kedua ujung penghantar tadi”. Secara sistematis hukum ohm ditulis:
Prinsip arus nol dimana digunakan dalam menentukan hambatan yang telah diketahui
nilainya (Rx) berdasarkan hambatan yang telah diketahui nilainya (Rs) dengan mengubah-
ubah panjang L1 dan L2 hingga jarum galvanometer menunjuk angka nol. Selain itu pada
hukum kirchoff I dan kirchoff II, hukum kirchoff I menyatakan bahwa semua arus yang
menuju titik cabang adalah nol.
∑ 𝐼𝑅 + ∑ 𝐼 𝑘𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟 ...(3. 2)
37
Hukum kirchoff II menyatakan bahwa jumlah aljabar beda potensial dirangkaian tertutup
adalah nol.
∑ 𝐼𝑅 + ∑ 𝐸=0 ...(3. 3)
Jembatan wheatstone banyak digunakan untuk mengukur resistansi kecil dan karena
itu digunakan dalam aplikasi seperti pengukur regangan dan thermometer perlawanan
jembatan wheatstone adalah bagian integral dari dalam suhu rendah. Hambatan dari
perubahan transmitor karena suhu itu terkena perubahan. Suhu dan ketahanan dari termister
adalah berbanding terbalik satu sama lain. Ini berarti bahwa jika suhu meningkat thermistor
ketahanan menurun. Perbedaan suhu dari kedua kaki tercermin melintasi jembatan yang alarm
terpasang. Perbedaan suhu akan mengaktifkan alarm.
38
BAB IV
PENUTUP
4.1 Keimpulan
Didapatkan kesimpulan dari percobaan ini yaitu hambatan listrik dapat diketahui
dengan metode arus NOL, yang artinya tidak ada arus pada titik tersebut dimana ditunjukkan
angka nol pada galvanometer, disini hambatan dapat diketahui nilainya. Penentuan nilai suatu
hambatan listrik dengan metode Jembatan Wheatstone dapat dilakukan dengan cara
penggeseran kontak logam pada kawat yang ada pada rangkaian Jembatan Wheatstone, nilai
hambatan yang belum diketahui (RX), dicari terlebih dahulu hambatan yang diketaui (RV)
dikalikan dengan segmen kawat 1 (L1) yang berbanding terbalik dengan segmen kawat 2 (L2).
4.2 Saran
Disarankan agar lebih teliti pada saat pencatatan nilai yang ditunjukkan oleh
galvanometer serta lebih berhati-hati dan melakukan praktikum dengan sungguh-sungguh
agar didapatkan data dengan sedikit kesalahan relatif.
39
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Mikrajuddin. 2017. Fisika Dasar II. Bandung : Institut Teknologi Bandung Press
Robertson, C.R. 2008. Fundamental Electrical and Electronics Principles. Oxford : Elsevier Ltd
40
LAMPIRAN
41
42
43
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(HUKUM KIRCHOFF)
(PERCOBAAN – LM3)
Disusun oleh :
Nama :
NIM :
Tgl. Praktikum :
JURUSAN FISIKA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
44
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(HUKUM KIRCHOFF)
Nama :
NIM :
Kelompok :
Tgl. Praktikum :
Catatan :
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
45
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Tujuan
Praktikum tentang Hukum Kirchoff ini dilakukan dengan tujuan yaitu agar Hukum
Kirchoff tentang arus dan tegangan listrik dapat dipahami, kegunaan Hukum Kirchoff pada
rangkaian listrik sederhana dapat diterapkan, serta besarnya arus dan tegangan listrik pada
suatu rangkaian listrik DC sederhana dapat diukur
Dapat diasumsikan bahwa arus menuju ke arah titik cabang bernilai positif dan yang
meninggalkan titik cabang bernilai negative. Untuk penerapannya harus ditentukan arah-
arahnya pada setiap titik cabang terlebih dahulu, jika dalam proses perhitungan terdapat
nilai positif makaarah yang diberikan telah benar, jika sebaliknya yaitu nilai negative
berarti arah yang diberikan terbalik
Kemudian terdapat hukum Kirchoff kedua yaitu “ jumlah aljabar gaya gerak listrik
(GGL) dalam setiap rangkaian loop sama dengan jumlah aljabar hasil kali iR”
Arah dari GGL dan arah dari arus herus searah dengan loop, maka arah loop harus
ditentukan terlebih dahulu. Kemudian, yang searah diberi tanda positif dan yang
berlawanan diberi tanda negative ( Yahdi, 1995).
Saat menerapkan Hukum Kirchoff, kita harus membuat keputusan awal permasalahan,
yaitu menetapkan symbol dan arah di titik cabang. Tidak perlu khawatir dalam menentukan
arah yang salah. Selain itu, saat mengaplikasikan aturan loop, kita harus memilih arah loop
dan konsisten dalam searah jarum jam atau tidak, saat melewati loop, catat tegangan naik
dan turunnya ( Serway, 2009)
46
BAB II
METODOLOGI
Percobaan dilakukan untuk sumber tegangan yang berbeda- beda, yaitu dengan
sumber tegangan diatur pada : 0V, 2V, 4V, 6V, 8V, 10V, dan 12V
Harga sumber tegangan E ditetapkan. Arus yang mengalir pada masing- masing
R1 , R2 , dan R3 diukur sebagai I1 , I2 , dan I3
Percobaan dilakukan untuk sumber tegangan yang berbeda- beda, yaitu dengan
sumber tegangan diatur pada : 0V, 2V, 4V, 6V, 8V, 10V, dan 12V
47
BAB III
V1 (Volt) V2 (Volt)
No. V total
R1 = 470 Ω R2 = 470 Ω
1 1,96 0,97 0,99
2 5,76 2,81 2,92
3 8,98 4,37 4,56
4 14,06 6,83 7,14
5 17,79 8,65 9,05
I1 (A) I2 (A)
No. I total
R1 = 470 Ω R2 = 470 Ω
1 0,02 0,01 0,01
2 0,05 0,02 0,02
3 0,06 0,03 0,04
4 0,08 0,04 0,04
5 0,10 0,05 0,05
3.2. Perhitungan
3.2.1. KVL
No. V1 V2 V total
1 0,98 0,98 1,96
2 2,88 2,88 5,76
3 4,49 4,49 8,98
4 7,03 7,03 14,06
5 8,9 8,9 17,8
• V total = V1 + V2
V total = 0,98 + 0,98 = 1,96
V total = 2,88 + 2,88 = 5,76
V total = 4,49 + 4,49 = 8,98
V total = 7,03 + 7,03 = 14,06
V total = 8,9 + 8,9 = 17,8
3.2.2. KCL
No. I1 I2 I total
1 0,98 0,98 1,96
2 2,88 2,88 5,76
3 4,49 4,49 8,98
4 7,03 7,03 14,06
5 8,9 8,9 17,8
• G = 1/ R
G1 = 1/ R1 = 1/ 470 = 0,002
G2 = 1/ R2 = 1/ 470 = 0,002
G total = G1 + G2 = 0,002 + 0,002 = 0,004
• I total = I1 + I2
I total = 0,01 + 0,01 = 0,02
I total = 0,025 + 0,025 = 0,05
I total = 0,03 + 0,03 = 0,06
49
I total = 0,04 + 0,04 = 0,08
I total = 0,05 + 0,05 = 0,10
3.3. Pembahasan
3.3.1. Analisis Prosedur
Dalam praktikum ini digunakan beberapa alat, yaitu baseboard digunakan sebagai
tempat komponen- komponen dirangkai menjadi suatu rangkaian, amperemeter
digunakan untuk diukur arus listrik yang dialirkan pada rangkaian, voltmeter digunakan
untuk diukur teganga pada rangkaian, sumber tegangan digunakan sebagai sumber daya
yang dialirkan pada rangkaian, tahanan digunakan untuk pembatas dari arus yang
dialirkan, selain itu digunakan juga kabel penghubung sebagai penghubung rangkaian.
Dalam praktikum Hukum Kirchoff ini, rangkaian disusun secara seri untuk
percobaan KVL, sedangkan untuk percobaan KCL disusun secara parallel. Multimeter
diatur menjadi voltmeter pada rangkaian KVL agar dapat diukur beda potensial pada
rangkaian. Sumber arus dinyalakan sehingga diperoleh tegangan pada rangkaian KVL
dan diperoleh arus pada rangkaian KCL.
50
disesuaikan dengan kebutuhan. Aplikasi KCL dan KVL dapat ditemukan dalam rangkaian
lampu pada rumah yang dirangkai secara seri maupun secara paralel
51
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Pada praktikum Hukum Kirchoff, peserta praktikum dapat memahami Hukum Kirchoff
tentang arus dan tegangan, yaitu menggunakan teori KVL dan KCL. Kemudian, dapat
menerapkan kegunaan Hukum Kirchoff pada rangkaian listrik sederhana. Selain itu, dapat
mengukur besarnya arus dan tegangan listrik pada suatu rangkaian listrik DC sederhana,
yaitu dengan menggunakan amperemeter dan voltmeter.
4.2. Saran
Pada saat praktikum ini, diharapkan kepada praktikan agar memahami rangkaian seri
dan parallel, lebih teliti dalam mengamati voltmeter dan amperemeter, serta berhati- hati
agar tidak merusak alat.
52
DAFTAR PUSTAKA
53
LAMPIRAN
54
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(MEDAN MAGNET)
(PERCOBAAN – LM4)
Disusun oleh :
Nama :
NIM :
Tgl. Praktikum :
JURUSAN FISIKA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
55
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(MEDAN MAGNET)
Nama :
NIM :
Kelompok :
Tgl. Praktikum :
Catatan :
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
56
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Setelah diselesaikan percobaan ini, diharapkan Hukum Biot-Savart dapat dijelaskan
oleh peserta praktikum fisika dasar untuk lilitan kawat solenoid. Serta kuat medan magnet
disekitar solenoid dapat diukur.
• Vektor dB tegak lurus dengan baik terhadap dS (yang menunjukkan dalam arah arus)
dan unit ke vector 𝑣̂ diarahkan dari dS ke P.
• Besarnya dB berbanding terbalik dengan r², dimana r adalah jarak dari dS ke P.
• Besarnya dB berbanding lurus dengan arus dan besarnya dS dari elemen panjang dS
• Besarnya dB sebanding dengan sinɵ, dimana ɵ adalah sudut antara vector ds dengan
𝑟̂
Sehingga dari beberapa percobaan tadi didapatkan model matematika yang dienal dengan
hukum Biot-Savart.
...(1.1)
(Serway,2004).
57
Medan magnet yang dihasilkan oleh arus dalam kumparan heliks kawat yang panjang
dan tertutup rapat (solenoid) menunjukkan bahwa medan magnet solenoid adalah jumlah
vector dari medan yang dihasilkan oleh belokan individu (lilitan) yang membentuk solenoid.
Untuk titik yang sangat dekat dengan belokan, kawat berperilaku magnetis hamper seperti
kawat lurus panjang, dan garis 𝐵⃗ hamper konsentris atau lingkaran konsentris. Dan untuk
medan magnet disekitar solenoid digunakan hukum ampere
...(1.2)
(Halliday dkk, 2011).
58
BAB 2
METODOLOGI
Rangkaian disusun
Langkah ke-6 dan ke-7 diulangi untuk besar arus yang berbeda
59
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Hasil Percobaan
3.1.1 Koil Arus 0.5 A
60
3.1.4 Solenoid Arus 1 A
S (Cm) Kuat Medan (mT)
-10 8
-8 11
-6 16
-4 22
-2 25
0 26
2 26
4 23
6 18.5
8 13
10 9
3.2 Grafik
3.2.1 Koil Arus 0.5 A
10
9
8
7
Kuat Medan (mT)
6
5
4
3
2
1
0
-15 -10 -5 0 5 10 15
S (cm)
14
12
10
8
6
4
2
0
-15 -10 -5 0 5 10 15
S (cm)
61
3.2.3 Solenoid Arus 0.5 A
16
14
12
Seolenoid Arus 1 A
30
25
Kuat Medan (mT)
20
15
10
0
-15 -10 -5 0 5 10 15
S (cm)
3.3 Pembahasan
3.3.1 Analisa Prosedur
Seperti telah disebutkan pada Bab II, dalam percobaan medan magnet ini digunakan
beberapa alat dan bahan. Adapun beberapa alat yang digunakan antara lain sebuah
Gaussmeter, powersupply, amperemeter dan mistar. Dari setiap alat memiliki fungsi masing
masing dalam percobaan ini. Alat pertama yaitu Gaussmeter yang berfungsi untuk diukur
besarnya arus magnet dan kekuatan magnet. Sedangkan powersupply berfungsi sebagai alat
yang mampu memberikan sebuah suplai arus listrik kepada semua komponen yang
digunakan pada percobaan ini. Kemudian amperemeter berfungsi sebagai alat untuk
diukurnya arus listrik yang ada dalam rangkaian solenoid dank oil. Yang terakhir ada mistar
berfungsi sebagai alat yang digunakan untuk diukurnya panjang/jarak antara solenoid satu
dengan yang lainnya. Benda uji yang digunakan untuk percobaan ini adalah dua buah
solenoid. Disini solenoid berfungsi sebagai media terjadinya medan magnet akibat dialiri
arus listrik.
62
Sebelum memulai percobaan, alat alat yang dirangkai terlebih dahulu. Selanjutnya
sebelum power supply digunakan. Diatur dari harga terendahnya. Dengan digunakannya
powersupply maka aliran listrik akan mengalir disekitar solenoid. Gaussmeter dikalibrasi
pengukurannya supaya ketika digunakan menghasilkan angka yang lebih akurat. Ukur
diameter masing masing koil yang tersedia digunakan mistar atau penggaris. Digunakan
amperemeter untuk mengukur kuat arus pada solenoid. Selanjutnya diukur medan magnet
untuk bermacam-macam posisi dengan gaussmeter disepanjang sumbu koil untuk sebuah
koil, dilakukan hal yang sama dengan menggunakan 2 buah koil dengan arah arus yang
berbeda pada amperemeter. Diganti koil dengan solenoid kemudian diukur medan magnet
dengan gaussmeter disepanjang sumbu.
63
Hukum biot savart merupakan penamaan yang menggambarkan mengenai medan
magnet yang dihasilkan oleh arus listrik.
Kaidah tangan kanan. “Bila tangan kanan menggenggam kawat penghantar lurus. Ibu jari
menunjukan arah arus listrik, maka lengkungan ke empat jari lainnya. Menyatakan arah
putaran garis-garis medan magnetik. Medan magnetik B merupakan garis singgung terhadap
lingkaran garis-garis medan tersebut.
Induksi magnetik disekitar kawat penghantar lurus berarus listrik. Kuat medan magnet B
yang ditimbulkan oleh kawat penghantar lurus berarus listrik1 pada tempat sekitar kawat
tersebut yang berjarak a adalah sebagai berikut :
64
𝜇0 𝐼
B= ...(3.4)
2𝜋𝑎
Secara matematis persamaan ini diperoleh dan penyelesaian integral persamaan dasar
hukum biot savart.
𝜇0 𝐼 𝑑𝑙 sin 𝜃
Nah ketiga hubungan ini bila kita substitusikan ke persamaan Biot Savart dB = 4𝜋 𝑟2
Maka diperoleh :
𝜇0 𝐼 𝑑𝑙 sin 𝜃
dB =
4𝜋 𝑟2
𝜇0 𝐼 (𝑎 csc2 𝜃 𝑑𝜃 𝑠𝑖𝑛𝜃
dB = 4𝜋 𝑎2 𝑐𝑠𝑐 2 𝜃
𝜇0 𝐼 sin 𝜃
dB = 4𝜋 ...(3.6)
𝑎
Kemudian nilai B kita tentukan dengan metode intergral :
𝜃2
B = ∫𝜃1 𝑑𝐵
𝜃2 𝜇0 𝐼 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑𝜃
B = ∫𝜃1 4𝜋 𝑎
𝜇0 𝐼
B = 4𝜋𝑎 (−cos 𝜃) | 𝜃2
𝜃1
𝜇0 𝐼
B= (cos 𝜃2 − cos 𝜃1) ...(3.7)
4𝜋𝑎
𝜇0 𝐼
Jadi diperoleh : B = 4𝜋𝑎 (cos 𝜃2 − cos 𝜃1)
Selanjutnya, oleh karena 𝜃2 + β = 180° , maka cos 𝜃2 = −cos 𝛽 kemudian untuk
menyederhanakan notasi, kita nyatakan 𝜃1 = 𝑎 dengan demikian, persamaannya dapat
ditulis ulang menjadi :
𝜇0 𝐼
B = 4𝜋𝑎 (cos 𝛼 + cos 𝛽) ...(3.8)
65
Apabila kawat penghantarnya sangat panjang maka sudut α=0° dan β=0° oleh karena itu
𝜇0 𝐼
B = 4𝜋𝑎 (cos 0° + cos 0° )
𝜇0 𝐼
B = 4𝜋𝑎 (1+1) ...(3.9)
Diperoleh :
𝜇0 𝐼
B = 2𝜋𝑎 ...(3.10)
Aplikasi medan maget dalam kehidupan sehari-hari, pertama kegiatan pengambilan
benda-benda terbentuk dari logam. Sebuah benda yang bias ditarik dengan cukup kuat
menggunakan magnet merupakan benda yang terbentuk dari logam, misalnya adalah nikel,
baja dan besi. Dengan penerapan sifat seperti itu, maka magnet bisa dipakai pada sejumlah
peralatan guna memudahkan proses pengambilan mbenda yang terbentuk dari logam.
Beberapa perlatan tersebut diantaranya adalah alat untuk mengangkut besi tua, tang, obeng,
dan gunting, kedua. Sebagai penunjuk arah magnet bias dipakai guna menunjukan arah
disebabkan karena kutub-kutub pada magnet selalu menunjukan kea rah selatan dan utara.
Alat yang menggunakan sifat dari kemagnetan tersebut yaitu, kompas. Kompas merupakaan
sebuah alat penunjuk arah mata angina. Pada kompas ada komponen magnet yang memiliki
bentuk seperti jarum dan selalu menunjuk kea rah utara dan selatan. Oleh karena itu kompas
digunakan sebagai alat penunjuk arah biasa dipakai oleh pendaki gunung, pelaut, dan pilot.
66
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari praktikum medan magnet ini dapat disimpulkan bahwa Hukum Biot-Savart dapat
digunakan untuk pengukuran medan magnet pada lilitan kawat dan selenoid yang dialiri arus
listrik dimana kaidah tangan kanan diperlukan agar jalan arus listrik dapat ditentukan dan
pentingnya pernyataan bahwa besar medan magnetik berbanding lurus dengan arus listrik,
namun berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antar titik ke elemen kawat penghantar,
selain itu dapat disimpulkan bahwa medan magnet pada selenoid akan lebih besar daripada
kawat / koil karena jumlah lilitan, besar arus dan jarak yang berpengaruh dalam besarnya
medan magnet.
4.2 Saran
Peserta praktikum harus berhati-hati saat perangkaian alat dilakukan karena jika
terjadi kesalahan bisa saja membuat kerusakan pada alat atau tidak berfungsi sebagaimana
mestinya.
67
DAFTAR PUSTAKA
Halliday, David, Robert Resnick, Jearl Walker. 2011. Fundamental of Physics. USA: John Willey
& Sons, Inc
Serway, Raymond A., John W. Jennet. 2004. Physics for Scientist and Engineers. Thomson:
Brooks Cole
68
LAMPIRAN
(Halliday, 2011)
(Viridi, 2010)
69
(Halliday, 2011)
(Halliday, 2011)
70
(Serway, 2004)
71
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(RANGKAIAN RLC)
(PERCOBAAN – LM5)
Disusun oleh :
Nama :
NIM :
Tgl. Praktikum :
JURUSAN FISIKA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
72
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(RANGKAIAN RLC)
Nama :
NIM :
Kelompok :
Tgl. Praktikum :
Catatan :
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
73
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Dalam praktikum resonansi rangkaian RLC diharapkan paktikan, dapat dipahami
resonansi rangkaian listrik dan resonansi rangkaian RLC seri dapat diketahui.
Dalam rangkaian RLC memiliki hambagan total atau impedansi, sebagai berikut:
(Pauliza, 2008).
Dengan resistansi R, total energi eketromagnetik L1 dari sirkuit (jumlah energi listrik
dan energi magnetik) tidak konstan lagi. Dikarenakan terus berkurang seiring waktu ketika
energi ditransfer ke energi termal. Akibat kehilangan energi, oslasi muatan, arus, dan beda
potensial secara terus-menerus dalam amplitude dan osilasi terendam (Halliday, 2014).
Gambar 1.2 Diagram fasor untuk penjumlahan RLC jika Xl > Xc (a) dan (b) jika Xc > Xl
(Abdullah, 2017).
Z merupakan impedansi rangkaoan RLC pada gambar 1.2, kita juga bisa tahu
bahwa,
Im Xl−Im Xc Xl−Xc
tan Ө = Im R
= R
…(1.2)
74
Bentuk umum antara titik a dan d sebagai fungsi waktu,
(𝑤𝑙−1)2
Z = √R2 + 𝑤𝑐
𝑤𝑙 1
Z =R √1 + (√ 𝑅 − √𝑤.𝑅𝑐)2
𝑤 𝑤𝑜2 2
Z = R √1 + (√𝑤𝑜1 − √ 𝑤
) ...(1.4)
R 1
Dimana wo1 =√L dan wo2 = √Rc
(Abdullah, 2017).
Menurut aturan lop, dapat diketahui jumlah tegangan Vr, Vc, dan Vl sama dengan є
Є = Vr + Vc + Vl …(1.6)
Xl−Xc
Tan Ө = R
…(1.7)
Keterangan:
(Halliday, 2014).
75
BAB II
METODOLOGI
76
BAB III
R = 100 Ω
C = 50 nF = 5.10-8 F
L = 0,0317 H
2 3000 3 0,5
3 4000 3 1
4 5000 3,4 1
3.2 Perhitungan
volt
• Vpp = div(y) x ( )
div
Vpp1 = 6,2 x 0,1 = 0,62 V
Vpp2 = 3 x 0,5 = 1,5 V
Vpp3 = 3 x 1 = 3 V
Vpp4 = 3,4 x 1 = 3,4 V
Vpp5 = 2,8 x 0,5 = 1,4 V
77
Vpp6 = 4,8 x 0,2 = 0,96 V
Vpp
• Vrms =
√2
0,62
Vrms1 = = 0,44 V
√2
1,5
Vrms2 = = 1,06 V
√2
3
Vrms3 = = 2,12 V
√2
3,4
Vrms4 = = 2.40 V
√2
1,4
Vrms5 = = 0,99 V
√2
0,90
Vrms6 = = 0,68 V
√2
• XL = 2πfL
XL1 = 2 x 3,14 x 2000 x 0,0317 = 398,152 Ω
XL2 = 2 x 3,14 x 3000 x 0,0317 = 597,225 Ω
XL3 = 2 x 3,14 x 4000 x 0,0317 = 796,304 Ω
XL4 = 2 x 3,14 x 5000 x 0,0317 = 995,38 Ω
XL5 = 2 x 3,14 x 6000 x 0,0317 = 1194,456 Ω
XL6 = 2 x 3,14 x 7000 x 0,0317 = 1393.532 Ω
1
• Xc = 2𝜋𝑓𝐶
1
Xc1 = = 1529, 36 Ω
2 × 3,14 × 2000 × 5×10−8
1
Xc2 = = 1061, 57 Ω
2 × 3,14 × 3000 × 5×10−8
1
Xc3 = 2 × 3,14 × 4000 × 5×10−8
= 796, 18 Ω
1
Xc4 = = 636, 94 Ω
2 × 3,14 × 5000 × 5×10−8
1
Xc5 = = 530, 79 Ω
2 × 3,14 × 6000 × 5×10−8
1
Xc6 = = 454, 96 Ω
2 × 3,14 × 7000 × 5×10−8
VRMS VRMS
• IRMS = =
Z √R2 +(XL −XC )2
0,44 0,44
IRMS1 = = 1198,39 = 3,67 × 10−4 A
√1002 +(398,152−1592,36)2
1,06 1,06
IRMS2 = = = 2,23 × 10−3 A
√1002 +(597,228−1061,57)2 479,99
2,12 2,12
IRMS3 = = = 2,12 × 10−2 A
√1002 +(796,304−796,18)2 100
2,40 2,40
IRMS4 = = 372,13 = 6,45 × 10−3 A
√1002 +(995,38−636,94)2
0,99 0,99
IRMS5 = = 671,16 = 1,48 × 10−3 A
√1002 +(1194,456−530,79)2
0,68 0,68
IRMS6 = = 943,88 = 7,20 × 10−4 A
√1002 +(1393,532−454,96)2
78
3.3 Grafik
f (Hz) IRMS (mA)
2000 0,000367
3000 0,00223
4000 0,0212
5000 0,00645
6000 0,00148
7000 0,00072
IRMS (mA)
0.025
(4000; 0,0212)
0.02
0.015
0.01
(5000; 0,00645)
0.005
(3000; 0,00223)
(6000; 0,00148)
(2000; 0,000367) (7000; 0,00072)
0 f (Hz)
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
79
3.4 Pembahasan
Alat yang digunakan dalam praktikum rangkaian RLC yaitu oskiloskop, resistor,
sumber tegangan arus bolak-balik (signal generator), beberapa kabel penghubung,
kapasitor, inductor. Masing-masing dari alat tersebut mempunyai fungsi/kegunaan
masing-masing. Oskiloskop berfungsi untuk dibacanya sinyal listrik maupun frekuensi
atau bias juga diproyeksikannya sinyal listrik ataupun frekuensi dalam bentuk gelombang
yang dapat dilihat pada layar oskiloskop. Signal generator berfungsi memberi sinyal.
Beberapa kabel penghubung berfungsi dihubungkannya alat satu dengan alat lainnya
untuk di buat rangkaian RLC seri. Resistor berfungsi untuk dihambatnya suatu arus yang
dialirkan dalam suatu rangkaian. Inductor berfungsi sebagai penyimpan energi dalam
benntuk medan magnet. Kapasitor berfungsi untuk disimoan dan dijelaskannya muatan
listrik.
Ada beberapa langkah beserta fungsi pada praktikum rangkaian RLC ini. Hal
pertama yang dilakukannya yaitu disusunnya resistor, inductor, dan kapasitor dengan
kabel penghubung secara seri agar praktikum dapat berjalan dengan lancar. Oskiloskop
dinyalakan lalu dihubungkan ke rangkaian RLC. Lalu oskiloskop di setting sesuai yang
dibutuhkan agar dapat berfungsi dengan baik. Sebelum diaktifkan, arus diukur dengan
amperemeter terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengambilan data pada frekuensi
2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 5000 Hz, 6000 Hz, 7000 Hz dan volt/div diatur agar dapat
dilakukan pembacaan div pada layar oskiloskop. Diatur tombol putar position pada
oskiloskop agar dapat ditentukan gelombang pada layar oskiloskop. Pengambilan data
hanya dilakukan sekali per frekuensi agar didapatkan data bervariasi.
Pada pembahasan kali ini, kita mendapatkan beberapa data yaitu R sebesar 100 Ω,
C sebesar 5𝑥10−8 F dan L sebesar 0,0317 H. untuk frekuensi, digunakan frekuensi
sebesar 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 5000 Hz, 6000 Hz, 7000 Hz. Lalu diketahui juga
div dan volt/div. Setelah diketahui data tersebut, dapat ditentukan Vpp , V RMS, XL, XC
dan I RMS. Untuk nilai Vpp terbesar terdapat pada frekuensi 5000 Hz yaitu sebesar 3,4
V. Untuk nilai V RMS terbesar terdapat pada frekuensi 5000 Hz pula yaitu sebesar 2,40
V. Untuk XL terbesar terdapat pada frekuensi 7000 Hz sebesar 1393,532 Ω dan untuk XL
terkecil terdapat pada frekuensi 2000 Hz sebesar 398,152 Ω. Untuk XC berbanding
terbalik dengan XL. Untuk XC terbesar terdapat pada frekuensi 2000 Hz yaitu 1592,36
Ω dan frekuensi terkecil pada frekuensi 7000 Hz sebesar 454,96 Ω karena sesuai dengan
rumus:
1
XC= … (3.1)
2𝜇𝑓𝑐
Pada grafik untuk sumbu X nya yaitu frekuensi (Hz). Sedangkan untuk sumbu Y yaitu I
RMS yang satuannya diubah dari A menjadi MA terlebih dahulu. Lalu ditentukan titik-
80
titiknya dan dihasilkan grafik dengan titik puncaknya 21,2 MA dan terletak pada
frekuensi 4000 Hz.
Z=√𝑅 2 + 𝑋 2 ...(3.2)
Resonansi pada rangkaian seri RLC terjadi jika memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1
Fr= 1
… (3.4)
2𝜋√𝐿𝐶
Dengan f = Frekuensi Resonansi
L = Induktansi Induktor
C = Kapasitansi Kapasitor.
81
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1
Fr =
1
2𝜋√𝐿𝐶
4.2 Saran
Diharapkan, alat dijaga dengan baik agar tak ada alat yang rusak dan dapat
digunakan oleh praktikan.
82
DAFTAR PUSTAKA
Halliday., D; Resnick, R; Walker ,J. 2014. Fundamental of Physics Tenth Edition .USA : John
Pauliza, Oza . 2008. Fisika Kelompok Teknologi dan Kesehatan . Jakarta: Grofindo Media
Pratama
83
LAMPIRAN
84
85
86
87
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(LENSA TIPIS)
(PERCOBAAN – OP1)
Disusun oleh :
Nama :
NIM :
Tgl. Praktikum :
JURUSAN FISIKA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
88
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(LENSA TIPIS)
Nama :
NIM :
Kelompok :
Tgl. Praktikum :
Catatan :
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………
89
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Setelah diselesaikannya percobaan ini diharapkan dapat dijelaskannya tentang
dasar-dasar sistem lensa, dapat dijelaskan jalannya sinar dan pembentukan bayangan oleh
lensa tipis dan dapat ditentukan jarak titik focus lensa tipis oleh peserta praktikum fisika
dasar II.
1.2 Dasar Teori
Lensa tipis merupakan alat optik sederhana yang fungsi utamanya adalah
membentuk bayangan benda. Permukaan lensa dapat berbentuk datar, cembung, dan
cekung. Lensa terbuat dari kaca transparan dimana indeks biasnya lebih besar dari udara
luar. Dari hokum Snell dinyatakan bahwa berkas yang dibelokkan pada kedua permukaan
lensa. Sehingga berkas yang sejajar jatuh pada lensa tipis, kemudian akan otomatis
difokuskan pada satu titik yang biasa disebut titik focus (f). Lensa tipis memiliki syarat
tertentu ketika diameter lensa kecil dibandingkan radius kelengkungan kedua permukaan
lensa, maka hal ini syarat yang harus dimiliki lensa tipis yang sangat tipis. Lensa tipis
dapat dibagi menjadi lensa konvergen yaitu lensa yang lebih tebal di bagian tengah
daripada di bagian tepinya. Sehingga berkas sejajar berkumpul ke satu titik, dan lensa
divergen yaitu lensa tipis di bagian tengah daripada bagian tepinya (Giancoli, 2014).
Pada lensa tipis terdiri dari 2 bola yang disatukan untuk membentuk daerah tipis.
Sementara itu, lensa tipis dapat diabaikan ketebalannya daripada jari-jari kelengkungan
permukaannya. Kelengkungan yang dibuat terlalu besar sehingga detail geometrisnya
dapat terlihat mudah. Jika objek jauh dari lensa maka sinarnya tersusun parallel dan dapat
dituliskan dalam persamaan sebagao berikut :
Dalam persamaan tersebut didefinisikan sebagai focus lensa (f) dimana panjang gambar
ketika objek benda di titik tak hingga. Saat menghitung panjang fokus lensa dari geometri
disebut persamaan pembuat lensa yang dapat dituliskan dalam formula lensa tipis :
1/p+1/p1 = 1/f
…(1.2)
Dan yang dapat ingat kembali ketika fokus positif untuk lensa konvergen dan fokus
negatif untuk lensa divergen (Bueche, 1980).
90
BAB II
METODOLOGI
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktiku ini adalah bangku optik,
sebuah lampu (sumber cahaya), sebuah bena yang berupa anak panah atau penggari
bening, sebuah layar dan 2 buah lena positif dan sebuah lensa negatif.
Lensa Positif
Sebuah lensa biconvex (cembung ganda) diambil dan dipasang pada posisi lensa
Posisi benda dipasang sejauh mungkin dari layar dan di ukur jaraknya (L)
Diukur jarak benda kelensa (S), jarak bayangan ke lensa (S’), tinggi benda (h), tinggi
bayangan (h’) dan dicatat sifat bayangannya
91
Cara Bessel
Lensa digeser lagi hingga diperoleh bayangan yang jelas kedua (posisi benda jangan berubah)
Jarak benda dan jarak bayangan ke lensa di ukur lagi, serta sifat dan tinggi bayangan
Diulangi langkah 3-8 dengan mengubah posisi benda terhadap layar (panjang L diubah)
Diulangi langkah 1-9 untuk lensa positif kedua (lensa cembung datar)
Lensa negatif
Jarak titik lensa fokus negatif dicari dengan pertologan lensa positif, digunakan lensa
biconvex dari percobaan sebelumnya
Lensa positif dipasang dan digeser-geserkan sehingga didapat bayangan yang jelas dilayar
Lensa negatif diletakkan antara lensa positif dan layar, diukur jarak lensa negatif kelayar (S)
Layar digeser-geserkan hingga diperoleh bayangan yang jelas,diukur jarak lensa negarif ke
layar (S’)
92
Lensa Gabungan
Dengan digunakannya dua buah lensa poositif,maka dibuatah lensa dengan jarak tertentu (d)
di ukur dan dicatat jaraknya
Kedua lensa digeser-geserkan serentak (jarak d tetap) hingga didapat bayangan pada layar
Langkah 1 dan 2 diulangi beberapa kali (sesuai dengan oetunju asisten) dengan jarak d
berbeda-beda
93
BAB III
1. 40 5,2 34,8 1 6
3. 30 6 24 1 3.8
3. 30 14 16 1 3,3
94
3.2 Perhitungan
1. 4,5 0,01 6
1 1 1
• = 𝑆𝑛+𝑆′ 𝑛
𝑓𝑛
1 1 1
= 5,1+34,8 = 4,5 𝑐𝑚
𝑓1
1 1 1
= 5,6+29,4 = 4,7 𝑐𝑚
𝑓2
1 1 1
= + = 4,8 𝑐𝑚
𝑓₃ 6 24
𝑛₁+𝑛₂+𝑛₃
• ̅
𝑓= 3
4,5 + 4,7+4,8
𝑓̅ = = 4,6 𝑐𝑚
3
ℎ′
• M = ǀℎǀ
6
M₁= ǀ1ǀ = 6 kali
4,8
M₂= ǀ 1 ǀ = 4,8 kali
3,8
M₃= ǀ 1 ǀ = 3,8 kali
1 +𝑛2 +𝑛3
• ̅ =𝑛
𝑀 3
6+4,8+3,8
̅=
𝑀 = 4,6 cm
3
• ǀ𝑓𝑛 − 𝑓 ǀ²̅
ǀ𝑓₁ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ4,5 − 4,6ǀ² = 0,01 cm²
ǀ𝑓₂ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ4,7 − 4,6ǀ² = 0,01 cm²
ǀ𝑓₃ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ4,8 − 4,6ǀ² = 0,04 cm²
̅
∑ ǀ𝑓−𝑓ǀ
• δf=√ 𝑛−1
0,06
δf=√ = 0,17 𝑐𝑚
2
95
δf
• Kr f = x 100%
𝑓̅
0,17
Kr f = x 100% = 3,6 %
4,6
• f = 𝑓 ̅ ± δf = 4,6± 0,17 cm
• e = ǀ e₂-e₁ǀ
e₁= 28,7 cm
e₂= 22,6 cm
e₃= 16,8 cm
𝐿2 −𝑒𝑛2
• 𝑓𝑛 = 4𝐿
1 402 −18,72
𝑓 = = 4,85 𝑐𝑚
4𝑥40
352 −22,62
𝑓2 = = 5,10 𝑐𝑚
4𝑥35
30²−16,8²
𝑓₃= = 5,15 𝑐𝑚
4𝑥30
𝑛₁+𝑛₂+𝑛₃
• ̅
𝑓= 3
4,83 + 5,10+5,15
𝑓̅ = = 5,03 𝑐𝑚
3
ℎ′
• M1 = ǀ ℎ ǀ
5,9
M₁= ǀ 1 ǀ = 5,9 kali
4,8
M₂= ǀ 1 ǀ = 4,8 kali
3,7
M₃= ǀ 1 ǀ = 3,7 kali
ℎ′
• M2 = ǀ ℎ ǀ
0,3
M₁= ǀ 1 ǀ = 0,3 kali
0,2
M₂= ǀ 1 ǀ = 0,2 kali
0,4
M₃= ǀ 1 ǀ = 0,4 kali
• ǀ𝑓𝑛 − 𝑓 ǀ²̅
96
ǀ𝑓₁ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ4,85 − 5,03ǀ² = 0,0324 cm²
ǀ𝑓₂ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ5,10 − 5,03ǀ² = 0,0049 cm²
ǀ𝑓₃ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ5,15 − 5,03ǀ² = 0,0144 cm²
̅
∑ ǀ𝑓−𝑓ǀ
• δf=√ 𝑛−1
0,0516
δf=√ 2
δf= 0,16 𝑐𝑚
δf
• Kr f = x 100%
𝑓̅
0,16
Kr f = x 100% = 3,19 %
5,03
• f = 𝑓 ̅ ± δf
f = 5,03 ± 0,16 cm
1 1 1
• = 𝑆𝑛+𝑆′ 𝑛
𝑓𝑛
1 1 1
𝑓1
= 16,5+24,5 = 9,86 𝑐𝑚
1 1 1
= 13,4+21,6 = 8,27 𝑐𝑚
𝑓2
1 1 1
= 14+16 = 7,46 𝑐𝑚
𝑓₃
𝑛₁+𝑛₂+𝑛₃
• ̅
𝑓= 3
9,86 + 8,67+7,46
𝑓̅ = = 8,53 𝑐m
3
ℎ′
• M = ǀℎǀ
7,9
M₁= ǀ 1 ǀ = 7,9 kali
3,5
M₂= ǀ 1 ǀ = 3,5 kali
3,3
M₃= ǀ 1 ǀ = 3,3 kali
• ǀ𝑓𝑛 − 𝑓 ǀ²̅
97
ǀ𝑓₁ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ9,86 − 8,53ǀ² = 1,76 cm²
ǀ𝑓₂ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ8,27 − 8,53ǀ² = 0,06 cm²
ǀ𝑓₃ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ7,46 − 8,53ǀ² = 1,14 cm²
̅
∑ ǀ𝑓−𝑓ǀ
• δf =√ 𝑛−1
2,96
δf =√ = 1,21 𝑐m
2
δf
• Kr f = x 100%
𝑓̅
1,21
Kr f = 8,53 x 100% = 14,21%
• f = 𝑓 ̅ ± δf = 8,53 ± 1,21 cm
1 1 1
• = 𝑆𝑛+𝑆′ 𝑛
𝑓𝑛
1 1 1
= 4+36 = 3,6 𝑐𝑚
𝑓1
1 1 1
= 4,7+30,3 = 4,06 𝑐𝑚
𝑓1
1 1 1
= + = 3,68 𝑐𝑚
𝑓₁ 4,3 25,6
1 1 1
• = 𝑆𝑛+𝑆′ 𝑛
𝑓𝑛
1 1 1
= 7,4+32,6 = 6,031 𝑐𝑚
𝑓2
1 1 1
= 7,9+27,1 = 6,11 𝑐𝑚
𝑓2
1 1 1
= 7,8+22,2 = 5,77 𝑐𝑚
𝑓₂
𝑓2(𝑑−𝑓1)
• f gab = 𝑑−(𝑓1+𝑓2)
6,03(3,4−3,6)
f gab = 3,4−(3,6+6,03) = 0,19 cm
6,11(3,4−4,06)
f gab = 3,4−(4,06+6,11) = 0,59 cm
5,77(3,4−3,68)
f gab = 3,4−(3,69+5,77) = 0,266 cm
98
𝑛₁+𝑛₂+𝑛₃
• ̅
𝑓𝑔𝑎𝑏= 3
0,19 +0,59+0,266
𝑓 ̅ gab = = 0,35 𝑐𝑚
3
ℎ′
• M = ǀℎǀ
7,2
M₁= ǀ 1 ǀ = 7,2 kali
5,8
M₂= ǀ 1 ǀ = 5,8 kali
4,8
M₃= ǀ 1 ǀ = 4,8 kali
• ǀ𝑓𝑛 − 𝑓 ǀ²̅
ǀ𝑓₁ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ0,59 − 0,35ǀ² = 0,058 cm²
ǀ𝑓₂ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ0,19 − 0,35ǀ² = 0,0256 cm²
ǀ𝑓₃ − 𝑓ǀ²̅ = ǀ0,266 − 0,35ǀ² = 0,0071 cm2
̅
∑ ǀ𝑓−𝑓ǀ
• δf=√ 𝑛−1
0,0907
δf=√ = 0,213 𝑐𝑚
2
δf
• Kr f = x 100%
𝑓̅
0,213
Kr f = x 100% = 60,51%
0,352
• f = 𝑓 ̅ ± δf = 0,352 ± 0,213 c
3.3 Pembahasan
Percobaan lensa tipis ini dibutuhkan beberapa peralatan dengan fungsi masing–
masing.Bangku optik pada praktikum kali ini berfungsi sebagai tempat untuk
dirangkainya alat dalam percobaan seperti lensa, layar, dan lainnya. Sebuah lampu
digunakan sebagai sumber cahaya. Penggaris berfungsi sebagai alat ukur jarak, baik jarak
benda, jarak bayangan, panjang L, tinggi benda, dan bayangan. Layar digunakan sebagai
tempat penangkapan bayangan yang terbentuk. Kemudian lensa berfungsi sebagai alat
pemfokus cahaya sehingga dapat terbentuk bayangan. Adapun benda yang digunakan
sebagai media yang akan dihitung tinggi benda dan bayangannya.
Dalam praktikum lensa tipis yang dilakukan pertama–tama disiapkan alat–alat yang
akan digunakan dalam percobaan yang memiliki tujuan agar praktikum berjalan dengan
mudah dan cepat. Selanjutnya dirangkai alat–alat yang disiapkan dengan urutan lampu,
benda, lensa, dan layar lensa positif dipasang dengan jarak yang bervariasi dari benda dan
juga layar dipasang dengan disesuaikannya bayangan agar tampak fokus. Hal ini
bertujuan agar didapatkan hasil bayangan yang jelas pada layar. Langkah berikutnya
99
dihitung nilai jarak benda, panjang L, jarak bayangan, dan tinggi bayangan agar
didapatkan data bervariasi sebanyak tiga kali perhitungan untuk lensa positif dengan cara
bessel lensa cembung yang ditambah dengan lensa cembung datar agar didapat bayangan
yang berbeda dengan cara lensa positif yang biasa. Lalu nilai jarak benda, jarak bayangan,
panjang nilai e1, dan e2 dengan percobaan yang dilakukan sebanyak tiga kali agar
didapatkan nilai atau data yang bervariasi sehingga dapat dibandingkan. Pada lensa
negatif dilakukan langkah yang sama dengan lensa positif, yang dibedakan yaitu lensa
yang digunakan. Hal ini dilakukan agar diperoleh data yang bervariasi dari masing–
masing lensa. Pada lensa gabungan digunakan dan lensa (cembung dan cekung) secara
bersamaan. Kemudian dilakukan pengukuran jarak antar lensa (d) yang datanya
digunakan sebagai perhitungan.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan data untuk lensa positif
didapatkan beberapa data bahwa semakin dekat jark benda kelayar (L) maka jarak benda
kelensa akan semakin bessar dan tinggi bayangan (h’) akan semakin kecil. Lensa positif
dapat membentuk bayangan dengan sifat nyata,terbalik,diperbesar. Untuk lensa positif
berdasarkan hasil praktikum dan berdasarkan teori sudah benar atau sesuai. Hanya saja
pada lensa negatif , pada teori mempunyai sifat tidak sama dengan lensa positif yaitu
maya,tegak dan diperkecil. Namun pada saat praktikum pengukuranlensa negatif
ditambah dengan lnsa positif yang diletakkan antara lensa negatif dan benda. Sehingga,
memiliki sifat yang sama dengan lensa positif yaitu nyata tterbalik dan
diperbesar.seharusnya bisa sesuai teori.namun jiia tidak dipergunakan lensa poitif maka
bayangan yang akan terbentu pada layar tidak akan tertangkap. Pada lensa positif terdapat
dua cara untuk pecarian titik fokus yaitu menggunakan cara bessel dan juga gauss. Untuk
titik fokus dikeduanya tidak jauuh beda dengan n real relatif kesalahan yang rendah.
Mungkin terdapat nilai relatif kesalahan yang berasal dari alat tersebut maupun praktikan.
Paa saat perhitungan jarak dan tinggi bayangan digunakan penggaris yang mempunyai
nilai ketidakpastian 0,1 Cm, karena penggaris keakuratannya tidak tinggi.
Lensa adalah sebuah alat untuk mengumpulkan atau menyebarkan cahaya. Cahaya
yang dikumpukan tersebut akan menghasilkan bayangan. Namun, ada kalanya bayangan
yang terbentuk dari proses pemantulan maupun pembiasan cahaya tersebut akan
mengalami kecacatan, sehingga akan menghasilkan bayangan yang cacat pula. Jika
semua sinar dari sebuah objek titik tidak difokuskan pada sebuah titik bayangan tunggal,
bayangan buram yang dihasilkan inilah yang disebut aberasi (Tippler, 2001). Lensa
tipis adalah lensa yang ketebalannya dapat diabaikan sehingga pengukuran jarak titik
fokus dilakukan dari satu titik yakni pusat lensa (vertex). Kemudian perbedaan
antara lensa tipis (Gambar 1) dan lensa tebal (Gambar 2) adalah sebagai berikut,
100
Gambar 3.1. Suatu lensa tipis Gambar 3.2. Suatu lensa tebal
Lensa tebal memiliki ketebalan lensa jarak yang mesti dilalui sinar ketika bergerak
dari permukaan 1 ke permukaan 2 yang dalam pembentukan bayangan tak dapat
diabaikan. Acuan untuk pengukuran jarak f1 (titik fokus 1) berbeda dengan acuan
untuk f2(titik fokus 2). f1 diukur dari bidang utama 1 (first principal plane) dan f2 diukur
dari bidang utama 2 (second principal plane). Jarak antara kedua bidang utama tersebut
mesti diperhitungkan dalam penentuan bayangan. Sementara lensa tipis memiliki bidang
utama 1 dan 2 yang berimpit sehingga hanya ada 1 bidang utama untuk lensa tipis.
Konsekuensinya pengukuran jarak titik fokus mengacu pada bidang yang sama atau titik
yang sama yaitu pusat lensa (vertex). Pada lensa tipis ketebalan lensa diabaikan sehingga
tidak perlu dipertimbangkan dalam penentuan bayangan. Rumus seperti :
...(3.1)
...(3.2)
hanya berlaku untuk lensa tipis karena rumus-rumus di atas diturunkan dengan asumsi
lensa yang digunakan adalah lensa tipis. Lensa tipis terbagi atas dua jeni yaitu yang
pertama , Lensa cekung adalah lensa yang bagian tengahnya lebih tipis ketimbang bagian
tepinya yang lebih tebal. Lensa cekung biasanya berbentuk lingkaran, walaupun ada juga
lensa cekung yang tidak berupa lingkaran. Lensa cekung seperti lensa cembung,
umumnya terbuat dari kaca atau plastik sehingga lensa mempunyai indeks bias lebih besar
ketimbang indeks bias udara.Lensa cekung mempunyai sifat menyebarkan cahaya
sehingga disebut sebagai lensa divergen. Ciri-ciri lensa cekung sendiri bisa dengan
mudah dilihat dari bentuknya, yaitu mempunyai ciri-ciri tebal di bagian tepi dan tipis di
bagian tengah.
101
Cahaya yang melalui lensa cekung dibelokkan ke arah tepi lensa atau menjauhi sumbu
lensa. Sinar dating sejajar dikenakan pada lensa cekung. Sinar-sinar akan menyebar
seolah berasal dari satu titik yaitu titik fokus. Titik fokus lensa cekung terletak di sisi yang
sama dengan sinar yang dating sehingga titik fokus lensa cekung mempunyai sifat maya
atau semu dan memiliki nilai negatif. Jenis-jenis lensa cekung :
Ada 3 jenis lensa cekung seperti yang terlihat pada gambar diatas, yaitu cekung ganda,
cekung datar, dan meniskus cekung. Bentuk lensa cekung, diantaranya bikonkaf atau
cekung-cekung, plankonkaf atau cekung-datar, Konveks-konkaf atau cekung-cembung.
Sinar istimewa lensa cekung yaitu sebagai berikut :
Aplikasi lensa cembung dan cekung dalam kehidupan sehari-hari yaitu orang
yang sudah tidak bisa membaca dalam jarak baca normal yaitu 25 cm, agar bisa membaca
jarak 25 cm dibantu dengan kacamata lensa cembung (rabun jauh / miopi). Para astronom
menggunakan teropong dari dua lensa cembung untuk mengamati benda langit, agar
terlihat lebih jelas dan dekat. Para ahli biologi, pekerja laboratorium menggunakan
mikroskop untuk mengamati bakteri, dll. Digunakan pada lup atau kacamata pembesar,
misalnya tukang jam yang mengamati komponen jam yang ukurannya kecil. Masih
banyak manfaat dan penggunaan lensa cembung dalam kehidupan sehari-hari, misalnya
periskop, slide proyektor. Penggunaan lensa cekung sering dijumpai pada orang-orang
dengan miopi atau rabun jauh yang memanfaatkan lensa cekung sebagai kacamata
sehingga orang yang menderita miopi dapat melihat benda-benda seperti mata normal.
Selain itu, saat teropong bumi menggunakan lensa pembalik, teropongnya terlalu panjang
agar okuler teropong bumi pendek, maka digunakanlah lensa pembalik yaitu lensa
cekung.
102
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan, lensa tipis dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar lensa
ada 2 yaitu lensa cembung dan lensa cekung. Pada lensa cembung dibagi menjadi 3, yaitu
lensa rangkap, datar, dan cembung-cekung. Pada lensa cekung dibagi menjadi 3 yaitu
cekung rangkap, cekung datar, dan cekung-cembung. Pembentukan bayangan oleh lensa
tipis tergantung pada lensa yang digunakan jarak titik fokus pada lensa tipis dapat dicari
dengan menghitung jarak benda dan jarak bayangan.
4.2 Saran
103
DAFTAR PUSTAKA
Bueche, Frederick, J. 1980. Introduction to Physics for Scientists and Engineers. New York :
Mc Graw Hill
Giancoli, Douglass, C. 2014. Fisika Prinsip dan Aplikasi. Edisi ke-7. Jakarta : Erlangga
104
LAMPIRAN
(Giancoli, 2014)
105
(Bueche, 1980)
106
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(INDEKS BIAS LARUTAN)
(PERCOBAAN – OP2)
Disusun oleh :
Nama :
NIM :
Tgl. Praktikum :
JURUSAN FISIKA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
107
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(INDEKS BIAS LARUTAN)
Nama :
NIM :
Kelompok :
Tgl. Praktikum :
Catatan :
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………
108
BAB I
PENDAHULUAN
Intan 2,419
Kuarsa 1,458
Es 1,309
Polistiren 1,6
Akrilik 1,49
Etanol 1,361
109
Gliserol 1,473
Air 1,333
Udara 1,000293
Ketika gelombang elektromagnetik memasuki suatu material, maka laju dan panjang
gelombang tersebut akan berkurang, tetapi nilai frekuensinya tetap (Abdullah, 2017).
110
BAB II
METODOLOGI
Pada praktikum kali ini terdapat beberapa alat yang digunakan yakni, sebuah
lampu pijar, refraktometer Abbe, dan larutan gula dengan berbagai konsentrasi.
Air murni diteteskan di atas prisma Refraktometer Abbe, di tutup dan di catat
indeks biasnya.
Larutan gula dibuat dengan presentase berat 50% (5 gram gula dalam 5 ml air),
60%, 40%, 30%, 20%, dan 10%.
Larutan gula 50% diteteskan di atas prisma Refraktometer Abbe, ditutup, dan
indeks bianya dicatat ( diulangi 5x)
Langkah 3 diulangi untuk larutan 60%, 40%, 30%, 20%, dan 10%.
111
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
3.2 Perhitungan
3.2.1 Presentase Larutan 0%
Ke- n | 𝑛 − ̅𝑛| 2
1 133,2 0
2 133,2 0
3 133,2 0
∑ 399,6 0
∑𝑛 399,6
̅𝑛 = = = 133,2
𝑘 3
• | 𝑛 − ̅𝑛| 2
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 133,2 − 133,2|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 133,2 − 133,2|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 133,2 − 133,2|2 =0
∑ |𝑛1 − ̅𝑛| 2 0
• 𝛿𝑛 = √ = √2 = 0
𝑘−1
𝛿𝑛
• 𝐾𝑟𝑛 = ̅𝑛
x 100%
0
𝐾𝑟𝑛 = 133,2 x 100% = 0%
112
• n = ( ̅𝑛 ± 𝛿𝑛 ) = ( 133,2 ± 0)
Ke- N | 𝑛 − ̅𝑛| 2
1 135,8 0
2 135, 8 0
3 135,8 0
∑ 407,4 0
∑𝑛 407,4
̅𝑛 = = = 135,8
𝑘 3
• | 𝑛 − ̅𝑛| 2
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 135,8 − 135,8|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 135,8 − 135,8|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 135,8 − 135,8|2 =0
∑ |𝑛1 − ̅𝑛| 2 0
• 𝛿𝑛 = √ = √2 = 0
𝑘−1
𝛿𝑛
• 𝐾𝑟𝑛 = ̅𝑛
x 100%
0
𝐾𝑟𝑛 = 135,8 x 100% = 0%
• n = ( ̅𝑛 ± 𝛿𝑛 ) = ( 135,8 ± 0)
Ke- N | 𝑛 − ̅𝑛| 2
1 136,4 0
2 136,4 0
3 136,4 0
∑ 409,2 0
∑𝑛 409,2
̅𝑛 = = = 136,4
𝑘 3
• | 𝑛 − ̅𝑛| 2
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 136,4 − 136,4|2 =0
113
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 136,4 − 136,4|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 136,4 − 136,4|2 =0
∑ |𝑛1 − ̅𝑛| 2 0
• 𝛿𝑛 = √ = √2 = 0
𝑘−1
𝛿𝑛
• 𝐾𝑟𝑛 = ̅𝑛
x 100%
0
𝐾𝑟𝑛 = 136,4 x 100% = 0%
• n = ( ̅𝑛 ± 𝛿𝑛 ) = ( 136,4 ± 0)
Ke- n | 𝑛 − ̅𝑛| 2
1 138,8 0
2 138,8 0
3 138,8 0
∑ 416,4 0
∑𝑛 416,4
̅𝑛 = = = 138,8
𝑘 3
• | 𝑛 − ̅𝑛| 2
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 138,8 − 138,8|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 138,8 − 138,8|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 138,8 − 138,8|2 =0
∑ |𝑛1 − ̅𝑛| 2 0
• 𝛿𝑛 = √ = √2 = 0
𝑘−1
𝛿𝑛
• 𝐾𝑟𝑛 = ̅𝑛
x 100%
0
𝐾𝑟𝑛 = 138,8 x 100% = 0%
• n = ( ̅𝑛 ± 𝛿𝑛 ) = ( 138,8 ± 0)
114
3.2.5 Presentase Larutan Tidak Diketahui (x)
Ke- n | 𝑛 − ̅𝑛| 2
1 137,8 0
2 137,8 0
3 137,8 0
∑ 413,4 0
∑𝑛 413,4
̅𝑛 = = = 137,8
𝑘 3
• | 𝑛 − ̅𝑛| 2
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 137,8 − 137,8|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 137,8 − 137,8|2 =0
|𝑛1 − ̅𝑛| 2 =| 137,8 − 137,8|2 =0
∑ |𝑛1 − ̅𝑛| 2 0
• 𝛿𝑛 = √ = √2 = 0
𝑘−1
𝛿𝑛
• 𝐾𝑟𝑛 = ̅𝑛
x 100%
0
𝐾𝑟𝑛 = 137,8 x 100% = 0%
• n = ( ̅𝑛 ± 𝛿𝑛 ) = ( 137,8 ± 0)
3.3 Grafik
Presentase (%) ̅𝑛
0 133,2
20 135,8
40 136,4
60 138,8
∑% 120
• 𝑥̅ = = = 30
𝑛 4
∑ 𝑛̅ 544,2
• 𝑦̅ = = = 136,05
𝑛 4
Centroid (30 ; 136,05)
115
∆𝑦 𝑦 −𝑦 137,5−134 3,5
• Tan 𝜃 = = 𝑥 2 −𝑥 1 = = 13 = 0,19
𝑥 2 1 40−22
𝑦𝑎 −𝑦𝑏 139−132,5
• 𝐾𝑟𝑛 = x 100% = x 100% = 2,39%
2 ̅𝑦 2 . 136,05
𝑛𝑎𝑖𝑟 − 𝑌 133−137,8
• (x) = = = 23,7 gram = 23,7%
tan 𝜃 0,19
y = 1.22x + 132.74
R² = 0.8124
Gambar 3.1 Grafik Excel hubungan indeks bias larutan dengan konsentrasi larutan
gula
Gambar 2.2 Grafik Manual hubungan indeks bias larutan dengan konsentrasi larutan
gula
3.4 Pembahasan
Alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan ini yaitu sebuah lampu pijar,
sebuah refraktometer Abbe, tissue, gelas beker, tabung reaksi, sendok kimia, pipet
tetes,air,gula, dan gelas ukur. Fungsi dari alat dan bahan tersebut berbeda-beda. Sebuah
lampu pijar digunakan sebagai sumber cahaya. Sebuah refraktometer Abbe digunakan
sebagai alat ditentukannya nilai indeks bias larutan gula denga konsentrasi berbeda.
Tissue digunakan sebagai lap untuk dibersihkannya prisma dan tutupnya. Gelas beker
116
digunakan sebagai tempat dalam pembuatan larutan gula. Tabung reaksi digunakan
sebagai tempat larutan gula dengan konsentrasi berbeda. Sendok kimia digunakan sebagai
untuk diambilnya gula dan sebagai alat pengaduk dalam pelarutan gula. Pipet tetes
digunakan untuk diteteskannya larutan gula pada prisma dalam refraktometer. Air
digunakan sebagai bahan dalam pembuatan larutan gula. Gula digunakan sebagai bahan
utama dalam pembuatan larutan gula. Gelas ukur digunakan untuk diukurnya massa gula
yang akan dilarutkan karena neraca yang ada tidak bisa digunakan karena kalibrasi alat
pada neraca tidak bisa dikalibrasikan (skalanya tidak dapat dibuat nol).
Fungsi dari alat dan bahan berbeda-beda. Oleh karena itu, perlakuan yang diberikan
juga berbeda. Lampu pijar diletakkan di tempat yang tidak jauh dari sumber listrik agar
kabel mudah dihubungkan ke sumber listrik sehingga lampu bisa dinyalakan.
Refraktometer Abbe dilektakkan di depan lampu pijar agar larutan gula yang terletak di
atas prisma dapat dilalui cahaya dari lampu pijar sehingga indeks bias dari larutan gula
dapat terukur. Tissue digunakan dengan dilapkan pada prisma dan tutupnya dengan
gerakan satu arah. Gelas beker digunakan dengan ditambahkannya air dan gula ke dalam
gelas beker dan diaduk dengan sendok kimia. Pipet kimia digunakan dengan diambilnya
larutan gula yang akan ditentukan indeks biasnya agar larutan gula dapat diletakkan di
atas prisma refraktometer dengan mudah. Tabung reaksi digunakan dengan
ditambahkannya larutan gula dengan konsentrasi tertentu ke dalamnya. Gelas ukur
digunakan dengan ditambahkannya gula ke dalam gelas dan diukur volumenya karena
massa gula dianggap sama dengan volumenya.
Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa setiap terjadi kenaikan nilai
persentase larutan, nilai indeks bias juga mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan
teori bahwa akan terjadi kenaikan nilai indeks bias suatu larutan apabila nilai konsentrasi
larutan juga mengalami kenaikan. Akan tetapi pada larutan yang nilai konsentrasi
larutannya tidak diketahui, nilai indeks bias larutannya mengalami penurunan dari nilai
indeks bias larutan pada larutan gula dengan konsentrasi paling tinggi. Hal ini dapat
diasumsikan bahwa nilai konsentrasi larutan yang tidak diketahui lebih kecil
dibandingkan larutan gula yang konsentrasi larutannya paling tinggi. Namun, nilai
konsentrasi larutan yang tidak diketahui lebih besar dibandingkan larutan gula dengan
konsentrasi larutan gula 40%.
Dari percobaan ini, juga diperoleh grafik hubungan antara indeks bias larutan gula
(n) dengan konsentrasi larutan gula (%). Grafik yang diperoleh ada dua. Yang pertama,
grafik yang diperoleh adalah grafik manual. Dari grafik manual diketahui bahwa tidak
ada data yang berada di luar garis bayangan sehingga tidak ada data yang dibuang. Dari
grafik manual, nilai konsentrasi larutan gula (%) yang tidak diketahui nilainya dapat
dihitung. Nilai x (konsentrasi larutan yang tidak diketahui nilainya) sangat besar sehingga
asumsi yang ada tidak sesuai. Yang kedua, grafik yang diperoleh adalah grafik Excel.
Dari grafik Excel, tidak diketahui garis bayangannya sehingga tidak diketahui batas yang
menunjukkan data tertentu harus dibuang atau dipertahankan. Akan tetapi, letak data
dalam grafik tidak jauh dari garis utama yang melewati titik centroid sehingga dapat
dianggap bahwa tidak ada data yang harus dibuang. Artinya, baik pada grafik manual
maupun grafik Excel tidak ada data yang harus dibuang.
117
Dalam pengukuran indeks bias terdapat faktor yang memengaruhi. Faktor yang
memengaruhi tersebut salah satunya adalah suhu. Dalam pengukuran indeks bias larutan
apabila suhu di tempat pengukuran tinggi, maka nilai indeks bias larutan rendah. Hal ini
disebabkan apabila terjadi peningkatan suhu, jarak antar atom akan mengalami
perubahan. Apabila jarak antar atom mengalami perubahan, maka momen dipol zat
tersebut juga mengalami perubahan. Akibatnya, indeks bias larutan semakin kecil.
Artinya, nilai indeks bias berbanding terbalik dengan nilai suhu. Semakin besar nilai
suhu, maka nilai indeks bias larutannya semakin kecil. Begitupun sebaliknya, apabila
suhu menurun maka nilai indeks bias larutannya semakin besar.
Dalam pengukuran indeks bias larutan gula diperlukan cahaya. Cahaya memiliki
sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat cahaya adalah sebagai berikut.
a. Cahaya dapat dibiaskan
Cahaya dapat dibiaskan apabila cahaya tersebut melalui dua medium yang
berbeda. Misalkan sebatang pensil yang dicelupkan di dalam gelas yang berisi
air akan terlihat patah dari samping.
b. Cahaya dapat dipantulkan
Cahaya dapat dipantulkan apabila cahaya mengenai benda yang permukaannya
mengkilap seperti kaca. Cahaya dapat dipantulkan secara teratur dan tidak
teratur.
c. Cahaya dapat merambat pada ruang hampa
Cahaya matahari sampai ke bumi melalui ruang hampa. Apabila cahaya tidak
dapat merambat pada ruang hampa, maka cahaya matahari tidak akan sampai ke
bumi.
Dalam kehidupan sehari-hari, refraktometer digunakan dalam bidang industri dan
kesehatan. Refraktometer dalam bidang kesehatan digunakan untuk mengukur total
protein plasma dalam sempel darah dan urine hewan. Dalam bidang industri,
refraktometer digunakan untuk membantu mengidentifikasi bahan permata dengan
mengukur indeks biasnya. Refraktometer bekerja dengan memanfaatkan refraksi cahaya.
118
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
119
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Mikrajuddin. 2017. Fisika Dasar II. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Giancoli, Douglas C. 2005. Physics : Principles with Applications Sixth Edition. New Jersey :
Pearson Education, Inc.
120
LAMPIRAN
(Abdullah, 2017)
121
(Giancoli,2005)
122
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(DIFRAKSI)
(PERCOBAAN – OP3)
Disusun oleh :
Nama :
NIM :
Tgl. Praktikum :
JURUSAN FISIKA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
123
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(DIFRAKSI)
Nama :
NIM :
Kelompok :
Tgl. Praktikum :
Catatan :
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………
124
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Setelah percobaan difraksi cahaya selesai diharapkan gejalan difraksi oleh celah
sempit dapat dipahami dan lebar celah tunggal serta jarak antar celah pada celah ganda
dapat ditentukan
125
r2
𝑎 𝜆
𝑆𝑖𝑛𝜃 =
2 2
𝑎 𝑆𝑖𝑛𝜃 = 𝜆 … (1.1)
126
BAB II
METODOLOGI
Pada percobaan tentang difraksi terdapat beberapa alat yang digunakan yaitu laser
He-Ne berdaya rendah, sebuah slie foto dengan celah ganda, sebuah kisi difraksi yang
terletak pada sebiah slide 35 mm, pemegang slide dengan pengatur vertical, sebuah
penggaris, dan dua lembar kertas grafik.
127
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
λ = 6,328 x 10-7 m
A B C
n
Gelap (m) Terang (m) Gelap (m) Terang (m) Gelap (m) Terang (m)
λ = 6,328 x 10-7 m
A B C
n
Gelap (m) Terang (m) Gelap (m) Terang (m) Gelap (m) Terang (m)
1 0,010 0,006 0,010 0,006 0,005 0,007
2 0,021 0,028 0,015 0,011 0,009 0,012
3 0,033 0,039 0,020 0,015 0,014 0,016
4 0,045 0,051 0,024 0,020 0,018 0,020
5 0,055 0,060 0,028 0,025 0,023 0,025
128
3. 2. Perhitungan
3.2.1 Celah Tunggal A Pola Gelap
• 𝑠𝑖𝑛 𝜃𝑛 =
𝑋𝑛 𝑋1 0,010
𝐿 𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = = 0,0143
L 0,7
𝛴𝑑𝑛 0,0002165
𝑑̅ = = = 4,33𝑥 10−5 𝑚
𝑛 5
• Ø𝑛 =
2𝜋 𝑑𝑛 sin 𝜃𝑛 2𝜋 . 4,43𝑥 10−5 . 0,0143
𝜆 Ø1 = = 6,28
6,328 𝑥 10−7
Ø2 = 12,56 Ø4 = 25,12
Ø3 = 18,84 Ø5 = 31,40
129
3.2.2 Celah Tunggal B Pola Gelap
𝑛𝜆 1,3 𝑥 10−6
𝑑𝑛 = 𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 1,43%
𝑠𝑖𝑛 𝜃𝑛 9,06 𝑥 10−5
130
3.2.4 Celah Tunggal A Pola Terang
131
3.2.6 Celah Tunggal C Pola Terang
132
3.2.8 Celah Ganda B Pola Gelap
0,005
𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = 0,0071 4,89 𝑥 10−10
0,7 𝛿𝑑 = √ = 4,95 𝑥 10−6 𝑚
5(5 − 1)
133
3.2.10 Celah Ganda A Pola Terang
0,006
𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = 0,0086 1,26 𝑥 10−9
0,7 𝛿𝑑 = √ = 7,94 𝑥 10−6 𝑚
5(5 − 1)
0,006
𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = 0,0086 1,79 𝑥 10−10
0,7 𝛿𝑑 = √ = 2,99𝑥 10−6 𝑚
5(5 − 1)
2𝜋 . 7,38x10−5 . 0,0086
Ø1 = = 6,28
6,328 𝑥 10−7
134
3.2.12 Celah Ganda C Pola Terang
0,007
𝑠𝑖𝑛 𝜃1 = = 0,0100 4,73 𝑥 10−10
0,7 𝛿𝑑 = √ = 4,86 𝑥 10−6 𝑚
5(5 − 1)
3. 3. Grafik
𝛥𝑦 1,8
• 𝑑̅ = 𝛥𝑥 . 𝜆 = 0,015
. 6,328 𝑥 10−7 = 7,59 𝑥 10−5 𝑚 Centroid = ( 0,051 ; 3 )
135
𝑌𝑎 −𝑌𝑏 6,7−2
• 𝐾𝑟 = 𝑥 100 % = 𝑥 100 % = 0,78 %
2𝑌̅ 2(3)
𝛥𝑦 2,5
• 𝑑̅ = 𝛥𝑥 . 𝜆 = . 6,328 𝑥 10−7 = 2,26 𝑥 10−4 𝑚 Centroid = ( 0,023 ; 3 )
0,007
𝑌𝑎 −𝑌𝑏 8−2
• 𝐾𝑟 = 𝑥 100 % = 𝑥 100 % = 1 %
2𝑌̅ 2(3)
𝛥𝑦 2
• 𝑑̅ = 𝛥𝑥 . 𝜆 = . 6,328 𝑥 10−7 = 2,53 𝑥 10−4 𝑚 Centroid = ( 0,0125 ; 3 )
0,0050
136
𝑌𝑎 −𝑌𝑏 4,6−2
• 𝐾𝑟 = 𝑥 100 % = 𝑥 100 % = 0,43 %
2𝑌̅ 2(3)
𝛥𝑦 4,5
• 𝑑̅ = 𝛥𝑥 . 𝜆 = . 6,328 𝑥 10−7 = 1,49 𝑥 10−4 𝑚 Centroid = ( 0,0525 ;3 )
0,0190
𝑌𝑎 −𝑌𝑏 7−1
• 𝐾𝑟 = 𝑥 100 % = 𝑥 100 % = 1 %
2𝑌̅ 2(3)
𝛥𝑦 2
• 𝑑̅ = 𝛥𝑥 . 𝜆 = . 6,328 𝑥 10−7 = 1,69 𝑥 10−4 𝑚 Centroid = ( 0,0214; 3 )
0,0075
𝑌𝑎 −𝑌𝑏 6,5−0,8
• 𝐾𝑟 = 𝑥 100 % = 𝑥 100 % = 0,95 %
2𝑌̅ 2(3)
137
3.3.6 Celah Ganda C Pola Terang
𝛥𝑦 0,5
• 𝑑̅ = 𝛥𝑥 . 𝜆 = . 6,328 𝑥 10−7 = 2,59 𝑥 10−4 𝑚 Centroid = ( 0,023 ; 3 )
0,001
𝑌𝑎 −𝑌𝑏 7,5−1
• 𝐾𝑟 = 𝑥 100 % = 𝑥 100 % = 1,08 %
2𝑌̅ 2(3)
3.4 Pembahasan
139
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari percobaan tentang difraksi yang telah dilakukan peserta praktikum fisika
dasar mampu menjelaskan gejala difraksi cahaya oleh celah sempit. Difraksi merupakan
pelenturan suatu cahaya setelah melewati suatu penghalang yang memiliki celah sempit
dan dipengaruhi oleh cahaya monokromatik yang melewati celah sempit. Selain itu
peserta praktikum fisika dasar juga mampu menentukan lebar celah tunggal serta jarak
antara celah pada celah ganda. Pada celah ganda dapat diketahui dengan menghitung
sin 𝜃
4.2. Saran
Untuk praktikan diharap agar lebih berhati-hati dalam menggunakan alat
laboratorium agar tidak terjadi kerusakan dan juga agar lebih meningkatkan ketelitian
ketika melakukan praktikum agar bisa mendapat hasil yang baik dan maksimal.
140
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. 2016. Fisika Dasar II. Bandung: Institut Teknologi Bandung Press
Halliday. 2011. Fundamental of Physics. New York: John Wiley & Sons Publisher
141
LAMPIRAN
142
143
144
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(INDEKS BIAS PRISMA)
(PERCOBAAN – OP4)
Disusun oleh :
Nama :
NIM :
Tgl. Praktikum :
JURUSAN FISIKA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
145
LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(INDEKS BIAS PRISMA)
Nama :
NIM :
Kelompok :
Tgl. Praktikum :
Catatan :
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………
146
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Teori
Pada dasarnya cahaya putih yang dilihat oleh mata manusia (cahaya tampak)
berasal dari gabungan beberapa warna yang terjajar mulai dari warna ungu (ultraviolet)
hingga warna merah (infrared) yang dapat dilihat pada spektrum cahaya tampak. Tiap-
tiap warna ini terdapat panjang gelombang cahaya yang berbeda-beda mulai dari 400nm
untuk warna ungu hingga 750nm untuk warna merah (panjang gelombang dalam udara)
namun keterbatasan pada mata yang tidak sensitive terhadap perbedaan panjang
gelombang tersebut sehingga mata hanya dapat melihatnya dalam bentuk
penggabungannya yaitu warna putih. Dalam beberapa keperluan tentu dibutuhkan
gelombang cahaya dalam panjanga gelombang tertentu saja dan untuk itu diperlukan
pembiasan oleh prisma karena prisma dapat menjadi pemecah cahaya putih menjadi
cahaya warna-warni yang sesuai dengan panjang gelombangnya masing-masing karena
pada prisma akan terjadi pembengkokan dari masing-masing panjang gelombang
tersebut. Semakin kecil panjang gelombangnya maka akan semakin besar sudut
pembengkokannya (Giancoli, 2016).
Dalam hal ini dapat diartikan bahwa cahaya tampak masuk ke dalam prisma
tersebut dan kemudian dibengkokan terhadap masing-masing panjang gelombangnya.
Saat suatu gelombang elektromagnetik masuk ke dalam suatu material maka akan terjadi
perubahan laju dan panjang gelombang, namun dalam frekuensi yang tetap sama, oleh
karena itu perlu didefinisikan atau dibuat suatu besaran yang menjadi penentu laju cahaya
yang masuk ke dalam suatu material yang dalam hal ini adalah prisma. (Abdullah, 2017).
147
BAB II
METODOLOGI
148
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Hasil Percobaan
a(cm)
b (cm) sudut prisma
merah hijau biru
6,6 6,7 6,9
15 45° 2,5 2,5 2,5
7,5 7,8 7,5
9,1 9,2 9,2
20 45° 9,5 9,6 9,8
8,2 8,2 8,2
12 12 12,2
25 45° 11,6 11,8 11,8
10,5 10,6 10,6
3.2 Perhitungan
3.2.1 Filter merah
∑𝑎
• 𝑎𝑛 (𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏 𝑠𝑎𝑚𝑎) = , 𝑛 = 1, 2, 3
3
• 𝑏 = 𝑏𝑛
𝑎
• 𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 = tan−1 𝑏𝑛 𝑛 = 1, 2, 3
𝑛
∑ |𝑎𝑛 −𝑎̅|2 ∑ |𝑏𝑛 −𝑏̅|2
• ∆𝑎 = √ , ∆𝑏 = √
(𝑛−1) (𝑛−1)
𝑎𝑛 𝑏𝑛
• ∆𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 = ∆𝑏 , ∆𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 = ∆𝑎 , n = 1, 2 , 3
(𝑎𝑛 2 + 𝑏𝑛 2 ) (𝑎𝑛 + 𝑏𝑛 2 )
2
149
3.2.2 Filter hijau
∑𝑎
• 𝑎𝑛 (𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏 𝑠𝑎𝑚𝑎) = , 𝑛 = 1, 2, 3
3
• 𝑏 = 𝑏𝑛
𝑎
• 𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 = tan−1 𝑏𝑛 𝑛 = 1, 2, 3
𝑛
∑ |𝑎𝑛 −𝑎̅|2 ∑ |𝑏𝑛 −𝑏̅|2
• ∆𝑎 = √ , ∆𝑏 = √
(𝑛−1) (𝑛−1)
𝑎𝑛 𝑏𝑛
• ∆𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 = ∆𝑏 , ∆𝛿𝑚𝑖𝑛−𝑛 = ∆𝑎 , n = 1, 2 , 3
(𝑎𝑛 2 + 𝑏𝑛 2 ) (𝑎𝑛 + 𝑏𝑛 2 )
2
Setelah semua alat selesai dirangkai (tanpa prisma), sumber Chaya polikromatik
dinyalakan kemudian dicari letak peresolusian terbaik dengan cara pemutaran tuas yang
terdapat pada celah, hal ini dilakukan agar didapatkan kerapatan dan ketajaman warna
yang akan dihasilkan dari pemisahan warna oleh prisma nantinya, sehingga dapat
mempermudah pemisahan dan pengukuran jarak dari titik pusat (awal) cahaya ke warna
yang akan diukur. Dilakukan pemasangan prisma pada tempat yang telah ditentukan
sebelumnya kemudian diatur sisi dari prisma tersebut agar didapatkan warna yang
terdifraksi secara baik dan tajam, setelah itu dipasngkan filter cahaya pada tempat yang
telah disiapkan. Filet cahaya yang digunakan yaitu merah, hijau, dan biru. Ketiga filter
ini dipasangkan secara bergantian dengan dilakukannya pengukuran jarak yang
dihasilkan dari titik pusat ke warna (merah/hijau/biru). Setiap pengukuran pada jarak
yang sama dilakukan sebanyak 3 kali, sehingga pada jarak yang sama didapatkan 9 data.
Jarak (b) yang digunakan juga berubah sebanyak 3 jarak yaitu 15cm, 20cm, dan 25cm
sehingga setiap prisma yang digunakan didapatkan variasi data sebanyak 27 buah dan
digunakan 2 buah prisma yaitu prisma 30° dan 45° , sehingga didapatkan total variasi
data sejumlah 54 buah data. Hal ini dilakukan agar didapatkan data pengurukan yang
memiliki ketelitian tinggi.
Perbedaan mendasar dari prisma kuarsa dan prisma kaca flinta terdapat pada besar
nilai indeks bias mutlaknya. Pada medium kuarsa, indeks bias mutlaknya bernilai sebesar
1,46. Sedangkan pada medium kaca flinta, indeks bias mutlaknya bernilai 1,62. Besar
dari indeks bias ini akan berpengaruh pada pemngkokan cahaya (gelombang
elektromagnetik) yang keluar dari prisma tersebut. Semakin besar indeks biasnya maka
semakin bengkok ke garis normalnya.
151
Hukum Snell adalah rumus matematika yang memberikan hubungan antara sudut
datan dang sudut bias dari gelombang elektromagnetik yang bergerak pada dua medium
dengan kerapatan yang berbeda. Nama dari hokum ini diambil dari nama penemunya
yaitu Willebrand Snellius. Perumusan matematisnya adalah
𝑐
𝑛1 𝑣1
= 𝑐 ...(3.4)
𝑛2
𝑣2
𝑛1 𝑣
= 𝑣2 ...(3.5)
𝑛2 1
𝑛1 𝜆
= 𝜆2 ...(3.7)
𝑛2 1
152
Panjang gelombang dari warna ungu ialah 400nm sedangkan merah ialah 750nm.
Dapat dilihat pada gambar 1 dimana cahaya ungu berada pada jark yang paling jauh dari
titik awal dari cahaya putih, sedangkan cahaya merah berada pada jarak yang paling
dekat. Kemudian untuk indeks bias sendiri akan berpengaruh juga pada pembengkokan
dari cahaya yang dihasilkan nantinya semakin besar nilai indeks biasnya maka akan
semakin kecil sudut pembiasannya yang artinya, cahaya akan semakin dibengkokan
kepada garis normalnya.
153
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan indeks biar prisma yang telah dilakukan ini dapat
disimpulakan bahwa cahaya putih adalah hasil penggabungan dari warna cahaya pelangi,
sehingga pada dasarnya pembentukan cahaya ini dapat dipisahkan dengan penggunaan
prisma. Pemisahan pembentukan cahaya ini dilakukan berdasarkan Panjang gelombang
dari masing-masing cahaya pembentukannya. Dengan penggunaan filter warna merah,
hijau, dan biru didapatkan urutan jarak masing-masing warna mulai dari yang terdekat
hingga yang terjauh adalah merah-hijau-biru. Pengurutan warna ini sesuai dengan teori
disperse cahaya berdasar panjang gelombangnya.
4.2 Saran
Disarankan sebelum dilakukannya percobaan ini, terlebih dahulu paham akan teori
dan prinsip-prinsip mendasar dari gelombang elektromagnetik, prisma dan indeks bias
agar dapat dilakukan percobaan dengan baik dan benar.
154
Daftar Pustaka
Abdullah, Mikrajudin. 2017. Fisika Dasar II. ITB: Bandung.
Giancoli, Douglas C. 2016. Physics: Principles with Application, seventh edition. New York:
Pearson Eduacation
155
LAMPIRAN
156