Anda di halaman 1dari 146

LAPORAN BESAR PRAKTIKUM

FISIKA DASAR

FISIKA C

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
DAFTAR ISI

Halaman Sampul .............................................................................................. i


Daftar Isi........................................................................................................... ii
LM1 : Hukum Ohm .......................................................................................... 1
LM2 : Jembatan Wheatsone ............................................................................. 12
LM3 : Hukum Kirchoff .................................................................................... 25
LM4 : Medan Magnet ...................................................................................... 38
LM5 : Resonansi Rangkain LRC ..................................................................... 54
OP1 : Lensa Tippis ........................................................................................... 70
OP2 : Indeks Bias Larutan ............................................................................... 85
OP3 : Difraksi Cahaya ..................................................................................... 97
OP4 : Indeks Bias Prisma ................................................................................. 128
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(HUKUM OHM)

(PERCOBAAN-LM1)

Nama :
NIM :
Fak/Jurusan : MIPA/ Fisika
Kelompok :
Tgl.Praktikum :
Nama Asisten : Muhammad Rikza Maulana

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah diharapkan dapat dipahaminya konsep tentang hokum
ohm oleh praktikan dan besarnya arus dan tegangan listrik dalam suatu rangakaian dapat
ditentukan.

1.2 Dasar Teori


Hukum Ohm didefinisikan sebagai apabila suatu konduktor logam pada temperature
konstan, maka perbandingan antara perbedaan potensial antara dua titik dari konduktor dengan
arus listrik adalah konstan. Konstanta tersebut merupakan hambatan listrik. Secara matematik
hokum ohm dapat dituliskan sebagai berikut :
𝑉
R= …….……………………(1.1)
𝐼

(Wahyudi,2015).
Sebuah resistor adalah konduktor yang memberikan resistansi yang spesifik pada suatu
rangkaian listrik. Simbol dari resistor dalam diagram yaitu zig zag. Hukum ohm memiliki
hubungan empiris yang valid hanya dengan suatu material tertentu. Apabila suatu material
mematuhi hukum ohm dan juga memiliki resistansi konstan terhadap tegangan maka material
tersebut dapat dikatakan ohmic, dan apabila resistansinya berubah dengan tegangan dan arus
maka material tersebut dapat dikatakan non ohmic. Material ohmic memiliki hubungan linear
dengan arus dan tegangan dalam jangkauan tegangan yang diberikan. Sedangkan alat atau
material non ohmic memiliki hubungan yang tidak linear dengan arus dan tegangan. Salah satu
alat semikonduktor yang tidak memiliki hubungan yang linear dengan arus dan tegangan atau
non ohmic adalah diode (Serway et all, 2009).

2
BAB II
METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan


Dibutuhkan beberapa alat dan bahan untuk pelaksanaan percobaan Hukum Ohm ini,
antara lain sumber daya AC/DC, voltmeter, amperemeter, beberapa resistor, beberapa kabel
penghubung, beberapa buah jumper, serta sebuah breadboard.

2.2 Tata Laksana Percobaan

Rangkaian disusun seperti pada gambar dengan R = 100 ohm.

Hasil pengukuran V dan I dicatat dalam tabel.

Hambatan diubah pada R = 220 ohm dan R =300 ohm (atau menurut
petunjuk asisten). Kemudian hasil pengukuran V dan I dicatat dalam tabel.

Rangkaian disusun seperti gambar. Hambatan yang digunakan adalah R =


100 ohm, R = 220 ohm, R = 300 ohm (atau menurut petunjuk asisten) dan
hasil pengukuran V dan I pada masing-masing besar hambatan dicatat dalam
tabel.

Hasil.

3
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHSAN

3.1 Data Hasil Percobaan

I (A)
V (volt)
R = 100Ω R = 220Ω R = 300Ω

2 0.0201 0.0094 0.0078

4 0.04 0.0185 0.0152


6 0.0595 0.0276 0.023
8 0.08 0.0369 0.0312
10 0.1006 0.0461 0.0396

3.2 Grafik
a) R = 100Ω
∑V 2+4+6+8+10
x̅ = = =6V
n 5
∑V 0.021+0.04+0.0595+0.08+0.0106
y̅ = = = 0.06 A
n 5
Centroid ( x̅ ; 𝑦̅ ) = ( 6 ; 0.06)

4
y2− y1 0.04−0.054
tan θ = x = = 0.01
2− x1 6.4−5.4
1 1
R = tan 𝜃 = 0.01 = 100Ω
yb− y𝑎 0.05−0.07
Kr = ̅
× 100% = = 16.6%
2y 2 ×0.06

b) R = 220Ω
∑V 2+4+6+8+10
x̅ = = =6V
n 5
∑V 0.094+0.0185+0.0276+0.0369+0.0461
y̅ = = = 0.028 A
n 5
Centroid ( x̅ ; 𝑦̅ ) = ( 6 ; 0.028)

y2− y1 0.03−0.025
tan θ = x = = 0.005
2− x1 6.4−5.4
1 1
R = tan θ = 0.05 = 200Ω
yb− y𝑎 0.022−0.032
Kr = ̅
× 100% = = 17.8%
2y 2 ×0.028

c) R = 300Ω
∑V 2+4+6+8+10
x̅ = = =6V
n 5
∑V 0.078+0.0152+0.023+0.0312+0.0396
y̅ = = = 0.023 A
n 5
Centroid ( x̅ ; 𝑦̅ ) = ( 6 ; 0.023)

5
y2− y1 0.025−0.02
tan θ = x = = 0.0035
2− x1 6.6−5.2
1 1
R = tan 𝜃 = 0.035 = 285.7Ω
yb− y𝑎 0.018−0.28
Kr = ̅
× 100% = = 21.7%
2y 2 ×0.023

3.3 Pembahasan
3.3.1 Analisis Prosedur
Percobaan hukum Ohm yang telah dilakukan tentunya didukung oleh berbagai alat
dengan fungsinya masing-masing. Sumber arus AC/DC berfungsi sebagai beda potensial
pada setup rangkaian, sehingga timbul arus listrik. Sebuah voltmeter berfungsi sebagai
pengukur beda potensial pada tiap resistor di rangkaian. Sebuah amperemeter berfungs
sebagai pengukur arus listrik pada rangkaian. Ada beberapa resistor yang berfungsi sebagai
penahan atau penghambat arus listrik pada rangkaian. Kabel konektor berfungsi sebagai
penghubung antara komponen-komponen, sehingga terjadi aliran arus pada rangkaian
tertutup. Breadboard berfungsi sebagai konstruktor dari suatu rangkaian listrik atau
elektronika. Alat yang terakhir adalah jumper. Alat ini berfungsi sebagai penghubung
rangkaian listrik satu dengan yang lainnya pada breadboard.
Ada beberapa fungsi perlakuan pada setiap langkah di percobaan kali ini. Rangkaian
yang digunakan pada percobaan kali ini adalah seri, hal ini dilakukan untuk identifikasi
bahwa rangkaian seri adalah rangkaian pembagi tegangan. Nilai resistor yang digunakan
dimulai dari yang bernilai kecil, hal ini bertujuan untuk identifikasi arus yang dihasilkan akan
semakin kecil seiring dengan bertambahnya nilai resistansi dari resistor yang digunakan pada

6
rangkaian. Pemasangan multimeter sebagai voltmeter pada breadboard dipasang paralel
karena rangkaian paralel nilai beda potensialnya tetap. Langkah terakhir adalah plotting data
pada tabel dan grafik, hal ini dilakukan untuk proses perhitungan nilai resistansi dari resistor
serta perhitungan nilai Kr yang dihasilkan.
3.3.2 Analisis Hasil
Percobaan hukum Ohm dapat dilihat pada tabel 3.1. Nilai arus listrik yang
didapatkan sebagai analisis yaitu pada susunan resistor 100 Ohm dan/saat diberi beda
potensial sebesar 2 Volt. Berdasarkan hukum Ohm, nilai arus yang timbul pada rangkaian
tertutup akan sebanding dengan beda potensial yang diberikan dan berbanding terbalik
dengan resistansi rangkaian yang disebabkan dengan adanya resistor. Nilai arus listrik yang
dideteksi oleh multimeter adalah 20,1 mA. Berdasarkan hal tersebut, percobaan yang
dilakukan sudah sesuai dengan hukum Ohm secara teori. Akan tetapi, pada rangkaian dengan
pemasangan resistor 300 Ohm, nilai “range” arus yang dihasilkan cukup jauh dibandingkan
dengan arus yang lainnya. Faktor utama pada kesalahan ini adalah terlalu tergesa-gesa ketika
proses pembacaan multimeter sebagai pengukur arus. Multimeter yang masih bekerja untuk
proses penentuan arus listrik yang dibaca belum stabil justru telah dibaca sebagai nilai arus
sebenarnya oleh praktikan.
Data yang dihasilkan pada percobaan ini dapat di-plot-kan pada grafik dengan
hubungan V dan I pada sumbu X dan Y. Penentuan posisi V pada sumbu X disebabkan nilai
beda potensial adalah independent variable yang nilainya akan berpengaruh pada nilai I
sebagai dependent variable. Grafik V terhadap I berbentuk linear, hal ini sesuai dengan
persamaan hukum Ohm, bahwa arus listrik yang timbul berbanding lurus dengan beda
potensial yang diberikan. Nilai Kr dapat dihitung juga berdasarkan grafik yang dibuat. Nilai
Kr terbesar dihasilkan pada pemasangan resistor 300 Ohm. Hal ini didapatkan dari jauhnya
range dari nilai arus yang dihasilkan.
Hukum Ohm pada rangkaian sederhana listrik dinamis identik dengan komponen
sumber arus (beda potensial) dan resistor. Beda potensial diperlukan pada suatu rangkaian
agar arus listrik dapat timbul. Hukum Ohm dapat diterapkan pada rangkaian listrik AC
ataupun DC. Rangkaian listrik AC dapat diidentifikasi arusnya karena berubah-ubah yang
artinya sinyal arus pada rangkaian listrik AC bergerak naik-turun tidak bergerak dari kutub
positif ke negatif, akan tetapi hanya bolak-balik saja pergerakannya. Arus listrik AC banyak
dihasilkan oleh generator AC. Rangkaian listrik DC dapat diidentifikasi dari arah arus
listriknya yang searah saja. Arus listrik DC akan bergerak dari kutub positif ke kutub negatif.
Sumber arus DC dapat dihasilkan dari batu baterai.
Aplikasi hukum Ohm sudah banyak digunakan dan diterapkan di kehidupan sehari-
hari, contohnya seperti peristiwa penurunan tegangan (voltage drop) yang sering terjadi di
daerah perkotaan atau padat penduduk. Peristiwa ini kerap dilakukan oleh PLN sekitar untuk
suatu proses maintenance transformator. Ketika peristiwa tersebut terjadi, arus listrik yang
terdistribusi ke seluruh rumah akan berkurang. Hal ini teradi karena sumber arus dari PLN
dikurangi tanpa proses penggantian nilai resistansi (tanpa penggantian kabel listrik).
7
Peristiwa ini sesuai dengan konsep hukum Ohm, yaitu ketika sumber arus yang dihasilkan
turun, arus listrik yang dihasilkan akan turun juga ( V ~ I).

8
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pada percobaan tentang hukum ohm dapat disimpulkan bahwa hukum ohm merupakan
hukum yang menyatakan besar arus listrik yang melewati suatu hambatan selalu berbanding
lurus dengan dengan nilai tegangan. Sehingga dari pernyataan tersebut daat dirumuskan sebagai
I=V/R, dengan begitu dapat ditentukan besarnya arus yang timbul dengan diketahuinya
tegangan dan resistasi pada suatu rangkaian dengan hukum ohm.

4.2 Saran
Adapun saran yang diberikan yakni kepada para praktikan untuk lebih memahami
konsep hukum ohm dan lebih teliti dalam pengambilan data agar data yang didapatkan memiliki
kesalahan relatif yang kecil.

9
DAFTAR PUSTAKA
Serway, Raymond A., Chriss Vuille dan Jerry S. Faughin. 2009. College Physics Eight Edition.
Belmont : Brooks / Cole
Wahyudi. Analisis Hasil Belajar Mahasiswa Pada Pokok Bahasan Hukum Ohm Dan Kirchoff
Dalam Mata Kuliah Elektronika Dasar I. Jurnal Pendidikan Fisika dan Teknologi. Vol, 1:
131-132

10
LAMPIRAN

(Wahyudi, 2015)

(serway et all, 2009)

11
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
( JEMBATAN WHEATSTONE)

(PERCOBAAN-LM2)

Nama :
NIM :
Fak/Jurusan : MIPA/ Fisika
Kelompok :
Tgl.Praktikum :
Nama Asisten : Il Ismi Mufa’idah

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018

12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan Percobaan
Pada praktikum percobaan Jembatan Wheatstone ini diharapkan agar praktikan dapat
dijelaskannya dasar pengukuran hambatan listrik dengan metode arus nol dan ditentukannya nilai
suatu hambatan listrik dengan digunakannya metode Jembatan Wheatstone.
1.2 Dasar Teori
Jembatan wheatstone adalah resistansi alat ukur yang sangat reaktif dimana perlakuan dari
sensor suhu dijadikan standa. Terdapat suatu kemungkinan untuk penggunaan jembatan
wheatstone ketika berada pada keseimbangan untuk indikasi langsung dari suhu, tetapi dengan
kurang presisi. Jembatan wheatstone digunakan untuk mengukur suatu resistansi yang belum
diketahui nilainya sebelumnya. Bila ada sebuah rangkaian yang diisi resistor, dan ingin
menemukan resistansinya maka dengan syarat :
I1.R1 = I2.R2 ……………………………………………………….(1.1)
I1.R3 = I2.Rx ……………………………………………………….(1.2)
Maka, dapat disimpulkan bahwa
𝑅2 .𝑅1
Rx = 𝑅1

(Halliday,2004).
Jembatan wheatstone terdiri dari 4 lengan resitif bersama dengan sebuah sumber EMF dan
detektoe null. Syarat syarat agar terjadinya keseimbangan, diantara lain adalah:
1. Tergantung ratio R1 & R2
2. Hasil tidak bergantung kalibrasi dan sifat - sifat galvanometer
3. Resistansi standar R3 bisa banyak menandakan keseimbangan

(Bakksi,2009).

13
BAB II
METODOLOGI
2.1 Alat dan Bahan Percobaan
Pada praktikum fisika ”Jembatan wheatstone”ini dipergunakan beberapa alat dan bahan
seperti satu buah bangku jembatan wheatstone,sebuah galvanometer,satu buah sumber tegangan
arus searah,beberapa buah hambatan yang akan ditentukan nilainya (Rx),dan sebuah hambatan
standar yang diketahui nilainya (Rs),serta kabel-kabel penghubung.

2.2 Tata Laksana Percobaan

Disiapkan peralatan dan disusun rangkaian seperti pada petunjuk dengan digunakan
salah satu hambatan yang akan ditentukan nilainya dan hambatan standar.

Jika rangkaian sudah benar hubungkan dengan sumber tegangan.

Geser kontak K pada kawat sampai jarum pada galvanometer berada pada angka
nol.Apabila kontak sudah sampai di ujung kawat sedangkan jarum belum berada
pada angka nol,ubahlah nilai hambatan standard an ulangi langkah diatas.

Dicatat nilai Rs,L1 dan L2.Kemudian,dengan Rs yang masih sama ulangi


langkah ke-3 dan ke-4 dengan diubah kutub sumber tegangannya.

Dengan Rx1 yang masih sama ulangi langkah ke-3 sampai ke-5 dengan diubah nilai
Rs beberapa kali (sesuai dengan petunjuk).

Ulangi beberapa kali percobaan dengan nilai Rx yang berbeda.

14
HASIL
BAB III
ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Hasil Percobaan


3.1.1 Rx1

Rx1
Polaritas A Polaritas B
No Rs L1(m) L2(m) L1(m) L2(m)
1 470 0.316 0.694 0.318 0.692
2 1000 0.504 0.496 0.508 0.492
3 1500 0.613 0.397 0.609 0.351
4 2000 0.667 0.333 0.674 0.326
5 3300 0.774 0.226 0.782 0.218

3..1.2 Rx2

Rx2
Polaritas A Polaritas B
No Rs L1(m) L2(m) L1(m) L2(m)
1 470 0.232 0.768 0.235 0.765
2 1000 0.401 0.599 0.407 0.593
3 1500 0.503 0.497 0.51 0.49
4 2000 0.573 0.427 0.578 0.422
5 3300 0.695 0.305 0.7 0.3

3.1.2 Rx3

Rx3
Polaritas A Polaritas B
No Rs L1(m) L2(m) L1(m) L2(m)
1 470 0.184 0.716 0.183 0.717
2 1000 0.335 0.665 0.345 0.655
3 1500 0.427 0.573 0.44 0.56
4 2000 0.455 0.505 0.515 0.385
5 3300 0.629 0.371 0.637 0.363

15
3.2 Perhitungan
3.2.1 Rx1

Rx1
Polaritas A Polaritas B
(Rx-Rxrata- (Rx-Rxrata-
No Rx Rx rata-rata rata)^2 Rx Rx rata-rata rata)^2
1 1032.21519 989.9721382 1784.475413 1022.767296 948.6222304 5497.490697
2 984.1269841 989.9721382 34.16582641 968.503937 948.6222304 395.2822588
3 971.451876 989.9721382 343.0001121 864.5320197 948.6222304 7071.16353
4 998.5007496 989.9721382 72.73721244 967.3590504 948.6222304 351.0684265
5 963.5658915 989.9721382 697.2898675 919.9488491 948.6222304 822.1627933
Rx1
δRx1 24.21432812
KrRx1 2%
Rx1 989.9721382 ± 24.21432812
δRx1 53.17361697
KrRx1 5%
Rx1 948.6222304 ± 53.17361697

3.2.2 Rx2

Rx2
Polaritas A Polaritas B
(Rx-Rxrata- (Rx-Rxrata-
No Rx Rx rata-rata rata)^2 Rx Rx rata-rata rata)^2
1 1555.862069 1494.067569 3818.560204 1530 1460.534451 4825.462516
2 1493.765586 1494.067569 0.09119381686 1457.002457 1460.534451 12.47498066
3 1482.107356 1494.067569 143.0467024 1441.176471 1460.534451 374.7314005
4 1490.401396 1494.067569 13.44082457 1460.207612 1460.534451 0.1068233462
5 1448.201439 1494.067569 2103.701911 1414.285714 1460.534451 2138.945635
Rx2
δRx2 34.86786726
KrRx2 2%
Rx2 1494.067569 ± 34.86786726
δRx1 38.34506841
KrRx1 3%
Rx1 1460.534451 ± 38.34506841

16
3.2.3 Rx3

Rx3
Polaritas A Polaritas B
(Rx-Rxrata- (Rx-Rxrata-
No Rx Rx rata-rata rata)^2 Rx Rx rata-rata rata)^2
1 1828.913043 1998.614269 28798.50599 1841.47541 1804.959285 1333.42735
2 1985.074627 1998.614269 183.3219127 1898.550725 1804.959285 8759.357514
3 2012.880562 1998.614269 203.5271139 1909.090909 1804.959285 10843.39507
4 2219.78022 1998.614269 48914.37773 1495.145631 1804.959285 95984.50036
5 1946.422893 1998.614269 2723.939692 1880.533752 1804.959285 5711.500008
Rx3
δRx3 127.1406091
KrRx3 6%
Rx3 1998.614269 ± 127.1406091
δRx1 156.6091826
KrRx1 8%
Rx1 1804.959285 ± 156.6091826

3.3 Grafik
3.3.1 Rx1

POLARITAS A POLARITAS B
1/Rs L2/L1 40.84625776 1/Rs L2/L1 42.25595607
0.002127659574 2.196202532 0.002127659574 2.176100629
0.001 0.9841269841 0.001 0.968503937
0.0006666666667 0.647634584 0.0006666666667 0.5763546798
0.0005 0.4992503748 0.0005 0.4836795252
0.000303030303 0.2919896641 0.000303030303 0.2787723785
0.0009194713088 0.9238408277 0.0009194713088 0.8966822299

17
3.3.2 Rx2

POLARITAS A POLARITAS B
1/Rs L2/L1 40.78203379 1/Rs L2/L1 41.01571721
0.002127659574 3.310344828 0.002127659574 3.255319149
0.001 1.493765586 0.001 1.457002457
0.0006666666667 0.9880715706 0.0006666666667 0.9607843137
0.0005 0.7452006981 0.0005 0.7301038062
0.000303030303 0.4388489209 0.000303030303 0.4285714286
0.0009194713088 1.395246321 0.0009194713088 1.366356231

3.3.3 Rx3

POLARITAS A POLARITAS B
1/Rs L2/L1 35.89193545 1/Rs L2/L1 40.24054886
0.002127659574 3.891304348 0.002127659574 3.918032787
0.001 1.985074627 0.001 1.898550725
0.0006666666667 1.341920375 0.0006666666667 1.272727273
0.0005 1.10989011 0.0005 0.7475728155
0.000303030303 0.5898251192 0.000303030303 0.5698587127
0.0009194713088 1.783602916 0.0009194713088 1.681348463

18
3.4 Pembahasan
3.4.1 Analisa Prosedur
Peralatan yang digunakan untuk praktikum jembatan wheatstone antara lain adalah sumber
tegangan, yaang berfungsi mensuplai tegangan menuju rangkaian. Sebuah galvanometer, yang
berfungsi sebagai alat pengukur arus yang kemudian akan diatur sehingga jarum ditunjuknya angka
nol. Bangku jembatan wheatstonr yang berfungsi sebagai variabel atau alat yang dapat di ubah
ubah dan ditentukan panjang L1 dan L2. Untuk jarum galvanometer tepat ditunjuknya angka nol.
Beberapa hambatan yang diketahui nilainya adalah alat pembanding ssatu sama lain yang juga
dipengaruhi arus dalam rangkaian. Kabel penghubung digunakan sebagai alat untuk
dihubungkannya arus dan tegangan ke hambatan atau galvanometer.
Dalam percobaan ketika ingin diubahnya L1 dan L2, harus dari kawat homogen dan
dijalankan dengan ditempelkan secara hati hati. Tidak Boleh hingga kabel terlepas dan kawat
homogen karena perhitungan galvanometer juga akan kembali dari awal lagi. Dan sebaliknya
dilakukan pengukuran disaat lingkungan renggang atau tidak bergetar, karena akan dipengaruhinya
gerak jarum galvanometer.

3.4.2 Analisah Hasil

Dalam praktikum telah didapatkan hasil perhitungan dari 3 hambatan yang belum diketahui
nilainya. Dan hasil perhitungan A didapatkan Rx1 sebesar 989,97 ± 24,21 Ω dengan Kr sebesar
2%. Nilai Rx2 yang didapatkan sebesar 1494,067 ± 34,87 Ω dengan Kr sebesar 2% dan nilai Rx3
sebesar 1998.614 ± 127,14 Ω dengan Kr sebesar 6% dari ketiga data yang didapat, bisa kita
simpulkan bahwa datanya cukup akurat, dan diharapkan nilai Kr nya dibawah 20%. Dalam
perhitungan B didapatkan Rx1 sebesar 948,6 ± 53,17 Ω dengan Kr sebesar 5% untuk Rx2 sebesar
1460 ± 38,34 Ω dengan Kr sebesar 3% dan Rx3 sebesar 1804,95 ± 156 Ω dengan Kr sebesar 8%
dapat dilihat tidak ada perbedaan signifikan diantara polatiras A dan Polaritas B.

Dengan mennggunakan metode Grafik, bisa dilihat nilai Rx1 Polaritas A sebesar 987 Ω
dengan Kr 40% untuk polaritas B sebesar 973 Ω dengan Kr 42,25% pada Rx2 polaritas A
didapatkan nilai Rx = 1510 Ω dengan Kr 40,78% dan polatiras B sebesar 1470 Ω dengan Kr 41,01%
sedangkan untuk Rx3 didapatkan nilai polaritas A sebesar 1950 Ω dengan Kr 35,89% dan nilai
polaritas B sebesar 1997 Ω dengan Kr 40.24% dapat diliat lagi tidak ada perbedaan signifikan
antara polaritas A dan juga polaritas B hal ini terjadi karena polaritas listrik hanya menentukan
arah listrik bergerak, sedangkan nilai listrik tersebut dalam menentukan nilai Rx tetap sama.

Polaritas adalah pemisahan muatan listrik yang mengarah ke molekul atau gugus yang
memiliki momen dipol. Polaritas listrik dibedakan menjadi 3. Yaitu positif (+), negates (-) dan
netral atau 0. Berdasarkan listrik yang mengalir dari yang teganngan (+) ke (0) lalu ke (-) tetapi
tidak bisa sebaliknya.

Hukum yang berlaku pada percobaan ini diantara lain adalah hukum ohm (Ω) yang
menyatakan bahwa besar arus listrik yang melalui sebuah penghantar selalu berbanding lurus
dengan beda potensial yang diterapkan kepadanya. Dalam percobaan ini mematuhi hukum ohm
karena nilai resistansinya tidak tergantung pada besar polaritas beda potensial yang dikanekan.
Selain itu, diberlakukan juga hukum Kirchoff pada rangkaian ini, yang berbunyi pada setiap titik
19
percobaan dalam circuit, jumlah dari arus yang masuk kedalam titik itu sama dengan jumlah arus
yang keluar dari titik tersebut. Jumlah total arus pada sebuah titik adalah nol. Hasil kali antara
hambatan – hambatan berhadapan yang satu akan sama dengan hasil kali hambatan yang
berhadapan lainnya. Hukum Kirchoff juga berlaku yang berbunyi “ Dalam rangkaian tetutup,
jumlah Aljabar dan jumlah penurunan potensial sama dengan 0. Yang dimaksudkan tidak adanya
energy listrik yang hilang dalam rangkaian tersebut.

Contoh aplikasi jembaran wheatstone dalam percobaan mengatur regangan benda uji
berupa beton dan baja menggunakan strain giage. Yaitu semacam pita yang terdiri dari rangkaian
listrik untuk mengatur dilatasi benda uji material ditaruh atau ditekan, maka akan terjadi perubahan
dimensi . Perubahan dimensi pada penghantar menyebabkan perubahan hambatan listrik.
Perubahan hambatan ini sangat kecil sehingga untuk mendapatkan hasil eksaknya harus
dimasukkan kedalam rangkaian jembatan wheatstone.

20
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Pada praktikum”Jembatan Wheatstone”ini kesimpulan yang dapat diambil adalah pada saat
galvanometer menunjukkan angka nol maka dapat digunakan perbandingan antara hambatan yang
digunakan dengan hambatan yang diperoleh yang dapat ditentukan nilainya.Dasar pengukurannya
dengan diketahui nilai nol galvanometer pada (L) kawat homogen.

4.2 SARAN
Saran yang dapat diberikan adalah agar alat yang tersedia agar dapat dirawat secara berkala agar
dapat digunakan dengan baik pada tahun-tahun berikutnya.

21
DAFTAR PUSTAKA
Bakksi, Uday A., 2009. Fundamental Of Instrumentation. India : Technical Publication. Pure
Halliday, David dkk., 2005. Fundamental Of Physics. New York : John Willey & Sons.

22
LAMPIRAN

23
24
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(HUKUM KIRCHOFF)

(PERCOBAAN-LM3)

Nama :
NIM :
Fak/Jurusan : MIPA/ Fisika
Kelompok :
Tgl.Praktikum :
Nama Asisten : Tri Ainur Rokhis

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018

25
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Percobaan


Tujuan dari dilaksanakannya praktikum kali ini adalah agar dapat dipahami hukum kirchoff
menganai arus dan tegangan listrik oleh para praktikan, lalu dapat diterapkan kegunaan hukum
kirchoff pada rangkaian listrik sederhana, serta dapat diukurnya besaran arus dan tegangan listrik
pada rangkaian DC.

1.2 Dasar Teori


Apabila terdapat suatu sumber tegangan tunggal dan komponen penghubung, merupakan
masalah sederhana agar mendapatkan arus yang melewati rangkaian dan tegangan yang terdapat
pada titik tertentu. Ketika memilih beberapa komponen, diperlukan lagi banyak peraturan.
Peraturan ini dicetuskan oleh Gustav Kirchoff dan dikenal sebagai Hukum Kirchoff yang mengatur
mengenai arus (KCL) dan tegangan (KVL). KCL lebih berhubungan pada arus yang masuk dan
keluar dari simpul. Simpul tersebut merupakan simpangan pada rangkaian tertutup dimana terdiri
dari dua atau lebih rangkaian yang dihubungkan. Sumber tegangan dan komponen 𝑛1 dan 𝑛2 yang
terhubung pada simpul a. Hukum Kirchoff menyatakan bahwa arus yang masuk pada simpul akan
berjumlah sama dengan arus yang keluar (Sayood. 2005).
Terdapat dua hukum penting berdasarkan sifat fisik pada tegangan listrik dan terbentuk dari
analisa rangkaian. Hukum tersebut adalah hukum kirchoff mengenai arus (KCL) dan tegangan
(KVL). Dimana KCL adalah prinsip konservasi muatan listrik sedangkan KVL berdasarkan prinsip
konservasi energi. Pada KCL, jumlah arus yang melewati suatu simpul rangkaian memiliki nilai
nol. Pada simpul C didapatkan persamaan :

𝐼1 +𝐼2 +𝐼3 = 0 ……………………. (1.1)

Disisi lain, pada KVL, dimana jumlah tegangan disekitar loop memiliki nilai sama dengan nol.
Pada sekitar loop konversi dimana berguna untuk mengetahui tegangan keluaran menjadi positif
dan potensial naik menjadi negatif. Persamaan pengaplikasian KVL atau hukum Kirchoff
mengenai tegangan dapat dituliskan sebagai berikut :

𝑉𝐴𝐵 +𝑉𝐵𝐶 +𝑉𝐶𝐸 +𝑉𝐸𝐴 = 0 ………….. (1.2)


(Chen, 2004).

Hukum Kirchoff untuk arus (KCL) menyatakan bahwa jumlah arus ada nodes = 0. Jika
digunakan KCL seperti gambar 1.1, maka diperoleh persamaan :

∑ 𝑖 = 0 = 𝐼1 +𝐼2 +𝐼3 +𝐼4 ………….. (1.3)

Dibutuhkan suatu referensi agar dapat memudahkan dalam menganalisis suatu rangkaian listrik,
referensi untuk arah arus pada rangkaian listrik sebagai berikut, nilai positif untuk arus menuju
simpul sedangkan nilai negative untuk arus yang keluar dari simpul.

26
𝑖1
simpul (nodes)

𝑖2

𝑖3

𝑖4

Gambar 1.1 Ilustrasi KCL


Untuk hukum kirchoff tentang tegangan yang menyatakan bahwa jumlah tegangan pada suatu
rangkaian tertutup (closed circuit) memiliki nilai sama dengan nol (0). Pada gambar 1.2 apabila
digunakan hukum kirchoff untuk tegangan maka diperoleh persamaan :
∑ 𝑣 = 0 = 𝑉𝑆 +𝑉𝐿 +𝑉𝑅 …………… (1.4)

Gambar 1.2 Ilustrasi KVL


(Zuhal, 2004).

27
BAB II
METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan


Beberapa peralatan yang digunakan pada praktikum hukum Kirchoff diantaranya adalah
baseboard (papan rangkaian), amperemeter/multimeter, voltmeter/multimeter, sumber tegangan
arus searah variable (0-15 volt), beberapa tahanan karbon, dan kabel penghubung secukupnya.

2.2 Tata Laksana Percobaan


2.2.1 Hukum Kirchoff tentang Tegangan

Tiga buah tahanan karbon dirangkai secara seri seperti pada gambar 2.1

Harga sumber tegangan E ditetapkan. Beda tegangan diukur pada kutub-kutub


R1,R2, dan R3 sebagai V1,V2 dan V3

Percobaan dilakukan untuk tegangan sumber yang berbeda-beda yaitu dengan


diatur sumber tegangan pada 0V, 2V, 4V, 6V, 8V, 10V, dan 12V

E, V1, V2, dan V3 dicatat untuk masing-masing pengukuran

Hasil

28
2.2.2 Hukum Kirchoff tentang Arus

Tiga buah tahanan karbon dirangkai secara paralel seperti pada gambar 2.2

Harga sumber tegangan E ditetapkan. Arus diukur pada kutub-kutub R1,R2, dan
R3 sebagai I1,I2 dan I3

Percobaan dilakukan untuk tegangan sumber yang berbeda-beda yaitu dengan


diatur sumber tegangan pada 0V, 2V, 4V, 6V, 8V, 10V, dan 12V

E, ,I, I1, I2, dan I3 dicatat untuk masing-masing pengukuran

Hasil

29
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Hasil Percobaan


3.1.1 Tegangan (KVL)
No V total 𝑉1 (volt) 𝑉2 (volt)
𝑅1 = 470Ω 𝑅2 = 470Ω
1 3,07 1,57 1,54
2 6,01 3,12 3,07
3 8,01 4,16 4,10
4 9,07 4,72 4,63
5 10,08 5,26 5,16

3.1.2 Arus (KCL)


No I total 𝐼1 (mA) 𝐼2 (mA)
𝑅1 = 470Ω 𝑅2 = 470Ω
1 1,0 0,5 0,8
2 2,0 1,0 1,3
3 3,0 1,5 1,8
4 4,0 2,0 2,3
5 5,0 2,5 2,8

3.2Perhitungan
3.2.1 KVL
No 𝑉1 (volt) 𝑉2 (volt) V total (volt)
1 1,535 1,535 3,07
2 3,005 3,005 6,01
3 4,005 4,005 8,01
4 4,535 4,535 9,07
5 5,040 5,040 10,08
𝑅1
• 𝑉1 = 𝑅 × 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
1+𝑅2

470 470
• 𝑉1 = 470+470 × 3,07 = 1,535 V 𝑉14 = 470+470 × 9,07 = 4,535 V

470 470
• 𝑉12 = 470+470 × 6,01 = 3,005 V 𝑉15 = 470+470 × 10,08 = 5,040 V

30
470
• 𝑉13 = 470+470 × 8,01 = 4,005 V
𝑅2
• 𝑉2 = 𝑅 × 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
1+𝑅2

470 470
• 𝑉2 = 470+470 × 3,07 = 1,535 V 𝑉24 = 470+470 × 9,07 = 4,535 V

470 470
• 𝑉22 = 470+470 × 6,01 = 3,005 V 𝑉25 = 470+470 × 10,08 = 5,040 V

470
• 𝑉23 = 470+470 × 8,01 = 4,005 V

• V total = 𝑉1 + 𝑉2
V total = 1,535 + 1,535 = 3,07 V
V total = 3,005 + 3,005 = 6,01 V
V total = 4,005 + 4,005 = 8,01 V
V total = 4,535 + 4,535 = 9,07 V
V total = 5,040 + 5,040 = 10,08 V

3.2.1 KCL ( hasil teori )


No 𝐼1 (mA) 𝐼2 (mA) I total (mA)
1 0,5 0,5 1,0
2 1,0 1,0 2,0
3 1,5 1,5 3,0
4 2,0 2,0 4,0
5 2,5 2,5 5,0
1 𝐺1
• 𝐺1 = 𝑅 𝐼1 = 𝐺 × 𝐼𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
1 1+ 𝐺2

1 0,0021
• 𝐺1 = 470 = 0,0021 Ω−1 𝐼11 = 0,0042 × 1 = 0,5 mA

1 0,0021
• 𝐺2 = 𝑅 𝐼12 = × 2 = 1,0 𝑚𝐴
2 0,0042

1 0,0021
• 𝐺2 = 470 = 0,0021 Ω−1 𝐼13 = 0,0042 × 3 = 1,5 mA

0,0021
• 𝐺𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 = 𝐺1 + 𝐺2 𝐼14 = 0,0042 × 4 = 2,0 mA

0,0021
• 𝐺𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 = (0,0021 + 0,0021) Ω−1 = 0,0042 Ω−1 𝐼15 = 0,0042 × 5 = 2,5 mA

31
𝐺2
• 𝐼2 = 𝐺 × 𝐼𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
1+ 𝐺2

0,0021
• 𝐼21 = 0,0042 × 1 = 0,5 mA

0,0021
• 𝐼22 = 0,0042 × 2 = 1,0 mA

0,0021
• 𝐼23 = 0,0042 × 3 = 1,5 mA

0,0021
• 𝐼24 = 0,0042 × 4 = 2,0 mA

0,0021
• 𝐼25 = 0,0042 × 5 = 2,5 mA

• I total = 𝐼1 + 𝐼2
𝐼1 total = 0,5 + 0,5 = 1,0 mA
𝐼2 total = 1,0 + 1,0 = 2,0 mA
𝐼3 total = 1,5 + 1,5 = 3,0 mA
𝐼4 total = 2,0 + 2,0 = 4,0 mA
𝐼5 total = 2,5 + 2,5 = 5,0 mA

3.3 Pembahasan
3.3.1 Analisa Prosedur
Percobaan kali ini terdapat beberapa pada percobaan kali ini terdapat beberapa peralatan
yang digunakan diantaranya yaitu, baseboard (papan percobaan) yang digunakan untuk tempat
komponen yang akan dirangkai. Amperemeter yang digunakan untuk pengukuran arus pada
rangkaian, voltmeter disini digunakan untuk pengukuran tegangan-tegangan yang dialami pada
rangkaian. Sumber tegangan digunakan sebagai penyuplai energi listrik yang digunakan.
Percobaan kali ini digunakan resistor atau hambatan sebesar 470 ohm, ini berguna sebagai
penghambat dari tegangan pada rangkaian, kabel penghubung ini berfungsi untuk penghubung atau
penyalur komponen agar listrik dapat tersalurkan. Yang terakhir yaitu jumper untuk penghubung
antar sel pada papan rangkaian.
Perlakuan dilakukan pada praktikum kali ini, hal pertama yang perlu dilakukan adalah
dipastikan alat-alat yang digunakan lengkap dan dalam kondisi baik. Langkah kedua yang
dilakukan, mulai dibuat rangkaian sesuai dengan yang ada pada diktat atau sesuai arahan asisten.
Dipastikan sumber tegangan dalam keadaan off agar komponen seperti voltmeter dan amperemeter
tidak rusak sehingga harus disesuaikan terlebih dahulu sesuai tegangan dan arus yang akan diukur.
Untuk pengukuran arus dua resistor dirangkai secara seri selanjutnya nilai v ditetapkan dan diukur
arus yang ada pada masing-masing resistor sebagai I1 dan I2 rangkaian disisi disusun secara seri
agar dapat diperoleh data yang sesuai. Kemudian dilakukan pengukuran lagi dengan nilai v yang
berbeda-beda dan dicatat harga I1 dan I2, pengulangan dilakukan agar data yang didapatkan lebih
akurat. Untuk pengukuran tegangan rangkaian dengan dua resistor disusun secara paralel
32
berikutnya harga v ditentukan agar arus dapat diketahui pada rangkaian. Langkah selanjutnya
dilakukan pengukuran v yang berbeda-beda agar didapatkan variasi data dan harga v1 dan v2
dicatat untuk setiap pengukuran agar diperoleh data yang lebih akurat dan spesifik.

3.3.2 Analisa Hasil


Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh data berupa vtotal, v1 yaitu v
yang ada pada R1. v2 yaitu v yang ada pada R2. Selain itu juga diperoleh data berupa Itotal pada
R1 dan yang ada pada R2. dapat dilihat pada tabel jumlah dari v yang mengalir pada R1 dan v yang
mengalir pada R2 tidak sama dengan v total yang ada pada rangkaian tersebut. Hal tersebut dapat
terjadi karena akurasi dari alat berupa voltmeter atau ketelitian alat ukur yang digunakan atau
pengaruh dari luar seperti tekanan yang diberikan pada meja yang secara tidak langsung
mempengaruhi angka pada voltmeter menjadi lebih besar. Begitu pula yang terjadi pada saat
pengukuran arus, terlihat jumlah dari I1 dan I2 tidak sama dengan total. Ini dapat disebabkan hal
yang sama pada saat pengukuran tegangan.
Dari hasil perhitungan secara matematis, jumlah arus yang ada pada R1 dan R2 sama
dengan arus totalnya (Itotal). Begitu pula pada perhitungan untuk tegangan, jumlah tegangan pada
R1 dan R2 sama dengan besar v totalnya. Hal ini tentu saja terjadi karena perhitungan didasarkan
oleh rumus yang ada dan nilai R1 serta R2 yang tetap yaitu 470 ohm. Berdasarkan hal tersebut
maka secara matematis rumusnya dapat dituliskan menjadi IR1 + IR2 = Itotal dan VR1 + VR2 = Vtotal.
Menurut hukum kirchoff, “Jumlah aljabar dan arus yang memasuki suatu simpul
rangkaian adalah nol” dan “Jumlah aljabar dari tegangan pada suatu rangkaian tertutup sama
dengan nol”(Chen, 2001). Berdasarkan pernyataan tersebut menurut teori, baik arus maupun
tegangan yang masuk dan keluar pada rangkaian harusnya berjumlah sama. Hal ini terbukti secara
perhitungan yang matematis yang telah dilakukan. Namun, dari hasil percobaan jika dibandingkan
tidak sama dengan teori yang ada. seperti penjelasan sebelumnya, ini dapat terjadi karena akurasi
alat maupun faktor eksternal seperti tekanan pada meja oleh praktikan. Hal yang perlu diketahui
bahwa jumlah arus maupun tegangan pada R1 dan R2 tidak jauh berbeda dengan Itotal atau vtotal
sehingga jika di tuliskan persamaannya menjadi IR1 + IR2 = Itotal dan VR1 + VR2 = Vtotal.
Hukum kirchoff dapat diaplikasikan pada saat pemasangan lampu. Ketika lampu disusun
secara seri, kemudian dihubungkan dengan suatu sumber tegangan, maka kenaikan tegangan yang
dihasilkan akan dibagi-bagi habis pada semua lampu tersebut. Dalam hal ini, susunan seri bersifat
membagi tegangan dan lampu tersebut berperan sebagai hambatannya. Hukum kirchoff ini tidak
hanya pada pemasangan lampu tetapi pada pemasangan alat elektronik lainnya.

33
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan . dapat disimpulkan bahwa dapat dipahaminya
hukum kirchoff tentang arus dan tegangan oleh praktikan, yang apabila menurut teori telah
disebabkan bahwa arus ataupun tegangan yang masuk dan keluar jumlahnya sama besar. Selain itu
hukum kirchoff telah ditetapkan pada rangkaian listrik sederhana dan telah diukurnya arus dan
tegangan pada suatu rangkaian listrik dc sederhana. Secara hasil praktikum yang telah dilakukan
jumlah arus dan tegangan pada resistor jumlahnya hampir sama dengan total atau v total sedangkan
secara matematis, dan bukti bahwa arus atau tegangan yang masuk dan keluar jumlahnya sama.

4.1 Saran
Diharapkan untuk praktikum selanjutnya praktikan lebih berhati-hati dan teliti saat
praktikum agar data yang didapatkan dapat lebih akurat sehingga didapatkan perhitungan yang
sesuai.

34
DAFTAR PUSTAKA
Chen, W. K. 2001. The Electrical Engineering Handbook. Amsterdam : Academic Press
Sayood, K. 2005. Understanding Circuit. Washington DC : Morgan & Claypool
Zuhal. 2004. Prinsip Dasar Elektronika. Jakarta : Erlangga

35
LAMPIRAN

(Chen, 2004).

(Sayood, 2005).

36
(Zuhal, 2004).

37
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(MEDAN MAGNET)

(PERCOBAAN-LM4)

Nama :
NIM :
Fak/Jurusan : MIPA/ Fisika
Kelompok :
Tgl.Praktikum :
Nama Asisten : Neni Eka Wulandari

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PEGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
38
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Pada praktikum Fisika Dasar ini, setelah dilaksanakan percobaan, diharapkan hukum Biot-
Savart untuk lilitan kawat dan solenoid dapat dijelaskan oleh peserta praktikum. Serta, dapat
diukur kuat medan magnet di sekitar solenoid
1.2 Landasan Teori
Dalam bidang ilmu fisika terdapat istilah medan. Medan atau yang kerap kali dibagi
menjadi medan listrik dan medan magnet . berikut ini akan dibahas medan yang dimiliki oleh
magnet atau yang disebut dengan medan magnet sebelum dibahs tentang medan magnet,
magnet pada umumnya terdiri dari dua kutub yaitu kutub utara dan kutub selatan. Kutub magnet
yang jika diarahkan bebas ditunjuk arah utara, maka disebut dengan utub utara magnet.
Sedangkan, kutub yang jika diarahkan bebas ditunjuk arah selatan maka disebut dengan kutub
selatan magnet. Jika dihubungkan dengan medan magnet, sama halnya dengan medan listrik.
Pada hal ini, dibicarakan sebuah muatan listrik yang dikelilingi olehmedan magnet. Gaya yang
diberikan oleh suatu magnet dapat dideskripsikan sebagai suatu interaksi antara suatu magnet
dengan sebuah medan magnet dari yang lain. Sama halnya dengan penggambaran medan listrik,
medan magnet juga dapat digambarkan dengan garis-garis medan magnet. Garis-garis pada
medan magnet ini digambarkan seperti halnya garis-garis pada medan listrik. Demikian dapat
dihubungkan bahwa arah dari sebuah medan magnet merupakan tangensial atau yang dikenal
sebgai garis singgung terhadap suatu garis di titik mana saja yang akan diambil. Dan jumlah
garis medan persatuan luas akan sebanding dengan besarnya medan magnet. Diatas merupakan
definisi dari garis medan magnet. (Giancoli, 2104)
Medan magnet dapat diaplikasikan pada solenoid dan toroid. Dimana pada kondisi ini
digunakan hukum Ampere. Pada solenida, yaitu ketika difokuskan pada medan magnet yang
dihasilkan oleh kawat tembaga panjang yang disusun secara melingkar atau dengan kata lain
berbentuk lilitan. Kondisi tersebut dinamakan dengan solenoida yang ditunjukkan pada
(gambar 1.7). pada kasus ini diasumsikan bahwa panjang dari kawat lebih besar dibandingkan
dengan diameter dari kawat.

Gambar 1.1 : Solenoida yang dialiri oleh arus listrik (Halliday, 2011)

39
Pada gambar di atas terdapat simbol dan yang terdapat artinya masing masing.
Simbol yang diartikan sebagai ketika arah arus dari solenoid keluar dari bidang gambar,
sedangkan simbol yang diartikan sebagai ketika arah arus dari solenoid masuk ke dalam
bidang gambar. Seperti yang dijelaskan sebelumnya pada solenoid berlaku hukum Ampere
yang dapat dituliskan sebagai berikut:

(Halliday, 2011)
Pada medan magnet berlaku hukum Biot –Savart yang berbunyi tentang intensitas medan
magnet. Yang dituliska sebgai diferensial intensitas………………………………...
magnetik sebagai dH, yang merupakan
(1.1)
hasil dari diferensial elemen arus I dI. Medan magnetik berbanding terblik terhadap kuadrat
jarak dan tidak bergantung pada medium yang ada di sekelilingnya, serta memiliki arah yang
diberikan oleh perkalian silang antara I dI dengan aR. yang dikenal sebagai hubungan Biot-
Savart yang secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

………………………………... (1.2)

(Edminstor, 2002)

40
BAB II
METODOLOGI
2.1 Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam percobaan ini antara lain; dua buah solenoid, sebuah
gaussmeter, sebuah power supply, sebuah amperemeter, kabel-kabel penghuung, dan sebuah
mistar penggaris
2.2 Tata Laksana Percobaan

Rangkaian disusun seperti pada gambar 2

Power supply diatur mulai dari harga terendah (arus maksimum yang
diijinkan untuk solenoid dan koil pada percobaan ini adalah 1,5 A)

Gaussmeter diatur untuk kalibrasi pengukuran

Diukur diameter dari masing-masing koil yang tersedia

Medan magnet diukur untuk bermacam-macam posisi (minimal 10)


sepanjang sumbu koil untuk sebuah koil

Diulangi langkah sebelumnya untuk dua buah koil dengan arah arus yang
berbeda

Diulangi langkah sebelumnya untuk besar arus yang berbeda

Diganti koil dengan solenoid kemudian diukur kuat medan magnet


sepanjang sumbu

Hasil

41
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Hasil Percobaan
3.1.1 Data Percobaan 1

B(mT)
No S(cm) Koil Solenoid
0.5 A 1.0 A 0.5 A 1.0 A
1 -10 1.6 3.3 3.3 2.8
2 -8 1.4 3 3 1.8
3 -6 1.2 2.5 2.5 0.5
4 -4 1 1.7 1.7 0
5 -2 0.5 0.7 0.7 0
6 0 0 0 0 0
7 2 0.1 0.3 0.3 0
8 4 0.6 1.1 1.1 0
9 6 1.1 2 2 0.4
10 8 1.4 2.8 2.8 1.5
11 10 1.6 3.2 3.2 2.6
3.1.2 Data Percobaan 2

B(mT)
No S(cm) Koil Solenoid
0.5 A 1.0 A 0.5 A 1.0 A
1 -10 0.15 0.4 0.4 0.8
2 -8 0.3 0.5 0.6 1.6
3 -6 0.4 0.9 0.9 1.8
4 -4 0.6 1.3 1.1 2.3
5 -2 0.75 1.5 1.3 2.5
6 0 0.8 1.6 1.4 2.6
7 2 0.75 1.4 1.3 2.5
8 4 0.5 0.9 1.1 2.2
9 6 0.45 0.6 0.9 1.6
10 8 0.2 0.4 0.6 1.1
11 10 0.15 0.3 0.4 0.7

42
3.2 Grafik
3.2.1 Grafik Percobaan 1

Koil 0.5 1A A
Solenoid
1,8
3
1,6
2,5
1,4
1,2
2
1
1,5
0,8
1
0,6
0,4
0,5
0,2
00
1010 88 66 44 22 00 -2 -2 -4 -4 -6 -6 -8 -8 -10-10

Koil 1A
3,5

2,5

1,5

0,5

0
10 8 6 4 2 0 -2 -4 -6 -8 -10

Solenoid 0.5 A
1,4

1,2

0,8

0,6

0,4

0,2

0
10 8 6 4 2 0 -2 -4 -6 -8 -10

43
3.2.2 Grafik Percobaan 2

Koil 0.5 A
0,9
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
10 8 6 4 2 0 -2 -4 -6 -8 -10

Koil 1 A
1,8
1,6
1,4
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
10 8 6 4 2 0 -2 -4 -6 -8 -10

44
Solenoid 0.5 A
1,6
1,4
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
10 8 6 4 2 0 -2 -4 -6 -8 -10

Solenoid 1 A
3

2,5

1,5

0,5

0
10 8 6 4 2 0 -2 -4 -6 -8 -10

3.3 Pembahasan
3.3.1 Analisa Prosedur
Praktikum medan magnetyang telah dilakukan peralatan yang digunakan antara lain; dua
buah solenoida, sebuah power supply, sebuah Gaussmeter, sebuah Aperemeter, kabel-kabel
penghubung , sebuah isatar/ penggaris, dan sebuah probe. Solenoid difungsikan sebagai bahan
uji coba medan magnet. Power supply idgunakan untuk sumber arus listrik. Gaussmeter
difungsikan untuk penguuran kuat medan magnet pada bahan yang akan diuji. Kabel-kabel
penghubung digunakan sebagai penghubung antar komponen dalam rangkaian percobaan.
Amperemeter digunakan untuk pengukuran kuat arus yang dialirkan ke solenoid. Mistar atau
penggaris digunakan untuk pengukuran jarak perpindahan saat probe digeser. Probe diguankan
sebagai alat sensor yang digunakan pada Gaussmeter.
Sebelum praktikum dilaksanakan, hal pertama yang dilakukan adalah rangkaian medan
magnet disusun sesuai petunjuk yang ada agar praktikum dapat berjalan sebagaimana mestinya
45
dan dapat dilakukan pengukuran. Lalu Gaussmeter dikalibrasi hal ini bertujuan agar pada
pengukuran besar medan magnet diperoleh hasil pengukuran yang akurat dan presisi. Pada
penggunaan amperemeter diatur terlebih dahulu skala yang akan digunakan sebelum dipasang
pada rangaiaan agar tidak terjadi kerusakan pada amperemeter.
3.3.2 Analisa Hasil
Pada percobaan ke-1 pada koil 0,5 A didapatkan data di pusat sebesar 0 mT, pada koil 1
A didapatkan data di pusat sebesar 0 mT, pada solenoid 0,5 A didapatkan data di pusat sebesar
0 mT, pada solenoid 1 A didapatkan data di pusat sebesar 0 mT. Pada data percobaan ke-1 dapat
disimpulkan bahawa data semakin ke atas semakin besar hal yang sama juga beraku jika data
semakin ke bawah maka nilainya akan semakin besar pula. Pada percobaan ke-2 pada koil 0,5
A didapatkan data di pusat sebesar 0,8 mT, pada koil 1 A didapatkan data di pusat sebesar 1,6
mT, pada solenoid 0,5 A didapatkan data di pusat sebesar 1,4 mT, pada solenoid 1 A didapatkan
data di pusat sebesar 2,6 mT. Pada data percobaan ke-2 dapat disimpulkan bahawa data semakin
ke atas semakin kecil hal yang sama juga beraku jika data semakin ke bawah maka nilainya
akan semakin kecil pula.
Pada percobaan ke-1 grafik pada koil 0,5 A berbentuk kurva terbuka karena dari grafik
berbentuk dari naik lalu turun pada S sama dengan 0 cm. koil 1 A berbentuk kurva terbuka
karena data grafik menurun kemudian meningkat, pada solenoid 1 A grafik berbentuk kurva
terbuka karena data yang ditunjukkan grafik menurun kemudian meningkat setelah S sama
dengan 0 cm. Pada percobaan 1 data grafik berbentuk kurva terbuka karena titik puncak pada S
sama dengan 0 cm bernilai 0 mT. Pada percobaan ke-2 grafik pada koil 0,5 A berbentuk kurva
tertutup karena dari grafik berbentuk dari turun lalu naik pada S sama dengan 0 cm. koil 1 A
berbentuk kurva tertutup karena data grafik menurun kemudian meningkat, pada solenoid 1 A
grafik berbentuk kurva tertutup karena data yang ditunjukkan grafik meningkat kemudian
menurun setelah S sama dengan 0 cm. Pada percobaan 2 data grafik berbentuk kurva tertutup
karena titik puncak pada S sama dengan 0 cm bernilai paling tinggi
Pada percobaan medan magnet dari data dan grafik yang didapatkan pada percobaan
yang kedua lebih memenuhi persamaan atau sesuai dengan persamaaan induksi elektromagnetik
pada pusat solenoid, dengan persamaan sebagai berikut:
𝜇0 𝐼𝑁 ………………………………... (3.1)
𝐵=
2𝑙
Maka kekuatan medan magnet pada pusat paling besar nilianya dibanding dengan dengan ketika
jauh dari pusat atau ketika berada di ujungnya maka nilainya akan semakin kecil.
Berdasarkan persamaan diatas hubungan jarak dan medan magnetyaitu berbanding terbalik.
Semakin kecil jarak maka kuat medan magnet akan semakin besar. Sedangkan hubungan arus
dan medan magnet yaitu berbanding lurus ketka arus diperbesar, maka medan magnet yang
ditimbulkan pun kan semakin besar. Semakin kecil arus, maka medan magnetnya pun akan
semakin kecil.

46
Berikut ini ilustrasi medan magnet pada solenoida:

Gambar 3.1 : Ilustrasi medan magnet yang terdapat pada solenoida

47
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah dilakukan praktikum tentang medan magnet dapat disimpukan bahwa kuat medan
pada pusat menunjukkan nilai terbesar , jika dijauhkan dari pusat, maka nilai kuat medan magnet
akan semakin kecil. Lalu, semakin besar jarak maka kuat medan semakin kecil. Sedangkan semakin
kecil jarak, maka kuat medan magnet akan semakin besar. Hubungan jarak dan kuat medan magnet
akan berbanding terbalik. Pada arus, semakin besar arus, maka besar kuat medan magnet akan
semakin besar dan seakin kecil arus maka medan magnet juga akan semakin kecil. Bahwa arus
berbanding lurus dengan medan magnet. Hal ini sesuai dengan hukum Biot-Savart
4.2 Saran
Dlam praktikum alangkah lebih baik jika berhati hati dalam penggunaan alat laboratrium
dan dilakukan percobaan sesuai dengan prosedur yang ada agaar tidak terjadi hal yang tidak
diinginkan

48
DAFTAR PUSTAKA
Edminstor, J. A., 2002. Schaum's Easy Outlines Elektromagnetika. Jakarta: Penerrbit Erlangga.
Giancoli, D. C., 2014. Fisika: Prinsip dan Aplikasi. Edisi Ketujuh. Jilid 2. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Halliday, D., Resnick, R. & Walker, J., 2011. Fundamental of Physics. 9 ed. Ohio: John Wiley &
Son Inc.

49
(Giancoli,2014)

50
(Edminster,2002)

51
(Giancoli,2014)

52
(Halliday,2011)

53
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(RANGKAIAN LRC)

(PERCOBAAN-LM5)

Nama :
NIM :
Fak/Jurusan : MIPA/ Fisika
Kelompok :
Tgl.Praktikum :
Nama Asisten : Salsabila Prasky Puspitawati

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019

54
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Tujuan dari percobaan ini adalah supaya dapat dipahaminya resonansi rangkaian listrik
dan dapat diketahuinya resonansi rangkaian RLC seri.
1.2 Dasar Teori
Rangkaian RLC merupakan rangkaian yang terdiri dari resistor, inductor dan kapasitor
yang dialiri arus bolak-balik. Pada prinsipnya, komponen apapun yang dipasang pada
rangkaian bolak-balik dapat diganti dengan rangkaian yang mengandung resistor, kapasitor,
dan inductor yang menghasilkan sifat serupa (Abdullah,2017).

Gambar 1.1 Rangkaian Seri RLC


kapasitor yang disusun secara seri dengan sumber tegangan bolak-balik. Nilai tegangan
maksimum yang melewati elemen-elemennya adalah;
…………………………..………. (1.1)
karena rangkaian tersusun seri, ∆v yang melewati tiga elemen adalah jumlahnya;
……………………………………………………….(1.2)
Pada diagram fashor, terlihat bahwa terdapat perbedaan fase arus-tegangan komponen-
komponen C dan L sehingga;

……………….(1.3)

Jadi, arus maksimum dapat dinyatakan sebagai;

……………………………………………………(1.4)

penyebut dalam pecahan persamaan (1.4) berperan sebagai impedansi (Z) yang dirumuskan
sebagai;

……………………………………………………….(1.5)

dimana satuan dari impedansi ini adalah Ohm, jadi persamaan 1.3 dapat ditulis kembali
sebagai;

55
……………………………………………………………….(1.6)

Gambar 1.2 Diagram Fashor Rangkaian Seri RLC

Rangkaian seri RLC dikatakan berada dalam resonansi ketika arusnya mencapai nilai
maksimum, umumnya dapat ditulis sebagai;

…………………………………….(1.7)

Oleh karena impedansi bergantung pada frekuensi sumber, maka arus dalam rangkaian
RLC juga bergantung pada frekuensi. Frekuensi ωo dimana Xc-XL = 0 disebut frekuensi
resonansi rangkaian. Untuk mendapatkan ωo pada kondisi Xc = XL dimana Xc = 1/ωC dan XL
= ωL maka;

..................................................................................(1.8)

frekuensi ini juga bersesuaian dengan frekuensi alamiah dengan frekuensiosilasi sebuah
rangkaian RLC. Jadi, arus dalam rangkaian seri RLC mencapai puncaknya ketika frekuensi
tegangan yang diberikan sama besar dengan frekuensi osilasi alamiahnya yang hanya
bergantung pada L dan C (Jewett,2014).

56
BAB II
METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan

Adapun alat yang digunakan pada percobaan ini yaitu multimeter, sumber tegangan
Ac (Signal Generator), Tahanan karbon, induktor, dan kapasitor.

2.2 Tatalaksana Percobaan

Di buat rangkaian LRC dengan susunan seri. (dengan petunjuk asisten).

Amperemeter yang digunakan untuk diukur arus rangkaian, terlebih


dahulu dihubungkan secara seri dengan rangkaian. Sebelum ditentukan
range (skala) arus yang akan diukur, diperkirakan dahulu besarnya arus
yanga akan mengalir dengan hitungan secara teori.

Ditentukan frekuensi resonansi bedasarkan hitungan teori.

Dihidupkan sinyal generator dengan amplitudo kecil, kemudian dicari


frekuensi yang menyebabkan arus rangkaian maksimum dan dicatat
frekuensinya sebagai frekuensi resonansi.

Diubah-ubah frekuensi signal generator disekitar frekuensi resonansi.

HASIL

57
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Hasil Percobaan

R=100 Ω dan C=50 nF (5 × 10-8 F)

No Frekuensi (Hz) Div (y) Volt/div


1 2000 0.7 1
2 3000 1.4 1
3 4000 3.2 1
4 5000 2.8 1
5 6000 1.4 1
6 7000 1.0 1

3.2 Perhitungan

3.2.1 Tegangan

𝑉𝑜𝑙𝑡
• Vppn = div (y) × 𝑑𝑖𝑣

Vpp1 = 0.7 × 1 = 0.7 V

Vpp2 = 1.4 × 1 = 1.4 V

Vpp3 = 3.2 × 1 = 3.2 V

Vpp4 = 2.8 × 1 = 2.8 V

Vpp5 = 1.4 × 1 = 1.4 V

Vpp6 = 1.0 × 1 = 1.0 V

Vppn
• VRMSn =
√2
0.7
VRMS1 = = 0.495 V
√2
1.4
VRMS2 = = 0.989 V
√2
3.2
VRMS3 = = 2.263 V
√2
2.8
VRMS4 = = 1.979 V
√2

58
1.4
VRMS5 = = 0.989 V
√2
1.0
VRMS6 = = 0.707 V
√2

3.2.2 Induktor (L) dan Reaktansi Induktif (XL)

• L Solenoida = 0.0317 H
• XLn = 2πfnL
XL1 = 2π × 2000 × 0.0317 = 398,152 Ω
XL2 = 2π × 3000 × 0.0317 = 597,228 Ω
XL3 = 2π × 4000 × 0.0317 = 796,304 Ω
XL4 = 2π × 5000 × 0.0317 = 995,38 Ω
XL5 = 2π × 6000 × 0.0317 = 1194,456 Ω
XL6 = 2π × 7000 × 0.0317 = 1393,53 Ω

3.2.3 Reaktansi Kapasitif

1
• Xcn = 2πfnC
1
Xc1 = 2π ×2000 × 5×10^−8 = 1592,357 Ω
1
Xc2 = 2π ×3000 × 5×10^−8 = 1061,571 Ω
1
Xc3 = 2π ×4000 × 5×10^−8 = 796,178 Ω
1
Xc4 = 2π ×5000 × 5×10^−8 = 636,943 Ω
1
Xc5 = 2π ×6000 × 5×10^−8 = 530,786 Ω
1
Xc6 = 2π ×7000 × 5×10^−8 = 454,959 Ω

3.2.4 Arus

Vrmsn Vrmsn
• IRMSn = =
Z √R2 +(𝑋𝐿−𝑋𝑐)^2
0,495
IRMS1 = = 4,13 × 10-4 A
√1002 +(398,152−1592,357 )^2
0,989
IRMS2 = = 20,82 × 10-4 A
√1002 +(597,228−1061,57 )^2
2,263
IRMS3 = = 226,3 × 10-4 A
√1002 +(796,304−796,178 )^2
1,979
IRMS4 = = 53,18 × 10-4 A
√1002 +(995,38−636,943 )^2
0.989
IRMS5 = = 14,74 × 10-4 A
√1002 +(1194,46−530,78 )^2

59
0,707
IRMS6 = = 7,49 × 10-4 A
√1002 +(1393,53−454,954 )^2

3.3 Grafik

Grafik Hubungan Frekuensi terhadap


Arus
0,025 0,022629982

0,02
I RMS (A)

0,015

0,01
0,0053181
0,005 0,002082154 0,001473564
0,000749032
0,000413056
0
2000 3000 4000 5000 6000 7000
Frekuensi (Hz)

3.4 Pembahasan

3.4.1 Analisa Prosedur

Peralatan yang digunakan dalam Praktikum resonansi rangkaian RLC antara lain sebuah
osiloskop yang berfungsi sebagai penampil bentuk gelombang yang berasal dari rangkaian,
sehingga dapat dihitung nilai tegangan peak to peak (Vpp). selnjutnya signal generator yang
berfumgsi sebagai penghasil sinyal tegangan yang dapat diatur amplitudo maupun frekuensinya.
Lalu, tahanan karbon (resistor) yang berfungsi dalam pnghambat arus listri. Induktor sebagai
penyimpanenergi pada medan magnet yang ditimbulkan pada arus listrik, sedangkan kapasitor
berfungsi sebagai penghubung antar alat.

Dalam praktikum ini, langkah pertama yang dilakukan adalah rangkaian RLC disusun
secara seri. Selanjutnya, dihubungkan pada osiloskop dan sinyal generator. Kemudian osiloskop
dan sinyal generator dinyalakan dengan ditekan tombol power pada osiloskop dan sinyal generator
dicolokkan pada sumber listrik. Selanjutnya, frekuensi diubah – ubah dari nilai 2000-7000 Hz
dengan penambahan 1000 Hz tiap pengubahan, yang terakhir yakni dicatat div (y) dan volt/div
yang ditunjukkan pada osiloskop di kertas daya percobaan.
60
3.4.2 Analisa Hasil

Setelah dilakukan praktikum resonansi RLC, didapat data nilai div (y) dan volt/div dengan
frekuensi yang diubah-ubah dari 2000 Hz, 3000 Hz, sampai dengan 7000 Hz. Nilai div (y)
bervariasi dari nilai minimum 0,7 pada frekuensi 2000 Hz dan terus meningkat hingga nilai div(y)
maksimum pada frekuensi 4000 hz yakni 3,2. Selanjutnya nilai div(y) kembali turun seiring dengan
peningkatan nilai frekuensi. frekuensi resonansi terjadi pada 4000 Hz, sebab setelah dilakukan
perhitungan teoritis didapat nilai XL = XC dengan selisih koma pada frekuensi 4000 Hz, yakni XL
= 796,304 dan XC = 7966,178, sehingga dapat dianggap XL=XC. Perbedaan selisih koma
dimugkinkan terjadi sebab ketidaktelitian praktikan daalam melakukan kerja praaktikum.

Pada grafik, ditunjukkan hubungan antara frekuensi dan arus. Dapat dilihat adanya tren naik
mulai dari frekuensi 2000 Hz dan puncaknya pada frekuensi 4000 Hz dengan arus sebesar 226,3 x
10⁻⁴. Setelah itu, terdapat tren turun hingga frekuensi 7000 Hz. sumbu x merupakan frekuensi, dan
sumbu y merupakan arus. Menurut literatur, bentuk grafik yang seperti dihasilkan dalam praktikum
ini menunjukkan keadaan resonansi pada titik yang paling puncak, dalam hal ini ada pada frekuensi
4000 Hz.

Keadaan resistif yakni suatu keadaan dalam rangkaian dimana arus dan tegangan sefase,
artinya dalam waktu yang sama besar sudut fase sama. Pada grafik berikut terlihat gelombang
tegangan dan arus listrik berada pada fase yang sama maka nilai dari daya listrik akan selalu postif.

Gambar 3.1 Grafik Keadaan Resistif

Berbeda dengan keadaan resistif, keadaa induktif merupakan suatu keadaan dalam rangkaian
dimana arus terlambat 90˚ dari tegangan atau tegangan mendahului arus sebesar 90˚. Hal tersebut
berkaitan dengan sifat induktor yakni menghaangi terjadinya perubahan nilai arus listrik sehingga
bentuk grafiknya menyerupai grafik sinusoidal.

61
Gambar 3.2 Grafik Keadaan Induktif

Sedangkan pada keadaan kapasitif, arus mendahului tegangan sebesar 90˚ atau tegangan terlambat
90˚ dari arusnya. Keadaan ini dapat digambarkan pada grafik berikut.

Gambar 3.3 Grafik Keadaan Kapasitif.

Komponen pasif adalah komponen yang dapat berfungsi tanpa membutuhkan catu daya atau
sumber tegangan eksternal. Komponen pasif yang paling banyak ditemukan dalam rangkaian
elektronik yaitu Resistor, Kapasitor, Induktor. Ketiga komponen ini bersifat menghambat dengan
karakteristik masing-masing resistor menghambat arus listrik yang lewat, kapasitor sebagai
penyimpan energi di dalam muatan listrik, sedangkan induktor sebagai penghambat sekaligus
penyimpan energi medan magnet yang ditimbulkan arus listrik.

Prinsip kerja slep ring yakni sebagai berikut.

62
• Bola sumber tegangan tiga fase dipasang stator, maka pada kumparan stator akan timbul
medan magnet
• Medan magnet putar ini akan memotong konduktor yang terdapat pada sisi roter, akibatnya
pada kumparan rotor akan timbul tenaga induksi ( GEL)
• Karena kumparan tertutup maka tegangan induksi akan menghasilkan arus
• Adanya arus pada medan magnet akan menimbulkan daya pada rotor

Grafik untuk tegangan DC terhadap waktu sebagai berikut.

(a) (b)

Gambar 3.4 (a) Grafik arus DC terhadap waktu

(b)Grafik tegangan DC terhadap waktu

Adapun untuk tegangan dan arus AC, grafiknya berbentuk sinusoidal dari tegangan serta
arusnya berubah sepanjang waktu

(a) (b)
Gambar 3.5 (a) Grafik arus AC terhadap waktu

(b) Grafik tegangan DC terhadap waktu

Rangkaian RLC pada generator impuls dengan spesifikasi tertentu dapat membangkitkan
tegangan impuls petir berdasarkan IEC ( International Electrotechnical Commision) dengan nilai
63
komponen R,L,C yang sudah diatur. Bentuk gelombang petir sesuai masing-masing standar dapat
dibuat dengan merubah nilai resistansi, induktansi, dan kapasitansi pada generator impuls RLC
atau cara lainnya yakni dengan merubah nilai resistansi dan kapasitansi pada generator impuls RC
dan Generator Marx (Halim, 2016).

64
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Rangkaian seri RLC merupakan rangkaian yang terdiri dari resistor, inductor, dan
kapasitor yang dihubungkan secara seri dan dialiri sumber tegangan bolak-balik. Pada
rangkaian RLC ini, resonansi rangkaian terjadi apabila besar reaktansi induktif sama
dengan besar reaktansi kapasitif. Dalam hal ini, resonansi rangkaian RLC terjadi pada
frekuensi tertentu pada setiap penambahan frekuensi, yakni terjadi pada frekuensi
4000Hz.

4.2 Saran

Sebaiknya praktikan lebih teliti dan focus saat Usaha (pembelajaran peristiwa
transisror) saat pembacaan supaya didapatkan hasil (volt/div) supaya didapatkan berjalan
lancer/lebih efisien.

65
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mikrajuddin. 2017. Fisika Dasar II. Bandung : ITB

Jewett, J.W dan Serway, R.A. 2014. Physiscs for Scientist and engineers. New York:
Chengane Learning

66
LAMPIRAN

(Serway, 2014)

67
68
(Abdullah, 2017)

69
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(LENSA TIPIS)

(PERCOBAAN-OP1)

Nama :
NIM :
Fak/Jurusan : MIPA/ Fisika
Kelompok :
Tgl.Praktikum :
Nama Asisten : Jhon Pratama Wardana

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019

70
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Setelah diselesaikannya praktikum ini diharapkan dapat dijelaskannya oleh peserta
praktikum fisika dasar tentang dasar-dasar sistem lensa, menjelaskan jalannya sinar dan
pembentukan bayangan oleh lensa tipis dan menentukan jarak titik fokus lensa tipis.

1.2 Dasar Teori


Lensa adalah system optis dengan dua permukaan yang merefraksikan. Pada cermin
cekung, lensa konvergen bisa membentuk bayangan dari benda yang diperpanjang. Untuk
mencari posisi dan perbesaran lateral dari sebuah bayangan untuk lensa konvergen tipis,
digunakan notasi dan kaidah yang sama. Misalkan, s dan s’ untuk menyatakan jarak benda
dan bayangan (Young and Roger, 2004).
Hubungan antara benda dan bayangan pada lensa tipis yang memusat dan menyebar
yaitu:
1 1 1
+ =
𝑠 𝑠′ 𝑓
. . .(1.1)
s yaitu jarak benda dari lensa, s’ yaitu jarak lensa ke bayangan, sedangkan f adalah fokus
lensa. Lensa di asumsikan tipis juga sinar cahaya bersifat paraksial (dekat sumbu utama).
Maka cahaya akan masuk dari sebelah kiri.
𝑦 𝑠′
Mr = 𝑦′ = − 𝑠
. . .(1.2)
Mr akan negatif jika bayangan terbalik. Lensa konvergen akan membentuk bayangan nyata
dan terbalik jika bayangan ditaruh sebelah kiri titik fokus di depan lensa. Tetapi jika benda
berada di antara titik fokus dan lensa maka bayangan yang dihasilkan akan bersifat maya,
tegak, diperbesar. Karena lensa divergen akan mengkasilkan bayangan maya, tegak, dan
diperkecil dari benda nyata (Bueche and Eugene, 2006).

Lensa positif digunakan untuk membentuk gambar nyata. Posisinya ditentukan dan
direkam dengan cara mengamati. Jika mengukur lensa negatif makan lensa negatif
ditempatkan di antara lensa positif dan layar. Panjang fokus dapat dihitung dengan rumus
dari persamaan (1.1). sinar yang semula parallel terhadap sumbu dipantulkan untuk
melewati f. sinar yang melewati f sebelum memntul, cermin akan sejajar dengan sumbu
setelah refleksi. Sebuah sinar yang melewati pusat kelengkungan akan mengenai cermin
cekung ke arah sumber cahaya yang terbentuk (Tapley,1990).

71
BAB II
METODOLOGI
2.1 Peralatan
Praktikum fisika dasar 2 dengan topik Lensa Tipis ini digunakan beberapa peralatan untuk
praktikum, yaitu bangku optik, lampu, benda objek, mistar atau penggaris, layar, lensa positif, lensa
negatif, dan arus listrik
2.2 Tata Laksana Percobaan

Disiapkan Peralatan percobaan

Disusun alat dengan urutan: lampu-benda-lensa-layar

Diukur tinggi benda

2.2.1 Lensa Positif


Diambil sebuah lensa biconvex (cembung ganda) dan pasang pada posisi lensa

Dipasang posisi benda sejauh mungkin dari layar dan diukur jaraknya

digeser-geserkan lensa hingga didapat bayangan yang jelas pada layar

Diukur jarak benda ke lensa (s), jarak bayangan ke lensa (s’), tinggi benda (h), tinggi
bayangan( h’) dan catat sifat bayangannya

Cara Bessel

Dicatat posisi lensa sebagain kedudukan lensa pertama

Digeser lagi lensa sehingga diperoleh bayangan yang jelas kedua (posisi benda jangan
berubah)

Diukur lagi jarak benda dan jarak bayangan ke lensa, tinggi dan sifat bayangan

Dicatat posisi lensa sebagai kedudukan lensa kedua

72
Diulangi angkah 3-8 dengan mengubah posisi benda terhadap layar (l diubah)

Diulangi langkah 1-9 untuk lensa positif kedua (lensa cembung datar)

2.2.2 Lensa Negatif

Jaraktitik fokus lensa negatif didapatkan dengan bantuan lensa positif. Digunakan lensa
biconvex dari percobaan sebelumnya

Dipasangkan lensa positif dan digeser-geserkan sehingga didapatkan bayangan yang


jelas dilayar

Diletakkan lensa negatif antara lensa positif dan layar. Diukur jarak lensa negatif ke
layar (s)

Digeser-geserkan layar hingga diperoleh bayangan yang jelas.. diukur jarak lensa
negatif ke layar (s’)

Diulangi langkah diatas beberapa kali sesuai petunjuk asisten

2.2.3 Lensa Bayangan

Dengan digunakan 2 lensa positif dibuatlah susunan lensa dengan jarak tertentu (d)
diukur dan dicatat jaraknya

Digeser-geserkan ke 2 lensa secara serentak (jarak d nya tetap) hingga didapat bayangan
yang pada layar

Diulangi tahapan diatas beberapa kali dengan d berbeda

Hasil

73
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Hasil Percobaan
a. Lensa Positif

No L (cm) S (cm) S’ (cm) h (cm) h’ (cm)


1 37 6 31 1 5.5
2 28 6 21.5 1 3.5
3 24 6 18 1 2.6

b. Lensa Negatif (Bessel)

No L (cm) e1 (cm) e2 (cm) h (cm) h1’ (cm) h2’ (cm)


1 45 6 40 1 7 0.2
2 37 5.5 37.5 1 6.5 0.25
3 31.5 5.5 32 1 6 0.2

c. Lensa Negatif

No L (cm) S (cm) S’ (cm) h (cm) h’(cm)


1 46.5 14 32.5 1 6.5
2 39 14 25.5 1 5.5
3 35 15 21 1 4.5

d. Lensa Gabungan

No L (cm) d (cm) S1 (cm) S2 (cm) S1’(cm) S2’(cm) h (cm) h’(cm)


1 41.5 3.5 5 8 37 33.5 1 8
2 47 3.5 4.5 8 43 39 1 9
3 45 3.5 4.5 8 40.5 37 1 9

3.2 Perhitungan
3.2.1 Lensa Positif

No f (m) |f – f |2 (cm2) M

1 5.027027 0.08278 5.5


2 4.690909 0.002343 3.5
3 4.5 0.05727 2.6

74
x Error! 4.739312
Bookmark
not
defined.

1 1 1
= +
𝑓 𝑆 𝑆′
1 1 1
= + = 5.027027 𝑐𝑚
𝑓 6 31
1 1 1
= + = 4.670909 𝑐𝑚
𝑓 6 21.5
1 1 1
= + = 4.5 𝑐𝑚
𝑓 6 18

|f – f |2 =

1. | 5.027027 – 4.739312|2 = 0.08278 cm2


2. | 4.690909 – 4.739312|2 = 0.002343 cm2
3. | 4.5– 4.739312|2 = 0.05727 cm2
2
Σ|𝑓−𝑓̅ | 0.142393
ẟf = √ =√ = 0.266827 cm
𝑛−1 2

𝛿𝑓 0.266827
𝐾𝑟𝑓 = 𝑥100% = 𝑥100% = 5.63%
𝑓̅ 4.739312

f = ( f ± ẟf ) = 4.739312 ± 0.266827 cm

ℎ′
𝑀=| |

ℎ′ 5.5
𝑀1 = | | = | | = 5.5
ℎ 1

ℎ′ 3.5
𝑀2 = | | = | | = 3.5
ℎ 1

ℎ′ 2.6
𝑀3 = | | = | | = 2.6
ℎ 1

75
3.2.2 Lensa Positif ( Bessel )

No e (cm) f (cm) |f - f |2 (cm2) M1 M2

1 34 4.827778 2.803296 7 0.2


2 32 2.331081 0.676343 6.5 0.25
3 26.5 2.301587 0.725725 6 0.2
x 30.83333 3.153482

e = |e2 - e1|
1 = | 40 – 6 | = 34 cm
2 = | 37.5 – 5.5 | = 32 cm
3 = | 32 – 5.5 | = 27 cm

𝐿2 − 𝑒 2
𝑓=
4𝐿
2025 − 1156
𝑓= = 4.8277778 𝑐𝑚
180
1369 − 1024
𝑓= = 2.331081 𝑐𝑚
148
2025 − 1156
𝑓= = 2.301587 𝑐𝑚
180

f = 3.153482 cm

|f – f |2 =

1. | 4.827778 – 3.153482|2 = 2.803266 cm2


2. | 2.331081 – 3.153482|2 = 0.676343 cm2
3. | 2.301587– 3.153482|2 = 0.725725 cm2
2
Σ|𝑓−𝑓̅ | 4.205334
ẟf = √ =√ = 1.450058 cm
𝑛−1 2

𝛿𝑓 1.450058
𝐾𝑟𝑓 = 𝑥100% = 𝑥100% = 45.98%
𝑓 ̅ 3.153482

f = ( f ± ẟf ) = 3.153482 ± 1.450058 cm

76
ℎ′
𝑀=| |

ℎ′ 7
𝑀1.1 = | | = | | = 7
ℎ 1

ℎ′ 6.5
𝑀1.2 = | | = | | = 6.5
ℎ 1

ℎ′ 6
𝑀1.3 = | | = | | = 6
ℎ 1

ℎ′ 0.2
𝑀2.1 = | | = | | = 0.2
ℎ 1

ℎ′ 0.25
𝑀2.2 = | | = | | = 0.25
ℎ 1

ℎ′ 0.2
𝑀2.3 = | | = | | = 0.2
ℎ 1

3.2.3 Lensa Negatif

No f (cm) |f - f |2 (cm2) M

1 9.784946 0.352803 6.5


2 9.037975 0.023409 5.5
3 8.75 0.194456 4.5
x 9.190974

1 1 1
= +
𝑓 𝑆 𝑆′
1 1 1
= + = 9.784946 𝑐𝑚
𝑓 14 32.5
1 1 1
= + = 9.037975 𝑐𝑚
𝑓 14 25.5
1 1 1
= + = 8.75 𝑐𝑚
𝑓 14 21

|f – f |2 =

1. | 9.784946 – 9.190974|2 = 0.352803 cm2


2. | 9.037975 – 9.190974|2 = 0.023409 cm2
77
3. | 8.75– 9.190974|2 = 0.194456 cm2
2
Σ|𝑓−𝑓̅ | 0.57067
ẟf = √ =√ = 0.534168 cm
𝑛−1 2

𝛿𝑓 0.534168
𝐾𝑟𝑓 = 𝑥100% = 𝑥100% = 5.811%
𝑓 ̅ 9.190974

f = ( f ± ẟf ) = 9.190974 ± 0.534168 cm

ℎ′
𝑀=| |

ℎ′ 6.5
𝑀1 = | | = | | = 6.5
ℎ 1

ℎ′ 5.5
𝑀2 = | | = | | = 5.5
ℎ 1

ℎ′ 4.5
𝑀3 = | | = | | = 4.6
ℎ 1

3.2.4 Lensa Gabungan

No f1 f2 fgd fgb |f - f |2 1 |f - f |2 2 M

1 4.4047 6.4578 1.7695 0.7935 3.46*10-5 0.033800 8


2 4.0736 6.6382 1.7726 0.5280 8.08*10-5 0.006671 9
3 4.05 6.5777 1.7487 0.5075 0.0002214 0.010438 9
x 4.1761 6.5579 1.7636 0.6097

1 1 1
= + ′
𝑓1 𝑆1 𝑆1
1 = 4.404762 cm
2 = 4.073684 cm
3 = 4.05 cm
1 1 1
= + ′
𝑓2 𝑆2 𝑆2
1 = 6.457831 cm
2 = 6.638298 cm
3 = 6.577778 cm
78
f 1 = 4.176149 cm

f 2 = 6.557969 cm

𝑓1(𝑑 − 𝑓2)
𝑓𝑔𝑑 =
𝑑 − (𝑓1 + 𝑓2)
1 = 1.769559 cm
2 = 1.772666 cm
3 = 1.748792 cm
𝑓2(𝑑 − 𝑓1)
𝑓𝑔𝑏 =
𝑑 − (𝑓1 + 𝑓2)

1 = 0.793579 cm
2 = 0.52805 cm
3 = 0.50756 cm

fgd = 1.763672 cm

fgb = 0.60973 cm

|f – f |2 1 =

1 = 3.46534*10-5 cm2
2 = 8.08854*10-5 cm2
3 = 0.000221425 cm2

|f – f |2 2 =

1 = 0.033800549 cm2
2 = 0.0066716 cm2
3 = 0.010438585 cm2

Σ|𝑓𝑔𝑑−𝑓 |̅2
ẟfgd = √ 𝑛−1 = 0.01298005 cm

𝛿𝑓𝑔𝑑
𝐾𝑟𝑓𝑔𝑑 = 𝑥100% = 0.735967%
̅̅̅̅̅
𝑓𝑔𝑑

79
f gd= ( fgd ± ẟfgd ) =1.74963 ± 0.01298005 cm

2
Σ|𝑓𝑔𝑏−𝑓̅ |
ẟfgb = √ = 0.15954738 cm
𝑛−1

𝛿𝑓𝑔𝑏
𝐾𝑟𝑓𝑔𝑏 = 𝑥100% = 26.16%
̅̅̅̅̅
𝑓𝑔𝑏

fgb = ( fgb ± ẟfgb ) =0.60910734 ± 0.15954738 cm

ℎ′
𝑀=| |

ℎ′ 8
𝑀1 = | | = | | = 8
ℎ 1

ℎ′ 9
𝑀2 = | | = | | = 9
ℎ 1

ℎ′ 9
𝑀3 = | | = | | = 9
ℎ 1

3.3 PEMBAHASAN
3.3.1 Analisa Prosedur
Percobaan lensa tipis ini digunakan beberaapa alat yaitu: bangku optik yang berfungsi
sebagai pengukur jarak benda ke lensa, layar, dan ke lensa lainnya yang juga berfungsi sebagai
lintasan penggerak lensa, layar, dan benda. Sebuah lampu sebagai sumber cahaya yang
ditembakkan ke arah benda (lubang kecil pada benda) agar dipantulkannya lensa ke layar.
Panah kecil yang berfungsi sebagai bentuk cahaya ketika dipantulkan ke layar. Layar berfungsi
sebagai media terlihatnya hasil pantulan cahaya dari benda yang dipantulkan lensa. Lensa
positif dan negative sebagai pemantul atau perantara cahaya agar bayangan dari benda lebih
fokus ke layar.
Pertama-tama pada bangku optik disusun berurutan : lampu-benda-lensa-layar yang
bertujuan agar ketika sinar ditembakkan ke benda lalu dibiaskan maka lensa yang terlihatpun
semakin fokus, lalu setelah lampu dinyalakan digeser lensa hingga titik fokus bayangan pada
layar didapatkan. Lalu diukur panjang benda dan bayangan benda yang bertujuan agar
diketahui berapa ukuran bayangan yang dihasilkan dari benda yang ukurannya berbeda dari
bayangan,lalu diukur jarak antar benda ke layar , layar ke lensa , dan lensa ke benda yang
berujujan agar diketahui pada jarak keberapa titik fokus didapatkan. Lensa poitif (Bessel) atau
lensa negattif ditambah satu pada bangku optik dan digeser lensa yang bertujuan agar diketahui
titik fokus bayangan kedua (untuk Bessel), lalu diukur jaraknya agar diketahui berapa

80
Panjangnya hingga didapat titik fokus bayangan kedua, lalu untuk lensa negatif diperlukan
lensa positif sebagai bantuan agar bayangan pada layar dapat fokus, lalu diukur panjangnya
agar diketahui pada jarak keberapa titik fokus bayangan didapat. Lensa gabungan digunakan
dua buah lensa positif tetapi digeser secara bersamaan hal ini berjuan agar cacat pada bayangan
alat-alat optiik dapat dikurangi dan pergeserannya jarak antara kedua lensa harus sama agar
bayangan yang fokus pada layar lebih konsisten. Pergeseran pada lensa haruslah berhati-hati
agar didapat titik fokus yang maksimal dan kerusakan pada alat optik dapat dikurangi, lalu
setiap penggeseran lensa harus diukur agar didapat titik fokus pada bayangan yang maksimal
sehingga kesalahan dapat dikurangi baik itu jarak layar ke lensa layar ke benda, benda ke lensa
satu atau dua maupun jarak antar lensa.
3.3.2 Analisa Hasil
Dari data diperoleh berdasarkan nilai perbesaran akan semakin kecil jika layar yang ada
didepannya sebagai pemantul jaraknya semakin kecil, namun untuk lensa gabungan
dikecualikan, pada data didapat untuk lensa positif dengan F sebesar 4,74 cm dengan ralat yang
cukup kecil yaitu 5,63%. Lensa negatif dengan F sebesar 9,18 cm dengan ralat sebesar 5,81 %.
Lensa positif Bessel didapat F sebesar 3,15 cm dengan ralat yang cukup tinggi yaitu 45,98%,
dan untuk lensa gabungan diperoleh Fgd sebesar 1,75 cm dengan ralat 0,74% dan Fgb sebesar
0,6 cm dengan ralat 26,16%. Jika dibandingkan dengan literatur data yang didapat berbeda hal
tersebut diakibatkan karena ketidaktelitian saat mengukur jarak benda dan jarak bayangan
sehingga ada sebuah data didapat dengan ralat yang relatif tinggi.
Lensa cekung memiliki sifatt menyebarkan cahaya sehingga disebut lensa divergen ,
selain itu lensa cekung memiliki sifat lain yaitu sinar sejajar sumbu utama dibiaskan seolah-
olah dari fokus didepan lensa , dan bayangan yang dihasilkan lensa cembung yaitu
nyata,terbalik,diperbesar, sedangkan lensa cekung memiliki sifat bayangan apabila jarak benda
setara dengan Panjang titiik fokus cermin cembung maka : Maya, tegak, diperkecil (ukuran
bayangan ½ ukuran benda), jarak bayangan lebih kecil disbanding jarak benda.
Aplikasi lensa tipis dalam kehidupan sehari-haari yaitu sebagai alat bantu dalam masalah
mata seperti miopi atau rabun jauh, lalu lensa tipisjuga diaplikasikan dalam mikroskop guna
memperbesar objek yang diteliti lalu lensa tipis juga diaplikasikan dalam teleskop yaitu untuk
memperbesar objek-objek yang terlihat jauh dengan jelas.
Adapun perbedaan antara cermin dan lensa adalah prinsip kerja dari cermin yang
didasarkan pada prinsip refleksi sedangkan lensa pembiasan, cahaya dipantulkan oleh cermin
namun pada lensa dibiaskan, cermin memiliki banyak jenis sedangkan lensa hanya 5-6 jenis.
Lensa hanya dapat dibuat dari kaca dan plastik sedangkan cermin bisa dari bahan selain itu.

81
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar sistem lensa itu tergantung dari tipenya yaitu
lensa cekung atau cembung, sistem dari lensa sendiri adalah membiaskan cahaya yang sejajar
kemudian difokuskan pada suatu titik, arah cahaya sendiri bergantung pada lensanya, jika lensa
yang digunakan cekung maka sinar akan menyebar seolah-olah berasal dari satu titik yaitu titik
fokus, untuk lensa cembung sinar yang dating dibiaskan melalui fokus, belakang lensa,serta
dibiaskan sejajar sumbu utama. Jarak titik fokus utama pada lensa tipis dapat ditentukan dengan
cara lensa digeserkan perlahan-lahan hingga bayangan pada layar tertangkap dengan jelas.
4.2 Saran
Diharapkan praktikan lebih teliti dalam megukur jarak lensa ke benda atau ;ainnya agar
hasil yang didapat lebih akurat.

82
DAFTAR PUSTAKA

Bueche,Frederick J and Eugene Heacht. 2006. Fisika Universitas. Jakarta: Erlangga

Tapley, Byron D. 1990. Eshbach’s Handbook of Engineering Fundamentals. New York:


Wiley

Young, Hugh D. and Roger A. Freedman. 2004. Fisika Universitas. Jakarta: Erlangga

83
LAMPIRAN

(Young and Roger, 2004)

(Bueche and Eugene, 2006)

(Tapley,1990)

84
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(INDEKS BIAS LARUTAN)

(PERCOBAAN-OP2)

Nama :
NIM :
Fak/Jurusan : MIPA/ Fisika
Kelompok :
Tgl.Praktikum :
Nama Asisten : Neneng Kurnia Sari

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
85
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 TUJUAN
Ada beberapa tujuan pada percobaan kali ini, yaitu dapat dijelaskannya prinsip kerja
refraktometer Abbe, dapat diketahuinya hubungan antara indeks bias dengan konsentrasi larutan
gula, serta dapat ditentukannya kadar gula dalam suatu larutan yang tidak diketahui konsentrasinya.

1.2 DASAR TEORI


Alam semesta terdiri atas berbagai materi dan zat, mulai dari padat, cair, gas, dan plasma.
Zat cair menjadi tinjauan pada percobaan kali ini. Benda cair dapat diidentifikasi dengan berbagai
metode. Salah satu metode dalam proses identifikasi benda cair adalah identifikasi indeks bias
suatu larutan. Indeks bias larutan adalah suatu perbandingan ukuran kelajuan cahaya di dalam suatu
benda cair dengan kelajuan di udara terbuka/hampa. Proses identifikasi larutan dapat dilakukan
untuk analisis parameter fisik, seperti temperatur, konsentrasi, dan tekanan dari larutan.

n=c/v………………………………………….. (1.1)
dimana n sebagai indeks bias, c sebagai laju cahaya dalam ruang hampa ( 3 x 108 ) dan v sebagai
kecepatan laju cahaya dalam medium. Dalam hal ini dapat dipastikan bahwa indeks bias dari suatu
larutan berbanding terbalik dengan kecepatan dari laju cahaya sehingga semakin besar indeks
biasnya maka akan semakin sulit cahaya menembus larutan tersebut (Zamroni, 2013).

Salah satu alat yang digunakan untuk perhitungan indeks bias suatu larutan adalah
refraktometer. Refraktometer yang digunakan pada kebanyakan percobaan adalah refraktometer
Abbe. Prinsip kerja sederhana dari refraktometer adalah dengan identifikasi sudut kritis dari sampel
larutan yang diletakkan di antara prisma pembias dan penerang. Cahaya yang masuk ke dalam
refraktometer akan dipantulkan kepada prisma penerang. Cahaya akan didifraksikan sehingga
teridentifikasi nomor gelombangnya yang kemudian akan masuk kepada bagian prisma pembias.
Sudut kritis akan terbentuk setelah cahaya terbiaskan oleh prisma pembias, sehingga indeks bias
larutan dapat diidentifikasi. Adapun prinsip kerja dari refractometer sendiri , yaitu pembiasan yang
menembus dua macam media dengan kerapatan yang berbeda, karena dari kerapatan tersebut akan
terjadi perubahan sinar, yang terbagi 3 yaitu sampel, prisma, dan papan skala (Smith,2001).

86
BAB II
METODOLOGI
2.1 Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan pada percobaan kali ini yaitu sebuah lampu pijar, refraktometer Abbe,
dan larutan gula dengan berbagai konsentrasi, tisu, pengaduk, gula halus, gelas beker, pipet, dan
tabung.
2.2 Tata Laksana Percobaan

Bagian-bagian refraktometer Abbe dipelajari

Air murni diteteskan di atas prisma refraktometer Abbe dan ditutup, lalu indeks biasnya
dicatat serta diulangi kembali

Larutan gula dibuat dengan persentase berat 50%, 60%, 40%, 30%, 20%, dan yang tidak
diketahui

Larutan gula 0% diteteskan di atas prisma refraktometer Abbe, kemudian ditutup dan
dicatat indeks biasnya

Pencatatan indeks bias diulangi untuk konsentrasi larutan gula 60%, 50%, 40%, 30%,
dan 20%

Langkah-langkah tersebut diulangi untuk larutan gula yang konsentrasinya belum


diketahui

Hasil

87
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Hasil Percobaan

Presentase Indeks bias(n)


larutan (%) n1 n2 n3
0 133 133,5 133,2
20 135 136,1 136,6
40 137,3 138,7 139
60 142 142,5 142,9
Tidak
diketahui 135,7 136 136,6

3.2 Perhitungan
3.2.1 Persentase Larutan 0%

n |n-𝑛̅|2
133 0,04
133,5 0,09
133,2 0
n total=399,7 0,13

∑𝑛 133 + 133,5 + 133,2


𝑛̅ = = = 133,2
𝑘 3
|𝑛1− 𝑛̅| = −0,22 = 0,04
|𝑛2− 𝑛̅| = 0,32 = 0,09
|𝑛3− 𝑛̅| = 02 = 0

∑|𝑛𝑘 −𝑛̅|
𝛿𝑛 = √ = √0,05 = 0,25
𝑘−1

𝛿𝑛
𝑘𝑟𝑛 = x 100% =0,18%
𝑛̅

n = (𝑛̅ ± 𝛿𝑛 ) = 133,2 ± 0,25

88
3.2.2 PersentaseLarutan 20 %
n |n-𝑛̅|2
175 0,81
136,1 0,04
136,6 0,49
n total=407,7 1,34

∑𝑛 135 + 136, 1 + 136,6


𝑛̅ = = = 135,9
𝑘 3
|𝑛1− 𝑛̅| = 0,092 = 0,81
|𝑛2− 𝑛̅| = 0,022 = 0,04
|𝑛3− 𝑛̅| = 0,7,2 = 0,49

∑|𝑛𝑘 −𝑛̅|
𝛿𝑛 = √ = √0,67 = 0,81
𝑘−1

𝛿𝑛
𝑘𝑟𝑛 = x 100% = 0,59%
𝑛̅

n = (𝑛̅ ± 𝛿𝑛 ) = 135,9 ± 0,81

3.2.3PersentaseLarutan 40%
n |n-𝑛̅|2
137,3 0,64
138,7 0,36
139 0,81
n total=414,3 1,81

∑𝑛 137,3 + 138,7 + 139


𝑛̅ = = = 138,1
𝑘 3
|𝑛1− 𝑛̅| = −0,82 = 0,64
|𝑛2− 𝑛̅| = 0,62 = 0,36
|𝑛3− 𝑛̅| = 0,92 = 0,81

∑|𝑛𝑘 −𝑛̅|
𝛿𝑛 = √ = √0,905 = 0,95
𝑘−1

𝛿𝑛
𝑘𝑟𝑛 = x 100% = 0,69%
𝑛̅

n = (𝑛̅ ± 𝛿𝑛 ) = 138,1 ± 0,95


89
3.2.4PersentaseLarutan 60%
n |n-𝑛̅|2
142 0,25
142,5 0
142,9 0,16
n total=427,4 0,41

∑𝑛 142 + 142,5 + 142,9


𝑛̅ = = = 142,5
𝑘 3
|𝑛1− 𝑛̅| = −0,52 = 0,25
|𝑛2− 𝑛̅| = 02 = 0
|𝑛3− 𝑛̅| = 0,42 = 0,16

∑|𝑛𝑘 −𝑛̅|
𝛿𝑛 = √ = √0,205 = 0,45
𝑘−1

𝛿𝑛
𝑘𝑟𝑛 = x 100% = 0,32%
𝑛̅

n = (𝑛̅ ± 𝛿𝑛 ) = 142,5 ± 0,45

3.2.5PersentaseLarutan Tidak Diketahui ( x)


n |n-𝑛̅|2
135,7 016
136 0,01
136,6 0,25
n total=408, 3 0,42

∑𝑛 135 + 136 + 136,6


𝑛̅ = = = 136,1
𝑘 3
|𝑛1− 𝑛̅| = −0,42 = 0,25
|𝑛2− 𝑛̅| − 0,12 = 0
|𝑛3− 𝑛̅| = 0,52 = 0,25

∑|𝑛𝑘 −𝑛̅|
𝛿𝑛 = √ = √0,21 = 0,46
𝑘−1

𝛿𝑛
𝑘𝑟𝑛 = x 100% = 0,34%
𝑛̅

n = (𝑛̅ ± 𝛿𝑛 ) = 136,1 ± 0,46

90
3.3 Grafik
Persentase (%) (x) 𝑛̅
0 133,2
20 135,9
40 138,3
60 142,5

∆𝑦 141−133,1
tan 𝜃 = ∆𝑥 = = 0,13
60−0
𝑦𝑎 138,7−135,8
𝑘𝑟𝑛 = 𝑥 100% = x 100% = 1,05%
2𝑦̅ 2.137,5

Centroid = (𝑥̅ , 𝑦̅) = (30, 137,5)


Menentukan Konsentrasi Larutan
Y= ax + b
2,9
X = 0,3 = 22,31

X = 22,31%

91
3.4 Pembahasan
3.3.1 Analisa Prosedur
Pada percobaan indeks bias larutan kali ini, digunakan beberapa alat , yaitu Refraktometer
abbe sebagai pemgukur indeks bias larutan yang ingin diketahui lalu ada larutan gula yang
digunakan sebagai sampel, lalu ada lampu pijar sebagai sumber cahaya unruk pembiasan , lalu ada
gula halus yang digunakan sebagai bahan pembuatan sampel, lalu ada gelas beker untuk tempat
pembuatan sampel, lalu ada pengaduk sebagai pembuatan sampel, lalu ada tabng reaksi sebagai
penampung larutan, dan ada neraca o’haus yang digunakan sebagai pengukur gula halus yang
diperlukan, serta tisu yang digunakan sebagai pemyaring dari alat yang telah digunakan.
Pada percobaan ini mula-mula dilakukan pembuatan sampel dengan pencampuran gula halus
dan air ke gelas beker dengan ukuran yang berbeda setiap larutannya halini bertujuan
agardihasilkan larutan sebagai sampel yang berbeda-beda konsentrasinya. Lalu dinyalakan
refraktometer abbe sebagai pengukur indeks bias, lalu ditampung larutan sampel ke tabung reaksi
hal ini bertujuan agae mudah dibedakan larutan-larutan yang berbeda konsentrasi, lalu diambil
larutan dengan pipet dan diteteskan diatas prisma hingga rata dan ditutup hal ini bertujuan agar
diketahui berapa indeks bias larutan yang didapat pada larutan tersebut, diulangi setiap larutan
dengan konsentrasi berbeda.
3.3.2 Analisa Hasil
Dari percobaan indeks bias larutan, diperoleh besarnya indeks bias larutan rata-rata dengan
persentase 0%, 20%, 40%, 60%, dan larutan yang tidak diketahui konsentrasinya sebesar 135,9,
138,3, 142,5, 133,2 , 136,1 yang jika dibandingkan dengan literatur nilai indeks biasnya hampir
sama untuk 0%,20%, 40%, 60%, sebesar 133,2, 135,7 , 138,4 , dan 142,4 ha; ini terbukti dengan
semua ralat yang didapat yaitu dibawah 1% kecuali untuk larutan yang tidak diketahui
konsentrasinya karena larutan yang digunakan tidak sama sehingga data yang didapat untuk
larutan yang tidak diketahui konsentrasinya tidak akurat.
Dari grafik yang digambarkan, dapat disimpulkan bahwa hubungan persentase atau
konsentrasi larutan dengan indeks bias larutan adalah tegak lurus , yakni dimana makin tinggi
persentase larutan semakin tinggi pula indeks biasnya. Selain itu dari grafik dapat ditentkan pula
konsentrasi larutan yang tidak diketahui yakni sebesar 22,31% dengan indeks bias 136,1, hal ini
akurat karena tidak berbeda jauh dengan indeks bias larutan 20% yaitu 135,9 dan ralat yang didapat
sangat kecil yaitu 1,05%.
Indeks bias larutan adalah perbandingan antara kecepatan cahaya didalam udara dengan
kecepatan cahaya didalam zatlarutan, hal ini disebabkan beberapa faktor yaitu konsentarsu,
kerapatan, serta intensiatas cahaya yang datang yang dimana berbanding terbalik yaitu semakin
rapat molekul suatu larutan maka indeks bias yang didapat makin besar dan makin besar intensitas
cahaya semakin kecil indeks biasnya.
Prinsip kerja dari refractometer abbe adalah menggunakan pembiasan, yaitu pembiasan
dengan melakuka penyinaran yang dapat menembus dua macam media dengan kerapatan yang
berbeda, karen dengan adanya kerapatan tersebut akn terjadi perubahan atau pembelokan arah
92
sinar, dalam prinsipnya refractometer terbagi menjadi 3 bagian yaitu sampel, prisma sebagai tempat
dimana sampel diletakkan atau diteteskan, dan papan skala agar diketahui nilai indeks bias dari
larutannya.
Aplikasi Indeks bias larutan salah satunya dibidang gemology untuk mengidentifikasi
kerapatan dari permata, lalu didunia kedokteran hewan sebagai pemgukur total protein plasm
dalam sampel darah hewan, dan didunia diagnostic sebagai pengukur berat jenis urin manusia.
Alasan indeks bias yang digunakan gula adala karena kerapatan molekul pada gula sangatlah rapat
sehingga ketika cahaya datang akan mudah dibiaskan dan sulit dite,bus oleh cahaya.

93
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan dapat dijelaskan bahwa prinsip kerja refraktometer Abbe yaitu
pembiasan dengan penyinaran dari suatu sumber cahaya yang menembus atau melewati dua macam
media yang kerapatannya berbeda, dari hal itu maka perubahan arah sinarpun terjadi, lalu
terbuatnya hubungan antara indeks bias dengan konsentrasi larutan semakin tinggi konsentrasi
larutan gula, nilai indeks biasnya akan semakin tinggi juga. Nilai konsentrasi larutan gula yang
indeks biasnya diketahui yaitu dengan hubungan perbandingan grafik secara linear antara indeks
bias dengan konsentrasi larutan, sehingga konsentrasi gulanya dapat diketahui.
4.2 Saran
Diharapkan praktikan agar berhati-hati dan teliti saat pembuatan sampel larutan agar sampel yang
didapat sesuai konsentrasinya.

94
DAFTAR PUSTAKA
Smith, C. 2001. Enviromental Physics : 5th Edition. New Delhi : Phi learning Private Ltd
Zamroni, A. 2013. Pengukuran Indeks Bias Zat Cair Melalui Metode Pembiasan Menggunakan
Plan Pararel. Jurnal TAF. Vol(3) No2: 108-111

95
LAMPIRAN

(Zamroni, 2013).

(Smith,2001).

96
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(DIFRAKSI)

(PERCOBAAN-OP3)

Nama :
NIM :
Fak/Jurusan : MIPA/ Fisika
Kelompok :
Tgl.Praktikum :
Nama Asisten : Elgita Putri Azhari

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019

97
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Percobaan ini dilakukan dengan tujuan agar gejala difraksi oleh celah sempit dapat
dijelaskan oleh peserta praktikum serta dapat ditentukannya lebar celah tunggal serta jarak antar
celah pada celah ganda.
1.2 Dasar Teori
Cahaya adalah salah satu gelombang yang memiliki beberapa sifat khusus. Diantaranya
yaitu, dapat dipantulkan, dibiaskan, dan dibelokkan. Ketika sebuah halangan atau celah kecil
ditempatkan pada sebuah berkas atau jalan cahaya, maka beberapa cahaya akan ditemukan dalam
bayangan geometris. Bayangan ini timbul akibat adanya pembelokan cahaya. Fenomena ini dikenal
sebagai difraksi cahaya. Hambatan di bawah kondisi yang sesuai atau interaksi antara gelombang
dan objek atau gangguan gelombang sekunder atau divergensi cahaya dari garis awal perjalanan
dan lain- lain adalah beberapa contoh difraksi cahaya. Cahaya tidak akan merambat lurus apabila
melewati sebuah penghalang. Diaman ia akan berbelok dan melmenembus celah tersebut sehingga
di hasilkan beberapa pola interferensi yang sesuai.Fenomena difraksi pertama kali dilaporkan oleh
Grimaldi (1618-1623) dan Hooke (1635-1703). Kemudian oleh Fresnel (1788-1823) dengan
menggunakan Prinsip Huygen. Terdapat 2 fenomena difraksi yang umum untuk diketahui yaitu,
difraksi Fraunhofer dan difraksi Fresnel. Difraksi Fraunhofer yaitu suatu difraksi yang dimana
sumber cahaya dan layar secara efektif pada jarak tak terbatas dari hambatan atau celah yang
menyebabkan difraksi. Sedangkan, difraksi Fresnel yaitu difraksi yang dimana sumber cahaya atau
layar atau keduanya berada pada jarak terbatas dari halangan atau celah yang menyebabkan
difraksi. (Naik, 2012)
Cahaya yang melalui celah atau hambatan penghalang akan menghasilkan dua pola yaitu,
pola gelap dan pla terang. Padadifraksi ini dapat dianalisis dengan menggunakan prinsisp Huygens.
Pada difraksi celah tunggal (Fraunhofer), yaitu difraksi dengan sumber cahaya dan layar penerima
berada pada jarak tak terhingga dari benda, sehingga muka gelombang tidak diperlakukan sebagai
bidang sferis, melainkan sebagai bidang datar. Difraksi ini melibatkan berkas cahaya sejajar.

98
(Gambar 1.1 Difraksi celah tunggal)
Sebuah gelap terjadi bilamana
𝑎 𝜆 𝜆
sin 𝜃=± 2atausin 𝜃 =
2 𝑎
………………………………………………………………………(Pers 1.1)
Kita juga dapat membagi layar itu menjadi empat bagian, enam bagian dan seterusnya. Jadi, syarat
untuk sebuah daerah gelap adalah
𝑑 sin 𝜃
= (𝑛 + 1⁄2) (dengan n = 1,2,3…)
𝜆

……………………….. ………………………………………… ….(Pers 1.2)


Pada kasus beberapa celah yang sangat sempit, anggaplah bahwa setiap celah adalah sempit
dibandingkan dengan panjang gelombang. Sehingga pola difraksinya menyebar keluar secara
homogen.

99
Pada gambar di atas memperlihatkan beberapa susunan celah sempit dengan jarak d diantara celah
celah yang berdekatan. Interferensi konstruktif terjadi untuk sinar-sonar yang membentuk sudut 𝜃
dengan arah normal yang tiba di titik P, dengan selisih lintasan diantara celah-celah yang
berdekatan sama dengan bilangan bulat panjang gelombang.
𝑑 sin 𝜃 = 𝑚𝜆 (dengan m =1,2,3….) ………………………………………………………….(Pers
1.3)
(Young &Freedman,2003)

100
BAB II
METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan


Percobaan Difraksi Cahaya digunkan bebrapa alat yang digunakan percobaan diantarnya
yaitu laser He-Ne berdaya rendah,sebuah slide foto (35mm) yang terdapat celah ganda ,sebuah kisi
difraksi yang diletakan pada sebuah slide ,pemegang slide ,sebuah layar yang di tempel selembar
kertas dan sebuah mistar.
2.2 Tata Laksana PercobaaN
2.2.1 Celah Ganda dan Tunggal

MULAI

Di letakan laser diatas meja sejauh 2 hingga 3 meter

Di pasang slide yang berisi celah ganda pada pemegang slide

Ditempelkan selembar kertas pada layar

Di jatuhkan berkas sinar leser

Diperoleh bayangan yang tajam dan beri tanda pad kertas

Diukur jarak X

Dihitung sin sebagai orde- n

Hasil

101
2.2.2 Kisi Difraksi

MULAI

Di letakan layar kecil 20 - 50 cm didepan kisi

Diamati pola interferensi tajam

Dibedakan dua orde yang ad

Ditandai pada kertas dan ukur letak puncak

Ditentukan gutaran permeter dari kisi difraksi

Hasil

102
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Hasil Percobaan
3.1.1 Data Celah Tunggal
𝐿 = 70𝑐𝑚 = 0,7𝑚
𝜆 = 632,8 𝑛𝑚 = 6,328 × 10−7 𝑚
n A B C
X (gelap)cm X(terang)cm X(gelap)cm X(terang)cm X(gelap)cm X(terang)cm
1 1,0 1,4 0,5 0,8 0,2 0,3
2 2,0 2,4 0,9 1,2 0,4 0,6
3 3,0 3,4 1,3 1,6 0,7 0,9
4 4,0 4,4 1,7 2,1 1,0 1,1
5 5,0 5,5 2,3 2,6 1,3 1,4

3.1.2 Data Celah Ganda


𝐿 = 70𝑐𝑚 = 0,7𝑚
𝜆 = 632,8 𝑛𝑚 = 6,328 × 10−7 𝑚
n A B C
X(gelap)cm X(terang)cm X(gelap)cm X(terang)cm X(gelap)cm X(terang)cm
1 0,8 1,0 0,3 0,5 0,4 0,6
2 1,6 1,8 0,8 0,9 1,0 1,1
3 2,3 2,4 1,4 1,2 1,4 1,4
4 3,0 3,1 1,6 1,6 1,8 1,8
5 3,8 3,8 1,9 2,1 2,1 2,2

3.2 Perhitungan
3.2.1 Celah Tunggal A Pola Gelap
n 𝑥 𝑔𝑒𝑙𝑎𝑝 (𝑚) 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑 (𝑚) |𝑑 − 𝑑̅ 2 | ∅
1 0,01 0,014 0,000044296 0 6,28
2 0,02 0,028 0,000044296 0 12,56
3 0,03 0,042 0,000044296 0 18,84
4 0,04 0,057 0,000044296 0 25,12
5 0,05 0,071 0,000044296 0 31,4
RATA-RATA 0,000044296

𝑋𝑛
• 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑛 = 𝐿
103
0,01
1. 𝑠𝑖𝑛𝜃 = = 0,014
0,7
0,02
2. 𝑠𝑖𝑛𝜃 = = 0,028
0,7
0,03
3. 𝑠𝑖𝑛𝜃 = = 0,042
0,7
0,04
4. 𝑠𝑖𝑛𝜃 = = 0,057
0,7
0,05
5. 𝑠𝑖𝑛𝜃 = = 0,071
0,7
𝑛𝜆
• 𝑑𝑛 = 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑛

1×6,328×10−7
1. = 4,4296 × 10−5 𝑚
0,014
2×6,328×10−7
2. = 4,4296 × 10−5 𝑚
0,028
3×6,328×10−7
3. = 4,4296 × 10−5 𝑚
0,042
4×6,328×10−7
4. = 4,4296 × 10−5 𝑚
0,057
5×6,328×10−7
5. = 4,4296 × 10−5 𝑚
0,071
Σ𝑑𝑛
• 𝑑̅ = 𝑛
4,4296 × 10−5 + 4,4296 × 10−5 + 4,4296 × 10−5 + 4,4296 × 10−5 + 4,4296 × 10−5
𝑑̅ =
5
𝑑̅ = 4,4296 × 10−5 𝑚
2
1. |𝑑1 − 𝑑̅| = |4,4296 × 10−5 − 4,4296 × 10−5 |2 = 0
2
2. |𝑑2 − 𝑑̅| = |4,4296 × 10−5 − 4,4296 × 10−5 |2 = 0
2
3. |𝑑3 − 𝑑̅| = |4,4296 × 10−5 − 4,4296 × 10−5 |2 = 0
2
4. |𝑑4 − 𝑑̅| = |4,4296 × 10−5 − 4,4296 × 10−5 |2 = 0
2
5. |𝑑5 − 𝑑̅| = |4,4296 × 10−5 − 4,4296 × 10−5 |2 = 0

Σ|𝑑𝑛−𝑑̅|2 0 0
• 𝛿𝑑𝑛 = √ = √5(5−1) = √20 = 0𝑚
𝑛(𝑛−1)

2𝜋
• 𝜙𝑛 = 𝑑𝑛 𝑠𝑖𝑛𝜃
𝜆
2×3,14×4,4296.10−7 ×0,014
1. = 6,28
6,328×10−7
2×3,14×4,4296.10−7 ×0,028
2. = 12,56
6,328×10−7
2×3,14×4,4296.10−7 ×0,042
3. = 18,84
6,328×10−7
2×3,14×4,4296.10−7 ×0,057
4. = 25,12
6,328×10−7

104
2×3,14×4,4296.10−7 ×0,071
5. = 31,4
6,328×10−7

3.2.2 Celah Tunggal A Pola Terang


2
n 𝑥 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔 (𝑚) 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑(𝑚) |𝑑 − 𝑑̅ | 𝜙
1 0,014 0,02 0,00004746 2,89053E-12 9,42
2 0,024 0,034285714 4,61417E-05 1,45789E-13 15,7
3 0,034 0,048571429 4,55988E-05 2,59274E-14 21,98
4 0,044 0,062857143 4,53027E-05 2,08955E-13 28,26
5 0,055 0,078571429 0,000044296 2,14284E-12 34,54
RATA-RATA 4,57598E-05

𝑋𝑛
• 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑛 = 𝐿
0,014
1. 𝑠𝑖𝑛𝜃 = = 0,02
0,7
0,024
2. 𝑠𝑖𝑛𝜃 = = 0,034
0,7
0,034
3. 𝑠𝑖𝑛𝜃 = = 0,048
0,7
0,044
4. 𝑠𝑖𝑛𝜃 = = 0,063
0,7
0,055
5. 𝑠𝑖𝑛𝜃 = = 0,078
0,7

1
(𝑛+ )𝜆
• 𝑑𝑛 = 2
𝑠𝑖𝑛𝜃𝑛
6,328×10−7
1. (1 + 0,5) = 4,746 × 10−5 𝑚
0,02
6,328×10−7
2. (2 + 0,5) = 4,614 × 10−5 𝑚
0,034
6,328×10−7
3. (3 + 0,5) = 4,559 × 10−5 𝑚
0,048
6,328×10−7
4. (4 + 0,5) = 4,530 × 10−5 𝑚
0,063
6,328×10−7
5. (5 + 0,5) = 4,4296 × 10−5 𝑚
0,078

Σ𝑑𝑛
• 𝑑̅ = 𝑛

105
𝑑̅
4,746 × 10−5 + 4,614 × 10−5 + 4,559 × 10−5 + 4,530 × 10−5 + 4,4296 × 10−5
=
5
= 4,576 × 10−5 𝑚
2
1. |𝑑1 − 𝑑̅| = |4,746 × 10−5 − 4,576 × 10−5 |2 = 2,890 × 10−12 𝑚
2
2. |𝑑2 − 𝑑̅| = |4,614 × 10−5 − 4,576 × 10−5 |2 = 0,145 × 10−12 𝑚
2
3. |𝑑3 − 𝑑̅| = |4,559 × 10−5 − 4,576 × 10−5 |2 = 0,0259 × 10−12 𝑚
2
4. |𝑑4 − 𝑑̅| = |4,530 × 10−5 − 4,576 × 10−5 |2 = 0,2089 × 10−12 𝑚
2
5. |𝑑5 − 𝑑̅| = |4,4296 × 10−5 − 4,576 × 10−5 |2 = 2,1428 × 10−12 𝑚

Σ|𝑑𝑛−𝑑̅|2
• 𝛿𝑑𝑛 = √
𝑛(𝑛−1)

2,890 × 10−12 + 0,145 × 10−12 + 0,0259 × 10−12 + 0,2089 × 10−12 + 2,1428 × 10−12
=√
5(5 − 1)

5,4126 × 10−12
=√
20

= √0,27063

= 0,5202 𝑚
2𝜋
• ∅𝑛 = 𝑑𝑛 𝑠𝑖𝑛𝜃
𝜆
2×3,14×4,746.10−5 ×0,02
1. = 9,42
6,328.10−7
2×3,14×4,614.10−5 ×0,034
2. = 15,7
6,328.10−7
2×3,14×4,559.10−5 ×0,048
3. = 21,98
6,328.10−7
2×3,14×4,530.10−5 ×0,062
4. = 28,26
6,328.10−7
2×3,14×4,4296.10−5 ×0,078
5. = 34,54
6,328.10−7

3.2.3 Celah Tunggal B pola Gelap


2
n 𝑥 𝑔𝑒𝑙𝑎𝑝 (𝑚) 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑(𝑚) |𝑑 − 𝑑̅ | 𝜙
1 0,005 0,007142857 0,000088592 8,76494E-11 6,28
2 0,009 0,012857143 9,84356E-05 2,31775E-13 12,56

106
3 0,013 0,018571429 0,000102222 1,82108E-11 18,84
4 0,017 0,024285714 0,000104226 3,93349E-11 25,12
5 0,023 0,032857143 9,62957E-05 2,75053E-12 31,4

RATA-RATA 0,000144691

3.2.4 Celah Tunggal B pola Terang

2
n 𝑥 𝑔𝑒𝑙𝑎𝑝 (𝑚) 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑(𝑚) |𝑑 − 𝑑̅ | 𝑥 𝑔𝑒𝑙𝑎𝑝 (𝑚)
1 0,002 0,002857143 0,00022148 6,45635E-10 6,28
2 0,004 0,005714286 0,00022148 6,45635E-10 12,56
3 0,007 0,01 0,00018984 3,8821E-11 18,84
4 0,01 0,014285714 0,000177184 3,56705E-10 25,12
5 0,013 0,018571429 0,000170369 6,60563E-10 31,4
RATA-RATA 0,000102795
3.2.5 Celah Tungga C pola gelap
2
n 𝑥 𝑔𝑒𝑙𝑎𝑝 (𝑚) 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑(𝑚) |𝑑 − 𝑑̅ | 𝑥 𝑔𝑒𝑙𝑎𝑝 (𝑚)
0,002 0,002857143 0,00022148 6,45635E-10 6,28 0,002
0,004 0,005714286 0,00022148 6,45635E-10 12,56 0,004
0,007 0,01 0,00018984 3,8821E-11 18,84 0,007
0,01 0,014285714 0,000177184 3,56705E-10 25,12 0,01
0,013 0,018571429 0,000170369 6,60563E-10 31,4 0,013
RATA-RATA 0,000196071

3.2.6 Celah Tunggal C pola Terang


2
n 𝑥 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔 (𝑚) 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑(𝑚) |𝑑 − 𝑑̅ | 𝑥 𝑔𝑒𝑙𝑎𝑝 (𝑚)

1
0,003 0,004285714 0,00022148 1,20909E-09 9,42
2
0,006 0,008571429 0,000184567 4,58514E-12 15,7
3
0,009 0,012857143 0,000172262 2,08679E-10 21,98
4
0,011 0,015714286 0,000181211 3,02176E-11 28,26
5
0,014 0,02 0,00017402 1,60984E-10 34,54
RATA-RATA 0,000186708

107
3.2.7 Celah Ganda A pola Gelap
2
n 𝑥 𝑔𝑒𝑙𝑎𝑝 (𝑚) 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑(𝑚) |𝑑 − 𝑑̅ | 𝑥 𝑔𝑒𝑙𝑎𝑝 (𝑚)
1 0,008 0,011428571 0,000083055 1,69228E-10 9,42
2 0,016 0,022857143 6,92125E-05 6,95085E-13 15,7
3 0,023 0,032857143 6,7407E-05 6,9657E-12 21,98
4 0,03 0,042857143 0,000066444 1,2976E-11 28,26
5 0,038 0,054285714 6,41126E-05 3,52074E-11 34,54
RATA-RATA 5,28648E-05

𝑋𝑛
• sin 𝜃𝑛 = 𝐿
0,008
1. = 0,0114
0,7
0,016
2. = 0,0228
0,7
0,023
3. = 0,0328
0,7
0,03
4. = 0,0428
0,7
0,038
5. = 0,0542
0,7
1
(𝑛+ )𝜆
• 𝑑𝑛 = 2
𝑠𝑖𝑛𝜃𝑛
(1+0,5)6,328×10−7
1. = 8,3055 × 10−5 𝑚
0,0114
(2+0,5)6,328×10−7
2. = 6,9212 × 10−5 𝑚
0,0228
(3+0,5)6,328×10−7
3. = 6,7407 × 10−5 𝑚
0,0328
(4+0,5)6,328×10−7
4. = 6,6444 × 10−5 𝑚
0,0428
(5+0,5)6,328×10−7
5. = 6,4112 × 10−5 𝑚
0,0542
Σ𝑑𝑛 8,3055×10−5 +6,9212×10−5 +6,7407×10−5 +6,6444×10−5 +6,4112×10−5
• 𝑑̅ = =
𝑛 5

= 7,0046 × 10−5 𝑚

Σ|𝑑−𝑑̅|2
• 𝛿𝑑𝑛 = √ 𝑛(𝑛−1)

169,228 × 10−12 + 0,6950 × 10−12 + 6,9657 × 10−12 + 12,976 × 10−12 + 35,2074 × 10−12
=√
5(5 − 1)

225,0721
=√ 20

= √11,2536 = 5,0359𝑚
2𝜋
• ∅𝑛 = 𝑑𝑛 𝑠𝑖𝑛𝜃
𝜆
108
2×3,14×8,3055.10−5 ×0,0114
1. = 9,42
6,328×10−7
2×3,14×6,9212.10−5 ×0,0228
2. = 15,7
6,328×10−7
2×3,14×6,7407.10−5 ×0,0328
3. = 21,98
6,328×10−7
2×3,14×6,6444.10−5 ×0,0428
4. = 28,26
6,328×10−7
2×3,14×6,4112.10−5 ×0,0542
5. = 34,54
6,328×10−7

3.2.8 Celah Ganda A Pola Terang


2
n 𝑥 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔 (𝑚) 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑(𝑚) |𝑑 − 𝑑̅ | 𝑥 𝑔𝑒𝑙𝑎𝑝 (𝑚)
1 0,01 0,014285714 0,000044296 7,34247E-11 6,28
2 0,018 0,025714286 4,92178E-05 1,33009E-11 12,56
3 0,024 0,034285714 0,00005537 6,27591E-12 18,84
4 0,031 0,044285714 5,71561E-05 1,84153E-11 25,12
5 0,038 0,054285714 5,82842E-05 2,93698E-11 31,4
RATA-RATA 7,00462E-05

𝑋𝑛
• 𝑠𝑖𝑛𝜃 = 𝐿
0,01
1. = 0,0142
0,7
0,018
2. = 0,0257
0,7
0,024
3. =0,0342
0,7
0,031
4. = 0,0442
0,7
0,038
5. = 0,0542
0,7
𝑛𝜆
• 𝑑𝑛 = 𝑠𝑖𝑛𝜃
1×6,328.10−7
1. = 4,4296. 10−5 𝑚
0,0142
2×6,328.10−7
2. = 4,9217. 10−5 𝑚
0,0257
3×6,328.10−7
3. = 5,537. 10−5 𝑚
0,0342
4×6,328.10−7
4. = 5,7156. 10−5 𝑚
0,0442
5×6,328.10−7
5. = 5,8284. 10−5 𝑚
0,0542

Σ𝑑𝑛
• 𝑑̅ = 𝑛

109
4,4296. 10−5 + 4,9217. 10−5 + 5,537. 10−5 + 5,7156. 10−5 + 5,8284. 10−5
=
5
= 5,2864 × 10−5 𝑚

Σ|𝑑𝑛−𝑑̅|2
• 𝛿𝑑𝑛 = √ 𝑛(𝑛−1)

7,3424 × 10−11 + 1,3300 × 10−11 + 0,6275 × 10−11 + 1,8415 × 10−11 + 2,9369 × 10−11
=√
5(5 − 1)

14,0783
=√
20
= √0,703915
= 0,83899𝑚
2𝜋
• ∅𝑛 = 𝜆 𝑑𝑛 𝑠𝑖𝑛𝜃
2×3,14×4,4296.10−5 ×0,0142
1. = 6,28
6,328×10−7
2×3,14×4,4296.10−5 ×0,0257
2. = 12,56
6,328×10−7
2×3,14×4,4296.10−5 ×0,0342
3. = 18,84
6,328×10−7
2×3,14×4,4296.10−5 ×0,0442
4. = 25,12
6,328×10−7
2×3,14×4,4296.10−5 ×0,038
5. = 31,4
6,328×10−7

3.2.9 Celah Ganda B pola Gelap


2
n 𝑥 𝑔𝑒𝑙𝑎𝑝 (𝑚) 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑(𝑚) |𝑑 − 𝑑̅ | ∅
1 0,003 0,004285714 0,00022148 5,89662E-09 9,42
2 0,008 0,011428571 0,000138425 3,92571E-11 15,7
3 0,014 0,02 0,00011074 1,15264E-09 21,98
4 0,016 0,022857143 0,000124583 4,04334E-10 28,26
5 0,019 0,027142857 0,000128225 2,71106E-10 34,54

3.2.10 Celah Ganda B Pola Terang


2
n 𝑥 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔 (𝑚) 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑(𝑚) |𝑑 − 𝑑̅| ∅
1 0,005 0,007142857 0,000088592 2,01721E-10 6,28
2 0,009 0,012857143 9,84356E-05 1,90034E-11 12,56
110
3 0,012 0,017142857 0,00011074 6,31255E-11 18,84
4 0,016 0,022857143 0,00011074 6,31255E-11 25,12
5 0,021 0,03 0,000105467 7,13863E-12 31,4
RATA-RATA 0,000102795

3.2.11 Celah Ganda C Pola Gelap


2
n 𝑥 𝑔𝑒𝑙𝑎𝑝 (𝑚) 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑(𝑚) |𝑑 − 𝑑̅ | ∅
1 0,004 0,005714286 0,00016611 1,86981E-09 9,42
2 0,01 0,014285714 0,00011074 1,47105E-10 15,7
3 0,014 0,02 0,00011074 1,47105E-10 21,98
4 0,018 0,025714286 0,00011074 1,47105E-10 28,26
5 0,021 0,03 0,000116013 4,69956E-11 34,54
RATA-RATA 0,000144691

3.2.12 Celah Ganda C Pola Terang


2
n 𝑥 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔 (𝑚) 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑(𝑚) |𝑑 − 𝑑̅| ∅
1 0,006 0,008571429 7,38267E-05 2,51285E-10 6,28
2 0,011 0,015714286 8,05382E-05 8,35477E-11 12,56
3 0,014 0,02 0,00009492 2,7472E-11 18,84
4 0,018 0,025714286 9,84356E-05 7,66838E-11 25,12
5 0,022 0,031428571 0,000100673 1,2087E-10 31,4
RATA-RATA 0,000186708

3.2 Grafik
3.3.1 Celah Tunggal A pola Terang
x y
0,02 1
0,034285714 2
0,048571429 3
0,062857143 4
0,078571429 5

Σ𝑠𝑖𝑛𝜃
• 𝑥̅ = 𝑛

0,02 + 0,034 + 0,048 + 0,062 + 0,061


=
5

111
= 0,0484
Σ𝑛
• 𝑦̅ = 𝑛
1+2+3+4+5
=
5
=3

• Pola Terang
△𝑦
𝑑̅ = 𝜆
△𝑥
3,7 − 1,9
= 6,328 × 10−7
0,055 − 0,039
= 711,9 × 10−7 𝑚
• Cemtroid (0,048 , 3)
𝑦𝑎−𝑦𝑏
• 𝑘𝑟 = 100%
2𝑦̅
4,7 − 1
= 100%
2(3)
= 61%

3.3.2 Celah tunggal B pola Terang


X y
0,011428571 1
0,017142857 2
0,022857143 3
0,03 4

112
0,037142857 5

Σ𝑠𝑖𝑛𝜃
• 𝑥̅ = 𝑛

0,011 + 0,017 + 0,023 + 0,031 + 0,037


=
5
= 0,024
Σ𝑛
• 𝑦̅ = 𝑛
1+2+3+4+5
=
5
=3
• Pola Terang
△𝑦
𝑑̅ = 𝜆
△𝑥
3,6 − 2
= 6,328 × 10−7
0,025 − 0,022
= 3374,93 × 10−7 𝑚
• Cemtroid (0,023 , 3)
𝑦𝑎−𝑦𝑏
• 𝑘𝑟 = 100%
2𝑦̅
4,5 − 1
= 100%
2(3)
= 58%

113
3.3.3 Celah Tungga C pola Terang
x y
0,004285714 1
0,008571429 2
0,012857143 3
0,015714286 4
0,02 5

Σ𝑠𝑖𝑛𝜃
• 𝑥̅ = 𝑛

0,004 + 0,008 + 0,012 + 0,016 + 0,02


=
5
= 0,0123
Σ𝑛
• 𝑦̅ = 𝑛
1+2+3+4+5
=
5
=3
• Pola Terang
△𝑦
𝑑̅ = 𝜆
△𝑥
3,5 − 2,2
= 6,328 × 10−7
0,075 − 0,01
114
= 749,62 × 10−7 𝑚
• Cemtroid (0,012 , 3)
𝑦𝑎−𝑦𝑏
• 𝑘𝑟 = 100%
2𝑦̅
4,4 − 1,6
= 100%
2(3)
= 46%

3.3.4 Celah Ganda A pola Terang


x y
0,014285714 1
0,025714286 2
0,034285714 3
0,044285714 4
0,054285714 5

Σ𝑠𝑖𝑛𝜃
• 𝑥̅ = 𝑛

0,014 + 0,026 + 0,034 + 0,044 + 0,054


=
5
= 0,0345
Σ𝑛
• 𝑦̅ = 𝑛

115
1+2+3+4+5
=
5
=3

• Pola Terang
△𝑦
𝑑̅ = 𝜆
△𝑥
4 − 2,2
= 6,328 × 10−7
0,04 − 0,03
= 1139,04 × 10−7 𝑚
• Cemtroid (0,034 , 3)
𝑦𝑎−𝑦𝑏
• 𝑘𝑟 = 100%
2𝑦̅
4,8 − 1,3
= 100%
2(3)
= 6%

3.3.5 Celah Ganda B Pola Terang


x y
0,007142857 1
0,012857143 2
0,017142857 3

116
0,022857143 4
0,03 5

Σ𝑠𝑖𝑛𝜃
• 𝑥̅ = 𝑛

0,007 + 0,013 + 0,017 + 0,022 + 0,03


=
5
= 0,018
Σ𝑛
• 𝑦̅ = 𝑛
1+2+3+4+5
=
5
=3

• Pola Terang
△𝑦
𝑑̅ = 𝜆
△𝑥
3,8 − 1,8
= 6,328 × 10−7
0,02 − 0,075
= 230,11 × 10−7 𝑚
• Cemtroid (0,018 , 3)
𝑦𝑎−𝑦𝑏
• 𝑘𝑟 = 100%
2𝑦̅
4,5 − 1
= 100%
2(3)
= 58%

117
3.3.5 Celah Ganda C pola Terang
x y
0,008571429 1
0,015714286 2
0,02 3
0,025714286 4
0,031428571 5

Σ𝑠𝑖𝑛𝜃
• 𝑥̅ = 𝑛

0,008 + 0,016 + 0,02 + 0,026 + 0,031


=
5
= 0,0202
Σ𝑛
• 𝑦̅ = 𝑛
1+2+3+4+5
=
5
=3
118
• Pola Terang
△𝑦
𝑑̅ = 𝜆
△𝑥
3,3 − 2,2
= 6,328 × 10−7
0,025 − 0,01
= 464,05 × 10−7 𝑚
• Cemtroid (0,020 , 3)
𝑦𝑎−𝑦𝑏
• 𝑘𝑟 = 100%
2𝑦̅
4,3 − 1,8
= 100%
2(3)
= 42%

3.4 Pembahasan
3.4.1 Analisa Prosedur
Percobaan ini peserta praktikum atau praktikan akan di beri alat-alat percobaan antara lain
penggaris digunakan sebagai alat ukur pada celah ganda maupun tunggal dengan pola gelap
maupun terang.Laser Ha-ne berdaya rendah ,alat ini digunakan sebagai perantara untuk
didapatkannya celah sebuah slide untuk tempat diletakkannya kisi difraksi.Sebuah difraksi

119
sebagai alat yang akan diuji.Pemegang slide sebagai penahan slide.Dan layar yang ditempeli
kertas digunakan untuk tempat digambarnya titik-titik jarak frinji.
Sebelum dimulai percobaan para peserta akan disiapkan alat alat percobaan terlebih
dahulu.kemudian ditempel kertas putih kosong tepat 70 cm dari laser Ha-ne umtuk tempat
gambar jarak frinji.Dipasang kisi difraksi pada sebuah slide yang bercelah ganda maupul tunggal
pada pemegang slide agar slide tidak goyang saat digeser-geser.Laser Ha-ne dinyalakan dan sinar
laser akan mengenai slide tersebut.Digambar jarak sinar yang dihasilkan pada lembaran kertas
putih kosong tadi .Dan diulang percobaan tersebut agar dapat hasil yang bagus.
3.4.2 Analisa Hasil
Percobaan ini peserta dapat beberapa data setelaah dilakukannya percobaan.Pertama yang
dilakukan peserta ialah dicobanya laser ha-ne pada slide tunggal. Pada percobaan celah tunggal A
pola gelap didapat nilai rata-rata d sebesar 4,49x10-5 m dan pada pola terang 5x10-5m.Defisiasi
pola gelap sebesar 1,84x10-7m sedangkan pola terang sebesar 1,54x10-6m.Baik pola gelap
maupun pola terang bila sin Ɵ didapati naik maka d juga akan naik,tetapi nilai ϕ.ϕ mempunyai
ciri khas tersendiri dimana data dapat naik dan turun.Samahalnya pada percobaan dengan slide
celah ganda.Pada percobaan A pola gelap nilai d rata-rata sebesar 7,77x10-5m.Artinya bahwa pola
terang memiliki d yang paling terang daripada pola gelap karena pada pola terang garis frinji
akan terlihat sangat jelas jika dilintasi oleh laser ha-ne tersebut.Dari semua grafik jka nilai n besar
maka besasr pula nilai sin Ɵ.Seperti pada grafik celah tunggal A pola terang nilai centroid (x,y)
0.044;34,2x10-3 kr yang dihasilkan sebesar 2,92x10-7%,celah tunggal B pola terang nilai centroid
(x,y) 0,0234;16,6x10-3 dan kr sebesar 1,8x10-7,dan pada celah tunngal C nilai pola terang untuk
centroid (x,y) sebesar 0.018;6,6x10-3,kr nya sebesar 2,32 x 10-7 %.Dipercobaan celah ganda A
pola terang nilai centroid(x,y) 0,03;20,4x10-3,kr nya sebesar 3,67x10-7%,pada data B centroid
sebesar (x,y) 0,0704;12,6x10-3 ,kr sebesar 3,57x10-7%,dan yamg data C centroid (x,y) sebesar
0,0198;14,2x10-3 dan kr nya sebesar 4,22x10-7.
Pada dasarnya difraksi dsn interferensi ialah teori yang yang membahas tenteng
pembelokan cahaya.Tapi keduanya memiliki perbedaan antara lain,difraksi merupakan
pelenturan mukia muka gelombang melewati celah sempit sedangkan interferensi adalah efek
gabungan dari beberapa gelombang.(Ruwanto,2002).
Pola tunggal merupakan dimana cahaya sejajar dijatuhkan pada celah tunggal dan cahaya
didifraksikan dengan sudutƟ sedemikian sehingga cahaya yang berada pada bawah dengan
cahaya yang berada dibagian atas mempunyai selisih besar ʎ. Sedangkan pola ganda apabila
cahaya masuk sejajar dijatuhkan pada kisi,kisi akan didifraksikan cahaya tersebut pada layar dan
akan terbentuk pola terang gelap.

120
(gambar 3.1 difraksi pola tunggal dan pola ganda)
Dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemukan beberapa contoh difraksi yaitu teori
difraksi fraunhofer ke desain detector yang bersifat spesifik yang terjadi ketika cahaya disebar
dari sel epithelial di dalam suatu celah penelitian aliran sistem diperagakan digunakan teori
difraksi fraunhofer komdisi scalar.kekuatan spectrum dihitung umtuk posisi model sel yang
berurutan di dalam baris focus dari suatu berkas cahaya laser dengan suatu program computer
transformasi fourier.digunakan kekuatan spectrum yang dihitung bentuk wujud detector
dirancang umtuk dideteksi struktur sel secara spesifik.Bentuk wujud detector diuji didalam suatu
piranti celah penelitian sebaran statis.Data ditandai kemampuan untuk orientasi dideteksi sel dan
batasan-batasan tertentu.
Interferensi destruktif (saling melemahkan) percobaan ini pada dasarnya dilakukan oleh
fresnel dimana percobaan yang dilakukan untuk dididapatkan gelombang yang koherensi dengen
didapatkan dua gelombang cahaya yang koheren dengen dipantulkan cahaya dari suatu sumber ke
arah dua buah cermin datar yang disusun hampis dibentuk sudut 180 derajat ,sehingga akan
diperoleh dua bayangan sumber cahaya.

(gambar 3.2 percobaan oleh fresnel)


Interferensi konstruktif (saling menguatkan) terjadi jika kedua gelombang paduan sama dengan
dua kali amplitudo tiap gelombangh

(gambar 3.3 gelombang interferensi)

121
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Percobaan ini dapar disimpukan bahwa dijelaskna gejala difraksi cahayab oleh celah sempit,
dengan cara dilewatkan celah tunggal dan celah ganda yang berkas cahaya dapat dilihat pada data
percobaan ,ditentukan lebar celah tunggal serta jarak antara celah pada celah ganda ,dengan
ditandai berkas cahaya pada kertas lalu diukur jarak dari terang pusat, begitu juga dengan pola
gelap dari terang pusat
4.2 Saran
Percobaan Difraksi Cahaya diharapkan pada praktikan agar dapat paham dan nisa
diterapkanya dengan baik.

122
DAFTAR PUSTAKA
Naik, P.V. 2012. Principles of physics : 15th Edition. New Delhi : PH Learning Private United
Young & Freedman. 2003. Fisika Universitas: Edisi Kesepuluh Jilid 2. Jakarta : Penerbit Erlangga

123
LAMPIRAN

124
(Young & Freedman, 2003)

125
(Naik, 2012)

126
(Naik, 2012)

127
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR
(INDEKS BIAS PRISMA)

(PERCOBAAN-OP4)

Nama :
NIM :
Fak/Jurusan : MIPA/ Fisika
Kelompok :
Tgl.Praktikum :
Nama Asisten : Osa Fatiana rea

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018
128
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Praktikum indeks bias prisma ini bertujuan agar dapat ditentukannya indeks bias prisma
dan dijelaskannya ketergantungan indeks bias terhadap panjang gelombang.

1.2 Dasar Teori


Pembiasan oleh prisma digunakan untuk menguraikan cahaya putih atas spektrum warna
yang berbeda dalam teknologi spektroskopi. Spektrum warna yang berbeda setelah melewati
prisma akan merambat ke arah yang berbeda sehingga dapat dipilih salah satu warna yang
diinginkan (Abdullah, 2017). Prisma ini terbentuk dari bahan yang transparan dengan
setidaknya memiliki dua bidang permukaan yang melingkupi sebuat sudut. Garis persimpangan
disebut tepi refraksi (Benenson dkk, 2002).

Gambar 1.1 Pembiasan pada prisma


Biasanya dispersi pada prisma oleh prisma monokromotor digunakan untuk defleksi
minimum karena pengaturan optiknya menyederhanakan konfigurasi teknis. Sudut defleksi
mencapai nilai absolut minimum untuk suatu sudut tertentu. Ketika prisma digunakan untuk
defleksi minimum, persamaannya dapat menjadi sederhana, yaitu

(1.1)

Untuk defleksi minimum dari indeks refraksi n’ prisma dapat dihitung dengan sudut
prisma α dan sudut defleksi δmin:

(1.2)

Besarnya sudut defleksi minimum bergantung dengan panjang gelombang. Dengan


memuar prisma mengelilingi sumbu tegak lurus terhadap bidang dari besarnya sudut untuk
defleksi minimum akan didapatkan secara berurutan untuk panjang gelombang yang berbeda.
Jadi, sudut defleksi bervariasi tergantung panjang gelombang. Untuk mendapatkan spektrum
secara berurutan, masukan kolimator dan celah, lalu keluarkan kolimator dan celah harus
diputar (Dӧrband dkk, 2012).

129
BAB II
METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan


Praktikum indeks bias prisma digunakan beberapa alat dan bahan, yaitu sebuah
lensa (r = 150 mm), sebuah prisma kaca flinta, filter monokromatik (merah, hijau, biru), sebuah
lampu, celah sempit, sebuah kondensor osferis, dan meteran.

2.2 Tata Laksana Percobaan

Alat dipasang dan dirangkai

Tanpa prisma dan filter, dicari bayangan yang paling baik


pada layar dan diberi tanda A

Prisma diatur dengan jarak 25 cm dari layar

Filter merah dipasang dan dicari posisi bayangan dengan penggeseran


prisma sehingga ditemukan defleksi maksimum dan diberi tanda B

Langkah 3 dan 4 diulangi untuk filter hijau dan biru

Langkah 3 – 5 diulangi dengan jarak 20cm dan 15cm

Langkah 3 – 6 diulangi dengan penggunaan prisma 45°

Jarak AB dicatat sebagai a dan jarak


prisma ke layar dicatat sebagai b

Hasil

130
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Hasil Percobaan

𝝓 a (cm)
b (cm)
(Sudut Prisma) Merah Hijau Biru
10,4 10,6 10,8
25 45° 10,7 10,9 11
12,7 12,8 13
8,5 8,6 8,7
20 45° 9,4 9,5 9,6
7,8 7,9 8
6,3 6,7 6,5
15 45° 6,7 6,8 6,9
6,9 7 7,2
17,6 17,7 17,9
25 60° 18,6 18,8 19
20,3 20,6 20,8
14,4 14,5 14,6
20 60° 15,4 15,5 15,6
16,6 16,8 17
11,6 11,7 12
15 60° 12,3 12,5 12,7
9,7 9,2 9,4

131
3.2 Perhitungan

3.2.1 Data filter merah


No a (cm) b (cm) δmin (°) Δ δmin (°) N Δn
17,6
1 18,6 25 36,99193 0,13022691 1,497818146 0,293764918
20,3
14,4
2 15,4 20 37,71598 0,14334578 1,506162346 0,307101204
16,6
11,6
3 12,3 15 36,25384 0,1452173 1,489250454 0,311335907
9,1

̅̅̅̅
𝑎1
Δmin1=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
18,833
=ArcTan( )
25
=36,99193

̅̅̅̅
𝑎2
Δmin2=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
15,467
=ArcTan( )
20
=37,71598
̅̅̅̅
𝑎3
Δmin3=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
11
=ArcTan(15)

132
=36,25384

3.2.2 Data Filter Hijau ∅=60


No a (cm) b (cm) δmin (°) Δ δmin (°) N Δn
17,6
1 18,6 25 37,13786 0,13000052 1,499504702 0,293298061
20,6
14,5
2 15,5 20 37,95423 0,14311412 1,508894966 0,306487263
16,8
11,7
3 12,5 15 36,58363 0,14488168 1,493086235 0,31047568
9,2

̅̅̅̅
𝑎1
Δmin1=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
18,833
=ArcTan( )
25
=36,99193

̅̅̅̅
𝑎2
Δmin2=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
15,467
=ArcTan( )
20
=37,71598
̅̅̅̅
𝑎3
Δmin3=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
11
=ArcTan(15)
=36,25384

3.2.3 Data Filter Biru ∅=60


No a (cm) b (cm) δmin (°) Δ δmin (°) N Δn
17,9
1 19 25 37,57228 0,12997747 1,50451114 0,292640464
20,8
14,6
2 15,6 20 38,19095 0,1421895 1,511603514 0,305132362
17
12
3 12,7 15 37,15404 0,14420477 1,499691547 0,308881377
9,4

̅̅̅̅
𝑎1
Δmin1=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )

133
18,833
=ArcTan( )
25
=36,99193

̅̅̅̅
𝑎2
Δmin2=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
15,467
=ArcTan( )
20
=37,71598
̅̅̅̅
𝑎3
Δmin3=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
11
=ArcTan(15)
=36,25384

3.2.4 Data Filter Merah ∅=45


No a (cm) b (cm) δmin (°) Δ δmin (°) N Δn
10,4
1 10,7 25 24,32297 0,12707605 1,137453454 0,323300831
12,8
8,5
2 9,4 20 23,18706 0,14665257 1,121091033 0,348491686
7,8
6,3
3 6,7 15 23,85608 0,17549351 1,130741466 0,380464877
6,9

̅̅̅̅
𝑎1
Δmin1=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
18,833
=ArcTan( )
25
=36,99193

̅̅̅̅
𝑎2
Δmin2=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
15,467
=ArcTan( )
20
=37,71598
̅̅̅̅
𝑎3
Δmin3=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
11
=ArcTan(15)
=36,25384

134
3.2.5 Data Filter Hijau ∅=45

No a (cm) b (cm) δmin (°) Δ δmin (°) N Δn


10,6
1 10,9 25 24,70243 0,12746698 1,142894684 0,323425939
13
8,6
2 9,5 20 23,42869 0,14652896 1,124580909 0,348095722
7,9
6,4
3 6,8 15 24,17478 0,17507494 1,135325169 0,379647769
7

̅̅̅̅
𝑎1
Δmin1=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
18,833
=ArcTan( )
25
=36,99193

̅̅̅̅
𝑎2
Δmin2=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
15,467
=ArcTan( )
20
=37,71598
̅̅̅̅
𝑎3
Δmin3=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
11
=ArcTan(15)
=36,25384

3.2.6 Data Filter Biru ∅=45


No a (cm) b (cm) δmin (°) Δ δmin (°) N Δn
10,8
1 11 25 24,70243 0,12717815 1,142894684 0,323059311
12,7
8,7
2 9,6 20 23,66944 0,14664087 1,128053103 0,347979415
8
6,6
3 6,9 15 24,70243 0,17572855 1,142894684 0,379749466
7,2

̅̅̅̅
𝑎1
Δmin1=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
18,833
=ArcTan( )
25
=36,99193
135
̅̅̅̅
𝑎2
Δmin2=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
15,467
=ArcTan( )
20
=37,71598
̅̅̅̅
𝑎3
Δmin3=𝐴𝑟𝑐𝑇𝑎𝑛( 𝑏 )
11
=ArcTan(15)
=36,25384

3.3 Pembahasan
3.3.1 Analisa Prosedur
Alat yang digunakan dalam praktikum indeks bias prisma ini ,yaitu: lensa sebagai
pengonversi cahaya; meteran atau penggaris untuk pengukuran jarak; pemegang filter sebagai
tempat diletakkannya filter; filter sebagai penyaring warna cahaya yang akan dicari; cahaya lampu
sebagai sumber cahaya ;prisma sebagai medium terjadinya pembiasan cahaya; layar sebagai tempat
diproyeksikannya cahaya; celah sempit sebagai tempat dilewatkannya cahaya.
Percobaan indeks bias prisma dilakukan sebanyak enam kali pada prisma dengan sudut
yang berbeda (45° dan 60°) dan tiga filter warna ,yaitu: merah, hijau dan biru. Pertama, tanpa
prisma, lampu dihidupkan dengan tujuan agar didapatkannya titik tengah atau titik acuan yang
diberi tanda. Dengan prisma, cahaya lampu dihidupkan dan dilewatkan pada cahaya sempit untuk
dipersempitnya cahaya. Cahaya yang dilewatkan pada filter berbeda (merah, hijau, biru) agar
didapatkan warna cahya yang diinginkan. Cahaya yang telah di filter dilewatkan pada lensa agar
cahaya konvergen. Setelah itu oleh Prisma cahaya dibiaskan . Prisma diputar searah sehingga
didapatkan cahaya paling terang dan ditandai. Dihitung jarak antara titik acuan dengan titik hasil
pembiasan untuk perhitungan deviasi minimum dan indeks bias nantinya. Pada percobaan ini
digunakan prisma dengan sudut yang berbeda dan filter warna yang berbeda agar dapat
dibandingkan indeks bias pada panjang gelombang yang berbeda dan dengan sudut berbeda atau
singkatnya untuk didapatkan hubungan panjang gelombang dan sudut prisma dengan indeks bias.

3.3.2 Analisa Hasil


Berdasarkan percobaan yang dilakukan semakin besar jarak prisma ke layar akan
menghasilkan a yang semakin besar pula .Begitu pula dengan sudut yang digunakan semakin besar
sudutnya ,a yang dihasilkan juga semakin besar namun nilai a berbanding terbalik dengan nilai
panjang gelombang. Pada panjang gelombang yang besar (merah) nilai a lebih kecil dibandingkan
dengan nilai a pada warna biru yang panjang gelombangnya lebih kecil. Berdasarkan perhitungan
yang telah dilakukan pula indeks bias terbesar ada pada panjang gelombang terkecil yaitu biru,
hijau dan merah. Nilai indeks bias pada sudut 60° dan 45° nilainya hampir sama untuk setiap warna.
Untuk sudut defleksi minimum cenderung lebih besaR. Untuk panjang gelombang yang kecil yaitu
biru dan lebih kecil untuk merah. Nilai sudut defleksi minimum ini bergantung pada sudut prisma
yang digunakan. Semakin besar sudut yang digunakan nilai sudut defleksinya semakin besar. Pada
136
indeks bias setiap filter dengan jarak prisma ke layar terbesar menghasilkan indeks bias paling
besar tetapi indeks bias terkecil ada pada jarak b sebesar 20 cm. Hal ini terjadi karena ketidak
telitian dalam pengambilan data yang disebabkan bergeraknya meja praktikum akibat tersenggol
ataupun ditekan sehingga mempengaruhi akurasi data yang di dapatkan. Nilai kesalahan relatif (kr)
yang didapatkan relatif kecil yaitu di bawah 1% untuk sudut 45° kr filter merahnya yaitu sebesar
0,69104738 %, kr filter biru yaitu 0,738930 4% , dan kr filter hijau yaitu 0,80462948%. Sementara
untuk sudut 60° kr filter merahnya yaitu 0,56459571 %, kr filter biru yaitu 0,5263914% dan kr
filter hijau yaitu 0,3980692%. Pada prisma dengan sudut 45°, dari warna merah ke hijau kr nya
semakin besar namun pada prisma dengan sudut 60° dari warna merah hijau krnya semakin kecil.
Hal ini terjadi karena saat pengambilan data untuk sudut 60° lebih diperhitungkan dibandingkan
saat pengambilan data prisma dengan sudut 45°. Kesalahan relatif yang kecil ini menunjukkan
bahwa data yang diperoleh telah baik dan mendekati hasil yang sebenarnya.
Pada kaca flinta memiliki indeks refraktif yang relatif tinggi dan memiliki nomor Abbe
yang rendah (Tingkat dispersi tinggi). Indek bias prisma kaca flinta berkisar antara 1,60 hingga
1,66. Sementara itu, prisma kuarsa memiliki indeks bias yang relatif lebih rendah dibandingkan
indeks bias prisma kaca flinta. Indeks bias prisma kuarsa ini berkisar antara 1,46 hingga 1,47.
Hukum Snellius menjelaskan hubungan antara sinar datng dan sinar bias. Hukum sinar bias
menyatakan “sinar datang, garis normal, dan sinar bias terletak pada satu bidang datar, serta jika
sinar datang dari medium yang lebih rapat menuju medium yang kurang rapat, sinara akan
dibiaskan menjauhi garis normal, jika sinar datang dari medium yang kurang rapat menuju medium
yang lebih rapat maka sinar akan dibiaskan mendekati garis normal, dan perbandingan sinus datang
(i) dan sinus sudut bias(r) merupakan suatu bilangan tetap”. Bilangan tetap yang dimaksud Snellius
merupakan indeks bias. Semakin besar pembiasan cahaya saat memasuki arau meninggalkan suatu
medium, semakin besar pula indeks biasnya. Persamaan Snellius diturunkan dari prinsip fermat,
yaitu sinar yang merambat antara dua titik membutuhkan selang waktu terkecil.

Gambar 3.1 Jalannya Permantulan


Waktu yang dibutuhkan sinar dari titik AO kemudian ke OB adalah

137
Sinar akan menempuh jarak yang mengakibatkan waktu perambatan menjadi minimal :

Dari persamaan diatas telah menunjukkan sinar datang sama dengan sinar pantul untuk medium
yang memiliki indeks bias tetap.

Gambar 3.2 Proses Pemantulan


Waktu yang dibutuhkan sinar dari titik AO kemudian ke OB adalah

138
Karena

Maka

Jadi, berdasarkan penurunan rumus tersebut, didapatkan persamaan Snellius mengenai indeks
bias.
Indeks bias merupakan kemampuan mediumdalam membelokkan arah rambat cahaya.
Seperti definisi dari ineks bias, indeks bias berkaitan dengan medium yang dilewati cahaya.
Semakin besar kemampuan sutu medium dalam membelokkan cahaya, maka semakin besar pula
indeks biasnya. Nah, besarnya kemampuan suatu medium dalam membelokkan cahaya ini
berhntumh pada kerapatan optik medium. Semakin rapat suatu medium , semakin besar indeks
biasanya.
Ada banyak aplikasi indeks bias, antara lain indeks bias digunakan sebagai penentu kualitas
minyak kayu putih, yaitu semakin besar nilai indeks biasnya maka kualitasnya semakin baik
(Mbaru, dkk, 2018). Selain itu indeks bias dapat digunakan sebagai penguji kualitas minyak ,
semakin kecil indeks bias minyak goreng semakin baik kualitasnya (Idris dkk, 2017)

139
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Indeks bias adalah kemampuan suatu medium dalam pembelokan arah rambat cahaya.
Indeks bias prisma pada setiap gelombang yang dicari (warna merah, hijau, dan biru) telah dapat
ditentukan dari praktikum. Indeks bias terbesar ada pada warna biru, dengan panjang gelombang
paling kecil. Sementara indeks bias terkecil ada pada warna merah dengan panjang gelombang
paling besar. Jadi, hubungan antara indeks bias dan panjang gelombang berbanding terbalik.
Semakin besar panjang gelombang, semakin kecil pula indeks biasnya. Begitu sebaliknya, semakin
kecil panjang gelombang, semakin besar indeks biasnya.
4.2 Saran
Semoga praktikum selanjutnya dalam segi alat yang digunakan bisa sama baiknya dengan
praktikum indeks bias prisma ini. Untuk praktikan harus lebih diperhatikan faktor-faktor yang
disebabkannya akurasi data yang didapatkan sehingga data yang didapatkan akan semakin baik.

140
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mikrajuddin. 2017. Fisika Dasar II. Bandung : ITB


Benenson, Walter., John W, Harris., Horst Stoker, dan Holger Lutz. 2002. Handbook of Physics.
New York : Springer
Dӧrband, Bernd., Henriette Mϋller, dan Herbert Gross. 2012. Handbook of Optical Systems.
Weinheim : Wiley-VCH
Idris, Nashrullah., Sarina, Maswati, dan Devi Susilayani. 2017. Pengembangan Alat Ukur Indeks
Bias Menggunakan Prisma Berongga dari Lembaran Kaca Komerisal Biasa dan Laser He-
Ne untuk Pengujian Kualitas Minyak Goreng. Risalah Fisika, 1(2), 39-46
Mbaru, Maria Erenta., Markullius Victor, Wahyu Diah Proborini, dan Ayu Chandra K. F. 2018.
Perbandingan Metode Distilasi Minyak Atsiri Daun Kayu Putih Menggunaka
Hydrodistillation dan Steam Distillation. Jurnal Penelitian Mahasiswa Teknik Sipil dan
Teknik Kimia, 2(2), 215-221

141
LAMPIRAN

(Dӧrband dkk, 2012).

142
(Benenson dkk, 2002).

(Abdullah, 2017).

(Idris dkk, 2017).

143
(Mbaru dkk, 2008).

144

Anda mungkin juga menyukai